Modul Filsafat Manusia [TM3].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Filsafat Manusia
Sosialitas Manusia
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
Kode MK
03
Abstract
Kompetensi
Sosialitas manusia; refleksi filsafati
kesadaran manusia tentang
korelasi/hubungan antara ‘aku’
subjektif dengan ‘yang-lain’.
Mahasiswa dapat memahami korelasi
antara manusia yang direfleksikan
sebagai “aku’ subjektif dengan ‘yanglain’ diluar ‘aku’.
Disusun Oleh
Ahmad Sabir, M.Phil.
Firman Alamsyah , MA
SOSIALITAS MANUSIA
Sosialitas Manusia
Sosialitas manusia itu suatu struktur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat
manusia. Kenyataan bahwa adanya manusia, atau keberadaan manusia ditandai dengan
kebersamaannya dengan yang-lain adalah sebuah kenyataan manusia yang tak dapat
dibantah lagi. Menurut Sudiarja dalam bukunya Filsafat Sosial, ciri-ciri sosialitas manusia itu
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, sosialitas manusia atau hubungan antarmanusia mempunyai dimensi yang
sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia
menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak
mungkin hidup sendirian, “no man is an island” kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut
manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun
menegaskan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai Mitsein
(ada-bersama)
(Heidegger) atau Coexistence (mengandaikan keberadaan yang lain) (Gabriel Marcel). Inilah
hakikat sejati dari sosialitas manusia. Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain
berkat kehidupan sosialnya, kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas merupakan ciri
hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada manusia atau kondisi yang
ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahirnya .
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusiaan
yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang
terbuka, yang prospektif, yang dapat berkembang ke arah yang baik, sejauh anggotaanggota masyarakat menyadari prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun
demikian sebagaimana penjelasan di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat
kompleks dan meliputi taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak
berlainan dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitif
berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah ada
hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat berkembang secara
evolutif dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai saat ini terdapat beberapa
teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan filsafat sosial
yang penting.
Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada dua sebab, yaitu : (1) hubungan sosial
terjadi karena ikatan yang akrab entah karena kesamaan kelas, etnis, religi atau budaya
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
lainnya. Hubungan sosial ini terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu
hubungan sosial ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat “dari dalam”
anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling
berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat rasional dan
menghasilkan pembagian sosial dalam fungsi-fungsi yang teratur; ikatan yang terjadi bersifat
“dari luar”. Dalam sosiologi kelompok sosial yang pertama disebut “Paguyuban” dan
kelompok sosial yang kedua disebut “Patembayan”. Keempat, kodrat sosial manusia
sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi dan
kebebasan” manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk
hubungan sosial.
Namun dari semua ciri-ciri manusia diatas hakikinya bahwa manusia itu sadar akan
dirinya bersama dengan yang lain di ‘dunia’. Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa
manusia bersifat ‘plural’, dengan banyak pusat yang otonom yang salah satunya adalah
sosialitas manusia yang menunjukkan kebersamaannya dengan yang-lain. Hubungan
antara ‘Aku’ dan yang-lain sampai kini hanya dieksplisitasikan secara ‘formal’ saja.
Maksudnya ‘adanya’ yang-lain dituntut sebagai syarat mutlak; yang lain itu juga berupa
substansi dan subjek bagi dirinya. Namun, belum dijawab pertanyaan mengenai hubungan
antara ‘aku’ dan yang-lain. Apakah hanya berdampingan saja, dengan terisolir satu sama
lain? atau terdapat hubungan langsung? Apakah mungkin selalu berhubungan? Apakah
hubungan itu dangkal atau mendalam? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian
dibutuhkan refleksi metafisis dengan membuka selubung ’ada’nya ’aku’ dan yang-lain dari
’aku’ tersebut, sehingga terlihat struktur-struktur hubungan dan korelasi antara ’aku’ dan
yang-lain itu.
Refleksi metafisis korelasi ’Aku’ dan yang-lain
Kesadaran manusia tentang “Aku” sebagai subjek mengandaikan cara berada “yang
lain” agar “Aku” berada sepenuhnya, artinya “aku” sebagai subjek tidak akan pernah ada,
manakala tidak ada korelasi yang saling mengadakan dengan “yang lain”. “Aku” saling
menandai dan ditandai oleh “yang lain” dari “aku”.
Kesadaranku tentang diriku sebagai substansi dan subjek tertentu juga menuntut
sebagai syarat mutlak (untuk kesadaran itu) adanya yang lain yang tertentu pula. Kesadaran
tentang “Aku” yang memahami diri sebagai mahasiswa, pelayan, tukang becak, guru,
politisi, OB, direktur, pedagang, perampok, pencuri dll, semua itu menghubungkan
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kesadaran “aku” dengan lingkungan yang lebih luas. Semua aspek termasuk kegiatan dari
kesadaran tentang “aku” misalnya melihat, mendengar, menyentuh, menikmati merasa, itu
semua mengarahkan kesadaran “aku” kepada yang-lain., melibatkan orang-lain, benda lain.
Tidak ada kesadaran tentang “aku” yang murni. Sebentar saja memikirkan diri lepas
atau tersekat dari yang-lain itu tidak mungkin. Semua kesadaran tentang ”aku”, adalah
kesadaran bersama-dengan-yang-lain. Bukan ”aku” berada dulu dan menjadi manusia dulu
baru kemudian aku masuk dunia, dan mengadakan hubungan. Akan tetapi kesadaran
tentang ”aku” selalu berada dalam situasi-tertentu; selalu merupakan bagian dari duniadunia tertentu. Memang, keadaran tentang ”aku” dapat mengundurkan diri dari salah satu
’dunia’ tertentu, misalnya dari ’dunia’ mahasiswa, namun seketika itu juga ’aku’ ditampung
oleh ’dunia’ yang lain, misalnya ’dunia’ karyawan.
Kesadaran tentang ’aku’ selalu diartikan oleh yang-lain. Baru di dalam situasi dan
dalam relasi dengan yang-lain aku mendapat kedudukan dan arti juga peranan. Hanya
karena mempunyai arti untuk yang-lain, aku dapat memahami diri dan mengakui diri.
Misalnya sebagai mahasiswa saya seluruhnya dicap oleh pengakuan terhadap yang-lain,
dan oleh pengakuan yang-lain terhadap saya. Jika saya sebagai mahasiswa tidak mengakui
dosen, atau dosen tidak mengakui saya sebagai mahasiswa, maka saya juga kehilangan
makna tentang cara berada saya sebagai mahasiswa. Hanya dengan menerima
ketertentuan di dalam yang-lain, menurut arti yang tepat juga keberlainannya, aku juga
menerima ketertentuan. Tanpa itu pengakuan akan ”aku” atau identitasku mengabur dan
kehilangan batas-batasnya yang jelas dan dapat ditangkap.
Kesadaran tentang ’aku’ selalu diadakan oleh yang-lain. Hanya kalau ’begini’ atau
’begitu’, aku juga dapat ’berada’. Fakta-fakta sekunder membuat komplit keberadaanku
sendiri, jadi arti-arti dan makna-makna menentukan ’ada’nya aku. Jikalau aku bukan
mahasiswa dan/atau pelayan dan/atau pekerja –jadi jika saya bukan apa-apa – maka saya
tidak ada. Kesadarn tentang ’aku’ selalu menurut ’ada’nya pula tergantung yang-lain. Hanya
sejauh saya mengakui orang tua, dosen, rumah, teman, negara, maka saya juga ada. Kalau
tidak saya menjadi ’nol’. Dan sebaliknya, pengakuan mereka memberikan kepadaku makna
bahwa ’aku’ ada.
’ada’ku saya terima dari ’ada’nya yang lain itu, sebagai pemberian dan karunia, atau
sebagai hukuman dan kutukan. Sebab mereka yang-lain memberikan nama dan tempat
kepadaku; memberikan penghargaan dan fungsi. Oleh sebab itu, saya ’ada’ sejauh saya
menerima manusia dan semua sekitar saya justeru sebagai yang-lain; mereka tidak keluar
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dari diri saya; mereka mendekati saya dari luar saya; mereka tidak saya kuasasi. Mereka
seakan-akan menciptakan ’aku’ dengan pengakuan mereka (yang-lain) yang otonom.
Sebaliknya, tanpa ”aku” maka tidak ada yang-lain. Yang-lain tergantung pada ”aku”
menurut adanya yang konkret. Mereka memiliki diri sesuai dengan tempat dan peranan
yang saya berikan kepadanya; mereka menerima kesendiriannya dan pengakuan-diri dari
saya. Andaikata ”aku” tidak ada, maka seluruh duniaku tidak ada juga. Satu kesan pun tidak
ada, sebab seluruhnya diwarnai dan diresapi oleh kehadiranku, dan oleh ”respons” dari
”yang-lain” terhadap aku ini. Andaikata ”aku” tidak ada, maka orangtuaku tidak ada, suasana
rumah seperti sekarang tidak ada; dibayangkan saja keadaan seperti itu, sudah mustahil.
Heidegger mengatakan, ”Wenn kein Dasein existiert, ist keine Welt da”; tanpa manusia,
dunia tidak tampak.
Tidak ada suatu dunia ”an-sich”, yang tertutup pada diri sendiri. Tidak ada dunia
yang dapat berfungsi sebagai wasit netral dan serba objektif, yang dapat dipakai sebagai
patokan mutlak untuk segala macam pengertian dan penghargaan. Yang-lain selalu telah
ada-untuk-aku, memiliki arti dan nilai ”untuk-aku”, dan menerima itu dari saya. Fakta yang
sungguh-sungguh ada, juga memuat arti dan nilai bagiku.
Dengan demikian maka, hubungan antara aku dan yang lain sejatinya saling
mengandaikan, menciptakan dan kesaling libat melibatkan utuk keberadaan aku-dan-yanglain. ”Aku” dan yang-lain (entah manusia entah bukan), sejauh merupakan substansi yang
berdikari, begitu jauh pula berhubungan timbal balik, dengan saling memberikan arti dan
nilai, dan saling mengadakan. Bersama-sama merupakan keseluruhan pusat-pusat yang
berotonomi-di-dalam-korelasi
dan
berkorelasi-di-dalam-otonomi.
Atau
dengan
mengungkapkannya secara lebih radikal lagi sebagaimana refleksi metafisis Anton Bakker
terhadap sosialitas manusia bahwa ‘aku’ dan ‘yang-lain’ itu identik-di-dalam-distingsi
sekaligus disting-di-dalam-identitas.
Beragam Pandangan-pandangan Filosofis tentang Korelasi ’Aku’dan’Yang-lain’
Sejauh ini dalam tradisi filsafat ada beragam pandangan para filsof dalam
merefleksikan korelasi antara ”aku” dan yang-lain, beragam bentuknya, mulai dari Monisme
yang mutlak tidak mengakui yang-lain sebagai substansi-substansi lain sama sekali. Bagi
monisme korelasi antara kesadaran ”aku” dengan yang-lain, sepenuhnya merupakan
otonomi subjektif dari ”aku” yang memiliki kesadaran. Tokoh dalam pandangan monisme ini
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
adalah Parmenides seorang filsuf Yunani kuna. Ada juga pandangan yang melalaikan
(ignore) korelasi antara kesadaran ”aku” dengan yang-lain. Sebagaimana Emanuel Kant
salah seorang tokoh filsuf yang menganggap bahwa dunia luar memang diterima, tetapi
sama sekali tidak diketahui hakikatnya. ”Aku” menerima kesan-kesan dari yang-lain, tetapi
kesan-kesan itu diklasifikasikan menurut ”forma e apriori” (bentuk penegasian kesadaran
subjek) di dalam diriku, sehingga relasi yang tepat terhadap yang-lain tidak diketahui. Begitu
juga fenomenologi Husserl, melalaikan (ignore) terhadap yang-lain karena secara ketat
menyelidiki fenomena yang disadari sejauh yang disadari oleh sebab sifat intensionalitasnya
dengan mendarat kepada fenomena dan membiarkan fenomena yang-lain membuka diri.
Pandangan yang lebih seimbang dalam refleksi filsafat tentang yang-lain dapat
dilihat dalam refleksi eksistensialisme. Bagi eksistensialisme, ’ada’ku justeru karena
kebersamaanku dengan yang-lain. ”Aku” dan ’yang-lain’ saling memberi arti dan nilai, dan
saling menciptakan. Salah satu tokoh terpenting dalam menghadirkan eksistensialisme
sebagai salah satu refleksi filsafat tentang manusia adalah Martin Heidegger seorang tokoh
filsuf yang melahirkan murid-murid eksistensialis sebperti Sartre, Marcuse, Arent dll. Oleh
sebab itu, ada baiknya jika dalam kesempatan ini, sebagai penggugah untuk melihat
korelasi antara kesadaran manusia tentang ”aku” subjektif dengan ’yang-lain’ kita
deskripsikan melalui refleksi pemikiran filsafat Martin Heidegger.
Refleksi Heidegger mengenai kesadaran ’aku’ dengan ’yang lain’
Manusia dalam refleksi filsafat Heidegger adalah sesuatu yang sudah terjebak ‘di
sana’, di dalam dunia. Untuk pengertian tentang manusia itu Ia mengganti sebutan manusia
dengan Dasein, yang dalam bahasa Jerman berarti da=disana, sein=ada, artinya manusia
itu sudah ada disana.
Ciri dasar manusia bagi Heidegger adalah adalah bahwa manusia Ada-di-dalamdunia (in-der-welt-sein). Dunia yang dimaksud bukan bumi atau alam semesta saja, tapi juga
dari sudut pandang dasein bahwa dunia adalah suatu tempat untuk dimukimi (bewohnt).
Daseinlah yang mampu menduniakan tempat ia berada, misalnya; dunia pelajar, dunia
anak-anak, dunia Filsafat dll. Sedang kata “dalam” pada ada-di-dalam-dunia, bukan
maksudnya terletak pada suatu tempat, melainkan entity sebagai sebuah keseluruhan atau
keterlibatan dalam mana ia dilemparkan. Misalnya kita menggambarkan si-X ‘dalam’ puncak
kenikmatan saat si-X mengeluarkan cairan ketika orgasme, kata ‘dalam’ disini bukan terletak
tapi keterlibatan dasein akan dunianya. Ciri ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein) ini juga
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sebangun dengan dasein itu sendiri, karena kita mungkin kesulitan membayangkan dasein
dengan ciri ada-juga-yang-bisa-di-luar-dunia karena melampaui “ada” dasein itu sendiri.
Ada-di-dalam-dunia juga berarti mengandaikan hubungan dasein dengan mengadamengada lain. Dunia dasein adalah juga dunia bersama (mitwelt). Ada-dalam adalah juga
Ada-dengan yang lainnya. Hal itu adalah Ada-dalam-dunia-bersama-dasein lain yang juga
berarti bersama-ada-disana (mit dasein).
Ada tiga macam mengada yang selalu berhubungan dengan dasein dengan cara
berada yang berbeda-beda satu sama lain maupun dengan dasein sendiri. Alat-alat
(zuhandenes), benda-benda yang bukan alat (vorhandenes), dan dasein lain (mit-dasein).
Kita dapat merasakannya jika kita memandangi sebuah peristiwa dalam satu waktu.
Peristiwa diskusi tatap muka dikampus misalnya, pena dan buku serta meja dan kursi
diruangan kita berbeda dengan air hujan dan bebatuan diluar ruang. Yang pertama
merupakan alat-alat dari produk cultural (zuhandenes), sedang yang kedua adalah bendabenda alamiah yang tergeletak begitu saja (vorhandenes). Yang membedakan kedua benda
tersebut adalah cara mengadanya. Zuhandenes secara harafiah berarti ‘siap-untuk-tangan’.
‘Ada’ alat-alat ini menurut Heidegger berstruktur ‘supaya’ atau ‘untuk’ (um-zu) bagi dasein,
sesuatu yang kehilangan cirinya sebagai ‘untuk sesuatu’ atau netral terhadap keterlibatan
kita akan kehilangan ada-nya sebagai zuhandenes, pena yang tidak terpakai karena
tintanya sudah habis misalnya. Keterlibatan praktis dasein dengan alat-alat ini disebut
mengurus (besorgen). Pandangan yang menyeluruh dan artikulasi atas seluruh system
acuan itu disebut melihat sekeliling (umsicht), jika ada gangguan, misalnya penanya macet
atau kursinya basah, maka seluruh system acuan yang diandaikannya begitu saja akan
tersingkap dan disadari.
Mengada yang ketiga adalah mitdasein yang berarti bersama-ada-disana, dalam hal
ini dasein berhubungan dengan dasein lain atau orang lain. Kontak dengan mitdasein terjadi
lewat besorgen (dalam mengurus zuhandenes dan vorhandenes), cara mengadanya
berbeda dengan mengada lain, ia tidak diurus atau ditangani melainkan mendapat
pemeliharaan atau perhatian (fursorgen). Cara berhubungan dasein sebagai dalam Adadalam-dunia dapat dijelaskan lewat kolom seperti di bawah ini;
2015
Adaan / mengada
Istilah sehari-hari
(Seinde)
Cara
adaan
Sikap Dasein
/mengada
sehari-hari
(Seinart)
Zuhandenes
Untuk-sesuatu
(um-zu)
3
Alat-alat
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengurus/
menangani
(Besorgen)
Vorhandenes
Benda-benda yang Tersedia
bukan alat-alat
saja
begitu Tanpa
menangani
Mitdasein
Sesama
Dasein
Ada-bersama
atau
(Mitsein)
manusia/orang lain
minat
Merawat/memelihara
(Füsorge)
Diambil dari: Hardiman, Heidegger dan mistik keseharian, 2003: hal 60.
Jika tabel diatas berfungsi untuk menunjukkan cara dasein berhubungan dalam Adadalam-dunia, maka berikut adalah diagram untuk menjelaskan struktur eksistensi Adadalam-dunia yang menunjukkan multiplisitas hubungan dasein di-dalam-dunia.
Dasein
lain
Dasein
lain
Demi sesuatu
Kemungkinan Ada-dasein
Towards-wich (work)
Satu dasein yang berkarya
Alat-alat
Alat-alat
Diambil dari: Gahral, Matinya metafisika barat, 2001, hal 66; lihat juga
Polt, Heidegger; An Introduction, 1999: hal 61
Keterangan diagram diatas dimana; Dunia adalah totalitas fungsi-fungsi, tugas-tugas
(reference) yang direpresentasikan dengan panah-panah dalam diagram.
Cara berada mitdasein itu disebut Heidegger sebagai das man (orang lain).
“kebersamaan”, menurut heidegger “habis-habisan melarutkan kenyataan sendiri kedalam
cara berada ‘orang-orang lain’, sedemikian rupa sehingga perbedaan dan kekhasan ‘orangorang lain’ malah lenyap. Didalam keumuman dan kerata-rataan ini das man
mengembangkan kediktatorannya sendiri; kita membaca, melihat dan menilai karya sastra
dan seni seperti orang melihat dan menilainya; kita menarik diri dari ‘kerumunan besar’
seperti orang’; kita merasa gusar juga seperti orang merasa gusar”. Kita larut dalam
kebersamaan bersama mitdasein (dasein lain) dan ini yang kemudian membentuk dunia.
Dalam hal ini dasein kehilangan maknanya. Jika dasein sepenuhnya melarutkan diri dengan
cara mengada das man, maka dasein terasing dari ‘ada’nya. Ini yang kemudian disebut
heidegger dengan kesadaran in-otentik sebagai larut dalam keseharian. Namun dasein tak
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bisa sepenuhnya berhadap-hadapan dengan ‘ada’nya karena cirinya yang in-der-welt-sein
(ada-di-dalam-dunia). Akan tetapi ada satu momen yang membuat ‘ada’ tersingkap
berhadapan dengan dasein, jika kemudian dasein melompat dari patahan keseharian,
misalnya si-x stress dalam kesehariannya dan merenung memikirkan nasibnya. Ini yang
disebut Heidegger sebagai momen otentik, dan disini dasein kemudian akan menemukan
sebuah suasana hati mendasar yang menunjuk pada kekosongannya, di sini ia bertemu
dengan ‘ada’nya. Suasana hati itulah yang nanti dibicarakan Heidegger kemudian dalam
menyingkap ‘ada’ (‘ada’ merupakan keumuman metafisik dari ‘aku’ subjektif), ialah angst
(kecemasan) suasana hati tanpa objek ia ditala dan bergerak menuju ada. Jika dihubungkan
dengan horizon temporalitas, di sini dasein menemukan kemungkinannya dalam ketiadaan,
ada menuju kematian (sein zum tode). Heidegger menggambarkan dua momen sikap
desein ini dengan kata yang begitu puitis. “manusia itu benar sekaligus palsu. Bukan karena
orang sengaja menjadi benar sekaligus palsu, malainkan karena ‘ada’ manusia itu sendiri
tidak tersingkap seluruhnya seperti juga tidak seluruhnya terselubung”.
Seluruh hubungan dasein dalam Ada-dalam-dunia menandakan bahwa dasein jauh
berbeda dengan terletaknya entitas lain dalam dunia. Bagi dasein, dunia tidak sama dengan
bumi atau alam-semesta belaka, melainkan dunia yang dalam sudut pandang dasein
sebagai suatu tempat untuk dimukimi. Bahwa dasein Ada-dalam-dunia, adalah bermukim di
dunia. Ia kerasan dan memukimi dunianya, inilah korelasi yang lebih seimbang dari “aku”
subjektif yang direfleksikan sebagai dasein dan yang-lain atau yang dipahami Heidegger
sebagai seinde yakni adaan-adaan lain diluar dasein (diluar manusia).
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Baker, Anton, 2000, Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisius
Gahral, Adian, Donny,.2002, Martin Heidegger; Seri Tokoh Filsafat, Teraju: Jakarta.
Hardiman, F, Budi,. 2003, Heidegger dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar
Menuju Sein und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Heidegger, Martin, 1962,. Being and Time (terj. John Macquarrie & Edward
Robinson), Harper & Row Publishers: New York
Polt, Richard, 1999, Heidegger: an Introduction, Cornell University Press: New
York.
Richardson, William J, S.J, 1974, Heidegger: Through Phenomenology to Thought,
Martinus Nijhoff, The Hague: Netherlands.
2015
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir., Firman Alamsyah
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download