KADAR ADIPONEKTIN SERUM ANTARA DIABETES TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 OBESITAS SENTRAL SERUM ADIPONECTIN LEVELS BETWEEN CONTROLLED AND UNCONTROLLED TYPE 2 DIABETES MELLITUS WITH CENTRAL OBESITY Tajuddin Noor, 1 Ruland DN Pakasi, 1 Fitriani mangarengi,1 Ilhamjaya Patellongi, 2 John MF Adam, 3 Ibrahim Abdul Samad 1 1 Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin 2 Bagian Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin 3 Rumah Sakit Akademis Jaury, Makassar Alamat korespondensi: dr. Tajuddin Noor Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar,90245 HP: 0852 5568 6271 Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar adiponektin serum dengan terkendalinya hiperglikemia pada penderita DM tipe 2 yang disertai obesitas sentral. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Akademis Jaury, Makassar pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2013. Diagnosis DM ditlakukan mengikuti kriteria American Diabetes Association dan obesitas sentral sesuai kriteria International Diabetes Federation untuk etnik Asia Tenggara. Diabetes dikelompokkan menjadi terkontrol dan tidak terkontrol berdasarkan kadar HbA1c < 7% sebagai terkontrol dan ≥ 7% sebagai tidak terkontrol. Kadar adiponektin serum diukur dengan metode ELISA. Penelitian mendapatkan 83 sampel terdiri atas wanita 59 orang (71,1%) dan laki-laki 24 orang (28,9%) dan menemukan kadar adiponektin serum minimum 0,34 µg/mL, maksimum 20,41 µg/mL, median 2,750 µg/mL, dan rerata±SD 3,90±3,35 µg/mL. Kadar adiponektin serum pada DM terkontrol 4,22±3,75 µg/mL lebih tinggi daripada DM tidak terkontrol 3,59±2,94 µg/mL, namun secara statistik perbedaan tidak bermakna (uji Mann-Whitney; p= 0,303, p < 0,05). Distribusi adiponektin rendah dan tinggi lebih baik pada DM terkontrol daripada tidak terkontrol namun secara statistik tidak bermakna (Kuartil 1 Odds ratio 0,46 [95% CI; 0,1621,304], uji Chi square; p= 0,139, p < 0,05). Kadar adiponektin mempunyai hubungan terbalik dengan HbA1c tetapi tidak bermakna (uji korelasi Spearman; r= - 0,083, p= 0,455, p < 0,05). Kata kunci : Adiponektin, Obesitas, Obesitas sentral, DM tipe 2 ABSTRACT The aims of the study was to evaluate the relationship between serum adiponectin levels and controlled hyperglycemia in type 2 diabetes mellitus with central obesity. The methods of study were cross sectional conducted from March to October 2013 in Academis Hospital Jaury, Makassar. The diagnoses of diabetes was made according to the criteria of American Diabetes Association and central obesity using the criteria of International Diabetes Federation for South East Asia Ethnic. The diabetes was classified into controlled and uncontrolled according to HbA1c levels <7% as controlled and ≥7% as uncontrolled. The serum adiponectin levels were measured with ELISA method. The study obtained 83 samples consisted of female 59 (71.1%) and male 24 (28.9%). The values of serum adiponectin levels were a minimum of 0.34 µg/mL, maximum 20.41 µg/mL, median 2.750 µg/mL, and mean±SD 3.90±3.35 µg/mL. Serum adiponectin level in controlled diabetes was 4.22±3.75 µg/mL higher than uncontrolled diabetes 3.59±2.94 µg/mL, but statistically there is no significant difference (Mann-Whitney test; p= 0.303, p < 0.05). Distribution of low and high adiponectin in controlled diabetes was better than uncontrolled, but statistically the difference was not significant (Quartile 1 Odds ratio 0.46 [95% CI; 0.162-1.304], Chi square test; p= 0.139, p < 0.05). Adiponectin levels has an inversely but not significant association with HbA1c (Spearman correlation test; r = - 0.083, p= 0.455, p < 0.05 ). Keywords : Adiponectin, Obesity, Central Obesity, Type 2 Diabetes Mellitus PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kelainan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia karena kelainan kerja insulin, sekresi insulin atau keduanya (Gustaviani, 2007). Resistensi insulin dan kegagalan sekresi insulin adalah dua mekanisme utama dalam patogenesis DM tipe 2 (American Diabetes Association, 2013). Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi DM di dunia tahun 2000 adalah 2,8% dan diperkirakan akan terus meningkat (Wild dkk., 2004). Prevalensi DM di Makassar pada tahun 2005 adalah 12,5%. Kejadian DM tipe 2 ditemukan 90 - 95% dari semua jenis DM (Suryono, 2007). Obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit dalam sindrom metabolik. Obesitas dan DM tipe 2 mempunyai hubungan kuat dan kompleks. Sekitar 60-90 persen kasus DM tipe 2 berhubungan dengan kelebihan berat badan dan obesitas. Perkembangan obesitas dan aktivitas fisik yang kurang dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin pada jaringan lemak menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dan memperlihatkan hubungan yang kuat dengan disfungsi sel β pankreas. Peningkatan kadar asam lemak bebas secara karakteristik terdapat pada penderita DM tipe 2 obesitas (Yamauchi dkk., 2001). Pada obesitas sentral dan DM tipe 2, jaringan lemak visceral abdominal meningkatkan pelepasan asam lemak bebas ke pembuluh darah vena portal menyebabkan produksi glukosa hati meningkat. Pada sisi lain, jaringan lemak subkutaneus abdominal meningkatkan pelepasan asam lemak bebas ke sirkulasi perifer yang menghambat insulin dalam menstimulasi ambilan glukosa di jaringan otot (Kahn & Flier, 2000). Obesitas menjadi faktor risiko umum terjadinya DM tipe 2 mengikuti resistensi insulin sebagai prekursor. Meskipun secara molekular belum sepenuhnya dipahami, sejumlah studi mensugesti bahwa inflamasi mungkin menjadi mediator yang penting terjadinya resistensi insulin (Berg & Scherer, 2005). Obesitas berhubungan erat dengan inflamasi kronik derajat rendah yang ditandai oleh infiltrasi makrofag di jaringan lemak dan peningkatan konsentrasi substansi pro-inflamasi di sirkulasi meliputi protein fase akut, sitokin, adipokin dan kemokin (Weisberg dkk., 2003). Faktor-faktor pro-inflamasi ini secara dominan diproduksi oleh adiposit yang hipertrofi dan makrofag yang teraktivasi. Adipokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), Interleukin 6 (IL-6), leptin dan resistin dapat menginduksi resistensi insulin oleh kerjanya antagonis kerja insulin (Fantuzzi, 2005). Pada sisi lain, adipokin anti-inflamasi seperti adiponektin dan visfatin berguna dalam memelihara sensitivitas insulin (Kobayashi, 2005). Adiponektin adalah protein yang bersifat sebagai hormon disintesis oleh adiposit dalam bentuk molekul monomer dan disekresi ke sirkulasi dalam bentuk tiga jenis multimers yaitu trimers, hexamers, dan oligomers high molecular weight (HMW). Adiponektin memperlihatkan efek perbaikan sensitivitas insulin, anti-inflamasi, dan anti-aterogenik (Berg dkk., 2002). Pada penderita DM, efek perbaikan sensitivitas insulin diperoleh melalui kerjanya dalam menurunkan produksi glukosa hati, meningkatkan ambilan glukosa dan menurunkan kadar asam lemak bebas (Marieke dkk., 2006). Beberapa studi tentang adiponektin melaporkan kadar adiponektin lebih rendah pada DM tipe 2 dibandingkan dengan bukan DM tipe 2 (Hotta dkk., 2000). Kadar adiponektin lebih rendah pada obesitas dibandingkan dengan bukan obesitas (Matsubara dkk., 2001). Penurunan kadar adiponektin berhubungan erat dengan tingkat resistensi insulin pada obesitas dan DM tipe 2 (Weyer dkk., 2001). Dalam manajemen diabetes, penderita dianjurkan melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara rutin untuk memantau status metaboliknya dengan pendekatan multifaktorial pengendalian diabetes. Pemantauan glukosa darah penderita diabetes bertujuan untuk mencegah hiperglikemia, suatu faktor risiko terjadinya komplikasi mikroangiopati dan makroangiopati direkomendasikan (Faramarz, oleh 2012). American Pemeriksaan Diabetes hemoglobin Association A1c (ADA) (HbA1c) untuk telah memantau hiperglikemia pada penderita diabetes yang dilakukan minimal 2 kali per tahun dengan batas hiperglikemia terkontrol baik adalah kurang dari 7.0 persen (American Diabetes Association, 2013). Dari latar belakang di atas, obesitas dan hipoadiponektinemia memainkan peranan penting dalam perkembangan resistensi insulin dan DM tipe 2, namun peranan adiponektin dalam pengendalian hiperglikemia pada DM tipe 2 yang disertai obesitas sentral masih jarang dilaporkan. Penelitian dilakukan untuk memberi informasi keterlibatan adiponektin dalam pengendalian hiperglikemia pada penderita DM tipe 2 obesitas sentral. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study. Pengambilan sampel penelitian di RS. Akademis Jaury, Makassar. Waktu penelitian pada periode bulan Maret sampai dengan Oktober 2013. Populasi dan Sampel Populasi Penelitian adalah mereka yang memeriksakan diri di Poliklinik Endokrin dan Metabolik RS. Akademis Jaury, Makassar. Sampel Penelitian adalah penderita DM tipe 2 dan memenuhi kriteria inklusi penelitian, yaitu obesitas sentral, berusia 30-70 tahun, dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani informed consent yang disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Penderita DM tipe 2 didefinisikan dengan kriteria kadar glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL, dan atau tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL mengikuti kriteria diagnosis DM dari American Diabetes Association. Obesitas sentral adalah ukuran lingkar pinggang ≥ 90 cm untuk laki-laki dan ≥ 80 cm untuk wanita mengikuti kriteria International Diabetes Federation bagi Etnik Asia Tenggara. Metode Pengumpulan Data Subyek dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dialokasikan sebagai Subyek Penelitian. Persetujuan subyek penelitian diperoleh melalui memberi penjelasan tentang maksud, tujuan dan apa yang akan dilakukan terhadap mereka untuk kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian dan permintaan menandatangani lembar persetujuan mengikuti penelitian. Melakukan anamnesis terhadap subyek penelitian dan pencatatan meliputi nama, jenis kelamin, umur, dan ukuran lingkar pinggang pada lembar data dasar penelitian. Kadar GDP, TTGO, dan HbA1c dari subyek penelitian diperoleh dari pemeriksaan laboratorium dengan cara sebagai berikut : Subyek penelitian dianjurkan untuk berpuasa pada malam hari selama 8-12 jam dan datang kembali pada pagi hari dalam keadaan masih berpuasa untuk pengambilan darah Tes GDP dan dilanjutkan pengambilan darah 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa anhidrous yang dilarutkan dalam air ± 200 ml untuk Tes TTGO. Selain itu, Tes HbA1c juga dilakukan. Ketiga tes dilakukan di Laboratorium RS. Akademis Jaury, Makassar. Tes GDP dan TTGO menggunakan sampel plasma Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) dan alat ABX Pentra 400 dengan metode kolorimetri enzimatik (heksokinase). Tes HbA1c menggunakan sampel plasma EDTA dan alat ABX Pentra 400 dengan metode immunoturbidimetrik. Subyek penelitian yang mempunyai hasil Tes GDP ≥ 126 mg/dL dan atau TTGO ≥ 200 mg/dL didefinisikan sebagai penderita DM tipe 2 dan dialokasikan sebagai Sampel Penelitian. Kadar GDP, TTGO, dan HbA1c mereka dicatat pada lembar data dasar penelitian dan sebagian sampel mereka untuk tes laboratorium lain yang berupa serum diambil ±1cc dimasukan ke dalam cup sampel dan diberi label identitas sampel kemudian disimpan pada suhu ≤ -20ºC untuk Tes Adiponektin, yang dilakukan setelah jumlah sampel penelitian terpenuhi. Tes Adiponektin menggunakan sampel serum simpan dan kit reagen Quantikine human total adiponectin immunoassay dengan metode Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk Tes Adiponektin ini menggunakan sarana Unit Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar. Hasil pengukuran kadar Adiponektin dicatat pada lembar data dasar penelitian. Analisis Data Analisis data secara statistik menggunakan SPSS versi 17.0. Deskripsi karakteristik sampel penelitian seperti nilai minimum, maksimum, median, rerata dan standar deviasi dari suatu variabel digunakan analisis Descriptive Statistics Frequencies. Untuk menilai normalitas distribusi populasi data kadar adiponektin digunakan pengujian Shapiro-Wilk Test. Oleh karena populasi data kadar adiponektin berdistribusi tidak normal maka digunakan pengujian non-parametrik. Untuk menilai perbedaan suatu variabel antara dua kelompok data independen digunakan analisis Two Independent Samples Test dan pengujian dengan MannWhitney Test sedangkan penilaian korelasi antara dua variabel digunakan analisis Correlate Bivariate dengan pengujian Spearman Test. Analisis Descriptive Statistics Crosstabs (tabel silang kolom dan baris 2 x 2) dilakukan untuk menggambarkan perbedaan distribusi adiponektin rendah dan tinggi menggunakan nilai-nilai pembagian secara kuartil sebagai titik potong dan pengujian dengan Chi square Test. Semua pengujian dinilai mempunyai kemaknaan pada level p < 0,05. HASIL PENELITIAN Karakteristik Sampel Penelitian dilakukan pada periode bulan Maret sampai dengan Oktober 2013 di Makassar. Sampel penelitian adalah penderita DM tipe 2 yang disertai obesitas sentral. Sampel penelitian berjumlah 83 orang terdiri dari 59 orang wanita (71,1%) dan 24 orang lakilaki (28,9%). Penelitian menemukan kadar adiponektin serum minimal adalah 0,34 µg/ml, maksimum= 20,41 µg/ml, median= 2,750 µg/ml, rerata= 3,90 µg/ml dengan standar deviasi= 3,35 µg/ml (Tabel 1). Hiperglikemia pada diabetes kemudian dikelompokkan berdasarkan kadar HbA1c ˂7% sebagai DM terkontrol dan ≥7% sebagai DM tidak terkontrol sesuai dengan batas kontrol glikemik baik dan buruk dari American Diabetes Association. Kelompok DM terkontrol berjumlah 41 orang (49,4%) dan DM tidak terkontrol 42 orang (50,6%), dengan karakteristik sampel tampak pada Tabel 2. Uji Shapiro-Wilk menunjukkan populasi data kadar adiponektin berdistribusi tidak normal (p= 0,000). Gambar 1 memperlihatkan kadar rerata adiponektin pada DM terkontrol adalah 4,22±3,75 µg/ml lebih tinggi daripada tidak terkontrol 3,59±2,94 µg/ml, namun secara statistik menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna p= 0, 303). Untuk mengetahui lebih lanjut, dilakukan analisis distribusi adiponektin dengan pembagian secara kuartil terhadap kelompok kontrol glikemik (DM terkontrol dan tidak terkontrol). Dari jajaran 83 populasi data kadar adiponektin dengan nilai minimum 0,34 dan maksimum 20,41, didapatkan range Kuartil I = 0,34 - 1,62, Kuartil II = >1,62 - 2,75, Kuartil III = >2,75 - 5,11, dan Kuartil IV = >5,11 - 20,41. Oleh karena kadar adiponektin belum mempunyai nilai rujukan maka analisis deskriptif cross tabulasi distribusi adiponektin dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai kuartil sebagai titik potong untuk penggolongan adiponektin rendah dan tinggi. Sesuai dengan tujuan dan hipotesis penelitian, adiponektin mungkin berperan dalam pengendalian hiperglikemia sehingga kadar adiponektin diduga lebih tinggi pada DM terkontrol daripada tidak terkontrol. Dari analisis menggunakan ketiga kuartil, nilai kuartil 1 sebagai titik potong lebih baik dalam menggambarkan perbedaan distribusi adiponektin rendah dan tinggi pada kelompok kontrol glikemik, yang mempunyai nilai rasio kejanggalan (Odds ratio/OR) DM terkontrol/tidak terkontrol terkecil dibanding Kuartil 2 (OR 0,53) atau Kuartil 3 (OR 1,10), seperti tampak pada Tabel 3. Nilai Odds ratio pada Kuartil 1 adalah 0,46 dengan 95%CI; 0,162-1,304, uji Chi square p= 0,139 > 0,05. Distribusi adiponektin rendah dan tinggi lebih baik pada kelompok DM terkontrol daripada tidak terkontrol namun perbedaan tidak secara bermakna atau tidak ada hubungan antara rendahtingginya adiponektin dengan terkontrol-tidak terkontrolnya DM pada penderita DM tipe 2 obesitas sentral. Pada Tabel 4, uji korelasi Spearman antara kadar adiponektin dengan HbA1c menunjukkan tidak mempunyai korelasi dan memperlihatkan hubungan terbalik namun tidak bermakna (r= - 0,083, p= 0,455). PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan selama periode Maret sampai dengan Oktober 2013 di Makassar dan mendapatkan 83 penderita DM tipe 2 obesitas sentral sebagai sampel penelitian. Penelitian menemukan kadar adiponektin serum minimum adalah 0,34 µg/mL, maksimum= 20,41 µg/mL, median= 2,750 µg/mL, dan rerata= 3,90 µg/mL dengan standar deviasi = 3,35 µg/mL (Tabel 1). Penelitian bertujuan untuk mengetahui kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2 obesitas sentral dalam hubungan dengan terkendalinya hiperglikemia yang dikelompokkan berdasarkan kadar HbA1c menjadi DM terkontrol dan tidak terkontrol dengan karakteristik sampel tersaji pada Tabel 2. Penelitian menemukan kadar rerata adiponektin pada DM terkontrol adalah 4,22±3,75 µg/mL lebih tinggi daripada DM tidak terkontrol 3,59±2,94 µg/mL. Uji Mann-Whitney; p= 0,303 menunjukkan perbedaan kadar rerata adiponektin antara DM terkontrol dan tidak terkontrol tersebut tidak bermakna (Gambar 1). Penelitian oleh Matthias dkk. (2004), melaporkan kadar adiponektin mempunyai hubungan terbalik dengan HbA1c pada penderita DM tipe 2 (Uji korelasi Spearman; r= - 0,090, p > 0,01). Studi mereka menjelaskan, hubungan antara adiponektin dengan marker-marker inflamasi tidak tergantung oleh HbA1c. Sifat anti-inflamasi yang dimiliki oleh adiponektin tidak dimediasi oleh potensialnya efek terkontrol glikemik, baik pada DM tipe 2 obesitas maupun non-obesitas laki-laki. Studi mereka mendukung hipotesis bahwa peningkatan kadar adiponektin mungkin berhubungan dengan kontrol glikemik yang lebih baik (Matthias dkk., 2004). Selanjutnya, oleh karena peningkatan kadar adiponektin pada DM terkontrol dibandingkan dengan DM tidak terkontrol secara statistik perbedaan tidak bermakna, maka dalam menilai hubungan kadar adiponektin terhadap kedua kelompok kontrol glikemik tersebut dilanjutkan dengan analisis perbedaan distribusi adiponektin sebagai konfirmasi. Pada Tabel 3 kuartil 1, distribusi adiponektin rendah pada DM terkontrol 17,1 % lebih rendah daripada tidak terkontrol 31,0 % dan distribusi adiponektin tinggi pada DM terkontrol 82,9 % lebih tinggi daripada tidak terkontrol 69,0 % namun secara statistik perbedaan distribusi tersebut juga tidak bermakna (Kuartil 1, OR 0,46 [95%CI; 0,162-1,304], uji Chi square; p= 0,139). Hasil penelitian ini tampaknya mendukung hipotesis dan peningkatan kadar adiponektin hanya berhubungan dengan perbaikan kontrol glikemik, yang ditunjukkan oleh kadar rerata adiponektin lebih tinggi pada DM terkontrol atau distribusi adiponektin rendah dan tinggi yang lebih baik pada DM terkontrol daripada tidak terkontrol, namun secara statistik perbedaan masing-masing tidak bermakna. Oleh karena itu, dari penelitian ini dapat dilaporkan bahwa terdapat peningkatan kadar adiponektin pada kontrol glikemik baik dibanding kontrol glikemik buruk, namun tidak mempunyai hubungan dengan terkendalinya hiperglikemia pada penderita DM tipe 2 obesitas sentral. Penelitian mendapatkan sampel wanita memiliki kadar rerata adiponektin lebih tinggi daripada sampel laki-laki (4,46±3,53 µg/mL vs 2,52±2,43 µg/mL). Secara statistik, uji MannWhitney; p= 0,002 menunjukkan kadar rerata adiponektin dari dua jenis kelamin tersebut berbeda secara bermakna. Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian oleh Hotta dkk. (2000), yang menemukan baik pada subyek bukan-DM maupun penderita DM, kadar adiponektin lebih rendah pada laki-laki daripada wanita. Pada individu normal, kadar adiponektin pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Faktor hormon kelamin meliputi estrogen, progesterone, dan androgen mungkin mempengaruhi kadar adiponektin (Hotta dkk., 2000). Selain itu, penelitian oleh Malecha dkk. (2011), dari 40 sampel DM tipe 2 disertai obesitas menemukan kadar rerata adiponektin serum 5,0±2,2 µg/mL dan uji Mann-Whitney; p < 0,01 menunjukkan kadar rerata adiponektin antara sampel wanita (n=17) 6,0±2,2 µg/mL lebih tinggi secara bermakna daripada sampel laki-laki (n=23) 4,2±1,7 µg/mL (Malecha dkk., 2011). Oleh karena telah dilaporkan adanya perbedaan kadar adiponektin antara jenis kelamin, baik pada individu normal ataupun DM tipe 2, dan dalam penelitian ini juga menemukan perbedaan kadar rerata adiponektin yang bermakna, maka jenis kelamin mungkin dapat menjadi faktor pembias disebabkan keterbatasan jumlah dan distribusi sampel laki-laki yang tidak seimbang (n; total= 24, DM terkontrol= 4, dan DM tidak terkontrol= 20). Oleh karena itu, ingin diamati perbedaan kadar rerata adiponektin antara DM terkontrol dan tidak terkontrol pada kelompok sampel yang homogen. Pada sampel wanita (n; total= 59, DM terkontrol= 37, dan DM tidak terkontrol= 22), kadar rerata adiponektin pada DM terkontrol adalah 4,53±3,74 µg/mL sedikit lebih tinggi daripada tidak terkontrol 4,34±3,10 µg/mL dan secara statistik perbedaan ini juga tidak bermakna (uji Mann-Whitney; p= 0,994). Disamping itu, pada penelitian lain terhadap subyek wanita sehat yang dibagi menjadi kelompok middleaged premenopausal (40.8±5.7 tahun, n=42), middle-aged postmenopausal (56.7±3.6 tahun, n=49), dan older-aged postmenopausal (72.2±4.5 tahun, n=62) ditemukan kadar adiponektin plasma terendah pada kelompok middle-aged premenopausal dan tertinggi pada older-aged postmenopausal. Kadar adiponektin pada postmenopausal lebih tinggi secara bermakna daripada premenopausal dan perbedaan antara middle-aged postmenopausal dan older-aged postmenopausal tidak secara bermakna. Kadar adiponektin mempunyai korelasi dengan umur (r= 0,48, p < 0,05). Studi mereka melaporkan faktor umur terkait status menopausal mempengaruhi kadar adiponektin pada wanita sehat (Jurimae & Jurimae, 2007). Pada penelitian ini, uji Mann-Whitney terhadap perbedaan rerata umur antara DM terkontrol dan tidak terkontrol pada sampel wanita tidak secara bermakna, demikian pula pada seluruh sampel penelitian. Jika demikian, jenis kelamin dan umur bukan sebagai faktor pembias dalam penilaian hubungan kadar adiponektin dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya diabetes dari seluruh sampel penelitian ini. Untuk menilai hubungan kadar adiponektin serum dengan terkendalinya hiperglikemia, juga dilakukan uji korelasi. Uji korelasi Spearman pada seluruh sampel penelitian menunjukkan kadar adiponektin tidak mempunyai korelasi dan memperlihatkan hubungan terbalik dengan HbA1c tetapi tidak bermakna (Tabel 4. r= - 0,083, p= 0,455) sedangkan pada sampel wanita juga tidak mempunyai korelasi namun memberi sedikit perbedaan koefisien korelasi (r= 0,021, p= 0,876). Hasil uji korelasi ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam penelitian Matthias dkk. (2004), atau tidak berbeda dengan hasil penelitian lain oleh Looker dkk. (2004), yang menemukan kadar adiponektin tidak mempunyai korelasi dengan HbA1c pada penderita diabetes (Uji korelasi Spearman; r= - 0,050, p= 0,240 > 0,05) (Looker dkk., 2004). Pemantauan glukosa darah penderita diabetes penting untuk mencegah hiperglikemia, suatu faktor risiko terjadinya komplikasi mikroangiopati dan makroangiopati yang dapat dilakukan menggunakan HbA1c sebagai marker kontrol glikemik. Meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna, namun ditemukannya kadar rerata adiponektin yang lebih tinggi pada DM terkontrol daripada tidak terkontrol dan kadar adiponektin mempunyai hubungan terbalik yang lemah dengan HbA1c, tampaknya kadar adiponektin mempunyai kecenderungan meningkat dengan membaiknya hiperglikemia namun keterlibatan adiponektin dalam pengendalian hiperglikemia pada penderita DM tipe 2 obesitas sentral mungkin sangat rendah sehingga peningkatan kadar adiponektin tersebut secara statistik tidak menimbulkan perbedaan yang bermakna. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian menemukan kadar adiponektin serum pada DM terkontrol lebih tinggi daripada tidak terkontrol dan distribusi adiponektin rendah dan tinggi lebih baik pada DM terkontrol daripada tidak terkontrol namun secara statistik perbedaan masing-masing tidak bermakna. Kadar adiponektin mempunyai hubungan terbalik dengan HbA1c tetapi tidak bermakna. Kesimpulan, kadar adiponektin tidak mempunyai hubungan dengan terkendalinya hiperglikemia pada penderita DM tipe 2 obesitas sentral. Saran, diperlukan penelitian dengan jumlah dan distribusi sampel yang lebih banyak dan berimbang antara DM terkontrol dan tidak terkontrol pada subyek wanita dan laki-laki untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association. (2013). Standards of Medical Care in Diabetes 2013. Diabetes Care, 36 (Supp 1, Jan 2013) : S11-S66. Berg A.H. & Scherer P.E. (2005). Adipose tissue, inflammation, and cardiovascular disease. Circ Res 96:939–49. Berg A.H., Combs T.P. & Scherer P.E. (2002). Acrp30/Adiponectin: an adipocytokine regulating glucose and fat metabolism. Trends Endocrinol Metabolism, 13 : 84-89. Fantuzzi G. (2005). Adipose tissue, adipokines, and inflammation. J Allergy Clin Immunol 115:911–9. Faramarz I.B. (2012). Pathogenesis and Glycemic Management of Type 2 Diabetes Mellitus: A Physiological Approach. Review article. Iranian Medicine, 15 (4) : 239 - 246. Gustaviani R. (2007). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta: 1857-1859. Hotta K., Funahashi T. & Arita Y. (2000). Plasma concentration of a novel adiposa specific protein adiponectin in type 2 diabetic patients. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 20 : 1595-1599. Jurimae J. & Jurimae T. (2007). Plasma adiponectin concentration in healthy pre- and postmenopausal women: relationship with body composition, bone mineral, and metabolic variables. Am J Physiol Endocrinol Metab 293: E42–E47. Kahn B.B. & Flier J.S. (2000). Obesity and insulin resistance. J Clin Invest 106: 473 - 481. Kobayashi K. (2005). Adipokines: therapeutic targets for metabolic syndrome. Curr Drug Targets 6: 525–9. Looker H.C., Krakoff J. & Funahashi T. (2004). Adiponectin Concentrations Are Influenced by Renal Function and Diabetes Duration in Pima Indians with Type 2 Diabetes. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 89 (8): 4010 - 4017. Malecha A., Jedraszek. & Donica H. (2011). Evaluation of serum adiponectin concentration in patients with type 2 diabetes. Sectio DDD, Vol. XXIV ; 15 - 22. Marieke B., Robert J. & Jacob C. (2006). Associations of Adiponectin Levels With Incident Impaired Glucose Metabolism and Type 2 Diabetes. (Article). Diabetes Care, 29 (11) : 2498 - 2503. Matsubara M., Minokoshi Y. & Arita Y. (2001). Inverse relationship between plasma adiponectin and leptin concentrations in normal weight and obese women. Eur J Endocrinol, 147 : 173 - 180. Matthias B.S., Eric B.R. & Iris S. (2004). Relationship between adiponectin and glycemic control, blood lipids, and inflammatory markers in men with type 2 diabetes. Diabetes Care, 27 : 1680 - 1687. Suryono S. (2007). Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta: 1852-1856. Weisberg S.P., McCann D. & Desai M. (2003). Obesity is associated with macrophage accumulation in adipose tissue. J Clin Invest 112: 1796 - 1808. Weyer C., Funahashi T. & Tanaka S. (2001). Hypoadiponectimia in obesity and type 2 diabetes: close association with insulin resistance and hyperinsulinemia. J Clin Endocrinol Metab, 86 : 1930 - 1935. Wild S., Roglic G. & Green A. (2004). Global Prevalence of Diabetes; Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care, 27(5): 1047-1053. Yamauchi T., Kamon J. & Waki H. (2001). The fat derived hormone adiponectin reverses insulin resistance associated with both lipoatrophy and obesity. Nat Med, 7 : 941-946. Tabel 1. Karakteristik seluruh sampel penelitian Variabel Penelitian Wanita Laki-laki Umur (tahun) Wanita Laki-laki ULP (cm) Wanita Laki-laki GDP (mg/dl) TTGO (mg/dl) HbA1c (%) Adiponektin (µg/ml) Min Sampel Penelitian ( n = 83 ) Maks Median Rerata SD 37 39 37 80 80 90 71 200 4,6 0,34 n = 59 ( 71,1 % ) n = 24 ( 28,9 % ) 52,00 52,6 52,00 52,9 52,50 52,0 91,00 92,0 87,00 89,4 93,50 98,6 108,00 116,6 249,00 258,2 7,10 7,5 2,750 3,90 7,7 7,5 8,25 10,2 8,5 11,3 36,7 56,4 2,0 3,36 69 69 64 126 115 126 277 520 13,7 20,41 Sumber; Data Primer Keterangan: Analisis frekuensi. n=jumlah sampel, Min=nilai minimum, Maks=nilai maksimum, Rerata=nilai rata-rata, SD=standar deviasi, ULP= ukuran lingkar pinggang, GDP=gula darah puasa, TTGO=tes toleransi glukosa oral, mg/dl=miligram/desiliter, µg/ml=mikrogram/mililiter Tabel 2. Karakteristik sampel penelitian pada DM terkontrol dan tidak terkontrol Variabel Penelitian Wanita Laki-laki Umur (tahun) Wanita Laki-laki ULP (cm) Wanita Laki-laki GDP (mg/dl) TTGO (mg/dl) HbA1c (%) Adiponektin (µg/ml) Sumber; Data Primer DM Terkontrol (n = 41) Maks Median Rerata±SD n = 37 ( 90,2 % ) n = 4 ( 9,8 % ) 39 69 51,00 53,2±7,4 39 69 51,00 53,3±7,6 48 60 48,50 51,3±5,9 81 126 87,00 90,3±10,9 81 109 86,50 88,4±7,9 90 126 108,50 108.3±18,9 71 241 98,00 104,3±24,8 200 324 240,00 239,8±31,8 4,6 6,8 6,00 5,9±0,5 0,34 20,41 3,320 4,22±3,75 Min DM Tidak Terkontrol (n = 42) Min Maks Median Rerata±SD n = 22 ( 52,4 % ) n = 20 ( 47,6 % ) 37 66 53,00 52,0±8,0 40 66 52,50 52,0±7,5 37 64 53,50 52,1±8,8 80 121 92,00 93,7±9,4 80 115 90,50 91,0±9,4 90 121 92,75 96,6±8,7 90 277 115,00 128,7±42,3 200 520 269,00 276,1±68,7 7,1 13,7 8,15 9,0±1,7 0,52 11,91 2,425 3,59±2,94 Rerata DM terkontrol = 4,22±3,75 µg/ml Rerata DM tidak terkontrol = 3,59±2,94 µg/ml p = 0,303 > 0,05 Gambar 1. Tabel 3. Grafik perbedaan kadar rerata adiponektin antara DM terkontrol dan tidak terkontrol Perbedaan distribusi adiponektin rendah dan tinggi pada DM terkontrol dan tidak terkontrol Kontrol Glikemik DM terkontrol n(%) DM tidak terkontrol n(%) Kuartil 1 Rendah (<1,62) Tinggi (≥1,62) 7 ( 17,1 ) 34 ( 82,9 ) 13 ( 31,0 ) 29 ( 69,0 ) Risk Estimate OR [95% CI] 0,46 [0,162 – 1,304] p* 0,139 Keterangan: n= jumlah, %=persen, OR=odds ratio, 95% CI=95% confidence interval [lower risk-upper risk], * Uji Chi square ; perbedaan bermakna pada level p < 0,05 Tabel 4. Uji korelasi Spearman antara kadar adiponektin dengan HbA1c dan variabel lain pada seluruh sampel penelitian (n=83) Variabel Adiponektin HbA1c r - 0,083 p 0,455 Umur r 0,161 p 0,145 Keterangan: Korelasi bermakna pada level p < 0,05 ULP r - 0,191 p 0,083 GDP r - 0,239 p 0,029 TTGO r - 0,039 p 0,728