IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Bahan Baku Bahan baku yang diperoleh awalnya dalam keadaan basah. Bahan baku tersebut kemudian dibersihkan beberapa kali dengan air tawar dan dikeringkan dengan sinar matahari selama 1 hingga 3 hari dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven. Bahan selanjutnya dibuat tepung dengan cara menggiling kemudian menyaringnya dalam ayakan 40 mesh. Bahan yang sudah dibuat menjadi tepung dapat dilihat pada Gambar 7. (a) (b) Gambar 7. Bahan Baku Berupa Tepung dari (a) Sargassum sp. (b) Limbah Agar Gracilaria sp. Komposisi kimia dari suatu bahan merupakan kandungan zat yang terdapat pada bahan dan mempunyai fungsi tertentu di dalam suatu proses yang melibatkan bahan tersebut (Fellows, 2000). Komposisi kimia Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. hasil dari uji proksimat pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Kimia Sargassum sp. dan Limbah Gracilaria sp. Komposisi Kimia Air (%) Abu (% bk) Protein (% bk) Lemak (% bk) Serat Kasar (% bk) Karbohidrat (by difference) Sargassum sp. 9,20 35,08 2,79 3,97 15,73 42,43 Limbah Agar Gracilaria sp. 5,67 20,94 0,57 0,83 58,59 19,07 Dari Tabel 4 terlihat bahwa komponen terbesar dari Sargassum sp. adalah mineral/abu dan karbohidrat, sedangkan pada limbah agar Gracilaria sp. adalah serat kasar. Tingginya komponen karbohidrat dan serat kasar yang ada pada bahan Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. menunjukkan bahwa kedua bahan ini memiliki potensi sebagai bahan baku yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Kadar air merupakan jumlah air yang terserap di dalam bahan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka makin besar pula kemungkinan bahan tersebut rusak atau tidak tahan lama. Untuk itulah diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar air yang tinggi agar bahan dapat lebih tahan lama untuk disimpan seperti melalui proses pengeringan. Proses pengeringan sangat berpengaruh sekali terhadap kadar air yang dihasilkan. Pengeringan mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim penyebab kerusakan bahan dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15 % (Fardiaz, 1989). Berdasarkan hasil analisis kadar air, baik Sargassum sp. maupun limbah agar Gracilaria sp. kadar tersebut masih cukup rendah yaitu 9,20 dan 5,67 % sehingga dapat disimpan untuk jangka relatif panjang. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Mineral merupakan zat anoganik dalam bahan yang tidak mudah terbakar selama proses pembakaran sehingga kadar abu ini pun menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat menguap (Winarno dan Fardiaz, 1990). Harijadi (1993) kemudian menambahkan bahwa kandungan abu menunjukkan residu bahan anorganik/unsur mineral yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis, proses yang dilakukan pasca panen dan lain-lain. Secara umum, rumput laut memiliki kadar polisakarida bukan pati, mineral dan vitamin yang cukup tinggi (Mabeau dan Fleurence, 1993). Kadar abu dari rumput laut secara umum lebih besar dari tanaman darat. Kadar abu yang dihasilkan berkisar antara 8 hingga 40 % dari berat kering alga (Fleury dan Lahaye, 1991). Berdasarkan hasil analisis, kadar abu untuk Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. yakni 35,08 % dan 20,94 %. Kadar abu yang cukup besar ini kemungkinan berasal dari garam-garam yang terabsorbsi dalam jaringan rumput 20 laut Sargassum sp. atau garam dari proses ekstraksi agar-agar pada limbah agar Gracilaria sp. Protein merupakan suatu zat polimer yang tersusun dari asam amino. Protein dalam bahan biologis biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang maupun akatan kimiawi yang lebih erat dengan karbohidrat atau lemak. Kadar protein dari hasil analisis yang diperoleh untuk Sargassum sp. yakni sebesar 2,79 % dan untuk limbah agar Gracilaria sp. yaitu sebesar 0,57 %. Kadar protein pada bahan Sargassum sp. hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Roswiem (1991) yang memperoleh hasil kadar protein sebesar 5.23 %. Untuk bahan limbah agar Gracilaria sp., diperoleh kadar protein yang sangat kecil. Hal ini diduga karena bahan tersebut telah mengalami proses sebelumnya yang dapat menyebabkan rusaknya protein. Lemak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air, berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sebagian besar lemak merupakan trigliserida, ester dari gliserol, dan berbagai asam lemak (Buckle, 1987). Kadar lemak yang diperoleh dari uji proksimat untuk Sargassum sp. yaitu sebesar 3,97 % dan untuk limbah agar Gracilaria sp. yakni sebesar 0,83 %. Hasil ini sesuai dengan laporan oleh Herbetreau et al. (1997) yang menyatakan bahwa kadar lemak total rumput laut selalu kurang dari 4 %. Serat kasar adalah salah satu komponen penyusun dinding sel tanaman yang terdiri dari lignin serta polisakarida seperti selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia. Sudarmadji (1996) menyatakan bahwa serat kasar terdiri dari dinding sel, selulosa, hemiselulosa, pektin dengan sedikit lignin dan pentosan. Dari hasil penelitian diperoleh hasil kadar serat kasar untuk Sargassum sp. yakni sebesar 15,73 % dan untuk limbah agar Gracilaria sp. yaitu sebesar 58,59 %. Herbetreau et al. (1997) menyatakan bahwa rumput laut mengandung kadar lemak yang rendah tetapi kadar serat kasar yang cukup tinggi. Karbohidrat dapat diklasifikasikan menjadi monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Karbohidrat ini merupakan bagian penting yang antara lain dapat digunakan sebagai substrat fermentasi. Khamir dapat langsung memfermentasi bahan yang mengandung karbohidrat dalam bentuk gula 21 sederhana (monosakarida). Untuk bahan yang mengandung gula dalam bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus dirubah dalam bentuk yang lebih sederhana (Judoamidjojo et al., 1989). Hasil dari penelitian menunjukkan kadar karbohidrat Sargassum sp. sebesar 33,23 % sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp. yaitu 13,49 %. Hal ini menunjukkan bahwa komponen karbohidrat pada Gracilaria sp. sebagian besar telah dipisahkan selama ekstraksi. Terdapat perbedaan pada hasil uji proksimat dari bahan Sargassum sp. yang digunakan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian Roswiem (1991). Hal ini diduga karena pengaruh beberapa faktor. Ishibashi et al. (1960), menyatakan bahwa komposisi kimia rumput laut bervariasi karena perbedaan individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungannya. Terdapat pula perbedaan hasil untuk bahan limbah agar Gracilaria sp. pada penelitian ini dengan hasil penelitian Wilakstanti (2000) diduga karena perbedaan individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungan dari bahan baku walaupun sama-sama menggunakan alga dari jenis Gracilaria sp. Selain itu, perbedaan pada proses yang dilakukan untuk mengekstrak agar-agar pun dapat menjadi penyebab perbedaan komposisi pada limbah. Namun, dari komposisi yang ada tetap menunjukkan potensi limbah dari kandungan karbohidrat maupun serat kasarnya yang cukup besar untuk dijadikan bahan baku bioetanol. Untuk bahan baku Sargassum sp., karbohidrat yang berpotensi untuk diubah menjadi monomer glukosa dan selanjutnya dapat dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae adalah laminarin yang merupakan polimer dari β-1,3-glukan dengan percabangan pada rantai atom C nomor 6 (Bhakuni dan Rawat, 2005). Sedangkan dari bahan limbah agar Gracilaria sp., serat kasar yang berpotensi untuk dapat diuraikan menjadi glukosa terutama adalah selulosa (polimer dari β-1,4-glukan) dan hemiselulosa. Dari glukosa tersebut selanjutnya dapat dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. B. Sakarifikasi dengan Hidrolisis Asam Sebelum dilakukan proses fermentasi, maka terlebih dahulu dilakukan penentuan perlakuan hidrolisis asam yang akan digunakan. Penentuan perlakuan 22 hidrolisis asam yang akan digunakan ini dilakukan dengan mencari hasil dari hidrolisis yang menghasilkan kadar gula optimal. Untuk gula pereduksi khususnya, kadar gula yang dihasilkan diharapkan dapat mencapai 16-25 % karena menurut Higins et al. (1984), kadar gula pereduksi yang baik untuk fermentasi etanol adalah 16-25 % yang diperkirakan dapat menghasilkan etanol berkadar 6-12 %. Pada penentuan hidrolisis asam, dipilih 2 faktor yaitu konsentrasi asam dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam yang dipilih adalah lima taraf yakni 0,25 %, 0,5 %, 1 %, 1,5 % dan 2 % (v/v). Untuk waktu yang digunakan dipilih dua taraf yakni 10 dan 20 menit. Untuk asam dan suhu yang digunakan yaitu H2SO4 dan 121 oC dengan tekanan 1 kg/cm2. Perlakuan ini didasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kim (2008) yang telah berhasil memproduksi etanol dari rumput laut dengan hidrolisis asam menggunakan H2SO4 berkonsentrasi 0,5-1,25 % dengan variasi waktu 10-20 menit. Hasil dari hidrolisis dianalisis kadar gula pereduksi dan total gulanya dan dipilih perlakuan terbaik berdasarkan hasil analisa tersebut. Hasil dari proses hidrolisis asam yang dilakukan pada bahan Sargassum sp. dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 3. Sedangkan untuk hasil hidrolisis asam pada limbah agar Gracilaria sp. dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 4. Dari Gambar 8, terlihat bahwa dari berbagai perlakuan pada hidrolisis asam menggunakan bahan Sargassum sp. 5 g dalam 100 ml larutan dihasilkan kadar gula pereduksi dan total gula tertinggi dengan perlakuan konsentrasi asam 2 % dan waktu 20 menit yakni gula pereduksi sebesar 0,649 g/l dan total gula sebesar 1,015 g/l. Dari Gambar 9, terlihat bahwa dari berbagai perlakuan pada hidrolisis asam menggunakan bahan limbah agar Gracilaria sp. 5 g dalam 100 ml larutan dihasilkan kadar gula pereduksi dan total gula tertinggi dengan perlakuan konsentrasi asam 1,5 % dan waktu 10 menit yakni gula pereduksi sebesar 0,157 g/l dan total gula sebesar 0,205 g/l. Oleh karena itu, dipilih perlakuan ini untuk hidrolisis asam yang nantinya hidrolisat tersebut akan digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi. 23 Gambar 8. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Sargassum sp. Gambar 9. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Limbah Agar Gracilaria sp. Pada hasil analisa keragaman untuk substrat Sargassum sp., menunjukkan bahwa konsentrasi asam dan waktu hidrolisis berpengaruh nyata terhadap nilai gula pereduksi dan total gula. Uji Duncan memperlihatkan bahwa hidrolisis menggunakan konsentrasi asam 2 % dan waktu 20 menit berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap gula pereduksi dan total gula pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Sedangkan pada hasil analisa keragaman untuk substrat limbah agar Gracilaria sp., menunjukkan bahwa konsentrasi asam dan waktu hidrolisis tidak berpengaruh nyata terhadap nilai gula pereduksi dan total gula. Uji Duncan memperlihatkan bahwa hidrolisis menggunakan konsentrasi 24 asam 1,5 % dan waktu 10 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap gula pereduksi dan total gula pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Jika dilihat dari nilai DP (Derajat Polimerisasi), terlihat pada hidrólisis Sargassum sp. yang menghasilkan hasil gula paling besar terdapat pada nilai DP yang rendah yakni 1,56475 bahkan untuk hidrolisis limbah agar Gracilaria sp. terdapat pada nilai DP yang memiliki nilai terendah dibanding lainnya yakni sebesar 1,3049. Terdapat perbedaan hasil kadar gula untuk bahan Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. Perbedaan hasil tersebut diduga terjadi karena pengaruh perbedaan jenis bahan dan komposisi kimia bahan masing-masing. Kandungan karbohidrat dalam Sargassum sp. terdiri antara lain dari asam alginat, laminarin, fucoidin dan mannitol, sedangkan pada limbah agar limbah agar Gracilaria sp. diduga banyak terdiri dari selulosa karena merupakan ampas dari proses ekstraksi agar. Selulosa pada limbah agar Gracilaria sp. cenderung lebih sulit terhidrolisis dibandingkan karbohidrat pada Sargassum sp. sehingga gula yang dihasilkan dari hidrolisis Sargassum sp. lebih besar dari limbah agar Gracilaria sp. Akan tetapi, dari hasil hidrolisis masing-masing bahan terlihat adanya peningkatan kadar gula seiring peningkatan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis hingga titik tertentu dan kemudian menurun. Berdasarkan penelitian Ashadi (1988), hasil pengamatan terhadap hasil berupa kadar glukosa untuk hidrolisis menggunakan asam sulfat dipengaruhi oleh konsentrasi asam sulfat dan lama waktu hidrolisis. Peningkatan konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menurunkan glukosa yang dihasilkan karena glukosa yang terbentuk akan terdegradasi lebih lanjut. Pola tersebut terutama terlihat pada hasil hidrolisis untuk limbah agar Gracilaria sp. yang mengalami peningkatan kadar gula hingga konsentrasi asam 1,5 % dan waktu 10 menit dan selanjutnya cenderung menurun, sedangkan pada bahan Sargassum sp. masih belum terlihat penurunan hasil kadar gula hingga konsentrasi asam 2 % dan waktu 20 menit. Pada hidrolisis asam dengan suhu tinggi, terbentuk pula 5-hidroksimetil-22 furfuraldehida atau disebut juga hidroksimetilfurfural (HMF) akibat penguraian glukosa pada suasana asam (Ulbricht et al., 1984). Masing-masing bahan berpotensi menghasilkan senyawa samping tersebut namun dalam kadar dan 25 kecepatan yang berbeda. Pada Sargassum sp. diduga senyawa samping tersebut belum banyak dihasilkan dibuktikan dengan kadar gula yang terus meningkat hingga pada konsentrasi 2 % dan waktu 20 menit, sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp., diduga bahwa senyawa samping HMF lebih banyak dihasilkan dibandingkan dengan pembentukan gulanya setelah konsentrasi 1,5 % dan waktu 10 menit. C. Fermentasi Bioetanol Pembuatan bioetanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi. Secara umum, fermentasi dapat diartikan sebagai proses untuk mengkonversi gula menjadi etanol dan karbondioksida (CO2). Gula yang dapat terfermentasi adalah gula dalam bentuk sederhana (monosakarida), oleh karena itu untuk polisakarida dan oligosakarida harus terlebih dahulu diubah bentuknya menjadi gula sederhana melalui proses hidrolisis untuk dapat dikonversi menjadi etanol (Judoamidjojo et al., 1989). Hasil terbaik dari berbagai perlakuan hidrolisis untuk Sargassum sp. adalah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 2 % dan waktu 20 menit sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp. ialah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 1,5 % dan waktu 10 menit. Oleh sebab itu selanjutnya subtsrat untuk fermentasi dari kedua bahan dihidrolisis berdasarkan perlakuan hidrolisis terpilih tersebut. Proses produksi etanol dilakukan dalam fermentasi sistem batch atau tertutup. Menurut Bailey dan Ollis (1991), fermentasi media cair dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch), fermentasi semi sinambung (fed batch), dan sistem sinambung (continous). Pada fermentasi tertutup, pemanenan dilakukan setelah fermentasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama fermentasi berlangsung. Kondisi lain dalam fermentasi yang dilakukan yakni dalam kondisi anaerob selama 72 jam dengan suhu ruang. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), suhu optimum fermentasi terjadi pada suhu 25 – 30 o C. Paturau (1981) menyatakan bahwa fermentasi etanol membutuhkan waktu 30 – 72 jam. 26 Fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerob dengan menggunakan mikroba tertentu yang dapat mengubah gula menjadi etanol. Mikroba yang digunakan untuk memfermentasi substrat adalah Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam fermentasi gula untuk menghasilkan etanol (Ratladge, 1991). Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme gula (glukosa) membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur EmbdenMeyerhof-Parnas (EMP) dan selanjutnya pada kondisi anaerob asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol. Pada jalur EMP, terjadi reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor dan akseptor fosfat. Selain itu, pada jalur reaksi tersebut juga terjadi reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi melalui reaksi oksidasi reduksi. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian menjadi fruktosa1,difosfat dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-difosfat kemudian dipecah menjadi 2 molekul yang terfosforilasi yaitu dehidroksi aseton fosfat dan gliseraldehida-3-fosfat. Dehidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserolfosfat kemudian menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehida-3-fosfat tereduksi menjadi asam 1,3-difosfogliserat kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dengan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya 3-P-asam gliserat membentuk 1-P-asam gliserat dan menjadi asam fosfofenol piruvat dengan melepaskan H2O. Asam fosfofenol piruvat kemudian akan terdefosforilasi menjadi asam piruvat dengan menghasilkan ATP. Asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 melalui reaksi dekarboksilasi dan membentuk etanol melalui reaksi oksidasi. Etanol merupakan metabolit sekunder yang diproduksi pada fase stasioner. Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir ini melalui jalur EMP atau lebih dikenal dengan jalur glikosis (Crueger dan Anneliese, 1984). Hidrolisat hasil hidrolisis asam digunakan sebagai substrat pada proses fermentasi. Pada pengujian hidrolisis asam awal, diperoleh kadar gula yang relatif kecil sehingga pada proses hidrolisis selanjutnya dilakukan pemekatan dengan 27 penggunaan bahan yang tadinya hanya sebesar 5 % (b/v) menjadi sebesar 10 % (b/v). Setelah hidrolisat tersebut diperoleh, maka dilakukanlah proses fermentasi. Dari hasil fermentasi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian antara lain uji pH, total biomassa, gula pereduksi, total gula, dan kadar etanol. Hasil analisa fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Selama proses fermentasi dilakukan pula pengukuran gas CO2 setiap 6 jam. 1) pH Salah satu faktor yang menentukan kehidupan khamir adalah pH media fermentasi. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam yaitu sekitar pH 4-5 (Frazier dan Westhoff, 1978). Nilai pH awal sebelum fermentasi dilakukan berkisar antara 5,03 – 5,25 agar sesuai dengan pH optimal pertumbuhan khamir. Menurut Moat (1979), pH optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4,5 – 5,5. Casida (1968) menyatakan bahwa pada pH yang lebih rendah kecepatan fermentasi akan menurun sedangkan pada pH yang lebih tinggi terbentuk asam-asam organik dan gliserol lebih banyak yang merupakan hasil samping fermentasi. Asam-asam organik yang merupakan hasil samping fermentasi adalah asam piruvat, asam suksinat dan asam laktat. Dari analisa pH pada awal dan akhir hasil fermentasi didapatkan hasil bahwa pH mengalami penurunan. Analisa pH pada hasil fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Perubahan pH Sebelum dan Sesudah Fermentasi Etanol 28 Pada Gambar 10, terlihat bahwa setelah fermentasi, baik hidrolisat dari Sargassum sp. maupun limbah agar Gracilaria sp. mengalami penurunan pH. Penurunan pH terjadi karena diduga konsumsi glukosa melalui proses glikolisis yang menghasilkan asam organik seperti asam piruvat belum terkonversi semua menjadi etanol dan juga akumulasi metabolit-metabolit samping berupa senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H+. Akumulasi ion H+ ini diduga dapat menurunkan pH larutan fermentasi. Proses glikolisis glukosa dapat dilihat dari persamaan reaksi berikut ini : Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi → 2 piruvat + 2 ATP + 2 NADH + H+ Asam piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Reed dan Peepler (1973) menyatakan bahwa proses terjadinya penurunan pH diakibatkan terbentuknya metabolit-metabolit selama proses fermentasi berlangsung. Selama proses fermentasi terjadi pembentukan asam seperti asam asetat, asam piruvat dan asam laktat yang dapat menurunkan pH cairan. Reed dan Rehm (1983) menambahkan bahwa asam sebagai hasil samping fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik lainnya berperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam lemak lainnya hanya berpengaruh sedikit. 2) Kadar Gula Kadar gula yang diukur adalah kadar gula pereduksi dan total gula. Gula pereduksi adalah gula sederhana hasil hidrolisis karbohidrat kompleks. Hasil analisa kadar gula pada awal dan akhir fermentasi ditunjukkan pada Gambar 11. Penurunan kadar gula pereduksi dan total gula menunjukkan penggunaan substrat oleh Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Menurunnya jumlah 29 substrat dalam cairan fermentasi ini disebabkan oleh dimanfaatkannya substrat oleh Saccharomyces cereviseiae selama fermentasi untuk pertumbuhan dan produksi produk. Penurunan jumlah substrat ini dibuktikan dengan dibentuknya biomassa, karbondioksida dan etanol. Akan tetapi, sebenarnya masih tersedia kandungan gula dalam substrat yang tidak habis dikonsumsi. Gambar 11. Perubahan Kandungan Total Gula dan Gula Pereduksi Hidrolisat Rumput Laut Selama Fermentasi Hal ini diduga karena terjadi hambatan pertumbuhan khamir yang mengakibatkan lambatnya pula konsumsi substrat dan laju produksi etanol karena adanya senyawa furfural dalam produk dan juga komponen gula non glukosa yang tidak dapat dimetabolisme oleh Saccharomyces cerevisiae. Senyawa furfural dihasilkan dari reaksi lanjut produk hasil hidrolisis asam. Taherzadeh dan Karimi (2007) melaporkan bahwa furfural dapat menyebabkan lambatnya laju pertumbuhan spesifik dan laju produksi etanol baik pada kondisi aerob maupun anaerob pada sistem kultivasi dan fermentasi menggunakan kultur Saccharomyces cervisiae CBS 8066 secara batch. 3) Total Biomassa Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat dalam cairan fermentasi pada awal dan akhir fermentasi. Hasil pengukuran terhadap jumlah total biomassa dapat dilihat pada Gambar 12. 30 Gambar 12. Peningkatan Total Biomassa Selama Fermentasi Dari Gambar 12 diketahui bahwa pada awal fermentasi, jumlah total biomassa berkisar antara 0.54-0.57 g/l. Pada akhir fermentasi, untuk fermentasi pada Sargassum sp. memiliki total biomassa sebesar 1.91 g/l. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan total biomassa dari fermentasi akhir pada limbah agar Gracilaria sp. yakni hanya sebesar 1.5 g/l. Namun, dapat disimpulkan dari kedua hasil tersebut bahwa pada fermentasi telah terjadi peningkatan jumlah total biomassa. Peningkatan jumlah total biomassa ini menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Pertumbuhan terjadi bila kondisi optimum fisik dan kimiawi tercapai misalnya suhu, pH dan ketersediaan nutrisi sesuai dengan kebutuhan mikroba. Mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktivitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al., 1979). Meyer (1978) menyatakan bahwa pada metabolisme jalur Embden-MeyerhofParnas, asam fosfofenol piruvat terdefosforilasi menjadi asam piruvat dan menghasilkan ATP lebih tinggi sehingga biomassa yang dihasilkan lebih banyak. Moat dan Foster (1988) menyatakan bahwa pada fermentasi sistem tertutup, pertumbuhan mikroba mengikuti pola berikut yakni terdapat empat fase pertumbuhan antara lain fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi merupakan masa penyesuaian mikroba sejak inokulum 31 diinokulasi ke dalam media fermentasi. Fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi inokulum yang diberikan. Jika inokulum berasal dari fase eksponensial maka fase adaptasi akan lebih pendek atau tidak ada sama sekali. Jika inokulum berasal dari fase stasioner, maka sel membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi karena sel membutuhkan waktu untuk melengkapi kelompok koenzim dan metabolit esensial untuk pembelahan sel. Pada penelitian ini inokulum yang diberikan merupakan Saccharomyces cerevisiae yang telah ditumbuhkan dalam media propagasi selama 24 jam sehingga diharapkan khamir berada pada fase eksponensial dan mampu untuk langsung memfermentasi substrat. Menurut Reed dan Nagodawithana (1991), Saccharomyces cerevisiae mengalami pertumbuhan maksimum pada fermentasi selama 12-20 jam. Setelah fase adaptasi, perbanyakan sel mulai terjadi yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan fermentasi. Fase ini disebut fase eksponensial. Menurut Muljono et al. (1989), pertumbuhan mikrobial biasanya ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk menggandakan massa sel. Waktu penggandaan massa sel dapat berbeda dengan waktu penggandaan jumlah, karena massa sel dapat meningkat tanpa penambahan jumlah sel. Bila interval antara penggandaan massa sel dan jumlah dengan waktu berlangsung konstan, maka mikroba tumbuh pada laju eksponensial. Pada fase eksponensial ini laju pertumbuhan mengalami peningkatan. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah sel mati seimbang dengan jumlah sel yang tumbuh (sel baru) dan populasinya stabil. Setelah fase stasioner adalah fase terakhir yang disebut fase kematian dimana pertumbuhan khamir berhenti atau tidak ada lagi pertumbuhan sama sekali. Menurut Lingga (1989), akumulasi produk metabolit primer dan sekunder yang tidak dipanen dapat menginhibisi atau menekan pertumbuhan sel mikroorganisme. 4) Laju Pembentukan CO2 Pada proses fermentasi, dihasilkan pula senyawa CO2 selama fermentasi etanol berlangsung. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi menggunakan hidrolisat Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. dapat dilihat pada Gambar 13 dan Lampiran 6. 32 Gambar 13. Pengaruh Jenis Hidrolisat terhadap Laju Rata-Rata Pembentukan CO2 Selama Fermentasi Produktivitas dari fermentasi antara lain dapat dilihat dari volume CO 2 yang terbentuk. Dari Gambar 12 terlihat bahwa pada enam jam pertama sudah dihasilkan laju pembentukan CO2 yang cukup tinggi. Hal ini diduga karena khamir sudah mampu memfermentasi substrat cukup optimal. Kondisi ini dimungkinkan jika fase adaptasi berlangsung dalam waktu relatif cepat. Fase adaptasi yang relatif cepat dapat terjadi jika khamir yang diinokulasikan sudah dalam kondisi fase eksponensial. Dalam fase eksponensial, waktu untuk melengkapi kelompok koenzim dan metabolit esensial untuk pembelahan sel berlangsung lebih cepat. Volume rata-rata pembentukan CO2 pada hidrolisat Sargassum sp. cenderung lebih tinggi dibandingkan limbah agar Gracilaria sp. Dari hasil tersebut diduga bahwa khamir mampu menghasilkan produk fermentasi lebih besar pada hidrolisat Sargassum sp. Namun, pola pembentukan CO2 baik pada hidrolisat Sargassum sp. maupun limbah agar Gracilaria sp. menunjukkan pola yang hampir sama, yakni meningkat mulai jam ke-0 hingga mencapai puncaknya pada jam ke-18 dan selanjutnya cenderung menurun dari jam ke-18 hingga akhirnya mulai tidak membentuk CO2 pada jam ke-54. Pola pembentukan CO2 ini merefleksikan aktivitas pertumbuhan khamir. Menurut Bailey dan Ollis (1988) 33 fermentasi etanol berasosiasi dengan pertumbuhan sehingga pola pembentukan produk sama dengan pola pertumbuhan. 5) Kadar Etanol Selama proses metabolisme, khamir akan memanfaatkan sumber karbon untuk menghasilkan asam piruvat melalui proses glikolisis. Selanjutnya khamir akan mengubah asam piruvat menjadi asetaldehida. Asetaldehida selanjutnya diubah menjadi etanol. Hasil analisa terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Analisa Kadar Etanol Hasil Fermentasi Parameter Kadar Etanol (% v/v)= Sargassum sp. 0.18 Rata-rata (n = 3) Limbah Agar Gracilaria sp. 0.11 Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan yaitu 0.18 dan 0.11 (% v/v) dimungkinkan karena rendahnya ketersediaan gula hasil hidrolisis asam dan juga kemungkinan gula-gula yang dihasilkan merupakan gula yang tidak dapat diasimilasi oleh Saccharomyces cerevisiae. Selain itu adanya senyawa inhibitor dan racun seperti furfural dalam substrat dapat pula mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Azhar et al. (1981) di dalam Sari (2009) menyatakan bahwa kandungan senyawa yang bersifat inhibitor dan racun dalam substrat pada hasil hidrolisis asam dapat mengakibatkan menurunnya kadar etanol yang dihasilkan pada hasil fermentasi. D. Kinetika Fermentasi Etanol Berdasarkan hubungan waktu fermentasi dengan konsentrasi etanol, konsumsi substrat dan biomassa yang diperoleh dapat dibuat perbandingan parameternya. Yield atau rendemen biomassa (Yx/s), rendemen produk per substrat (Yp/s), rendemen produk per biomassa (Yp/x) dan efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa atau produk dan biomassa menghasilkan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa produk yang 34 terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Collins dan Walter dalam Bouwkamp, 1985). ; ; = ; = massa sel saat t ; = massa sel awal = massa substrat saat t ; = massa substrat awal = produk (etanol) saat t ; = produk awal = Perbandingan parameter hasil fermentasi untuk masing-masing substrat dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan Parameter Akhir Fermentasi Jam ke-72 Substrat Hidrolisat Sargassum sp. Hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. Yx/s Yp/s Yp/x ∆s/s 0,36 0,37 1,05 0,47 0,42 0,36 0,91 0,52 Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai Yx/s pada hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. lebih besar daripada hidrolisat Sargassum sp. Hal ini menunjukkan bahwa konversi substrat menjadi sel yang lebih tinggi terjadi pada hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. dibandingkan hidrolisat Sargassum sp. Akan tetapi, pada saat konversi substrat menjadi sel tinggi tidak memastikan etanol yang dihasilkan juga tinggi. Hal ini terbukti dengan melihat nilai Yp/s dan Yp/x. Jika melihat nilai Yp/s dan Yp/x, maka diketahui bahwa hidrolisat Sargassum sp. lebih tinggi dibandingkan hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. yang berarti bahwa konversi substrat menjadi produk lebih baik terjadi pada hidrolisat Sargassum sp. walaupun dari efisiensi pemanfaatan substrat (∆s/s) hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. lebih baik dibandingkan hidrolisat Sargassum sp. 35