PERAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) DALAM MEMBINA MASALAH PEKERJA SEKS KOMERSIL (PSK) DI TANGERANG SELATAN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: KENNI JULIANTARA NIM: 108054100016 PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KAMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M ABSTRAK Kenni Juliantara Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Tangerang Selatan Pekerja Seks Komersial adalah salah satu bagian dari dunia pelacuran yang didalamnya termasuk gigolo, waria, dan mucikari. Fenomena PSK sangat menarik untuk dikaji, dikarenakan fenomena ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena PSK yang bertentangan dengan nilai agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak memadai dari seseorang. Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Dari sini pula lah para Pekerja Sosial Masyarakat berperan menjadi salah satu motivator, stabilitator, dan pendamping sosial terhadap berbagai permasalahan fenomena PSK ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis lebih mendalam terkait berbagai temuan di lapangan terhadap berbagai peran Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan dalam menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi para Pekerja Seks Komersil. Setelah menganalisis lebih mendalam berdasarkan berbagai temuan dan fakta di lapangan, peneliti menemukan berbagai peran yang telah maksimal dilaksanakan oleh para Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, seperti peran sebagai pemberi dukungan, membentuk konsesus, membangun fasilitasi kelompok, menyampaikan informasi, melakukan pelatihan, membangun hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan, berbagi pengalaman dan pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, menggunakan komputer, melakukan presentasi tertulis maupun verbal, manajemen, serta mengontrol financial. Namun, dalam perjalanannya para pekerja sosial masyarakat masih sangat membutuhkan dukungan dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Sosial dan Pemerintah Daerah guna memaksimalkan berbagai peran yang masih belum dilaksanakan dengan baik seperti membentuk animasi sosial, melakukan mediasi dan negoisasi, memanfaatkan sumberdaya dan keterampilan, membangkitkan kesadaran masyarakat, melakukan konfrontasi, advokasi, dan memanfaatkan media. Keyword: Pekerja Sosial Masyarakat, Pekerja Seks Komersil, obtaining resources, public relation, kesadaran masyarakat, consensus. ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segenap karunia dan dan rahmat telah dilimpahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Tangerang Selatan” sebagai tugas akademik di Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan keharibaan baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi umat manusia. Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan serta dukungan berbagai pihak.Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, izinkanlah penulis menuangkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Siti Napsiyah, MSW. dan Ahmad Zacky, M.Si. selaku Ketua Jurusan dan Sekertaris program studi kesejahteraan sosial yang selalu memberikan arahan dan nasihat dalam menjalani segenap proses perkuliahan. 2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si. selaku pembimbing yang senantiasa sabar dan selalu memberikan nasihat guna terselesaikannya skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komulikasi yang telah memberikan curahan pengetahuan agar penulis mampu menjadi orang yang lebih baik serta berguna bagi nusa dan bangsa. iii 4. Pihak Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, Dinas Sosial Tangerang Selatan, dan Pemerintah Daerah Tangerang Selatan, yang telah memberikan banyak informasi guna dijadikan bahan pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibunda Ani Devi Savitri, ayahanda Wahyu Sutawidjaja, dan adikku Karissa Mayasani, yang memberikan cinta dan kasih sayang, serta motivasi dalam menjalankan setiap aktivitas. 6. Teman-teman seperjuangan di prodi Kesejahteraan Sosial angkatan 2008 yang bersedia memberikan masukan dan semangat. Penulis begitu menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang penulis alami, semakin menunjukkan bahwa skripsi ini begitu banyak kekurangan. Maka, masukan dan saran begitu penulis harapkan agar mampu menjadikan tulisan ini lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca. Semoga skripsi ini mampu membuka wawasan kita untuk dapat selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam managakkan kesejahteraan sosial. Jakarta, 7 Oktober 2014 Kenni Juliantara iv DAFTAR ISI ABSTRAK i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iv DAFTAR LAMPIRAN vi BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah 1 B. Rumusan Masalah 6 C. Pembatasan Masalah 6 D. Tujuan Penelitian 6 E. Manfaat Penelitian 7 F. Metodologi Penelitian 7 G. Tinjauan Pustaka 11 H. Sistematika Penulisan 12 LANDASAN TEORI A. Tinjauan Peranan Pekerja Sosial Masyarakat 14 B. Tinjauan Pekerja Seks Komersil 24 BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Sejarah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan 51 v B. Profil Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan 55 C. Struktur PSM Kota Tangerang Selatan 57 D. Maksud, Tujuan, Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Pekerja Sosial Masyarakat E. Pekerja Seks Komersial Tangerang Selatan 59 62 BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PERAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PEKERJA SEKS KOMERSIL A. Deskripsi Informan 65 B. Temuan Tentang Peran Fasilitatif, Edukasional, Representatif, dan Teknis Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan 68 C. Analisis Peran Fasilitatif, Edukasional, Representasional, dan Teknis Pekerja Sosial Mayarakat Tangerang Selatan 73 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 81 B. Saran 84 DAFTAR PUSTAKA 85 LAMPIRAN 86 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerja Seks Komersial (selanjutnya disingkat PSK) adalah salah satu bagian dari dunia pelacuran yang didalamnya termasuk gigolo, waria, dan mucikari. Fenomena PSK sangat menarik untuk dikaji, dikarenakan fenomena ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena PSK yang bertentangan dengan nilai agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak memadai dari seseorang. Seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai PSK,apabila berhubungan seksual tidaklah dengan orang (pelanggan) yang sama. Akibat dari pelanggan yang dilayani berganti-ganti orangnya, menyebabkan PSK dapat terkena virus HIV. Virus HIV dapat menyebabkan seseorang terkena AIDS dan IMS (Infeksi Menular Seksual). PSK merupakan kelompok resiko tinggi yang dapat tertular HIV/AIDS dan IMS. Istilah pelacur berasal dari kata lacur. Kata lacur memiliki arti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Melacur berarti hubungan badan yang terjadi di luar norma resmi dari agama dan negara.1 Pelayan seks dalam kerangka budaya kehormatan luhur, menyebabkan seperti perempuan gadis-gadis (pelakunya) memperoleh (temple maidens) yang mempersembahkan keperawanannya dalam upacara agama pada masyarakat 1 Tjahjono Koentjoro, Regulasi Kesehatan di Indonesia, Editor Renati Winong Rosari (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 24. 1 2 purba.2 Pelacuran merupakan sejenis praktik perbudakan perempuan yang memanfaatkan seks sebagai alat utamanya. Pelacuran masih dianggap masyarakat sebagai prilaku manusia yang berada di luar norma, maka persoalan pelacuran berhubungan dengan moralitas. Melihat perkembangan istilah-istilah tersebut, semakin bisa dipahami bahwa bahasa milik masyarakat. Perluasan dan penyempitan pemahaman sebuah bahasa selalu berkembang seiring perkembangan masyarakat. Seperti akhir-akhir ini, istilah pelacur menemukan istilah barunya, yakni pekerja seks komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar, praktisi, dan pejabat dari contoh di atas. Selain istilah PSK, di Indonesia juga berkembang istilah Wanita Tuna Susila (WTS). Istilah WTS lebih dikenal daripada istilah perempuan pelacur, itu terjadi mungkin untuk membedakan dengan laki-laki pelacur yang disebut gigolo. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No.23/HUK/96 yang menyebut kata pelacur dengan istilah PSK. Manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya tempat tinggal. Tuntutan menuntut ilmu atau bekerja mencari nafkah, sering menjadi alasan untuk bisa hidup layak atau dapat berfungsi sosial. Untuk mencapai semua itu diperlukan semangat dan keterampilan, akan tetapi realita 2 Thank-Dam Truong, Seks Uang dan Kekuasaan Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 170. 3 yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang direncanakan. Oleh karena itu, ketidaksiapan mental sering terjadi dalam menyikapi sebuah kehidupan yang berakibat timbulnya rasa tidak percaya diri dan banyak penyimpanganpenyimpangan dalam hidup. Pada saat itu banyak perempuan menjadi objek eksploitasi seperti tercermin dalam wadah lembaga pernikahan dengan adanya tradisi kawin paksa, poligami tanpa batas dan tanpa syarat, ditukar, disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, bahkan model prostitusi atas nama kawin kontrak untuk waktu tertentu dengan jumlah mahar yang telah disepakati dan berbagai bentuk kekerasan terhadap wanita. Tentunya hal itu merupakan realita lain dari perempuan yang termarginalkan.3 Kompleksitas permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat menuntut upaya sadar dari setiap komponen masyarakat untuk memperbaharui dan mengelola sistem sosialnya serta menyelesaikan permasalahan sosialnya. Pembaharuan yang dimaksud adalah upaya pengembangan nilai-nilai yang melandasi struktur sosial suatu masyarakat yang dinamis, stabil dan mengacu pada tujuan pencapaian kesejahteraan sosial. Sementara pengelolaan sosial adalah bagaimana menjadikan seluruh dinamika sosial dalam sistem masyarakat sebagai energi positif yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan masyarakat itu sendiri. Penyelesaian masalah sosial adalah intervensi sosial yang dilakukan secara sadar, inovatif dan terukur terhadap suatu permasalahan sosial sebagai langkah untuk menjadikan masalah tersebut normal kembali atau lebih baik lagi sesuai 3 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Cet. 2. (Yogyakarta; LSSPA, 2003), h. 33-34. 4 dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Para motivator, stabilisator dan pendamping sosial tersebut perlu dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan kultur dan tradisi lingkungannya itu sehingga mereka tidak terkesan eksklusif. Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Para PSM ini merupakan voluntir dari masyarakat yang berdomisili di desa-desa/kelurahan seluruh Indonesia. Adapun sebagai pengarah mereka dalam operasionalnya adalah seorang Pekerja Sosial Kecamatan yang merupakan pegawai negeri. Maraknya PSK di Tangsel sudah sampai pada taraf meresahkan warga, hal ini membuat petugas Satpol PP terus menggelar Operasi Penyakit Masyarakat (selanjutnya disebut Pekat) ini. Pada operasi pada tanggal 15 Mei 2013, sebanyak 5 lokasi hiburan malam dan warung remang-remang yang disinyalir digunakan sebagai ajang prostitusi dirazia petugas. Dari hasil operasi di wilayah Serpong dan Ciputat, petugas berhasil menjaring sedikitnya 60 PSK. Kebanyakan dari mereka yang terjaring adalah 5 merupakan PSK lama. Puluhan PSK berhasil terjaring dalam Pekat yang digelar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Rabu (15/05/13) dini hari. Para wanita malam itu hanya pasrah saat petugas gabungan Satpol PP, Kepolisian Sektor Ciputat dan Garnisun Tangsel, menggelandangnya masuk ke mobil petugas. Selain warung remang-remang, petugas juga menyisir sejumlah tempat hiburan malam yang disinyalir kerap digunakan sebagai tempat prostitusi. Taufik, Kasie Penertiban mengatakan, mereka yang terjaring operasi pekat ini langsung di bawa ke kantor Satpol PP untuk dilakukan pendataan, “usai dilakukan pendataan, para “kupu-kupu malam” itu akan langsung dibawa ke panti rehabilitasi di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Operasi serupa akan terus digelar Pemerintah Kota Tangsel, untuk meminimalisir tindak prostitusi yang sudah sangat meresahkan warga.4 Jumlah 60 orang PSK dari wilayah Serpong dan Ciputat dalam satu kali operasi Pekat sedikit banyak dapat menggambarkan berapa sesungguhnya jumlah PSK yang sebenarnya di wilayah Tangsel. Pembinaan merupakan hal umum yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, kecakapan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan lainnya. Pembinaan menekankan pada pendekatan praktis, pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Pembinaan PSK dapat dilakukan oleh PSM antara lain: 4 Artikel di akses pada tanggal 28 Januari 2014 dari http://lenteranews.com/puluhan-psktangsel-terjaring-razia/ 6 Adanya bimbingan konseling bagi para PSK Adanya pelatihan ketrampilan bagi para PSK agar mereka dapat memiliki keahlian lain yang menjadi dasar pergeseran mata pencaharian. Adanya bantuan modal/pinjaman bagi para PSK agar mereka dapat memulai usaha baru. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang “Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam membina masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Tangerang Selatan”. B. Rumusan Masalah “Bagaimana Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan dalam menanggulangi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Tangerang Selatan?” C. Pembatasan Masalah Karena luasnya ruang lingkup masalah pekerja seks komersial, maka penelitian ini membatasi ruang lingkupnya hanya pada peran-peran yang dilakukan PSM dalam menangani masalah PSK di Tangerang Selatan. D. Tujuan Penelitian Dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendepkripsikan peran-peran PSM dalam menanggulangi masalah PSK di Kota Tangerang Selatan. E. Manfaat Penelitian 7 Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis 1. Memberikan masukkan dan informasi yang diperlukan sebagai bahan pustaka untuk pengembangan selanjutnya dan dapat memperkaya khasanah keilmuan, khususnya pada Program Studi Kesejahteraan Sosial. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadikan bahan pertimbangan bagi lembaga sebagai dasar Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) menanggulangi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK). F. Metodelogi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hal ini dimaksudkan bahwa penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan wawancara mendalam dengan informan yang sangat memahami permasalahan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriftif (Descriptive Research), yaitu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang diperoleh di lapangan secara terperinci sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan. 5 1. Prosedur Kerja Penelitian a. Teknik Penentuan Lokasi 5 h.131. Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 8 Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meneliti tempat Rehabilitasi PSK oleh PSM ditentukan berdasarkan wilayah dan lokasi yang sesuai dengan fokus penelitian untuk penelitian ini dan juga terdapat banyak PSK diantaranya wilayah Ciputat dan Serpong. Hal ini dimaksudkan agar penelitian berjalan dengan lancar. Penelitian ini dilakukan di Kantor PSM Tangerang Selatan di Komplek Villa Tekno Blok R1 No. 10 Serpong. b. Teknik Penentuan Informan Dalam penelitian ini pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling yaitu penentuan sampel berdasarkan tujuan tertentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.6 Informan yg dipilih adalah tiga orang PSK dan dua orang tokoh masyarakat (PSM) yang dapat memberikan penjelasan dan memiliki informasi yang memadai berkenaan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Kerangka pemilihan informan: No 6 Informan 1 PSM 2 Aparat Pemerintah Daerah 4 Pekerja Seks Komersial Jabatan Jumlah Anggota 1 Pegawai Kecamatan 1 Penjaja 2 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.183 9 c. Teknik Pengumpulan Data Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian, yaitu: 1) Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan penelitian melalui wawancara mendalam, pengamatan langsung serta peneliti terlibat.7 Data primer didapatkan dari teknik-teknik pengumpulan data berikut ini: a) Pengamatan (observasi) Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung di Kantor PSM Kota Tangerang Selatan (sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan). Maksudnya adalah mengamati bagaimana permasalahan para Pekerja Seks Komersial dan Solusi yang diberikan oleh PSM. 8 b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Wawancara Mendalam (Indepth Interview) merupakan metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan 7 Ibid Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.145 8 10 demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. 9 2) Sumber data sekunder adalah semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti yang merupakan data penunjang penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber untuk melengkapi penelitian.10 Data sekunder merupakan data yang memang sudah ada yang didapatkan dari instansi tertentu yaitu kantor PSM jika datanya masih relevan dengan fokus penelitian. Sebagai kelengkapan dari observasi dan wawancara mendalam yang telah dilakukan, peneliti mencari dan membaca buku-buku hasil penelitian atau literatur apa pun yang masih relevan dengan fokus penelitian yang bisa membantu agar data yang di dapatkan lebih lengkap. 2. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh secara sitematis, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.11 Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan menghubung-hubungkan 9 Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimeter (Jakarta: Ghalis, 1994), h. 57. Opcit 11 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008) h. 355 10 11 berbagai keterangan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung kemudian ditarik makna dari keterkaitan hubungan antar berbagai makna yang ada. G. Tinjauan Pustaka Setelah peneliti melakukan survei di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ada beberapa literatur yang terkait dengan persoalan ini, yakni skripsi: 1. Hasil penelitian Fazra Raissa Wulandari, dengan judul Peran Pekerja Sosial Masyarakat Kelompok Usaha Bersama dalam pemberdayaan keluarga miskin di desa Lebak Wangi Kecamatan Sepatan Timur Tangerang. Pembahasan dalam skripsi tersebut menjelaskan bahwa peran pendampingan sangat diperlukan agar KUBE dapat berjalan dan berkembang dengan ditampilkannya pendamping. (Kesejahteraan Sosial, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) 2. Hasil penelitian Lilik Jatmiko, dengan judul Kinerja Pekerja Sosial Dalam Meningkatkan Spiritualitas Kalayan di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Yogyakarta. Pembahasan dalam skripsi tersebut adalah menerapkan salah satu Program yang harus dilaksanakan oleh Pekerja Sosial di PSKW yaitu program Spiritualitas yang diberikan kepada orang yang menerima pelayanan dipanti (kalayan). (Pengembangan Masyarakat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010) 3. Hasil penelitian Jajuli, dengan judul Motivasi dan Dampak Psikologis 12 Pekerja Seks Komersial (Studi Kasus terhadap PSK di Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah). Pembahasan dalam skripsi tersebut tentang berbagai motif serta dampak psikologis PSK di Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah. (Bimbingan Konseling, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010) Penulis menyadari bahwa literatur tersebut merupakan sumber inspirasi dalam menyusun skripsi ini. Berbeda dengan karya ilmiah yang menjadi gagasan tersebut, skripsi ini lebih objektif menekankan pada peran Pekerja Sosial Masyarakat dalam pembinaan Pekerja Seks di Tangerang Selatan. H. Sistematika Penulisan Secara garis besar skripsi ini akan dibagi dalam lima (5) bab dan setiap bab dibagi atas beberapa sub bab dengan kebutuhan pembahasan dan uraiannya, yaitu : BAB I : Dalam bab ini penulis membahas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodelogi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan. BAB II : Di dalam bab ini penulis membahas Landasan Teori yang meliputi : Pengertian Peran, Pengertian Pekerja Sosial, Prinsip Dasar Pekerja Sosial, Pengertian Pekerja Seks Komersial, Penyebab Pekerja Seks dari Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi, Klasifikasi Pekerja Seks Komersial, Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita Menjadi Pekerja Seks Komersial, 13 BAB III : Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang : Sejarah Kota Tangerang Selatan, Profil Tangerang Selatan, Sejarah Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, Profil Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, Struktur PSM Kota Tangerang Selatan, Maksud, Tujuan, Kedudukan Tugas dan Fungsi Pekerja Sosial Masyarakat, Pekerja Seks Komersial Tangerang Selatan. BAB IV : Pada bab ini penulis mencoba memberikan temuan dan analisis terhadap penelitian yang dilakukan dengan membandingkannya antara teori dan hasil penelitian. BAB V : Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan atas hasil penelitian dengan memberikan sumbangsih berupa saran-saran yang mungkin bermanfaat untuk civitas akademika Universitas Islam Negeri Jakarta. BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Peranan Pekerja Sosial Masyarakat 1. Pengertian Pekerja Sosial Masyarakat Pekerja Sosial Masyarakat yang selanjutnya disingkat dengan PSM adalah seseorang sebagai warga masyarakat yang mempunyai jiwa pengabdian sosial, kemauan, dan kemampuan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta telah mengikuti bimbingan atau pelatihan di bidang kesejahteraan sosial.1 Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. 2 2. Pengertian Peran Peranan berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu seperangkat tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di 1 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 01 Tahun 2012. Bab I Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 Ayat 4 14 15 masyarakat. peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilksanakan.3 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto4 mendefinisikan peranan sebagai: Suatu konsep perihal apa-apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai suatu organisasi. Peranan meliputi normanorma yang dihubungkan dengan posisi/tempat seseorang dalam masyarakat. Serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi (ketentuan) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.5 Dalam kaitan dengan peran agen perubah (baik dan organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) dalam diskursus komunitas, sebenarnya ada berbagai peran yang dapat dilaksanakan. Peran yang terkait dengan peran pemberdaya masyarakat adalah peran sebagai community worker ataupun enabler dalam diskursus komunitas. Sebagai community worker sebenarnya ada empat (4) peran besar yang dapat dijalankan, di mana masing-masing terdapat peran-peran yang lebih spesifik yang lebih mengarah pada tehnik-tehnik. 3 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2007), h. 845. Soerjono Soekanto, Sosiolog: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 15. 5 Friedman, Marylin M. (1992). Family Nursing. Theory & Practice. 3/E. alih bahasa Debora Ina R.L. (Jakarta: EGC, 1998), h. 286. 4 16 Peran pertama adalah memfasilitasi komunitas sasaran, yang disebut dengan nama peran-peran Fasilitatif (facilitative roles). Sedangkan yang ke dua adalah peranan mendidik masyarakat, atau peran Edukasional (educationalroles). Sedangkan peran ke tiga adalah peran sebagai perwakilan masyarakat (representational roles). Peran yang terakhir adalah peran-peran yang lebih bersifat tehnis atau peran-peran Teknis (technical roles). Dari ke empat peran besar tersebut, baik pada peran fasilitatif, peran edukasional, peran representasional maupun peran tehnis terdapat peran-peran spesifik yang merupakan tehnik-tehnik yang lebih rinci dari empat peran tersebut. Menurut Ife, dari peran Fasilitatif terdapat tujuh (7) peran khusus yaitu: animasi sosial (social animation); mediasi dan negosiasi (mediation and negotiation); pemberi dukungan (support); membentuk konsensus (building consensus); fasilitasi kelompok (group facilitation); pemanfaatan sumber day a dan keterampilan (utilization of skills and resources); dan mengorganisir (organizing). Peran Edukasional meliputi empat (4) peran, yaitu : membangkitkan kesadaran masyarakat (consciousness menyampaikan informasi (informing); raising); mengkonfrontasikan (confronting); dan pelatihan (training). Kedua peran pertama inilah yang akan diuraikan secara lebih rinci, sedangkan ke dua peran berikutnya hanya akan diuraikan peran-peran khususnya saja tanpa diuraikan lebih jauh. 17 Peran Representasional meliputi enam (6) peran, yaitu: mencari sumber daya (obtaining resources); advokasi (advocacy); memanfaatkan media (using the media); hubungan masyarakat (public relations); mengembangkan jaringan (networking); membagi pengetahuan dan pengalaman (sharing knowledge and experience). Sedangkan untuk peran Tehnis mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat untuk mengumpulkan dan menganalisis data (data collection and analysis); menggunakan komputer (using computers); melakukan presentasi tertulis maupun verbal (verbal and written presentati on); manajemen; dan kemampuan untuk mengontrol keuangan (finacial control). Seperti telah ditulis di atas, ke dua peran terakhir (peran representasional dan peran tehnis) pada dasamya tidak akan diuraikan secara khusus, sedangkan dua peran pertama (peran fasiltatif dan peran edukasional) akan dijelaskan secara singkat satu persatu di bawah ini. Peran fasilitatif dan peran edukasional dengan mempertimbangkan bahwa ke dua peran ini merupakan peran-peran yang lebih mendasar dan langsung dalam intervensi dengan komunitas. Sedangkan dua peran terakhir bukan berarti tidak penting, akan tetapi peran-peran tersebut lebih bersifat kurang langsung ke komunitas sasaran bila dibandingkan dua 18 peran pertama. Meskipun tetap saja peran itu merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.6 a. Struktur Peran Sruktur peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Peran Formal (Peran yang nampak jelas) Yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal yang standar terdapat dalam keluarga. Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu adalah peran sebagai provider (penyedia); pengatur rumah tangga; memberikan perawatan; sosialisasi anak; rekreasi; persaudaraan (memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal); terapeutik; seksual. 2) Peran Informal (Peran tertutup) Yaitu suatu peran yang bersifat implisit (emosional) biasanya tidak tampak kepermukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada atributatribut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan peran-peran informal yang efektif dapat mempermudah pelaksanaan peran-peran formal. 6 Ife, Jim, Community Development: creating community alternatives – vision analysis and practice (Melbourne: Longmen Australia Pty Ltd. 1995), h.202-210. 19 b. Variabel-variabel yang mempengaruhi struktur peran 1) Kelas sosial 2) Bentuk-bentuk keluarga 3) Latar belakang keluarga 4) Tahap siklus kehidupan keluarga 5) Model-model peran 6) Peristiwa situasional yang khususnya masalah kesehatan atau sakit.7 3. Pengertian Pekerja Sosial Pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh Charles Zastrow, yang dikutip oleh Dwi Heru Sukoco sebagai berikut: "Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan".8 Dari pengertian di atas, maka seorang pekerja sosial harus bisa menciptakan kondisi masyarakat yang baik dan teratur dalam menjaga setiap keberfungsian elemennya yang menjadi para pemeran berbagai peran yang ada di dalam masyarakat. menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif dengan relasi-relasi yang ada didalamnya untuk bisa memberikan keterikatan di antara para pemegang peran tersebut. 7 Ibid., h. 302 Charles Zastrow, The Practice Social Worker ( USA: Brooks/Cole Publishing Company, 1999), h. 7. 8 20 Kesejahteraan sosial merupakan ilmu yang berusaha menggabungkan antara teori dan praktik. Jika ditinjau dari sejarahnya, teori-teori kesejahteraan sosial adalah teori yang dikembangkan dari berbagai praktik yang dilakukan oleh para pekerja sosial. Pekerja sosial adalah seseorang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial agar dapat berfungsi sosial.9 Rukminto menyimpulkan : “Konsep Pekerja Sosial digunakan untuk menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang Pekerjaan Sosial yang berasal (lulusan) dari pendidikan Pekerjaan Sosial ataupun Ilmu Kesejahteraan Sosial.”10 Zastrow menerangkan bahwa pekerja sosial ini merupakan sebuah profesi yang membutuhkan dasar pengetahuan formal, konsep teoritis, spesifik keahlian fungsional dan nilai-nilai penting digunakan untuk kelengkapan dalam pemberian pelayanan sosial baik bagi individu, kelompok maupun masyarakat, sehingga timbul adanya perubahan baik dalam peningkatan kualitas hidup ataupun fungsi sosialnya.11 4. Pengertian Peran Pekerja Sosial Keberadaan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) telah lama di kenal di Indonesia, setidaknya setelah di atur dalam ketentuan Keputusan Menteri Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan 9 Departemen Sosial RI, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila (Jakarta: DEP. SOS RI, 2005), h. 5. 10 Isbandi Rukminto, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Jakarta: FISIP UI Press. 2005), h. 91. 11 Zastrow, The Practice Social Worker, h.6. 21 Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat. Pada era awal delapan puluhan PSM yang kita kenal sebagai Pekerja Sosial Masyarakat adalah Pembimbing Sosial Masyarakat namun setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 28/HUK /1987 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat maka sejak itu PSM menjadi Pekerja Sosial Masyarakat dan dikenal dimasyarakat Indonesia yang berkedudukan sebagai salah satu pilar partisipan usaha kesejahteraan sosial yang bersama-sama pilar parsitipasi lainnya dan Pemerintah secara bertahap mewujudkan masyarakat yang berkesejahteraan sosial. Saat ini pengaturan tentang PSM diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2012 (Permensos RI No. 01 Tahun 2012) tentang Pekerja Sosial Masyarakat yang selanjutnya menjadi payung hukum yang sah bagi segala aktifitas PSM sebagai pilar partisipan dalam melaksanaan usaha kesejahteraan sosial di Indonesia. Sebagaimana maksud diadakannya PSM yang diatur pada Pasal 2 yaitu: a. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan dalam melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan b. meningkatkan kepedulian warga masyarakat dalam menangani masalah sosial. Permensos RI No. 01 Tahun 2012 yang ditetapkan di Jakarta oleh Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri pada tanggal 19 Januari 2012 22 merupakan penyempurnaan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 28/HUK /1987 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat. Berdasarkan Permensos RI No. 01 Tahun 2012 Pasal 3 tujuan diadakannya PSM yaitu: “a. terwujudnya kehidupan masyarakat yang berkesejahteraan sosial; b. terwujudnya warga masyarakat yang memiliki keberfungsian sosial yang mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri; dan c. tertanganinya masalah sosial.” Dari tujuan sesuai ketentuan Pasal 3 tersebut bermakna bahwa pekerjaan sosial masyarakat dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki konsentrasi atau fokus, yaitu terhadap keberfungsian sosial (social functioning) baik secara individu maupun kolektif. Dengan kata lain fokus intervensi pekerjaan sosial adalah interaksi perilaku manusia dengan lingkungan sosialnya. Adapun keberfungsian sosial ini memiliki beberapa pengertian diantaranya disampaikan oleh Garvin dan Seabury yang menyatakan bahwa:12 “Socíal functioning is encompasses all the way that we respons to the demands of our socíal environment – an environment that include family, peers, organizations, communities, as well as entie society.” 12 Garvin dan Seabury, Modul Dasar-dasar Pekerjaan Sosial bagi Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI, 2006), h. 14 23 Sedangkan Leonora S. de Guzman menyatakan bahw:13 ”Socíal functioning is the expression of the interaction between man and his socíal environment; it is the product of his action as he related to his surrounding.” Jadi inti dari kedua pengertian di atas apabila dikaitkan dengan Permensos RI No. 01 Tahun 2012 Pasal 3 di atas bahwa socíal functioning lebih cenderung dikaitkan dengan bagaimana interaksi orang dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial mencoba membantu orang yang tidak atau kurang mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga bisa melaksanakan tugas-tugas dalam kehidupannya, memecahkan permasalahannya ataupun memenuhi kebutuhannya. Sehingga keberfungsian sosial dapat pula dilihat dari tiga kategori bahwa keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, dan kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya. 5. Prinsip Dasar Pekerja Sosial Sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, PSM sangat memperhatikan pentingnya partisipasi sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, dan bahkan dalam hampir semua praktik pekerjaan sosial, peranan seorang community worker seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau 13 Leonora S. de Guzman, Modul 2: Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial, (Banjarmasin : Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial, 2010), h. 20. 24 pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Dalam konteks PSM, pendampingan sosial berpusat pada tiga visi praktik pekerjaan sosial, yang dapat diringkas sebagai 3P, yaitu: pemungkin (enabling) pendukung (supporting), dan pelindung (protecting). Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama pendampingan sosial adalah “making the best of the client’s resources”. Dalam pendampingan sosial, klien dan lingkungannya tidak dipandang sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. B. Tinjauan Pekerja Seks Komersial Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktik prostitusi. Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat bahwa wanita sebagai objek seks. Pekerja seks komersial pada umumnya adalah seorang wanita. Wanita adalah mahluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bermacam – macam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Wanita/ibu adalah penerus generasi keluarga dan bangsa sehingga keberadaan wanita sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat diperlukan. Wanita/ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. 1. Pengertian Prostitusi Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap moral/kesusilaan dan kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang ilegal dan bersifat melawan hukum. Dalam ratifikasi perundang-undangan 25 RI Nomor 7 Tahun 1984, perdagangan perempuan dan prostitusi dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kata prostitusi berasal dari kata latin 'prostitution (em)', kemudian diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi 'prostitution', dan menjadi prostitusi dalam bahasa Indonesia. Dalam 'Kamus Inggris-Indonesia, IndonesiaInggris', oleh John M. Echols dan Hassan Shadili prostitusi diartikan 'pelacuran, persundalan, ketuna-susilaan', sedang dalam tulisan 'Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia', oleh Syamsudin, diartikan bahwa menurut isthlah prostitusi diartikan sebagai pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi atau Pelacuran adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau berhubungan seks. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur atau biasa disebut pekerja seks komersial (PSK). Kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang patut ditabukan karena secara moral di anggap bertentangan dengan nilai agama dan kesusilaan.14 14 Diakses pada tanggal 09-02-2014 di http://www.bawean.net/2012/02/prostitusi-dalamtijnjauan-hukum-pidana.html 26 2. Pengertian Pekerja Seks Komersial Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah orang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks dengan orang lain untuk tujuan ekonomi.15 PSK juga bisa diartikan sebagai wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta dilakukan di luar pernikahan. Sebelum adanya istilah pekerja seks komersial, istilah lain yang juga mengacu kepada pelayanan seks komersial adalah pelacur, prostitusi, wanita tuna susila (WTS). Faktor yang menyebabkan pelacuran (termasuk didalamnya) menjadi meningkat antara lain: 16 1. Materialisme. Materialisme adalah seseorang yang memiliki tolak ukur keberhasilan diperoleh dari materi. Maka, karena tolak ukurnya itu, ia mau bekerja sebagai PSK. Ia bekerja sebagai PSK agar dapat menjadi kaya dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Adanya rasa kebanggan yang ditunjukkan pada orang lain, bekerja sebagai PSK. Bekerja sebagai PSK dapat memenuhi kebutuhan hidup dan berhasil dalam mencukupi kebutuhan hidup. 15 Diakses pada tanggal 09-02-2014 di http://subadra.wordpress.com Tjahjono Koentjoro, Regulasi Kesehatan di Indonesia, Editor Renati Winong Rosari, (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 134-136. 16 27 2. Orang setempat yang menjadi pelacur yang sukses. Seseorang yang memiliki aspirasi yang tinggi terhadap materi. Ia akan mewujudkan aspirasinya demi materi yang didapatnya. Salah satunya yakni bekerja. Pekerjaan yang paling mudah, yaitu sebagai model. Seorang PSK, ia akan memenuhi materi dengan menjadi model. Salah satu pekerjaan menjadi model dilakukan karena, adanya perasaan bangga yang dapat ditunjukkan pada orang lain. Menjadi model selain wajah yang cantik dan tubuh yang tinggi, akan membuat orang lain tertarik, sehingga banyak yang menginginkan dia untuk dikontrak jadi model. Pekerjaan menjadi model dapat menjadi kaya dan terpenuhi kebutuhan hidup. 3. Sikap permisif dari lingkungan. Lingkungan sekitar yang terdapat banyak PSK, menyebabkan seseorang mengikuti cara bekerja dengan menjadi PSK. PSK yang tinggalnya bersama dengan warga, maka warga secara tidak langsung mengizinkan pekerjaan PSK dan PSK dapat bersosialisasi dengan warga sekitar. 4. Dukungan orang tua. Setiap orang tua yang memiliki anak, mereka pasti menginkan anaknya berhasil. Anak mereka berhasil agar, dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat orang tua yang memiliki ekonomi yang rendah dalam keluarga. Satu sisi orang tua mempunyai aspirasi untuk mengumpulkan materi yang banyak, namun sisi lain orang tua tidak mempunyai kemampuan untuk 28 mewujudkan. Inspirasi dari orang tua tersebut agar dapat terwujud, maka terpaksa anak mereka di beri izin untuk bekerja. Salah satu alternatif untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga yakni, menjadi PSK. 5. Faktor ekonomi. Seseorang bekerja seperti menjadi PSK adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seseorang yang memiliki ekonomi yang rendah, sementara biaya kebutuhan banyak dan tuntutan kebutuhan hidup semakin meningkat. Untuk mengantisipasi faktor ekonomi yang rendah dan untuk meningkatkan yang tinggi, sehingga kebutuhan dapat ekonomi terpenuhi maka alternatifnya bekerja. Kebanyakan seseorang bekerja sebagai PSK dikarenakan faktor ekonomi, agar dapat bertahan hidup. Belakangan ini ramai polemik tentang istilah pelacur menjadi PSK. Dalam setiap forum, kelompok liberal dan para pezinah kerap menggunakan istilah PSK dengan dalih berempati dengan wanita yang mencari nafkah untuk diri dan keluarganya. Sementara, kaum religius, menolak istilah PSK untuk mengganti dari kata pelacur. Manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya tempat tinggal. Tuntutan menuntut ilmu atau bekerja mencari nafkah, sering menjadi alasan untuk bisa hidup layak atau dapat berfungsi sosial. Untuk mencapai semua itu diperlukan semangat dan keterampilan, akan tetapi 29 realita yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang direncanakan. Oleh karena itu, ketidaksiapan mental sering terjadi dalam menyikapi sebuah kehidupan yang berakibat timbulnya rasa tidak percaya diri dan banyak penyimpangan-penyimpangan dalam hidup. Pada saat itu banyak perempuan menjadi objek eksploitasi seperti tercermin dalam wadah lembaga pernikahan, tradisi kawin paksa dipoligami tanpa batas dan tanpa syarat, ditukar, disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, bahkan model prostitusi atas nama kawin kontrak untuk waktu tertentu dengan jumlah mahar yang telah disepakati dan berbagai bentuk kekerasan terhadap wanita. Tentunya hal itu merupakan realita lain dari perempuan yang termarginalkan.17 Selain pelacur, kini muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar. Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja. Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 17 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Cet. 2. (Yogyakarta; LSSPA, 2003), h. 33-34 30 23/HUK/96 yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebih haluskan istilah pelacur. Menarik, Ketua Indonesia Tanpa JIL (ITJ) Akmal Sjafril sampai menyebut penghalusan kata pelacur menjadi PSK sebagai bentuk ‘Konspirasi” . Ia mempertanyakan, siapa sebenarnya yang pertama kali menggunakan istilah PSK , namun yang jelas, nampaknya semua media sudah bersepakat (atau berkonspirasi ) untuk menggunakannya secara konsisten. Kata PSK adalah sebuah istilah yang sangat kontradiktif. Bukan merupakan penghalusan, melainkan pengaburan makna yang sebenarnya. Secara lebih tegas, penolakan istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena: a. Arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik b. Istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda c. Istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan. Berdasarkan semua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan seks kepada kaum laki- 31 laki. Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka. Sejak kapan istilah WTS dipakai? Konon, istilah itu dimunculkan pada era Orde Baru. Jaman itu banyak pula istilah di tengah masyarakat yang diperhalus. Misalnya ditangkap polisi karena mengritik pemerintah diistilahkan dengan diamankan. Kenaikan harga bahan bakar minyak diistilahkan dengan penyesuaian harga. Penjara sebagai tempat para penjahat menjalani hukuman diistilahkan dengan Lembaga Pemasyarakatan. Kini istilah WTS lebih diperhalus lagi dengan Pekerja Seks Komersial (PSK). Ketika pers semakin bebas, banyak ide dan gagasan dalam memberi istilah baru, termasuk menghaluskan bahasa (Eufimisme). Sangat aneh dan ironis, jika pelacur dianggap bagian dari pekerjaan. Bahkan disetarakan dengan buruh, petani, nelayan, pedagang. Atau mungkin meningkat pula menjadi profesi semacam dengan dokter, notaris, dosen, dan guru. Peraturan Daerah seperti di Kabupaten Bantul dan Kota Sambas dalam menyebut pelaku perbuatan seks guna memperoleh uang adalah tetap pelacur. Maka, apapun bentuk jasa layanan seks komersial, entah itu di pinggir jalan, rel kereta api, gubuk reot, beralas tikar, lokalisasi, layanan internet, online, hotel-hotel berbintang, tetap saja tak bisa menaikkan derajat kaum pezinah atau pelacur. Baik laki-laki atau perempuan yang menjajakan tubuhnya dengan yang bukan muhrimnya, mereka adalah pelacur. 32 Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman bernama kondom. Kata pekerja sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para pekerja seks komersial atau pelacur. 33 Istilah pekerja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut. Secara struktural, kinerja, germo, mucikari, calo, pekerja keamanan, hingga pekerja seks itu sendiri mempunyai batas-batas kerja yang jelas dan profesional. Jika melihat latar belakang kultural dan tempat transaksi ekonomi indonesia yang beragam maka transakasi seksualitas tak hanya ada lima kategori di atas. Banyak juga pekerja seks yang bekerja di mall (sebagai pegawai mall dan merangkap pekerja seks untuk mencari uang tambahan). Pekerja seks sekaligus mahasiswi, akrab disebut ayam kampus, pekeja seks yang merangkap sebagai para pekerja atau pelayan di tempattempat hiburan malam yang ada didaerah perkotaan dan di kantor-kantor sebagai sekertaris, yang harga tubuh mereka cukup tinggi dan transaksi terkadang melalui kartu kredit. Dari hal di atas dapat kita lihat bahwa pekerja seks sebagai bagian dari prasyarat kinerja dan transaksi dagang yang tidak selalu lepas dari ramainya pusat-pusat ekonomi yang strategis. Sistem pekerja seks cenderung mempunyai hubungan yang bersifat temporer insidental. Strategi tersebut tampak pada mekanisme kerja mereka mengenai istilah short time dan long time booking yang semuanya hanya terjadi dalam waktu tertentu (setengah jam, satu jam, satu malam). PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah memakai jasa mereka tersebut. Banyak perempuam PSK yang berperan sebagai pelacur dalam dunia pertama datang dari dunia kedua, ketiga dan 34 keempat. Di Eropa dan di tempat lain banyak dari mereka yang diiperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah pelanggan yang meningkat. Perbudakan manusia tidak baru, Organisasi Internasional pekerja (ILO) menaksir 12,3 juta orang diperbudak dalam kerja paksa dan 2,4 juta dari mereka adalah korban industri perdagangan dan penghasilan pertahunnya ditaksir sejumlah $10 milyar. Lebih lanjut dalam kalangan PSK juga mempunyai tingkatantingkatan operasional diantaranya : a. Segmen kelas rendah Dimana PSK tidak terorganisir, tarif pelayanan seks terendah yang ditawarkan, dan biaya beroperasi dikawasan kumuh seperti halnya pasar, kuburan, taman-taman kota dan tempat lain yang sulit dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan para PSK tersebut. b. Segmen kelas menengah Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa menetapkan tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di booking semalaman. c. Segmen kelas atas Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang relatif tingggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus hanya untuk menerima pelanggan tersebut. 35 d. Segmen kelas tertinggi Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas ini. 3. Penyebab Pekerja Seks dari Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi a. Penyebab adanya pekerja seks perspektif politik Pekerja seks merupakan sejarah panjang keberadaan perempuan dimana pilihan kehidupan seksual mereka hanya mempunyai beberapa opsi secara garis besar yakni menikah dan membujang atau menjadi pekerja seks. Pekerja seks juga sering dan bahkan selalu menjadi bagian dari kondisi dan prasyarat tingkat dua terhadap lahirnya kota dan industrialisasi. Baik itu dibidang pertambangan, jasa hingga pariwisata. Pada masa kini, beberapa daerah di dunia maupun di Indonesia mempunyai keragaman dalam menyikapi mencuatnya keberadaan kegiatan pekerja seks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari variasi latar belakang kebudayaan mereka. Di samping itu, pekerja seks seakan menjadi komunitas tertentu yang seringkali dimarginalkan oleh masyarakat, begitu juga hak-haknya. Selain itu banyak yang memperlakukan pekerja seks dengan tidak selayaknya karena profesi mereka yang dianggap juga tidak layak, bahkan ketika lokalisasi tempat mereka bekerja di razia seakan-akan posisi mereka selalu salah. b. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif pendidikan 36 Selain itu latar belakang pendidikan merupakan ajang pemicu lainnya. Mereka tidak mendapatkan ruang kesempatan untuk memasuki ladang pekerjaan yang membutuhkan latar belakang pendidkan setingkat sarjana. Selain itu juga kemampuan memadai dalam memasuki berbagai sektor pekerjaan yang dianggap lebih terhormat dan bergengsi oleh masyarakat. Rendahnya pendidikan membuat kaum pekerja seks tak mempunyai keleluasaan secara ekonomi dalam hal memilih pekerjaan. Dalam hal ini rendahnya latar belakang pendidikan pekerja seks juga sering menimbulkan lemahnya daya tawar mereka, timbulnya kepasifan dan kepribadian yang naif dalam melakukan sebuah interaksi. Selain itu mereka juga membuka lebar ruang-ruang pemaksaan serta kekerasan untuk masuk menerjang mereka, baik dari pihak mucikari, pelanggan, hingga pemerintah daerah sendiri. c. Penyebab adanya pekerja seks perspektif sosial Penyebab lahirnya pekerja seks yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi seperti yang dijelaskan di atas akan menjadi sebuah bahan dari perdebatan hangat jika dilihat dari perspektif kultural. Dari perspektif sosial kultural akan terlihat berbagai nuansa yang lolos dari sudut pandang dan hitungan ekonomi. Pekerja seks lahir dari berbagai latar belakang sosial kultural yang menstimulasinya seperti permisfitas kultural, tekanan keluarga, aspirasi materil oleh individu hingga lahirnya pemujaan simbol akibat hasrat konsumsi yang tinggi, yaitu 37 merupakan fenomena pergeseran masyarakat dari yang sekedar mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan dasar dan mendesak kepada kebutuhan akan pemenuhan citra dan nilai simbolitas yang dapat meningkatkan gengsi sosial ditengah pergaulan dengan sekitar. d. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif ekonomi Jika ditilik dari prasyarat kerja, pemaknaan pelacur memenuhi unsur yang nyaris serupa dan memang sama terhadap berbagai prasyarat yang dimasukkan sebagai unsur kerja. Mulai dari profesionalitas, skill, disiplin dan pengalaman yang diiperlukan. Selain itu, ada terdapat pula unsur yang diperdagangkan dan ditransaksikan. Permasalahan kemudian adalah barang apa yang ditransaksikan dengan objek lawan interaksi/hubungan mereka. Jika seorang guru menjual otaknya, jika seorang kuli menjual tenaga dan pundaknya, maka seorang pekerja seks menjual kelaminnya. Kelamin yang dianggap privat inilah yang kemudian menjadi permasalahan ketika berpindah atau ditransaksikan ke area publik. Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas. Uang atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang tengah melakukan kesepakatan. Karena mudah, menjadi elemen yang 38 dapt digerakkan kembali, maka pekerjaan menjual tubuh juga merupakan bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan sandaran pada kerja tersebut. Jika lokasi mata pencaharian mereka dirusak seperti pembongkaran atau penggusuran lokalisasi, maka hilanglah mata pencaharian mereka sebagai andalan dan sandaran. Hal ini tentunya tak berbeda dengan mata pencaharian lainnya, seperti petani, nelayan, dan guru. Jenis pekerjaan ini juga memiliki disversifikasi yang baik dalam struktur hingga operasional kerjanya. Dalam melihat fenomena di Indonesia, jenis pekerjaan seks dibagi kedalam dua kategori besar berdasarkan kriteria struktur dan sistem operasional, diantaranya : Pekerja seks jalanan Pekerja seks ini sering kita temui di berbagai jalanan besar di Indonesia. Sang pekerja lebih bersifat independen. Ketika terjadi interaksi tak ada perantara ketiga seperti germo maupun penjaga keamanan. Harga tubuh yang ditawarkan pun lebih miring. Hal ini karena selain tak ada tips kepada pihak ketiga secara tetap. Kemolekan serta kecantikan mereka lebih dibawah serta seusia mereka terkadang lebih tua dibanding mereka yang berada di dalam lokalisasi. Pekerja seks bar dan kafe Para pegawai perempuan merupakan pelaku utama sebagai pekerja seks yang didukung oleh pegawai lainnya (laki-laki misalnya). Berperan sebagai mediator bagi pengunjung yang ingin membooking mereka. 39 Transaksi bisa dilakukan di tempat kerja tersebut yang akan berlanjut dengan hubungan seks di tempat lain, di hotel misalnya. Pekerja seks di lokalisasi/rumah pelacuran (brothel). Sistem kerja ini merupakan area yang paling mudah diamati karena berbagai hal. Ia merupakan pekerjaan yang diakui oleh negara/pemerintah setempat karena dikenakan pajak atau retribusi daerah. Pekerja seks legal ini berada dibawah pengawasan dan aturan dinas sosial. Secara tempat, kawasan ini selalu dipisahkan dengan bentuk pembatasan yang jelas seperti tembok, pagar kawat, bahkan dipisahkan dari perkampungan masyarakat. Sistem kerja mereka pun sangat tertata dimana secara rutin tim kesehatan akan datang seminggu sekali, misalnya ke area lokalisasi untuk mengecek kesehatan para pekerja. Bentuk program kerja yang dijalankan oleh dinas sosial dan kesehatan dalam bentuk pemberian kondom cuma-cuma, pembuatan jadwal olahraga pagi dan sejenisnya. 1. Akibat-Akibat Pelacuran Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran yaitu : a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit. b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur terkadang melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. c. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika. 40 d. Merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama. e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus diberikan kepada germo. Dengan kata lain ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan keringat para pelacu r ini. 4. Klasifikasi Pekerja Seks Komersial Berdasarkan modus operasinya, pekerja seks komersial di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu. a. Terorganisasi Yaitu mereka yang terorganisasi dengan adanya pimpinan, pengelola atau mucikari, dan para pekerjanya mengikuti aturan yang mereka tetapkan. Dalam kelompok ini adalah mereka yang bekerja di lokalisasi, panti pijat, salon kecantikan. b. Tidak Terorganisasi Yaitu mereka yang beroperasi secara tidak tetap, serta tidak terorganisasi secara jelas. Misalnya pekerja seks di jalanan, kelab malam, diskotik. 41 5. Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita Menjadi Pekerja Seks Komersial Terjerumus adalah jatuh tersungkur, terjebak, jatuh ke dalam kesengsaraan, tersesat. Banyaknya faktor yang melatar belakangi terjerumusnya pekerja seks komersial antara lain adalah : a. Faktor Ekonomi Ekonomi adalah pengetahuan dan penelitian azas penghasilan, produksi, distribusi, pemasukan dan pemakaian barang serta kekayaan, penghasilan, menjalankan usaha menurut ajaran ekonomi . Salah satu penyebab faktor ekonomi adalah: 1) Sulit Mencari Pekerjaan Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari yang merupakan sumber penghasilan. Ketiadaan kemampuan dasar untuk masuk dalam pasar kerja yang memerlukan persyaratan, menjadikan wanita tidak dapat memasukinya. Atas berbagai alasan dan sebab akhirnya pilihan pekerjaan inilah yang dapat dimasuki dan menjanjikan penghasilan yang besar tanpa syarat yang susah . Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) tahun 2003-2004 menjadi pekerja seks komersial karena iming-iming uang kerap menjadi pemikat yang akhirnya justru menjerumuskan mereka ke lembah kelam. Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah karena desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan 42 sehari-hari namun sulitnya mencari pekerjaan sehingga menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang termudah. Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja seks merupakan pilihan. Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai PSK antara lain terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah mendapatkan uang. 2) Gaya Hidup Adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan. Kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindari kesulitan hidup, selain itu untuk menambah kesenangan melalui jalan pintas. Dikutip dari TV7.com seorang pengarang best seller “Jakarta Undercover” Moammar MK mengungkapkan bahwa pekerja seks komersial sebagian rela menjajakan tubuhnya demi memenuhi kebutuhan lifestyle. 43 Menjadi pekerja seks dapat terjadi karena dorongan hebat untuk memiliki sesuatu. Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi sesuatu yang ingin dimiliki. Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari nafkah sebagai PSK. Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan makin jauhnya agama dari pribadi-pribadi yang terlibat dalam aktifitas prostitusi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus di miliki. 3) Keluarga yang tidak mampu Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembanganny yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Masalah yang sering terjadi dalam keluarga adalah masalah ekonomi. Dimana ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan didalam keluarga, sehingga kondisi ini memaksa para orang tua dari kelurga miskin memperkerjakan anaknya sebagai pekerja seks. 44 Pada dasarnya tidak ada orang tua yang mau membebani anaknya untuk bekerja namun karena ketidakmampuan dan karena faktor kemiskinan, sehingga tidak ada pilihan lain mempekerjakan anak menjadi pekerja seks, untuk pemenuhan tuntutan kebutuhan seharihari yang tidak dapat ditoleransi. Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial. Pasalnya kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami oleh perempuanperempuan kalangan menengah kebawah. b. Faktor Kekerasan Kekerasan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap seseorang termasuk ancaman dan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena, kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. Dimana salah satu faktor kekerasan adalah: 1) Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal dimana si korban dipaksa untuk melakukan aktifitas seksual khususnya penetrasi alat kelamin diluar kemauannya sendiri. Perkosaan adalah adanya prilaku kekerasan yang berkaitan dengan hubungan seksual yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. 45 Banyaknya kasus kekerasan terjadi terutama kekerasan seksual, justru dilakukan orang-orang terdekat. Padahal mereka semestinya memberikan perlindungan dan kasih sayang serta perhatian yang lebih dari pada orang lain seperti tetangga maupun teman. Seorang wanita korban kesewenangan kaum lelaki menjadi terjerumus sebagai pekerja seks komersial. Dimana seorang wanita yang pernah diperkosa oleh bapak kandung, paman atau guru sering terjerumus menjadi pekerja seks. Korban pemerkosaan menghadapi situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami, calon suami dapat terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan. Biasanya seorang anak korban kekerasan menjadi anak yang perlahan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Tetapi di sisi lain juga menimbulkan kegairahan yang berlebihan. Misalnya anak yang pernah diperkosa banyak yang menjadi pekerja seks komersial. 2) Dipaksa / disuruh suami Dipaksa adalah mengharuskan perbuatan /mengerjakan walaupun tidak mau. seperti tekanan, sesuatu yang desakan yang mengharuskan 46 Istri adalah karunia Tuhan yang diperuntukkan bagi suaminya. Dalam kondisi yang wajar atau kondisi yang normal pada umumnya tidak ada seorang suamipun yang tega menjajakan istrinya untuk dikencani lelaki lain. Namun kehidupan manusia di dunia ini sangat beragam lagi berbeda-beda jalan hidupnya, sehingga ditemui pula kondisi ketidak wajaran atau situasi yang berlangsung secara tidak normal salah satunya adalah suami yang tega menyuruh istrinya menjadi pelacur. Istri melacur karena disuruh suaminya, apapun juga situasi dan kondisi yang menyebabkan tindakan suami tersebut tidaklah dibenarkan, baik oleh moral ataupun oleh agama. Namun istri terpaks melakukannya karena dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mengingat suaminya adalah pengangguran. c. Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis dan lingkungan budaya. Lingkungan psikososial meliputi keluarga, kelompok, komuniti dan masyarakat. Lingkungan dengan berbagai ciri khusunya memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga, sehingga penyimpangan prilaku yang 47 tidak baik dapat terhindari. Dimana salah satu faktor lingkungan adalah : 1) Seks bebas Pada dasarnya kebebasan berhubungan seks antara laki-laki dan wanita sudah ada sejak dahulu, bahkan lingkungan tempat tinggal tidak ada aturan yang melarang siapapun untuk berhubungan dengan pasangan yang diinginkannya. Lingkungan pengembangan pergaulan diri adalah untuk sesuatu hidup kebutuhan bermasyarakat, dalam sehingga diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang bai dalam pergaulan sehari-hari. Mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas tidak bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang. Di beberapa kalangan remaja ada yang beranggapan kebebasan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang wajar. Coba simak cerita yang dikutip Gatra.com berikut. Seorang remaja putri kehilangan kegadisannya saat masih berusia 13 tahun. Karena kecewa ditinggal pacarnya, ia sekalian menceburkan diri ke lembah hitam. Beberapa wanita menjadi PSK tidak semata karena tuntutan ekonomi tetapi juga akibat kekecewaan oleh laki-laki. Dimana 48 kesuciannya telah terenggut dan akhirnya merasa kepalang tanggung sudah tidak suci lagi dan akhirnya memutuskan untuk menjadi PSK. 2) Turunan Turunan adalah generasi penerus atau sesuatu yang turun-temurun. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial. Melalui keluarga anak belajar berespons terhadap masyarakat dan beradaptasi ditengah kehidupan yang lebih besar kelak. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang mempengaruhi perkembangan orang yang ada didalamnya. Adakalanya melalui tindakan-tindakan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan. Orang tua atau saudara bersikap atau bertindak sebagai patokan, contoh, model agar ditiru. Berdasarkan hal-hal diatas orang tua jelas berperan besar dalam perkembangan anak, jadi gambaran kepribadian dan prilaku banyak ditentukan oleh keadaan yang ada dan terjadi sebelumnya. Seorang anak yang setiap saat melihat ibunya melakukan pekerjaan itu, sehingga dengan tidak merasa bersalah itupula akhirnya ia mengikuti jejak ibunya. Ibu merupakan contoh bagi anak. 49 3) Broken Home Keluarga adalah sumber kepribadian seseorang, didalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Lingkungan keluarga dan orang tua sangat berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang. Lingkungan rumah khususnya orang tua menjadi sangat penting sebagai tempat tumbuh dan kembang lebih lanjut. Perilaku negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang di alami dalam keluarga. Hubungan antara pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antar orang tua, saudara menjadi faktor yang penting munculnya prilaku yang tidak baik. Dari paparan beberapa fakta kasus anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya, menjadi anak-anak broken home yang cenderung berprilaku negatif seperti menjadi pecandu narkoba atau terjerumus seks bebas dan menjadi PSK. Anak yang berasal dari keluarga broken home lebih memilih meninggalkan keluarga dan hidup sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sering mengambil keputusan untuk berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial, dan banyak juga dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustasi 50 setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang dikeluarganya tidak terpenuhi. BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Sejarah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan adalah salah satu kota di Provinsi Banten, Indonesia. Kota ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Rencana ini berawal dari keinginan warga di wilayah selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini masuk ke dalam Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu Suku Sunda, Suku Betawi, dan Suku Tionghoa. Wacana pembentukan kota otonom Tangerang Selatan (dahulu Cipasera) muncul sejak 1999. Namun belum adanya kata sepakat antara DPRD dan Pemerintah Kabupaten Tangerang tentang jumlah kecamatan yang akan tergabung dalam kota otonom ini, menghambat proses pembentukannya. Sebagian besar warga masyarakat yang tinggal di Kecamatan Ciputat, Pamulang, Serpong, Cisauk, dan Pondok Aren menginginkan lepas dari Kabupaten Tangerang. Untuk mewujudkan keinginan itu, pada 19 November 2000, dibentuk Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom (KPPDO) Kota Cipasera. Para aktivis KPPDO, pada 2002, pun melakukan kajian awal untuk mendata kelayakan wilayah Cipasera menjadi sebuah kota otonom setingkat kotamadya. Wilayah Cipasera yang memiliki luas 239.850 km persegi, kini telah 51 52 menjadi daerah perkotaan yang ramai. Pada tahun 2000, jumlah penduduk yang tinggal di lima kecamatan itu hampir mencapai 942.194 ( Pagedangan diikutkan ) atau setara dengan 34,5 persen penduduk Kabupaten Tangerang. Sayangnya, wilayah yang telah berkembang menjadi kota itu tidak dibarengi dengan penataan kota yang baik. Pertimbangan lainnya adalah aspek pelayanan masyarakat. Saat ini, dengan letak pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang di Tigaraksa — sekitar 50 km dari Tangerang Selatan — sangat tidak efektif. Dengan luas daerah dan jumlah penduduk yang tinggi, Tangerang Selatan membutuhkan konsentrasi pengelolaan yang lebih tinggi dibanding kecamatan di luar Tangerang Selatan. Dan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) enam kecamatan itu sangat besar, yaitu 309 Miliar pertahunnya atau 60% dari PAD seluruh daerah Kabupaten Tangerang. Berbagai kajian awal tentang peningkatan status wilayah Tangerang Selatan menjadi daerah otonom telah dilakukan. KPPDO Kota Cipasera (Tangerang Selatan) telah mengkajinya dari aspek hukum, sosial-ekonomi, sosial-budaya, sosial-politik dan aspek pertahanan-keamanan. Potensi pendapatan daerah, ekonomi, sumber daya alam, lapangan kerja, lapangan usaha, pusat pendidikan dan teknologi juga telah dikaji. Namun pembentukan Kota Tangerang Selatan, rupanya masih panjang untuk sampai final. Ini dikarenakan Pemerintah Kabupaten Tangerang menyatakan bahwa kota tersebut hanya akan terdiri atas tujuh kecamatan. Padahal DPRD Tangerang telah sepakat dan menyetujui kota otonom itu terdiri atas delapan kecamatan. Bupati Tangerang Ismet Iskandar tidak memasukkan Cisauk 53 dalam draf wilayah Tangerang Selatan. Padahal penetapan delapan kecamatan yang terdiri dari Setu Ciputat, Cisauk, Ciputat Timur, Serpong, Serpong Utara, Pondok Aren dan Pamulang, telah ada dasar kajian ilmiahnya. Akhirnya tanggal 29 Septemper 2008 keluar Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan melalui Sidang Paripurna DPR-RI, dengan cakupan wilayah Kec. Setu, Serpong, Serpong Utara, Pondok Aren, Pamulang, Ciputat, dan Ciputat Timur bergabung dalam sebuah kota yang otonom bernama Kota Tangerang Selatan. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto akhirnya meresmikan Kota Tangerang Selatan sekaligus melantik Penjabat Walikota Tangsel Ir.H.M. Shaleh, MT sebagai Walikota Tangerang Selatan. Kompleksitas permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat menuntut upaya sadar dari setiap komponen masyarakat untuk memperbaharui dan mengelola sistem sosialnya serta menyelesaikan permasalahan sosialnya. Pembaharuan yang dimaksud adalah upaya pengembangan nilai-nilai yang melandasi struktur sosial suatu masyarakat yang dinami, stabil dan mengacu pada tujuan pencapaian kesejahteraan sosial. Sementara Pengelolaan Sosial adalah bagaimana menjadikan seluruh dinamika sosial dalam sistem masyarakat sebagai energi positif yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan masyarakat itu sendiri. Dan penyelesaian Masalah Sosial adalah intervensi sosial yang dilakukan secara sadar, inovatif dan terukut terhadap suatu permasalahan sosial sebagai langkah untuk menjadikan masalah tersebut normal kembali atau lebih baik lagi sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks 54 sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Para motivator, stabilisator dan pendamping sosial tersebut perlu dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan kultur dan tradisi lingkungannya itu sehingga mereka tidak terkesan eksklusif. Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Para PSM ini merupakan voluntier dari masyarakat yang berdomisili di desa-desa/kelurahan seluruh Indonesia dan sebagai pengarah dalam operasionalnya adalah seorang Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) yang merupakan pegawai negeri. Sekarang PSKnya sudah dibubarkan, sementara PSM nya masih ada di seluruh Nusantara. Bahwa diperlukan manifestasi Semangat Sosial dalam mewujudkan kesejahteraan sosial melalui Forum Komunikasi yang berfungsi sebagai wahana dan sarana komunikasi, konsultasi dan koordinasi berbagai kegiatan PSM yang dikelola secara mandiri, tumbuh dan berkarya dari, oleh dan untuk Pekerja Sosial Masyarakat itu sendiri. Untuk itulah para PSM dengan penuh kesadaran, atas rasa tanggung jawab, dengan semangat Kesetiakawanan Sosial Nasional, bermufakat untuk menghimpun diri dalam suatu wadah yang diberi nama Forum Komunikasi 55 Pekerja Sosial Masyarakat disingkat FKPSM. FKPSM adalah wadah berhimpun para PSM se-Indonesia di bawah binaan Departemen Sosial RI. PSM Tangerang Selatan dibentuk pada tahun 2010 yg di sahkan oleh Walikota Tangerang Selatan pada saat itu Ir. Soleh, MT sebagai Wali Kota Tangerang Selatan, terdiri dari 30 orang pengurus dari tingkat kota dan beralamat di Perumahan Villa Tekno Blok R3 No 6, Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu dengan berbekal SK (Surat Keputusan) tersebut PSM membentuk pengurus sampai tingkat kelurahan terdiri dari 7 Kecamatan dan 54 Kelurahan. B. Profil Pekerja Sosial Masyarakat di Tangerang Selatan IPSM merupakan perkumpulan profesi Relawan Sosial dan telah dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2012 tertanggal 19 Januari 2012 yang bertujuan meningkatkan kualitas Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial, mewujudkan masyarakat adil dan makmur menuju persatuan bangsa. Dengan struktur yang ada PSM Tangerang Selatan menjalankan program dan berjejaring dgn pemerintah daerah dan swasta, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dengan berbekal data PMKS (Penyandang Masaalaj Kesejahteraan Sosial) dan data PSKS (potensi sumber kesejahteraan sosial) PSM juga bermitra dengan lembaga swasta diantaranya yaitu, Yayasan yg ada di Kota Tangerang Selatan yaitu, Layanan kesehatan umat (LKU Bintaro), Layanan kesehatan Cuma-Cuma (LKC Ciputat), Yayasan PARAS, masyarakat Relawan 56 Indonesia (MARI), Yayasan karya peduli Kita (Kapeta) mulai bekerja sama menjalankan program PMTS (pencegahan HIV Aids melalui transmisi seksual) dan pada tahun 2011 PSM mendirikan sanggar kreatif anak bangsa yang berdomisili di Kecamatan Ciputat Timur Kelurahan Pisangan yang bergerak dibidang penanggulangan anak jalanan yang berjumlah 30 anak dan juga tempat singgah sertasarana belajar di sangggar tersebut. Dan mendapatkan donator dari LPM UIN dan Dompet Duafa. Selama dua tahun menjalani proses kegiatan belajar-mengajar akhirnya PSM berinisiasi membuka sekolah paket A, B, C untuk anak jalanan dan masyrakat umum di sekitar sanggar serta membuka kelas pengenalan, pengembagan, potensi bakat yag bertujuan untuk meningkatkan bakat peserta didik melalui kegiatan ekstra kulikuler yaitu, bela diri, teater, musik dan seni lukis di tahun 2012 salah satu anak jalanan yg tinggal di sanggar mendapatkan juara II tingkat Nasional pada perlombaan pekan anak daerah di Batam. Sanggar kreatif anak bangsa sering dijadikan sarana diskusi pemuda Kota Tangerang Selatan dan liputan terkait anak jalanan oleh beberapa stasiun televisi swasta. PSM juga mempunyai media komunikasi informasi dan edukasi (medkom) dimana jurnalisnya beberapa anak jalanan yang mempunyai bakat menulis dan foto grafi melalui mentransformasi masyarakat. media pengetahuaan cetak untuk tersebut juga meningkatkan berbagiinformasi kesejahteraan dan sosial Media tersebut didanai oleh iklan KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang mana usaha tersebut didampingi oleh PSM ditingkat kecamatan dan kelurahan. 57 C. Struktur PSM Kota Tangerang Selatan SUSUNAN PENGURUS IKATAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (IPSM) Dewan Pembina : 1. H. Suryadi Ni’an, S.Sos; 2. Ir. Landung Mintoharjo; 3. Drs. H. Syamsul Ma’arif; 4. Drs. H. Syihabudin Hasyim; 5. Siti Amsariah, MA; dan 6. Dra. Hj. Siti Ma’arif Ketua : Mohammad Subhan. Wakil Ketua I : Alfian Mujahidin. Wakil Ketua II : Aan Sunarya. Wakil Ketua III : Ayadih Sugira. Sekretaris : Kholidah Tamami. Wakil Sekretaris : Saeful Anwar. Bendahara : Syarifudin Kamri. Wakil Bendahara : Ani Wahyuni. Bidang-Bidang : I. Bidang Penelitian dan Pengembangan. Koordinator : Iwan Rosihan Anggota : 1. Mus Mulyadi; 2. Ahmad Nadjib; 3. Azwarudin; dan 4. Nurlia. 58 II. Bidang Pengkaderan Pendidikan dan Pelatihan. Koordinator : Nasrullah; Anggota : 1. Hasan Asyari; 2. Gozali; 3. Liyus Oktari; dan 4. Yopie Handayani. III. Bidang Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Koordinator : Chairijal Tabrani Anggota : 1. Dimas S. Nugraha; 2. Ahmad Syahrullah; 3. Saiful Bahri Japel; dan 4. Dedies E.Y. IV. Bidang Fakir Miskin dan Ekonomi Kerakyatan. Koordinator : Yudi Adriadi; Anggota : 1. Ali Hidayat; 2. Muslih; 3. Henny; dan 4. Rifky Aprilian. V. Bidang Penyandang Cacat Tuna Susila dan Lanjut Usia. Koordinator : Ahmad Alhadid; Anggota : 1. Buldan Subagya; 2. Dasuki; 3. Asmin Chardie; dan 4. Ali Syahbana. VI. Bidang Perlindungan Anak. Koordinator : M. Rusli Anggota : 1. Indah Pratiwi; 2. Syukroni; 59 3. Iskandar Muda; dan 4. Hasan Basri. VII. Bidang Napza dan Kesmas. Koordinator : Zakarsih Tanjung Anggota : 1. Nurul Badriah; 2. Citrawan Putra; 3. Arif Rahman; 4. Deni Agusta; dan 5. Langgeng Wijaya VIII. Bidang Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Imigran Koordinator : Hendra Sastra Atmaja Anggota : 1. Ahmad Sarbini 2. Sigit Sungkono 3. Diana Syukriah; dan 4. TB. Buang. D. Maksud, Tujuan, Kedudukan Tugas dan Fungsi Pekerja Sosial Masyarakat Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 01 Tahun 2012 Tentang Pekerja Sosial Masyarakat mempunyai maksud, tujuan, kedudukan, tugas dan fungsi sebagai berikut : 1. Maksud PSM diadakan dengan maksud untuk: a. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga masyarakat untuk berperan dalam kesejahteraan sosial; dan melaksanakan penyelenggaraan 60 b. meningkatkan kepedulian warga masyarakat dalam menangani masalah sosial. 2. Tujuan Tujuan diadakannya PSM: a. terwujudnya kehidupan masyarakat yang berkesejahteraan sosial; b. terwujudnya warga masyarakat yang memiliki keberfungsian sosial yang mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri; dan c. tertanganinya masalah sosial. 3. Kedudukan a. Pekerja Sosial Masyarakat berkedudukan di desa/kelurahan. b. Pekerja Sosial Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (a) mempunyai wilayah kerja di desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. 4. Tugas Pekerja Sosial Masyarakat mempunyai tugas: a. menginisiasi penanganan masalah sosial; b. mendorong, menggerakkan, dan mengembangkan kegiatan penyelenggaraan kesejahteraaan sosial; c. sebagai pendamping sosial bagi warga masyarakat penerima manfaat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; d. sebagai mitra pemerintah/institusi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan e. memantau program penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 61 5. Fungsi Fungsi PSM di dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: a. perencana dan inisiator program dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; b. pelaksana dan pengorganisasi program dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c. pengembang kemitraan dan peningkatan kerjasama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan d. pengendali program dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 6. Peran a. Pekerja sosial berperan sebagai fasilitator untuk merobah pola pikir pekerja seks komersial b. Pekerja sosial berperan sebagai advocator bagi pekerja seks komersial untuk memberi pelayanan c. Pekerja sosial berperan sebagai membantu serta memberi arahan agar dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya. d. Pekerja sosial berperan sebagai orang yang memberi motivasi agar berubah pola pikir pekerja seks komersial menjadi lebih positif thinking for future. e. Pekerja sosial berperan sebagai pengreferel ke institusi atau ke lembaga-lembaga yang berwenang terhadap penaggulangan wanita penyandang masalah tuna susila. 62 E. Pekerja Seks Komersial di Tangerang Selatan Pelacuran merupakan gejala sosial yang berlangsung dalam sejarah umat manusia yang panjang karena berbagai faktor yang berkaitan menyebabkan gejala ini ada dari waktu ke waktu, faktor-faktor yang mendorong terjadinya pelacuran terletak baik pada aspek kodrati manusiawi terutama yang berhubungan dengan Bio- psikologis, khususnya nafsu seksual manusia baik itu pria atau wanita. Serta faktor-faktor luar yang mempengaruhi seperti faktor sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang terjalin sedemikian rupa sehingga drama pelacuran atau Prostitusi ada terus dari waktu ke waktu sepanjang sejarah manusia. Secara tepatnya pentas pelacuran dianggap mulai ada sejak adanya norma hukum perkawinan. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki), tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik. Masalah pelacuran yang ada di Kota Tangerang Selatan akan berdampak pada rusaknya moral generasi muda. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah Kota Tangerang antara lain mengeluarkan Perda Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran dalam wilayah Kota Tangerang Selatan. Susunan 63 peraturan daerah ini terdiri dari enam bab dan dua belas pasal yang isinya tentang ketentuan umum, pelarangan, penindakan dan pengendalian, ketentuan pidana, penyidikan dan ketentuan penutup. Pasal 1 ayat 3 Perda Nomor 8 Seri E Tahun 2005 menyebutkan pelacuran adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik ditempat berupa Hotel, Restoran, Tempat Hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat – tempat lain di daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa. Dalam proses pelaksanaan Perda Nomor 8 Seri E Tahun 2005 Tentang Larangan Pelacuran, penertiban PSK dilaksanakan oleh: - Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Kota Tangerang Selatan; - Dinas Pariwisata Kota Tangerang Selatan; - Kantor Polisi Pamong Praja Kota Tangerang Selatan; - Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Tangerang Selatan; - Kepolisian Kota Tangerang Selatan; - Bagian Hukum dan Ortala Sekretariat selaku Koordinator Tim Yustisia. Kota Tangerang Selatan, 64 BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PERAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PEKERJA SEKS KOMERSIL Pekerja sosial masyarakat sebagai warga mayarakat yang memiliki jiwa pengabdian sosial dan telah memiliki kopetensi dalam pekerjaan sosial1, tentu akan sangat memiliki peran penting dalam memberikan berbagai arahan kepada para pekerja seks komersil, baik arahan yang bersifat edukasional dan keterampilan maupun arahan yang bersifat membantu dalam menyampaikan berbagai informasi penting terkait kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, para pekerja sosial masyarakat tentu memiliki berbagai hasil penelitian, yang menurut peneliti dapat dijadikan bahan analisis dalam menentukan program yang tepat bagi para pekerja seks komersil di Tangerang Selatan. Seperti data hasil penelitian yang dilakukan oleh para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan yang menunjukkan bahwa kondisi pekerja seks komersial di Tangerang Selatan yang didominasi latar belakang pendidikan yang hanya pada tingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bab ini akan menguraikan temuan lapangan dan analisis mengenai peran pekerja sosial masyarakat terhadap pekerja seks komersil yang terdiri atas tiga subbagian, yaitu pertama; deskripsi informan yang merupakan penjelasan mengenai gambaran latar belakang informan, yang terdiri dari dua orang pekerja seks komersil 1 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 01 Tahun 2012. Bab I Pasal 1 65 Tangerang Selatan, satu orang wakil ketua pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan, dan satu orang pegawai pemerintah daerah Tangerang Selatan, kedua; temuan lapangan, mengenai berbagai pemaparan fakta yang peneliti temukan dilapangan terkait peran pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan baik dalam peran fasilitatif, edukasional, representasioal, dan teknis. Pada subbagian ini akan disajikan temuan berupa kutipan-kutipan hasil wawancara, catatan obserasi lapangan, dan beberapa hasil studi dokumentasi, ketiga; analisis yang peneliti lakukan mengenai hasil temuan fasilitatif, edukasional, representasioal, dan teknis yang dilakukan pekerja sosial masyarakat Tangrang Selatan terhadap para pekerja seks komersil. A. Deskripsi Informan 1. Informan 1 (Pekerja Seks Komersil) Informan 1 dalam penelitian ini, adalah seorang pekerja seks komersil yang berinisial AM, berumur 32 tahun dan berasal dari daerah Sukabumi. Dalam kehidupan keseharinnya sebelum menjadi pekerja seks komersil, AM adalah ibu rumah tangga yang memiliki seorang anak laki-laki. Namun, pada umur 28 tahun AM bercerai dengan suaminya dikarenakan suami AM tidak bisa memenuhi nafkah yang dibutuhkan oleh AM dan anaknya. Dengan berbekal pendidikan hingga tingkat SMA, AM mengikuti seorang tetangga di dekat rumahnya untuk merantau ke daerah Muncul, Tangerang Selatan. 66 Menurut peneliti, yang paling utama melatarbelakangi AM menjadi pekerja seks komersil di daerah Muncul, Tangerang Selatan, adalah latar belakang pendidikan AM yang hanya pada tingkat SMA, sehingga sangat menyulitkan bagi AM untuk mencari pekerjaan dengan pendapatan yang lebih besar selain menjadi pekerja seks komersil. Selain itu, menurut peneliti kondisi lingkungan di sekitar rumah AM yang juga dihuni oleh banyak pekerja seks komersil, menjadi motivasi tersendiri bagi AM untuk ikut serta menjadi pekerja seks komersil. Karena dalam pandangan AM, para pekerja seks komersil seperti tetangganya terlihat cukup sukses dengan pendapatan Rp.300.000,- hingga Rp.500.000,- setiap harinya. 2. Informan 2 (Pekerja Seks Komersil) Informan 2 pada pnelitian ini juga adalah seorang pekerja seks komersil, yang berinisial MR, berusia 28 tahun asal Brebes. Latar belakang pendidikan MR juga hanya hingga tingkat SMA. Dalam kesehariannya sebelum menjadi pekerja seks komersil, MR adalah anak seorang petani padi. Ayah MR memiliki beberapa bidang sawah di kampung halamannya. Sebenarnya pendapatan keluarga MR cukup untuk sekedar makan dan minum. MR pertama kali mengenal pekerjaan menjadi pekerja seks komersil dari seorang teman sekolahnya semasa SMP. Menurut peneliti, latar belakang utama yang memutuskan MR menjadi pekerja seks komersil adalah lingkungan tamanteman sebaya MR, yang terilihat cukup sukses ketika menjadi pekerja seks 67 komersil. Hal ini peneliti rasakan ketika dalam proses wawancara, MR menolak ketika dinyatakan bahwa faktor ekonomi dan faktor pendidikan yang melatarbelakangi MR untuk menjadi pekerja seks komersil. Namun MR tidak menolak ketika peneliti nyatakan bahwasanya yang menjadi latar belakang MR memilih pekerjaan sebagai pekerja seks komersil adalah ajakan teman-teman disekitar tempat MR tinggal. Selain itu MR juga mengakui bahwasanya ketertarikan untuk menjadi pekerja seks komersil juga dikarenakan MR melihat perubahan gaya hidup teman-teman disekitarnya yang menjadi lebih baik ketika menjadi pekerja seks komersil. 3. Informan 3 (Pekerja Sosial Masyarakat) Informan 3 dalam penelitian ini adalah Aan Sunarya2 yang biasa dipanggil Aan. Dalam kesehariannya Aan menjabat sebagai wakil ketua Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan. Selain menjadi pekerja sosial masyarakat di tangerang selatan, Aan juga aktif diberbagai lembaga sosial masyarakat. Dalam kegiatannya sebagai pekerja sosial masyarakat, Aan membagi para pekerja seks komersial kedalam beberapa kelompok yang terdiri dari 20 orang pada masingmasing kelompok dampingan. Selain itu Aan juga membantu memberikan hasil data penelitian yang dilakukannya kepada beberapa dinas terkait, seperti Dinas Sosial Tangerang 2 Informan ini tidak berkeberatan dituliskan namanya secara lengkap dalam skripsi ini 68 Selatan, Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, serta Pemerintah Daerah Tangerang Selatan. 4. Informan 4 (Aparat Pemerintah) Informan 4 dalam penelitian ini berinisial GR. Beliau adalah pegawai pemerintah daerah Tangerang Selatan Kecamatan Setu. Beliau adalah petugas yang ditunjuk oleh pihak perintah daerah Tangerang Selatan Kecamatan Setu untuk bertanggung jawab atas pendataan terhadap penduduk di wilayah Kecamatan Setu. Selain itu GR juga bertanggung jawab untuk melakukan berbagai komunikasi dengan berbagai kalangan masyarakat termasuk pekerja sosial masyarakat dalam melakukan hubungan masyarakat. B. Temuan Tentang Peran Fasilitatif, Edukasional, Representasinoal, dan Teksnis Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan 1. Peran Fasilitatif Pekerja Sosial Masyarakat menjalankan peran fasilitatifnya dalam memberi dukungan (Support), membentuk consensus (bulding consesuss), fasilitasi kelompok (group facilitatiaon), dan mengorganisir (organizing), dilakukan dengan cara membentuk kelompok dampingan yang terdiri dari 20 orang pada masing-masing kelompok. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Aan Sunarya sebagai berikut: 69 “kalau urusan organisir sama fasilitasi kelompok kita biasanya buat kolompok dampingan, nanti kelompok dampingannya dipimpin orang dari PSM. Nah, dikelompok ini baru kita biasanya kasih mereka arahan…”3 “…arahannya seperti kita tanya apa aja masalah mereka, atau kebutuhan mereka apa aja. Kadang ada aja yang cerita tentang pekerjaan dia”.4 Hal serupa juga dinyatakan oleh AM, salah seorang pekerja seks komersil di wilayah Tangerang Selatan yang menyatakan, “sebenarnya kadang saya juga sering curhat (curahan hati / berbagi cerita) ama orang PSM, soalnya mereka kadang tanya-tanya masalah kita kalau lagi kerja”.5 Sedangkan untuk peran animasi sosial, mediasi dan negoisasi, serta pemanfaatan sumberdaya, peneliti tidak menemukan peran ini dilaksanakan secara maksimal oleh para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan. Hal ini menurut Aan Sunarya lebih dikarenakan sikap apatis masyarakat setempat terhadap praktek prostitusi yang ada di lingkungan mereka. Lebih lanjut Aan Sunarya justru lebih berharap dengan keberadaan lebaga pendidikan islami yang baru didirikan didekat tempat prostitusi. 3 Wawancara dengan Aan Sunarya Tanggal 25 Juni 2014. Wawancara dengan Aan Sunarya Tanggal 25 Juni 2014. 5 Wawancara dengan AM tanggal 22 Juni 2014 4 70 2. Peran Edukasional Pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan melaksanakan peran menyampaikan informasi (informing) dan pelatihan (training) dilakukan dengan memberikan berbagai penyuluhan terkait penyampaian terhadap penyakit menular seksual dan pelatihan terkait penggunaan alat kontrasepsi. Seperti dalam kegiatan yang diselenggarakan pada 23 September 2013: Gambar 4.1 Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan memberikan penyuluhan kepada para pekerja seks komersil dan masyarakat sekitar Hal ini dipertegas dengan pernyataan yang disampaikan oleh AM, “kadang sering juga bang, orang PSM ajak kita kumpul buat dapat arahan gitu”.6 6 Wawancara dengan AM tanggal 20 Juni 2014 71 Sementara untuk peran melakukan konfrontasi dan membangkitkan kesadaran masyarakat, peneliti tidak menemukan kegiatan yang dilaksanakan pekerja sosial masyarakat guna mendukung peran tersebut. 3. Peran Representasional Sementara untuk peran representasional, peneliti tidak melihat peran mencari sumberdaya, advokasi, dan pemanfaatan media, dimaksimalkan oleh para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan kepada para pekerja seks komersil. Namun, untuk peran hubungan masyarakat dan mengembangkan jaringan, peneliti melihat para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan sangat memanfaatkan peran ini. Hal ini terlihat dalam keterlibatan secara aktif para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, seperti kegiatan gathering yang dilaksanakan pemerintah daerah Tangerang Selatan pada 28 Agustus 2014 72 Gambar 4.2 Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan mengikuti agenda gathering yang diadakan oleh pemerintah daerah Tangerang Selatan 4. Peran Teknis Dalam melaksanakan peran teknis, para pekerja sosial masyaraat Tangerang Selatan sangat memaksimalkan peran ini, terutama dalam peran menganalisis data, menggunakan komputer, dan presentasi tertulis. Hal ini ditunjukkan dengan dokumen laporan penelitian yang senantiasa mereka sampaikan kepada lembaga pemerintahan terkait seperti yang dilampirkan pada lampiran 1. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh pegawai pemerintah daerah sebagaimana yang disampaikan oleh GR, “ sering juga kok orang-orang 73 PSM main kesini, kadang untuk konsultasi aja, tapi sering juga untuk kasil laporannya mereka”.7 Sementara untuk peran manajemen dan kemampuan mengontrol keuangan, peran ini terlihat dalam segenap peraturan keorganisasian yang senantiasa mereka laksanakan dan tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, seperti yang disampaikan pada lampiran 2. Berikut penulis sajikan tabel matrix peran teknis dan hasil pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan: No. 1. Peran Hasil Mengumpulan dan menganalisis data Laporan perkembangan pekerja 2. (data collection and analysis) seks komersil Tangerang Selatan Menggunakan computer Kemampuan membuat makalah (Using Computers) presentasi kepada pemerintah daerah 3. Melakukan presentasi tertulis maupun Melakukan presentasi penyuluhan verbal (verbal and written kesehatan kepada pekerja seks presentation) komersil Tangerang Selatan 4. Manajemen (Management) Memiliki struktur kepengurusan 5. Kemampuan untuk mengontrol Laporan keuangan (financial control) 7 Wawancara dengan GR pada tanggal 27 Juni 2014 pertanggung jawaban penggunaan anggaran keuangan 74 C. Analisis Peran Fasilitatif, Edukasional, Representasinoal, dan Teksnis Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan 1. Peran fasilitatif Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis peran pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan menggunakan teori yang disampaikan Ife. Dalam penjelasannya, Ife menyatakan bahwa peran fasilitatif pekerja sosial masyarakat meliputi: animasi sosial (social animation); mediasi dan negosiasi (mediation and negotiation); pemberi dukungan (support); membentuk konsensus (building consensus); fasilitasi kelompok (group facilitation); pemanfaatan sumber daya dan keterampilan (utilization of skills and resources); dan mengorganisir (organizing).8 Dalam melakukan peran animasi sosial (social animation), para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan menurut peneliti masih belum mampu memaksimalkan lebih lanjut peran membangkitkan energy, inspirasi, antusiasme masyarakat (mengaktifkan dan memotivasi) warga untuk bertindak dalam hal mengembalikan para pekerja seks komersil kearah pekerjaan yang sesual dengan nilai-nilai agama, moral, dan budaya. Bahkan menurut pemaparan Aan Sunarya, kesulitan yang dialami pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan dalam mengarahkan para pekerja seks komersil terjadi dikarenakan kurangnya 8 Jim Ife, Community Development: creating community alternatives – vision analysis and practice (Melbourne: Longmen Australia Pty Ltd. 1995), h.202-210. 75 partisipasi masyarakat sekitar dalam membantu para pekerja seks komersil tersebut keluar dari pekerjaan lamanya. Aan Sunarya pun akhirnya menyatakan bahwa keberadaan yayasan pendidikan Islam yang baru didirikan disekitar daerah prostitusi merupakan harapan baru bagi terciptanya animasi sosial, guna terciptanya lingkungan masyarakat yang mampu membantu para pekerja seks komersil keluar dari pekerjaan lamanya. Sementara peran mediasi dan negoisasi (mediation dan negoitiation) yang dilakukan para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan, akhirnya menjadi tidak terlaksana dengan baik, mengingat sikap apatis yang ditunjukkan oleh masyarakat sekitar. Sehingga sangat jarang terjadi konflik dalam penanganan masalah pekerja seks komersil di wilayah Tangerang Selatan. Sementara peran fasilitatif berupa pemberian dukungan (Support) bagi para pekerja seks komersil yang dilakukan oleh para pekeja sosial masyarakat Tangerang Selatan dilakukan melalui kelompok dampingan yang dibentuk oleh para pekerja sosial masyarakat. Dalam kelompok dampingan ini, para pekerja sosial masyarakat memberikan waktu luang bagi para pekerja seks komersil dalam berkonsultasi lebih lanjut terkait keinginan mereka dalam meretas jalan pekerjaan yang halal. Sementara dalam melaksanakan peran membentuk konsensus (building consensus), fasilitasi kelompok (group facilitiation) dan mengorganisir (organizing), dilakukan para pekerja sosial masyarakat dengan membentuk kelompok pekerja seks komersil yang terdiri dari 20 orang yang disebut kelompok dampingan. Dalam kelompok dampingan inilah peran-peran ini 76 tercapai. Karena menurut peneliti dalam kelompok dampingan ini, para pekerja seks komersil lebih leluasa dalam menyampaikan keluhan yang dialami. Bagitu pula bagi para pekerja sosial masyarakat yang lebih efektif dalam menyampaikan berbagai pendidikan, edukasi, dan pendampingan dalam kelompok ini. 2. Peran Edukasional Selain peran fasilitastif, ife juga melanjutkan bahwasanya ada pula peran edukasional yaitu: membangkitkan kesadaran masyarakat (consciousness raising); menyampaikan informasi (Informing); mengonfrontasikan (conforting); dan pelatihan (training).9 Dalam melaksanakan peran edukasionlnya terutama dalam peran membangkitkan kesadaran masyarakat (consciousness raising), para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan, menurut peneliti lebih mengedepankan berbagai alasan ekonomis seperti kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat sekitar dan pekerja seks komersil, agar para pekerja seks komersil di sekitar mereka tidak terlalu merasa diasingkan dari kehidupan bermasyarakat. Mengingat mayoritas para pekerja seks komersil di Tangerang Selatan sangat sulit 9 Jim Ife, Community Development: creating community alternatives – vision analysis and practice (Melbourne: Longmen Australia Pty Ltd. 1995), h.202-210. 77 untuk diajak terbuka terkait peluang pekerjaan selain menjadi pekerja seks komersil.10 Sementara itu, dalam peran menyampaikan informasi (Informing), para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan menyampaikan berbagai informasi seperti bahaya penyakit menular seks melalui berbagai kelompok dampingan yang telah dibentuk sebelumnya. Hal ini menurut AM sebagai salah seorang pekerja seks komersil merupakan metode yang cukup efektif, karena dalam pernyataannya AM merasa, tidak hadir dalam penyuluhan yang diselenggarakan oleh para pekerja sosial masyarakat sangatlah merugikan, mengingat dalam kesempatan tersebut AM bisa mengakses berbagai pengetahuan terkait bahaya penyakit menular seksual dan juga AM bisa mendapatkan berbagai keuntungan seperti menjadi lebih akrab dengan para pekerja sosial masyarakat yang bisa menyediakan alat kontrasepsi secara gratis seperti kondom yang sanagat ia butuhkan.11 Begitu pula dengan peran pelatihan (training) yang dilakukan para pekerja sosial masyarakat, mereka juga menyampaikan training-training terkait permasalahan cara penggunaan alat kontarsepsi, melalui kelompok dampingan yang sebelumnya dibentuk. Namun menurut peneliti, dalam hal ini para pekerja sosial masyarkat masih belum mampu memberikan pelatihan diluar tema kesehatan. Dalam permasalahan ini, Aan Sunarya mengakui bahwa kesulitan 10 11 Wawancara pribadi dengan Aan Sunarya. Tangerang Selatan, 27 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan AM, Tangerang Selatan, 28 Juni 2014. 78 dalam mengembangkan training diluar tema kesehatan ini, dikarenakan para pekerja sosial masyarakat merasa kesulitan mendapatkan pencairan dana yang mereka ajukan untuk berbagai kegiatan training edukasional yang telah mereka rancang dari departemen sosial maupun pemerintah daerah. 3. Peran Representasional Dalam peran representasional ini, meliputi 6 peran sebagaimana yang dijelaskan oleh Ife, yaitu: Mencari Sumber daya (obtaining resources); advokasi (advocacy); memanfaatkan media (using media); hubungan masyarakat (public relations); mengembangakan jaringan (networking); membagi pengalaman dan pengetahuan (sharing knowledge and experience).12 Pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan dalam memenuhi peran representasional ini, menurut peneliti memiliki banyak kekurangan terutama dalam memenuhi peran mencari sumber daya (obtaining resources), advokasi (advocacy), dan memanfaatkan media (using media). Dalam hal ini sebagai mana yang telah peneliti jelaskan sebelumnya, faktor utama yang menyebabkan pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan tidak maksimal dalam menjalankan peran ini, adalah karena respon yang kurang baik dari dinas sosial Tangerang Selatan ketika para pekerja sosial masyarakat ingin mengajukan berbagai program yang 12 Jim Ife, Community Development: creating community alternatives – vision analysis and practice (Melbourne: Longmen Australia Pty Ltd. 1995), h.202-210. 79 seharusnya bisa didukung baik dari sisi pembiayaan, maupun penyamaan program. Sedangkan untuk peran hubungan masyarakat (public relations), mengembangakan jaringan (networking), serta membagi pengalaman dan pengetahuan (sharing knowledge and experience). Menurut peneliti pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan sangatlah maksimal dalam menjalankannya. dalam melaksanakan peran hubungan masyarakat (public relations) dan mengembangakan jaringan (networking), para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan berhasil mengajak puskesmas setempat beserta dinas kesehatan untuk melaksanakan berbagai program penyuluhan kesehatan, terutama penyuluhan kesehatan tentang bahaya penyakit menular serta pengecekan darah bagi para pekerja seks komersil guna mencegah penyakit menular melalui hubungan seks seperti HIV AIDS. Selain itu ada pula program pembagian alat kontrasepsi seperti kondom yang dilakaukan oleh para pekerja sosial masyarakat bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat. Inilah yang menurut peneliti bukti keberhasilan pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan dalam memlaksanakan peran hubungan masyarakat dan pembangunan jaringan. Sementara dalam peran membagi pengalaman dan pengetahuan, kesuksesan pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan menurut peneliti disebabkan keberhasilan mebangun kelompik dampingan yang terdiri dari 20 orang pada masing-masing kelompok, guna 80 memudahkan bagi para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan dalam menjawab dan membagi pengetahuan kepada para pekerja seks komersil.13 4. Peran Teknis Peran teknis menurut Ife mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat mengumpulkan dan menganalisis data (data collection and analysis); menggunakan komputer (using computers); melakukan presentasi tertulis maupun verbal (verbal and written presentation); manajemen; dan kemampuan untuk mengontrol keuangan (financial control). Dalam melaksanakan peran teknis, pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan sangat aktif dalam peran mengumpulkan dan menganalisis data. Hal ini terbukti dari laporan yang selalu mereka berikan kepada dinas sosial, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah Tangerang Selatan.14 Dalam setiap hasil laporan perkembangan jumlah pekerja seks komersil misalnya, data yang dihasilkan dan dianalisis oleh para pekerja sosial masyarakat ini, selalu mereka kirimkan kepada dinas-dinas tersebut, dengan harapan agar dinas-dinas terkait dapat lebih efektif dalam membantu mengeluarkan kebijakan bagi pembangunan masyarakat di Tangerang Selatan, Seperti yang disampaikan oleh Aan Sunarya. Meskipun ia sendiri juga mengakui bahwa apresiasi yang dibutuhkan oleh pekerja sosial masyarakat seperti pelaksanaan program-program yang selalu mereka 13 14 Wawancara pribadi dengan Aan Sunarya. Tangerang Selatan, 27 Juni 2014. Wawancara pribadi dengan GR 27 Juni 2014 81 ajukan melalui proposal kegiatan, masih saja belum mendapat apresiasi dari dinas terkait. 15 Dalam kegiatannya para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan juga menggunakan perangkat komputer dan melakukan presentasi tertulis dan verbal, ketika mengajukan proposal kegiatan dan menjelaskan hasil penelitian perkembangan pekerja seks komersil kepada dinas sosial, sehingga kedua peran ini mampu mereka laksanakan dengan baik. Sementara untuk peran manajemen dan mengontrol keuangan, menurut peneliti peran ini dilaksanakan dengan segenap perangkat organisasi yang rapi seperti tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan, dan juga tercermin dalam setiap kelompok dampingan pekerja seks komersil yang sangat rapi dalam melaksanakan kegiatan seperti penyuluhan. 15 Wawancara pribadi dengan Aan Sunarya. Tangerang Selatan, 27 Juni 2014. 81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan teori, fakta, dan temuan dilapangan, maka peneliti mengambil kesimpulan terkait peran pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan terhadap para pekerja seks komersil Tangerang Selatan, adalah sebagai berikut: 1. Peran Fasilitatif Dalam melaksanakan peran fasilitatif, para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan telah berhasil melaksanakan peran sebagai pemberi dukungan (support), yang ditunjukkan dengan melakukan berbagai konsultasi dengan para pekerja seks komersil dalam menghadapi kehidupan pekerjaan mereka. Begitu pula dengan peran dalam membentuk fasilitasi kelompok (group fasilitation), organisir (organizing), dan membentuk konsensus (building consensus) yang dilakukan dengan membentuk berbagai kelompok dampingan yang terdiri dari 15 hingga 20 orang pada masing-masing kelompok dampingan. Sementara untuk peran animasi sosial (social animation), mediasi dan negoisasi (mediation and negoation), pemanfaatan sumberdaya dan keterampilan (utilization of skills and resources), hasil temuan lapangan yang dilakukan peneliti tidak menunjukkan bahwa peran ini telah dilaksanakan dengan maksimal. Hal ini dikarenakan sikap yang kurang 82 peduli dari lingkungan masyarakat sekitar terhadap praktek prosritusi yang ada dilingkungan mereka. 2. Peran Edukasional Peran Edukasional yang dilakukan para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan terhadap pekerja seks komersil Tangerang Selatan, terutama dalam melaksanakan peran mengampaikan informasi (informing), dilaksanakan dengan memberikan berbagai infomasi terkait bahaya penyakit menular seksual seperti HIV AIDS yang dilakukan dalam berbagai penyuluhan. Sementara untuk peran pelatihan (training), para pekerja sosial masyarakat melakukan berbagai kerjasama dengan puskesmas sekitar dalam kegiatan pelatian pengguaan berbagai alat kontrasepsi. Sementara dalam melaksanakan peran memebangkitkan kesadaran masyarakat (consciousness raising) dan konfrontasi (conforting), peneliti tidak melihat temuan dilapangan yang menunjukkan bahwa peran ini telah dilaksanakan dengan baik. 3. Peran Representasional Para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan, berdasarkan hasil analisis peneliti menunjukkan sangat tidak maksimal dalam melaksanakan peran mencari sumberdaya (obtaining resources), advocacy, dan memanfaatkan media (using media). Sementara dalam melaksanakan peran 83 hubungan masyarakat (public relation) dan membangun jaringan (networking), para pekerja sosial masyarakat telah melaksanakan peran ini dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hubungan baik antara pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan dengan berbagai lembaga seperti puskesmas, dinas sosial setempat, dan pemerintah daerah. 4. Peran Teknis Berdasarkan berbagai hasil temuan lapangan, peneliti menemukan bahwa peran ini sangatlah dilaksanakan dengan baik oleh para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan. Dalam peran mengumpulaka dan menganalisis data (data collection dan analysis), para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan senantiasa memberikan data akurat terkait perkembangan jumlah pekerja seks komersil kepada berbagai lembaga terkait seperti dinas sosial dan pemerintah daerah Tangerang Selatan. Begitu pula dengan pelaksanaan peran menggunakan komputer (computer using) dan presentasi tertulis maupun verbal yang dilakukan oleh para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan ketika mereka memberikan penjelasan kepada dinas sosial dan pemerintah daerah, yang juga dilaksanakan dengan maksimal. Sementara peran manajemen dan mengontrol keuangan, dilaksanakan oleh para pekerja sosial masyarakat Tangerang Selatan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disusun dan disepakati. 84 B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengemukakan berbagai saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu: 1. Kepada masyarakat umum terutama masyarakat Tangerang Selatan, agar ikut andil dan peduli dalam membimbing para pekerja seks komersil agar mempu melakukan dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kaidah agama dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. 2. Kepada dinas sosial Tangerang Selatan, agar memberikan dukungan lebih maksimal kepada para pekerja sosial masyarakat agar melaksanakan berbagai kegiatan guna menunjang berbagai pelaksanaan peran yang seharusnya dilaksanakan oleh para pekerja sosial masyarat Tangerang Selatan. 3. Kepada pemerintah daerah Tangerang Selatan, agar juga menjadikan permasalahan pekerja seks komersil ini sebagai salah satu fokus dari sekian banyak permasalahan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Lampiran HASIL WAWANCARA (APARAT KECAMATAN) Nama informan (inisial) Hari Tanggal Tempat Topik Wawancara Kondisi Khusus NO 1 2 3 : AK : Jumat, 27 Juni 2014 : Kecamatan Pamulang : Pandangan Kecamatan terkait peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) : PERTANYAAN Peran Pekerja Sosial (PSM) Tangerang Selatan Dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Tangerang Selatan Bagaimana peran PSM sebagai pendidik? Bagaimana PSM melakukan peran fasilitatif PSM? Bagaimana PSM melakukan peran Edukasional? 4 Bagaimana PSM melakukan peran sebagai perwakilan masyarakat? 5 Bagaimana PSM melakukan peran sebagai Tehnis? JAWABAN Cukup Baik, saya dengar mereka sering kasih penyuluhan ke PSK Mereka sering berkoordinasi kesini. Kalau dilihat dari internsitanya, saya yakin peran edukasionalnya baik. Kadang ke kita menyampaikan permasalahan yang dihadapi PSK. Setahu saya mereka cukup sering kasih edukasi ke PSK. Lampiran HASIL WAWANCARA (PEKERJA SEKS KOMERSIAL 1) Nama informan (inisial) Hari Tanggal Tempat Topik Wawancara Kondisi Khusus NO 1 : AM : Sabtu, 28 Juni 2014 : (Café Sahabat) Muncul, Tangerang Selatan. : Pandangan Pekerja Seks Komersil (PSK) terhadap Pekerja sosial masyarakat (PSM) : PERTANYAAN Peran Pekerja Sosial (PSM) Tangerang Selatan Dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Tangerang Selatan Bagaimana peran PSM sebagai pendidik? 2 Bagaimana PSM melakukan peran fasilitatif PSM? 3 Bagaimana PSM melakukan peran Edukasional? Bagaimana PSM melakukan peran sebagai perwakilan masyarakat? 4 5 6 Bagaimana PSM melakukan peran sebagai Tehnis? Apakah anda mengetahui apa itu PSM? 7 Apakah pendapatan harian anda cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? 8 Berapa pendapatan anda dalam satu hari? JAWABAN Kadang-kadang sering kasih arahan, cuma kadang saya nya kurang mengerti. Waktu itu pernah kasih tau kalau ada kursus menjahit atau apa gitu dari kelurahan. Sering kasih ceramah gitu bang. Gak tau saya, bang. Kayaknya sih waktu itu dia pernah ngobrol-ngobrol sama RT, sama RW, Cuma saya lupa waktu itu dia bilang apa sama RT RW. Kayaknya tentang masalah tempat tinggal. Kadang-kadang sering ke sini, ajak kita ke tempat kursus gitu. Kayaknya orang dari kelurahan atau lembaga sosial gitu ya bang. Kalau buat sekedar makan sama kirim uang buat anak di kampung cukup lah bang. Sekitar 300.000 sampai 500.000 kalau rame, tapi kalau sepi kadang ya ngga ada sama sekali. 9 Apakah anda memiliki keterampilan lainnya? Bisa masak. 10 Apa pekerjaan anda sebelum menjadi PSK? 11 Apakah pekerjaan anda sebelumya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari? Apakah masyarakat disekitar anda memberikan tekanan psikologis terhadap profesi yang anda kerjakan? Seberapa sering anda mendapatkan pendidikan dari PSM? Apakah PSM memberikan pendidkan yang mampu meningkatkan keterampilan lainnya? Gak ada bang, dulu pernah buka warung di kampung. Kurang bang, dari warung dulu dapetnya cuma dikit. 12 13 14 15 16 17 Apakah anda mengetahui hak-hak anda sebagai seorang warganegara yang baik? Apakah anda mengetahui kewajihban anda sebagai warganegara yang baik? Profesi apa yang anda inginkan jika tidak menjadi PSK? 18 Apakah masyarakat disekitar tempat anda bekerja mendukung profesi yang anda lakukan? 19 Permasalahan apa yang sering anda hadapi dari masyarakat sekitar ketika anda bekerja? 20 Apakah anda bersedia meninggalkan profesi sebagai PSK jika mendapatkan peluang pendapatan yang lebih baik? Berapa besar kebutuhan harian anda yang harus dipenuhi? 21 22 Berapa besar pendapatan yang anda harapkan di jika seandainya anda mendapatkan profesi baru? Pasti lah bang. Kadang saya lewat aja orang-orang sering liatny gitu ke saya. Sekitar beberapa bulan sekali. Waktu itu pernah ajak bang, tapi saya lagi kurang enak badan. Paling hak nyoblos kalau lagi pemilu. Bayar pajak bukan ? Kalau kepengennya ya kerja di kantor, bang. Tapi kan yang kerja di kantor kan biasanya harus kuliah dulu. Yang penting saya ikutin kata ibu kos (mucikari) aja. Warga kan kadang ibu kos yang hadepin. Tapi kalau yang tetangga sini gak masalah. Kadang sering ada razia gitu, bang. Saya juga namanya kerja beginian harus sering-sering cek ke dokter. Ya mau lah, bang. Sehari kalau di hitung-hitung sama untuk tinggal sama kirim anak di kampung sekitar 300.000 Sekitar 5.000.000. tapi kalau ada yang 3.000.000an saya juga mau. Lampiran HASIL WAWANCARA (DENGAN PSM) Nama Informan (inisial) Hari/Tanggal Topik Wawancara Kondisi khusus NO 1 : JM : Jumat, 27 Juni 2014 : Kondisi Pekerja Seks Komersial (PSK) di Tangerang Selatan : PERTANYAAN Peran Pekerja Sosial (PSM) Tangerang Selatan Dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Tangerang Selatan Bagaimana peran formal Anda dalam menangani PSK di Tangsel? JAWABAN Memberikan penyuluhan serta pendidikan sesuai dengan program yang diselenggarakan KEMENSOS Mengajak mereka sharing terkait permasalahan pokok yang mereka hadapi, dan pelan-pelan mengajak untuk beralih ke profesi yang lebih baik. 2 Bagaimana informal (Peran tertutup) Anda menangani masalah PSK di Tangsel? 3 Bagaimana peran Anda sebagai pendidik? Sekitar 3 sampai 4 kali dalamsatu bulan memberikan penyuluhan. 4 Bagaimana Bapak melakukan peran fasilitatif PSM? 5 Bagaimana Bapak melakukan peran Edukasional? 6 Bagaimana Bapak melakukan peran sebagai perwakilan masyarakat? 7 Bagaimana Bapak melakukan peran sebagai Tehnis Memberikan fasilitasi jalan keluar terhadap permasalahan para PSK dengan programprogram PEMDA yang sudah ada. Memberikan pendidikan terkait peningkatan kemampuan individu, terkadang juga memberikan pendidikan keagamaan agar mereka memiliki semangat untuk bisa menjadi lebih baik. Menyampaikan permasalahan pokok yang dihadapi para PSK kepada lembaga terkait. Contoh?? Langsung turun kelapangan, terus memeberikan pendidikan 8 9 10 11 12 13 14 Bagaimana teknis pelaksanaan bimbingan terhadap para PSK di TANGSEL? Berapa jumlah PSK yang ada di TANGSEL? Seberapa banyak jumlah PSK di TANGSEL yang memiliki pendidikan hingga SD sederajat? Seberapa banyak jumlah PSK di TANGSEL yang memiliki pendidikan hingga SMP sederajat? Seberapa banyak jumah PSK di TANGSEL yang memliliki pendidikan hingga SMA sederajat? Seberapa banyak jumlah PSK di TANGSEL yang memiliki pendidikan hingga S1 sederajat? Pendidikan apa yang paling tepat untuk diberikan kepada para PSK? 15 Apakah anda yakin para PSK di TANGSEL dapat menemukan profesi yang lebih baik? 16 Apakah anda mendapatkan pendidikan formal terkait cara menaggulangi permasalahan PSK di TANGSEL ? Apa yang melatarbelakangi pemilihan sebagai profesi sebagai PSK ? 17 18 Apakah anda mengetahui PERMENSOS RI mengenai PSK? 19 Apakah permasalahan PSK di TANGSEL sudah ditanggulangi dengan baik? 20 Apakah menurut anda jumlah PSK di TANGSEL semakin bertambah? Apakah menurut anda jumlah PSK di TANGSEL semakin berkurang? 21 secara langsung. Lebih sering dilakukan dengan diskusi kelompok. Dalam satu kelompok ada sekitar 10 sampai 20 orang. Di dekat-dekat Muncul sini ada sekitar 4 kelompok PSK. Mayoritas Cuma sampai SD. Cuma sedikit paling 10 sampai 15 orang. Paling banyak 10 orang. Setahu saya tidak ada. Pendidikan keterampilan serta pendidikan formal minimal hingga SMA. Jika mereka mau mengikuti arahan dan program-program yang ada, saya yakin bisa. Dari KEMENSOS iya. Menurut saya sebenarnya mereka ini masih bisa menjadi lebih baik, Cuma terkadang mereka merasa menjadi PSK sudah merupakan jalan untuk memenuhi kehidupan ekonomi mereka. Nah, saya melihat ada peluang bagi mereka untuk menjadi lebih baik. Inilah yang menyemangati saya agar terus mendidik mereka. Tentu, karena ini yang menjadi landasan saya sebagai seorang PSM. Masih perlu ada koordinasi yang lebih baik antar lembaga daerah agar menjadi lebih efektif dan efisien Tidak. Memang kadang datang dari jawa PSK baru, tapi saya yakin semakin berkurang. t *n cv v i\ i4,r.. c * J J J J F F F P (l, Y J J J J J F F F t- F -J F J J F F F F J J F- tr F J F J J J J I F F J F J \- r F EL (u (! ttl o Et tt) I +( l l .D ttt (! -:. o s -1 tr o trol I .+- "+ ( s tk \ G. $ a. :tl .t) g ( :t oo S' I I I t ,lI J Ef,lt9 ,Jl 5 a,j <l 'll L F I t+ \) t al| cFl f.F o l GT I TJ o( I r s t ( f\ \ q o ll I I : I s b .o E I crl o +l q, UI t eo { N q\ q0' ta. d { J { ..s\ ru U d s v ,'Yuu.k .la l 5 rl \l \ \Ql I ( I ft I {f, cl I sB \q .s) \ \ l \ s) ul r.t ,s u q. I g Iq q q { { u q S) $ : l - - r l-il t-\ v) $ t { l^ \^l\s (+. Os eql oo m oq a0 !o 0o Do 00 si I 9 P I 6\ ds s s c "A .s sL E N *l o : e \ \J l\. s{ rv Q Lq, SJ Lo,l I A .A - a l 1/) I s 6 .) E I .A v --\ | -'t r:l t \ s g 3{ ${.t) d ri E.t{ v {t o s g a qa. s U EA & s\ S\i so eol s''l I -i g € d.lcX.N fF .{) s, \| AO $ I I I d f, U h R t Sl t F J I o e( ( ct \$ I t{ s J\ a d { \) .\) v v .! w\ > \4 I I oo AD b h 0c 9 Cll I I 9 tr, s \ s I I I +\ I I ( \ I $ q, b( t.s qqJ { \ li\ sq ss . cB T (+. q c) rL co \ eo s sr I I IJ .4 rC d c \$ .ql '*r \ I I ( :k(c \a \ (, ( h e\ \ I I t4 l. r+, s d d0 c {r0 ; J \ h s $o t I s .{ \ \9 o (o E |! z ( J Ef.). r o 4 lE c(o go 1J d v) [$ $ vr o z F{ a 's 3 z >'f ( 6l (ft., s ) F lr z a? I 1 In r€| F\ TD tlD lQ q, co ol O rl J 6 F 2 .t{r) It) u) J J \- J I el r-{ N (n sf Fl Fl t ts L t, f ( I q J t lq L u ,{q LD ? l) ,G t z ct (o t\ rl Fl d s @ el { ctr c) Fl Fl (\ (\ c s J t4 v! c\l N fi') f! I ( F q c , F sf (\ tn c\t tJ NJ ul I\J 5 N) h R T Gl ctl { u) t\, ts 3 U r' T I/! g b l\) N) o ts ts (o 6 P F Ol { z > 7.T F ts (, !n, t ct't * (- G, -l T P? { { l\) = >r F. 5 ts u) P t\, P ts ts o (o @ { (tI ! CJ 7 zI i)--l 1€ rD \r' D z 7T tr {(I ? f zo cn (, 5 Ll) lv H 7 t/A (tI o f,l t ^ r 7 -1 ( { { z 3 o, !5 .l! t t 3 .N rh t t )3 F +g w fr\ I t s1 s ?, 1 s t) T I -l |- t- I I I \1 F (s Og \s Y (s a i.9 (S : !, \ F 9 B s .s \ l, s ! B B. 5--l 6- \q \ q i\ (ts I Ir t + s- t 3 Y $ cp \ }) \) P a.J +l I I \ '!l I \ I -- C^] \P o \ \ =li -l o) 1r TJ p I ts -$ C . 9 . 1 I + \4 P t d 1 t ) .D t$ LD aa Oo F s I s G .s OO @ \$ I ) s ap \J o I \ I hl \ I 'l o o l \r + ;l r ' g SrJP l s t. ). ,. I ? { I -l 1 I I I \s t\ s !> s B soo OA \'J 4 e l ,/-\ Ic .> s .! 5. 5 l.J( s\ s \ 0/ 6\ s a Tj*t( 1t '7 i o ? lt1 (D 1l |t a n vl r'o ^ o o f - + /O {O r ar * dr ro (T7 c l 3 A 3 o s-' f v5 vo3 f f /t f A ro -l ur GO \s .s s- $ }I =l .S b ! -t -! s \s\s .s ao s tro oo \) $c\ s ss r! +0- h-) $ = e t\ t -t I ,s s € B I t (s G qc }D g? I ; F ! $ ) o -o, 9. \" t r sg. 3 ! 3 't s I I r Jr s l 3 o s P )a I 5- s 5 .D I C' t C' o |\ A \, vr o) o -{ -l -f { C (- t c -\ { -{ _\ -l (- (- tr rr r -1 -l -{ -1 r r' r c -1 -1 J rrrrI r t r r -i -t 1 t- "t r or ! o o ? 0, \ry rz =0, ol= vr o lJ s J J J J J J F, F. F F q, J J J J J F F r J J ^) J J ! \ J cl, (u (! vl s.l\ ) ) [ \, (s \ c r( , , 9 ) q( \\) r s ' )e e e ct c ( c 3 (s EL 6 s -S s. *s \s € \ s s ltl < l t r$ + + $ \ K s s \ \ q. a t \ I a o o - v, |! J o TIf h\ t t t I I \t q c( t s c \ .[ -t-s' \ a a "[\J q el (_ { \( a{- E ( $' s' \ s $ d r I p rr), I s I ti E t\. { ,'II -nt l I \ a s c( Fl 'II I qR r}.l t^ rt (! t ts \ \ $ It- T cb I I I a 0 rt s cq tf J I 7 +/J ,"t l.t E J F *) v') r( {L (a F F rn to E el_ F q J t t4 s( AL {. J( a. z s F el s t{.) (- (o o o z I I \s \) q[ tq Et \: I I d rl ct A cl ! $l c{ { eL (o I o) I I E z z I I I B €ts) (! '-rtt {,J e (o e a I \i) I ,l N I I |u C', sl\ s )F't: N ) F q \s s ) [ ) )( { )( { -sl+ s -ss sq \ s.ss s s s) SJ g ,u-$ \ N .$ *s *s s l \ \ q q \t -s { q, g R rY P N h- F $ N tr g * > c{t $ 6rl cl l^ Oo o c{ f\rt I cl- i> t t4 o Oo Co q os 0o F H Oo oa e o l Os 00 aa qA 6 b h gq oq e \0 o o $r ao c) I s\ Sl s\ sr \ $ srl € lu) *l $ s - ] s $ s s s s) s t I 5 s: sI I t t I t I I I I \ !l t I L q qr t b L t .o b -o * F c .l I d0 *$s sD .as "a *a l+J q e a F \ IuJ :i ct\ s q {l u d l qr a rF S, I u e+ \ S\, { lrp h f s s \ \ s, N J a. E \ s 1s lb t El s s s h : \ lt <l t $ l,l F tb fi (w) $ q b t\ o c ss (_ $ al\ c(.$ c (\l co sl r\ € 9) o el Fl -l c\l Fl ! SLJ *Lll iTD{. d- e( s.x i d z t\){ z F *. d { Fe \ E El (9 I u1t l F J Jl L m st rn 10 r\ (, Cfl o F{ Fl Fl Fl l\l C\ Fl Lb t1 Fl F{ q- r-{ C\l C\ cn sf rn (\l N r\ J', ---r - i '---i- II J i l F i \ t - l\\ il J I I I JI J iJ t- I i I .qrI Fl o q o J (+ eil s I 4t 9Jl t-l 5l 51 $e rul<l< 2lci) o CL r! fJ Zl r, 'A =(! 2-3 €l* ^l-lsl.nl..o;n- col(r) r-{ | t{ <if (\J rn (\ I I l-i--i l iI eJ El l-ii i II t\ rits riJ , lrt' i -l---r lli iil lol i lFl I 'ii \: ttl o o d- ! s s c, q s JF 1S s c- 4) vl (o J o E 6\ p (slU € Eo $ O r Q 3 s s)ls . l lI q) s i (s € i E I =ii- (A E6 I '7 ip i t^ t5 l$, t< I ._t_ Jlo) Blz J to -q 5) I -(\ r( bls .\)i s) , \i$+t 3 9.o ra a E I o Oa Sl I s I I L G) J sg- E .+ :l o g ; "5 5 .' lc F h g G st { sI E (! z tDi o o. to'A trftt E! d'q !z {-R €l-,- I t(s 5 -s t tl' 6lx 90 s q t- f\lco Fl lr{ x ,t t J J o J J J J J J J J J t-- t- F J J -l J J J J Y t-- CI (u ]ivl c s c s s s s s s sl ls F F tr c rfi q -S c -c - L ..s J Js U o tl s 6 s s cl- c_ t q (* s -s { o) c) + PP N -us s s ss s t $ 3 IT o c_ s t : s \ G \ st \ R |u s E G s s $. € 0 sc F F .$ s s \) N $ o s F P r o CI tt, C c c $a { ; 1A ! P P b- h, P sn s @ N s I s s c€ t I t s) s ir (ts \ q s: : ! q, 3 E v s "4. q, o \ t- ..o I \L \ *9 rt\ sl 5 o s g t') tt E(g (o; z:j 'a o z F{ 4 I U -( c I \ I I o s,n cr\ r.t ir oe ar 6 @ s \ s s ,( cts co ct ct E (u z I sr F>'€ (g d s \t 3t l\) E 3 S .D -q) IAF I i*l I a \) 5 h fi:r + 7l z 'v) sJ s\ I I 1 (n LN r.o r\ co q) E -9k s -V Q s o A t u& * d I \) t? I I o cF .s a a cn tA c0 ct o c.( c( a5 F S' J o F{ Fl Fl F )J t- t{ 6l rl tr J 2 1{ ro s rl F{ q f0 s \9 es o o Oc s 5 v) ?L s -^o ix F f Fl -{ a { c) L z v, F ql r{ o r! 6) -s (F € \9 Oo S! I I I ( a) ss -o E + I I '3 el t I I s s t^ q3 s + cl $ S s s o. L q --o c) VJ I trl I A rn \o r\ co Fl I I .F s {9 $ A c 3 s"s ( .-c s ( .T -l s0 sl 5 -e 3 3 -s 6 la rb L a) E -oo c) I I $ w5 t$ ctl 6 (1 I I (f 2 5 J s u ss o <a S 3 + +- I c) -v c:\ $ l ac t 3 x -u C) c9 g \}at a sG a0rr) s s s) s s St d-) A ' o I I I { t Y ( F E G $ ss t (p c{ ct qr c\ c4 t{r 9 t- E t\ S! F F tJl L rs c! 3 f g q) L (! I Sr J o a !s cl d AL g rl J (- e o. l) o. f '\< I 6 \9 F 14) s, lr) t { h, \ o cl ," { : J 1.5 z zt J F{ N c! cr1 I CN (\l 6l rn (\ I t- I IJ IF qi t_l ttul tutl l<l tl lt ti li I T-l- lvi tot lt !ul t I toi L 1 I t\l lvrl l(ol JI _9t i, i- o o(! tr(! E! zo t? u) '6 ict t< <1ts z lt*< $ld lI ( } o z -\,(* $e