presentasi kasus hipotiroid kongenital

advertisement
PRESENTASI KASUS
HIPOTIROID KONGENITAL
Narasumber :
dr. Bambang Tridjaja, Sp. A(K)
Disusun oleh :
Riska Wahyuningtyas (0906487940)
Modul Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Anak dan Remaja
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2014
1
Pernyataan Plagiarisme
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa sajian kasus tentang
“Hipotiroid kongenital” ini disusun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Adapun jika kemudian saya terbukti melakukan tindakan plagiarisme saya akan
bertanggungjawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, Maret 2014
Riska Wahyuningtyas
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1. Identitas Pasien
a. Nama
: An. A
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. Tanggal lahir
: 9 Mei 2007
d. Usia
: 6 tahun 10 bulan
e. Alamat
: Pulo gebang
f. Nama Orang Tua
: Tn. C
g. Nama Pengasuh
: Ny. I (ibu pasien)
h. Alamat
: Pulo gebang
i. Pekerjaan
: Sopir
j. Anak ke-
: 1 (satu)
k. Tanggal pemeriksaan
: Senin, 17 Maret 2014
l. Tempat pemeriksaan
: Poliklinik Rumah Sakit Persahabatan(RSP), Jakarta
2. Anamnesis (alloanamnesis Ibu pasien)
a. Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan kulit tangan,dan kaki kering serta kasar sejak 3
bulan sebelum kunjungan (pasien kontrol rutin setiap bulan)
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Saat kunjungan pasien datang dengan keluhan kulit yang kasar dan kering pada
kedua tangan dan kaki sejak 3 bulan sebelum kunjungan. Tidak ada rasa gatal,
namun muncul bintik-bintik merah pada kulit tersebut hingga ke wajah. BAB
lancar dan teratur 1x/hari, tidak keras dan tidak cair, BAK tidak ada gangguan
warna kekuningan, gangguan pendengaran tidak ada menurut ibu pasien pasien
dapat menengok jika dipanggil, nafsu makan baik dan frekuensi teratur 3x/hari
dengan makanan rumah.
Berdasarkan anamnesis dengan ibu pasien, pasien dan ibunya datang dengan
maksud kontrol rutin dan mengambil obat yang rutin diminum oleh pasien
3
sejak 5 tahun lalu. Pasien sebelumnya sudah dirujuk ke RSCM sejak 1 sebelum
kunjungan dengan permintaan pemeriksaan lebih lanjut untuk hipotiroid
kongenital. Awalnya pasien datang ke RSP pada tanggal 8 Maret 2013 dengan
keluhan batuk, pilek dan demam sejak 1 minggu sebelumnya. Batuk awalnya
tidak disertai dahak, namun menjadi berdahak warna putih kemudian. Demam
biasanya tidak terlalu tinggi menurut keterangan ibu pasien, selain itu demam
juga tidak banyak berubah pagi maupun sore hari. Pada saat itu pasien juga
diketahui sulit makan dan berat badan tidak naik selama hampir 1 tahun. Tidak
ada riwayat diare maupun muntah sebelumnya.
Pasien pernah didiagnosis hipotiroid kongenital di RS Dr. Djamil Padang pada
saat berusia 1 tahun. Pada saat itu pasien dirawat dengan keluhan batuk, sesak
napas, BAB cair dan demam yang tidak tinggi. Berat badan saat berusia 1
tahun tersebut adalah 5,7 kg dan tinggi badan 71 cm. Pasien kemudian dites
fungsi tiroid oleh dokter anak di RS tersebut karena penampakan wajahnya
tampak berbeda dan aneh. Selain itu, kepala pasien juga terlihat lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran normal pada anak seusianya (lingkar kepala 42
cm). Pemeriksaan hormon tiroid menunjukkan hasil rendahnya hormon tiroid,
sehingga sejak saat itu pasien diberikan obat hormon terapi tiroid 1 x 30 µg.
Saat pasien berusia 4 tahun 9 bulan pasien dirawat kembali ke RS Dr. Djamil
Padang dengan keluhan yang sama seperti sebelumnya. Terapi hormon tiroid
tetap diberikan kepada pasien dengan dosis 1 x 40 µg. Berat badan saat usia 4
tahun 9 bulan tersebut adalah 9,5 kg dan tinggi badan 86 cm.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Sesaat setelah lahir pasien tampak biru dan tidak menangis, riwayat batuk lama
sebelumnya disangkal, riwayat sesak dengan bunyi mengi disangkal, riwayat
infeksi saluran pernapasan berulang ada. Pada saat pasien usia 1 tahun infeksi
saluran pernapasan pada pasien diberi pengobatan berupa cefixim 2 x 30 mg
dan apyalis 1 x 1 sendok teh. Sedangkan infeksi saluran pernapasan pada usia
4 tahun 9 bulan diberi pengobatan amocillin 3 x 250 mg dan kloramfenikol 4 x
175 mg.
4
d. Riwayat Keluarga:
Sepupu pasien dari pihak ibu memiliki gambaran wajah yang hampir sama
dengan pasien. Riwayat tuberkulosis dalam keluarga disangkal. Riwayat
penyakit gondok pada keluarga disangkal. Tinggi badan ayah 165 cm, tinggi
badan ibu 155 cm.
e. Riwayat Kehamilan:
Ibu pasien mengandung pasien saat berusia 25 tahun. Selama masa kehamilan,
ibu pasien pernah sakit pinggang dan diberikan obat antinyeri lewat anus, sakit
gigi cukup lama dan diobati dengan obat antinyeri puyer dari warung. Riwayat
konsumsi obat-obatan lain seperti obat antitiroid, jamu, maupun alkohol saat
hamil disangkal. Sejak usia kehamilan 3 bulan, ibu pasien rutin memeriksakan
kandungannya ke bidan tiap 1 bulan, rutin minum vitamin penambah darah dan
asam folat. Riwayat foto rontgen atau terpapar radiasi lainnya selama hamil
disangkal.
f. Riwayat Kelahiran:
Pasien lahir spontan, dibantu oleh bidan. Saat lahir, pasien tidak langsung
menangis, tampak biru, namun tidak tampak kuning. Berat lahir 2700 gram,
panjang lahir 49 cm, tetapi ibu pasien lupa ukuran lingkar kepala pasien.
g. Riwayat Imunisasi:
Pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap antara lain Hepatitis B sebanyak
2 kali, BCG sebanyak 1 kali, Polio sebanyak 3 kali, DTP sebanyak 3 kali, dan
Campak sebanyak 2 kali.
h. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan hanya mendapatkan ASI pada usia 1 hari. ASI kemudian
tidak diteruskan karena pasien selalu mengeluarkan ASI tersebut setelah
diisap, sehingga ibu pasien memberikan susu formula SGM sejak bayi berusia
2 hari hingga 2 tahun. MP-ASI dimulai saat berusia 7 bulan.
Riwayat nutrisi saat ini:
Sarapan pagi
: Nasi + telur goreng (terkadang pakai tahu)
Makan siang
: Nasi + Ikan/Ayam/Daging (kadang dengan sayur)
5
Makan malam : Nasi + Ikan/Ayam/Daging (tanpa sayur) + Susu
Pasien jarang mengonsumsi buah-buahan dan malas makan sayur.
i. Riwayat Tumbuh Kembang:
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien dulu rutin dibawa ke Puskesmas untuk
imunisasi dan selama pasien berkunjung dikatakan mengalami pertumbuhan
yang kurang, pasien tampak kurus dan tidak banyak bertambah berat
badannya. Adapun saat ini tinggi badan pasien kurang dibandingkan dengan
teman sebayanya yang perempuan. Pada saat pasien berusia 1 tahun berat
badan 5,7 kg dan tinggi badan 71 cm. Sedangkan saat berusia 4 tahun 9 bulan
berat badan 9,5 kg dan tinggi badan 86 cm.
Pasien dapat tengkurap sejak usia 8 bulan, duduk sejak 3 tahun, berdiri sejak 6
tahun, berjalan sejak 6,5 tahun, bicara kata-kata sejak 3 tahun dan sampai saat
ini belum bisa membaca maupun menulis. Pasien belum mulai bersekolah.
Saat akan mulai daftar ke sekolah pasien diminta untuk tes IQ, namun sampai
saat
ini
belum
dilakukan.
Pasien dapat
mengikuti
perintah, dapat
menggenggam benda-benda kecil dan dapat bermain bersama ibunya.
j. Riwayat Pubertas
Belum terdapat pertumbuhan payudara, menstruasi maupun tumbuhnya rambut
di kemaluan pada pasien.
3. Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada 17 Maret 2014)
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Ringan
Kesadaran
: Kompos mentis
Tanda Vital
Frekuensi Nadi
: 90 kali/menit, regular, isi cukup
Frekuensi Nafas
: 20 kali/menit, regular, kedalaman cukup,
torako-abdominal
Tekanan Darah
: 100/60 mmHg
Suhu
: 370C per aksilla
Status Antropometri
Berat Badan
: 14,5 kg
6
Tinggi Badan
: 97 cm
Lingkar Lengan Atas
: Tidak diperiksa
Status Gizi
BB/U
: di bawah persentil 3
TB/U
: di bawah persentil 3
BB/TB
: 14,5/15 x 100% = 96,7%
Keadaan Gizi
: Gizi baik dengan stunting
Kepala
: Tidak ada deformitas, terdapat rambut berwarna hitam yang tidak
mudah dicabut dan tersebar merata, ubun-ubun besar datar
Wajah
: Tampak dismorfik
Mata
: Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, refleks
cahaya langsung positif, refleks cahaya tidak langsung positif, gerakan bola mata
normal, Pupil isokor dengan diameter 3 mm
Telinga
: Tidak ada deformitas, tidak tampak hiperemis, terdapat serumen
dalam liang telinga sehingga membran timpani sulit dinilai
Hidung
: Batang hidung rata, dasar hidung lebar, tidak ada edema konka,
tidak ada sekret atau darah, dan tidak ada deviasi septum.
Mulut
: Oral hygiene baik, tidak ada gigi berlubang, tidak ada oral thrush,
mukosa lembab
Lidah
: Lidah tampak besar, terletak di tengah, gerakan lidah baik, dan tidak
terdapat tremor saat lidah terjulur
Tenggorokan : Tonsil tidak hiperemis, simetris T1/T1, arkus faring simetris dengan
uvula di tengah.
Leher
: Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening;
Dada
Jantung
I
: Iktus kordis tidak terlihat
P
: Iktus kordis teraba di sela iga V 1 jari medial midklavikula kiri
P
: Batas jantung normal
A
: Bunyi jantung I dan II normal, tidak ada gallop maupun murmur
Paru
I
: Simetris saat inspirasi maupun ekspirasi
7
P
: Ekspansi dada kanan dan kiri simetris, fremitus kanan sama dengan
fremitus kiri
P
: Sonor/sonor
A
: Vesikuler di seluruh lapang paru, tidak ada ronkhi maupun wheezing
Abdomen
: Datar, lemas, tidak terdapat nyeri tekan maupun nyeri lepas,
tidak teraba pembesaran hati maupun limpa, bising usus normal 3 kali/menit
dengan intensitas rendah, hernia umbilikalis (+)
Genitalia
: Belum terdapat rambut pubis. Tidak ada deformitas, laserasi maupun
fisura pada genitalia eksterna.
Anggota Gerak: Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema.
Neurologis
: Kemampuan motorik dan sensorik baik, Refleks fisiologi +2, dan
tidak terdapat refleks patologis
4. Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan Laboratorium:
Darah Perifer (27 Februari 2013):
Hb 12,2 g/dl; leukosit 6.000 /µL; trombosit 239.000/mm3; Diff.count
0/1/0/85/12/2
Analisa Gas Darah (27 Februari 2013):
pH 7,38; pCO2: 32 mmHg; pO2: 23 mmHg; HCO3: 18,9 mmHg; BE: -5,5;
SaO2: 89%; Na: 126; K: 4,1; GDS 148 mg/dL.
Imunoserologi :
24 Juni 2013  fT4 15,14 µmol/L(9-20); TSH 2,48 ulU/ml (0,35-4,94)
8 Maret 2013  fT4 4,97 µmol/L(12-22); TSH 0,82 ulU/ml (0,27-4,2)
b. Pemeriksaan Ekokardiografi (14 Februari 2014)
Atrial situs solitus, AV-VA concordance, normal pulmonary and systemic vein
drainage, balance 4 chambers, patent foramen ovale left to right shunt, trivial
tricuspid regurgitation, semilunar valves are normal, no VSD/PDA seen, left
aortic arch, no coarctation aorta, well contracting ventricles, mild pericardial
effusion.
Kesan : Paten foramen ovale, efusi perikardial ringan.
8
5. Diagnosis :
-
Hipotiroid kongenital
-
Stunting
-
Delayed development
-
Riwayat Failure to Thrive
-
Dry skin
-
Paten Foramen Ovale, Efusi perikardial ringan
6. Tatalaksana
:
 L-Tiroksin 1 x 50 µg per per oral
 Vaselin krim 2x/hari setelah mandi
 Pemeriksaan fungsi pendengaran: garputala, BERA, audiometri
 Pemeriksaan Intelectual Quotient (IQ)
 Pemeriksaan ekokardiografi 6 bulan lagi
 Rujuk ke rehabilitasi medik
 Pemeriksaan profil hormon tiroid (fT4 dan TSH rutin tiap bulan)
7. Prognosis

Ad vitam: bonam

Ad sanactionam: dubia ad malam

Ad functionam: dubia ad malam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak pada leher, di bawah laring. Kelenjar ini terdiri atas
lobus kanan dan lobus kiri yang dihubungkan oleh isthmus. Terdapat pula lobus
yang berbentuk piramidal yang terletak di atas isthmus. Berat normal dari kelenjar
tiroid sekitar 30 gram. Tiroid merupakan organ yang mendapatkan vaskularisasi
yang cukup banyak (80-120 ml tiap menit), tiroid superior dari cabang-cabang arteri
karotis eksterna dan tiroid inferior berasal dari cabang-cabang arteri subklavia.1,2
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid1
Secara mikroskopis, kelenjar tiroid tersusun atas folikel tiroid, yang
dindingnya terdiri atas sel-sel folikular. Sel folikular berperan dalam menghasilkan
hormon tiroksin/tetraiodotironin (T4) dan
triiodotironin (T3) yang disebut sebagai
hormon tiroid. Di antara folikel terdapat sel C
atau
sel
parafolikular
menghasilkan
hormon
membantu
meregulasi
yang
berperan
kalsitonin,
yang
homeostasis
kalsium.2,3
Gambar 2. Folikel Tiroid2
10
Sintesis dan sekresi hormon tiroid terdiri
atas proses kompleks (Gambar 3). Sel-sel
folikular mengambil ion iodida di darah
dan mensintesis tiroglobulin. Kemudian
ion iodida akan dioksidasi menjadi
iodine. Iodine akan bereaksi dengan
tirosin membentuk monoiodotirosin (T1),
dan iodinisasi kedua akan menghasilkan
diiodotirosin (T2). Setelah itu, akan
terjadi penggabungan antara T1 dan T2
membentuk
triiodotirosin
(T3),
dan
penggabungan T2 dan T2 membentuk
tetraiodotirosin (T4). Kemudian T3 dan
T4 akan disekresikan ke dalam darah,
dan ia akan berikatan dengan protein
transpor yang dikenal dengan thyroxinebinding globulin (TBG).2,3
Gambar 2. Sintesis Hormon Tiroid2,3
Regulasi Fungsi Tiroid
Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH)
TRH merupakan suatu tripeptida, piroglutamil-histidil-prolineamida, disintesis oleh
neuron dalam nuklei supraoptik dan supraventrikuler dari hipotalamus. Hormon ini
disimpan di eminensia mediana dari hipotalamus dan kemudian diangkut melalui
sistem venosa portal hipofisis ke batang hipofisis ke kelenjar hipofisis anterior, di
mana ia mengendalikan sintesis dan pelepasan dari TSH. TRH juga berfungsi
sebagai suatu neurotransmiter.3,4
TRH dimetabolisme dengan cepat, dengan waktu paruh hormon yang diberikan
secara intravena sekitar 5 menit. Kadar TRH plasma pada orang normal sangat
rendah, berentang dari 25 hingga 100 Pg/mL.4
11
Thyroid-Stimulating Hormone (TSH)
Regulator utama fungsi tiroid adalah TSH, suatu hormon glikoprotein yang
disekresikan oleh hipofisis. TSH menstimulasi fungsi dan pertumbuhan kelenjar
tiroid dengan berikatan pada reseptor spesifik yang berlokasi di basal membran
plasma. TSH juga menstimulasi proliferasi dan pertumbuhan sel folikular. Sekresi
TSH dipengaruhi oleh umpan balik positif TSH-releasing hormone (TRH) dan
umpan balik negatif hormon tiroid.3
TSH mempunyai banyak aksi pada sel tiroid. Sebagian besar dari aksinya
diperantarai melalui sistem G protein-adenilil siklase-cAMP, tetapi aktivasi dari
sistem fosfatidilinositol (PIP2) dengan peningkatan dari kalsium intraselular dapat
juga terlibat. Aksi utama dari TSH antara lain : mempengaruhi perubahan morfologi
sel tiroid; pertumbuhan sel; metabolisme Iodin; peningkatan mRNA untuk
tiroglobulin dan peroksidase tiroidal dengan suatu peningkatan pemasukan I ke
dalam MIT, DIT, T3 dan T4; peningkatan aktivitas lisosomal, dengan peningkatan
sekresi T4 dan T3 dari kelenjar; serta stimulasi dari ambilan glukosa, konsumsi
oksigen, produksi CO2, dan suatu peningkatan dari oksidase glukosa via lintasan
heksosemonofosfat dan siklus Krebs.3
Gambar 3. Regulasi Hormon Tiroid2
Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efek transkripsional dari T3 menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada
pertumbuhan jaringan, pematangan otak, dan peningkatan produksi panas dan
12
konsumsi oksigen yang sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+
ATPase. Aksi dari T3 tidak genomik, antara lain : penurunan dari deiodinase-5' tipe
2 hipofisis dan peningkatan dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek
spesifik dari hormon tiroid diringkaskan berikut ini.4
1.
Perkembangan Janin
Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia
sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan Iodida.
Karena kandungan plasenta yang tinggi dari deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3
dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas
mencapai sirkulasi janin. Walaupun sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa
adanya sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan pematangan skeletal
jelas terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan dwarfisme/cebol).4
2.
Konsumsi Oksigen, Produksi Panas, dan Pembentukan Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi
Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan
pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan
saat istirahat) dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme.
Hormon tiroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida, menimbulkan
peningkatan pembentukan radikal bebas anion superoksida. Hal ini dapat berperan
pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme kronik.4
3.
Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat α miosin dan menghambat rantai
berat β miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan
transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi
diastolik jantung, mengubah isoform dari gen Na+-K+ ATPase gen, dan
meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein G. Dengan demikian,
hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap
jantung. Hal ini merupakan penyebab dari peningkatan nadi yang nyata pada
hipertiroidisme dan kebalikannya pada hipotiroidisme.3
4.
Simpatik
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta dalam otot
jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Hormon tiroid juga
menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial, serta dapat memperbesar aksi
katekolamin pada tempat pascareseptor. Sehingga, kepekaan terhadap katekolamin
13
meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan
penyekat adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardia
dan aritmia.3,4
5.
Paru-paru
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal pada
pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, terkadang
memerlukan ventilasi bantuan.4
6.
Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun, volume
darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan peningkatan penggantian
eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit,
memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan
O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme.4
7.
Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbulkan peningkatan
motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus serta
konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan
berat badan yang sedang pada hipertiroidisme dan pertambahan berat pada
hipotiroidisme.4
8.
Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorpsi tulang, dan pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat
menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat, hiperkalsemia
sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi hidroksiprolin urin dan hubungansilang pyridinium.4
9.
Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein
struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan
kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan kreatinuria
spontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot,
secara klinik diamati adanya hiperefleksia pada hipertiroidisme atau sebaliknya pada
hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal dari
14
susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta kelambanan pada
hipotiroidisme dapat mencolok.4
10. Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis hati, serta
absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi
diabetes melitus primer. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu
peningkatan dari reseptor low-density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar
kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Sebaliknya, kadar
kolesterol meningkat pada hipotiroidisme.4
11. Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan
obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah sekitar 100
menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid, sekitar 150 menit
pada pasien hipotiroid. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien
hipertiroid; dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar
hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada seorang pasien dengan insufisiensi
adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon tiroid dari hipotiroidisme
dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal. Ovulasi dapat terganggu pada
hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan infertilitas, yang dapat
dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin serum meningkat
sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme, kemungkinan suatu manifestasi dari
peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan kembali normal dengan terapi T4.3,4
2.2 Hipotiroid Kongenital
Definisi
Hipotiroid adalah keadaan yang disebabkan oleh kurangnya produksi hormon tiroid
atau kelainan aktivitas reseptor hormon tiroid.5 Hipotiroid kongenital atau dikenal
juga sebagai kretin sporadik merupakan gangguan yang disebabkan oleh kegagalan
kelenjar tiroid janin dalam memproduksi hormon tiroid secara cukup karena berbagai
macam sebab. Adapun yang disebabkan oleh defisiensi yodium disebut dengan
kretin endemik.6
15
Epidemiologi
Prevalensi hipotiroid kongenital di dunia mendekati 1:3000 dengan prevalensi tinggi
sekali pada daerah yang kekurangan yodium yaitu sekitar 1:900. Di Indonesia hasil
skrining bayi dengan hipotiroid kongenital mencapai 1 dari 4.305 bayi lahir hidup.
Pada sindrom Down, insiden hipotiroid kongenital lebih tinggi, yaitu 1:141.
Perempuan memiliki prevalensi lebih besar dibandingkan laki-laki yaitu 2:1.5,6
Patogenesis6
Kelenjar tiroid mulai berkembang pada umur 24 hari gestasi sebagai suatu
divertikulum, yaitu suatu pertumbuhan dari endoderm pada bucopharyngeal cavity.
Kelenjar tiroid yang berkembang turun pada leher anterior, pada brachial pouches
ke-4 dan mencapai posisi orang dewasa setinggi C5-7 pada minggu ke-7 gestasi.
Proses migrasi dari faring posterior ke leher anterior ini dapat terhanti yang
mengakibatkan timbulnya kelenjar tiroid ektopik.
Pada umur gestasi 10-11 minggu. Kelenjar tiroid fetal sudah mampu menghasilkan
hormon tiroid, namun kadarnya masih sedikit. Saat gestasi 18-20 minggu, kadar
T4(tiroksin) dalam sirkulasi fetus sudah mencapai kadar normal, pada mas ini aksis
pituitari-tiroid fetal secara fungsional sudah bebas dari pengaruh aksis pituitari-tiroid
maternal. Produksi T3 (triiodotironin) tergantung dari maturasi enzim deiodinase
hepar, yaitu sekitar umur 30 minggu gestasi.
Kelenjar tiroid memerlukan tirosin tirosin dan iodium untuk membuat T4 dan T3,
iodium masuk ke dalam sel folikel kelenjar tiroid dengan cara transport aktif. Di
dalam sel, iodium akan dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase menjadi iodida.
Kemudian terjadi organifikasi, yaitu iodida akan berikatan dengan molekul tirosin
sehingga terbentuk monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT). Kemudian
terjadi proses coupling. Dua molekul DIT akan membentuk tetraiodotironin=tiroksin
(T4) dan satu molekul MIT dengan satu molekul DIT akan membentuk triiodotironin
(T3). Tiroglobulin dengan T3 dan T4 berikatan dan disimpan dalam lumen folikel.
TSH akan mengaktifkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan ikatan T3
dan T4 dari tiroglobulin. T4 merupakan hormon utama yang diproduksi dan
dilepaskan oleh kelenjar tiroid dan hanya 10-40% dari T3 dalam sirkulasi yang
16
dilepaskan oleh kelenjar tiroid, sedangkan sisanya dihasilkan dari proses
monodeiodonisasi dari T4 di kelenjar perifer.
T3 merupakan mediator utama yang mempunyai efek biologis dari kelenjar tiroid
dengan mengadakan interaksi dengan receptor nuclear specific. Bila terjadi
abnormalitas dari reseptor tersebut mengakibatkan terjadinya hormon tiroid resisten.
Pemeriksaan T3 dilakukan apabila dicurigai adanya resisten hormon tiroid yaitu
ditemukannya gejala klinis hipotiroid namun kadar T4 dan TSH normal, serta
dibuktikan tidak adanya kelainan kadar T3.
Pengaruh kadar hormon tiroid ibu terhadap fetus sangat minimal, tapi penyakit tiroid
ibu dapat mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid fetus atau neonatus. Hormon T4 dapat
melewati plasenta secara bebas, sedangkan hormon-hormon tiroid lain tidak.
Autoantibodi IgG pada ibu penderita tiroiditis autoimun dapat melewati plasenta dan
akan menghambat fungsi kelenjar tiroid fetus. Tiamin yang dipakai untuk terapi
hipotiroid dapat memblok sintesis hormon tiroid fetal, tapi kebanyakan hal ini
bersifat transien. Iodium radioaktif yang dipakai ibu hamil akan merusak kelenjar
tiroid fetus secara permanen. Obat-obat lain yang mempengaruhi kelenjar tiroid
antara lain litium, estrogen, testosteron, salisilat, dan antikonvulsan (karbamazepin,
fenobarbital, difenilhidantoin, fenitoin).
Hormon tiroid memberikan efek yang luas pada pertumbuhan, perkembangan dan
metabolisme, termasuk perubahan konsumsi oksigen, metabolisme protein,
karbohidrat, lipid dan vitamin. Hormon tiroid diperlukan untuk pertumbuhan otak
dan proses mielinisasi dari sistem konektivitas jaringan saraf. Periode kritis terbesar
untuk perkembangan otak akan dipengaruhi hipotiroid, yaitu pada beberapa minggu
atau bulan setelah lahir.
Klasifikasi dan Etiologi6
Penyebab terjadinya hipotiroid kongenital adalah kekurangan hormon tiroid pada
bayi baru lahir oleh karena kelainan pada kelenjar tiroid seperti tidak adanya kelenjar
tiroid (aplasia), kelainan struktur kelenjar (displasia, hipoplasia), lokasi abnormal
(kelenjar ektopik) atau ketidakmampuan mensintesis hormon karena gangguan
metabolik kelenjar tiroid (dishormonogenesis). Kelainan tersebut dapat terjadi di
17
kelenjar tiroid sehingga disebut hipotiroid kongenital primer, dan jika terjadi di otak
(hipofisis atau hipotalamus) maka disebut hipotiroid sekunder atau tersier.
Kekurangan hormon tiroid juga dapat bersifat sementara (transient) seperti pada
keadaan defisiensi yodium, bayi prematur maupun penggunaan obat antitiroid yang
diminum ibu.
Berbagai penelitian tentang hipotiroid kongenital telah dilakukan seperti adanya
keterkaitan dengan adanya mutasi pada beberapa gen antara lain mutasi pada gen
NIS yang secara aktif mengatur transpor yodida ke dalam sel folikel tiroid, mutasi
pada gen tiroid peroksidase (TPO), dimana enzim tiroid peroksidase berperan
penting pada biosintesis hormon tiroid, adanya mutasi homozigot pada ekson 7 gen
tiroglobulin, mutasi pada gen yang mengontrol faktor transkripsi, serta mutasi pada
gen tirotropin subunit beta.
Manifestasi Klinis5,6,7
Tanda-tanda klinis dini dari hipotiroid kongenital tidak dapat dikenali dengan mudah
dan pasti, sehingga banyak negara telah menganjurkan dilakukan skrining hormon
tiroid pada neonatus.
Manifestasi klinis dini tersebut antara lain:
1. Gangguan
regulasi
termal,
seperti:
hipotermia, sianosis perifer, ekstremitas dingin
2. Gangguan
gastrointestinal,
seperti:
gangguan makan, distensi abdomen, muntah,
konstipasi
3. Gangguan
neuromuskular,
seperti:
hipotonia, letargi
4. Keterlambatan maturasi skeletal, seperti:
fontanela dan sutura kranialis lebar, epifisis
femoral distal tidak tampak
Gambar 4.
Gambaran klinis pasien
hipotiroid kongenital7
5. Keterlambatan maturasi biokimia yaitu
ikterus
18
Setelah bayi berusia 3 bulan mulai terlihat gambaran kretin sporadik klasik yaitu
suara tangis berat atau parau, lidah membesar, hipoplasia hidung/nasoorbital, kulit
kasar dan kering, hernia umbilikalis, dan refleks tendon menurun serta terlambat
mencapai perkembangan sesuai umur. Setelah anak berusia 6 bulan anak akan
tampak bodoh karena retardasi mental. Pada kurun usia berikutnya di samping
pertumbuhan tinggi badan yang sangat terganggu (cebol) terdapat juga gangguan
neurologik khususnya tanda-tanda disfungsi serebeler, misalnya gangguan
keseimbangan, tremor, disartri, dan lainnya. Apabila hipotiroid kongenital ini tidak
diobati maka akan timbul komplikasi yaitu gangguan tumbuh/short stature,
gangguan perkembangan intelek (intelectual disability/retardasi mental), gangguan
pendengaran dan dekompensasi kordis. Keterlambatan pemberian terapi setiap satu
bulan akan menurunkan IQ 1 poin.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Penegakan diagnosis hipotiroid kongenital adalah berdasarkan gejala klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Apabila diagnosis hanya didasarkan pada gejala klinis
saja maka diagnosis akan terlambat 6-12 minggu atau lebih, sehingga diperlukan
pemeriksaan laboratorium yang mendukung.5
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain pemeriksaan darah rutin/darah
perifer dan fungsi tiroid (TSH, T4 total/TT4 atau T4 bebas/fT4). Kadar TSH normal
di bawah 20-25µU/ml setelah 24 jam pertama kehidupan. Bila kadar TSH antara 2550 µU/ml maka perlu evaluasi lebih lanjut seperti kadar T4. Bila kadar TSH > 50
µU/ml kemungkinan hipotiroid kongenital sangat besar. Kadar TSH yang sangat
tinggi dan kadar fT4 yang sangat rendah kebanyakan karena atireosis/aplasia tiroid.6
Anemia sering terjadi pada pasien hipotiroid dimana jenis anemia normositik
normokrom adalah paling sering, namun kadang juga bisa mikrositik yang
disebabkan karena penurunan absorpsi besi atau makrositik karena defisiensi folat
dan kobalamin. Gambaran sumsum tulang tampak lemak lebih banyak dan
hiposeluler, sedangkan eritropoesis biasanya normoblastik. Pada anemia makrositik
dan susmsum tulang megaloblastik perlu dipikirkan adanya penyakit autoimun
19
sehingga antibodi melawan sel parietal sebagaimana melawan kelenjar tiroid. Terapi
hormon biasanya cukup efektif.6
Pemeriksaan Radiologis6
Pemeriksaan radiologis ditujukan untuk mengetahui beberapa gejala dari hipotiroid
misalnya adanya kardiomegali pada foto toraks, dan umur tulang yang terlambat
(delayed bone age).
Pemeriksaan Sidik Tiroid6
Sintigrafi atau sidik tiroid menggunakan Tc99 atau I123 dapat membantu dalam
menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Tidak adanya uptake radionuclide
memberikan kemungkinan sporadic athyroid hipotiroidism, tiroid ektopik di lingual
atau sublingual.
Ultrasonografi (USG)6
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pengganti sidik tiroid tapi pemeriksaan ini
tidak dapat menentukan adanya tiroid ektopik.
Gambar 5. Bagan Alur Skrining Hipotiroid Kongenital dan Tindak Lanjut8
20
Tatalaksana
Tindakan utama dalam tatalaksana pasien dengan hipotiroid kongenital adalah
diagnosis dini dan replacement therapy hormon tiroid. Waktu yang paling baik
untuk pemberian hormon tiroid adalah bila diagnosis dapat ditegakkan sebelum bayi
berumur 13 hari dan kadar hormon tiroid dalam darah mencapi normal dalam umur 3
minggu.6 Namun demikian beradasarkan pedoman IDAI retardasi mental dapat
dicegah bila hipotiroid ini ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan. Dengan
meningkatkan kadar tiroksin di dalam tubuh maka akan membantu proses mielinisasi
susunan saraf pusat sehingga perkembangan fungsi otak dapat dibantu khususnya
dalam periode perkembangan otak (0-3 tahun).9
Preparat yang diberikan adalah L-tiroksin. Adapun dosis yang diberikan sesuai
dengan usia pasien serta berdasarkan respon klinis maupun laboratorium terhadap
terapi yang diberikan.6
Tabel 1. Dosis pemberian obat L-tiroksin berdasarkan usia9
Usia
Dosis (µg/kg/hari)
0-3 bulan
10-15
3-6 bulan
8-10
6-12 bulan
6-8
1-5 tahun
4-6
6-12 tahun
3-5
>12 tahun
2-4
Kemungkinan hipertiroid perlu diwaspadai pada pemberian awal tiroid (dosis tinggi).
Pemeriksaan yang perlu dilakukan secara berkala antara lain fungsi tiroid (setiap
bulan apabila terdapat perubahan dosis terapi). Efek samping yang dapat muncul
antara lain hiperaktif, kecemasan, takikardia, palpitasi, tremor, demam, dan berat
badan menurun.9
Apabila fase perkembangan kritis otak sudah dilalui, pemantauan dapat dilakukan 3
bulan sekali dengan memperhatikan pertumbuhan linier, berat badan, perkembangan
21
motorik dan bahasa serta kemampuan akademis untuk yang sudah bersekolah.
Apabila terjadi regresi atau stagnasi perkembangan, kepatuhan pengobatan perlu
diselidiki.6
Prognosis10
Diagnosis sedini mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang
lebih baik. Namun demikian, studi menunjukkan bahwa walaupun diterapi sedini
mungkin akan tetap memiliki kelainan intelektual meskipun hanya sedikit.
22
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien perempuan 6 tahun 9 bulan datang dengan keluhan kulit tangan,dan kaki
kering serta kasar sejak 3 bulan sebelum kunjungan (pasien kontrol rutin setiap
bulan). Pasien rutin kontrol dengan keluhan utama saat pertama kali datang dengan
keluhan batuk, pilek dan demam sejak 1 minggu sebelumnya, berat badan tidak naik
dan tinggi badan tidak naik sejak berusia 1 tahun. Pasien sudah didiagnosis
hipotiroid kongenital di di RS Dr. Djamil Padang pada saat berusia 1 tahun. Pada
usia 1 tahun pertama terdapat riwayat failure to thrive dimana berat badan turun
lebih dari 2 persentil utama pada grafik BB berdasarkan usia, terdapat riwayat
infeksi saluran napas (pneumonia) berulang, dan penampakan wajah pada anak
tersebut tampak aneh. Adapun tinggi badan pasien yang tidak naik dibandingkan
dengan teman seusianya juga menjadi salah satu gejala yang muncul hingga pasien
berusia 4 tahun. Sesaat setelah lahir pasien tampak biru dimana kemungkinan
disebabkan oleh adanya kelainan jantung pada pasien. Pada saat bayi pasien juga
tampak malas menetek, tidak mau minum ASI.
Sejak berusia 1 tahun gejala seperti lidah yang besar, wajah yang dismorfik, batang
hidung rata serta dasar hidung lebar, dan hernia umbilikalis mulai tampak pada
pasien. Gejala ini merupakan tanda klasik hipotiroid kongenital yang biasa mulai
muncul sejak usia 3 bulan. Pada bayi baru lahir gejala bisa tidak muncul karena
adanya T4 transplasenta maternal.
Adapun faktor risiko pada pasien ini kemungkinan faktor keluarga, namun tidak
didapatkan faktor lain seperti riwayat sakit gondok atau konsumsi anti tiroid pada
ibu, paparan radiasa ibu saat hamil. Hal ini memang disebabkan karena penyakit ini
muncul secara sporadik.
Akibat kekurangan hormon tiroid yang berkepanjangan (baru diobati sejak usia 1
tahun), maka pada pasien ini risiko untuk mengalami retardasi mental tidak dapat
dihindari. Oleh karenanya, butuh pemeriksaan IQ untuk skrining kuantitas
intelektual pasien terutama sebelum masuk ke sekolah. Selain itu pasien juga telah
mengalami keterlambatan perkembangan (motorik kasar dan bicara) sehingga perlu
23
dilakukan rehabilitasi wicara dan motorik kasar dalam hal ini dirujuk ke dokter
rehabilitasi medik.
Adapun pengobatan yang sudah diberikan kepada pasien sejak usia 1 tahun dengan
L-tiroksin telah memperbaiki profil hormon tiroksin menjadi dalam batas normal,
dari fT4 4,97 µmol/L(12-22); TSH 0,82 ulU/ml (0,27-4,2) pada awal pengobatan
menjadi fT4 15,14 µmol/L(9-20); TSH 2,48 ulU/ml (0,35-4,94) pada pemeriksaan
akhir. Status gizi pasien juga membaik namun demikian tetap diperlukan
pemantauan gizi dan nutrisi setiap bulan.
Sebagai pemantauan komplikasi lain hipotiroid kongenital pada pasien dilakukan
pemeriksaan fungsi pendengaran seperti tes garputala sebagai skrining gangguan
pendengaran, dan pemeriksaan jantung. Hasil pemeriksaan ekokardiografi jantung
menunjukkan terdapat paten foramen ovale dan efusi perikardial ringan.
Tindak lanjut tatalaksana pasien ini adalah diberikan L-Tiroksin 1 x 50 µg per per
oral, vaselin krim 2x/hari setelah mandi untuk keluhan kulit kering dan kasar,
pemeriksaan fungsi pendengaran, pemeriksaan Intelectual Quotient (IQ) karena
pasien sudah dalam usia menjelang sekolah, pemeriksaan ekokardiografi 6 bulan
lagi, rujuk ke rehabilitasi medik untuk terapi keterlambatan perkembangan motorik
dan bicara, serta pemeriksaan profil hormon tiroid (fT4 dan TSH rutin tiap bulan)
sebagai evaluasi pengobatan tiroksin.
Prognosis pada pasien ini, ad vitam bonam karena tidak ada keadaan saat ini yang
mengancam nyawa, ad sanationam dubia ad malam karena saat ini sudah terdapat
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, retardasi mental dan kelainan-kelainan
lain pada penampakan fisik seperti wajah disformik dan lidah yang besar, sehingga
kemungkinan untuk kembali seperti anak normal lainnya kecil walaupun sudah
diobati dengan hormon tiroid. Sedangkan ad functionam dubia ad malam karena
pengobatan pada pasien baru dilakukan sejak usia 1 tahun sehingga kemungkinan
terdapat gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta retardasi mental cukup
besar.
24
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Diagnosis hipotiroid kongenital dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
maupun gejala klinis dan pemeriksaan fisik serta skrining laboratorium. Skrining
profil tiroid menjadi cukup penting terutama pada usia awal bayi karena pada usia
ini gejala klinis tidak jelas, sehingga diharapkan dapat mencegah morbiditas
terutama retardasi mental yang ireversibel.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Graff VD. Human Anatomy. 6th edition. United States of America:
McGrawHill; 2001. p.466
2. Tortora GJ, Derrickson B. Priniples of Anatomy and Physiology. 12th edition.
USA : John Wiley &Sons; 2010. p. 658-61.
3. Brown RS, Huang S. Clinical Pediatric Endocrinology. 5th edition. United
Kingdom: BlackwellPublishing; 2005. p. 218-23
4. Dallas JS, Foley TP. Pediatric Endocrinology. 5th edition. Volume 2. Edited
by Lifshitz F. USA : Informa Healthcare. 2007; p. 415-37
5. Moelyo
AG.
Mengenal
hipotiroid
kongenital.
Diunduh
dari
http://fk.uns.ac.id/.../Mengenal_Kasus-kasus_Endokrin_Ana...%E2%80%8E.
Diakses pada 19 Maret 2014 pukul 05.19 WIB.
6. Kumorowulan S, Supadmi S. Kretin endemik dan kretin sporadik (hipotiroid
kongenital). MGMI 2010; 1(3): 78-119.
7. Ministry of Health Sultane of Oman. Congenital hypothyroidism: Guidelines
for
neonatal
screening
and
management.
Diunduh
dari
www.moh.gov.com/en/mgl/Manual/CONGENITAL%2520HYPOTHYROID
ISM-1.pdf. Diakses pada 19 Maret 2014 pukul 05.32 WIB.
8. Rose SR, Brown RS. Update of newborn screening and therapy for
congenital hypothyroidism. American Academy of Pediatrics 2006; 117:
2290.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis: Hipotiroid
Kongenital. Jakarta:Pengurus IDAI; 2010. p. 125-8.
10. Hanukoglu A, Perlman K, Sharmis I, Brnjac L, Rovet J, Daneman D.
Relationship of etiology to treatment in congenital hypothyroidism. J Clin
Endocrinol Metab 2001; 86: 186-91.
11. CDC. Length for age and weight for age percentiles. Diunduh dari
http://www.cdc.gov/growthcharts. Diakses pada 19 Maret 2014 pukul 20.00
WIB.
26
Lampiran 1. Grafik BB/U dan TB/U CDC Anak Perempuan Usia 2-20 tahun11
27
Lampiran 2. Grafik BB/U dan TB/U CDC Anak Perempuan Usia 0-36 Bulan11
28
Download