JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010 PERS INDONESIA

advertisement
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
PERS INDONESIA SEBAGAI ALAT KONTROL SOSIAL
Nurliasari
Staf Pengajar Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika
Abstract
Press has the two meanings, first is printed media reffers to newspapers, tabloids, and
magazines. And the other is the broad sense. The press is not only refer to the print media but also
includes periodic electronic media auditif audiovisual and electronic media that is periodic radio,
television, and internet. The second meaning is called mass media. In Indonesian law, press was
regulated by press article 1, paragraph (1) of Law Press. 40/1999, the press is a social institution and
mass communication journalism activities include conducting the search, obtain, own, store, process
and convey information both in writing, sound, and image, and data and graphs and in using other
forms of media print, electronic media, and all types of channels are available.
Keywords : press, sosial control
I. PENDAHULUAN
Era reformasi telah membawa
perubahan signifikan pada wajah pers di
Indonesia. Media massa sebagai salah satu
pilar
demokrasi
mendapatkan
aura
kebebasannya. Lahirnya Undang-undang No.
40 tahun 1999 di era Presiden B.J. Habibie
memberikan jaminan atas kebebasan pers di
tanah air. Tidak ada lagi pembredelan, namun
sejalan dengan itu, pers memiliki tanggung
jawab yang lebih besar dalam melakukan
kontrol sosial dan pendidikan terhadap
masyarakat. Undang-undang No. 40 tahun
1999 menekankan pers adalah wahana
komunikasi massa, penyebar informasi dan
pembentuk opini. Kemerdekaan pers ini
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat
dan menjadi unsur yang penting untuk
menciptakan
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang demokratis
sebagai implementasi Undang-Undang Dasar
1945.
Karena itu, apakah informasi atau
opini yang menjadi produk media massa
kebebasannya dilindungi oleh undang-undang.
Undang-undang menjamin kemerdekaan pers
sebagai hak asasi warga negara. Dalam
Perubahan-perubahan yang melanda
jurnalisme di Indonesia membuat pakar media
berpendapat bahwa kini yang penting bukan
lagi merumuskan apa dan siapa wartawan itu,
tetapi
apa
pekerjaan
mereka
yang
sesungguhnya. Telah disebutkan bahwa tujuan
utama dari jurnalisme adalah menyediakan
informasi yang akurat dan terpercaya kepada
warga masyarakat agar dengan informasi
tersebut mereka dapat berperan membangun
implementasinya
pers
berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah. Kemerdekaan pers itu dibingkai
dalam tanggung jawab profesionalitas.
Profesionalitas pers itu diukur dalam
implementasi etik jurnalistik sebagai ramburambu moral.
Sekarang ini memang kita sadari,
kian maraknya media-media baru yang
bermunculan. Baik cetak maupun elektronik,
hal itu terlihat sejak lengsernya Presiden
Soeharto sebagai orang nomor satu pada tahun
1998. Sejak itulah tonggak awal media mulai
mendapatkan pencerahan, dalam hal ini
kebebasan pers. Hal ini bertujuan juga sebagai
alat kontol sosial untuk para petinggi-petinggi
negara yang ditunjuk untuk menjalankan roda
politik, sosial, pendididkan, ekonomi. Seperti
apakah pers yang mampu menjalankan
fungsinya sebagai kontrol sosial.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Prinsip Prinsip Jurnalisme
sebuah masyarakat yang bebas. Hal ini
mencakup tugas yang banyak sekali, misalnya,
membantu
memperbaiki
kehidupan
masyarakat,
menciptakan
bahasa
dan
pengetahuan umum, mengidentifikasi apa
yang dicita-citakan masyarakat, merumuskan
siapa yang pantas disebut pahlawan atau
penjahat, dan mendorong orang-orang untuk
lebih dari sekadar berpuas diri. Tujuan ini juga
mencakup keperluan-keperluan lain seperti
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
hiburan, menjadi penjaga ( watchdog ), dan
menyuarakan kepentingan dari mereka yang
tidak memliki suara.
Dari penelitian terhadap tugas dan
pekerjaan para wartawan tersebut, akhirnya
disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada
sembilan inti prinsip jurnalisme yang harus
dikembangkan.
a.
b.
c.
komunikasi yang lain seperti propaganda,
fiksi, atau hiburan.
d.
Kewajiban pertama jurnalisme adalah
pada kebenaran. Demokrasi tergantung
pada warga yang mendapatkan fakta yang
akurat dan terpercaya yang diletakkan
dalam sebuah konteks yang tepat dan
memiliki makna. Jurnalisme bukan
mengejar kebenaran dalam pengertian
yang absolute dan filosofis, tetapi bisa dan
harus
mengejar
kebenaran
dalam
pengertian yang praktis. Kebenaran
jurnalistik ini adalah suatu proses yang
dimulai dengan disiplin dan profesional
dalam pengumpulan dan verifikasi fakta.
Walaupun kita hidup dalam dunia dengan
suara-suara yang terus berkembang,
akurasi tetap menjadi dasar dimana segala
sesuatu dibangun di atasnya.
Loyalitas pertama jurnalisme adalah
kepada masyarakat. Bila wartawan harus
menyediakan berita tanpa rasa takut dan
memihak, maka mereka harus memelihara
kesetiaan kepada warga masyarakat dan
kepentingan publik yang lebih luas di atas
yang lainnya. Prioritas komitmen kepada
warga masyarakat ini adalah basis dari
kepercayaan sebuah audiences yang luas
dan setia. Pada saatnya, sukses ekonomi
akan menyusul kemudian.
Inti jurnalisme adalah disiplin untuk
melakukan
verifikasi.
Wartawan
mengandalkan
diri
pada
disiplin
professional untuk memverifikasikan
informasi. Ketika konsep objektifitas
semula disusun, tidak berarti bahwa
wartawan itu terbebas dari prasangka.
Unsur objektif adalah metodenya, tidak
wartawannya. Mencari berbagai saksi,
menyingkap sebanyak mungkin sumber,
atau bertanya berbagai pihak untuk
komentar, semua mengisyaratkan adanya
standar yang profesional. Disiplin
verifikasi inilah yang membedakan
jurnalisme
dengan
bentuk-bentuk
Para wartawan harus memiliki kebebasan
dari sumber yang mereka liput. Kebebasan
adalah syarat dasar dari jurnalisme. Ia
menjadi
sebuah
landasan
dari
kepercayaan. Kebebasan jiwa dan
pemikiran adalah prinsip yang harus
dijaga oleh wartawan. Walaupun editoriali
dan komentator tidak netral, namun
sumber dari kredibilitas mereka adalah
tetap, yaitu akurasi, kejujuran intelektual,
dan kemampuan untuk menyampaikan
informasi,
bukan
kesetiaan
pada
kelompok atau hasil tertentu.
e. Wartawan harus mengemban tugas
sebagai pemantau yang bebas terhadap
kekuasaan. Prinsip ini menekankan
pentingnya para penjaga (watchdog).
Sebagai wartawan, kita wajib melindungi
kebebasan peran jaga ini dengan tidak
merendahkannya,
misalnya
dengan
menggunakannya secara sembarangan
atau
mengeksploitasikannya
untuk
keuntungan komersial.
f.
Jurnalisme harus menyediakan forum
untuk kritik dan komentar publik. Diskusi
publik ini bisa melayani masyarakat
dengan baik jika mereka mendapatkan
informasi berdasarkan fakta, dan bukan
atas prasangka atau dugaan-dugaan.
Selain itu, berbagai pandangan dan
kepentingan dalam masyarakat harus
terwakili dengan baik. Akurasi dan
kebenaran mengharuskan bahwa sebagai
penyusun diskusi publik, kita tidak boleh
mengabaikan titik-titik persamaan dasar
sehingga
penanggulangan
masalah
dimungkinkan.
g.
Jurnalisme harus berusaha membuat yang
penting menjadi menarik dan relevan.
Jurnalisme adalah cerita dengan suatu
tujuan. Karena itu jurnalisme harus
berbuat lebih dari sekadar mengumpulkan
audiens atau membuat daftar penting.
Demi mempertahankan hidupnya sendiri,
jurnalisme harus mengimbangi antara apa
yang menurut pengetahuan pembaca
mereka inginkan dengan apa yang mereka
tidak bisa harapkan tetapi sesungguhnya
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
mereka butuhkan. Pendeknya jurnalisme
harus berusaha membuat yang penting
menjadi menarik dan relevan. Kualitasnya
diukur dari sejauhmana suatu karya
melibatkan audiens atau mencerahkannya.
h.
Wartawan harus menjaga agar berita itu
proporsional dan komprehensif.
Prinsip di sini adalah jurnalisme adalah
suatu bentuk dari kartografi. Ia
menciptakan sebuah peta bagi warga
masyarakat guna menentukan arah
kehidupan. Menjaga berita agar tetap
proporsional dan tidak menghilangkan
hal-hal penting adalah juga dasar dari
kebenaran. Menggelembungkan peristiwa
demi sensasi, mengabaikan sisi-sisi yang
lain, stereotip atau bersikap negatife
secara tidak seimbang akan membuat peta
menjadi kurang dapat diandalkan.
i.
Pers harus memerankan dirinya sebagai
wahana rekreasi yang menyenangkan
sekaligus yang menyehatkan bagi semua
lapisan masyarakat. Artinya apapun pesan
rekreatif yang disajikan mulai dari cerita
pendek sampai kepada teka-teki silang
dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif
apalagi destruktif. Pers harus jadi sahabat
setia pembaca dan penonton yang
menyenangkan. Karena itulah berbagai
sajian hiburan yang bersifat menyesatkan,
harus dibuang jauh-jauh dari pola fikir
dan pola perilaku pers sehari-hari.
2. Kontrol sosial sebagai salah satu fungsi
pers
Dalam berbagai literatur komunikasi dan
jurnalistik disebutkan terdapat lima fungsi
utama pers yang berlaku universal. Disebut
universal, karena kelima fungsi tersebut dapat
ditemukan pada setiap negara di dunia yang
menganut paham demokrasi, yaitu :
a.
b.
c.
Informasi
Fungsi pertama dari lima fungsi utama
pers ialah menyampaikan informasi
secepat-secepatnya kepada masyarakat
yang seluas-luasnya. Setiap informasi
yang disampaikan harus memenuhi
kriteria dasar : aktual, akurat, faktual,
menarik atau penting, benar, lengkaputuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimbang,
relevan, bermanfaat, etis.
Edukasi
Apapun informasi yang disebarluaskan
pers
hendaknya
dalam
kerangka
mendidik. Inilah antara lain yang
membedakan pers sebagai lembaga
kemasyarakatan
dengan
lembaga
kemasyarakatan yang lain. Sebagai
lembaga ekonomi pers memang dituntut
berorientasi komersial untuk memperoleh
keuntungan finansial. Namun orientasi
dan misi komersial itu sama sekali tidak
boleh mengurangi, apalagi meniadakan
fungsi dan tanggung jawab sosial pers.
Dalam istilah sekarang, pers harus mau
dan mampu memerankan dirinya sebagai
guru bangsa.
Rekreasi
Wartawan itu memiliki kewajiban utama
terhadap suara hatinya.
Setiap wartawan harus memiliki rasa etik
dan tanggung jawab. Kita harus mau, bila
rasa keadilan dan akurasi mewajibkan
untuk menyuarakan perbedaan dengan
rekan-rekan kita, apakah itu di ruang
redaksi atau di kantor eksekutif.
d.
Mediasi
Mediasi artinya penghubung. Bisa juga
disebut sebagai fasilitator atau mediator.
Setiap hari pers melaporkan berbagai
peristiwa yang terjadi di dunia dalam
lembaran-lembaran yang tertata rapi dan
menarik. Dengan kemampuan yang
dimilikinya, pers telah menghubungkan
berbagai peristiwa yang terjadi di belahan
bumi itu dengan kita yang sedang duduk
di ruang tamu atau sedang bersantai di
sofa. Karena pers, kita bisa mengetahui
aneka peristiwa lokal, nasional, regional,
dan internasional dalam waktu singkat
dan bersamaan. Singkat, karena kita
hanya memerlukan beberapa menit untuk
mengetahuinya. Bersamaa, karena pada
halaman yang sama, disajikan juga berita
tentang peristiwa sejenis atau peristiwa
lain dari tempat yang berbeda.
e.
Koreksi ( Kontrol Sosial )
Pers adalah pilar demorasi yang keempat
setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam kerangka ini, kehadiran pers
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
dimaksudkan untuk mengawasi dan
mengontrol
kekuasaan
legislatif,
eksekutif, dan yudikatif agar kekuasaan
mereka tidak menjadi korup dan absolute.
Untuk itulah dalam negara-negara
penganut
paham
demokrasi,
pers
mengemban fungsi sebagai pengawas
pemerintah dan masyarakat. Pers akan
senantiasa menyalak ketika melihat
berbagai penyimpangan dan ketidak
adilan dalam suatu masyarakat atau
negara. Dengan fungsi kontrol sosial yang
dimilikinya itu, pers bisa disebut sebagai
institusi sosial yang tidak pernah tidur. Ia
juga senantiasa bersikap independen atau
menjaga jarak yang sama terhadap semua
kelompok dan organisasi yang ada.
Betapapun
demikian,
perlu
ditegaskan, pers bukanlah hakim yang
.
Pers memainkan berbagai peranan
dalam masyarakat. Bernard C. Cohen dan
Bryce T. McIntyre dalam Sularto (2001)
menyebutkan bahwa beberapa peran umum
yang dijalankan pers diantaranya sebagai
pelapor. Di sini pers bertindak sebagai telinga
publik yang melaporkan peristiwa-peristiwa di
luar pengetahuan masyarakat dengan netral
dan tanpa prasangka.
Tugas sebagai pelapor ini juga
diwujudkan ketika pers kadangkala berperan
sebagai alat pemerintah, misalnya ketika ada
siaran langsung pidato atau komentar presiden
di televisi. Tentu saja dalam peran tersebut
pers harus tetap netral. Memang, dalam
perkembangan sejarah, media kerap dijadikan
saluran untuk penyebaran pernyataanpernyataan
pemerintah
yang
sering
dieksploitasi oleh tokoh-tokoh politik yang
berkuasa.
Selain sebagai pelapor, pers juga
memiliki peran sebagai interpreter yang
memberikan penafsiran atau arti pada suatu
peristiwa. Di sini selain melaporkan peristiwa,
pers menambah bahan dalam usaha
menjelaskan artinya, misalnya analisis berita
atau komentar berita.
Cohen melaporkan juga bahwa ada
yang melihat pers sebagai wakil dari publik .
Hal ini benar bagi politikus, yang menganggap
laporan atau berita mengenai reaksi
masyarakat adalah barometer terbaik bagi
berhasilnya suatu kebijakan.
berhak memvonis, atau jaksa yang berhak
melakukan tuntutan dan dakwaan. Bukan
pula polisi yang berhak melakukan
penangkapan,
penyelidikan,
dan
penyidikan.
Apa
artinya?
Dalam
mengemban fungsi kontrol sosial, pers
pun tunduk pada ketentuan perundangundangan yang berlaku. Pers tidak steril
dari norma-norma sosial budaya agama
setempat. Pers tidak kebal hukum, pers
tidak bisa dianggap sebagai hukum itu
sdendiri. Siapapun yang dirugikan oleh
pers bisa mengajukan gugatan hukum
apabila penyelesaian melalui koridor yang
ada seperti penggunaan hak koreksi, hak
jawab, dan pengajuan nota keberatan
terhadap dewan pers dianggap tidak
memuaskan
3. Peranan Pers Kepada Masyarakat
Pers juga berperan sebagai pengritik
terhadap pemerintah. Konsep yang sudah
disebutkan di atas adalah penjaga. Terakhir,
Cohen dalam Hamad (2004) menyebutkan
bahwa pers sering berperan sebagai pembuat
kebijaksanaan dan advokasi. Peran ini
terutama tampak pada penulisan editorial dan
artikel, selain juga tercermin dari jenis berita
yang dipilih untuk ditulis oleh para
wartawannya dan cara menyajikannya.
Kontrol sosial bukanlah bisa dari
kebebasan pers, namun merupakan tanggung
jawab dan kewajiban pers itu sendiri. Kontrol
sosial itu dilakukan dalam konteks pers
memiliki peran melakukan pendidikan sosial
kepada masyarakat. Upaya media massa
membentuk opini publik adalah tanggung
jawab melakukan pendidikan terhadap
masyarakat.
Undang-undang
dasar
mengisyaratkan, masyarakat harus dicerdaskan
dan peran itu sebagian diambil oleh pers.
Bagaimana tanggung jawab pers memberikan
informasi
secara
profesional
kepada
masyarakat?
a. Unsur layak berita. Informasi yang
disampaikan di media massa secara dasar
harus memenuhi unsur 5 W+1H.
b. Informasi yang disampaikan harus
berimbang
c. Akurat dalam menyajikan fakta
d. Jujur tidak berprasangka
e. Mematuhi ketentuan kode etik jurnalistiK.
f. Terhindar dari kemungkinan tuntutan
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
hukum.
g. Mempertimbangkan
publik
aspek
pendidikan
4. Tujuh Dosa Jurnalistik dan Fungsi Sosial
Media Massa
Akhir-akhir ini muncul beberapa
pendapat
mengenai
jurnalisme
yang
dipraktekkan di Indonesia. Ada yang
menyodorkan nama jurnalisme bermakna. Ada
pula yang ingin mengintrodusir jurnalisme
patriotisme. Pada waktu Orde Baru sudah
dikenal istilah jurnalisme pembangunan.
Di masa reformasi muncul istilah
jurnalisme selera rendah, yang mengemas
berita gosip, sensasi, konflik dan seks menjadi
berita yang laku dijual tanpa memerdulikan
etika, kepatutan, dampak negatif dan kode etik
jurnalistik.
Ada pula istilah jurnalisme plintiran,
yang
memutarbalikkan
fakta
dan
mencampuraduk antara fakta dan opini. Ada
pula praktek jurnalisme talang-air, yang
menuangkan begitu saja informasi dari
lapangan atau sumber berita ke halaman
suratkabar tanpa dipilah-pilah terlebih dahulu
melalui kacamata kepentingan masyarakat,
bangsa dan negara.
Di tengah-tengah kecenderungan
menonjolnya semangat desentralisasi yang
menjurus ke arah disintegrasi bangsa,
sebaiknya ada bentuk jurnalisme yang baik
untuk dipraktekkan di Indonesia.
Ada
satu
gagasan
untuk
mewacanakan
jurnalisme
berwawasan
kebangsaan
atau
disingkat
jurnalisme
berwawasan, suatu bentuk jurnalisme yang
mengemas informasi menjadi berita atau
tulisan yang mengedepankan kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam hal ini perlu disimak apa yang
dikemukakan oleh jurnalis dan ahli sejarah
Amerika Serikat Paul Johnson dalam Hamad
(2004), berdasarkan pengalaman langsung
serta pengamatannya di negaranya, tentang
adanya
praktek
menyimpang
dalam
melaksanakan kebebasan pers di negaranya. Ia
menyebutnya “tujuh dosa yang mematikan”
(seven deadly sins).
1. Pertama: Distorsi Informasi.
Praktek distorsi informasi ini lazim
dilakukan
dengan
menambah
atau
mengurangi
informasi
baik
yang
menyangkut opini maupun ilustrasi faktual,
h. Disajikan secara jernih
i. Ditulis dengan bahasa yang hemat dan
jelas
yang tidak sesuai dengan sumber aslinya
dengan akibat makna menjadi berubah.
2. Kedua: Dramatisasi fakta palsu
Dramatisasi ini dipraktekkan dengan
memberikan illustrasi secara verbal, auditif
atau visual yang berlebihan tentang suatu
obyek. Dalam media cetak cara ini dapat
dilakukan secara naratif (dalam bentuk katakata) atau melalui penyajian foto atau
gambar tertentu dengan tujuan untuk
membangun suatu citra negatif dan
stereotip. Dalam media audio-visual (TV)
dramatisasi ini dilakukan dengan teknik
pengambilan gambar dan pemberian soundeffects yang sesuai dengan tujuan
penyampaian pesan.
3. Ketiga: Mangganggu “privacy”.
Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam
peliputan kehidupan kalangan selebritis dan
kaum elite, terutama yang diduga terlibat
dalam suatu skandal. Berbagai cara
dilakukan, antara lain melalui penyadapan
telepon, penggunaan kamera dengan
telelens, dan sering pula wawancara dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat sangat pribadi, memaksa atau
menjebak. Kesempatan wawancaranya juga
diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan
oleh pihak yang diwawancarai.
4. Keempat: Pembunuhan karakter.
Praktek ini umumnya dialami secara
individu, kelompok atau organisasi/
perusahaan, yang diduga terlibat dalam
perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya
dilakukan
dengan
mengeksploitasi,
menggambarkan dan menonjolkan segi atau
sisi “buruk” mereka saja. Padahal
sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
5. Kelima: Eksploitasi seks.
Praktek eksploitasi seks tidak hanya menjadi
monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut
juga dilakukan dalam pemberitaan dengan
cara menempatkan di halaman depan
suratkabar tulisan yang bermuatan seks.
6. Keenam: Meracuni benak pikiran anak.
Praktek ini dilakukan di dunia periklanan
dengan cara menempatkan figur anak-anak.
Akhir-akhir ini praktek serupa semakin
meningkat dengan penonjolan figur anakanak
sebagai
sasaran-antara
dalam
memasarkan berbagai macam produk.
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
7. Ketujuh: Penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of the power).Penyalahgunaan kekuasaan
tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat
pemerintahan, tetapi juga di kalangan
pemegang
kontrol
kebijakan
editor
pemberitaan media massa.
Ketujuh dosa jurnalistik tersebut,
menurut ahli komunikasi massa dari
Universitas Indonesia, Sasa Djuarsa Sendjaja
dalam Hamad (2004), yang disebutnya pula
sebagai praktek jurnalistik yang menyimpang,
terjadi juga di Indonesia, terutama dilakukan
media massa yang baru terbit.
Praktek jurnalistik yang menyimpang.
raktek pemberitaan lain yang menyimpang
dari kaidah jurnalistik, yang menonjol di
Indonesia, menurut ahli komunikasi massa ini,
adalah:
1. Eksploitasi judul
Cara ini sering dipraktekkan dengan
membuat judul yang tidak sesuai dengan isi
beritanya. Biasanya judul tersebut bernada
agitatif, emosional dan tidak jarang seronok.
Cara ini ditempuh untuk menarik perhatian
pembaca dan sebagai senjata utama untuk
meningkatkan sirkulasi.
2. Sumber berita “konon kabarnya”. Tidak
jarang pula sumber berita “konon kabarnya”
atau “menurut sumber informasi yang tidak
terpengaruh oleh gosip dan rumor.
5. Fungsi sosial media massa
Di mana hubungan antara peranan pers
dengan usaha memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini? Dalam hal
ini kita perlu merenungkan apa yang ditulis
oleh ahli komunikasi Laswell dalam Luwi
(2005) mengenai fungsi sosial media massa.
Menurut mereka ada empat fungsi sosial
media massa:
a. Pengamatan sosial (social surveillance).
Media massa hendaknya menyebarkan
informasi dan interpertasi yang obyektif
mengenai berbagai peristiwa yang terjadi
di dalam dan di luar lingkungan sosial
dengan tujuan melakukan kontrol sosial
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
b.
Korelasi sosial (social correlation).
Media massa hendaknya memberikan
informasi
dan
interpretasi
yang
mau disebut namanya dipraktekkan. Padahal
salah satu implikasi dari prinsip obyektivitas
adalah adanya kejelasan identitas dari
berbagai sumber berita yang dirujuk.
3. Dominasi opini elit dan kelompok
mayoritas. Pada umumnya media massa di
Indonesia masih cenderung mengutamakan
pemuatan opini, pendapat atau pernyataan
kalangan elit dan mayoritas saja, misalnya
para pakar, tokoh politik, kalangan selibritis,
pejabat pemerintah, tokoh agama atau
pengusaha. Aspirasi atau pendapat kalangan
masyarakat bawah atau minoritas (secara
etnis dan agama) kurang mendapatkan
perhatian.
4. Penyajian informasi yang tidak investigatif.
Pola penyajian informasi sebagiann besar
media massa di Indonesia kurang bersifat
investigatif. Banyak di antaranya hanya
menjual issue tetapi kurang melengkapinya
dengan pemberian makna dan interpretasi
yang obyektif, komprehensif dan mendalam.
Dalam hal ini perlu diperhatikan kondisi
sosio-demografis masyarakat Indonesia,
khususnya dalam hal tingkat pendidikan
masih banyak masyarakat kita yang belum
mampu memilih dan memilah informasi
secara kritis dan obyektif. Mereka mudah
sekali
menghubungkan satu kelompok sosial
dengan kelompok sosial lainnya atau
antara satu pandangan dengan pandangan
lainnya
dengan
tujuan
mencapai
konsensus.
c.
Sosialisasi (socialization).
Media massa hendaknya mewariskan
nilai-nilai (yang baik) dari satu generasi
ke generasi lainnya atau dari satu
kelompok ke kelompok lainnya.
4.
Hiburan (entertainment).
Media massa juga mempunyai tugas
untuk memberikan hiburan yang sehat dan
kesenangan kepada masyarakat.
Tetapi
menurut
pengamatan
ahli
komunikasi massa dari Universitas Indonesia
Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D, dalam Syamsul
(1999) dari keempat fungsi sosial media massa
tadi, maka yang paling menonjol dilakukan
oleh media massa di Indonesia adalah fungsi
keempat (hiburan), sedangkan ke tiga fungsi
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
sosial yang lain kurang mendapat perhatian.
Dalam hal ini ia mengambil contoh
pemberitaan mengenai “konflik”, yang akhirakhir ini sering menempati halaman depan
media cetak dan menjadi berita utama media
elektronik. Jika ditilik dari fungsi pengamat
sosial media massa, seharusnya berita tentang
konflik tadi dikemas sedemikian rupa, agar
masyarakat waspada dan mencegah agar
konflik tidak meluas.
Sedangkan penyajian opini dari para elit
politik atau kelompok yang bertikai, jika
ditilik dari fungsi korelasi sosial media massa,
seharusnya dikorelasikan dengan opini dari
berbagai kalangan masyarakat lainnya baik
secara vertikal maupun horisontal.
Hal ini berarti isi pemberitaan tidak
hanya menyajikan pandangan atau pernyataan
pihak-pihak yang bertikai. Pandangan dan
pendapat dari berbagai kalangan masyarakat
baik lapisan atas, menengah maupun bawah
perlu juga disajikan secara eksplisit termasuk
dampak konflik terhadap kehidupan nyata
masyarakat sehari-hari.
Tujuannya
adalah
mencapai
konsensus agar konflik dapat segera berakhir,
karena disadari bersama bahwa yang menjadi
korban dari konflik tersebut adalah
masyarakat.
Sedangkan
mengenai
fungsi
sosialisasi dalam kasus konflik tersebut, media
massa hendaknya menyebarluaskan pesan
tentang perlunya menjaga integrasi bangsa
dalam menghadapi konflik tadi.
Dalam hal ini yang sangat relevan
adalah mensosialisasikan tentang perlunya
toleransi dan apresiasi terhadap perbedaan
dalam hubungannya dengan suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA), juga tentang
perlunya menegakkan supremasi hukum serta
anti segala bentuk tindakan kekerasan.
Kunci untuk tidak terjerumus ke
dalam “tujuh dosa jurnalistik”, untuk tidak
melakukan
praktek
jurnalistik
yang
menyimpang dan melaksanakan empat fungsi
sosial media massa adalah melalui pendidikan
dan pelatihan jurnalistik yang terarah dan
terprogram
guna
meningkatkan
profesionalisme.
Di samping itu perlu pula dilakukan
usaha sosialisasi kode etik jurnalistik guna
memantapkan
penghayatan
serta
pengamalannya. Jika kode etik jurnalistik baik
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI maupun
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar oleh
insan pers Indonesia, wajah kehidupan
masyarakat baik dari sisi politik, ekonomi dan
sosial akan menyejukkan dan membersitkan
wajah yang penuh harapan serta optimisme.
6. Fungsi Pemberitaan
Halsberstam dalam Sumadiria (2005)
bahawa fungsi utama pemberitaan bukanlah
untuk memperingatkan, menginstruksikan, dan
membuat
khalayak
tercengang;
tetapi
memberitahu. Setelah memberitahu khalayak,
terserah khalayak untuk memanfaatkan sebuah
berita. Tetapi, kalau sebuah berita hanya
berhenti sampai memberitahu saja, maka berita
itu disebut tidak bermanfaat bagi khalayak
Akan bermanfaat bila mengusahakan
berita
sebagai
pengetahuan
umum,
pengetahuan umum adalah pengertianpengertian bersama tentang satu hal yang bisa
dimanfaatkan khalayak untuk berinteraksi
sosial. Bila seorang individu tidak memiliki
pengetahuan umum, biasanya ia tidak berdaya
dalam berinteraksi dengan individu atau
kelompok lain. Tidak heran kalau pengetahuan
umum menjadi bagian yang penting dari
kehidupan khalayak.
Pengalaman menunjukkan, bahan
baku pengetahuan umum adalah informasi.
Agar menjadi pengetahuan umum, informasi
harus diinterpretasikan dan diberi konteks
tertentu (Ericson, Baranek dan Chan; 1987).
Sedangkan yang bisa digolongkan sebgai
informasi antara lain: berita, laporan, data
statistik,
peraturan-peraturan,
keputusankeputusan penting, resolusi. Kenyataan ini
menimbulkan
pendapat
bahwa
usaha
menjadikan berita menjadi pengetahuan umum
bisa ditempuh dengan menginterpretasikan
berita dan memberinya konteks tertentu.
Lalu,
siapa
yang
harus
menginterpretasikan berita dan memberinya
konteks tertentu? Jawabnya, khalayak. Tetapi,
para wartawan perlu merangsang khalayak
untuk melakukannya. Dengan menyiarkan
berita yang memiliki nilai sosial dan
menguntungkan kepentingan umum. Sebuah
berita disebut menyiarkan berita yang
memiliki nilai sosial kalau berita tersebut
memenuhi kepentingan umum. Berita tentang
pertengkaran suami-istri dan ulang tahun
pejabat pemerintah bukanlah berita yang
memenuhi kepentingan umum.
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
Sedangkan
berita
disebut
menguntungkan kepentingan umum, kalau
berita tersebut tidak mendikte khalayak.
Sebuah berita yang menyiarkan informasi
yang berasal dari hanya satu narasumber jelas
tidak menguntungkan kepentingan umum.
Disamping khalayak tidak mendapatkan
gambaran permasalahan dari berbagai pihak,
khalayak seolah-olah dipaksa untuk mengikuti
pendapat satu orang saja.
Kalau selama ini para pengamat
menilai bahwa khalayak belum bisa
menjadikan berita-berita yang disiarkan pers
7. Berita Sebagai Alat Kontrol Sosial
Maksud berita sebagai alat kontrol
sosial adalah: memberitakan peristiwa yang
buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan
ihwal yang menyalahi aturan, supaya peristiwa
buruk tidak terulang lagi dan kesadaran
berbuat baik serta mentaati peraturan makin
tinggi. Makanya berita sebagai alat kontrol
sosial bisa disebut berita buruk.
Selama ini ada pendapat yang dianut
oleh banyak orang bahwa berita buruk akan
melahirkan hal yang buruk pula. Misalnya:
berita menyeluruh tentang Organisasi Papua
Merdeka dikhawatirkan akan mengancam
persatuan nasional. Ericson, Baranek dan Chan
dalam Ishwara (2005). Akhir-akhir ini, di
negara maju, berkembang pendapat bahwa
berita buruk justru melahirkan pelajaran yang
baik untuk memperkuat nilai dan identitas
kolektif yang sudah dimiliki Sebab, khalayak
cenderung memproyeksikan keadaan yang
mereka lihat pada diri mereka. Begitu mereka
melihat kehidupan Organisasi Papua Merdeka
yang tidak enak dan tidak tentram. Saat itu
pula mereka tidak ingin meniru mereka.
Pada sisi yang lain, penyiaran berita
buruk tentang sebuah lembaga pemerintah bisa
melahirkan opini publik yang baru dan citra
yang baru pula tentang lembaga pemerintah
Reformasi yang bergulir sejak 1998
lalu berdampak pada perwajahan pers di
Indonesia. Secara legal formal hal tersebut
ditandai dengan adanya undang-undang No. 40
tahun 1999, yang intinya menjamin kebebasan
pers. Pers di sini penekananya lebih mengarah
pada berita cetak. Namun pada aplikasinya
tidak seperti yang diduga sebelumnya. Pada
tatanan aplikatif ternyata terjadi disfungsi pers
sebagai kontrol sosial. Terjadi penyimpangan
terhadap semangat undang-undang No. 40.
Terjadi fenomena keliaran dalam penyampaian
Indonesia sebagai pengetahuan umum, maka
menjadi tantangan bagi pers Indonesia untuk
menyiarkan berita yang memenuhi dan
menguntungkan
kepentingan
umum.
Andaikata pers Indonesia bisa menjadikan
berita sebagai pengetahuan umum, pers
Indonesia telah memberikan sumbangan yang
sangat berarti bagi peningkatan daya nalar
khalayak. Bukankah pengetahuan umum bisa
dijadikan khalayak untuk mengontrol diri dan
lingkungan mereka?
tersebut. Biarpun begitu, ia bisa merangsang
gagasan-gagasan dari khalayak untuk ikut
membantu memperbaiki lembaga pemerintah
tersebut. Kalau berita itu tidak disiarkan,
bukan mustahil gagasan-gagasan khalayak
untuk memperbaiki lembaga tersebut tidak
muncul.
Bagi individu yang terlibat langsung
dalam sebuah berita buruk penyiaran beritanya
akan membuat ia selalu ingat bahwa khalayak
tahu ia pernah teledor dan khilaf. Ingatan ini
akan membuatnya berusaha untuk tidak
mengulangi kesalahan yang sama. Ini
dimungkinkan karena sesungguhnya seorang
individu akan merasa gundah dan resah bila
khalayak tahu ia pernah berbuat salah.
Kalau selama ini ada kekhawatiran
bahwa berita sebagai kontrol sosial akan
meresahkan
khalyak
dan
merugikan
kepentingan umum, kenyataan di atas
menimbulkan pendapat bahwa berita sebagai
kontrol sosial lebih banyak mendatangkan
keuntungan daripada kerugian. Salah satu
keuntungan itu adalah merangsang timbulnya
gagasan-gagasan khalayak.
III. KESIMPULAN
berita cetak yang terjadi. Seharusnya pers
lebih bertanggung jawab terhadap khalayaknya
dalam hal ini masyarakat, termasuk juga
aparatur serta birokrat. Kontrol sosial yang
menjadi tanggung jawab pers sudah
mengalami disfungsi.
Perangkat
undang-undang
yang
menjadi pijakan pers dalam menjalankan
fungsinya seperti disalah artikan oleh pers
sendiri. Seharusnya pers diharapkan mampu
lebih memberikan kontribusi terhadap
pembangunan baik fisik maupun mental pada
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
masyarakat. Idealnya pers mengungkapkan
fakta yang terjadi pada kehidupan masyarakat
dalam tujuanya untuk membangun. Baik
membangun mental ataupun fisik. Dalam
DAFTAR PUSTAKA
Dewabrata, A.M. 2004, Kalimat Jurnalistik,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
Hamad, Ibnu.
2004, Konstruksi Realitas
Politik dalam Media Massa, Jakarta: Granit.
Ishwara, Luwi. 2005, Catatan-Catatan
Jurnalisme Dasar, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas,
Romly, M. Asep Syamsul, 1999, Jurnalistik
Praktis Untuk Pemula, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Sularto. 2001, Humanisme dan Kebebasan
Pers, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sumadiria, AS Haris. 2005, Jurnalistik
Indonesia, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
konteks ini, pers harus memperhatikan pola
penyampaian yang tidak menimbulkan
dampak negatif pada masyarakat.
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
2
Download