SILABUS MATA KULIAH PSIKOLINGUISTIK Drs. Rohmadi, M.Hum. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 SILABUS MATA KULIAH Program Studi Kode Mata Kuliah Mata Kuliah Jumlah Sks Semester Mata Kuliah Prasyarat Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi : Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah : 507302 : Psikolinguistik : 2 sks : V (Lima) : : Mata kuliah ini sebagai landasan pemahaman dan kemampuan pengelolaan materi Psikolinguistik dengan baik. Mahasiswa dapat menerapkannya dalam ilmu kebahasaan dan kesusasteraan dengan lancar. Adapun isi pokok matakuliah ini meliputi teori tindak bahasa, tindak bahasa dari sudut pembicara, tindak bahasa dari sudut pendengar, relevansi tindak bahasa dengan pembelajaran bahasa, pemerian bahasa dan fonologi, pemerian bahasa dan morfologi, perkembangan psikolinguistik, pemerolehan bahasa pertama: perkembangan kognitif anak, pemerolehan bahasa pertama: perkembangan sosial anak, pemerolehan bahasa kedua: hipotesis kesamaan perolehan, pemerolehan bahasa kedua: hipotesis kontrastif, behaviorime dan kognitivisme dalam perolehan bahasa, kedwibasaan: alih kode dan campu kode. : Memahami konsep dasar Psikolinguistik, teori Psikolinguistik sebagai landasan terampil bahasa, Psikolinguistik sebagai dasar pemahaman ilmu bahasa, metode Psikolinguistik, kriteria dan jenis Psikolinguistik. 2 Kompetensi Dasar 1. Menjelaskan definisi ilmu pengetahuan 2. Menjelaskan definisi, hakikat, tujuan, dan syaratsyarat Psikolinguistik 3. Menjelaskan Psikolinguistik sebagai dasar pemahaman bahasa 4. Menjelaskan metode pemerolehan bahasa anak 5. Menjelaskan bermacam-macam kriteria dan jenis pemerolehan bahasa anak Indikator Pengalaman Belajar Materi 1. Menerangkan teori tindak bahasa, tindak bahasa dari sudut pembicara, 2. Menerangkan tindak bahasa dari sudut pendengar, 3. Menerangkan relevansi tindak bahasa dengan pembelajaran bahasa, 4. Menerangkan pemerian bahasa dan fonologi, 5. Menerangkan pemerian bahasa dan morfologi, 6. Menerangkan perkembangan psikolinguistik, 7. Menerangkan pemerolehan bahasa pertama: perkembangan kognitif anak, 8. Menerangkan pemerolehan bahasa pertama: perkembangan sosial anak, 9. Menerangkan pe- 1. Mendeskripsikan teori tindak bahasa, tindak bahasa dari sudut pembicara, 2. Mendeskripsikan tindak bahasa dari sudut pendengar, 3. Mendeskripsikan relevansi tindak bahasa dengan pembelajaran bahasa, 4. Mendeskripsikan pemerian bahasa dan fonologi, 5. Mendeskripsikan pemerian bahasa dan morfologi, 6. Mendeskripsikan perkembangan psikolinguistik, 7. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pertama: perkemba-ngan kognitif anak, 8. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pertama: perkemba-ngan sosial anak, 9. Mendeskripsikan pe- 1. teori tindak bahasa, tindak bahasa dari sudut pembicara, 2. tindak bahasa dari sudut pendengar, 3. relevansi tindak bahasa dengan pembelajaran bahasa, 4. pemerian bahasa dan fonologi, 5. pemerian bahasa dan morfologi, 6. perkembangan psikolinguistik, 7. pemerolehan bahasa pertama: perkembangan kognitif anak, 8. pemerolehan bahasa pertama: perkembangan sosial anak, 9. pemerolehan 3 Waktu 1. 4 x 100’ 2. 4 x 100’ 3. 6 x 100’ Alat/Bahan/ Sumber Belajar 1. LCD dan media pembelajaran lainnya 2. Psikolinguisti k: Suatu Pengantar (Sri Utari) Penilaian 1. Tes praktik kelompok 2. Tes portofolio merolehan bahasa kedua: hipotesis kesamaan perolehan, 10. Menerangkan pemerolehan bahasa kedua: hipotesis kontrastif, 11. Menerangkan behaviorime dan kognitivisme dalam perolehan bahasa, 12. Menerangkan kedwibasaan: alih kode dan campu kode merolehan bahasa kedua: hipotesis kesamaan perolehan, 10. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa kedua: hipotesis kontrastif, 11. Mendeskripsikan behaviorime dan kognitivisme dalam perolehan bahasa, 12. Mendeskripsikan kedwibasaan: alih kode dan campu kode bahasa kedua: hipotesis kesamaan perolehan, 10. pemerolehan bahasa kedua: hipotesis kontrastif, 11. behaviorime dan kognitivisme dalam perolehan bahasa, 12. kedwibasaan: alih kode dan campu kode Ketua Jurusan, Surakarta, 16 Juli 2008 Dosen Penanggung Jawab Perkuliahan, Drs. H. Yakub Nasucha, M.Hum. Drs. Rohmadi, M.Hum. 4 HIPOTESIS SAPIR – WHORF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASABAHASA DI INDONESIA Posted on 27/01/2012 by mufatis maqdum Oleh: Mufatis Maqdum ABSTRAK Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial, psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa.Edward Sapir (1939 – 1884) adalah seorang linguis Amerika, sedangkan Benjamin Lee Whorf (1941 – 1897) adalah salah seorang murid Edward Sapir. Mereka berdua sangat memahami konsep-konsep linguistik yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa. Sapir dan Whorf memiliki hipotesis yang dikenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf. Di dalam hipotesis itu dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menetukan cara dan jalan pikiran manusia; dan oleh karena itu memepengaruhi pula tindak lakunya. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sangatlah penting disamping karena fungsi yang diembannya yang mencakup beberapa hal seperti; sebagai bahasa resmi dalam penyelnggaraan kehidupan negara dan pemerintahan, bahasa pengantar pada semua jenis dan jenjang pendidikan, bahasa perhubungan nasional, sarana pengembangan ipteks, dan sarana pengembangan kebudayaan. Dalam kaitannya dengan hipotesis Sapir-Whorf dalam bahasa-bahasa di indonesia, bahwasannya bahasa dipandang berpengaruh besar terhadap kultur dan menjadi penentu cara berpikir individu-individunya, serta bahasa berpengaruh besar terhadap kebudayaan dan menentukan wujud-wujud dari kebudayaannya, dan juga terdapat pula beberapa sikap budaya yang erat kaitannya dengan sikap bahasa, dimana sikap bahasa itu boleh dikatakan terjabar dari sikap budaya, maka dari sini dapat dibuat pelajaran dan evaluasi supaya dapat dikembangkan dan dikukuhkan agar menjadi menjadi ciri jati diri warga negara Indonesia. kata kunci: Psikolinguistik, Sapir, Whorf, Bahasa Indonesia. A. PENDAHULUAN Betapa pentingnya bahasa bagi manusia kiranya tidak perlu diragukan lagi. Hal itu tidak saja dapat dibuktikan dengan menunjuk pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dapat juga dibuktikan dengan menunjuk banyaknya perhatian para ilmuwan dan praktisi terhadap bahasa. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Sebagai anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, orang sangat bergantung pada penggunaan bahasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa dimana ada masyarakat di situ ada penggunaan bahasa. Dengan kata lain di mana aktivitas terjadi, di situ aktivitas bahasa terjadi pula. Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Harus dipahami terlebih dahulu bahwa bahasa, budaya, masyarakat, merupakan tiga entitas yang bertautan erat. Rentangan perbendaharaan leksikon bahasa dalam suatu masyarakat, berkaitan erat dengan kelaziman-kelaziman, segala tata adat, dan tata aturan yang berlaku dalam wahana kebudayaan masyarakat bersangkutan. Panjang pendeknya rentangan leksikon bahasa suatu masyarakat menjadi penanda dan cerminan kualitas kebudayaan dari masyarakatnya. Barangkali benar apa yang pernah dikatakan oleh Sapir-Whorf, begawan-begawan linguistik ternama Amerika 5 bahwa aturan-aturan kebahasaan dan gramatika bahasa menentukan cara pandang warga masyarakat bahasa itu terhadap dunia di sekitarnya. B. BAHASA Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan languange dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, langue dalam bahasa Prancis, lingua dalam bahasa Itali, lengua dalam bahasa Spanyol, lingua dalam bahasa Latin, kokugo dalam bahasa jepang, lughatun dalam bahasa Arab, dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu digunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Para linguis biasanya memberikan batasan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi serta mengidentifikasikan diri. Menurut teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Bahasa dipergunakan oleh manusia dalam segala aktivitas kehidupan. Dengan demikian, bahasa merupakan hal yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Pada hakikatnya berbahasa merupakan suatu kegiatan alamiah yang sama halnya dengan bernapas yang kita tidak memikirkannya. Akan tetapi, bila kita pikirkan seandainya kita tidak berbahasa, dan kita tidak melakukan tindak berbahasa, maka identitas kita sebagai “genius manusia” (homosapiens) akan hilang karena bahasa mencerminkan “kemanusiaan”, yang paling membedakan kita dari makhluk lain ialah bahwa kita mempunyai bahasa. Bahasa tidak terpisahkan dari manusia dan mengikuti di dalam setiap pekerjaannya. Mulai saat bangun pagi-pagi sampai jauh malam waktu ia beristirahat, manusia tidak lepasnya memakai bahasa, malahan pada waktu tidurpun tidak jarang ia “memakai bahasanya”. Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada hakekatnya ia masih juga memakai bahasa, karena bahasa ialah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran dan perasaanya, keinginan dan perbuatan-perbuatan; alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, dan bahasa adalah dasar pertama-tama dan paling berurat-berakar daripada masyarakat manusia. Bahasa adalah tanda yang jelas daripada kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas daripada keluarga dan bangsa; tanda yang jelas daripada budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang kita dapat menangkap tidak saja keinginannya, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya. C. PSIKOLINGUISTIK Secara etimologi sudah disinggung bahwa kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materialnya berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda. Psikolinguistik merupakan ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi. Objek kajian studi psikolingusitik, diantaranya adalah ialah proses perkembangan bahasa pada anak-anak, proses belajar mengajar bahasa, proses terjadinya percampuran pemakaian bahasa oleh orang yang menguasai dua bahasa atau lebih. Dalam psikolinguistik bahasa dilibatkan pada masalah pengaruh proses psikis terhadap pelaksanaan bahasa. Meskipun cara dan tujuannya berbeda tetapi banyak juga bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedu disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerjasama diantara kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan 6 hakikat bahasa. Dengan kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Istilah psikolinguistik mulai muncul dan popular pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood yang berjudul Psycholinguistik: A Survey of Theory and Research Problems. Pada awal perkembangannya, psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dan dilanjutkan dengan adanya kerjasama yang sinergis antar pakar linguistik dan psikologi, hingga kemudian muncullah pakar-pakar psikolinguistik sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Secara formal kelahiran psikolinguistik sebenarnya ditandai dengan dibukanya satu program khusus psikolinguistik pada tahun 1953 oleh R. Brown. Sarjana pertama (Ph.D) yang dihasilkan oleh program ini adalah Eric Lenneberg yang sangat besar perannya dalam bidang psikolinguistik. Kalau pada awal perkembangannya banyak pakar psikologi yang “rindu” pada linguistik, dan banyak pakar linguistik yang berminat pada psikologi; lalu kemudian banyak kerja sama antar pakar linguistik dan psikologi untuk menelaah masalah keberbahasaan, maka dalam periode ini banyak pakar yang tidak merasa lagi sebagai ahli linguistik atau ahli psikologi, melainkan dirinya sudah sebagai pakar psikolinguistik. Pada awalnya kerjasama antara kedua disiplin itu disebut linguistik psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language. Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebi baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antar disiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguitik itu sendiri baru lahir tahun 1954, yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat. Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbhasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cahazu, 1973). Maka secara teortis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bias diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat stuktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam penuturan itu. Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguitik dan psikologi pada masalah-masalah seperti pengajaran, pembelajaran bahasa pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemulti bahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap dan sebagainya; serta masalah social lain yang menyangkut bahasa. Seperti bahasa dan pendidikan, bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa. Kerjasama antara psikologi dan linguistik setelah beberapa lama berlangsung tampaknya belum cukup untuk dapat menerangkan hakikat bahasa seperti tercermin dalam definisi di atas. Bantuan dari ilmu-ilmu lain sangat diperlukan, seperti neurofisiologi, neuropsikologis, neurolinguistik, dan sebagainya. Maka meskipun digunakan istilah psikolinguistik, bukan berarti hanya kedua bidang ilmu itu saja yang diterapkan, tetapi juga hasil penelitian dari ilmu-ilmu lain pun dimanfaatkan. D. SAPIR – WHORF Edward Sapir (1884 – 1939) adalah seorang linguis Amerika yang dihormati dan disegani. Dia juga sangat memahami konsep-konsep linguistik yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa. Benjamin Lee Whorf (1897 – 1941) adalah salah seorang murid Edward Sapir. Pada mulanya dia bukanlah seorang profesional dalam kajian psikolinguistik, tetapi kemudian giat mempelajari linguistik dan memberikan pendapat-pendapatnya yang telah memeperkaya pikiran-pikiran mengenai linguistik. Dia dan gurunya, Edward Sapir, banyak mempelajari bahasa-bahasa orang indian, dan menuliskan hasil penelitiannya secara luas. 7 E. HIPOTESIS SAPIR – WHORF Bahasa dipandang saling berpautan dengan kebudayaan, sudah sejak sangat lama dibincangkan orang. Demikianpun fakta bahwa bahasa, budaya, dan cara berpikir seseorang dianggap bertali-temali erat, sudah lama diperdebatkan banyak kalangan. Pandangan yang ditarik dari postulasi hipotesis kebudayaannya Sapir-Whorf, yang lantas dikenal dengan teori relativitas dan determinasi kebudayaan. Dengan hipotesisnya itu, Sapir-Whorf mempostulasikan, bahwa bahasa berpengaruh besar terhadap kebudayaan. Di dalam banyak hal, bahasa menentukan wujud-wujud dari kebudayaannya. Bahasa dipandang berpengaruh besar terhadap kultur yang mewadahi lantaran bahasa menjadi penentu cara berpikir individu-individunya. Kreatif tidak kreatifnya setiap warga masyarakat, sangat dipengaruhi oleh sosok bahasa yang dikuasainya. Gagasan inilah yang kemudian dikenal sebagai versi lemahnya teori kebudayaan SapirWhorf. Adalah yang dianggap versi kuatnya adalah, bahwa bahasa tidak saja berpengaruh terhadap cara berpikir warga masyarakat, tidak saja memiliki sumbangan minimal terhadap wujud kebudayaan yang mewadahinya, tetapi lebih dari semua itu bahasa sebagai penentu pokoknya wujud-wujud kebudayaan. Bahasa menentukan corak suatu masyarakat, ataukah masyarakat menentukan corak suatu bahasa. Pada umumnya orang lebih cenderung untuk memilih gagasan yang kedua. Akan tetapi lain halnya dengan Whorf dan Sapir. Dua ahli ini menentukan suatu hipotesis yang terkenal dengan nama “Hipotesis Whorf-Sapir”. Menurut hipotesis ini bahasalah yang menentukan corak suatu masyarakat. Di dalam hipotesis itu dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menetukan cara dan jalan pikiran manusia; dan oleh karena itu memepengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memepunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak dapat mempunyai jalan pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Edward Sapir (1884 – 1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini dibawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir telah menjadi fakta bahwa suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu. Benjamin Lee Whorf (1897 – 1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyibunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf adalah ahli linguistik yang mempunyai hipotesis kira-kira berbunyi demikian: bahasa ibu (native languange; mother tongue) seorang penutur membentuk kategori-kategori yang bertindak sebagai sejenis jeruji (kisi-kisi). Melalui kisi-kisi itu si penutur melihat “dunia luar” (dunia di luar dirinya). Karena “penglihatan” si penutur terhalang oleh kisi-kisi, pandangannya ke dunia luar menjadi seolah-olah diatur oleh kisi-kisi itu. Kisi-kisi itu memaksa si penutur menggolong-golongkan dan membentuk konsep tentang berbagai gejala dalam dunia luar itu berdasarkan bahasa ibunya. Dengan demikian maka bahasa ibu dapat mempengaruhi bahkan mengendalikan pandangan penutur-penuturnya terhadap dunia luar. Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita 8 memeberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf adalah sebaliknya, kita membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita, dan bukan atas dasar realitas itu. Umpamanya jenis warna di seluruh dunia ini sama, tetapi mengapa setiabangsa yang berbeda bahasanya melihat sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris misalnya, mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey; tetapi penutur bahasa Hunaco di Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu mabiru, hitam dan warna gelap lain’, melangit ‘putih dan warna merah cerah’, meramar kelompok warna merah’, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan coklat muda’. Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Sapir dan Whorf adalah hasil penelitian yang lama dan dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, ternyata gagasan mereka yang disebut dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebgaian besar sarjana. F. GAMBARAN HIPOTESIS SAPIR-WHORF DALAM BAHASA-BAHASA DI INDONESIA Bahasa Indonesia menempati kedudukan yang fundamental, hal ini membuat secara konstitusional dengan didudukkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, pemberlakuan kembali UUD 1945 tahun 1959, hingga UUD 1945 yang diamandemen kedudukan bahasa indonesia sebagai bahasa negara tidak berubah. Dinamika fungsi yang diembannya mencakup lima butir, yakni sebagai (1) bahasa resmi dalam penyelnggaraan kehidupan negara dan pemerintahan, (2) bahasa pengantar pada semua jenis dan jenjang pendidikan, (dengan catatan tambahan tentang dijadikannya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dasar sampai perguruan tinggi), (3) bahasa perhubungan nasional (terutama dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional), (4) sarana pengembangan ipteks, dan (5) sarana pengembangan kebudayaan. Berdasarkan bahasa negara itu, kedudukan bahasa Indonesia sebagai media pengembang ipteks dan budaya dikukuhkan, dibina, dan dikembangkan. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ipteks diorientasikan pada dua hal, yakni (i) terbentuknya bahasa Indonesia yang memiliki daya ungkap terhadap berbagai konsep ipteks, dan (ii) terbentuknya rasa bangga bahasa pengguna bahasa Indonesia sebagai representasi tumbuhnya kepribadian nasional. Cara berpikir masyarakat benar-benar ditentukan oleh bahasa. Misalnya, seorang anak jawa sejak kecil sudah belajar (melalui bahasa jawa), jaran (kuda) itu berbeda dengan belo (anak kuda). “Penggolongan” atas satu hal atau satu jenis binatang ini menjadi “kisi-kisi” dalam benaknya. Kelak jika ia belajar bahasa Indonesia, ada kemungkinan ia selalu bertanya, “Apa bahasa Indonesianya belo?” juga kalau kelak belajar bahasa Inggris. Orang-orang jawa yang konon suka bersikap dan berperilaku halus, tentu saja dalam kondisi yang wajar, juga akan memiliki wujud-wujud bahasa yang serba halus sifatnya. Orang bertutur dalam masyarakat jawa, perlu mempertimbangkan tingkatan-tingkatan kehalusannya, dengan piranti tingkat tutur (speech level) atau kesantunan yang sosiolinguistik sifatnya. Perbedaan bahasa, dalam beberapa hal, dapat mengakibatkan perbedaan pandangan tentang dunia. Misalnya, orang Hopi (Indian) mempunyai kebiasaan menganggapi alam sekitarnya dengan cara yang agak berbeda denga penutur bahasa Inggris. Orang Indonesia akan mengucapkan “Selamat malam” jika malam sudah tiba atau masih gelap, apakah pada pukul 19.00 atau pukul 01.00, karena dalam benak mereka gelap ada kaitannya dengan malam. Orang inggris untuk masingmasing waktu tersebut akan mengucapkan “Good evening” (selamat petang) dan “Good morning” (selamat pagi). Konsep tentang waktu memang berbeda bagi orang Indonesia dan orang Inggris. Memang hal ini bisa menimbulkan sedikit kesulitan bagi kedua belah pihak untuk saling memahami ekspresi-ekspresi mereka. Tetapi mereka pasti bisa mengatasi. Di suatu media massa (Abadi, 1971) seorang bernama Kang En (mungkin nama samaran) menulis sebuah artikel yang isinya agak provokatif, yaitu: “Bahasa yang Merusak Mental Bangsa”. Hal ini perlu diketengahkan sebab tulisan itu tampaknya beranjak dari hipotesis Whorf-Sapir. Ada tiga persoalan dalam bahasa Indonesia yang dikemukakan oleh Kang-En, yaitu: (1) masalah kata sapaan, (2) masalah kala (tenses), dan (3) salam (greeting). 9 Masalah Kata Sapaan Di sana dikemukakan oleh kang En bahwa kata sapaan dalam bahasa Indonesia (Bapak, Ibu, Saudara) meminjam kata dari perbendaharaan hubungan kekerabatan/famili (bapak, ibu, saudara). Hal ini tampaknya ada suatu dampak yang signifikan, yakni mengakibatkan masyarakat pemakaiannya memiliki sifat familier dan nepotis. Mungkinkah berkembangnya nepotisme di negeri ini disebabkan oleh perilaku bahasa? Jawabanya masih harus dikaji secara cermat dengan data yang lengkap. Masalah Kala (tenses) Masalah kedua yang juga dikemukakan oleh Kang En adalah perihal kala (tenses). Bahasa Indonesia sebagai bahasa tipe aglunatif memang tidak mengenal tenses (kala). Hal ini telah mengakibatkan masyarakatnya kurang begitu peduli waktu dan kurang menghargai waktu atau kurang disiplin dalam masalah waktu. Kenyataan memang banyak yang menunjukkan kebenaran prasangka demikian. Jam karet memang hampir merupakan budaya bangsa. Akan tetapi apakah penyebabnya memang betul dari perilaku bahasa Indonesia yang tidak mengenal tenses? Apakah bahasa-bahasa lain yang setipe dengan bahasa Indonesia perilaku bangsanya juga sama dengan perilaku bangsa Indonesia? Jawabnya sudah barang tentu tidak hanya spontanitas, tetapi harus diteliti dan dibuktikan dengan data yang lengkap dan otentik. Masalah Salam (greeting) Salam kita yang paling populer adalah Apa kabar? Atau Hallo, apa kabar? Yang menjadi persoalan ialah, samakah perilaku bangsa yang menggunakan salam Apa kabar? Dengan perilaku bangsa yang menggunakan salam How do you do! Dampak pemakaian kata do tampaknya berbeda dengan pemakaian kata apa kabar. Kata do memiliki sugesti untuk berbuat sesuatu, sedangkan apa kabar memiliki sugesti untuk “memburu berita”. Bangsa yang menggunakan How do you do! Sangat terbiasa bekerja dan bekerja, misalnya di dalam perjalanan dengan bus atau kereta api selalu tidak luput dari aktivitas membaca buku. Sebaliknya bangsa yang menggunakan salam Apa kabar! sangat umum dijumpai selalu ngobrol di dalam perjalanan sejenis. Apaka ini merupakan bukti bahwa perilaku bangsa ini telah ditentukan oleh perilaku bahasanya, khususnya dalam menggunakan salam? Jawabnya harus diteliti lebih lanjut, agar ketahuan benar salahnya hipotesis Whorf-Sapir tersebut. Bertolak dari gagasan Koentjaraningrat (1974), ada tiga sikap budaya yang erat kaitannya dengan sikap bahasa yang positif. Bahkan sikap bahasa itu boleh dikatakan terjabar dari sikap budaya yang perlu dikembangkan dan dikukuhkan. Sikap budaya itu dapat juga diusahakan menjadi ciri jati diri warga negara Indonesia. Perincian sika budaya tersebut ialah sebagai berikut: Kebanggaan kepada produk Indonesia dapat lambat-laun membawa serta kebanggaan kepada bahasa Indonesia dan bahasa etnis Nusantara. Kesetiaan kepada prinsip hidup manusia Indonesia dapat bermuara pada kesetiaan kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kesadaran akan norma moralitas, hukum, dan disiplin akan menumbuhkan kesadaran akan norma bahasa yang adab. Namun disisi lain adapula beberapa sikap budaya yang menjadi segi negatif ciri jati diri bangsa Indonesia dan sangat perlu diubah, diantaranya sebagai berikut: Sikap budaya tuna-harga-diri terhadap bangsa asing yang menulari sikap terhadap bahasa indonesia sebagai bahasa yang belum bermartabat. Salah satu sikap itu terlihat selama konferensi internasional Uni Parlemen di Jakarta baru-baru ini. pada dinding yang melatari meja pimpinan sidang terpampang nama kongres dalam berbagai bahasa. Yang menyimpang dari kebiasaan internasional ialah pemasangan nama konferensi dalam bahasa Indonesia, justru di tempat yang paling bawah. Ini namanya tidak menjunjung bahasa persatuan. Sikap budaya yang meremehkan mutu yang berakibat tumbuhnya sikap kepuasan terhadap bahasa yang asal jadi. Contohnya dapat disaksikan jika orang yang harus memakai bahasa Indonesia di muka umum, memagari dirinya sambil berdalih “maaf, jika bahasa saya kurang baik; maklum, saya bukan ahli bahasa”. Apakah hanya ahli bahasa saja yang harus berbahasa dengan baik? 10 Sikap budaya yang suka berlaku latah yang tercermin dalam sikap bahasa untuk membenarkan salah kaprah dalam pemakaian bahasa. Sikap bahasa ini akan membenarkan pemakaian kata nominator sebagai padanan kata nominee yang sebenarnya harus menjadi ternominasi atau calonan. Salah kaprah yang berasal dari kelatahan itu dianggap tidak perlu dibetulkan lagi. Sikap budaya suka menerabas/jalan pintas yang sejalan dengan anggapan bahwa kemahiran berbahasa dapat dicapai tanpa bertekun. Sikap budaya menjauhi disiplin sejalan dengan pendirian bahwa kaidah bahasa tidak perlu dipatuhi karena “bahasa itu untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk bahasa”. Sikap budaya enggan bertanggung jawab sejalan dengan pikiran bahwa urusan bahasa bukan tanggung jawab masyarakat, melainkan tanggung jawab ahli bahasa. Dengan kenyataan yang demikian ini, maka dapat ditegaskan dari teori relativitas bahasa milik Sapir-Whorf yakni bahwa bahasa yang selama ini hanya dipandang sebagai peranti pentransmisi kebudayaan, terbukti memiliki peran besar sekali karena justru sebagai penentu kebudayaan itu sendiri. KESIMPULAN Sudah sejak sangat lama diperbincangkan oleh banyak orang jika bahasa itu dipandang saling berpautan dengan kebudayaan. Dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia disini membuat bahasa benar-benar menentukan cara berpikir masyarakat, demikian pula dengan perbedaan bahasa juga dapat mengakibatkan perbedaan pandangan tentang dunia dalam beberapa hal. Hipotesis SapirWhorf yang biasa dikenal dengan teori relativitas bahasa dan determinasi kebudayaan disitu menyatakan jika perbedaan berpikir disebabkan oleh perbedaan bahasa, jika dibuat untuk menilik ke bahasa Indonesia khususnya serta beberapa bahasa yang ada di negara Indonesia memang ada beberapa hal yang bisa dibuat menjadi rujukan atas hipotesis ini, namun dengan hipotesis ini pun bangsa Indonesia khususnya serta yang mempergunakan bahasa-bahasa di Indonesia bisa dijadikan suatu pelajaran berharga sebab berangkat dari hipotesis ini bahwasannya bahasa dipandang berpengaruh besar terhadap kultur yang mewadahi lantaran bahasa menjadi penentu cara berpikir individu-individunya, bahasa berpengaruh besar terhadap kebudayaan serta menentukan wujudwujud dari kebudayaannya. DAFTAR PUSTAKA Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007). Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Pekenalan Awal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004). Chaer, Abdul. Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009). Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007). Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. Psikolinguistik, Konsep & Isu Umum (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Purwo, Bambang Kaswanti Dkk., Peneroka Hakikat Bahasa (Yogyakarta: Penerbit USD, 2010). Rahardi, Kunjana. Dimensi – Dimensi Kebahasaan; Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). Rusmaji, Oscar. Aspek – Aspek Linguistik (Malang: Penerbit IKIP Malang, 1995). Samsuri. Analisa Bahasa; memahami bahasa secara ilmiah (Jakarta: Erlangga, 1978). Soeparno. Dasar – Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002). Sumarsono dan Paina Partana. Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda, 2007). Suwignyo, Heri dan Anang Santoso. Bahasa Indonesia Keilmuan; Berbasis Area isi dan Ilmu (Malang: UMM Press, 2008). Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007), 1. Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, Konsep & Isu Umum (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 46. Abdul Chaer, Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 52. 11 Kunjana Rahardi, Dimensi – Dimensi Kebahasaan; Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 60. Oscar Rusmaji, Aspek – Aspek Linguistik (Malang: Penerbit IKIP Malang, 1995), 1. Soeparno, Dasar – Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 5. Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, Konsep & Isu Umum (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 46. Soeparno, Dasar – Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 1. Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), 1-2. Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, Konsep & Isu Umum (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 30-31. Samsuri, Analisa Bahasa; memahami bahasa secara ilmiah (Jakarta: Erlangga, 1978), 4-5. Abdul Chaer, Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 5. Oscar Rusmaji, Aspek – Aspek Linguistik (Malang: Penerbit IKIP Malang, 1995), 14-15. Abdul Chaer, Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 5. Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, Konsep & Isu Umum (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 18. Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, Konsep & Isu Umum (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 18. Abdul Chaer, Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 5. Abdul Chaer, Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 5-6. Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Pekenalan Awal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, Kunjana Rahardi, Dimensi – Dimensi Kebahasaan; Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 60. Kunjana Rahardi, Dimensi – Dimensi Kebahasaan; Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 143. Soeparno, Dasar – Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 5. Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Pekenalan Awal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 166-167. Abdul Chaer, Psikolinguistik : Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 52. Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda, 2007), 59. Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Pekenalan Awal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 167. Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), 94. Heri Suwignyo dan Anang Santoso, Bahasa Indonesia Keilmuan; Berbasis Area isi dan Ilmu (Malang: UMM Press, 2008), 2. Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda, 2007), 59. Kunjana Rahardi, Dimensi – Dimensi Kebahasaan; Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 144. Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda, 2007), 60-61. Soeparno, Dasar – Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 6. Soeparno, Dasar – Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 7. Bambang Kaswanti Purwo Dkk., Peneroka Hakikat Bahasa (Yogyakarta: Penerbit USD, 2010), 201. 12 GANGGUAN BERBAHASA A. Pendahuluan Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yangdihasilkan oleh alat ucap manusia. Proses berbahasa sendiri memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat.Karena secara teoritis proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkodegramatika dan enkode fonologi. Dimana ketiga enkode tersebut berkaitan dalam kegiatan produksi bahasa seseorang yang juga berkaitan erat dengan hubungan antara otak danorgan wicara seseorang. B. Gangguan Berbahasa Gangguan berbahasa dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian:1. Faktor medis.2. Faktor lingkungan sosial. 1) Gangguan Faktor Medis Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itudapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu: a) Gangguan berbicara, b) Ganguan berbahasa,dan c) Gangguan berpikir. 2) Gangguan Berbicara: Berbicara merupakan aktifitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karenaitu, gangguan berbicara ini dapat dua kategori, pertama, gangguan mekanisme berbicarayang berimplikasi pada gangguan organik Dan yang kedua gangguan berbicara psikogenik. Pertama, gangguan Mekanisme Berbicara. Proses berbicara adalah suatu proses produksiucapan (percakapan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkanmekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara disebabkan kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal) pada lidah (lingual), pada rongga mulutdan kerongkongan (resonantal).· 3) Gangguan akibar faktor pulmonal: Gangguan ini dialami oleh para penderita paru-paru. Para penderita penyakit paru-paruini kekuatan bernafasnya sangat kurang sehingga bicaranya diwarnai oleh nada yangmonoton, volume suara kecil, dan terputus-putus.· 4) Gangguan Akibat Factor Laringal: Gangguan pada pita suara sehingga suara menjadi serak atau hilang sama sekali.· 5) Gangguan Akibat Faktor Lingual: Lidah yang terluka akan terasa perih jika di gerakan.untuk mencegah timbulnya rasa pedih aktifitas lidah di kurangi. Dalam keadaan ini maka pengucapan sejumlah fonemmenjadi tidak sempurna.· 6) Gangguan akibat factor resonasi: Menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. 13 Selasa, 19 Oktober 2010 Makalah Psikolinguistik GANGGUAN BERBAHASA Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Psikolinguistik Dosen Pengampu : Atikah Anindyarini, S.S., M.Hum. Oleh: Cheney Christ S. Dkk PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Berbahasa merupakan proses mengomunikasikan bahasa tersebut. Proses berbahasa sendiri memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat. Secara teoritis proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkode gramatika dan enkode fonologi. Enkode semantik dan enkode gramatika berlangsung dalam otak, sedangkan enkode fonologi dimulai dari otak lalu diteruskan pelaksanaannya oleh alat-alat bicara yang melibatkan sistem syaraf otak bicara. Ketiga enkode tersebut berkaitan dalam kegiatan produksi bahasa seseorang yang juga berkaitan erat dengan hubungan antara otak dan organ bicara seseorang. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasa terganggu. Gangguangangguan berbahasa tersebut sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian factor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami manusia berserta factor-faktor yang menyebakannya. B. Rumusan masalah Makalah ini memiliki rumusan masalah apa sajakah yang termasuk gangguan berbahasa? C. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui macam gangguan dalam berbahasa. D. Manfaat a. Manfaat Praktis. Menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa dalam bidang psikolinguistik terutama yang menyangkut masalah gangguan berbahasa. b. Manfaat Teoretis. Manfaat teoretis dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah referensi dalam bidang psikolinguistik. II: PEMBAHASAN Gangguan berbahasa dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian: 1. Faktor medis. 2. Faktor lingkungan sosial. a) Gangguan Faktor Medis. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Menurut Sidharta (1984) gangguan 14 berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu: a) Gangguan berbicara, b) Ganguan berbahasa, dan c) Gangguan berpikir. 1) Gangguan Berbicara. Berbicara merupakan aktifitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat tiga kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organic. Kedua, gangguan berbicara psikogenik, dan ketiga gangguan akibat multifaktorial. Pertama Gangguan Mekanisme Berbicara. Proses berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (percakapan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara disebabkan kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal) pada lidah (lingual), pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal). • Gangguan akibar faktor pulmonal.Gangguan ini dialami oleh para penderita paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang sehingga bicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara kecil, dan terputus-putus. • Gangguan Akibat Faktor Laringal. Gangguan pada pita suara sehingga suara menjadi serak atau hilang sama sekali. • Gangguan Akibat Faktor Lingual. Lidah yang terluka akan terasa perih jika di gerakan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih aktifitas lidah di kurangi. Dalam keadaan ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna. • Gangguan akibat factor resonansi. Menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum), rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersengau. Kedua, Gangguan Berbicara Psikogenik. Gangguan ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai gangguan berbicara. Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang tertangkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan ini antara lain: 1. Berbicara manja. Disebut berbicara manja karena cara bicaranya seperti anak kecil. Jadi ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya, anakanak yang baru terjatuh, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem bunyi [s] dilafalkan menjadi [c] sehingga kalimat ”Saya sakit, jadi tidak mau minum susu atau makan” akan diucapkan menjadi ”Caya cakit, tidak mau minum cucu atau makan”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginan untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orangtua pikun atau jompo (biasanya wanita). 2. Berbicara kemayu. Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menonjol atau lemah gemulai. Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama yang dilanda adalah kaum pria. 3. Berbicara gagap. Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan penting penyebab terjadinya gagap diantaranya: a. Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga b. Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah. c. Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan. d. Faktor neurotik famial. 15 4. Berbicara latah. Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah ketika bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan ”excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkahlaku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual. Ketiga, Gangguan Akibat Multifaktorial. Gangguan timbul antara lain: 1. Berbicara serampangan. Adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan mempermainkan suku kata sehingga sulit sekali dipahami. Contohnya orang yang mengucapkan “kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini” dengan “ kemary sdada berali ksni”. Hal ini disebabkan oleh kerusakan serebelum atau terjadi setelah terkena kelumpuhan ringan setengah badan. 2. Berbicara propulsif. Biasanya terjadi pada penderita parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). Elastisitas terganggu karena elastisitas otot lidah, wajah, dan pita suara lenyap. Akibatnya volume suara kecil, tersendat-sendat dan iramanya datar (monoton). 3. Berbicara mutis. Penderita gangguan ini tidak berbicara sama sekali. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerakgerik dan sebagainya. Namun mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu. Ada tiga perbedaan penderita kebisuan. Pertama, karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi namun alat dengarnya normal. Kedua, karena kerusakan alat artikulasi dan alat dengarnya. Ketiga, karena kerusakan alat dengarnya, namun alat artikulasinya normal. 2) Gangguan Berbahasa. Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Anak-anak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata melalui telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah Broca (gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata dalam otak) harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia. Berikut adalah jenis-jenis afasia. 1. Afasia motorik kortikal. Adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan, namun ekspresi verbal tidak bisa sama sekali. 2. Afasia motorik subkortal. Terjadi karena kerusakan bagian bawah Broca. Penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa berekspresi verbal dengan membeo. 3. Afasia motorik transkortikal. Terjadi karena hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Penderitanya dapat mengutarakan perkataan, namun hanya singkat dengan perkataan subtitusinya. 4. Afasia sensorik. Kerusakan karenanya dapat menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat ikut terganggu. 3) Gangguan Berfikir. Ganguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa : Pikun, yaitu suatu penurunan daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Penyebabnya antara lain terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, temasuk menurunnya zat-zat kimia dalam otak, juga dapat disebabkan oleh penyakit stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistematik lainnya. Sisofernik, yaitu gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. 16 Depresif, orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasa dan ekspresi verbalnya. Volume ekspresi verbalnya lemah lembut dan terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. b) Gangguan Faktor Sosial. Yang dimaksud dengan akibat faktor sosial adalah keterasingan seorang anak, secara aspek biologis seorang anak tersebut bisa berbahasa normal. Akan tetapi keterasingannya disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh serigala atau monyet, seperti kasus Kamala dan Mougli. Anak yang terasing tidak sama dengan anak tuli. Anak tuli masih bisa hidup dalam masyarakat. Maka, meskipun dia terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih bisa berkomunikasi dengan orang di sekitaranya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia. Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan manusia dan sosial masyarakat. Maka, sebenarnya anak terasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukanlah lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu menjadi manusia normal setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Anak-anak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa anak-anak, selepas umur tujuh tahun anak itu tak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi. III: PENUTUP A. Simpulan Gangguan berbahasa dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian: 1. Faktor medis. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu: a) Gangguan berbicara. Gangguan berbicara ini dapat tiga kategori. i) Gangguan mekanisme berbicara - Gangguan akibar faktor pulmonal. - Gangguan Akibat Faktor Laringal. - Gangguan Akibat Faktor Lingual. - Gangguan akibat factor resonansi ii) Gangguan berbicara psikogenik, antara lain: - Berbicara manja - Berbicara kemayu - Berbicara gagap - Berbicara latah iii) Gangguan akibat multifaktorial. Gangguan yang timbul antara lain: - Berbicara serampangan - Berbicara propulsive - Berbicara mutis b) Ganguan berbahasa. Kerusakan pada daerah Broca dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia. Berikut adalah jenis-jenis afasia. - Afasia motorik kortikal - Afasia motorik subkortal - Afasia motorik transkortikal - Afasia sensorik c) Gangguan berpikir. Ganguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa : 17 - Pikun - Sisofernik - Depresif, 2. Faktor lingkungan sosial Adalah keterasingan seorang anak, secara aspek biologis seorang anak tersebut bisa berbahasa normal. Akan tetapi keterasingannya disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh sesuatu yang lain. Anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan manusia dan sosial masyarakat. Maka, sebenarnya anak terasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukanlah lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu menjadi manusia normal setelah beberapa tahun. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul, 2009, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta; PT Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. Abdurrachman dkk. 2009. Gangguan Berbahasa.Diakses dalam http://humbud.uinalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=349:gangguanberbahasa&catid=117:psycholinguistik&Itemid=105 tanggal 04 Oktober 2010 pukul 20 18 MAKALAH: Keterkaitan Kegiatan Berbahasa, Berfikir, dan Berbudaya Dalam Kegiatan Kebahasaan Masyarakat Pemakai Bahasa Written By prito windiarto on Sunday, September 30, 2012 | 7:37 AM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS GALUH 2011 BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek kegiatan manusia(Abdul Chaer,cetakan 2 2009). Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbolsimbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Para ilmuwan menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about otherminds). 1.2 Tujuan Penulisan Berbahasa merupakan Kegiatan yang Kompleks, selain berhubungan dengan budaya juga berhubungan dengan berfikir, maka dari itu penulis memiliki tujuan sebagai berikut: Pembaca dapat memahami Hubungan Berbahasa dengan berbudaya dalam kehidupan masyarakat, dan Pembaca dapat memahami Hubungan Bahasa dan berfikir dalam kehidupan masyarakat 1.3 Pembatasan Masalah Keterkaitan kegiatan berbahasa, berfikir dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyarakat pemakai bahasa sangat luas, maka dari itu kami membatasi pembahasannya sebagai berikut: 1. Apa pengertian bahasa, berfikir dan budaya? 2. Apa landasan teori keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyarakat pemaki bahasa? 3. Bagaimana hasil penelitian mengenai keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyarakat pemakai bahasa? 19 1.4 Manfaat Penulisan 1. Mengetahui pengertian bahasa, berfikir dan budaya. 2. Mengetahui landasan teori keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyarakat pemaki bahasa 3. Mengetahui hasil penelitian mengenai keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyarakat pemakai bahasa. BAB II: LANDASAN TEORETIS 2.1 Pengertian Bahasa Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu. Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat sulit sehingga merupakaan aspek yang tidak mudah didefinisikan. 2.1 Pengertian Budaya Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan maknamakna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbolsimbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka. Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu: 1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan. 2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan. 3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku. 20 4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup. 5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur. 6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia. Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional. 2.3. Teori-Teori Keterkaitan Bahasa dan Berfikir 2.3.1 Teori Wilhelm Von Humboldt Wilman helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain. Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform). Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak, pemikir) penutur bahasa itu. 2.3.2 Teori Sapir-Whorf Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas kasih’’ bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifatsifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Sama halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan ’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. 21 Setelah meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam itu. Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara( Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa(event) , sedangkan kebudayaan eropa diorganisasi berdasarkan ruang(space) dan waktu (time). 2.3.3 Teori Jean Piaget Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seseorang anak-anak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting berikut: 1) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan opersai pemakaian kembali. 2) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi lambing ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambing, peniruan,dan bayanganbayangan mental. Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di ingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum. 2.3.4 Teori L.S. Vygotsky Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran. Menurut Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks. 22 Pikiran dan kata, menurut Vygotsky (1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan. 2.3.5 Teori Noam Chomsky Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat universal. Sebelum ini ada pandanagan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada satu pihak Von Humboldt menyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau berpendapat bahwa yang mendasari tiap-tiap bahasa manusia adalah satu system- universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia. Karena itu, Von Humboldt juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa bahasa tidaklah dipelajari oleh anak-anak dan tidak pula di ajakan oleh ibu-ibu, melainkan tumbuh sendiri dari dalam diri anak-anak itu dengan cara yang telah ditentukan lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaan-keadaan lingkungan yang sesuai terdapat. Pandangan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky. Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama( karena didasari oleh satu system yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang di sebut struktur-dalam(deep structure), pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure)bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom; dank arena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi (pemikiran) pada umunya termasuk kecerdasan. 2.3.6 Teori Eric Lenneberg Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Leeneberg adalah sebagai berikut: 1) Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa. 2) Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-anak bias dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. 3) Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan. 4) Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan cara-cara yang luar biasa. 5) Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan fonologi yang universal. Jadi, terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan 23 bahasa secara ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas. Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget. 2.3.7 Teori Bruner Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat besar. Memang dalam hubungan inilah beliau ingin mengembangkan teori ini. Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistic dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi yang baik. 2.3.8 Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya system unifersal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasabahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya itu. Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang Amerika yang tinggal di San Fransisko, Amerika. Dari penelitian itu Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan menyebabkan perbedaanperbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris. Satu masalah lagi dari persoalan hubungan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan ini adalah apa bedanya kebudayaan dengan pemikiran atau pandangan hidup (weltanschauung). Bukankah 24 kebudayaan itu sama dengan pandangan hidup? Masalah ini sukar di jawab; para sarjana pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun, satu hal yang tidak dapat disanggah oleh sipapun, bahwa kebudayaan adalah milik suatu masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda. 2.4. Teori-teori Keterkaitan Antara Bahasa dan Kebudayaan. Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berfikir manusia atau masyarakat penuturnya. Nababan mengelompokkan defenisi kebudayaan atas empat golongan, yakni (1) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai pegatur dan pengikat masyarakat; (2) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia, dan (4) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia. Itulah sebabnya Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Defenisi yang dibuat nababan ini tentunya tidak salah, sebab sistem atau aturan-aturan komunikasi itu memang bagian dari kebudayaan; tetapi kebudayaan itu bukan hanya sistem komunikasi saja, melainkan menyangkut juga masalah-masalah lain, minimal termasuk tiga golongan defenisi yang dikemukakannya diatas. Jadi, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat (defenisi-defenisi golongan) (1), hasil-hasil pendidikan (defenisi-defenisi golongan) (2), dan kebiasaan dan perilaku (defenisi-defenisi golongan) (3). Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia termasuk atauran atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang di buat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya. Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya yang “melekat” pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai : kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu. BAB III: PEMBAHASAN 3.1 Keterkaitan Antara Kegiatan Berbahasa dan Berfikir Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain: 1. Bahasa Mempengaruhi Pikiran Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam menjelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas. 2. Pikiran Mempengaruhi Bahasa: Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia 25 melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. 3. Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi. Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan. Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif. 3.2 Keterkaitan Antara Bahasa dan Budaya Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya. Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan. 3.3 Hasil Penelitian 3.3.1 Refleksi terhadap teori-teori keterkaitan antara bahasa dan berpikir Berikut refleksi kelompok kami terhadap teori-teori tentang keterkaitan antara kegiatan berbahasa dan berfikir: 1. Teori Wilhelmm von Humboldt. Beliau mengungkpkan tentang ketergantungan bahasa dan pikiran. struktur suatu bahasa menyatakan pemikiran penutur bahasa. 2. Teori Sapir-Whorf. Beliau mengungkapkan bahwa bahasa dari masyarakat telah ‘mendirikan’ suatu dunia tersendiri untuk penutur bahasa. Setiap ‘perbuatan’ adalah karena sipat-sipat bahasa telah menggariskannya demikian. 3. Teori Jean Piaget. Ia berpendapat bahwa pikiranlah yang membentuk bahasa. Tindakan (perilaku) terlebih dahulu baru kemudian bahasa. 4. Teori L.S Vygotsky. Beliau menyatakan adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Bahasa dan pikiran awalnya terpisah kemudian bertemu. 5. Teori Noam Chomsky. Hipotesis beliau adalah. Hipotesis Nurani : Anak dibekali rumus-rumus struktur bahasa. Sttruktur bahasa dalam adalah nurani. 6. Teori Eric Lenneberg. Teori kemampuan bahasa khusus: Manusia memiliki warisan biologi untuk berkomunikasi, tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran, namun pada kemudian hari juga dipengaruhi oloeh kemampuan kognitif nurani. 7. Teori Bruner. Bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan atau menyempurnakan pemikiran itu. Bahasa membantu pemikiran manussia supaya dapat berfikir lebih sistematis. 26 8. Kekontroversialan Hipotesis Sapir-Whorf. pendapat Kontroversial sapir-Whorf: Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan oleh (dipengaruhi) oleh struktur bahasanya. 3.3.2 Simpulan Penelitian Keterkaitan antara Bahsa dan Berpkir Kelompok kami lebih condong pada teori Eric Lenberg. Benar adanya bahwa Allah SWT telah menganugerahkan “alat khusus almiah” bagi seorang anak untuk memperoleh bahasanya dan tidak tergantung penuh pada pemikirannya. Contoh kasus seorang anak 4 tahun (Fati Akhmad) mulai lancar berbicara walaupun secara akal (pemikiran) belum mencapai usia akhil baligh. Pada sisi lain, sedikit banyak aspek kognitif nurani mempengaruhi pemerolehan bahasa. Anak yang dibesarkan (diajarkan) dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang halus, misal dipedesaan, maka ia akan tumbuh dengan bahasa yang halus juga. Berbeda halnya dengan seorang anak yang hidup dengan suasana keterbahasaan yang kasar, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang berbahasa kasar. Pada intinya, setiap manusia mempunyai pola pikir yang berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu, tinggi rendahnya suatu pendidikan, dan juga faktor lingkungan jg (missal hidup di kota atau di desa). 3.3.3 Simpulan Penelitian Keterkaitan antara Bahasa dan Kebudayaan Antropolog menyatakan bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, sementara ahli linguistic menyatakan bahwa kebudayaan adalah salah satu dimensi dari bahasa, karena itu kami menyimpulkan bahwa memang benar, bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, contoh kasus di kecamaatan dayeuh luhur yang masuk wilayah jawa tengah berbahasa sunda,ternyata juga berbudaya sunda, padahal notabene sebagian besar penduduk jawa tengah berbahasa dan berbudaya jawa. Di dayeuh luhur budaya-budayanya serupa dengan kebudayaan sunda seperti tari jaipong,ronggeng,dll. BAB IV: PENUTUP Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal. Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, namun hipotesis tersebut banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Dan untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian. Para ahli menguraikan mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain: 1. Bahasa mempengaruhi pikiran 2. Pikiran mempengaruhi bahasa 3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta, 2009. Chaer, abdul dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik, Perkenalan awal. Jakarta. Rineka Cipta, 2007. Arifudin,. Neuro Psiko linguistik. Jakarta. rajawali, 2010 http://www.pdfqueen.com/pdf/me/psikolinguistik http://www.scribd.com/doc/3904183/teori-hubungan+bebahasa+berpikir+berbudaya 27 http://www.slideshare.net/awangga/psikolinguistik-untuk-s2r-ev2 http://lubisgrafura.wordpress.com/ Kekontroversian-Hipotesis-Sapir-Whorf http://www.rachimuddin.com/search/contoh+penelitian+komparatif http://202.91.15.14/upload/files/8991_01Metodologi.ppt http://usupress.usu.ac.id/files/Psikolinguistik%20Bisnis%20Edisi%202_Normal_bab%201.pdf Minggu, 01 Januari 2012 28 PIKIRAN DAN BAHASA DALAM KAJIAN PSIKOLINGUISTIK PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998). Materi bahasa bisa dipahami melalui Linguistik sebagaimana dikemukakan oleh Yudibrata bahwa linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, biasanya menghasilkan teori-teori bahasa; tidak demikian halnya dengan siswa sebagai pembelajar bahasa, (1998: 2). Siswa sebagai organisme dengan segala prilakunya termasuk proses yang terjadi dalam diri siswa ketika belajar bahasa tidak bisa dipahami oleh linguistik, tetapi hanya bisa dipahami melalui ilmu lain yang berkaitan dengannya, yaitu Psikologi. Atas dasar hal tersebut muncullah disiplin ilmu yang baru yang disebut Psikolinguistik atau disebut juga dengan istilah Psikologi Bahasa. Terkait dengan hal di atas, dapat dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran. Berdasarkan pemikiran di atas , dapat dikatakan keterkaitan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Maka dari itu, penulis berupaya mengungkap hubungan tersebut dengan menyertakan pandangan dan konsep dari beberapa ahli yang berhubungan dengan disiplin ilmu ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu 1. Bagaimanakah hakikat psikolinguistik yang sesungguhnya? 2. Bagaimana keterkaitan antara bahasa dan pikiran? 3. Bagaimanakah kompleksitas yang terjadi antara ujaran dan pikiran? C. Tujuan Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan: 1. hakikat psikolinguistik yang sesungguhnya, 2. keterkaitan antara bahasa dan pikiran, dan 29 3. kompleksitas yang terjadi antara ujaran dan pikiran. PEMBAHASAN 1. A. Pengertian Psikolinguistik Psikologi berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi berati ilmu jiwa. Pengertian psikologi sebagai ilmu jiwa dipakai ketika psikologi masih berada atau merupakan bagian dari filsafat, bahkan dalam kepustakaan kita pada tahun 50-an ilmu jiwa lazim dipakai sebagai padanan psikologi. Kini dengan berbagai alasan tertentu (misalnya timbulnya konotasi bahwa psikologi langsung menyelidiki jiwa) istilah ilmu jiwa tidak dipakai lagi. Pergeseran atau perubahan pengertian yang tentunya berkonsekuensi pada objek psikologi sendiri tadi tentu saja berdasar pada perkembangan pemikiran para peminatnya. Bruno (Syah, 1995: secara rinci mengemukakan pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama psikologi adalah studi mengenai ruh. Kedua psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Ketiga psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku organisme. Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan dengan ruhnya. Karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia pun merupakan bagian dari studi mengenai ruh. Ketika psikologi melepaskan diri dari filsafat sebagai induknya dan menjadi ilmu yang mandiri pada tahun 1879, yaitu saat Wiliam Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologinya, ruh dikeluarkan dari studi psikologi. para ahli, di antaranya William james (1842-1910) sehingga pendapat kedua menyatakan bahwa psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Pengertian ketiga dikemukakan J.B. Watson (1878-1958) sebagai tokoh yang radikal yang tidak puas dengan definisi tadi lalu beliau mendefinisikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) organisme. Selain itu, Watson sendiri menafikan (menganggap tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental. Eksistensi ruh dan kehidupan internal manusia menurut Watson dan kawan-kawannya tidak dapat dibuktikan karena tidak ada, kecuali dalam hayalan belaka. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa Psikologi behaviorisme adalah aliran ilmu jiwa yang tidak berjiwa. Untuk menengahi pendapat tadi muncullah pengertian yang dikemukakan oleh pakar yang lain, di antaranya Crow & Crow. Menurutnya psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya (manusia, hewan, iklim, kebudayaan, dsb. Pengertian psikologi di atas sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni bahwa para psikolog pada umumnya menekankan penyelidikan terhadap perilaku manusia yang bersifat jasmaniah (aspek pasikomotor) dan yang bersifat rohaniah (kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka, seperti berbicara, duduk, berjalan, dsb., 30 sedangkan tingkah laku kognitif dan afektif (ranah cipta dan ranah rasa) bersifat tertutup, seperti berpikir, berkeyakinan, berperasaan, dsb. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 1982: 99). Sejalan dengan pendapat di atas Martinet mengemukakan (1987: 19) mengemukakan bahwa linguistik adalah telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Secara lebih rinci dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (Nikelas, 1988: 10) dinyatakan linguistics is the study of human speech including the units, nature, structure, and modification of language ‘linguistik adalah studi tentang ujaran manusia termasuk unitunitnya, hakikat bahasa, struktur, dan perubahan-perubahan bahasa’. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Linguistik ialah ilmu tentang bahasa dengan karakteristiknya. Bahasa sendiri dipakai oleh manusia, baik dalam berbicara maupun menulis dan dipahami oleh manusia baik dalam menyimak ataupun membaca. Berdasarkan pengertian psikologi dan linguistik pada uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak. Untuk lebih jelasnya, mengenai pengertian psikolinguistik berikut ini dikemukakan beberapa definisi psikolinguistik. Aitchison (Dardjowidojo,2003: 7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan minda. Sejalan dengan pendapat di atas. Field (2003: 2) mengemukakan psycholinguistics explores the relationship between the human mind and language ‘psikolinguistik membahas hubungan antara otak manusia dengan bahasa’. Minda atau otak beroperasi ketika terjadi pemakaian bahasa. Karena itu, Harley (Dardjowidjojo,2003: 7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa. Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini Levelt (Marat,1983: 1) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan dan perolehan bahasa oleh manusia. Kridalaksana (1982: 140) pun berpendapat sama dengan menyatakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia serta kemampuan berbahasa dapat diperoleh. Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran, berupa kalimatkalimat. Karena itu, Emmon Bach (Tarigan, 1985: 3) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai bahasa membentuk/ membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat di atas Slobin (Chaer,2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan 31 bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (Musfiroh, 2002: 1) mengemukakan Psycholinguistics is the study of a mental mechanisms that nake it possible for people to use language. It is a scientific discipline whose goal is a coherent theory of the way in which language is produce and understood ‘Psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’. B. Keterkaitan Antara Bahasa dan Pikiran Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode. Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (Marat, 1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Karena itu, Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan bahwa psycholinguistics is the study of relations between our needs for expression and communications and the means offered to us by a language learned in one’s childhood and later ‘psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan bendabenda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahaptahap selanjutnya. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata. Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini Yudibrata, (1998: 9) menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) 32 dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa). Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi. Istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.. (Neisser dalam Syah, 2004:22). Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan. Menurut Chaplin (Syah, 2004:22) ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa. Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22) mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya. Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004: 52). Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran. Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran. 1. Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut. 2. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi 33 konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini : “Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting. Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999). C. Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan pemikiran yang kompleks. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena dalam kalimat tersebut terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi pelengkap untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang selama setiap akhir dari kalimat tersebut adalah nomina. Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain, salah satu penyebabnya adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik, hal ini terbagi menjadi dua, yakni netral (unmarked) dan tak netral (marked). Seperti terlihat pada contoh berikut : 1. UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9 fakultas. 2. UNS mempunyai 70.000 mahasiswi. Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata mahasiswa mempunyai arti luas, yakni semua pelajar baik laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar perempuan saja, pada makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah satu kelompok jenis kelamin saja. Dalam sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan lebih mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini: 1. How tall is your daughter? 2. How short is your daughter? 34 Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka lebih mudah untuk menjawab pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a) mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran psikolinguistik konsep netral (unmarked) umumnya merujuk pada makna positif. Dalam bahasa Inggris, kata-kata netral mempunyai sisi kebalikannya, misal happy menjadi unhappy. Sedangkan pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita membuat sisi positifnya. DAFTAR PUSTAKA Abdul Chaer. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Mansoer Pateda. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah. Muhibin Syah. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rakhmat. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya. Samsunuwiyati Marat. 1983. Psikolinguistik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Soenjono Dardjowidjojo. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sri Utari Subiyakto Nababan. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tadkirotun Musfiroh. 2002. Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Yudibrata, dkk. 1998. Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III. Diposkeun ku Deden Ahmad Supendi, M.Pd. di 18.50.00 35 Perkembangan Bahasa Menurut Pandangan Chomsky Selasa, 17 April 2012 Published by My Self Sebelum Chomsky dikenal, kebanyakan orang percaya kepada temuan teori belajar bahasa bahwa Brown yang disebut ‘gudang penyimpanan’ anak-anak mengimitasi orang lain dan memperoleh sejumlah besar kalimat yang mereka simpan di kepala mereka. Kemudian mereka mencapai penyusunan kalimat yang tepat saat kejadian-kejadian tertentu muncul ( Brown dan Herrnstein, 1975, h.444) Chomsky sebnaliknya membuktikan kalau pandangan ini tidak tepat. Manusia tidak hanya belajar sejumlah kalimat, karena secara rutin kita selalu menciptakan kalimat-kalimat baru. Perkembangan bahasa dalam psikolinguistik diartikan sebagai proses untuk memperoleh bahasa, menyusun tatabahasa dari ucapan-ucapan, memilih ukuran penilaian tatabahasa yang paling tepat dan paling sederhana dari bahasa tersebut (Tarigan, 1986:243) Chomsky telah memutuskan penilitiannya kepada aturan-aturan untuk membuat transformasi kalimat, seperti saat kita mengubah sebuah kalimat pernyataan menjadi kalimat pertanyaan. Chomsky sendiri mengamati anak tidak secara tidak langsung. Namun kita bisa mengilustrasikan kemampuan linguistic anak dengan beberapa temuan Roger Brown (1973) yang sangat terinspirasikan oleh Chomsky. Brown merekam di sebuah kaset beberapa ucapan anak-anak secara diam-diam selama beberapa tahun dan menemukan di antara hal-hal yang lain, bagaimana mereka memulai membuat transformasi kalimat dengan apa yang disebut questions tag. Chomsky sudah menginspirasi banyak peneliti, para ahli psikolinguistik khususny, untuk mempelajari perkembangan bahasa anak-anak secara lebih mendetail. Berikuti ini beberapa tahap perkembangan bahasa secara universal: 1. Bahasa Awal Tahap awal perkembangan bahasa dimulai sejak lahir. Pada bayi yang baru lahir sudah menunjukan gerakan-gerakan tubuh yang sangat halus sebagai atas respon yang didengarnya sebagai respon kepada ucapan-ucapan, dan gerakan mereka menjadi beragam sesuai ikatan suara dan kata-kata dari ucapan tersebut. 2. Tahap pralinguistik Pada tahap ini anak mengeluarkan bunyi ujaran dalam bentuk ocehan yang mempunyai fungsi komunikatif, sebagai reaksi terhadap orang lain yang mencari kontak verbal dengan anak tersebut atau sebaliknya (Monks, 1989:137) 3. Pengucapan satu-kata Pada usia sekitar satu tahun anak mulai memproduksi kata tunggal untuk mengekspresikan seluruh kalimat. 4. Pengucapan dua-kata Pada usia 1-2 tahun seorang anak sudah mulai mengucapkan dua kata secara bersamaan dan bahasa mereka menunjukan struktur tertentu. 5. Pengembangan gramatika Diusia dua sampai tiga tahun anak mulai meletekan tiga atau lebih kata secara bersamaan. 6. Mendekati gramatika orang dewasa Anak pada usia 5-9 tahun sudah menguasai perkembangan bahasa yang cukup kompleks, namun belum mampu menyusun kalimat pasif yang kompleks. 7. Tahap kompetensi lengkap Pada usia 11-dewasa pembendaharaan kata semakin meningkat, sehingga kecapakan berkomunikasi semakin baik dan fasih. Kemampuan Berbahasa dan Berpikir Berpikir merupakan rangkaian proses kognisi yang bersifat pribadi yang berlangsung selama terjadinya stimulus sampai dengan munculnya respons (Morgan, 1989:228) 36 Dalam aktivitas berpikir di dalamnya melibatkan bahasa. Berpikir merupakan percakapan dalam hati inner speech (Morgan, 1989:231). Bahasa merupakan alat untuk berpikir dan berpikir mengekspresikan hasil pemikiran tersebut. Karakteristik Perkembangan Bahasa Karakteristik perkembangan bahasa tidak jauh dari apa yang telah dijelaskan diatas, sehingga kita menengok kembali pada pembahasan tersebut. Implikasi Dalam Pembelajaran Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa, diantaranya adalah: a. Mengupayakan lingkungan yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan bahasa secara optimal. b. Pengenalan sejak dini terhadap lingkungan yang memiliki variasi kemampuan bahasa pada anak sangat diperlukan untuk mengacu perkembangan bahasanya. c. Mengembangkan strategi untuk mempermudah penguasaan bahasa, antara lain: cara untuk memudahkan mengingat, meniru, mengalami langsung, bermain. Sumber Referensi : Crain, W.C. (1985). Theories of Development, Concepts and Aplications 3th Edition. New Jersey: Prentice-Hall. Santrock, John.W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Prenada Group. Rifa’I, A., Anni C.T. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang: UNNES Press. created by Rita Kurniawati, dkk 37 Senin, 31 Januari 2011 ALIRAN – ALIRAN PSIKOLINGUISTIK Oleh: WINTO dkk PENDAHULUAN Secara garis besar psikolinguistik atau psikologi bahasa ialah kajian faktor-faktor psikologi dan neurobiologi yang membolehkan manusia memperoleh, menggunakan, dan memahami bahasa. Penglibatan-penglibatan singkat dalam bidang ini pada mula-mulanya merupakan usaha-usaha falsafah, diakibatkan sebahagian besarnya oleh kekurangan data-data yang padu tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Penyelidikan modern mempergunakan biologi, neurosains, sains kognitif, dan teori maklumat untuk mengkaji bagaimana otak memperoses bahasa. Adadnya beberapa subdisiplin; umpamanya, teknik-teknik tak invasif untuk mengkaji pengerjaan neurologi otak semakin digunakan, dengan neurolinguistik kini merupakan sebuah bidang baru pada dirinya. Dalam makalah ini pemakalah akan membahas 1. Bagaimana teori psikolinguistik menurut aliran Behavioristik, 2. Bagaimana teori psikolinguistik menurut aliran Kognitif, 3. Bagaimana teori psikolinguistik menurut aliran mentalistik. Semoga penyajian makalah ini dapat menjadi sebuah refrensi yang rasional dan objektif dalam memahami mata kuliah Ilmu Lughah an Nafsi (Psikolinguistik) ini. Dan mampu kita manfaatkan proses pembelajaran lain. ALIRAN – ALIRAN PSIKOLINGUISTIK A. Aliran Behavioristik Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson (1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan amerika. Dia mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons) 1[1]. Eksperimen yang dilakukan oleh Watson dalam membuktikan kebenaran teori behaviorismenya terhadap manusia adalah percobaan terhadap bayi yang bernama albert berusia 11 tahun dan tikus putih. Dimana kesimpulan akhirnya adalah pelaziman dapat merubah prilaku seseorang secara nyata. Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus respon, Watson mengemukakan dua hal penting: 1. Recency Principle (prinsip kebaruan): Yaitu Jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama berselang. 2. Frequency Principle (prinsip frekuensi): Menurut prinsip ini apabila suatu stimulus dibuat lebih sering menimbulkan satu respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respons yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar. Selain itu. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya kesadaran berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul. Magis-magis senantiasa hidup. Konsepkonsep warisan masa praberadab ini telah membuat kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit. Kriteria Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.2[2] Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu: 1[1] Abdul chaer, Psikolinguistik kajian teoritik, PT Rineka putra, Jakarta 2003 2[2] http://prasastie.multiply.com/journal/item/38 38 1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan. 2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan. 3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula. 4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.3[3] B. Aliran Kognitif Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa di instruksikan oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada percobaan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi urutan-urutan perkembnagan kognitif menentukan perkembangan bahasaMenurut teori kognitif yang utama sekali harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa semenjak lahir sampai umur 18 bulan bahasa belum ada, si anak memahami dunia melalui indranya4[4] Adapun tokoh yang terkenal dengan teori kognitif ini adalah Noam Chomsky menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan akal yang berisi pengetahuan batin yang berkait dengan sejumlah bidang yang berbeda-beda. Salah satu dari pengetahuan tersebut berkait dengan bahasa. Chomsky menyebut pengetahuan batin yang berkait dengan bahasa ini sebagai Language Acquisition Device atau yang lebih populer sebagai LAD, yang dalam modul disebut sebagai Alat Pemerolehan Bahasa atau APB. Chomsky berpendapat bahwa daya-daya dalam bidang yang berbeda yang disebut di atas, relatif mandiri satu sama lain. Artinya tidak saling berkait. Bahkan dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa, Chomsky berpendapat bahwa bagi pemerolehan bahasa, pengetahuan batin saja sudah cukup dan pengetahuan matematis serta pengetahuan logika tidak diperlukan dalam kegiatan ini. Masih menurut Chomsky behaviorisme (S-R), sangat tidak memadai untuk menerangkan proses pemerolejhan bahasa. Sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk membangkitkan rumus-rumus linguistic. pada bagian akhir subpokok bahasan diketengahkan argumen-argumen yang dikemukakan Chomsky dalam mempertahankan APB yang tertuang dalam bentuk empat argumen, yakni (1) keunikan tata bahasa, (2) data masukan yang tidak sempurna, (3) ketidakselarasan intelegensi, dan (4) kemudahan dan kecepatan pemerolehan bahasa anak. C. Aliran Mentalistik Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme. 3[3] http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/ OLEH PAKDE SOFA 4[4] http.//www.scrib.com 39 Kedua pendapat ini pun memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian, mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti. Kemudian, diketengahkan pembahasan mengenai empirisme. Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris dan empirisme telah berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang berbeda. Setelah itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris, yakni isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal manusia yang membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga bersifat fisik. PENUTUP Teori/Aliran Behavioristik tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons) Teori Kognitif berpandangan Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif Kaum mentalis berpendapat seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, Makalah yang kami sajikan ini masih jauh dari kesempurnaan. Sebuah harapan berupa saran, dan kritikan yang bersifat konstruktif dan rasional kami harapkan dari kawan-kawan semua terutama dari dosen pembimbing kita. Semoga kita mendapatkan ilmu yang ingin kita harapkan bersama. DAFTAR PUSTAKA Abdul chaer, Psikolinguistik kajian teoritik, PT Rineka putra, Jakarta 2003 http://prasastie.multiply.com/journal/item/38 [1] http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/ OLEH PAKDE SOFA 40 BEBERAPA STUDI KASUS DALAM PENELITIAN BAHASA OLEH ARONO Abstrak: Beberapa studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dapat dikaji dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada aspek studi kasus penelitian pendidikan bahasa terdapat dalam keterampilan berbahasa, kebahasaan, dan sastra serta pembelajarannya. Karakteristik pembelejaran dengan metode kasus, yaitu menekankan pada analisis situasional, pentingnya menghubungkan antara analisis dan tindakan, perlunya keterlibatan mahasiswa, peran pengajar yang tidak tradisional, dan suatu keseimbangan antara sasaran-sasaran substansi dan proses pembelajaran.Tujuan yang dapat dicapai dari pembelajaran dengan menggunakan metode kasus adalah memungkinkan menggabungkan teori dan praktik dalam proses pembelajaran, memungkinkan mahasiswa belajar pengalaman dari tangan pertama dari pelaku kasusnya, memungkinkan mentransfer managerial wisdow ke dalam ruang kelas, memungkinkan mahasiswa mengembangkan sense of judgement mereka, memahami praktik pembelajaran sesungguhnya dengan cara yang efisien, meningkatkan komunikasi mahasiswa, melatih mahasiswa berpikir secara konstruktif, dan mendorong mahasiswa mempunyai kemampuan sintesa dan evaluasi. Adapun tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa, yaitu a. menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidikan/pembelajaran bahasa; b. menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendidikan/pengajaran bahasa dalam memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan masalah bahasa. d. memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai pendidikan/pembelajaran bahasa. I. Pendahuluan Pelaksanakan proses pendidikan yang berkualitas memerlukan keputusan-keputusan profesional. Keputusan tersebut sangat penting sebab akan berpengaruh dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Keputusan tersebut dapat berupa diantaranya penerapan kurikulum, sarpras, model, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Sebagai contoh, untuk meningkatkan motivasi siswa, peneliti harus membuat keputusan tentang upaya yang tepat dilakukan guru, orang tua siswa, dan lingkungan sekitar siswa. Hasil penelitian DeRita dan Weaver (1991) dapat memutuskan bahwa guru dapat memberikaan strategi drama untuk meningkatkan motivasi membaca siswa. Di samping itu, orang tua hendaknya memberikan fasilitas memadai serta model yang mendukung peningkatan motivasi membaca siswa. Masyarakat sekitar sangat efektif dalam memberikan suasana kondusif bagi peningkatan motivasi membaca siswa. Masyarakat sekitar sangat efektif dalam memberikan suasana kondusif bagi peningkatan motivasi membaca siswa dengan didirikannya rumah baca atau sanggar baca. Sebagian besar pendidik membuat keputusan berdasarkan pada beberapa sumber, misalnya pengalaman pribadi, pendapat ahli, pendapat umum, intuisi, dan akal sehatnya untuk memutuskan sesuatu. Berbagai sumber tersebut dapat saja digunakan dalam membuat keputusan, tetapi keputusan yang diambil berdasarkan penelitian ilmiah adalah yang paling tepat. Lingkungan masyarakat, kelompok profesional, organisasi masyarakat, memerlukan studi khusus untuk menentukan kebijakan dalam kegiatannya. Sebagai contoh, kelompok direksi membutuhkan strategi mewicara yang tepat agar gagasannya dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh anggota yang dipimpinnya. 41 Sebagian dari penentu kebijakan lebih menyenangi penelitian yang berdasarkan pada informasi yang berselaras dengan masalah kebijakan tertentu. Sebagai contoh, penelitian dibutuhkan untuk menentukan standar kebahasaan dan penilaian kebahasaan. Valencia & Wixson (2000) menjelaskan berbagai kemungkinan penelitian sekait dengan hal tersebut, di antaranya perilaku berbahasa siswa, deskripsi prestasi berbahasa siswa, dan penelaahan pokok-pokok bahasan bahasa. Pentingnya penelitian pendidikan bahasa dapat dilihat berdasarkan fungsi dan penggunaan jenis penelitian pendidikan bahasa, yaitu (1) Fungsi penelitian dasar, yaitu untuk menguji teori dengan sedikit atau tanpa aplikasi hasil penelitian pada masalah praktis. Secara khusus berkenaan dengan mengetahui, menerangkan, dan memperkirakan fenomena alam dan sosial, penelitian dapat dimulai dengan satu teori, prinsip dasar, atau suatu generalisasi. (2) Fungsi terapan, yaitu untuk suatu bidang praktik dan berkenaan dengan aplikasi pengetahuan berdasarkan riset mengenai praktik tersebut. (3) Fungsi evaluasi, menilai kebaikan, kelayakan atau kebermanfaatan suatu praktik. Praktik yang dievaluasi bisa berupa pelaksanaan program atau penggunaan hasil. Informasi yang dapat dipercayalah yang diharapkan oleh masyarakat, yaitu informasi dari penelitian. Kegiatan penelitian yang dapat menggambarkan dan mengukur fenomena secara akurat merupakan sumber pengetahuan yang paling baik dibandingkan dengan kebenaran yang didapatkan secara non ilmiah. Berdasarkan latar belakang makalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam makalah ini diantaranya beberapa masalah dalam studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa baik dalam pengajaran bahasa, keterampilan berbahasa, sastra, dan kebahasaannya berdasarkan penelitian kualitatif. Adapun rumusan makalah ini, yaitu begaimana studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dengan tidak mengabaikan aspek pengajaran bahasa, keterampilan berbahasa, sastra, dan kebahasaannya berdasarkan penelitian kualitatif? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini untuk menggambarkan bebrapa studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dengan tidak mengabaikan aspek pengajaran bahasa, keterampilan berbahasa, sastra, dan kebahasaan berdasarkan penelitian kualitatif. II. Pembahasan A. Pengertian Studi Kasus Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (dalam Heigham dan Croker, 2009), yaitu permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus karena tidak dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus sehingga hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang diteliti secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan kecermatan untuk mencantumkan kata ‘studi kasus’ pada judul suatu penelitian, khususnya penelitian kualitatif. Menurut Yin (2003), kasus sebagai objek penelitian dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurutnya, penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang terdapat di balik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru. Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus cenderung bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory, phenomenology, dan ethnography yang bertujuan 42 meneliti dan mengangkat teori-teori mapan atau definitif yang terkandung pada objek yang diteliti. (Meyer dalam Wahyono, 2009). Ketiga jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan di lapangan (firsthand data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang telah ada. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekadar bersifat memperbaiki, melengkapi, atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan perubahan fakta terkini. Seperti halnya Stake (1995) dan Creswell (1998), Yin (2003) berpendapat bahwa penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data untuk mengungkapkan fakta di balik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data dimaksudkan untuk mencapai validitas dan reliabilitas data, sehingga hasil penelitian dapat diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan bukti-bukti dari beberapa sumber data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi, wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur, dan survey lapangan. Di samping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan terhadap proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga objektivitas hasil penelitian terjaga. Meskipun tampaknya berbeda, pengertian tersebut pada dasarnya menuju pada satu pemahaman yang sama. Penjelasannya tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama memulai penjelasan dari adanya objek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis penelitian kualitatif tertentu, dengan metode penelitian yang khusus, yaitu metode penelitian studi kasus. Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus sebagai salah satu jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti suatu objek yang layak disebut sebagai kasus. Kedua kelompok pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman, yaitu menempatkan penelitian studi kasus sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Surachrnad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. SementaraYin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelasan bahwa dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalarn. Para peneliti berusaha menernukan sernua variabel yang penting. Studi kasus dalam pendidikan bahasa adalah bentuk penelitian pendidikan bahasa yang mendalam tentang suatu aspek pendidikan bahasa, termasuk lingkungan pendidikan bahasa dan manusia yang terlihat dalam pendidikan bahasa di dalamnya (Nunan, 1992). Oleh karena beberapa klasifikasi “kasus” sebagai objek studi (Stake, 1955) dan “kasus” lainnya dianggap sebagai suatu metodologi (Yin, 1994) maka penjelasan studi kasus merupakan studi yang mendetail yang dapat menggunakan banyak sumber data untuk menjelaskan sebuah variabel atau hal yang diteliti. Kasus bisa dipilih karena keunikannya atau kasus bisa digunakan untuk mengilustrasikan suatu isu. Fokus penelitian dapat berupa satu entitas (penelitian di suatu tempat) atau beberapa entitas (studi multi tempat/multi-site). Penelitian ini mendeskripsikan kasus, analisis tema atau isu, dan interpretasi atau pembuktian penelitian terhadap kasus. Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat dilakukan terhadap seorang individu, sekelompok individu, lingkungan hidup manusia, serta lembaga sosial yang terkait dengan pendidikan bahasa. Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat difokuskan pada perkembangan sesuatu di bidang pendidikan bahasa. Misalnya, pengaruh didirikannya pondok baca di daerah pedesaan; studi longitudinal tentang perkembangan kemampuan linguistik anak. Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya. B. Tujuan Penelitian Pembelajaran Bahasa 43 Penelitian merupakan art and science guna mencari jawaban terhadap permasalahan (dan Yoseph dalam Syamsuddin dan Damaianti, 2006:2). Karena merupakan seni dan ilmiah, penelitian memberikan ruang-ruang yang akan mengakomodasikan adanya perbedaan tentang konsep penelitian. Penelitian dapat pula diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan bertujuan mencari jawaban permasalahan atau proses penemuan, baik discovery atau invention. Discovery diartikan sebagai hasil penemuan yang sebetulnya memang sudah ada. Invention dapat diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru dengan dukungan fakta. Secara umum tujuan kegiatan penelitian adalah menjelaskan dunia di sekitar kita melalui upaya yang sistematis (Kamil, 1995). Berdasar pada rumusan tersebut, tujuan penelitian pendidikan/pembelajaran bahasa adalah upaya yang sistematis untuk menjelaskan, memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalahmasalah pendidikan/pembelajaran bahasa. Secara rinci tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa adalah sebagai berikut: a. menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidi- kan/pembelajaran bahasa; b. menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendi- dikan/pengajaran bahasa dalam memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan masalah bahasa. d. memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai pendidikan/pembelajaran bahasa. Masalah pendidikan/pembelajaran bahasa mencakup masalahmasalah linnguistik atau kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Masalah linguistik yang menjadi fokus penelitian pendidikan/pembelajaran bahasa di antaranya adalah fenomena-fenomena linguistik yang terkait dengan penutur bahasa dan penggunaan bahasa. Masalah lain yang berhubungan dengan penelitian/pembelajaran bahasa ialah bagaimana mengidentifikasi sifat-sifat bahasa serta model-model pengembangannya. Adapun masalah keterampilan berbahasa yang menjadi fokus penelitian bahasa mencakup keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. C. Tujuan Penelitian Membaca dan Menulis Penelitian membaca didasari dan dipengaruhi oleh penelitian-penelitian psikologi. Pada awal abad ke-20 sampai tahun 1960-an, penelitian difokuskan pada bagian-bagian keterampilan membaca. Selanjutnya, penelitian membaca menghasilkan pemikiran yang sistematis tentang belajar membaca (Kamil, 1995). Penelitian murni tentang membaca berupaya menjelaskan peristiwaperistiwa membaca yang ada di sekitar kita dan berupaya untuk mengembangkan pengetahuan tentang membaca yang berpengaruh pada penemuan teori membaca. Selanjutnya, teori yang telah dirumuskan diharapkan dapat menjelaskan berbagai permasalahan membaca. Misalnya, dengan teori tersebut kita dapat menjawab apakah membaca itu, siapakah yang melakukan kegiatan membaca, serta kapan, bagaimana, mengapa, di mana peristiwa membaca terjadi. Dari berbagai penelitian, teori-teori membaca semakin lengkap. Teori ini kemudian dikembangkan dalam penelitian membaca terapan untuk menjelaskan berbagai peristiwa membaca yang ada di sekitar kita dan memecahkan permasalahan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Dari waktu ke waktu permasalahan membaca lebih banyak berupa isu tentang membaca terapan karena adanya kebutuhan dan keinginan berupa penerapan teori membaca dalam kegiatan pendidikan, pengajaran, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, masih banyak teori membaca yang tidak dapat memecahkan permasalahan pendidikan dan pengajaran membaca. Hal ini menyebabkan pentingnya pemberian informasi secara terus-menerus dari pendidik dan pengajar tentang permasalahan yang ditemukannya. Hasil penelitian membaca seharusnya dapat diaplikasikan dalam setting yang tepat. Hasil penelitian yang baik dapat menjadi umpan balik bagi kerangka kerja atau model kegiatan yang sedang berlangsung. Ruang lingkup penelitian membaca terapan meliputi evaluasi program membaca individual atau kelompok, metode, teknik, atau strategi pembelajaran membaca, serta model-model pembelajaran membaca. Untuk menentukan variabel dan metodo1ogi dilakukan berdasarkan titik pandang permasalahan membaca serta teori membaca. Penelitian membaca di satu sisi, sebenarnya, tidak terlampau berbeda dengan penelitian menulis. 44 Permasalahan penelitian menulis diarahkan pada peningkatan pemahaman dan kemampuan menulis serta penjelasan proses menulis. Akhir-akhir ini penelitian menulis lebih holistik cakupannya (Shaughnessy, 1977). Selanjutnya, penelitian menulis berkembang ke arah pengkajian bagian bagian dan proses menulis (Hayes and Flower, 1980). Baik penelitian bidang membaca maupun penelitian bidang menulis banyak dipengaruhi model dan teori membaca dan menulis. Ada tiga model yang mempengaruhi penelitian membaca dan menulis, yaitu: a. model bottom-up atau model keterampilan, dengan tokoh penelitian membacanya adalah Cough, Alford, Holley-Wilcox (1972) dan tokoh penelitian menulis dengan model ini adalah Warriner dan Griffith (1977); b. model top-down atau holistik, dengan tokoh penelitian membacanya adalah Goodman Smith (1971) dan tokoh penelitian menulis dengan model ini adalah Britton (1970); c. model interaktif atau keseimbangan, dengan tokoh penelitian membacanya adalah Rummelhart (1977) dan tokoh penelitian menulis melalui model ini adalah Hayes dan Flower (1980). Penelitian kontemporer dalam membaca dan menulis banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif, psikologi sosial, linguistik, antropologi, teori belajar, ilmu komputer, dan praktik pendidikan. Beberapa penelitian membaca dan menulis bertujuan memahami sifat-sifat dasar dan teori-teori proses membaca. Upaya-upaya itu termasuk menghasilkan model-model dan teori-teori proses membaca, misalnya, penelitian yang banyak dihasilkan oleh Singer & Ruddeil (1976), Carver (19771975). Tujuan lain penelitian membaca dan menulis adalah untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan membaca dan menulis, baik di dalam kelas maupun pada seting lainnya. D. Tujuan Penelitian Berbicara dan Mendengarkan Penelitian pendidikan berbicara dan mendengarkan pada umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah peningkatan kemampuan berbicara dan mendengarkan serta mengatasi masalah kesulitan berbicara dan mendengarkan. Melalui penelitian eksperimen, kesulitan berbicara dan mendengarkan dapat dilakukan dengan mengkaji atau menelaah faktor-faktor sebab-akibat kesulitan berbicara dan mendengarkan. Salah satu contoh penelitiannya ialah tentang melihat pengaruh model pembelajaran berbicara untuk meningkatkan kemampuan berbicara; melihat pengaruh suatu terapi terhadap perilaku seseorang yang mengalami kesulitan berbicara. Pertanyaan penelitian yang muncul adalah apakah suatu model pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berbicara? Apakah terapi menyebabkan perubahan dalam perilaku berbicara? Adakah pengaruh keter- lambatan simakan terhadap kemampuan berbicara? Ada empat karakterisik penelitian eksperimen dalam bidang berbicara dan mendengarkan, yaitu sebagai berikut. (1) Eksperimen diawali dengan maksud, tujuan, pertanyaan, atau hipotesis tentang masalah atau perilaku khusus tentang berbicara atau mendengarkan. (2) Eksperimen dapat mengontrol berbagai variabel yang diperkirakan menyebabkan perilaku khusus mengenai berbicara atau mendengarkan. (3) Penelitian eksperimen dapat dirancang secara sistematis untuk memberikani perlakuan terhadap kelompok yang dijadikan subjek penelitian. Penelitian lain dalam bidang berbicara dan mendengarkan bertujuan mendeskripsikan perbedaan kemampuan berbicara dan mendengarkan dua kelompok subjek penelitian, menggambarkan kecenderungan perkembangan kemampuan berbicara dan mendengarkan dan menggambarkan hubungan antara kemampuan mendengarkan dan berbicara. Pada penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap kondisi-kondisi yang sedang diteliti. Ada empat tipe penelitian deskriptif dalam bidang ini, yaitu: (1) komparasi, (2) perkembangan, (3) hubungan, dan (4) survei. Penelitian kesejarahan dapat pula dilakukan untuk membuat generalisasi mengenai hubungan di masa lain tentang faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam berbicara atau mendengarkan serta implikasinya pada kemampuan mendengarkan dan berbicara pada saat ini. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah merekam atau mencatat gambaran peristiwa masa lalu yang terkait dengan kemampuan seseorang dalam berbicara dan mendengarkan. Kemudian peneliti menganalisisnya serta mensintesiskannya ke dalam materi yang sedang diteliti, yaitu yang berkenaan dengan masalah kesulitan berbicara dan mendengarkan. 45 E. Sifat Penelitian Pendidikan Bahasa Karena kegiatan penelitian dipandang sebagai metode ilmiah, karakteristik atau sifat metodologi penelitian pendidikan bahasa sama dengan bidang-bidang lainnya. Menurut Tuckman (1982), Nunan (1992), McMillan & Schumacher (2003), Sukardi (2003) sifat metodologi penelitian pendidikan bahasa adalah sebagai berikut. a. Bertujuan Penelitian mutlak memiliki tujuan yang dapat memberikan arah dan target yang hendak dicapai. Tujuan ini dapat dipakai sebagai tolok ukur dan penilaian ketercapaian hasil penelitian. b. Sistematis Penelitian merupakan proses yang terstruktur sehingga diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk melaksanakannya. Pelaksanaan penelitian yang baik dilakukan secara terencana dan sistematis sejak tahap awal ditentukannya per-masalahan penelitian sampai dengan penarikan simpulan hasil penelitian. Sistematika permasalahan tersebut dituangkan ke dalam langkah-langkah proses penelitan. Langkah-langkah dalam proses penelitian akan bergantung pada pendekat-an/metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Penelitian positivistik kuantitatif tentu akan berbeda sistematikanya dengan pendekatan naturalistik/kualitatif. c. Objektif Objektivitas mengacu kepada kualitas data yang dihasilkan oleh prosedur yang dapat mengontrol subjektivitas. Penelitian itu ada objek yang diteliti. Untuk dapat memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah, sebuah penelitian, benar-benar memerlukan data dan objek yang diteliti.. Karena objek tersebut dapat diindera manusia, semua pihak akan memberikan persepsi yang sama terhadap objek itu. Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan indera manusia dalam melakukan pengamatan, peneliti dapat menggunakan alatalat bantu, seperti instrumen penelitian. Instrumen ini harus melalui uji validitas dan reliabilitasnya agar lebih akurat. d. Logis. Penelitian dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis, yaitu dengan urutan atau proses berpikir yang logis, sehingga validitas internalnya secara relatif dapat dipenuhi. Dengan demikian, simpulan dan generalisasi akan mudah dicek kembali oleh peneliti maupun oleh pihak lain. Peneliti dapat melakukan penelitian melalui langkah-langkah logis, baik secara deduktif maupun induktif. Secara deduktif, peneliti melakukan penelitian dari suatu pernyataan umum ke simpulan khusus. Sebaliknya, penelitian dapat dilakukan secara induktif, yaitu bila peneliti mencapai suatu simpulan dengan mengamati kasus tertentu kemudian membentuk generalisasi. Simpulannya terbatas pada kasus yang diamati. e. Empiris Penelitian berkenaan dengan dunia empiris/nyata yang dapat diindera oleh pancaindera manusia yang bersifat objektif. Karakteristik sebuah penelitian dilihat melalui pendekatan yang empiris. Bagi peneliti, bukti adalah data, yaitu hasil-hasil nyata yang diperoleh melalui penafsiran dan penyimpulan dari suatu penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). Reduktif Bila sebuah penelitian menggunakan prosedur yang analitis untuk menda-patkan data, sebenarnya peneliti telah mereduksi berbagai kebingungan tentang suatu fenomena atau masalah. Fenomena itu semula tidak dimengerti dan membingungkan. Akan tetapi, dengan penelitian yang tepat, fenomena atau kejadian itu dapat diketahui maknanya. Proses reduksi sebenarnya merupakan bagian dari usaha menerjemahkan realitas menjadi kenyataan yang bersifat konseptual sehingga dapat digunakan untuk memahami hubungan kejadian yang satu dan kejadian lainnya. g. Replicable dan Transmitable Suatu penelitian kuantitatif pada umumnya dapat diulangi oleh peneliti lain untuk mengecek kebenarannya. Agar dapat diulang dengan mudah, laporan penelitian harus dibuat secara sistematis dan jelas, mulai dan kejelasan variabel, populasi dan sampel, prosedur mendapatkan sampel, instrumen, uji hipotesis, data yang dihasilkan, analisis hasil, sampai pada simpulan dan saran yang diajukan. Selama itu, penelitian pendidikan bahasa harus bersifat transmitable, artinya penelitian harus mampu memecahkan masalah-masalah sehingga dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk berbagai keperluan (Sugiyono, 1994).h. Penjelasan Singkat Penelitian berusaha menjelaskan hubungan yang ada terhadap fenomena-fenomena tertentu yang dapat mengurangi realitas yang kompleks menjadi penjelasan yang sederhana (McMillan & Schumacher, 2003). i. Simpulan Bersyarat Hasil penelitian pendidikan, khususnya pendidikan bahasa merupakan sebuah simpulan yang bersyarat atau tidak mutlak. Kesalahpahaman yang sering muncul, yaitu bahwa hasil penelitian adalah mutlak dan simpulannya bersih dari kekeliruan. 46 F. Sikap llmiah Seorang Peneliti Seorang peneliti seyogyanya memiliki sikap ilmiah. Berikut ini terdapat sembilan sikap ilmiah yang selayaknya dimiliki oleh seorang peneliti. a. Sikap Ingin Tahu Seseorang yang bersikap ilmiah itu selalu bertanya-tanya mengenai berbagai hal yang dihadapinya. Ia selalu tertarik pada hal-hal yang lama dan yang terutama ia selalu tertarik pada hal-hal yang baru. Hal-hal yang lama, walaupun biasanya telah dipertanyakan oleh para ahli sebelumnya mungkin saja masih memerlukan pemikiran lebih lanjut. Hal-hal yang baru menarik untuk dipelajari agar dapat, dicapai suatu pernyataan umum. b. Sikap Kritis Orang yang bersikap kritis itu tidak puas dengan jawaban tunggal. Ia akan selalu berusaha mencari hal-hal yang ada di belakang gejala, bahkan yang ada di belakang fakta yang dihadapinya. c. Sikap ingin tahu itu menimbulkan motivasi yang kuat untuk belajar dan karena motivasi itu, timbullah sikap kritis. Ia tidak akan lekas percaya. Karena memiliki sikap ingin tahu itulah, ia mencari informasi sebanyak mungkin sebelum ia menentukan pendapat untuk ditulis. Ia tidak gegabah mengucapkan atau menulis suatu pernyataan umum. Bagi seseorang yang bersikap kritis, hukumhukum alam dan data empiris merupakan hal yang nomor satu. Ia dapat membedakan dengan baik antara hukum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan pendapat. Ia meneliti dalam upaya membandingkan fenomena-fenomena yang serupa. d. Sikap Terbuka Orang yang bersikap ilmiah itu selalu bersikap terbuka, yaitu selalu bersedia mendengarkan keterangan dan argumentasi orang lain walaupun berbeda dengan pendiriannya. Orang yang bersikap terbuka itu, tidak menutup mata terhadap kemungkinan yang lain. Ia tidak emotif dalam menanggapi kritik, sangkalan bahkan celaan terhadap pendapatnya. e. Sikap Objektif Bersikap objektif itu adalah menyisihkan perasaan pribadi (personal bias), atau mengesampingkan kecenderungan yang tidak beralasan, dengan kata lain dapat menyatakan apa adanya, dapat melihat secara nyata, dan aktual. Peneliti yang bersikap objektif tidak ‘dikuasai’ oleh pikiran-pikirannya sendiri atau perasaannya sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh prasangka. f. Sikap Rela Menghargai Karya Orang Lain Peneliti yang bersikap ilmiah memiliki jiwa yang cukup besar untuk menghargai karya orang lain tanpa merasa dirinya kecil. Peneliti yang congkak, dan merasa lebih tidak mungkin bersikap objektif, dan karya tulisnya akan bernada sombong, memerintah atau menggurui. Peneliti congkak itu biasanya bersikap meng-’aku’. Peneliti yang berjiwa ilmiah pantang mengaku karya orang lain sebagai karya orisinal yang berasal dan dirinya sendiri. Ia rela dan dengan senang hati mengakui dan mengucapkan terima kasih atas gagasan (ide) atau karya orang lain yang semata-mata ia kutip.f. Sikap Berani Mempertahankan Kebenaran Peneliti yang bersikap ilmiah berani menyatakan kebenaran dan apabila perlu, Ia mempertahankannya. Kebenaran itu mungkin berupa fakta atas hasil penelitiannya sendiri atau hasil penelitian atau karya orang lain. Sikap itu menimbulkan kebulatan dalam cara berpikir dan menimbulkan konsistensi dalam penulisan yang merupakan syarat mutlak bagi karya tulis ilmiah. g. Sikap Menjangkau ke Depan Peneliti yang bersikap ilmiah mempunyai pandangan jauh ke depan. Perkembangan etika dan kebudayaan pada umumnya menarik perhatian bagi orang-orang yang bersikap ingin tahu, kritis, terbuka dan objektif. Oleh karena itu, ia berpandangan jauh ke depan. Peneliti ini bersifat ‘futuristik’, yaitu mampu melihat jauh ke depan. Apabila ia juga seorang peneliti yang baik, ia mampu membuat hipotesis dan membuktikannya, serta ia dapat menyusun teori. Bahkan jika ia seorang yang beraka budi yang cerdik (jenius), ia dapat sarnpai pada penjangkauan hukurn-hukum alam. Sikap menjangkau ke depan itu membuat seseorang yang bersikap ilmiah gernar membaca, menganggap meneliti itu sebagai suatu kebutuhan, dan ia menganggap menulis secara ilmiah itu sebagai kewajiban. Berdasarkan tujuan, penelitian dapat dikelompokkan menjadi penelitian dasar dan penelitian terapan. Penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori dan tidak langsung memperhatikan kegunaan praktis. Penelitian terapan bertujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah praktis sehingga 47 dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, baik secara individual maupun kelompok (Gay dalam Syamsuddin dan Damaianti, 2006:20-21). Penelitian berdasarkan jenis data dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Proses penelitian kuantitatif didasarkan pada paradigma positivisme yang bersifat logico-hipotheticoverifikatif dengan berlandaskan pada asumsi mengenai objek empiris dan bersifat linier. Penelitian kuantitatif menyajikan hasil-hasil statistik yang diawali oleh angka-angka, sedangkan penelitian kualitatif menyajikan data yang dinarasikan dengan kata-kata, skema, dan gambar. Penelitian berdasarkan aspek metode dapat dilihat dari pengelompokkan penelitian kualitatif dan kuantitaif. Penelitian kuantitafif dibedakan menjadi penelitian ekperemental dan nonekspremental, sedangkan penelitian kualitatif dapat dibedakan menjadi penelitian interaktif dan noninteraktif (Syamsuddin dan Damaianti, 2006:22-30). Penelitian eksperemental terdiri atas jenis penelitian ekperemen, ekperemen kuasi, dan subjek tunggal. Penelitian nonekperemen terdiri atas penelitian deskriptif, komparatif, korelasional, survei, dan ex post facto. Penelitian kualitatif interaktif adalah suatu studi mendalam yang menggunakan teknik tatap muka untuk mengumpulkan data dari orang-orang yang ada di dalam seting penelitian tersebut. Para peneliti interaktif menjelaskan konteks studi, mengilustrasikan perspektif-perspektif yang berbeda atas fenomena, dan merevisi pertanyaan-pertanyaan secara berkelanjutan dari pengalaman mereka di dalam bidang tersebut. Adapun penelitian interaktif, yaitu ethnografi, fenomenologik, studi kasus, grounded theory, dan studi kritis. Pengajaran dan pembelajaran bahasa merupakan bidang dari linguis terapan. Ciri yang menonjol dari linguistik terapan adalah kepraktisannya mengacu pada konsumen atau pemakai bahasa (Alwasilah, 2009:48-54). Adapun beberapa kajian lingusitik terapan, antara lain : (1) Linguistik klinis, yang memanfaatkan temuan-temuan linguistik untuk mengkaji persoalan medis, seperti kelainan berbahasa dalam bentuk kecelakaan otak dan tunarungu. (2) Linguistik edukasional, yang mengkaji bahasa untuk kepentingan kependidikan, khususnya yang terkait dengan bahasa daerah. Wilayah kajian meliputi pengajaran dan kesulitan siswa dalam membaca dan menulis atau kurikulum bahasa. (3) Leksikografi, yakni profesi yang memanfaatkan temuan-temuan dan metodologi linguistik untuk menggeluti seni dan praktik penyusunan kamus. (4) Terjemahan, yakni segala sesuatu –linguis maupun nonlinguis- yang berkaitan dengan pengalihbahasaan makna yang melibatkan dua bahasa. (5) Pengajaran dan pembelajaran bahasa. Adapun bidang penerapan linguistik, yaitu (1) metodologi pengajaran, pembelajaran dan tes bahasa kesatu dan kedua. (2) Pendidikan multikultural dalam masyarakat. (3) Teknologi pengajaran bahasa. (4) Problem bahasa dan individu (pemerolehan bahasa dan disfungsi bahasa). (5) Problem bahasa dan masyarakat (perencanaan bahasa dan pembakuan bahasa). (6) Teori dan praktik penerjemahan. (7) Analisis dan interpretasi wacana lisan dan tertulis (termasuk stilistika, puisi, dan pragmatik). (8) Studi bahasa dan kaitanya dengan sistem semiotik lain (termasuk film dan teater, tari, kode, pakaian, ornamen, mitologi, dan foklor). Kepraktisan linguistik terapan terlihaat dari pertanyaannya, yaitu mengajar apa, kapan mengajarnya, dan berapa banyak yang diajarkannya. Seperti tabel berikut linguistik terapan sebagai mediator antara pemerintah dan guru bahasa di lapangan Tabel Hierarki Perencanaan Pengajaran Bahasa Hirerki Pelaku Isu-isu yang dihadapi Tingkat 1. Politik Pemerintah Apakah perlu diajarkan, bahasa apa, dan untuk siapa. Tingkat 2. Linguitik dan Sosiolinguistik Linguistik terapan Apa yang diajarkan kapan dan berapa banyak Tingkat 3 Psikolinguistik dan Pedagogi Guru kelas Bagaimana mengajarkannya Ada tiga jenis sains terapan, khususnya yang berkaitan dengan linguistik, yaitu (1) Metode dan hasil dari satu cabang sains digunakan untuk mengembangkan cabang ilmu lain, misalnya dari cabang linguistik dikembangkan model kajian filologi dan stilistika. (2) Metode dan hasil dari satu cabang sains digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis seperti pengajaran bahasa. (3) Penerapan atau aplikasi itu sendiri, seperti halnya yang dilakukan guru dalam kelas, atau penerjemah dalam melakukan terjemahannya. Guru dengan kata lain merupakan ujung tombak 48 atau yang melaksanakan kajian-kajian linguis terapan. Prinsip-prinsip penerapan linguistik dalam bagaan merikut ini sesungguhnya merupakan pengembangan prinsip-prinsip keilmuan linguistik. Diagram Linguistik Terapan H. Keuntungan dan Kelemahan Studi Kasus Sumber daya yang tersedia untuk penelitian selalu langka dan studi kasus menyediakan sarana untuk mencakup sejumlah besar daerah kasus menyediakan sarana untuk mencakup sejumlah besar daerah dengan biaya yang tidak terlalu besar. Lebih khusus lagi, cara ini menyediakan sarana untuk mempelajari masalah yang agak rumit secara mendalam. Dengan menggunakan studi kasus, demikianlah peneliti untuk membandingkan sejumah pendekatan yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dengan cukup rinci untuk mengambil pelajaran yang dapat diterapkan secara umum. Karena sifatnya, studi kasus digunakan untuk menggambarkan hal-hal umum dan untuk memperoleh kesimpulan yang dapat dirampatkan untuk mencakup keadaan yang lebih banyak. Akan tetapi, dari segi statistik, cara ini tidak absah untuk sampel yang dipilih secara tepat. Oleh karena itu, seberapa jauh perampatan yang absah dapat dibuat bergantung pada seberapa jauh derajat studi kasus itu sendiri bersifat khas dan juga pada pola ketelitian pengambilan kesimpulan. Oleh karena itu, sangat penting, peneliti memberikan perhatian khusus pada kedua hal ini, apabila mengamati hasil penelitian berdasarkan studi kasus. Studi kasus sering digunakan untuk memperjelas proses yang rumit, hasilnya, dan apa yang terjadi sebelumnya. Cara ini dapat merupakan proses yang banyak menyita waktu, terutama kalau mengamati perubahan organisasi, penelitain bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kelemahan ini ialah bagian lain dari dunia tidak menunggu hasil penelitian dan ketika terbitan itu muncul, sering sudah ditinggalkan keadaan. Studi kasus yang baik memiliki lima kreteria. Pertama, studi kasus dikatakan signifikan apabila kasus itu sendiri menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum atau bahkan dengan kepentingan nasional. Kedua, studi kasus dikatakan lengkap apabila batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas. Ketiga, studi kasus yang baik haruslah mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting saja. Terakhir, studi kasus yang baik hendaknya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikais dengan pembaca. I. Janis-jenis Studi Kasus Pendekatan studi kasus dalam penelitian sering diletakkan pada penelitian kulitatif (Bigdan dan Biklen, 1982; Burges, 1985). Sependapat dengan pemahaman di atas Vredenbergt (1978); Ary dan Razavieh (1985) menjelaskan sifat studi kasus sebagai suatu pendekatan yang bertujuan untuk memepertahankan keutuhan objek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Tujuan dari studi kasus adalah untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai objek yang bersangkutan yang berarti bahwa studi kasus harus berupa suatu penelitian eksploratif dan deskriptif (Arikunto, 1989). Studi kasus yang bersifat eksploratif dan deskriptif digunakan untuk menjawab pertanyaan ”apa”, sedangkan yangbersifat eksplanatoris digunakan untuk menjawab ”bagaimana” dan ”mengapa”. Namun demikian, jika dibandingkan dengan metode-metode lainstudi kasus pada dasarnya lebih banyak berurusan dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana. Studi kasus juga merupakan ciri penelitian yang lebih mudah dibandingkan studi lainnya, yaitu studi multi situs atau studi muklti subjek (Bogdan dan Biklen, 1982). Studi kasus kualitatif memiliki beberapa jenis, masing-masing memerlukan pertimbangan khusus untuk menetapkan apakah suatu masalah dapat diteliti dan prosedur apa yang akan digunakan. Jenis studi kasus menurut Bogdan dan Biklen (1982) diklarifikasikan sebagai berikut. 1. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi dipusatkan pada perhatian organisasi tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan menelusuri perkembangan organisasinya. Studi ini kurang memungkinkan untuk diselenggarakan karena sumbernya kurang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal. 49 2. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalui observasi peran serta atau pelibatan, sedngkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu atau beberapa segi organisasinya. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah. 3. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu orang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama. Untuk jenis wawancara yang dilakukan oleh ahli sejarah disebut sebagai sejarah lisan, mereka biasanya memwawancarai orang-orang dengan kepemilikan sejarah yang khas, sedangkan kepada orang tidak memiliki latar belakang khusus seringkali disebut sejarah ”orang kebanyakan”. 4. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar. 5. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. 6. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang snagat kecil. J. Implementasi Penelitian Studi Kasus Di dalam mengimplementasikan pendekatan studi kasus Bogdan dan Biklen (1982) memberikan petunjuk desain yang disajikan dalam bentuk cerobong. Cerobong ini melukiskan proses penelitian yang berawal dari eksplorasi yang bersifat luas dan dalam, kemudian berlanjut dengan aktivitas pengumpulan dan analisis data yang lebih menyempit dan terarah pada suatu topik tertentu. Bentuk ini merupakan langkah sistematis penelitian, mula-mula peneliti menjajaki tempat dan orang yang dapat dijadikan sumber data atau subjek penelitian, mencari lokasi yang dipandang sesuai dengan maksud pengkajian, dan selanjutnya mengembangkan jaringan yang lebih luas untuk menemukan kemungkinan sumber data, seperti cerobong Owens (1987) sebagai berikut. General Outline of Plan for a Naturalistic Study Penggunaan bentuk cerobong dalam penelitian kasus, mengisyaratkan peneliti untuk berusaha memeroleh perian dan eksplanasi yang dapat membantu mengonstruksi dan mengklasifikasi kenyataan-kenyataan dan mengintegrasikan data ke dalam seperangkat konstruk teoretik (Owens, 1987). Apabila peneliti di lapangan mendapatkan berbagai kekurangan pengetahuan tentang apa yang diteliti, peneliti disarankan untuk membentuk konstruk-konstruk teoretik (DiCaprio, 1974). Konstruk-konstruk teoretik itu disusun berdasarkan postulat yang bersifat pembuktian sediri selama hal itu dianggap relevan dan sesuai dengan situasi kondisi di lapangan. Selanjutnya Kadir (1992) memberikan garis besar tahapan dalam melakukan studi kasus, yaitu (1) Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan dan bukan secara rambang. (2) Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalam pengumpulan data, tetapi yang lebih dipakai dalam penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analsis dokumentasi. (3) Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat memulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengkalsifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. (4) Perbaikan: meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya dilakukan penyempurnaan atau penguatan data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. (5) Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, mudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas sehingga memudahkan pembaca untuk memahami seluruh informasi penting. Adapun petunjuk menggunakan studi kasus, yaitu menentukan cakupan dan sifat kajian, memilih studi kasus (sifat dan pendekatan resmi), memperoleh kerja sama, membina hubungan kerja sama yang efektif dengan mereka yang akan diteliti, dan tidak mengganggu keobjektifan kerja (Syamsuddin dan Damaianti, 2006:187-188) K. Studi Kasus Bahasa Studi kasus bahasa (LCaS) mencoba untuk membiasakan guru bahasa dengan metode studi kasus dan untuk merangsang guru bahasa dan pelatih guru membuat studi kasusnya sendiri sesuai dengan kebutuhan pengajaran mereka. Ruang lingkup dan keterbatasan proyek pengajaran bahasa. 50 Komunikatif telah menjadi metode utama selama bertahun-tahun, namun interaksi kelas sangat sering terbatas pada antara siswa dan guru. Penggunaan pendekatan problem-based learning dan metode pengajaran yang berorientasi tugas, seperti proyek kerja, simulasi dan studi kasus otentik, telah terbukti menjadi sarana yang efisien dalam memungkinkan peserta didik untuk meningkatkan keterampilan bahasa mereka dalam kemampuan membaca, menulis dan berbicara, dan mengembangkan strategi pemecahan masalah dan kerja sama tim. Hal tersebut otentik bahan memotivasi peserta didik, meningkatkan proses belajar, dan memiliki dampak positif pada kompetensi bahasa. Tujuan LCaS untuk meningkatkan pengajaran bahasa di tingkat menengah dan universitas dengan memperkenalkan berorientasi tugas pendekatan melalui penggunaan studi kasus dalam pengajaran bahasa; mengembangkan modul pelatihan guru termasuk bahan mengajar diujicobakan untuk digunakan dalam kelas. Adapun karakteristik LcaS isu-isu pengajaran bahasa lebih luas. Pentingnya bahasa mengajar dan belajar, dan pertukaran internasional dan kerjasama telah meningkat sejak 1980-an dan 1990-an ketika globalisasi dan komunikasi dalam bahasa asing menjadi semakin penting. Ini telah memiliki cukup berdampak pada pengajaran bahasa: setelah dominasi andtranslation-tata bahasa metode dalam kelas bahasa di Eropa, “komunikasi” dan “kompetensi komunikatif” telah menjadi kata kunci selama tiga puluh tahun terakhir. Metode tata bahasaterjemahan memberi peserta didik pengetahuan teoretis yang baik tentang bahasa dan kompetensi yang disediakan dalam menerjemahkan teks. Bahasa kelas tersebut didasarkan pada teks tertulis, kompetensi lisan sementara itu dianggap kurang penting. Dengan meningkatkan pertukaran dan kerjasama di kemudian setengah abad ke-20, metode ini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan teknik baru yang diterapkan, dipengaruhi oleh teori-teori seperti strukturalisme, transformasi tata bahasa, dan metode komunikatif. Tetapi bahkan metode komunikatif, dalam prakteknya, sering terbatas komunikasi yang nyata dalam bahasa belajar kelas untuk memainkan peran pendek dan latihan. Ini adalah terbatas waktu dan tidak berhubungan dengan kegiatan lain di dalam kelas karena mereka mengikuti tata bahasa dan kegiatan kosakata atau membaca dan mendengarkan latihan. Memainkan peran itu, dalam banyak kasus, tidak terkait dengan status dan pengalaman peserta didik dan tidak sangat otentik. Oleh karena itu, pelajar kadang-kadang enggan untuk bertindak keluar bermain peran, atau mereka dialog berlebihan sehingga seluruh situasi menjadi lucu. Hal ini karena beberapa memainkan peran mengharuskan para siswa mengambil peran realistis atau tidak diinginkan atau karena mereka tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam suatu situasi tertentu. Studi kasus yang tegas berdasarkan analisis dan pemahaman tertulis, dan dalam beberapa kasus oral, material. Pembelajar dihadapkan dengan sejumlah besar teks, yang mereka harus menganalisis untuk memahami soal yang diberikan dan untuk menemukan informasi tentang berbagai aspek kasus ini. Ketika bekerja pada studi kasus, peserta didik mendapatkan asli, atau “hampir otentik”, yaitu, ringan diedit, material pada situasi tertentu dan harus memecahkan masalah dengan tugas menyelesaikan, meneliti, dan menyelidiki. Tingkat keaslian tugas dapat terletak di suatu tempat antara simulasi global, yang memiliki unsur fiktif yang kuat, dan proyek pekerjaan, yang sangat nyata sejauh tugas dan keterlibatan peserta didik adalah bersangkutan. Penggunaan studi kasus membantu pelajar untuk mengembangkan keahlian riset, yang mereka akan hampir tentu perlu dalam kehidupan masa depan profesional mereka. Sifat menerima tugas jauh kuat dibanding dengan dua metode lain yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, studi kasus dapat memerlukan waktu kelas lebih sedikit untuk guru dan pelajar dari pekerjaan proyek atau global simulasi, dan dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam silabus yang ada. Ketika bekerja pada sebuah studi kasus, siswa diminta untuk menganalisis materi (reseptif elemen) dan kemudian mengembangkan solusi untuk masalah, yang mereka akan harus hadir secara lisan dan tertulis (elemen produktif). Membaca adalah bagian integral dari kegiatan dan peserta didik dilatih dalam pemahaman membaca yang efektif. Studi kasus juga merangsang kerja tim, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan presentasi, diskusi keterampilan, keterampilan negosiasi, kompetensi dalam pembuatan kompromi, antarbudaya kompetensi dan kemampuan belajar. Tapi sebagian besar dari semua, studi kasus sangat memotivasi: pelajar menghabiskan lebih banyak waktu membaca teks dalam bahasa asing, 51 mereka merasakan kebutuhan nyata untuk mengekspresikan diri menggunakan bahasa target dan lebih berupaya untuk mempersiapkan mereka presentasi. Proses belajar karena itu diintensifkan dan menjadi lebih sukses, yang menyebabkan hasil linguistik yang lebih baik dalam situasi komunikasi yang otentik. Perbedaan antara LCaS dan studi kasus dalam disiplin lain. LCaS dan studi kasus dalam disiplin lain yang digunakan dalam dua cara yang berbeda: di lain disiplin topik dan isi studi kasus secara langsung berhubungan dengan aspek silabus atau subjek diajarkan atau dinilai; konten adalah elemen kunci dari kasus studi, dan kebenaran dan rincian ditekankan. Bila menggunakan LCaS, konten adalah alat dan bahasa menjadi tujuan dari kegiatan ini - setidaknya di guru perspektif, sehingga konten biasanya kurang rinci dan hasilnya dinilai terutama kompetensi linguistik mereka. Beikut ini diuraikan salah satu contoh penyajian dalam menggunakan LCaS di kelas dengan dua belas tahapan (Fischer, 2008:29-31): 1. Menyajikan LCaS kepada peserta didik a.Menjabarkan masalah b.Mengalokasikan peran c.Memeriksa pemahaman 2. Membagi peserta didik dalam kelompok kecil a. Membaca LcaS b. Memahami skenario 3. Membahas masalah dengan pembelajar a. Memahami masalah b. Menyelesaikan kesulitan 4. Penelitian a. Memahami navigasi LcaS b. Dipandu penelitian c. Guru fasilitasi 5. Mengevaluasi temuan a. Klarifikasi informasi b. Beratnya argumen 6. Bersiap untuk menyajikan solusi a. Penyusunan poin utama b. Memeriksa waktunya c. Memeriksa makna dan ejaan d. Menyediakan solusi 7. Presentasi kelompok: bekerja dari catatan a. Kelompok ini terlibat dengan para penonton b. Membuat poin-poin kunci c. Improvisasi d. Mempertahankan kontak mata e. Melewati ke pembicara berikutnya 8. Presentasi kelompok: menggunakan alat bantu visual a. Menggunakan OHP b. Kekuatan MS PowerPoint c. Menjawab pertanyaan 9. Pleno: kelompok mencari solusi untuk LcaS a. Bergantian b. Mengembangkan toleransi c. Bertukar ide d. Menjelajahi kompromi 10. Memberikan dan menerima umpan balik a. Mendengarkan orang lain b. Penilaian diri c. Menjadi positif 11. Diri dan penilaian sejawat: menonton rekaman 52 a. Menemukan daerah untuk perbaikan b. Melihat bahasa tubuh secara rinci 12. Refleksi LCaS kerja a. Apa yang berjalan dengan baik b. Apa yang disajikan kesulitan c. Gagasan untuk masa depan d. Apa yang telah dipelajari Tahap ini adalah contoh dan tergantung pada tujuan pembelajaran dan tingkat kompetensi - baik inguistik dan metalinguistik - aspek tertentu dapat memerlukan perhatian lebih dari orang lain dalam setiap kelompok individu. Bila menggunakan studi kasus di kelas guru harus memberikan perhatian khusus untuk: manajemen waktu (misalnya, bagaimana untuk menyertakan studi kasus dalam semester/mingguan program; bagaimana merencanakan silabus); pelajaran perencanaan (misalnya, agaimana memasukkan bekerja studi kasus di jam alokasi untuk pelajaran, bagaimana untuk menyajikan seperangkat bervariasi kegiatan, bagaimana untuk membagi kerja antara kerja kelas dan pekerjaan rumah, bagaimana untuk memungkinkan untuk yang tak terduga); menjelaskan tugas kepada siswa (misalnya, bagaimana untuk memeriksa pemahaman; bagaimana menggunakan istilah dan bahasa yang jelas, bagaimana untuk menjawab pertanyaan, bagaimana untuk memperoleh pertanyaan); pengorganisasian kerja berpasangan (misalnya, pemahaman dinamika kelas; pemahaman keterampilan komplementer; mendapatkan respon, bagaimana tidak untuk mendominasi); mengorganisir kelompok (misalnya, pemahaman manfaat dari kerja kelompok, pemanfaatan kelompok, membuat pengelompokan produktif, belajar untuk berdiri kembali, memunculkan umpan balik, pemahaman kebisingan); siswa mempersiapkan diri untuk hadir misalnya, memberikan contoh, memberikan bahasa, mendadak presentasi, presentasi singkat, teks berubah untuk bahasa lisan, menjelaskan psikologi); perencanaan dan film presentasi (misalnya, mengatasi technophobia, menggunakan teknologi, perencanaan rincian teknis, waktu, urutan presentasi, dengan menggunakan tips film); pengorganisasian kelas menulis (misalnya, menyediakan model untuk menyalin, memberikan tanggapan singkat tugas, mengorganisir ide-ide, mengajar mendaftar, menggabungkan membaca dan menulis). Karakteristik pembelejaran dengan metode kasus, yaitu menekankan pada analisis situasional, pentingnya menghubungkan antara analisis dan tindakan, perlunya keterlibatan mahasiswa, peran pengajar yang tidak tradisional, dan suatu keseimbangan antara sasaran-sasaran substansi dan proses pembelajaran (Jugiyanto, 2007:36-39). Lebih lanjut Corey (dalam Jugiyanto, 2007:39-41) menjelaskan bahwa pembelajaran metode kasus dapat menyediakan elemen-elemen dari pembelajaran yang efektif, yaitu pembelajaran dengan penemuan, pembelajaran melalui investigasi, pembelajaran lewat latihan berkelajutan, pembelajaran dengan perbedaan dan pembandingan, pembelajaran lewat keterlibatan, dan pembelajaran lewat motivasi. Adapun tujuan yang dapat dicapai dari pembelajaran dengan menggunakan metode kasus adalah memungkinkan menggabungkan teori dan praktik dalam proses pembelajaran, memungkinkan mahasiswa belajar pengalaman dari tangan pertama dari pelaku kasusnya, memungkinkan mentransfer managerial wisdow ke dalam ruang kelas, memungkinkan mahasiswa mengembangkan sense of judgement mereka, memahami praktik pembelajaran sesungguhnya dengan cara yang efisien, meningkatkan komunikasi mahasiswa, melatih mahasiswa berpikir secara konstruktif, dan mendorong mahasiswa mempunyai kemampuan sintesa dan evaluasi. L. Isu-isu dalam Penelitian Kualitatif Beberapa permasalahan dalam penelitian kualitatif yang sering ditemui saat ini baik dalam penelitian teisis maupun disertasi, diantaranya berkenaan dengan pertanyaan penelitian, metode penelitian, termasuk prosedur penelitian atau pengambilan data serta analisis data ( Furqan dan Emilia, 2010:37-59). 1. Pertanyaan Penelitian Mengingat penelitian kualitatif dianggap sebagai penelitian yang memfokuskan perhatiannya terhadap proses, selain produk, dan memberi penjelasan dengan sangat rinci maka penelitian kualitatif sering hanya menggunakan pertanyaan penelitian yang sifatnya menanyakan proses seperti 53 ”Bagaimana…, dan Mengapa, …”. Pertanyaan penelitian yang sifatnya ”leading question” sering dihindari oleh peneliti dengan alasan bahwa leading question menjadi tidak populer karena dianggap kurang powerful padahal pertanyaan penelitian bisa berubah dan berkembang sejalan dengan proses penelitian. 2. Desain dan Metode Penelitian Metode penelitian yang sering dipakai dalam penelitian kualitaif bisa tergolong pada paradigma pada paradigma penelitian empiris, interpretif, kritis, posmodernisme, dan postrukturalisme. Metode penelitian yang bisa dipakai terdiri atas beberapa macam, di antaranya studi kasus, etnografi, evaluasi program, action research, posfeminisme, posmodernisme, dan analisis teks. Motode penelitian yang digunakan hendaknya digiring oleh teori yang dipakai dan penelitian sebelumnya mengenai bidang yang diteliti mengingat pustaka yang harus dilihat ada dua macam, yakni pustaka yang berkaitan dengan metodologi, yang disebut methodological literature dan pustaka yang berkaitan dengan definisi, kualitas, dan cakupan atau skop, yang disebut dengan topic literature. Apabila metode penelitian yang dipakai tidak tepat, atau tidak sesuai dengan metode penelitian yang digunakan oleh para ahli di bidang itu, peneliti akan sulit untuk menjustifikasi bahwa metode penelitian ini tepat dan akurat, seusai dengan apa yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang paling umum dipakai dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Pemilihan ketiga teknik pengumpulan data ini harus relevan dengan pertanyaan penelitian. Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang fundamental dan sangat penting dalam semua penelitian kualitatif. Dalam melaporkan observasi, penulis perlu menjelaskan beberapa hal, yaitu satuan analisis (apa atau siapa yang diobservasi), jenis observasi apa yang dipakai, manfaat atau kelemahan jenis observasi yang dipakai, berapa kali dan berapa lama observasi dilakukan, apa yang dilihat dalam observasi, bagaimana cara merekam data observasi, upaya yang dilakukan untuk mengurangi bias dalam proses observasi, perlu menghubungkan data observasi dengan sumber atau teknik data yang lain, satu teknik pengumpulan data untuk menjawab semua pertanyaan penelitian, kelemahan apa yang ada dalam proses observasi, dan masalah yang ada dalam implementasi program perlu juga disebutkan. Wawancara memainkan peran yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara, yaitu jenis wawancara yang dipakai, siapa yang diwawancarai, apakah wawancara dilakukan perorangan atau kelompok, apa yang ditanyakan, data wawancara disimpan di aman, proses wawancara (direkamkah, tujuan, di mana, mengapa, apakah), penjelasan yang membuat yang diwawancarai merasa bebas, kelemahan proses wawancara, kesadaran bahwa wawancara mempunyai potensi bias, penjelasan apakah pertanyaan wawancara diujicobakan, dan penjelasan apakah peneliti mengembalikan hasi transkripsi kepada partisipan. Dalam memaparkan langkah teknik analisis dokumen peneliti sering mengalami kegagalan dalam menernagkan beberapa hal, seperti tujuan dari analisis dokumen, apakah dokumen yang dianalisis cukup, apa yang dicari dari dokumen yang dianalisis, di mana data dari analisis dokumen disimpan di disertasi, dan apa makna dari data yang diperoleh dari dokumen. 4. Analisis Data Masalah yang paling umum ditemukan dalam penelitian kualitatif adalah bahwa peneliti gagal untuk kembali kepada teori yang telah dipaparkan dalam kajian pustaka. Dengan demikian, peneliti tidak bisa mengambil kesimpulan apakah peneliti ini mendukung atau bertentangan dengan penelitian sebelumnya, apakah penelitian ini telah menghasilkan teori baru yang belum pernah ditemukan dalam penelitian sebelumnya untuk memperlihatakan kepada pembaca bagaimana penelitian menmperkokoh dasar pengetahuan. Banyak penulis yang belum bisa melakukan dialog dengan wacana lain berkenaan dengan penelitian yang dilakukannya. Beberapa masalah khas dalam penelitian kualitatif, yaitu satuan analsisi (perorangn atau kelompok), kurangnya kesadaran peneliti bahwa analisis data kualitatif sebaiknya data dianalisis segera setelah data itu diperoleh, peneliti sering terpengaruh mitos bahwa menulis laporan penelitian dilakukan 54 ketika semua data sudah terkumpul dan dianalisis, peneliti kurang sadar bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat theory driven, peneliti tidak menjelaskan tahapan-tahapan dalam menganalisis data yang diperloleh dari setiap sumber data, kurangnya kesadaran para peneliti bahwa analisis data dalam pemilihan data yang dipaparkan tidak bersifat netral, tetapi sangat bergantung pada kreativitas, pengetahuan , dan kerja keras peneliti, ketika menginterpretasi data atau mengomentari data atau mencermati makna dari data yang diperoleh, peryataan seyogiyanya ditulis dengan hati-hati dengan menghindari kalimat yang bersifat menggeneralisasi. III. Simpulan Beberapa studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dapat dikaji dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada aspek studi kasus penelitian pendidikan bahasa terdapat dalam keterampilan berbahasa, kebahasaan, dan sastra serta pembelajarannya. Karakteristik pembelejaran dengan metode kasus, yaitu menekankan pada analisis situasional, pentingnya menghubungkan antara analisis dan tindakan, perlunya keterlibatan mahasiswa, peran pengajar yang tidak tradisional, dan suatu keseimbangan antara sasaran-sasaran substansi dan proses pembelajaran.Tujuan yang dapat dicapai dari pembelajaran dengan menggunakan metode kasus adalah memungkinkan menggabungkan teori dan praktik dalam proses pembelajaran, memungkinkan mahasiswa belajar pengalaman dari tangan pertama dari pelaku kasusnya, memungkinkan mentransfer managerial wisdow ke dalam ruang kelas, memungkinkan mahasiswa mengembangkan sense of judgement mereka, memahami praktik pembelajaran sesungguhnya dengan cara yang efisien, meningkatkan komunikasi mahasiswa, melatih mahasiswa berpikir secara konstruktif, dan mendorong mahasiswa mempunyai kemampuan sintesa dan evaluasi. Adapun tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa, yaitu a. menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidikan/pembelajaran bahasa; b. menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendidikan/pengajaran bahasa dalam memecahkan masalah endidikan/pembelajaran bahasa; c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan masalah bahasa. d. memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai pendidikan/pembelajaran bahasa. Daftar Pustaka Ary, D. Jacobs. et.al.1977. Introduction to Reseach in Education. New York: Holt Rinehart and Winston. Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1982. Methods of Social Research Boston: Allyn and Bacon, Inc. Cresswell, J.W.1998. Research Design:Qualitative & Quantitative Approaches. London: SAGE Publicational. Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions. New Delhi: Sage Publications, Inc. Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall. Denzin, N.K. and Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Terjemahan oleh Dariyatno dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fischer, Johann. et.al. 2008. LCaS: Language Case Studies Teacher Training Modules on the Use of Case Studies in Language Teaching at Secondary and University Level. Austria: Council of Europe Publishing. Fraenkel, J.R & Wallen, N.E. 1993. How to Design Evaluate Reseach in Education. New Yoek: McGraw Hill. Furchan, Arief, (Penerjemah). 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Guba, Egon G. & Lincoln, Yvonna S. 1981. Effective Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Heigham, J. and Croker, R.A. 2009. Qualitative Research in Applied Linguistics A Practical Introduction. Great Britain: Palgrave MacMillan. 55 Kirk, J. & Miller, M.I. 1986. Reability and Validity in Qualitative Research, Vol.1, Beverly Hills: Sage Publication. Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. 1985. Naturalistic Inquiry. California, Beverly Hills: Sage Publications. McMillan, J. & Schumacer, S. 2001. Reseach in Education. New York: Longman. Moleong, L. J. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosydakarya. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin• Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme. Edisi II. Yogyakarta: Rake Sarasin. Sayekti P. S. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif (Diktat). Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Stake, R.E. 1995. The Art of Case Study Research. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Surachmad, W. 1982. PengantarPenelitian. Bandung: Tarsito. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya Syamsuddin A.R. & Damaianti, V.S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wiriaatmadja,Rochiati. 2007. Metode penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wahyono, H. 2009. Penelitian Studi Kasus. Tersedia: http://penelitianstudikasus.blogspot.com/ Yin, R.K. 2003. Case Study Research: Design and Methods (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. © 2006 Cerdas Berbahasa . Ported to Wordpress | Sponsored By Website Traffic Promotion | 56 Rabu, 10 Oktober 2012 JAWABAN PSIKOLINGUISTIK (Abdul Chaer) BAB I PENDAHULUAN TUGAS DAN LATIHAN 1. a. Jelaskan yang dimaksud dengan kajian bahasa secara internal dan secara eksternal! b. Mengapa diperlukan adanya kajian ilmu antardisiplin? Jelaskan! Jawab: a. Kajian bahasa secara itnernal adalah kajian yang dilakukan terhadap struktur internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis, sampai struktur wacana. Kajian secara eksternal adalah kajian yang berkaitan dengan hubungan bahasa itu dengan faktorfaktor atau hal-hal yang ada di luar bahasa, seperti faktor sosial, psikologi, etnis, seni, dan sebagainya. b. Kajian ilmu antardisiplin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang semakin kompleks. 2. a. Diskusikan dengan teman Anda mengapa istilah ilmu jiwa tidak dapat ipertahankan penggunaannya, sehingga harus diganti dengan istilah psikologi! b. Diskusikan dengan teman Anda konsep dasar tentang psikologi yang mentalistik, yang behavioristik, dan yang kognitifistik! Jawab: a. Istilah ilmu jiwa tidak dapat dipertahankan penggunaannya karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa atau roh atau sukma, sehingga istilah itu kurang tepat. b. Psikologi yang mentalistik mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Psikologi yang behavioristik mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku tersebut. Psikologi yang kognitifistik mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah. 3. a. Jelaskan tujuan utama seorang linguis mempelajari bahasa! b. Diskusikan mengenai pembidangan linguistik berdasarkan beberapa kriteria pembidangan! c. Bagaimana hubungan linguistik dengan psikolinguistik? Diskusikanlah! Jawab: 57 a. Seorang linguis mempelajari bahasa dengan tujuan utama untuk mengetahui secara mendalam mengenai kaidah-kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu. b. Secara umum pembidangan linguistik itu terbagi tiga, yaitu: (1) Menurut objek kajiannya, yaitu linguistik mikro (struktur internal bahasa sebagai objek kajian) dan linguistik makro (kajian bahasa dalam hubungannya dengan faktor di luar bahasa). (2) Menurut tujuan kajiannya, yaitu linguistik teoretis (ditujukan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik dan membuat kaidah-kaidah linguistik secara deskriptif) dan linguistik terapan (ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis). (3) Linguistik sejarah (mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa dan sejumlah bahasa) dan sejarah linguistik (mengkaji perkembangan ilmu linguistik baik mengenai tokohtokohnya, aliran-aliran teorinya, maupun hasil kerjanya). c. Linguistik dan psikologi sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. 4. a. Bahasa dapat menjadi objek kajian linguistik dan dapat juga menjadi objek kajian psikologi. coba jelaskan di mana letak perbedaannya! b. Mengapa dirasakan perlu adanya kajian bersama antara psikologi dan linguistik? Jelaskan! c. Coba diskusikan dengan teman Anda apa yang menjadi tujuan utama dari kajian psikolinguistik! d. Bantuan ilmu antardisiplin apalagi yang diperlukan untuk dapat menerangkan hakikat bahasa itu? Jawab: a. Dalam linguistik objek kaliannya adalah struktur bahasa, sedangkan dalam psikologi yang dikaji adalah perilaku berbahasa atau proses berbahasa. b. Kajian bersama antara psikologi dan linguistik dirasakan perlu untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Hal ini dikarenakan meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak jgua bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. c. Tujuan utama dari kajian psikolinguistik secara teoretis adalah mencari satu bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. d. Bantuan ilmu antardisiplin yang diperlukan untuk dapat menerangkan hakikat bahasa, antara lain neurofisiologi, neuropsikologis, neurolinguistik, dan sebagainya. 5. a. Sebutkan dan jelaskan secara singkat mengenai subdisiplin dalam psikolinguistik! b. Subdisiplin psikolinguistik mana yang sangat diperlukan bantuannya dalam pengajaran bahasa? Jelaskan! Jawab: a. (1) Psikolinguistik teoretis: membahas teori-teori bahasa yang berkaitan dengan prosesproses mental manusia dalam berbahasa. (2) Psikolinguistik perkembangan: berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama maupun bahasa kedua. (3) Psikolinguistik sosial: berkenaan dengan aspek-aspek sosial bahasa. (4) Psikolinguistik pendidikan: mengkaji aspek-aspek pendidikan secara umum alam pendidikan formal di sekolah. (5) Psikolinguistik-Neurologi (Neuropsikolinguistik): mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa, dan otak manusia. (6) Psikolinguistik Eksperimen: meliputi dan melakukan eksperimen dalam semua kegiatan bahasa dan berbahasa pada satu pihak dan perilaku berbahasa dan akibat berbahasa pada pihak lain. (7) Psikolinguistik terapan: berkaitan dengan penerapan dari temuan-temuan enam subdisiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang tertentu yang memerlukannya. 58 b. Subdisiplin psikolinguistik yang sangat diperlukan bantuannya dalam pengajaran bahasa adalah psikolinguistik pendidikan karena mengkaji aspek-aspek pendidikan secara umum dalam mengajar terutama pada pendidikan formal di sekolah. 6. a. Psikolinguistik “katanya” terbentuk dari psikologi dan linguistik. Cobalah bicarakan dengan teman Anda mengenai pendapat para pakar mana yang menjadi induk dari psikolinguistik itu! b. Bagaimana tanggapan Anda mengenai masasalah tersebut? Jawab: a. Beberapa pakar berpendapat, psikolinguistik berinduk pada psikologi karena istilah itu merupakan nama baru dari psikologi bahasa (psyschology of language) yang telah dikenal beberapa waktu sebelumnya. b. Psikolinguistik memang berinduk pada psikologi karena psikologi seseorang akan mempengaruhinya dalam berbahasa. 7. a. Bicarakanlah dengan teman Anda mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan psikolinguistik! b. Pokok bahasan mana yang sangat berkatian dengan pembelajaran bahasa? Jelaskan! Jawab: a. Masalah-masalah yang mejadi pokok bahasan linguistik, antara lain: (1) Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia mampu berbahasa? Bahasa itu terdiri dari komponen-komponen apa saja? (2) Bagaimana bahasa itu lahir dan mengapa dia harus lahir? Di manakah bahasa itu berada atau disimpan? (3) Bagaimana bahasa pertama (bahasa ibu) diperoleh seorang kanak-kanak? Bagaimana perkembangan penguasaan bahasa itu? Di manakah bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimanakah seseprang menguasai dua, tiga, atau banyak bahasa? (4) Bagaimana proses penyusunan kalimat atau kalimat-kalimat? Proses apakah yang terjadi di dalam otak waktu berbahasa? (5) Bagaimanakah bahasa itu tumbuh dan mati? Bagaimana proses terjadinya sebuah dialek? Bagaimana proses berubahnya suatu dialek menjadi bahasa baru? (6) Bagaimanakah hubungan bahasa dengan pemikiran? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan atau kemultibahasaan dengan pemikiran kecerdasan seseorang? (7) Mengapa seseorang menderita penyakit atau mendapatkan gangguan berbicara (seperti afasia), dan bagaimana cara menyembuhkannya? (8) Bagaimana bahasa itu harus diajarkan supaya hasilnya baik? dan sebagainya. Pokok bahasan yang sangat berkaitan dengan pembelajaran bahasa adalah mengenai bagaimana bahasa itu harus diajarkan supaya hasilnya baik. Hal ini dikarenakan pembelajaran bahasa dapat dicapai dengan baik jika cara mengajarkannya juga baik, sehingga penting untuk mengetahui cara mengajarkan suatu bahasa 59