JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN

advertisement
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
JOHANN SEBASTIAN BACH: MUSISI GEREJA SEJATI
Daniel Sema
(Dosen Prodi Musik Gereja, [email protected])
Abstraksi
Johann Sebastian Bach adalah seorang Kristen yang memiliki komitmen kuat, pengikut Luther yang setia
dan sangat ortodoks. Imannya adalah penghiburan dan kekuatannya ketika menghadapi kesulitan hidup. Bach
adalah seorang Kristen yang dihidupi oleh Alkitab. Baginya konsep Luther mengenai keselamatan “hanya oleh
iman” merupakan hal yang sangat penting. Ia pun mencari arah pelayanannya melalui ayat-ayat Firman
Tuhan. Menurutnya, 1 Tawarikh 29 menyatakan bahwa “musik dilembagakan oleh Roh Allah melalui Daud,”
sedangkan mengenai 2 Tawarikh 5:13 ia berkomentar: “Pada pertunjukan musik yang khitmat, Allah selalu
dekat dengan hadirat-Nya yang kudus.” Musik, teologia dan ibadah dalam seluruh karya Bach terjalin menjadi
satu. Iman, pengharapan dan pertolongannya tercermin dalam setiap akhir komposisinya yang selalu
tercantum huruf I.N.J atau J.J. atau S.D.G yang merupakan singkatan dari “In the name of Jesus” (dalam nama
Yesus), “Jesu Juva” (Jesus Tolong), “Soli Deo Gloria” (Kemuliaan bagi Allah). Bach menganggap dirinya
seorang peziarah, warga Kota Abadi, yang terbebas dari keterbatasan yang mengungkung manusia. Komposisi
terakhirnya "And now I step before thy throne" (Dan kini aku melangkah di depan takhta-Mu) menyatakan
keyakinannya bahwa bagi orang Kristen, kematian membuka pintu ke ruang tahta Allah yang kekal.
A. PENDAHULUAN
Salah seorang musisi yang paling berpengaruh sepanjang masa dan seorang komposer
terbesar dalam sejarah musik adalah Johann Sebastian Bach. Kemahirannya membuat komposisi
musik begitu diakui dunia, sehingga tahun wafatnya digunakan untuk menandai masa berakhirnya era
Barok. Di sepanjang hidupnya, Bach berkarir di Jerman. Ia berpindah-pindah dari satu kota ke kota
lain untuk mendapatkan pekerjaan dan terakhir tinggal di kota Leipzig hingga akhir hayatnya.Johann
Sebastian Bach bukan cuma dikenal sebagai seorang instrumentalis yang terampil memainkan
beberapa instrumen musik, seperti: clavichord, harpsichord, biola dan lute, melainkan juga dianggap
sebagai peletak dasar harmoni klasik yang teorinya terus dipelajari dan diaplikasikan hingga sekarang.
Ada ratusan bahkan ribuan karya musik J.S. Bach yang lahir dengan berbagai corak musik
pada zaman itu. Ia juga seorang conductor (dirijen) pada beberapa paduan suara, musisi yang
dihormati dan pernah bekerja dikediaman para pangeran dan pejabat negara. Riwayat hidupnya diikuti
dengan cermat, tampak kepada kita bahwa J. S. Bach telah membaktikan hampir seluruh hidupnya
untuk gereja. Ini artinya bahwa ada semangat pada jiwa Bach untuk ingin selalu memuliakan Allah
melalui nyanyian pujian. Ratusan chorale (nyanyian jemaat waktu itu) dan karya instrumental buah
karyanya dipersembahkan untuk Tuhan.J. S. Bach jarang sekali dikenali sebagai seorang musisi
gereja. Ia lebih dikenal sebagai komposer hebat pada zamannya. Teori musiknya dibongkar dan
dianalisis, bahkan dijadikan bacaan wajib dan materi kuliah bagi mahasiswa musik.
Jika dicermati lebih jauh, karya-karya Bach sesungguhnya memiliki nilai rohaniah yang
tidak dangkal. Penelitian oleh para pakar menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara melodi dan
harmoni Bach dengan semangat pietisme jiwanya. Tulisan tentang J. S. Bach banyak tersebar di
internet, majalah dan buku-buku musik, video dan rekaman suara musik Bach juga mudah didapat.
Akan tetapi, sebagian besar tulisan J.S Bach yang terdapat pada buku-buku diktat kuliah, banyak
mengupas dan menguraikan sosok Bach sebagai seorang musisi zaman Barok dan karya-karyanya
yang hebat, seorang master dalam teknik polifoni yang tak tertandingi, sedangkan sisi lain dari Bach
sebagai seorang musisi gereja, yaitu mengenai iman, prinsip hidup danpandangannya, kurang
diketahui banyak orang, padahal justru itulah yang menjiwai seluruh karya-karyanya, tidak perduli
sakral atau sekuler.
16
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
B. METODOLOGI
Untuk mengungkapkan sisi lain dari J. S. Bach, penulis banyak melakukan kajian pustaka
mengenai bibliografi yang diambil dari berbagai sumber pustaka dan pendapat para ahli sejarah
maupun para musisi dunia tentang Bach, terutama yang menyoroti semangat dari jiwa Bach sebagai
seorang musisi gereja. Penulis akan lebih banyak mengupas tokoh J.S. Bach karena dianggap sebagai
tokoh yang profesional dalam sejarah musik Barok yang mendunia, dan karya J.S. Bach dianggap
penting dikalangan musik gereja oleh sebab sebagian besar karyanya memiliki makna-makna yang
teologis.
C. JOHANN SEBASTIAN BACH
1. Riwayat Singkat J. S. Bach
Johann Sebastian Bach lahir pada tanggal 21 Maret 1685 di kota Eisenach, Jerman. Johann
Sebastian Bach (J.S. Bach) meninggal tanggal 28 Juli 1750 di kota Leipzig, Jerman. Kedua
orangtuanya meninggal sebelum ia genap berusia 10 tahun. Setelah menjadi yatim piatu, Johann
tinggal bersama dengan kakak laki-lakinya Christoph, seorang organis gereja, yang mengajarkan
Johann bermain harpsichord dan organ. Saudaranya ini sesungguhnya sedikit kesulitan menerima
Johann karena menganggapnya sebagai beban. Karirnya yang diawali sebagai seorang penyanyi
soprano anak (boy soprano) di sebuah gereja di Lüneberg membebaskannya dari keterikatan kakaknya
tersebut, saat itu usianya 14 tahun. Setelah suaranya berubah kemudian Bach menjadi seorang pemain
biola (violis) di sebuah orkes gereja di kota Lünenberg, dekat Hamburg, Jerman.Sewaktu dalam usia
remaja, Bach kerap kali berpergian ke Hamburg untuk menghadiri konser dan mengikuti pelajaran
organ. Pada tahun 1703 (usia 18 tahun), ia menjadi seorang organis di kota Arnstadt dan di sanalah ia
pertama kali mulai membuat komposisi musik. Dalam satu bulan Bach sempat absen mengunjungi
Lübeck dimana saat ituDietrich Buxtehude gurunya(seorang organis dan komposer kenamaan) sedang
mengadakan pertunjukan. Bach begitu asyik dengan aktivitas musiknya di Arnstadt sehingga
menambah waktu tinggal di kota itu, bukan satu bulan, melainkan tiga bulan. Oleh karena hal ini, para
pegawai di Arnstadt merasa tidak begitu senang terhadap Bach.
Pada tahun 1707 Bach meninggalkan kota Arnstadt untuk selamanya dan menjadi organis di
Mühlhausen. Di sana ia menikahi istri pertamanya, Maria Barbara, sepupunya sendiri. Tahun 1708, ia
ditunjuk sebagai organis di Ducal Chapel di Weimar dan kemudian sebagai pemimpin orkes. Dengan
posisinya ini, Bach punya kesempatan untuk mempelajari seluruh gaya musik dan mengembangkan
kemampuan teknik komposisinya, terutama musik organ. Pada saat itulah Bach banyak menulis karyakarya hebatnya untuk instrumen dan menempatkan dirinya sebagai salah seorang pemain organ yang
handal (virtuoso) pada zamannya. Bach tinggal di sana selama sembilan tahun (hingga tahun 1717),
namun akhirnya dipecat dan dimasukkan ke dalam penjara selama satu bulan oleh Pangeran Weimar
karena menolak posisi sebagai penata musik (music director). Pada tahun 1717 (usia 32) Pangeran dari
Cöthen mengangkat Bach sebagai Kapell meister di istananya. Jabatan ini adalah salah satu impian
yang diharapkan Bach pada waktu itu.
Pangeran dari Cöthen adalah seorang musisi amatir yang sangat bersemangat, masih muda
dan belum menikah. Pangeran Cöthen memiliki sebuah orkestra kecil dan menunjuk Bach sebagai
pengarah musiknya. Bach sangat senang karena dihargai dan dibayar tinggi.Pada posisi baru ini Bach
diminta untuk menyelenggarakan konser musik untuk instrumen. Dalam konser-konser ini, Bach
menulis banyak sekali musik untuk instrumen solo dan musik kamar, termasuk bermacam-macam
concerto. Hal ini menandai masa kedua dari hidupnya yang sangat kreatif yaitu suatu masa gemilang
dari karya orkes dan instrumentalnya. Bachjuga memiliki banyak kesempatan untuk menulis ratusan
komposisi musik untuk clavier (piano), instrumen gesek, ansambel instrumen dengan berbagai ukuran,
solo, duet, trio, dan concerto. Istrinya, Maria pada waktu itu mendadak meninggal dunia yaitu pada
tahun 1720. Setahun kemudian ia menikahi Anna Magdalena, seorang penyanyi yang juga bekerja di
17
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
istana Pangeran dari Cöthen.Demi membantu istri keduanya belajar clavier, Bach menulis banyak
sekali karya pelajaran musik, termasuk invention dan Little Notebook of Anna Magdalena.
Bach juga menuliskan beberapa karya untukanaknya, Wilhelm Friedemannberupa komposisi
latihan musik, termasuk The Well Tempered Clavier.Bach mungkin bisa tinggal selamanya di Cöthen,
namun sang pangeran juga menikah pada masa itu, dan istrinya tidak menyukai komposisi musik
karya Bach. Hal ini menyebabkan dukungan sang pangeran untuk Bach menurun dan aktivitasnya
berkurang, nasib orkestra jadi semakin meredup, hingga akhirnya Bach terpaksa mencari pekerjaan
lain.Pada masa itu, kota Leipzig (dengan penduduk sebesar 30.000 jiwa) yang memiliki satu
universitas dan dua gedung teater, sedang mencari penata musik Gereja St. Thomas.Tanggung jawab
posisi ini mencakup penulisan komposisi musik untuk hari-hari raya gerejawi untuk seluruh musik
gereja di kota itu, termasuk gereja St. Thomas dan tiga gereja lainnya. Dewan kota mewawancarai
beberapa musisi dan akhirnya menetapkan Bach sebagai pilihan ketiga, pilihan pertama jatuh pada
komposer Georg Philipp Telemann tetapi ia menolak, orang kedua yang terpilih pada daftar, tidak
diijinkan untuk meninggalkan posisinya padapekerjaannya yang lama waktu itu sehingga Bach
menerima posisi itu dengan rasa gembira dan memboyong seluruh keluarganya ke Leipzig.
Pada tahun 1723 ketika usianya 38 tahun, Bach juga menjadi Kapellmeister di sekolah
paduan suara milik swasta. Pada akhirnya, Bach tidak begitu cocok dengan posisi ini, namun ia
menerima pekerjaan ini agar anak-anaknya bisa bersekolah di sana. Ketika masih menjadi seorang
musisi istana, para musisi profesional di sana memainkan karya-karya musiknya dengan bagus. Kini
karya-karyanya sering dimainkan sembarangan (seringkali hasilnya buruk) oleh murid-murid dan
musisi amatir. Ia digaji sangat murah dan kehidupannya di bawah standar. Namun demikian, Bach
tetap bertahan di sekolah paduan suara itu hingga akhir hayatnya.Di kota itu, Bach sangat banyak
menciptakan komposisi, baik untuk gereja maupun untuk umum. Ia juga mengajarkan bahasa Latin,
musik, dan pelajaran menjadi seorang conductor paduan suara di sekolah paduan suara. Kadangkadang ia berkeliling Eropa untuk mendengarkan karya-karya musik dari komposer lain. Menjelang
akhir hidupnya, penglihatan Bach berangsur-angsur memburuk. Ia sempat menjalani dua kali operasi
mata, tetapi hasilnya gagal dan menjadi buta. Penderitaan ini diikuti oleh kelumpuhan hingga ia wafat.
Dalam penampilannya, Bach sedikit gemuk, seorang yang sopan, senang menghargai dan
loyal kepada sahabat. Bach termasuk seorang guru yang penuh perhatian dan sabar terhadap muridmuridnya. Bach tidak memandang dirinya sebagai seorang seniman jenius, tetapi lebih sebagai
seorang pekerja seni yang bekerja keras. Bach menulis komposisi musik hanya karena pesanan atau
karena tuntutan pekerjaan yang memang harus dikerjakan. Seluruh bentuk dan gaya musik ditulisnya,
kecuali opera. Walaupun opera pada era itu merupakan genre musik yang sangat populer dan
digemari, tetapi oleh karena pekerjaan tidak menuntutnya untuk menulis opera, maka Bach tidak
pernah menulis opera.Selama masa hidupnya, Bach tidak pernah dikenal di luar lingkungan keluarga
dan para sahabatnya, ia juga jarang bepergian. Orang menyukai musik Bach karena ditata dengan
cermat, arah nadanya jelas, merupakan ekspresi jiwa, dan diolah dengan cerdas. Menjelang akhir abad
XVIII, musik J.S. Bach dianggap kuno, rumit dan ketinggalan jaman. Hanya satu, anak Johann
Sebastian yang dianggap up-to-date pada masanya, yaitu C. P. E.Bach mungkin tidak berharap bahwa
musiknya akan dimainkan lagi pada saat ini, yaitu lebih dari 200 tahun setelah kematiannya.
Tujuannya cukup sederhana yaitumenulis musik setiap ada kesempatan di Leipzig pada abad delapan
belas.1
1
http://www.christianity.com/church/church-history/timeline/1701-1800/bach-created-musicto-gods-glory-11630186.html, 6.
18
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
2. Peristiwa Setelah Wafatnya J. S. Bach
Aneh kedengarannya, seseorang yang dianggap sebagai komposer musik terbesar sepanjang
abad, Johann Sebastian Bach, dilupakan begitu saja setelah kematiannya. Selama hampir seratus tahun
setelah kematiannya, sebagian besar karya-karya agungnya tidak pernah dipublikasikan,
dipertunjukkan dan tidak dikenali lagi. Hampir tidak ada orang yang perduli kepada musik Bach
setelah kematiannya hingga satu bundel cantatanya cuma dihargai $40, sementara catatan-catatan
musiknya yang lain cuma dijadikan kertas bungkus oleh pedagang setempat. Baru pada tahun 1829
sebuah karya utama Bach ditampilkan di hadapan publik, Passion According to St. Matthew (Passion
menurut Injil Matius), dengan conductor Felix Mendelssohn. Pada saat itulah, pertama kali karya
besar Bach diperdengarkan sejak wafatnya Bach dan di luar kota Leipzig. Empat tahun sesudah ini,
kemudian Passion According to St. John (Passion menurut Injil Yohanes) ditampilkan. Menjelang
tahun 1850, muncullah kesadaran akan kebesaran Bach menuju kepada terbentuknya Bach, kemudian
Gesellschaft (Masyarakat Bach) mengungkapkan dan mempublikasikan kembali karya-karyamusik
dari Bach. Kumpulan karya-karya Bach yang dipublikasikan ini dikelompokkan ke dalam katalog
yang biasa ditandai dengan huruf “BWV.” Proyek ini hingga selesai menghabiskan waktu lima puluh
tahun.
3. Warisan Musik Dari J. S. Bach
Karya Bach membawa era polifoni ke titik puncak/kulminasi paling tinggi, memajukan seni
dan teknik kontrapung serta mengembangkan bentuk-bentuk musik yang pada tahap komposer lain
belum mencapainya. Selanjutnya, seni musik bergerak ke arah baru, yaitu musik bertekstur homofoni.
Bach sendiri juga pernah menulis dengan gaya musik ini.Bach menulis sejumlah besar karya choral,
dan yang paling terkenal ialah Passion According to St. Matthew, Passion According to St. John, Mass
in B Minor, the Christmas Oratorio, serta sejumlah cantata sekuler dan gereja, magnificats,dan motet.
Karya-karyanya untuk clavier antara lain, The Well Tempered Clavier, Suita Perancis dan Inggris,
partita, Concerto Italia, Variasi Goldberg, dan Chromatic Fantasy and Fugue. Dalam orkestra ia
menulis enam buah Brandenburg Concerto, enam suita, dan sejumlah concerto untuk satu, dua, tiga,
atau empat instrumen solo dan orkestra. Bach juga membuat komposisi seluruh macam musik organ
(toccata,prelude dan fuga, chorale prelude, Passacaglia in C Minor) sonata dan suita untuk biola dan
piano, untuk celo dan piano,sonata dan partita untuk biola tanpa iringan, dan untuk celo tanpa iringan.
Tidak ada satu bentuk musik pun, yang tidak dikembangkan dan diperkaya oleh Bach, kecuali bentuk
opera. Di dalam setiap bentuk musik selalu terdapat karyanya yang agung (masterpiece). 2
4. GerakanPietisme
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman menghasilkan “gerakan
bebas.” Gerakan ini bermula sebagai reaksi terhadap ritual-ritual yang mekanis dan formal yang
mewarnai pelayanan di gereja Lutheran yang saat itu telah mapan, namun semakin kurang dalam hal
kebebasan mengungkapkan iman secara spontan. Gereja-gereja Protestan besar yang dipelopori oleh
Luther, Zwingli dan Calvin, mempertahankan ciri gereja rakyat yang mencirikan Gereja Katolik
Roma, walaupun tetap menekankan kepada tanggungjawab setiap orang percaya terhadap Allah dan
terhadap sesama anggota gereja. Cara persekutuan diangkat ke permukaan tetapi segi institusional
tetap dipertahankan. Selain persekutuan, gereja adalah suatu lembaga tempat orang-orang percaya
menerima Firman Tuhan dari para pendeta dalam penelitian Alkitab dan sakramen-sakramen.Gereja
bebas mengutamakan segi persekutuan dan menolak segi institusional, yang menurut Luther, Zwingli
2
David Ewen, The Home Book of Musical Knowledge (Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
1965), 16-17.
19
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
dan Calvin, mencirikan gereja rakyat. Apa yang dikatakan Allah dalam kitab suci, (Firman, kelahiran
baru dan Roh Kudus) diberikan kepada manusia dan diterima oleh manusia secara perorangan dan
mendorong manusia untuk membentuk kelompok bersama-sama dengan orang-orang percaya lainnya,
ke dalam suatu persekutuan yang hidup dari iman yang diterima.3
Pengaruh ekklesiologis (gereja bebas) yang paling besar pada gereja-gereja Protestan besar
terjadi melalui “pietisme”. Pietisme dimulai di Inggris dan Belanda, dari sana kemudian Pietisme
disebarkan ke Jerman. Di Jerman Pietisme muncul darigereja-gereja Lutheran disekitar tahun 1675.
Kata “pietis” berasal dari kata pietas ‘kesalehan’, dan istilah itu diberikan sebagai ejekan kepada
orang-orang yang menekankan bahwa iman Kristen harus tampak dalam kehidupan yang saleh.
Menurut kaum pietis, gereja-gereja rakyat telah menjadi suram karena terlalu menekankan kepada
ajaran gerejawi dan kurang memberikan perhatian kepada kehidupan anggota-anggota jemaat. Orang
Pietis sangat menyesalkan sifat intelektualistis watak khotbah yang disampaikan di atas mimbar
gereja, baik di gereja Lutheran sendiri maupun di gereja Calvinis Belanda. Kurang ada penekanan
bahwa pembenaran orang berdosa, sebagaimana ajaran pokok Luther yang dengan rajin diberitakan di
atas mimbar, harus tampak dalam tingkah laku yang mencerminkan kelahiran baru. Kurang ada
penekanan bahwa percaya bukan hanya berarti memiliki pemahaman yang benar, melainkan juga
memiliki hati atau sikap yang benar, yang hanya diperoleh melalui pertobatan total.
Pietisme menekankan bahwa iman bukan tindakan otak semata, melainkan adalah
penyerahan seluruh pribadi kepada Allah dengan hati dan jiwa sebagai akibat kelahiran kembali oleh
Allah. Dengan demikian eklesiologi “gereja bebas” dipergunakan untuk membentuk sel-sel kehidupan
gerejawi yang aktif, untuk membangkitkan kehidupan gereja rakyat yang telah menjadi suam karena
terlalu sibuk dengan hal-hal seperti tata gereja atau teologi ilmiah yang hanya memuaskan akal tetapi
tidak menyentuh hati. Cita-cita Pietisme pada dasarnya sama dengan harapan para reformator, yaitu
bahwa anggota gereja rakyat sungguh-sungguh percaya dan hidup dari pengampunan dosa yang telah
diperoleh dan secara sukarela melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.4
a. Tokoh-tokoh Pietisme
Sejak semula Pietisme telah menjadi tantangan bagi gereja-gereja Lutheran dan Calvinis.
Bagi kaum Pietis semangat dan gerakan ini dilihat sebagai alternatif lain di samping teologi skolastik
Protestan dan kehidupan ibadah yang gersang. Bagi banyak pemimpin gereja ‘resmi’ pada waktu itu,
kaum Pietis terutama dilihat sebagai ancaman terhadap wewenang gereja atas perkara-perkara
keagamaan di dalam masyarakat, oleh karena itu para pemimpim gereja ‘resmi’ memperlakukan kaum
Pietis dengan sikap curiga dan memusuhi. Sebaliknya, kaum Pietis berupaya mengganti tekanan dari
gereja-gereja itu menuju kepada perolehan kehidupan rohani yang baru. Tokoh gerakan Pietisme pada
tahap awal antara lain Philip Jacob Spener (1615 – 1705) dan muridnya August Hermann Francke
(1663 – 1727) dan Ludwig Graf von Zinzendorf (1700 – 1760). Spener adalah seorang pendeta
berkebangsaan Jerman. Ia berkeberatan terhadap semangat Gereja Lutheran pada zaman itu dan
terhadap pengaruh mistik yang ada di Gereja. Menurut Spener, mistik tidak sesuai dengan Alkitab dan
hanya menimbulkan sikap pasif semata. Pendapatnya ialah bahwa gereja sudah cukup lengkap dan
kehidupan jemaat harus diperbaharui kembali. Ia memberi tekanan kepada pelajaran Alkitab yang
3
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekita rGereja (Jakarta: GunungMulia,
2008), 44.
4
Eklesiologi adalah usaha teologis sistematis untuk memikirkan dan membangun sebuah
gambaran mengenai gereja atau jemaat. Biasanya diupayakan untuk membangun sebuah eklesiologis
yang “alkitabiah”, artinya seperti yang tertulis di dalam ajaran Alkitab. Jan S. Aritonang dan Chr. de
Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja (Jakarta: GunungMulia, 2009), 47.
20
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
harus dipraktikkan oleh jemaat. Pandangannya tertuju kepada kesalehan hidup yang lebih besar
daripada pengetahuan.
Francke adalah pendeta dan pernah menjadi guru besar di Universitas Hallesekitar 30 tahun.
Universitas ini menjadi pusat dari gerakan Pietisme. Pada suatu saat ia mendapati uang empat ringgit
dalam peti derma untuk orang miskin. Sejak saat itu ia menganggap bahwa itu merupakan petunjuk
Tuhan baginya untuk mengurusi orang miskin. Dengan modalnya ia membuka sekolah untuk orang
miskin dan ternyata ini mendapat perhatian dari pihak luar yang mau menopangnya dalam segi
finansial. Francke juga mendirikan sebuah perkumpulan untuk menyiarkan Alkitab, yang
mengusahakan penjualan Alkitab dengan harga yang sangat murah agar setiap anggota jemaat bisa
memilikinya. Sangat banyak jumlah pendeta dan penginjil yang telah diresapi oleh semangat
kesalehan sebagai hasil didikan dari universitas Halle. Para Pendeta dan Penginjil juga dikenal sebagai
orang-orang yang sangat menaruh perhatian kepada karya-karya sosial, seperti panti asuhan,
perawatan orang miskin, dan lain sebagainya.
Di Jerman Pietisme memperbaharui kehidupan Gereja Moravia, yaitu gereja yang sudah ada
sejak abad ke-15. Gereja Moravia (yang kemudian masuk ke mazhab Protestan) sempat lumpuh pada
abad ke-17 dan 18, tetapi kembali hidup pada abad ke-18 setelah ‘roh’ Pietisme disuntikkan ke
dalamnya. Salah seorang tokoh Pietis Moravia yang terkenal karena semangat penginjilannya ialah
Pangeran Nicolaus von Zinzendorf. Zinzendorf dididik di Halle, sehingga Zinzendorfbertumbuh
dalam suasana pietisme yang kental. Setelah tamat dari sekolahnya, Zinzendorf mendirikan sebuah
persekutuan gereja dan sosial yang diberi nama “Herrnhut” (perlindungan Tuhan), seperti jiwa dan
tujuan pietisme. Namun karena mendapat desakan dari Geeja Lutheran, Zinzendorf dibuang ke luar
negeri pada tahun 1738. Zinzendorfsempat mengunjungi banyak negara dan mengajarkan paham
Herrnhut yang mendapat sambutan baik. SetelahZinzendorf meninggal, lalu digantikan oleh
Spangenberg.5
b.Ciri-ciri Gereja Pietisme
Perlu dicatat, gereja-gereja yang diresapi oleh roh Pietisme pada umumnya sangat berbeda
dari ‘gereja-gereja bebas’ seperti Mennonit, Baptis dan Pantekosta. Gereja-gereja Pietis bersikap
terbuka terhadap ajaran dan praktik Kristiani tradisional dan tidak memusuhi lembaga-lembaga
induknya, dalam hal ini adalah gereja-gereja reformatoris yang sudah melembaga. Alih-alih menolah
bentuk-bentuk masa lalu (seperti yang dilakukan gereja-gereja bebas pada umumnya), kaum Pietis
lebih banyak berkarya dengan tetap menggunakan bentuk-bentuk lama sambil berupaya agar di
dalamnya terdapat ‘kehidupan roh.’ Ciri lainnya ialah gereja-gereja bebas pada umumnya menentang
baptisan anak, menolak gagasan-gagasan tradisional tentang gereja dan sakramen dan membuang
banyak unsur peribadahan. Sebaliknya, kaum Pietis menerima gagasan-gagasan reformasi tentang
gereja dan sakramen, membaptis anak-anak dan menggunakan bentuk-bentuk liturgi Protestan yang
sudah disederhanakan. Sementara gereja-gereja bebas lahir sebagai bentuk protes terhadap gereja
negara (Katolik Roma, Lutheran, Calvinis maupun Anglican), kelompok-kelompok Pietis membentuk
kelompok khusus di dalam lingkungan gereja-gereja negara dan pada akhirnya memisahkan diri dari
gereja-gereja induknya dan menjadi organisasi gereja yang independen.
c. J. S. Bach dan Pietisme
Banyak sejarawan gereja, antara lain Peter Erb, Ernest Stoeffler, dan Dale Brown tidak lagi
menjelaskan Pietisme sebagai gerakan separatis pada akhir abad ke-17 dan yang dengan cepat
5
Aritonang, Jan S. BerbagaiAliran di dalamdan di SekitarGereja (Jakarta: GunungMulia,
2008), 147-148.
21
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
menyebar ke Eropa Utara, bahkan mencapai Amerika. Namun, sebaliknya hendaknya ini dilihat
sebagai hasil pertumbuhan gerakan pembaharuan yang dimulai segera sesudah reformasi dan terus
berlanjut hingga abad ke-19. Demi meresponi pandangan Pietisme ini dengan lebih komprehensif,
para sejarawan musik mulai mengevaluasi ulang dan menginterpretasikan ulang pengaruh gerakan ini
terhadap musik. Berkenaan dengan Bach, hal ini menjadi penting, sebab bukan saja Bach adalah
seorang komposer, melainkan oleh karena Bach juga aktif sebagai seorang musisi gereja ketika
gerakan Pietisme mencapai puncaknya di Jerman.
Pada akhir abad XVII memang gereja Lutheran menjadi gereja yang sangat kolot dalam hal
doktrin, sehingga mengabaikan kehidupan kekristenan, sebaliknya kaum Pietis bereaksi keras terhadap
“kekeringan rohaniah” ini dengan cara menekankan kepada kehidupan yang saleh, suci dan taat.
Banyak orang berharap dalam sekejap mendapatkan pencerahan dari Allah. Kekolotan (orthodoxy)
terhadap doktrin diasosiasikan dengan kematian rohani, sementara gerakan pietisme tetap dengan
kehidupan rohani. Akibat dua pandangan ini bersaing dengan sangat ketat, efek yang ditimbulkannya
sangat buruk. Bach dihadapkan pada situasi seperti ini dan sepertinya Bach ingin menghindarinya.
Bach ingin “mendamaikan” kedua pihak ini, yang sikapnya tampak pada pesan karya-karya musiknya
ketika ia melayani jemaat di Leipzig. Kaum pietis tidak boleh melulu menonjolkan kesalehannya,
sementara kaum Lutheran yang ortodoks juga tidak boleh melulu menonjolkan doktrin-doktrinnya.
Pertanyaan mengenai pengaruh gerakan Pietisme terhadap Bach dan musiknya mula-mula
dimunculkan oleh para cendikiawan pada pergantian abad dalam kajian yang terdiri atas dua volume
mengenai Bach sang komposer, yang terbit pada tahun 1773 dan 1880. Philipp Spitta yakin bahwa
musik Bach hanya mencerminkan pengajaran-pengajaran yang sifatnya orthodox, sementara sejarawan
Albert Schweitzer bersikukuh bahwa agama Bach bukan Lutheranisme Orthodox, melainkan
misticism. Tahun 1907 Schweitzer menyatakan bahwa karya-karya Bach “menunjukkan jejak-jejak
yang jelas dari Pietisme” (yang sesungguhnya ia adalah bagian dari sejarah misticisme Jerman)”. Para
cendikiawan setelah Spitta mulai mengenali tema-tema pietisme di dalam musik Bach, tetapi tidak
serta merta menerima pendapat bahwa Bach ikut dalam gerakan reformasi yang cenderung membatasi
peranan musik di dalam liturgi (hanya memiliki peran minor).
Sikap Bach mengenai Pietisme tampak nyata dalam reaksinya terhadap gembala dan jemaat
di Mühlhausen. Dalam surat pengunduran dirinya tampak rasa frustrasinya terhadap sikap gereja dan
tampak juga rasa ketidakpuasan dirinya kepada jemaat di sana yang kurang mengapresiasikan karyakarya musiknya. Kaum Pietis lebih menyukai bentuk-bentuk musik yang sederhana dalam ibadah dan
tentunya tidak menyukai teknik kontrapungtis yang rumit dalam karya-karya Bach. Dalam surat
pengunduran dirinya, Bach menegaskan kembali bahwa penciptaan musiknya adalah semata-mata
untuk memajukan musik ibadah menuju kepada yang semestinya yaitu sebuah musik gereja yang
teratur yang meninggikan dan memuliakan Allah yang mahakuasa.
5. Iman dan Ketulusan Hati Bach
Satu pertanyaan yang mungkin menggantung adalah mengenai komitmen Bach dan daya apa
yang membentuk karya-karyanya seperti itu? Orang tahu bahwa kekristenan menggerakkan seluruh
aktivitas hidupnya. Tidak ada keraguan lagi tentang imannya, imannya adalah fondasi seluruh hidup
Bach. Ia selalu menyisipkan frase Soli Deo Gloria pada karya-karyanya. Perpustakaan pribadinya
penuh dengan buku-buku teologi yang dibacanya pada saat senggang, termasuk tulisan Martin Luther,
tulisan-tulisan para penganut Pietisme dan Alkitab. Penelitian mengenai catatan-catatan Bach di dalam
Alkitabnya menunjukkan bahwa Bach memiliki pengetahuan yang dalam tentang Firman Allah. Bach
sudah menentukan tujuan hidupnya pada waktu usianya masih muda. Di dalam surat pengunduran
dirinya waktu bekerja di Mühlhausen pada tahun 1708, dijelaskannya bahwa ia tidak bisa mewujudkan
maksud dan tujuannya. Ini membuatnya frustrasi, seperti dikutip oleh Willian Edgar, kepada Dewan
22
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
Kota berkata demikian: “Tuhan bukan cuma memberikan kepada saya sebuah pekerjaan yang baik
yang memang ini berkaitan dengan matapencaharian saya, melainkan juga memberikan kesempatan
kepada saya, tanpa mengganggu orang lain, agar bertekun untuk mengejar tujuan saya yang
sebenarnya, yaitu mengatur musik gereja dengan sebaik-baiknya”.6Demikianlah komitmen seorang
Bach terhadap gereja.
Bibit filsafat Pencerahan (Enlightment) memang mulai tampak pada tahun 1700-an awal.
Putra-putra Bach pun dipengaruhi oleh gagasan-gagasan rasionalis yang memandang musik sebagai
hukum-hukum alam dan kesenangan belaka daripada sarana untuk memuliakan Tuhan. Dunia Bach
sendiri tidak lepas dari pengaruh tersebut. Menganggap bahwa gereja punya peran besar terhadap karir
Bach bisa jadi merupakan sesuatu yang baik. Tahun-tahun bahagianya dilalui di istana Cöthen dan di
situ pula Bach tidak dibebani oleh tugas-tugas gereja. Di Cöthen Bach banyak menulis musik
keyboard bernuansa sekuler, termasuk Brandenburg Concerto dan suita-suita untuk Opera. Di dalam
karya-karya Bach tampak nyata hubungan antara iman dengan karya seninya. Yang pertama dan
terutama, Bach adalah seorang pengrajin (craftman) yang sering berkata, “Saya telah bekerja keras,
siapa pun yang bekerja keras akan mendapatkan hasilnya”, tetapi menurut Bach musiknya itu
mencerminkan imannya sebagai seorang Kristen, lebih daripada hanya sekedar persoalan teknis
keterampilan. Prinsipnya ialah segala sesuatu harus jelas dan murni.
Pada karya Fuga misalnya, menurut aturan zaman Barok pada masa itu tema (subjek) harus
diulang lagi pada suara kedua sejauh interval kwint di atas, lalu suara ketiga mengulang lagi pada nada
dasar asli, sementara suara-suara lain membentuk melodi kontra-subjek yang terus-menerus bergerak
mengimbangi subjek. Semuanya itu harus tersusun dengan selaras untuk menciptakan sebuah ragam
musik yang indah dan variatif. Ternyata, tuntutan bahwa sesuatu harus jelas, itu merupakan warisan
dari Martin Luther. Kebetulan Luther adalah seorang musisi amatir, gagasan-gagasan Luther ini sangat
dipahami dan melekat pada diri Bach. Apresiasi Luther terhadap seni musik sangatlah tinggi, namun
kepeduliannya yang terutama ialah membangun moral dan mental jemaat Tuhan. Ia ingin sekali agar
jemaat mengerti dan memahami benar setiap aspek dalam ibadah. Hal ini juga membentuk pandangan
estetis Bach terhadap musik. Walaupun tidak ada banyak pernyataan oleh Bach sendiri mengenai
prinsip-prinsip artistiknya, namun dari catatan pelajaran yang disampaikan kepada para muridnya
mengenai thorough bass (alur bas dan realisasi harmoni di atasnya yang mendasari sebuah karya
musik) mencerminkan gagasan-gagasan dari Martin Luther: “Thorough bass adalah dasar musik yang
paling sempurna yang dimainkan oleh kedua tangan.” Tangan kiri memainkan not-not yang sudah
tertulis, sementara tangan kanan menambahkan nada-nada konsonan dan disonan di atasnya untuk
menciptakan harmoni yang indah untuk memuliakan Tuhan dan menenangkan jiwa. Jika hal ini tidak
diperhatikan, maka yang terjadi hanyalah kesemrawutan bunyi.”7
Sebagaimana Luther, Bach ingin sekali mengkomunikasikan Injil melalui musik, namun
kadang-kadang berbeda pendapat dengan pandangan para penganut gerakan pietisme. Di Mühlhausen,
ia pernah bertemu dengan anggota partai oposisi Pietis yang mengkritik bahwa musik Bach terlalu
kompleks dan sulit dicerna. Bach berpihak kepada Partai Lutheran Orthodox karena berbagai alasan.
Ini bukan berarti Bach menganggap remeh teologi pietisme. Penganut pietisme seperti Philipp Jacob
Spener memiliki pengaruh yang berarti terhadap kehidupan keagamaan di Jerman. Penekanan ajaran
pietisme terhadap kehidupan yang kudus dan persatuan mistis dengan Kristus terangkai erat dalam
keperduliannya terhadap masalah-masalah sosial. Merawat yang miskin, anak yatim piatu dan
membantu masyarakat yang terpinggirkan merupakan inti dari gerakan pietisme.
6
William Edgar, Putting The World Together Third Way, 5 April 1985, 24.
Ibid., 24
7
23
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
D. KONSEP PIETISME DAN SIMBOL-SIMBOL MUSIKAL DALAM KARYA MUSIK
BACH
Gagasan-gagasan pietisme sangat berpengaruh terhadap konsep-konsep musikal. Gaya
concertato Barok menekankan kepada penjiwaan yang bebas. Karya passion dan cantata dari Bach
sangat mengeksploitasi gaya ini agar teks-teks dari Kitab Suci menjadi lebih hidup dan memang nyata
dalam pengalaman hidup sehari-hari. Contohnya pada karya Passion menurut Kisah Injil Yohannes
(St. John Passion) ada satu aria yang mengalir terus pada suara tenor. Ini merepresentasikan
penyangkalan Petrus terhadap Yesus. Musik yang mengiringi bergelora, penuh nafsu, melodinya
melompat-lompat, gerakannya berubah-ubah naik turun secara mendadak. Saat Petrus bernyanyi,
pendengar seolah-olah merasakan hal yang sama. Umat manusia terlibat di dalamnya, lalu menyadari
kesalahannya. Hal yang mirip juga terdapat pada aria dari St. Matthew Passion.
Sebagai seorang komposer cantata dan passion, Bach sangat piawai mengolah dan
memanipulasi parameter-parameter untuk mengkomunikasikan Firman Allah dengan jelas dan sangat
efektif kepada pendengarnya. Parameter musik, seperti melodi, tempo, irama (ritme), tekstur, timbre
(warna suara) dan harmoni, dengan sangat cermat diungkapkan seperti yang dimaksudkan oleh isi
syair lagu. Unsur-unsur musik tersebut memberikan gambaran kepada pendengarnya suasana jiwa
tertentu.Melodi yang bergerak naik tampak dalam pengakuan akan kebangkitan Yesus seperti yang
terdapat pada Misa dalam B minor. Sebaliknya, frase-frase melodi dengan harmoni yang turun tajam
menggambarkan penderitaan, kematian dan penguburan Yesus. Ada kalanya Bach menggunakan
simbol-simbol non-musikal seperti misalnya angka untuk menyatakan maksudnya. Dalam St. Anne
Fugue ia menyatakan Trinitas dengan tripel fuga, dalam tiga bagian, dalam sukat tripel, dan dalam
nada dasar Eb mayor (yang memiliki tiga tanda mol sebagai tanda kunci). Kadang-kadang Bach
menggunakan simbol-simbol imajinatif untuk menyimbolkan salib Calvary. Contohnya ada pada St.
John Passion. Bagian tengah lagu memiliki nada dasar E mayor, yang dalam musik disimbolkan
dengan tanda kruis (#) yang berjumlah empat. Kruis (dalam bahasa Jerman Kreuz) berarti ‘salib’.
Cara-cara tersebut bukanlah sekedar semacam teka-teki, melainkan memiliki nilai intrinsik di
dalamnya. Karya Three Part Invention dalam F minor menggunakan motif yang terdiri atas sebelas
not (angka sepuluh ditambah satu menyatakan “pelanggaran” terhadap Sepuluh Perintah Allah
menurut St. Agustinus) pada lajur suara bas yang bergerak turun secara kromatis seperti yang terdapat
pada tema salib di dalam Misa dalam B minor.
Dengan cara yang sama Bach juga menggunakan motif dari empat belas not di dalam
fuganya. Angka 14 menunjukkan jumlah dari urutan huruf BACH dalam sistem alfabet: B = 2; A = 1;
C = 3; H = 6 (di dalam musik “H” sama dengan B satu oktaf lebih tinggi). Bach menyamakan dirinya
sebagai orang berdosa dan membutuhkan salib untuk pengampunan. Teknik yang dilakukan Bach
memang tidak terungkap secara terang-terangan, tetapi mengandung maksud-maksud tertentu.
Misalnya, dalam karya invention yang adalah karya sekuler dan dimaksudkan untuk mengajarkan
musik pada instrumen keyboard, Bach tidak membedakan lagi antara sakral dan sekuler. Memang
seperti yang dikatakan Bach sendiri, bahwa panggilan hidupnya ialah untuk “menata musik gereja”
agar menjadi lebih baik. Hal ini bukan berarti bahwa komposisi sekulernya tidak tertata rapi atau
kurang memuliakan Tuhan. Baginya, hidup berarti memuliakan Tuhan.
1. Kondisi Musik Gereja Pada Zaman J. S. Bach
Perbedaan nyata antara Luther dan Bach adalah bahwa Luther itu seorang teolog yang
mencintai musik dan pelayanan, sementara Bach adalah seorang musisi yang mencintai doktrin dan
perkembangannya melalui musik. Pada masa Bach, organ adalah instrumen yang berwibawa, yang
utama, yang megah, yang dimainkan oleh satu orang tetapi mampu menyatukan berbagai elemen
warna suara menjadi satu bunyi yang hidup. Musik organ dari Bach merepresentasikan suatu
pengabdian, yang bisa disamakan dengan pujian. Jika pendengar masa kini menganggap musik gereja
24
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
sebagai semacam iringan yang mempengaruhi emosi pendengarnya, maka musik pada masa Bach
benar-benar merupakan bagian dari suatu ibadah. Hanya pada masa Bach saja organ secara teratur
mengiringi nyanyian jemaat; sebelumnya, nyanyian jemaat dinyanyikan secara a capella ‘tanpa
iringan’ atau syair tiap bait dinyanyikan bergantian antara paduan suara dengan organ.
Pada masa Bach hidup, seluruh gereja lambat-laun mendapat pengaruh dari Calvinisme dan
Pietisme yang mengecilkan peranan musik dan bentuk-bentuk ibadah yang semarak. Pada generasi
setelah Bach, musik gereja “model konser” (misalnya: chorale, sinfonia, antheme dan pertunjukan di
dalam ibadah) lambat-laun lenyap dari ibadah banyak gereja Lutheran. Christoph Wolff mempunyai
catatan untuk Bach, “teologi dan musik bagaikan dua sisi dari satu koin yang sama (pencarian bagi
pewahyuan ilahi) atau pencarian kepada Allah.”
2. Pandangan Bach Mengenai Firman Tuhan
Johann Sebastian Bach dikenal sebagai “The Fifth Evangelist” atau “Evangelis Kelima”
karena dengan berani mendeklarasikan imannya melalui musik. Bach adalah seorang pengikut
Lutheran yang ortodoks, setia kepada Tuhan dan gereja-Nya. Bach adalah seorang hamba Kristus,
hamba gerejanya dan hamba dari para pengikutnya. Selama masa hidupnya, terutama hanya dikenal
sebagai seorang organis. Putra-putranya lebih dikenal baik dan lebih populer sebagai komposer
daripada ayahnya yang dianggap kolot. Tidak seperti seniman-seniman lainnya yang lahir pada masa
rasionalisme dan romantikisme, Johann Sebastian Bach tidak mempermasalahkan kedudukannya
sebagai seorang hamba. Tujuannya jelas yaitu “memajukan musik demi ibadah yang kudus, yaitu
musik gereja yang teratur untuk memuliakan Allah”. Martin Naumann menjelaskan tentang J. S. Bach
bahwa karakternya sebagai seorang pengikut Luther sangatlah jelas . . .dengan pengakuan musikalnya.
Pengakuan Lutheran, sama seperti seluruh pengakuan gereja, ialah memuji Allah. Pujian kepada Allah
ini berisi baik pengakuan dosa maupun pengakuan iman. Karya-karya bach biasanya diberi tanda
kurung dengan huruf J. J dan S. D. G. Pada bagian awal dia memohon: “Jesu Juva: Yesus Tolong!”
dan pada bagian akhir dia berkata: “Soli Deo Gloria: Kemuliaan hanya bagi Tuhan.”
Huruf-huruf singkatan itu dijumpai dalam sejumlah banyak karyanya, bukan hanya dalam
karya-karya musiknya untuk gereja, melainkan juga dalam karya-karyanya yang dikatakan “sekuler”
juga. Bach merayakan anugerah keselamatan dari Allah melalui iman di dalam Kristus dalam setiap
keberadaannya. Gunther Stiller berbicara mengenai Bach yaitu bahwa keraguan mengenai apakah
musiknya itu sakral atau bukan sekurang-kurangnya sama halnya dengan apakah musiknya itu untuk
Luther atau gerejanya. Bagi keduanya hanya ada satu musik untuk menjadi sakral atau profan,
bergantung kepada cara penyajian musik tersebut.Bach hidup dan bekerja dalam keberadaannya yang
belum terbagi ke dalam kelompok sakral atau sekuler, melainkan tersatukan dan terpelihara secara
internal di pusat iman Reformasi Luther. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa “ikatan Bach
terhadap liturgi Lutheran juga berarti hak dan tugas untuk menjadi aktif di luar area liturgis, yaitu
sekuler. Ini terjadi oleh karena Martin Luther tidak membatasi konsep “ibadah” hanya untuk praktik
jemaat berkumpul untuk mendengarkan khotbah dan sakramen, melainkan seluruh hidup dan aktivitas
orang Kristen merupakan kegiatan ibadah.
Ada semacam isu pertentangan antara Bach sebagaiseorangmusisidan Bach sebagai pribadi.
Ini yang dikatakan oleh Leo Schrade sebagai “Konflik antara sacral dan sekuler” di dalam diriny adan
di dalam karya-karyanya.Sebagai pengikut Lutheran yang taat, tatkala menciptakan musik chorale dan
cantata yang sakral, apakah itu merupakan ekspresi sejati dari lubuk hati Bach yang terdalam, ataukah
Bach hanya seorang profesional yang memang harus melakukan demikian karena memang dibayar.
Memang ada perdebatan semacam itu, ada sumber utama dan dokumen tentang kehidupan Bach yang
dikumpulkan oleh Hans T. David dan Arthur Mendel pada tahun 1945 dan menulis buku “Bach: A
Portarait in Outline yang pada bagian pendahuluannya tertulis demikian:
25
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
For the expression of emotion, however, Bach hardly needed to resort to words. The focus of
his emotional life was undoubtedly in religion, and in the service of religion through music.
This would be clear from his work alone, of which music written for church services comprises
by far the greater portion (music which), though still the least known, constitutes his greatest
effort and achievement.
Tampak bahwa Bach memang memfokuskan hidupnya untuk agama, dan melayani agamanya melalui
musik.Itulah usaha dan pencapaiannya yang terbesar. Dalam konteks imannya, Bach bekerja sebagai
Kapellmeister di Leipzig dari tahun 1723 hingga wafatnya tahun 1750. Di situlah ia menulis sebagian
besar cantata-cantatanya. Di dalam karya-karyanya yang dirancang untuk Ibadah Kudus itulah
gabungan terbesar antara Firman Allah dan musik J. S. Bach lahir.Di dalam musik Bach akan didapati
“kata-kata dalam pujian berubah menjadi lagu dan himne.” Hal ini oleh karena iman Bach berakar di
dalam ajaran Lutheran yang sangat ortodoks yang “menganggap musik sebagai explicatio textus
(sarana untuk menafsirkan Firman Tuhan) dan sebagai praedicatio sonora (menyuarakan kembali
khotbah). Baik Martin Luther maupun Johann Sebastian Bach mengalami hal ini jadi, tampak di sini
bahwa Bach adalah seorang potret orang percaya yang sungguh-sungguh. Bach seorang yang saleh
tetapi bukan orang yang pietistik dan seorang Lutheran yang taat, yang mengaku cukup fanatik, namun
bukan fanatik yang membabi buta. Semangat teologisnya meresapi struktur musiknya. Dalam
keinginannya yang menggebu-nggebu untuk melayani Tuhannya dan berseru kepada umat Allah
dalam bentuk seruan firman Tuhan.
3. Musik Bach yang Bersaksi tentang Kekristenan
Ini adalah kesaksian tentang musik J. S. Bach yang membawa dua orang Jepang kepada
Yesus Kristus. Yuko Maruyama adalah seorang organis perempuan Jepang yang bekerja di
Minneapolis dan seorang pengikut Budha yang taat. Kini, perempuan itumenjadi seorang penganut
agama Kristen karena musik J. S. Bach. “Bach memperkenalkan saya kepada Tuhan, Yesus dan
kekristenan,” katanya kepada Metro Lutheran dalam majalah bulanan Twin Cities. “Ketika saya
bermain fuga, saya merasa Bach sedang berbicara kepada Tuhan.” Masashi Masuda, seorang pastor
Jesuit, datang kepada Yesus dengan cara yang hampir sama: “Saat pertama kali mendengarkan
Goldberg Variation karya Bach, saya tertarik kepada kekristenan.”Masuda mengajarkan Teologi di
Universitas Sophia di Tokyo.8
Alasan apa yang menyebabkan komposisi abstrak dari seorang komposer Jerman abad XVIII
mampu membawa orang-orang Asia kepada Yesus Kristus. Menurut Charles Ford, seorang profesor
matematika di St. Louis, hal ini disebabkan musik dari Bach mencerminkan sebuah susunan yang
memiliki keindahan sempurna yang bisa diterima oleh pikiran orang Jepang. Ford berkata bahwa hal
tersebut juga memiliki implikasi yang sama bagi orang Barat. Selanjutnya Henry Gerike, seorang
organis dan pemimpin paduan suara di Seminari Concordia di St. Louis, berpendapat, “Tuhan
menyatakan hal yang paling baik kepada kita untuk menikmati ciptaan-Nya melalui fuga ... .Namun,
tentu saja pesan yang paling penting bagi Bach kepada kita adalah Injil.”Gerike juga menggemakan
pernyataan Uskup Swedia Nathan Söderblom (1866 – 1931) bahwa cantata Bach adalah “Injil
kelima.” Penginjil Robert Bergt, seorang kepala dirijen dari tiga orkestra milik Akademi Musik
Musashino, mengatakan bahwa komposisi Bach menyebabkan para musisi, pendengar, penonton dan
mahasiswa bersentuhan dengan Firman Allah.
Selama Minggu Suci, pagelaran musik St. Matthew Passion dipadati penonton dan tiket
terjual habis meskipun harganya mencapai $600. Setelah konser berakhir, penonton mengerumuni
Maasaki Suzuki, sang dirijen di podium dan minta penjelasan tentang konsep orang Kristen mengenai
8
Netto Simon and Uwe, Bach in Japan (Eugene: Fortress Press, 2003), 36.
26
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
pengharapan dan kematian, sebuah topik yang dianggap tabu dibicarakan dalam masyarakat Jepang.
“Saya meneruskan pesan-pesan Bach, yang adalah pesan-pesan dari Alkitab juga,” begitu kata Suzuki.
Walaupun kekristenan di Jepang dilibas tetapi karena jasa Franciscus Xaverius dan pastur-pastur Jesuit
yang telah memperkenalkan Gregorian Chant dan sempat membuat organ dari bamboo kepada
masyarakat Jepang sekitar 400 tahun yang lalu, menyebabkan unsur-unsur musik barat telah
merembes masuk ke dalam lagu rakyat tradisional Jepang. Hal ini pula yang menyebabkan melodi dan
harmoni Bach menarik bagi masyarakat Jepang. Empat ratus tahun kemudian, fakta menggegerkan
menunjukkan bahwa puluhan ribu orang Jepang datang kepada Kristus melalui Bach.9
E. KESIMPULAN
Bach, seorang komposer dan teolog juga merupakan pembawa kesaksian kebenaran bagi
zamannya dan juga zaman kita. Walaupun tak begitu dikenal dan tidak dihargai sebagai komposer,
Bach terus melahirkan musiknya dalam konteks pelayanan kepada Allah. Motivasinya yang terutama
untuk membuat komposisi musik ialah memuliakan Allah. Selama Bach melayani Tuhannya Yesus
Kristus, Bach membuat karya demi karya sebagai sarana untuk menyatakan kebenaran Firman Tuhan.
Pada masa Pietisme dan Rasionalisme, Bach menganut ajaran Lutheran yang ortodoks karena
keyakinannya kepada Firman Allah. Lagi pula, ia mengasihi Firman Allah sehingga ia menyusun dan
memasangkan kata-kata firman itu kepada musiknya. Seluruh yang telah diperbuatnya, ia perbuat
hanya bagi kemuliaan Allah (soli Deo gloria).
9
Netto Simon and Uwe, Bach in Japan (Eugene: Fortress Press, 2003), 36.
27
JURNAL TEOLOGI DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN
SHIFTKEY 2015
DAFTARPUSTAKA
Aritonang, Jan S. dan Chr. de Jonge. Apa dan Bagaimana Gereja. Jakarta: GunungMulia, 2009.
________. Berbagai Aliran di dalam dan di SekitarGereja. Jakarta: GunungMulia, 2008.
Ewen, David. The Home Book of Musical Knowledge. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc., 1965.
Hofreiter, Paul. Johann Sebastian Bach and Scripture: “O God, from Heaven Look Down”. Concordia
Theological Quarterly: volume 59; November 1-2, January – April 1995.
Simon, Netto and Uwe. Bach in Japan. Eugene: Fortress Press, 2003.
Engel, James. Johann Sebastian Bach: Some Theological Perspectives. (ceramahilmiah di Wisconsin
Lutheran Seminary Padabulan September 27, 1985, oleh Professor Engel dari the Music
Department at Dr. Martin Luther College, New Ulm, Minnesota, untukmemperingati 300
tahun Bach).
Yudkin, Jeremy. Understanding Music (ed. kedua).New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1999.
28
Download