Mandatory Politik Pelawanan

advertisement
2005
Selama kurang lebih 7 tahun
sejak runtuhnya Orde Baru
banyak peristiwa besar terjadi,
Banyak perubahan besar
dihembuskan, banyak janji
politik diserukan, dan
perjalanan bangsa ini semakin
sulit untuk ditebak kemana akan
menuju.
Buku ini berbicara tentang para
aktor politik diranah demokrasi
yang menjadi impian bangsa
kita. Seperti apa mereka dalam
bertarung, saling menyodok,
dan apa pula sebenarnya lakon
yang harus kita simak, maka
jangan ragu untuk membaca
buku ini. Karena buku ini
menyajikan pentas yang paling
laris di negeri kita, sebuah
Pentas Politik!
Penulis
Amalinda Savirani
Arie Setyaningrum
Gerry van Klinken
Leo Agustino
Mimin Dwi Hartono
Nuraini Juliastuti
Ruthviana Mefi Hermawanti
I SBN 9 7 9 - 9 8 1 8 3 - 2 -X
POLITIK PERLAWANAN
Apa yang ada dalam benak kita
saat merenungkan makna dan
arti demokrasi? Dan apa pula
yang hinggap dalam pikiran kita
saat merefleksikan perjalanan
proses demokratisasi di negara
ini? Para pelakon menyajikan
atraksi politik yang penuh
dengan hingar bingar semenjak
arus deras reformasi bergulir.
Demokrasi berbicara tentang perlawanan terhadap
penindasan dan ketidakadilan. Sebuah demokrasi yang hanya
menunjukkan kehadiran lembaga-lembaga formal seperti
pemilu, sistem multipartai dan kebebasan pers hanyalah
sebuah lelucon ketika tidak mampu menghilangkan
penindasan dan ketidakadilan. Hanya perlawanan lah yang
memberi kontribusi penting atas masa depan dan prospek
dari sebuah demokrasi. Untuk itu Mandatory edisi kali ini
berniat mencermati tema “Politik Perlawanan” sebagai
bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi liberal.
9 789799 818324
Institute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga independen, nonpartisan, dan nonprofit, yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta.
Fokus kegiatan IRE adalah mengembangkan Governance Reform, Civic Culture dan Desa Asosiatif melalui penguatan gagasan, sikap kritis, serta tindakan taktis elemen
masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara. IRE bekerja di bawah Yayasan IRE FLAMMA dengan struktur organisasi dan personalia sebagai
berikut. Dewan Pengurus: Heru Nugroho, Suharko, Bambang Hendarta, Fajar Sudjarwo, Susetiawan. Dewan Penasehat: Cornelis Lay, Pratikno, Lambang Trijono. Dewan
Eksekutif: Sutoro Eko (Direktur), Arie Sujito (Deputi Direktur untuk Program), Sukasmanto (Deputi Direktur untuk Administrasi dan Keuangan). Keuangan: Sugeng Yulianto
(Manajer), Meilda Wiguna (Akuntan), Suparmo (Kasir). Administrasi Kantor: Rino Haniasti (Sekretaris), Heri Purwanto (IT), Latifah (Pustakawati), Triyanto (staff Kantor),
Sutanto (GA). Divisi Riset dan Advokasi: Sunaji Zamroni (Manager), AAGN Ari Dwipayana, Abdur Rozaki, Anang Sabtoni, Bambang Hudayana, Krisdyatmiko, Abdul Gafar
Karim (non-aktif), Budi Irawanto (non-aktif), Poppy S. Winanti (non-aktif), Mefi Hermawanti (non-aktif), Nanang Indra Kurniawan (non-aktif). Divisi Informasi dan Publikasi:
Titok Hariyanto (Manager), Eric Hiariej, Hesti Rinandari, Joko Purnomo, Ahmad Subhan, Ashari, Zainal, IRE Press: Mahmud NA, Sunaryo Hadi Wibowo
Edisi 2/Tahun 2/2005
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
MANDATORY
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
MANDATORY
Yogyakarta 2005
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
140 Halaman, i-viii, 15 x 23 cm, tabel, bagan , ilustrasi, dan foto
ISSN: 1829-8389
Cetakan Pertama:
Diterbitkan oleh:
IRE (Institute for Research and Empowerment)
Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A Yogyakarta 55281
Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
v
Jurnal M ANDATORY diterbitkan sebagai pengejawantahan sebuah bentuk
tanggung jawab Institute for Research and Empowernment (IRE) Yogyakarta sebagai NGO yang berbasis akademis. Jurnal Mandatory diterbitkan dengan tujuan memberikan ruang untuk memperdebatkan wacana secara lebih akademis, berdasarkan pengelaborasian teori, paradigma, hingga pengalaman empiris para pelaku dan pemikir di bidang
demokrasi, governance reform dan civil society.
Susunan Redaktur
Dewan Redaksi
: Sutoro Eko Yunanto, Arie Sujito, AAGN Ari
Dwipayana, Titok Hariyanto, Krisdyatmiko,
Abdur Rozaki
Redaktur Pelaksana : Eric Hiariej, Joko Purnomo, Novia Cici Anggraini
Ilustrasi dan Lay-out : Faisal Ismail dan W indu (Bangjo)
Distribusi
: Wibowo, Mahmud NA
Sekretaris
: Rino Haniasti
Keuangan
: Sugeng Yulianto
Alamat Redaksi
: Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A
Yogyakarta 55281. Telp/Fax : (0274) 581068.
Email
: [email protected]
Institute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga
independen, nonpartisan, dan nonprofit, yang berbasis pada komunitas
akademik di Yogyakarta. Fokus kegiatan IRE adalah mengembangkan
Governance Reform, Civic Culture dan Desa Asosiatif melalui penguatan
gagasan, sikap kritis, serta tindakan taktis elemen masyarakat sipil,
masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara. IRE bekerja di
bawah Yayasan IRE FLAMMA dengan struktur organisasi dan personalia
sebagai berikut. Dewan Pengurus: Heru Nugroho, Suharko, Bambang
Hendarta, Fajar Sudjarwo, Susetiawan. Dewan Penasehat: Cornelis Lay,
Pratikno, Lambang Trijono. Dewan Eksekutif: Sutoro Eko (Direktur), Arie
Sujito (Deputi Direktur untuk Program), Sukasmanto (Deputi Direktur untuk
Administrasi dan Keuangan). Keuangan: Sugeng Yulianto (Manajer),
Meilda Wiguna (Akuntan), Suparmo (Kasir). Administrasi Kantor: Rino
Haniasti (Sekretaris), Heri Purwanto (IT), Latifah (Pustakawati), Triyanto
(staff Kantor), Sutanto (GA). Divisi Riset dan Advokasi: Sunaji Zamroni
(Manager), AAGN Ari Dwipayana, Abdur Rozaki, Anang Sabtoni, Bambang
Hudayana, Krisdyatmiko, Abdul Gafar Karim (non-aktif), Budi Irawanto
(non-aktif), Poppy S. W inanti (non-aktif), Mefi Hermawanti (non-aktif),
Nanang Indra Kurniawan (non-aktif). Divisi Informasi dan Publikasi: Titok
Hariyanto (Manager), Eric Hiariej, Hesti Rinandari, Joko Purnomo, Ahmad
Subhan, Ashari, Zainal. IRE Press: Mahmud NA, Sunaryo Hadi Wibowo
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Redaksi Jurnal Mandatory menerima kiriman tulisan dengan ketentuan
sebagai berikut :
1. Tulisan yang dikirim merupakan karya asli dan belum pernah
dipublikasikan oleh media cetak lain
2. Tulisan yang dikirim hendaknya merupakan kajian ilmiah, seperti
hasil penelitian lapangan, kajian teori, studi kepustakaan dan
gagasan kritis-konseptual, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris
3. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang bersangkutan. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa
mengubah arti
4. Persyaratan teknis :
a. Panjang tulisan : 4000 kata, dengan pilihan huruf : Times
New Roman 12, spasi ganda
b. Ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi catatan kaki dan daftar pustaka)
c. Menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas dan
mudah dipahami. Kalimatnya jelas, padat dan tidak
mengandung makna ganda
d. Naskah yang hendak dikirim dialamatkan kepada:
Redaksi Jurnal Mandatory
Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A Yogyakarta 55281
Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]
5.
6.
Redaksi memberikan honorarium untuk setiap tulisan yang
dimuat
Keterangan lebih lengkap dapat menghubungi redaksi Jurnal
Mandatory
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Kata Pengantar
D
alam edisi yang lalu, Mandatory mendiskusikan krisis demokrasi liberal. Krisis ini, diantaranya, bersumber dari obsesi berlebihan demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan institusi dalam memaknai dan menjelaskan arti penting pemerintahan dari,
oleh dan untuk rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak peka
pada isu-isu seperti partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tampaknya model ini percaya inklusi politik, kesejahteraan dan civility akan
datang dan terbentuk dengan sendirinya jika lembaga-lembaga sudah
berhasil dibangun.
Terbukti kemudian lembaga-lembaga selalu perlu diketuk agar
benar-benar membunyikan demokrasi. Jika tidak, lembaga baru sekaliber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak konservatisme.
Contohnya, sebagai metode seleksi pemimpin ia justru memperkuat
posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Bukankah dengan jalan
demokrasi, Sultan Yogya misalnya, ingin mengembalikan feodalisme?
Dengan lain perkataan, lembaga-lembaga demokrasi secanggih apapun
selalu rentan sabotase. Tapi apa persoalan yang sesungguhnya di balik
ini semua?
Pertama-tama sejarah menunjukkan demokrasi adalah soal perjuangan politik. Demokrasi adalah soal perimbangan kekuatan antara kelompok yang pro dan anti demokrasi untuk memperebutkan hak memerintah. Mulanya, penulis seperti Barrington Moore, Jr. percaya kekuatan
penting di balik demokratisasi adalah borjuasi. Tapi kemudian keyakinan ini dibantah oleh studi Therborn dan Rueschemeyer (et., al) yang
menemukan semangat demokratisasi dalam diri kelas pekerja. Sementara
beberapa penulis lain seperti Laclau dan Mouffe lebih percaya pada
peran kelompok-kelompok pinggiran yang berada di luar formasi so-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
sial dominan seperti perempuan, aktivis lingkungan, aktivis homoseksual dan kelompok etnis minoritas.
Yang jelas, siapapun yang dianggap paling progresif, semua pemikir ini sepakat bahwa demokrasi adalah soal perlawanan terhadap
penindasan dan ketidakadilan. Demokrasi— dalam bentuk kehadiran
lembaga-lembaga formal seperti pemilu, sistem multipartai dan kebebasan pers— akan tampak seperti lelucon, jika penindasan dan ketidakadilan masih terus berlanjut. Sebaliknya perlawanan akan selalu menjadi
bagian penting dari masa depan dan prospek sebuah demokrasi.
Untuk itu Mandatory edisi kali ini berniat mencermati tema “Politik
Perlawanan”sebagai bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi
liberal. Artikel pertama merupakan analisa tentang gerakan oposisi baru
yang sedang berkembang. Amalinda Savirani menunjukkan dalam tulisannya yang berjudul “Oposisi Indonesia dalam Era Everyday Politics”bahwa
gerakan oposisi tidak lagi hanya memfocuskan pada isu-isu besar dalam
lingkup gerakan anti rezim. Namun demikian, gerakan oposisi juga berada dalam ranah yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Menyangkut isu-isu sepele dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang
kuat.
Pada artikel kedua dengan judul “Memetakan Lokasi bagi “Politik
Identitas” dalam Wacana Politik Poskolonial”, Arie Setyaningrum dalam
analisanya menunjukkan bahwa formasi (pembentukan) identitas sebagai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipengaruhi oleh efek-efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang diakibatkan oleh kolonialisme. Dalam pandangan akhirnya, politik identitas
dilihat sebagai sebuah penyikapan terhadap dilema struktural di dalam
mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan sosial.
Artikel ketiga, keempat dan kelima merupakan artikel-artikel yang
mendasarkan pada studi kasus yang terjadi di Indonesia. Artikel ketiga
yang ditulis oleh Gerry van Klinken dengan judul “The Forest, The State,
and Communal Conflict in West Kalimantan, Indonesia”, merupakan sebuah
pencarian jawaban atas pertanyaan tentang persoalan konflik komunal
yang terjadi di Kalimantan Timur. Ruthviana Mefi Hermawanti dalam
artikelnya yang berjudul “The Role of Internasional Non-Governmental Organizations (NGOs) In Third Word Disaster Relief and The Failure of Globalization: The Cases of Aceh and West Timor”, melakukan pelacakan atas relasi
NGOs dengan proses globalisasi melalui studi kasus Aceh dan Timor
Timur. Tulisan Mimin Dwi Hartono yang berjudul “Konflik Umbul Wadon:
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu–Hilir”, menghadirkan rekaman pengalaman aksi advokasi yang dilakukan oleh sekelompok pihak
yang memiliki konsern pada persoalan lingkungan dalam kasus Konflik
Umbul Wadon.
Pada artikel keenam, yang ditulis Nuraini Juliastuti dengan judul
“Dayang Sumbi Bertemu Cinderella: Kode Feminitas dalam Seni Visual Indonesia”bercerita tentang kompleksitas perkembangan wacana perempuan
dan interkoneksitasnya dengan hal-hal lain dalam seri visual Indonesia.
Dengan memperhatikan karya seniman perempuan Indonesia, Nuraini
menggambarkan tentang tubuh yang dipakai sebagai medan pertarungan, tentang wacana yang bermunculan, serta tentang hal-hal yang mempengaruhi seniman dalam berkarya.
Jurnal ini ditutup dengan Tulisan Leo Agustino tentang demokrasi.
Menggambarkan optimisme penulis terhadap berbagai keuntungan pada
sebuah negara yang menjalankan prinsip-prinsip Demokrasi.
(REDAKSI)
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Daftar Isi
Oposisi Indonesia dalam Era Everyday Politics
Oleh: Linda Savirani ²1
Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana
Politik Poskolonial
Oleh: Arie Setyaningrum ²13
The Forest, the State, and Communal Conflict in West
Kalimantan, Indonesia
Oleh: Gerry van Klinken ²35
The Role of International Non-Governmental Organizations
(NGO) In Third World Disaster Relief and the Failure
of Globalization: The Cases of Aceh and West Timor
Oleh: Ruthviana Mefi Hermawanti ² 63
Konflik Umbul Wadon:
Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu-Hilir
Oleh: Mimin Dwi Hartono ² 89
Dayang Sumbi Bertemu Cinderella:
Kode Feminitas dalam Seni Visual Indonesia
Oleh: Nuraini Juliastuti ²107
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Leo Agustino ² 125
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
1
Oposisi Indonesia
dalam Era Everyday Politics
Amalinda Savirani*
“...we thuslook forthe politicalin thewrong place,on thewrong floor,
and on the wrong pages of the newspapers...” (Beck, 1994:18)
Pengantar
Pascaperubahan politik di tahun 1998, gerakan
oposisi di Indo-nesia mengalami disorientasi
persis sesudah rezim otoritarian yang dilawannya
hancur berkeping-keping. Sebagian besar kajian
mengargumentasikan bahwa disorientasi ini
disebabkan karena gerakan prodemokrasi Indonesia merupakan gerakan oposisi miskin
strategi, miskin program, dan yang terpenting
adalah miskin konstituen. Para aktivis prodemokrasi ini disebut oleh sebuah kajian sebagai
“demokrat yang mengambang”, yakni aktivis
yang memimpin gerakan tanpa program, tanpa strategi yang rapi (Priyono, et all, 2000), persis sama dengan kondisi masyarakat Indonesia yang
pernah diberi cap “massa mengambang”oleh kebijakan politik Orde
Baru di masa lalu. Dalam tulisan ini penulis ingin melebarkan persoalan
gerakan oposisi di Indonesia, yang lebih dari sekedar gerakan tanpa
strategi dan tanpa basis konstituen, melainkan dikaitkan dengan perlunya
*
Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM dan Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
2
OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics
cara pandang baru dalam memaknai apa itu gerakan oposisi. Gerakan
oposisi sebagaimana yang juga menjadi perhatian generasi baru gerakan sosial yakni the new social movement. Yang membedakan gerakan oposisi baru ini menyangkut target, scope isu, dan sifat gerakan. Gerakan oposisi dalam pengertian alternatif ini tidak selalu menyangkut gerakan dengan target mematahkan rezim otoritarian atau menciptakan kehidupan yang lebih baik. Ia juga bukan memfokuskan diri pada isu-isu besar,
seperti isu peningkatan kehidupan demokrasi, melainkan menyangkut
semua aktivitas kemasyarakatan sehari-hari, menyangkut everyday life. Karenanya, ia berlingkup sempit, kadang kala bersifat ad-hoc, sesaat, impulsif, dan terkesan tanpa orientasi jangka panjang yang jelas.
Cara pandang alternatif ini didasari oleh perspektif dalam ilmu
politik, yakni, menyangkut cara pandang terhadap operasi kekuasaan,
bahwa operasi kekuasaan yang paling esensial sesungguhnya berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, menyangkut langsung kehidupan orang
banyak, menyangkut the everyday life of politics. Politik sehari-hari ini telah
menciptakan realitas baru perpolitikan yang rautnya sama sekali berbeda
dengan pemahaman politik (formal) yang kita kenal selama ini. Realitas
baru ini disebut sebagai the secondary level of political practices (Warren, 1992).
Di tingkat ini politik bukan sesuatu yang abstrak dan yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Politik adalah sesuatu
yang sangat dekat dengan warganegara. Oposisi berbasis persoalan yang
riil dan bersifat sehari-hari inilah, yang menurut hemat penulis, wajah
masa depan oposisi Indonesia. Kemunculan everyday politics ini adalah
bagian dari konsekuensi modernitas kehidupan manusia yang salah satunya ditandai oleh apa yang disebut sebagai “individualisasi”(Beck, 1995).
Tulisan akan dimulai dengan analisa tentang eksistensi kelompok
oposisi di Indonesia baik di tingkat pemerintahan yang pernah dimiliki
bangsa ini, maupun di tingkat masyarakat. Yang terakhir ini yang kemudian menoreh catatan penting dalam sejarah, yakni ketika ia menjadi pendorong perubahan politik di negeri ini. Setelah itu akan dipaparkan
limitasi-limitasi pemahaman oposisi yang berada di aras formal di tingkat
negara dan masyarakat. Limitasi cara pandang lama sesungguhnya telah
dikoreksi dalam generasi baru pemikiran gerakan sosial yakni the new
social movement yang telah digumamkan lebih dari satu dekade yang lalu.
Intinya adalah pergeseran analisa gerakan oposisi tidak lagi berambisi
idealistik, yakni menciptakan kehidupan yang lebih baik, yang telah larut
dalam konteks modernitas. Pergeseran ini memiliki nada yang sama
dengan munculnya pemaknaan baru dalam politik atau the reinventing of
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Linda Savirani
3
politics. Pergeseran yang berlangsung di ranah yang berbeda-beda ini
pada dasarnya menggaungkan satu hal yang sama, yakni ada yang berubah sekaligus melahirkan keperluan untuk melihat dengan cara baru.
Anatomi Gerakan Oposisi Klasik Indonesia
Mendengar kata “oposisi”, ingatan orang Indonesia pasti akan terbawa
pada aktivitas gerakan-gerakan demonstrasi di jalanan, atau pada tokohtokoh intelektual yang sering melemparkan pandangan kritisnya terhadap jalannya roda pemerintahan. Pemahaman tentang oposisi yang
lebih bergerak di tingkat masyarakat ini dapat dipahami, karena peran
oposisi di tingkat parlemen tidak pernah penting dalam sejarah Indonesia
kecuali pada periode pemerintahan liberal pada tahun ‘
50-an. Kala itu
negeri ini menganut sistem pemerintahan parlementarian, sebuah sistem
yang menginstitusionalisasi aktivitas oposisi dalam parlemen. Pascaperiode itu, ketika sistem ketatanegaraan kembali menjadi republik, sistem
oposisi dalam tubuh parlemen pun lenyap untuk selamanya dalam kehidupan politik negeri ini.
Ketiadaan sistem oposisi yang kuat sesungguhnya bukan hanya
hilang akibat dari pergantian sistem ketatanegaraan. Di negara dengan
sistem ketatanegaraan parlementarian yang sudah mapan sekalipun, yakni
di negara-negara welfare state seperti Skandinavia dan di negara-negara
maju lainnya, aktivitas gerakan oposisi terus berkurang, khususnya sejak
Perang Dunia (PD) II (Ionescu & de Madariaga, 1968: xv). Situasi ini
disebabkan peningkatan peran dan tugas pemerintah (eksekutif) yang
lebih membutuhkan perhatian dan kajian yang lebih mendalam. Kajian
terhadap peran negara pun terus meningkat diiringi dan diikuti oleh
penurunan drastis kajian tentang peran legislatif, termasuk oposisi di
dalamnya (Ionescu & de Madariaga, 1968: 12). Elemen kontrol yang
menjadi fungsi dasar dari oposisi dipahami sebagai pengganggu pelaksanaan tugas sehari-hari pemerintah.
Penurunan peran kontrol yang dilakukan parlemen terhadap eksekutif selain menyangkut trend tak bisa dilepaskan dari limitasi bekerjanya
gagasan demokrasi perwakilan. Sistem politik menempatkan partai politik sebagai elemen yang memiliki tugas sebagai pendengar aspirasi
masyarakat. Secara riil, fungsi dasar parpol ini hanya dapat berfungsi
secara sangat terbatas. Tidak semua aspirasi dapat diserap dan kemudian
dikonversi dalam bentuk agenda setting atau produk kebijakan selanjutnya. Yang ironis, merosotnya peran oposisi formal di parlemen justru
diiringi oleh terus meningkatnya kompleksitas persoalan sehari-hari, yang
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
4
OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics
salah satunya berasal dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kembali ke konteks Indonesia, oposisi di tingkat masyarakat dan
lembaga formal pemerintahan, sejak Orde Baru lahir, dikontrol ketat,
meski tidak menghalangi kelahiran generasi oposisi pada tahun ‘
70-an,
‘
80-an, yang dimotori mahasiswa dan persnya (Raillon, 1985), dengan
agenda dasarnya adalah “mengoreksi kebijakan pemerintah”. Reaksi
pemerintah Orde Baru tarik ulur terhadap gerakan oposisi ini. Salah
satunya adalah memberangus gerakan ini pada 1974 lewat peristiwa
yang dikenal sebagai Peristiwa 15 Januari (Malari). Antiklimaks lain yang
menjadi titik balik bagi gerakan oposisi Indonesia adalah ketika pada
awal ‘
90-an Presiden Soeharto mengatakan secara terbuka bahwa semua
gerakan yang mengritik pemerintahannya akan “digebuk”. Sejak itu,
kekerasan mewarnai banyak kebijakan pemerintah terhadap masyarakatnya. Di sela-sela periode ‘
80-an dan ‘
90-an, kita mendengar eksistensi
kelompok oposisi di berbagai arena, seperti mantan tentara dalam Petisi
50, atau gerakan-gerakan mahasiswa di kampus yang berlindung di balik
kebebasan akademis.
Kajian tentang gerakan oposisi di Indonesia sempat hirukpikuk
dinamikanya sesaat sesudah rezim otoritarian hancur di Indonesia. Sebagian besar kajian ini memuji prestasi gerakan oposisi di Indonesia (Uhlin,
1999). Meski pada beberapa tahun berikutnya, nada skeptis mulai ditemukan dalam kajian-kajian yang melihat bahwa tidak banyak yang
berubah pascaperubahan politik. Meski harus diakui bahwa dari segi
kuantitas, perubahan politik telah menciptakan kepercayaan diri
masyarakat Indonesia yang ditandai dengan maraknya gerakan-gerakan
kemasyarakatan, sembari berargumentasikan bahwa telah ada yang
berubah sejak rezim berganti yakni menguatnya masyarakat, dan karenanya ada potensi besar perubahan politik makro negeri ini (Kusuma &
Agustina, 2004).
Lembaga studi Demos menelusuri dan mengevaluasi gerakan kemasyarakatan mulai dari gerakan buruh, gerakan kerah putih, sampai
dengan gerakan kemasyarakatan dan gerakan HAM yang pernah ada di
Indonesia dan melihat kontribusinya bagi gerakan prodemokrasi (Priyono, et all, 2003). Kajian ini sampai pada kesimpulan, pertama, gerakan
prodemokrasi hancur persis ketika prestasi tertingginya terukir dalam
sejarah. Kedua, hal ini disebabkan karena aktivis dan gerakan prodemokrasi memiliki basis konstituen yang lemah, dengan teknik pengorganisasian yang juga terbatas. Inilah yang menjadi dasar logika penamaan hasil riset ini terhadap aktivis prodemokrasi Indonesia sebagai
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Linda Savirani
5
“Demokrat Mengambang”(Priyono, et. all., 2003:xv). Yang tidak terlalu
jauh berbeda dengan “massa mengambang” yakni depolitisasi peran
politik warga negara indonesia di masa Orde Baru yang melarang eksistensi partai politik dan semua jenis aktivitas politik sampai ke desa. Selain itu, keterlibatan sedikit orang, dengan latar belakang sosial dan pendidikan yang kuat dalam gerakan oposisi Indonesia ini memunculkan otokritik, bahwa oposisi Indonesia kental dengan watak elitisismenya (Budiman & Tornquist, 2003). Gerakan ini berputar di kalangan yang sangat
terbatas, dan tidak pernah benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat.
Lesson learned dari kedua kajian ini adalah perlunya mendefinisikan ulang
target, gerak langkah gerakan prodemokrasi di Indonesia dari yang lama
yang memfokuskan diri pada strategi melawan negara dan politik, sembari melakukan lobi-lobi, menjadi gerakan yang memberi perhatian pada
masyarakat bawah, dengan tetap melakukan perlawanan pada negara.
Penekanan pada basis konstituen yang kuat dan solid membedakan
kedua pola gerakan ini.
Kajian kontemporer tentang gerakan oposisi di Indonesia ini, dalam hemat penulis, masih meletakkan dirinya pada sebuah tipologi gerakan yang disebut Touraine (1985) sebagai “historical movement”, sebuah
jenis gerakan dengan target dasar mengubah kualitas kehidupan dengan
cara melakukan kontrol dan kritik pada pemerintah yang sedang berlangsung (lihat Tourine 1985: 776). Dalam konteks gerakan sosial baru,
Touraine mengargumentasikan bahwa pilihan ini memiliki keterbatasan
karena dasar analisa dalam gerakan ini berfokus pada analisa kelas. Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak kajian, ada kompleksitas yang
melatari motivasi orang mau bergabung dengan oposisi, dan bukan
semata-mata karena kepentingan kelasnya. Soal kedua dalam kajian tentang gerakan oposisi kontemporer adalah, bahwa bentuk gerakan oposisi
masih mewujud pada bentuk klasikal; dari segi isu berkutat pada gerakan koreksi pada rezim, dengan scope yang bisa lokal dan nasional. Menurut
hemat penulis ini perlu diperluas, menyangkut sesuatu isu yang sepele
dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang kuat, dan bersifat sehari-hari.
Oposisi dan New Social Movement
Tradisi gerakan sosial atau oposisi yang kita kenal baik adalah yang
berkarakter gerakan politik dan berorientasi pada peruntuhan rezim,
atau setidaknya melakukan kontrol terhadap kekuatan negara, demi
menciptakan kehidupan politik yang lebih baik (Touraine, 1985). Perkembangan yang telah berlangsung dalam literatur gerakan sosial baru
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
6
OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics
atau the new social movement (NSM) lebih kaya. NSM tidak berpretensi
mengubah masyarakat. Didasari oleh pemahaman tentang limitasi analisa
kelas dan kompleksitas individu bergabung dengan sebuah gerakan sosial,
koreksi-koreksi terhadap teoretiasai gerakan sosial telah meramaikan kajian ini sejak 1985.
NSM ditandai dengan reorientasi gerakan sosial yang tidak lagi
berbentuk gerakan-gerakan union atau perserikatan, partai politik, melainkan berwujud gerakan akar rumput, bersifat horisontal grass root politics.
Agen yang terlibat dalam gerakan ini mengalami perluasan dari aktoraktor gerakan “klasik”berbasiskan kelas, asosiasi, kelompok kepentingan.
Pemahaman yang lebih dalam bahwa pengalaman sosial bersifat multifacet, dan ini lebih tentang pengalaman individual, daripada pengalaman
kolektif; dan di tengah konteks perubahan yang makin tidak terduga
arahnya, agen dan jenis gerakan yang berlangsung saat ini jauh lebih
kompleks dari yang pernah dirumuskan konsep leninisme tentang gerakan
opososi atau gerakan sosial. Leninisme mereduksi semua hal menjadi
semata-mata persoalan politik (Melluci, 1988: 219). Aktor sosial, persoalan sosial, pengetahuan tentang situasi sosial dibaca semata-mata sebagai persoalan politik. Cara pandang ini, menurut Melluci, masih memengaruhi cara kita membaca gerakan sosial yang selalu harus melibatkan
prestasi gerakan yang serba hebat, seperti meruntuhkan sistem politik,
dan sistem ekonomi dominan.
Bentuk baru dari gerakan sosial ini, pertama, lebih berorientasi
sebagai gerakan kultural, karena gerakan inilah yang menjadi pabrik ide,
simbol, yang dengan-nya individu memahami hidupnya. Pabrik-pabrik
ini terentang mulai dari universitas sampai rumah produksi dengan kerjakerja ide-nya yang tervisualisasi di lewat layar kaca. Gerakan inilah yang
sentral dalam gerakan sosial baru. Kedua, new social movement, berbasiskan
pada isu-isu konsumsi sehari-hari, yang menyangkut kehidupan orang
banyak, seperti isu perumahan, air bersih, kesehatan, transportasi umum,
atau singkatnya isu tentang pelayanan publik yang langsung menyangkut
kepentingan warganegara (Melluci, 1988:228). Target gerakan-gerakan
ini menyangkut perbaikan kualitas penyedia pelayanan tersebut di atas
yang meliputi pemerintah dan swasta. Ambisi gerakan ini beredar pada
arena itu, tanpa tendensi menjatuhkan rezim yang menguasai pengambilan
kebijakan transportasi di kota besar, seperti Jakarta misalnya.
Ada konteks yang melatari pergeseran ini. Pertama, teknologi sistem informasi menjadi resources penting, sebuah sistem yang tidak bersifat
natural, melainkan hasil konstruksi dengan menggunakan ide, bahasa
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Linda Savirani
7
yang tidak netral. Dari sistem informasi ini pemahaman terbangun, melalui mana orang mempersepsikan kenyataan, sebuah sistem informasi
yang kemudian menjadi sangat strategis untuk dimanfaatkan guna membangun strategi kebudayaan, yang pada gilirannya menjadi rujukan. Kedua, sistem ini menjadi bagian dari sistem global dengan batas-batas
fisik yang makin kabur. Ketiga, proses terakhir ini diiringi oleh individualisasi, sebuah proses yang bukan berarti menyangkut isolasi atau tercerabutnya individu dari individu yang lain (Melucci, 1988: 205).
Konseptualisasi individualisasi ini dipikirkan oleh kalangan ilmuwan
sosial, seperti Ulrich Beck, Anthony Giddens, dll., ketika membahas
konsekuensi-konsekuensi perkembangan kehidupan kekinian yang disebutnya sebagai “reflexive modernization”, yakni sebuah perkembangan modernitas tingkat lanjut yang karakternya sama sekali berbeda dengan modernitas
yang lahir di awal masa pencerahan. Modernitas lanjutan ini bersifat
longgar dan berskala besar, yang bentuk konkretnya adalah industrial
society. Kelahiran yang terakhir ini bukan sesuatu yang terencana tidak
terkontrol. Banyak juga kalangan yang menyebut tipe modernitas ini
sebagai radical modernity. Ia mematahkan janji gagasan ini di awal kelahirannya di abad pencerahan, yakni perubahan-perubahan yang sistematis
dan berujung pada kehidupan manusia yang lebih cemerlang di masa depan.
Yang terjadi malah sebaliknya, radical modernity ini menghancurkan suatu
entitas masyarakat yang dilahirkannya sendiri, yakni masyarakat industrial.
Penghancurannya tidak melalui revolusi, melainkan akibat dari kemenangan yang diperoleh oleh masyarakat industri ini (Beck, 1995: 2-5).
Individualisasi adalah salah satu produk dari perkembangan modernitas ini. Ia bukan berarti fenomena kesepiannya individu akibat tercerabutnya individu dari lingkungan sosialnya. Tipe individualiasi ini terkonstruksi melalui proses kompleks dengan konteks masyarakat industri.
Individualisasi juga bukan terjadi karena kebetulan, bukan berskala individual, dengan tidak terjadi secara sukarela, dan tidak juga melalui berbagai tahapan perkembangan kehidupan sosial, melainkan terjadi pada
saat yang sama dalam konteks kelimpahan ekonomi yang berlangsung
sejak tahun ‘
70-an (Beck, 1995: 13).
Dikaitkan dengan arena operasi kekuasaan, individualisasi membawa konsekuensi pada kelahiran subpolitics ‘
suatu tingkat dan jenis kepolitikan yang berada di luar logika formal kepolitikan sebagaimana yang
secara klasik kita pahami, yang menyangkut institusi politik formal seperti
partai politik, parlemen, lembaga kepresidenen, dan di tingkat masyarakat
mewujud sebagai asosiasi, lembaga advokasi kebijakan, kelompok pene-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
8
OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics
kan, dll’
. Sub politics ini dikenal juga sebagai secondary reality of political
practices. Entitas baru ini kemudian menyaingi kepolitikan lama dan tidak
menghilangkan eksistensi yang lama, melainkan berlangsung kompetitif antara level dan tipe kepolitikan. Politik sebagaimana yang kita pahami, yakni menyangkut kerja kekuasaan dalam arena pemerintahan sehari-hari, di tingkat masyarakat telah ditandingi oleh fenomena seperti
bekerjanya politik global, kelahiran jaringan baru di luar politik yang
kita kenal sehari-hari. Pemecahan masalah kehidupan sehari-hari berlangsung di wilayah-wilayah baru ini, bukan hasil kesepakatan antarnegara, antarpemerintah sebagai pemegang otoritas lama. Pengaturan
politik informal dalam banyak kasus di negara lain terbukti lebih menjawab persoalan ketimbang cara lama. Dikaitkan dengan konstitusi
misalnya, yang selama ini dianggap sebagai dasar bagi pengaturan kehidupan politik, justru dipermasalahkan dalam logika politik baru ini,
we quarrel about the rule of the games themselves.
Oposisi Baru dan Perluasan Makna Politik
Kelahiran subpolitics ini mendasarkan dirinya pada makna politik yang
tidak lagi sebagai alat regulatif. Dalam ilmu sosial kajian politik dengan
corak makna yang berbeda telah dimulai sebagaimana yang dilakukan
oleh Giddens dan di periode sebelumnya oleh Foucault, dan ilmuwan
politik lain. Merekalah yang meletakkan kerangka pikir tentang makna
politik baru yang menandai perubahan karakter dan topografi ilmu
politik.
Kekuasaan bagi Giddens adalah kapasitas mentransformasi, yang secara ideal digunakan untuk menciptakan perbedaan di dunia ini. Semua
tindakan yang memungkinkan bagi proses transformasi masuk dalam
kategori kekuasaan. Lebih lanjut lagi, buat Giddens, tindakan sosial (social
action) yang dilakukan oleh individu dapat dipastikan akan membawa
implikasi pada penciptaan perbedaan dalam kehidupan. Karena itu, berdasarkan definisi ini, setiap individu berarti memiliki kapasitas transformatif dan karenanya memiliki kekuasaan, all individuals human agent have
power. Yang membedakan operasi kekuasaan satu individu dengan individu yang lain adalah pemilikan sumberdaya (resources). Giddens membedakan dua sumberdaya ini, yakni allocative resources ’
pemilikan akan sesuatu yang bersifat fisik’dan authoritative resources ’
kemampuan mengontrol terhadap aktivitas orang lain’(Giddens, 1992).
Lebih jauh lagi, semua sistem sosial pada dasarnya adalah “sistem
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Linda Savirani
9
kekuasaan”, atau setidaknya berperan sebagai institusi perantara (mediasi)
bagi bekerjanya kekuasaan. Sekolah, misalnya, lewat penerapan aturanaturan, menjadi institusi perantara bagi mekanisme pengontrolan individu
untuk menciptakan ketertiban. Ketertiban ini kemudian mengakar dalam
kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya menyumbang bagi pembentukan aktivitas kolektif warga di sekolah. Gagasan kekuasaan yang berlokus pada institusi sosial sebagai institusi perantara tempat dimana operasi kekuasaan berlangsung, menjadi dasar pemahaman everyday politics,
or subpolitics. Unit-unit sosial seperti sekolah, kantor, tempat ibadah, rumah,
bagi Giddens sama pentingnya dengan lembaga-lembaga tradisional
seperti lembaga perwakilan, lembaga kepresidenan, atau lembaga-lembaga di masyarakat seperti LSM.
Pemikir kedua yang penting dalam sumbangannya terhadap bekerjanya kekuasaan adalah Michel Foucault, seorang pemikir Perancis yang
juga menyumbang pemikiran penting dalam ilmu sosial, yang kemudian
bermanfaat bagi ilmu politik. Gagasan utama Foucault tentang kekuasaan
menyangkut relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Di dalam semua
pengetahuan yang dimiliki peradaban manusia saat ini beroperasi kekuasaan. Pengetahuan yang kemudian berkembang luas, tersistematisasi lewat
sistem kodifikasi, selanjutnya dikuatkan lewat wacana, yang pada gilirannya menjadi “kekuasaan”. Karena itu yang lebih penting bagi Foucault adalah bagaimana proses sesuatu bisa berubah menjadi kekuasaan, yang lebih menyangkut teknik, atau cara yang lahir dari aktivitas ilmu
pengetahuan. Power exercised on the body is conceived as not as a property, but as
a strategy, karena itu, power is not appropriations (positive meaning), but to dispositions, maneuvers, tactics, techniques, that one should decipher in it a networks of
relations (Foucault, 1972: 26). Karena relasi ini, perhatian bagi operasi
kekuasaan yang terpenting bagi Foucault adalah diskursus pengetahuan,
yakni cara bagaimana ide dan pemahaman akan sesuatu direpresentasikan dan direproduksi melalui bahasa yang dengannya manusia memaknai
kenyataan (Foucault, 1972). Definisi ini yang kemudian menjelaskan
bagaimana Foucault memaparkan bekerjanya gagasan power tidak sematamata melalui lembaga-lembaga formal politik seperti birokrasi, sistem
pemilu, kerusuhan sosial, melainkan juga melalui institusi-institusi mikro,
seperti rumah sakit jiwa dan penjara.
Lebih jauh lagi Foucault menguraikan, pertama, kekuasaan bukan
semata-mata menyangkut kewajiban dan pelarangan terhadap mereka
yang tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan justru merupakan proses
investasi terhadap mereka yang dilarang, ditransmisikan oleh mereka
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
10
OposisiIndonesia dalamEra EverydayPolitics
dan melalui mereka juga. Kedua, kekuasaan bekerja sampai ke jantung
masyarakat. Kekuasaan tidak terletak pada relasi antara Negara dan
masyarakatnya, atau relasi antarkelas, dan tidak bereproduksi di tingkat
individual, unit-unit tunggal, perilaku, atau bentuk umum produk hukum
sebuah Negara. Tidak ada anology dan homology kalau kita bicara kekuasaan.
Yang ada adalah mekanisme khas dan modality. Ketiga, kekuasaan tidak
bersifat univocal. Kekuasaan sebatas mendefinisikan poin-poin konfrontasi
yang mungkin muncul, memfokuskan pada instabilitas, masing-masng
fokus itu memiliki resiko konflik, pertentangan.
Gagasan kekuasaan ini menyaring dengan sendirinya subjek kajian politik. Analisa Foucaultian tidak akan mengurusi pertanyaan ’
bagaimana nasib gerakan oposisi masa depan di Indonesia?’Atau, ’
bagaimana memperkuat gerakan oposisi agar lebih efektif dalam pencapaian
targetnya?’Yang lebih menjadi concern analisa Foucaultian adalah bagaimana discourse tentang ’
peran oposisi sebagai pendukung penciptaan sistem
pemerintahan yang demokratis’lahir, berkembang, dan diyakini sebagai
suatu kebenaran. Atau seorang Gus Dur yang terhambat menjadi calon
presiden karena keterbatasannya melihat. Teknik seperti apa di dunia
medis yang dibangun untuk sampai pada kesimpulan bahwa orang setengah buta tidak akan mampu menjalankan tugas kenegaraan secara optimal? Bagaimana standar ini kemudian menjadi penting dalam proses
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Linda Savirani
11
pencalonan presiden? Bagaimana relasi pengetahuan medis dan kekuasaan ini terbangun? Bagaimana sejarahnya? Dst.
Catatan Akhir
Menurut hemat penulis, dua cerita tentang cara pandang dalam gerakan sosial baru dan pemahaman makna politik yang meluas diperlukan untuk membaca gerakan oposisi, khususnya di Indonesia. Gerakan
oposisi tidak sebatas gerakan antirezim otoritarian, melainkan berbasis
isu sehari-hari yang sering kali tidak memiliki kaitan dengan gerakan
penumbangan rezim, atau gerakan dengan target perbaikan kehidupan
masyarakat. Format gerakan oposisi menjadi sesuatu yang amat dekat
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, berbasis individual, bersifat
cair, ad-hoc. Relevansi ideologi dan format gerakan oposisi ini makin
penting kalau kita sepakat bahwa kekuasaaan pada dasarnya adalah soal
teknik penundukan, sebagaimana Foucault memahaminya. Teknik penundukan ini berada di tingkat yang bersifat sehari-hari, menyejarah, dan
tanpa disadari menempel keras dan menjadi bagian dari keseharian kita.
Persis di titik ini gerakan oposisi perlu masuk dan menyelam demi melakukan counter teknik penundukan yang dilakukan oleh kekuasaan dominan, dan yang tidak terlalu berurusan dengan penghancuran rezim.
Wallahu alam.[]
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
12
OposisiIndonesia dalamEra EverydayPolitics
Referensi
Budiman, A & Tornquist, O (ed.). 1992. Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Jakarta: ISAI
Cohen. 1985. “Strategy or Identity: New Theoretical Paradigms and
Contemporary Social Movement”, dalam Social Research 52 (4):
663-716.
Giddens, A. 1992. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, University of California Press.
Hajer & Wagenaar (ed.). 2003., Deliberative Policy Analysis, Oxford.
Ionescu, G & de Madariaga, I. 1968. Opposition, Pelican Book, Penguin.
Kendall & Wickham (1999), Using Foucault’
s Methods, Sage Publications.
N Kusuma & Fitria Agustina (ed.). 2004. Gelombang Perlawanan Rakyat,
Seri Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: INSIST Press
Priyono, AE, et all (ed.). 2003. Gerakan Demokrasi di Indonesia PascaSoeharto, Jakarta: DEMOS.
Scott, James. 1990, Domination and the Art of Resistance: Hidden Transcripts, New Haven and London: Yale University Press.
Touraine, A. 1985, “An Introduction to the Study of Social Movements”, dalam Social Research 52 (4), 749-787.
Uhlin, A. 1998. Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
13
Memetakan Lokasi
bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial
Arie Setyaningrum*
Pengantar
Kemenangan kelompok konservatif, Partai Republik, dalam pemilu di Amerika Serikat tahun
2004— yang memilih kembali George W Bush
sebagai presiden— cukup mengejutkan sebagian
orang. Bagi mereka, kemenangan Bush merupakan suatu ironi dalam demokrasi Amerika yang
berumur lebih dari dua abad itu. Salah satu argumen mereka, karena sebagian besar dari pemilih
(voters) yang memberikan suara-nya bagi Bush justru datang dari kelompok kelas pekerja (working
class) yang selama ini justru kurang diuntungkan
oleh kebijakan-kebijakan Bush, yang dulu merupakan pemilih tradisional bagi partai yang pro terhadap pergerakan buruh, yakni Partai Demokrat, oposisi Bush. Hal yang sama juga terjadi di Australia, dimana
Partai Buruh kalah dalam pemilu yang dimenangkan kembali oleh John
Howard dan Partai Liberal berhasil mempertahankan kekuasaannya selama hampir satu windu. Di Inggris, meskipun Partai Buruh memenang*
Arie Setyaningrum adalah staf pengajar pada jurusan Sosiologi-Fisipol dan peneliti
pada Pusat-Studi Kebudayaan, UGM. Mengembangkan minat pada isu-isu mengenai budaya kontemporer.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
14
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
kan kembali pemilu, akan tetapi banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa Partai Buruh Inggris sudah tidak lagi mencerminkan karakteristik partai politik-kiri. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan
yang berorientasi pada pasar, yang dulu justru diperjuangkan oleh kelompok konservatif. Sementara di belahan bumi selatan, negara-negara
Dunia Ketiga baru mulai merayakan “demokrasi” liberal di tengahtengah ketidakpastian peta politik-ekonomi global yang secara potensial
membawa resiko di dalam relasi vertikal antara “state –citizens”, maupun
resiko sosial lainnya yang bersifat horisontal (seperti misalnya, konflik
antaranggota masyarakat).
Resiko sosial baik dalam relasi vertikal maupun horisontal suatu
negara-bangsa kini juga ditandai oleh tuntutan atas ruang politik yang
lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme. Meskipun, praktek
multikulturalisme bukan berarti tidak melahirkan resiko sosial lain yang
tersendiri, misalnya potensi konflik dalam kemunculan politik etnisitas,
hegemoni budaya-kelompok mayoritas atau sebaliknya, opresi (penindasan) budaya-kelompok minoritas, dan lain-lain. Kemenangan rezim
politik di berbagai belahan dunia masa kini merupakan wujud dari kemenangan “politik representasi”(the politics of representation). Politik representasi merupakan konstruksi politik yang memungkinkan sekelompok
orang mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sebagai bagian
dari suatu kolektivitas tertentu dimana praktek dalam proses identifikasi
itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik. Kemenangan rezim Bush
dan sekutu-sekutunya bukan hanya merupakan kemenangan simbolis,
melainkan juga kemenangan politik secara riil dari sekelompok orang
yang mengusung wacana politik persebaran ketakutan melalui isu ancaman-ancaman baru bagi terjadinya benturan dalam peradaban manusia,
sebagaimana yang direpresentasikan melalui praktek terorisme (Noam
Chomsky, 2004). Bekerjanya politik representasi juga kita saksikan di
Indonesia, khususnya dalam kesempatan pemilu dimana SBY memenangkan citra-nya sebagai “representasi orang-biasa”dan meruntuhkan
citra Megawati sebagai “representasi wong-cilik”.
Politik representasi merupakan suatu konsep yang dikembangkan
dari pemikiran (ide) mengenai “representasi”oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini dipahami sebagai suatu rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan melalui bekerja-nya sirkuit kebudayaan dalam melahirkan produksi dan reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan
suatu opini publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di
dalam ruang dan relasi sosialnya. Hall melanjutkan bahwa bekerja-nya
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
15
sirkuit kebudayaan yang melahirkan “representasi” merupakan suatu
relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang melibatkan regulasi (pengaturan-pengaturan) dan siklus konsumsi-produksi
di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas kita.
Dalam konteks Amerika Serikat pascatragedi 11 September 2001,
dukungan para kelas pekerja bagi rezim Bush diperoleh melalui politik
representasi atas isu-isu yang dianggap “mengancam”identitas kolektif
sekelompok orang, misalnya ancaman terhadap nasionalisme Amerika
dan ancaman-ancaman yang dianggap dapat mengikis otoritas kolektivitas tradisional lainnya (keluarga atau agama/gereja). Hal ini misalnya
ditandai dalam persaingan kampanye kandidat presiden antara John
Kerry (Partai Demokrat) dan George Bush (Partai Republik) dalam
menyikapi isu-isu pro-kontra terhadap gerakan politik kaum homoseksual, atau bahkan pro-kontra terhadap isu mengenai praktek aborsi yang
selama ini banyak didukung oleh kelompok feminis yang melihat tubuh
perempuan sebagai sarana bagi komodifikasi politik dan intervensi negara.1 Banyak kelas pekerja di Amerika saat ini menganggap bahwa ancaman bagi dominasi peradaban mereka dikarenakan ambiguitas yang dilahirkan oleh demokrasi liberal sehingga memungkinkan munculnya otoritas baru2 yang dianggap mengancam eksistensi otoritas lama seperti
1
2
Kritik terhadap ironi demokrasi di dalam pemerintahan Bush banyak dimuat oleh
media cetak di Amerika Serikat seperti Los Angeles Times dan The Washington Post
selama kurun waktu kampanye Pemilu Presiden 2004 yang secara terang-terangan meng-counter dan mengkritik kampanye politik Bush yang meng-konstruksikan dirinya sebagai simbol dari kepentingan “the ordinary people“ (rakyat biasa).
Kritik terhadap persebaran politik ketakutan di dalam tradisi kultural dan praktek
politik Amerika juga didokumentasikan oleh sutradara film dokumenter-independen, Michael Moore, dalam film-nya “Bowling for Columbine” yang dibuat pada
tahun 2002. Sementara itu, jaringan media elektronik (TV) di Amerika yang
bersifat oligarkis justru dianggap “kurang merepresentasikan”konvergensi wacana
demokrasi partisipatif dan menjadi sarana/alat politik rezim yang paling berpengaruh di dalam pembentukan “public attitude”. Akibatnya, informasi yang mengalir
bagi publik menjadi tidak seimbang karena semakin mempersempit ruang-gerak
kultur opisisi. Untuk kritik lebih lanjut mengenai bias peran media elektronik AS
dapat kita telusuri di media elektronik-internet dari kelompok oposisi-media
watch independent di portal seperti Fair/Fairness and Accuracy in Reporting: http//
www.fair.org.
Ancaman dari otoritas baru ini, misalnya dimunculkan oleh gerakan politik kaum
homoseksual melalui tuntutan bagi ruang pengakuan publik-negara untuk melegitimasi pernikahan kaum homoseksual atau pasangan homoseksual dalam mengadopsi dan mengasuh anak. Sebagian besar masyarakat Amerika meyakini bahwa
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
16
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
institusi agama maupun keluarga. Oleh karena itu, para pendukung Bush
justru sebagian besar berasal dari latar belakang kelas pekerja-tradisonal
(seperti petani) yang mendukung upaya untuk melanjutkan proyek penemuan kembali “patriotisme”Amerika. Wacana mengenai ancaman terhadap kolektivitas (khususnya nasionalisme) di Amerika Serikat bukan
hanya menjadi komoditas politik di dalam negeri mereka saja, melainkan juga diproyeksikan pada hubungan luar negeri mereka.
Di Indonesia, transisi demokrasi yang salah satunya ditandai oleh
pemilu presiden (pilpres) secara langsung juga telah memungkinkan
ruang yang lebih luas bagi dimulainya suatu mekanisme bekerjanya politik
pencitraan (politics of image) bagi dukungan populis untuk suatu kekuasaan yang dianggap mampu membuka ruang bagi tumbuhnya demokrasi
dan partisipasi publik.3 Sementara itu, agenda pembangunan demokrasi
di banyak negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek
globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat),
yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang
ketidakadilan dan ke-tidaksetara-an (global spaces of injustice and inequality).
Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepentingan untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dan praktek demokrasi yang
memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia
Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negaranegara Dunia Ketiga itu. Secara khusus, intervensi ini mewakili kepentingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga
berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang memungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam
Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupakan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi
oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih
sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik
representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktekpraktek demokrasi yang distorsif.
3
tuntutan semacam itu akan mengikis loyalitas lama (tradisional) kita pada otoritas
tradisional yang selama ini diyakini menjadi dasar fundamental dalam relasi sosial.
Kemenangan SBY di dalam pilpres menurut pengamat komunikasi politik Effendi
Ghazali merupakan keberhasilan dari mekanisme “politik pencitraan” (politics of
image). Politik pencitraan memperoleh mekanismenya melalui pemanfaatan media
secara simbolik yang dapat memobilisasi dukungan populis bagi suatu kepentingan politik. Dalam harian Kompas— medio Oktober 2004, Effendi Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan politik pencitraan merupakan fenomena melemahnya
kekuatan institusi politik tradisional (parpol) dalam memobilisasi konstituen.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
17
Meskipun di dalam realitas politik kontemporer tersebut kita masih
mendapati relasi kekuasaan yang bersifat “biner”(dikotomis), akan tetapi
kompleksitas bekerjanya kekuasaan di dalam relasi sosial saat ini tidak
dapat hanya dipahami secara sederhana sebagai dua polarisasi. Gambaran di muka menunjukkan bagaimana konstruksi mengenai identitas
memiliki signifikansi untuk memobilisasi tujuan-tujuan politik. Dengan
demikian, identitas menjadi bagian yang signifikan di dalam relasi yang
berhubungan dengan kekuasaan, baik sebagai sarana dominasi maupun
resistensi (artikulatif). Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mencoba
mengelaborasi bagaimana konstruksi identitas dapat memfasilitasi kepentingan-kepentingan artikulatif, meskipun di sisi lain juga dimobilisasi untuk
tujuan politik praktis. Lebih lanjut artikel ini mencoba melihat kemunculan
suatu “lokasi baru”di dalam wacana politik mengenai batasan-batasan
apa yang membentuk “identitas” sebagai suatu sumberdaya politik
(political resources) dan sekaligus sebagai sarana politik (political means).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
18
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
Merepresentasikan Identitas
Sebagai Kepentingan Artikulatif Poskolonial
Kebanyakan literatur, baik politik maupun sosiologi, melakukan kategorisasi identitas ke dalam dunia kategori utama, yakni: identitas sosial
(kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan— citizenship). Identitas sosial menentukan posisi
subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu
rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek
yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Dikarenakan
identitas juga menyakut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang
menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan erat dengan konstruksi mengenai “perbedaan”(difference). Identitas
politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas”(politics of identity); identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas
politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme
politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas
sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.4
Dalam konteks dimana identitas dimobilisasi bagi kepentingan
artikulatif, tersedia peluang-peluang bagi munculnya klaim-klaim terhadap “identitas sosial-politik baru”yang secara politis memunculkan
kondisi yang dilematis dari perkembangan masyarakat kontemporer.
Di satu sisi, wilayah (ruang) politik bagi klaim identitas baru tersebut
dapat melahirkan peluang-peluang konflik. Sementara di sisi lain, pengaturan-pengaturan politik, yang menjamin berlangsungnya suatu proses
kesetaraan melalui demokrasi liberal, dapat membuka peluang yang
lebih besar bagi pengakuan publik dan pengorganisasian politik dari
klaim-klaim identitas baru tadi, yang secara potensial memunculkan konflik. Situasi semacam inilah yang membuat kita perlu merefleksikan kembali kaitan antara identitas sosial dan identitas politik yang secara dinamis
memengaruhi upaya-upaya mengartikulasikan kepentingan politik sekelompok orang. Sehingga pengategorian “identitas”tidak dapat lagi secara
4
Pembahasan lebih lanjut mengenai dinamika interaksi identitas sosial dan identitas politik sebagai sumber konstruksi politik identitas dapat kita temukan dalam
pandangan Linda Martin Alcoff (Alcoff, Linda Martin. 2003. “Identities: Modern and Postmodern”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race,
Class, Gender and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
19
sederhana kita pahami sebatas polarisasi identitas “sosial atau politik”.
Ini tidak lain dikarenakan identitas sosial atau budaya seseorang, misalnya
yang didasari oleh sistem kelas (bawah, menengah, atas), seksualitas (heteroseksual, homoseksual), agama (Islam, Kristen, dan lain-lain), merupakan
sumber bagi pembentukan identitas politik dan karenanya signifikan bagi
mobilisasi politik identitas.
Alasan mengapa kita perlu memproblematisasi konsep mengenai
identitas dalam konteks poskolonial dilandasi oleh argumen bahwasanya
formasi (pembentukan) identitas sebagai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipengaruhi oleh efek-efek lanjutan
poskolonial sebagai konsekuensi yang akibatkan oleh kolonialisme. Konsekuensi dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Sebagaimana hal-nya efek kolonialisme, globalisasi juga melahirkan
formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui
praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.5 Sama halnya dengan
konsep yang dikembangkan mengenai kondisi-kondisi apa yang berlangsung di dalam “posmodernitas”, maka “poskolonialitas”menandai suatu
keadaan (situasi) dunia kontemporer yang menggarisbawahi “a movement beyond”— suatu gerakan yang melampaui situasi (kondisi) masyarakat
sebelumnya.6
Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan di sini bukan
dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (excolonies), meskipun penggunaan istilah “poskolonial”sendiri diterjemahkan secara beragam dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Akan
tetapi, kerangka konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif
dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik”(Ashcroff, Griffith dan Tiffin, 1998:187). Studi poskolonial menempatkan
agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana
peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman
5
6
Pandangan yang mengkaitkan formasi pembentukan politik identitas sebagai konsekuensi dari keberlanjutan kondisi-kondisi poskolonial dikemukakan oleh Arturo Escobar (Escobar. 1995, Encountering Development, The Making and Unmaking
of the Third World. Princeton-NJ: Princeton University Press); dan Lila AbuLughod (Abu-Lughod. 1995. “Going beyond global-babble”, in A.D King (ed),
Culture, Globalisation and the World-System. Basingstoke: Mac-Millan Publisher)
Penjelasan lebih lanjut yang membandingkan “kondisi posmodernitas” dengan
“poskolonialitas”dikemukakan oleh Ella Shohat (Shohat, Ella. 1992. “Notes on
the Post-Colonial Context”. Journal of Social Text, vol. 31/32: 99-113).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
20
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
kolonial. Pendekatan poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the West and the Rest”(dunia maju-Barat dan dunia lainyang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain).7 Efek kolonialisme juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas ke-tidakamanan (insecurity) dan ketidakstabilan yang melahirkan resistensi. Oleh karena
itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga merupakan hasil dari tatanan internasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan kolonial Eropa. Dengan
kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak terkontaminasi oleh
sistem Barat yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak lagi bersifat
otentik dan karenanya melahirkan “hibriditas sekaligus ambivalensi”dalam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat). Penempatan istilah “hibrid”
menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat
tertentu dari masing-masing bentuk sementara sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Bhabha menambahkan
bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek
hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan
negosiasi baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan politik
mereka.
Hibriditas sekaligus ambivalensi itu kita temukan dalam karakteristik masyarakat dan relasi sosial Dunia Ketiga yang dipengaruhi proyekproyek modernitas Barat, misalnya attitude— penyikapan terhadap “pem-
7
Stuart Hall mengajukan kritik terhadap konsep “the West and the Rest“ sebagai
suatu sumber imajer politik modernisme Barat yang mengkonstruksikan kategori
pembanding untuk mengklasifikasikan masyarakat dunia ke dalam suatu rangkaian pola pikir (mind-set) menurut struktur pengetahuan dimana Barat diimajinasikan sebagai masyarakat yang “rasional”dan karenanya mendorong subjek melakukan liberalisasi untuk mengalahkan alam, sementara mereka yang tertinggal (Timur)
adalah masyarakat yang irasional. Menurut Hall, kategori semacam ini lebih bersifat ideologis karena membawa ide “Enlightenment” yang justru pada gilirannya
mendorong imperialisme Barat dan perluasannya pascakolonialisme, sehingga sejarah modern harus diletakkan pada posisi dimana Barat meletakkan pondasi
dominasinya. Dikotomi semacam ini dipelihara melalui formasi diskursif (discursive formation), yakni suatu strategi yang dibagi bersama untuk menginstitusikan
wacana, tujuan, atau pola-pola politik. Menurut Foucault, dalam formasi diskursif inilah wacana memproduksi pengetahuan dan wacana melahirkan praktekpraktek diskurisif yang melahirkan “pemaknaan”. (Hall, Stuart, 2002. “The West
and the Rest: Discourse and Power”, in Haggis, Jane., and Schech, Susan (eds),
Development: A Cultural Studies Reader. Oxford:Blackwell)
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
21
bangunan” yang dimotori Dunia Pertama (Escobar, 1995:4). Arturo
Escobar menggambarkan bahwasanya identitas Dunia Ketiga dibangun dibawah bayang-bayang hegemoni Dunia Pertama. Khususnya
ketika masyarakat di Dunia Ketiga memproyeksikan peradaban mereka
melalui pencapaian-pencapaian material. Ia melanjutkan kritik-nya dengan melihat isu “kemiskinan”sebagai proyek utama di dalam agenda
pembangunan di Dunia Ketiga yang indikatornya memperoleh kategori
pembeda dari pencapaian material Dunia Pertama, dimana intervensi
yang dilakukan oleh Dunia Pertama (misalnya oleh Bank Dunia— World
Bank) mengabaikan aspek-aspek perkembangan kultural yang berlangsung di Dunia Ketiga. Dalam konteks tersebut, bukan hanya “negara”
yang ditransformasikan ke dalam obyek pembangunan oleh kekuatan
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
22
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang— manusia—
nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata
menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga
melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia
Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur
modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini, misalnya, dipelopori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai
lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat.8
Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya
merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang memungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui diseminasi wacana
dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam
itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional).
Identitas politik di dalam konteks poskolonial berkenaan dengan
representasi subjek atau kesadaran seseorang yang dikonstruksikan oleh
berbagai aspek di dalam relasi sosial, seperti: kelas, gender, ras, seksualitas, dan etnisitas. Kelas, ras, dan etnisitas, misalnya, dapat dikonsipirasi
untuk suatu proyek pembentukan identitas nasional. Gender juga memiliki pengaruh sinergis sebagai sumber imajer bagi konstruksi identitas
nasional, misalnya lewat pengungkapan dan simbol-simbol gender yang
dibagi bersama sebagai ikatan kolektif, contohnya konsep mengenai
“Motherland-Fatherland”. Sehingga konstruksi identitas berawal dari sumber-sumber imajiner yang menentukan posisi atau lokasi kita dalam
interaksi sosial. Dengan kata lain, karena identitas berkenaan dengan
“posisi— lokasi”subjek di dalam lokus sosial, maka identitas bukanlah
suatu objek atau substansi yang bersifat esensial, melainkan situasional
(Mendieta, 2003: 408). Menurut Foucault (1980), kemunculan negarabangsa modern sebagai suatu unit identitas kolektif di dalam sistem
dunia dimunculkan melalui domestifikasi dan regimentasi suatu organ
sosial (social body) dimana nasionalisme dibangun dari kekuatan bio-politik,
8
Vandana Shiva mengatakan bahwa rasionalitas scientifik-moderen Barat memandang “alam”sebagai objek eksploitasi dan konsumsi yang konsekuensi-nya mengancam keseimbangan ekologis dan relasi sosial. Ia mengatakan bahwa pengetahuan “indigenous”menempatkan relasi antara alam dan manusia sebagai suatu kelangsungan yang bersifat simbiotik dan refleksif. Ia juga mengidentifikasikan suatu
kualitas relasi gender dalam rasionalitas Barat yang patriarkis, dimana alam dan
manusia merupakan objek bagi penaklukan, sebaliknya nilai-nilai masyarakat
India menekankan kualitas feminin melalui sifat-sifat, seperti “merawat (nurturing) dan memelihara” keseimbangan alam (Shiva 1997: 22).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
23
yakni politik dari organ sosial yang dibentuk oleh gender, kelas, dan ras.
Regimentasi organ sosial dialami (berproses) dalam transformasi struktural sebagai hasil interaksi dalam globalisasi dan kondisi poskolonial.
Globalisasi disini merupakan proses integrasi ekonomi, politik,
sosial, dan budaya sebagai ‘
konstelasi pos-nasional’dimana suatu komunitas menghadapi kekuatan dan tantangan dari dinamika konstelasi tersebut (Habermas, 2001). Appadurai Arjun (1997) bahkan lebih jauh mengatakan bahwa efek ambiguitas dari globalisasi telah memunculkan
suatu “etnisitas baru”khususnya dalam masyarakat trans-nasional yang
menantang kondisi-kondisi maupun praktek politik di suatu negara
(wilayah lain). Misalnya melalui kemunculan komunitas politik transnasional seperti international-NGO atau perjuangan politik kelompok
diaspora (seperti: Gerakan Aceh Merdeka, atau Gerakan Papua Merdeka). Appadurai juga mengatakan bahwa efek ambigu dari globalisasi
telah memperluas bentuk-bentuk resistensi baik secara lokal maupun
yang bersifat global dikarenakan tidak semua kelompok dapat secara
penuh terlibat (engaged) di dalam proses globalisasi. Hal ini misalnya kita
temui dalam munculnya kelompok-kelompok antiglobalisasi, kelompok-kelompok yang memperjuangkan penghapusan hutang Dunia Ketiga
dengan asumsi bahwa kemakmuran Dunia Pertama diperoleh melalui
penjarahan kolonialisme di Dunia Ketiga.
Jadi, dapat dikatakan bahwa globalisasi dan kondisi poskolonial
telah menciptakan bukan hanya struktur dominasi tetapi juga resistensi.
Pengorganisasian identitas (sosial-politik) oleh karenanya melibatkan suatu
proses “negosiasi” yang bersifat dinamis karena upaya semacam itu
melibatkan fungsi memfasilitasi dan mengelola potensi-potensi perbedaan. Gagasan-gagasan yang diperoleh melalui pendekatan poskolonial
dapat membantu kita mengungkap lebih lanjut dimensi-dimensi yang
melingkupi kekuasaan dan bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut
dijalankan, baik di dalam proses sosial yang melibatkan pola-pola interaksi antara orang dengan komunitas (lokal, nasional, maupun global),
maupun di dalam proses budaya yang melibatkan pelembagaan aspekaspek simbolik yang diperoleh melalui praktek sosial yang kemudian
memengaruhi relasi politik setiap orang di dalam komunitasnya. Melalui
pendekatan poskolonial pula kita dapat mengembangkan dua unsur
penting di dalam kekuasaan, yakni dominasi dan resistensi. Respon terhadap dominasi dan resistensi merupakan karakteristik yang sangat menentukan di dalam proses mengartikulasikan identitas sebagai suatu medan
negosiasi di dalam relasi kekuasaan.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
24
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
Lokasi Bagi Politik Identitas
Realitas sebagaimana yang diungkapkan di muka, membawa kita pada
suatu refleksi bahwasanya saat ini menteorisasi “kekuasaan”sebagai suatu
dimensi penindasan yang bersifat tunggal (a singular dimension of oppression), seperti penindasan di dalam struktur kelas, gender, atau ras, tidak
lagi mampu menjelaskan kompleksitas dalam dunia kontemporer. Oleh
karena itu diperlukan suatu penjelasan mengenai relasi antara berbagai
dimensi penindasan dengan strategi-strategi resistensi. Salah satu penjelasan mengenai kondisi dominasi dalam dunia kontemporer diajukan
oleh Friedric Jameson (1991), yang menyarankan bahwa pola-pola
dominasi dalam dunia kontemporer dapat kita bedakan dari pola-pola
sebelumnya (masa lalu) melalui dominasi dalam kehidupan sosial maupun budaya oleh logika pengorganisasian yang bersifat “spatial”(ruang/sekat-sekat), dan bukan karena waktu (time) atau perubahan zaman.
“I think that it is at least empirically arguable that our daily life, our psychic
experience, our cultural language, are today dominated by categories of space
rather than categories of time, as in the preceding of high modernism.”(Jameson, 1991: 16)
Menurut Jameson, ada tiga fase mendasar dalam perkembangan
“logika spasial”suatu masyarakat di bawah kapitalisme. Fase pertama,
market capitalism didominasi melalui logika spasial yang berlangsung di
dalam jaringan (networks). Di dalam fase kedua, yakni monopoly capitalism,
pengertian mengenai “ruang”ternafikan (ditiadakan) dan digantikan oleh
praktek riil yang menentukan relasi sosial. Sedangkan, dalam fase ketiga,
multinational (postmodern) capitalism menunjuk kepada logika spasial yang
secara simultan bersifat homogen dan terfragmentasi— semacam suatu
“schizo-space”(ruang/sekat dimana terjadi halusinasi/kontradiksi). Lebih
jauh Jameson menambahkan bahwa “ruang/sekat schizo”menjadi penanda dari zaman terkini dimana loyalitas lama terhadap kelas, atau
gender, fragmentasi ras, dislokasi, kekacauan, keterpecahan, ketersebaran
“bercampur-aduk”dengan loyalitas baru terhadap kelas, gender, keterlibatan rasial, dan kemandegan sosial-budaya. Tidak ada seorang-pun
meyakini, landasan macam apa yang mereka sedang perjuangkan, atau
tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan semacam ini, Jameson mengatakan bahwa “subjek telah mati”. Sebagaimana yang dikatakannya:
“Apa yang sedang berlangsung kini merupakan suatu realitas politik praktis:
sejak krisis yang menghancurkan internasionalisme kaum sosialis dan hambatan-hambatan strategis dalam mengoordinasikan aksi-aksi politik di tingkat
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
25
lokal-grassroot dengan nasional atau internasional. Dilema semacam inilah
yang sedang berlangsung saat ini dalam mempertanyakan ruang internasional
yang lebih kompleks.”(Jameson, 1991:413)
Dalam menanggapi fenomena lumpuh-nya politik saat ini, Jameson mengembangkan suatu konsep mengenai “ruang dan tindakan
politik” yang disebut sebagai “cognitive mapping” (pemetaan kognitif).
Pemetaan kognitif merupakan suatu bentuk dari budaya politik radikal
dimana objek fundamental-nya adalah “the world space of multinational
capital”(ruang dunia kapital multinasional). Pemetaan kognitif merupakan
suatu kesadaran terhadap proses-proses global yang sedang berlangsung,
sekaligus ketidakmampuan subyek di dalam meraih totalitas (seperti
nilai-nilai atau ideologi yang mutlak). Pemetaan kognitif pula yang memungkinkan orang menyadari posisi mereka di dunia, dan karenanya
memberikan sumber bagi resistensi dan penciptaan sejarah diri mereka
sendiri. Jadi, logika kapital-lah yang menciptakan suatu perkembangan
di dalam ruang ke-tidakadil-an. Oleh karena itu, menurut Jameson, diperlukan “pemetaan terhadap ruang-ruang ketidakadilan semacam itu”,
sehingga dapat menciptakan peluang bagi tumbuhnya “budaya-budaya
oposisi”(oppositional cultures) dan gerakan sosial baru melawan kepentingan
kapital sebagai suatu “situs (ruang) resistensi”.
Masalahnya, di dalam budaya oposisi, setiap orang “merepresentasikan” sekelompok orang yang lainnya pada saat yang bersamaan.
Artinya, identitas dari posisi subjek dan gerakan politik dipahami secara
simultan. Pada bagian awal digambarkan suatu ketakketerkaitan di dalam
perilaku pemilih dalam pemilu, dimana sekelompok orang yang distereotipe-kan sebagai “kelas pekerja” justru memberikan suara bagi
kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelas mereka. Disini,
identitas menggantikan posisi subjek karena keadaan yang objektif atas
identitas kemudian diartikulasikan oleh para politisi, akademisi, dan rohaniwan.9 Oleh karena itu, Jameson lebih jauh menganjurkan pentingnya
upaya untuk menemukan kembali “ruang resistensi”, yaitu sebagai:
“… Suatu ruang imajiner yang mampu membenturkan masa lalu lewat caracara baru dan membacanya sebagai suatu misteri yang belum terpecahkan oleh
9
Pendapat semacam ini dipelopori oleh pemikiran Gayatri Spivak tentang kelompok “subaltern” yakni orang-orang jelata-kelompok marjinal yang kepentingan
artikulatif-nya selalu dimediasikan oleh “mereka”yang memiliki posisi kekuasaan
untuk menstrukturkan pengetahuan, seperti: para politisi, intelektual-akademisi,
dan rohaniwan (tokoh-tokoh agama).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
26
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
ruang (sekat) struktural. Misteri ini, sebagaimana yang dapat kita temukan
dalam tubuh, kehidupan kosmis, realitas kehidupan perkotaan, dan berbagai
struktur lainnya yang ditandai oleh pengorgarnisasian yang bersifat intagible
(non-material) di dalam kebudayaan, dorongan ekonomi, maupun dalam bentuk-bentuk linguistik.”(Jameson, 1991: 364-5)
Di sini Jameson menekankan spesifikasi “ruang atau sekat”sebagai sesuatu yang melahirkan posisi kesadaran subjek secara berbedabeda. Sementara itu, Edward Soja, seorang pemikir politik beraliran
postmodernisme, melihat bahwasanya “ruang”tersebut bukan sebagai
sesuatu yang bebas dari kepentingan, melainkan dipenuhi oleh politik dan
ideologi yang membawa konsekuensi kepada posisi kesadaran subyek:
“We must be insistently aware of how space can be made to hide consequences
from us, how relations of power and dicipline are inscribed into the apparently
innocent spatiality of social life, how human geographies become filled with
politics and identity.”(Soja, 1989: 6)
Baik Friedric Jameson maupun Edward Soja sama-sama berargumen bahwa “geografi dan sejarah kapitalisme” saling bersinggungan
(intersect) di dalam suatu proses sosial yang kompleks, yang menciptakan
kelanjutan suatu proses historis dalam ruang (sekat-sekat) sosial yang
kontradiktif. Jadi, menurut keduanya, ruang atau sekat sosial semacam
inilah yang menentukan batasan-batasan dari suatu “identitas”. Kemudian,
apa sesungguhnya yang kita maksudkan sebagai “identitas”itu sendiri?
Dan mengapa “identitas”menjadi sesuatu yang signifikan bagi tujuantujuan politik?
Kata “identitas” dan makna-nya di dalam konteks politik, sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang cukup baru di dalam
wacana intelektual kontemporer. Identitas seseorang ‘
meng-konstruksikan suatu proses dialogis yang menandai batasan-batasan apa saja mengenai diri-nya dan apa saja yang membuatnya sama atau berbeda dengan
orang lain’(Stuart Hall, 1992). Jadi, menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari ‘
sense (rasa/kesadaran) terhadap
ikatan kolektivitas’
. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang ‘
memiliki atau
berbagi kesamaan’dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan
juga identitas memformulasikan ‘
otherness’(keberbedaan) atau sesuatu
yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference). Oleh karena itu, menurut
Judith Butler (1992), konstruksi mengenai identitas melibatkan seluruh
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
27
peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan kolektif yang saling
berkompetisi dan, karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah bersifat
deskriptif, melainkan bersifat normatif.
“Identity categories constitute multiple competing possible identities in which
particular groups define themselves in a distinctive sense of belonging, identity
categories are never solely descriptive, but normative”(Butler, 1992: 15).
Pengenaan identitas kolektif sebagai sumberdaya sekaligus sarana
politik di dalam realitas modern, secara sederhana kita temukan di dalam
fenomena terbentuknya “negara-bangsa”(nation-state) dalam era poskolonial, dimana beragam latarbelakang komunitas ras, suku-bangsa (etnis), agama membentuk komunitas negara-bangsa. Konsepsi semacam
inilah yang dikembangkan oleh Bennedict Anderson (1983) melalui tesisnya mengenai “imagined communities”atau komunitas imajiner, dimana
ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik bukan hanya suatu
konstruksi politik semata, melainkan juga sebagai konstruksi budaya.
Disini, ikatan terhadap kolektivitas bukan lagi didasari oleh kontak-kontak langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat dengan komunitas di lingkungan sekitar (neighbourhood) atau di dalam suatu
organisasi. Melainkan “diciptakan”oleh makna yang diproduksi melalui
simbol-simbol dan praktek-praktek budaya yang saling dibagi bersama.
Seperti penulisan sejarah, lagu-lagu kebangsaan, bendera, atau pengakuan
bagi hari-hari besar nasional.
Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan
kolektivitas yang peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struktur kelas, gender dan seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam
gaya hidup (bentuk-bentuk konsumsi). Perkembangan di dalam dunia
kontemporer saat ini menunjukkan bahwasanya identitas politik sangatlah beragam dan klaim-klaim terhadap identitas “bukan”lagi menjadi
monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan paternalistik
dalam relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan negara.
Tetapi juga menjadi wilayah bagi muncul-nya rezim-rezim “klaim-klaim
kolektivitas baru”lintas kelas, ras, etnis, atau agama, misalnya, kelompok
homoseksual. Klaim kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskursus politik-kebudayaan, misalnya pembedaan kelompok-kelompok liberal-fundamentalis, dan sebagainya.
Kaitan antara signifikansi identitas sebagai sumberdaya dan sarana
yang memobilisasi “perbedaan” oleh Stuart Hall (1992) dirumuskan
melalui pertanyaan sederhana: “Siapa saja yang membutuhkan identitas? Siapa
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
28
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?”Pertanyaan sederhana akan
tetapi amat sulit untuk mencari jawaban yang dapat menjelaskan kompleksitas di dalam kaitan antara identitas sebagai sumberdaya dan sarana
politik secara komprehensif. Ini tidak lain karena terminologi mengenai
identitas politik tidak pernah definitif, apalagi konstruksi mengenai kategori-kategori di dalam identitas bersifat “cair dan fleksibel”.10 Rosalind
Brunt mendeskripsikan politik identitas sebagai:
“… politik sekelompok orang yang berangkat dari penekanan terhadap pengakuan (dalam derajat tertentu) terhadap aktivitas politik dan upaya yang
melibatkan suatu proses terus-menerus untuk menandai siapa diri kita dalam
relasi kita dengan orang lain”(Brunt, 1989: 151).
Meski demikian, pandangan semacam itu ditentang oleh Jenny
Bourne (1987), yang melihat pengertian politik identitas sebagai suatu
kemunduran proyek politik yang bersifat emansipatoris karena politik
identitas merupakan suatu wujud eksploitasi keluar (mobilisasi individu)
dan penindasan ke dalam diri subjek (manipulasi kesadaran), sebab yang
dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk menekankan “Who
I am— Siapa Saya!” (Bourne, 1987:1). Pandangan yang dikemukakan
oleh Bourne ini sebenarnya secara implisit menafikan konsepsi mengenai individu sebagai subjek atau manusia yang rasional, yang memiliki
pengetahuan yang bukan hanya disituasikan (dikonstruksikan), melainkan
juga pengetahuan untuk menciptakan situasi (konstruksi), dan memiliki
kehendak bagi dirinya sendiri. Suatu perdebatan yang sebenarnya sudah
lama berlangsung, yakni berkenaan dengan posisi subjektivitas sebagai
suatu konstruksi sosial ataukah sebagai suatu esensi dari kondisi yang
sudah ada dan tak terbantahkan (pre-given essence). Misalnya, apakah homoseksualitas-heteroseksualitas merupakan konstruksi sosial atau diwarisi
secara natural?
Posisi subjektivitas dalam relasi-nya dengan kondisi objektif sesungguhnya bersifat dialektis, sesuatu yang gagal dipahami oleh Marx
dalam penjelasannya mengenai “alienasi”(keterasingan) yang dialami
oleh kaum buruh dengan barang-barang yang telah mereka produksi.
10
Arjun Appadurai berpendapat bahwasanya identitas bukan hanya suatu produk
dari kebudayaan, melainkan proses kebudayaan yang memobilisasikan perbedaan-perbedaan di dalam relasi sosial (Lihat penjelasan: Appadurai, 1996 .”Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, dalam Modernity at
Large: Cultural Dimension of Globalisation, Minneapolis: University of Minnesota
Press, hal. 32-43).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
29
Kegagalan analisis Marx baru dapat dibuktikan hampir satu abad kemudian, ketika proses ambigu di dalam kapitalisme juga melahirkan kelaskelas sosial baru, dimana kapitalisme bukan hanya mengubah mode of
production ‘
cara-cara memproduksi’
, tetapi juga mengubah mode of consumption ‘
cara-cara mengonsumsi’(George Ritzer, 2000). Menurut Liz
Bondi (1993), kegagalan diagnosis Marx termuat di dalam penjelasannya
mengenai posisi subjektif di dalam relasinya dengan kondisi objektif,
dimana kesadaran (conscioussness) merupakan suatu produk dari kondisikondisi yang diciptakan oleh relasi-relasi kelas, dan bukan sebagai suatu
tindakan manusia (human action) yang rasional. Liz Bondi juga melanjutkan bahwa gagasan yang diusung oleh Sigmund Freud memiliki asumsi
yang setara (paralel) dengan gagasan Marx. Menurutnya, Freud melihat
kesadaran (consciousness) sebagai sesuatu yang “dikonstruksikan”sebagai
suatu respon atas ketidaksadaran (un-consciousness), dimana ketidaksadaran
merupakan produk dari tekanan (represi) dari harapan atau kehendakkehendak, khususnya yang kita alami di masa kanak-kanak. Jadi, dalam
pemikiran Freud, ketidaksadaran individu “tidak dapat sepenuh-nya
kita kenali secara langsung”, sehingga keberadaannya melahirkan bentukbentuk kesadaran yang manipulatif, tidak pernah sepenuhnya rasional,
atau tidak pernah merasa betul-betul aman (secure). Liz Bondi menyimpulkan bahwa pandangan Marx dan Freud telah menempatkan individu sebagai suatu makhluk yang tidak dapat utuh, dan selalu tercerabut
(Bondi, 1993: 87-91).
Meski demikian, Liz Bondi menegaskan bahwa pandangan semacam itu menjadi “tantangan” bagi formulasi perspektif humanismeliberal Barat yang didasari oleh filsafat Cartesian mengenai “cogito”, yang
menempatkan individu sebagai makhluk yang sepenuhnya mandiri (autonomous), subyek yang sepenuhnya berdaulat (sovereign subject), dan karenanya manusia memiliki kestabilan dan sulit teralienasi. Perspektif tersebut melihat kesatuan yang utuh dan mandiri di dalam diri individu,
yang menciptakan basis bagi setiap orang (manusia) untuk mengidentifikasikan diri mereka satu sama lainnya sebagai makhluk yang “setara”
(equals) (ibid:85-7). Konsekuensi dari pandangan humanisme-liberal ini
kemudian menjadi dasar argumentasi bagi “tuntutan emansipatorik”
(emansipatory necessities) sebagai “nilai-nilai kesetaraan”bagi seluruh manusia, dan karena itu pula mendorong upaya “hak-hak bagi kesetaraan”
(equal rights). Perspektif semacam inilah yang dominan di dalam sudut
pandang Demokrasi Liberal Barat. Akan tetapi, sudut pandang sema-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
30
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
cam ini justru telah menjadi suatu mekanisme subordinasi, karena menganjurkan bentuk-bentuk universalitas yang menindas keberbedaan. Sedangkan bentuk-bentuk “keberbedaan yang tertindas”(suppressed differences) itu sendiri adalah perbedaan-perbedaan yang dilahirkan sebagai konsekuensi dari ‘
siapa yang menduduki posisi kekuasaan dan siapa saja yang
memiliki otoritas untuk mendefinisikan pengetahuan’
.11
Ien Ang (2001), melihat pandangan demokrasi liberal-Barat sebagai
suatu kualifikasi bagi kualitas kesetaraan yang memuat unsur-unsur di
dalam hegemoni budaya Barat yang lahir dari sudut pandang kelas menengah (borjuis) kulit putih, sehingga klaim universalitas di dalam kesetaraan itu meniadakan peran politik kelompok-kelompok minoritas yang
terpinggirkan.12 Sementara itu, melanjutkan pemikiran yang dikembangkan oleh Liz Bondi; menurutnya, pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Marx dan Freud justru dapat membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk mempertahankan klaim-klaim normatif bagi humanisme-liberal, ketimbang sebagai suatu proyek egalitarian yang ambisius
(1993: 86). Menurutnya, “identitas”yang membentuk kesadaran tentang
diri kita sebagai individu maupun makhluk sosial dikonstruksikan melalui
proses-proses kultural dan bukan bersifat “pre-given”. Konstruksi ini menyiratkan suatu proses kultural yang tidak memerlukan atribut-atribut
11
12
Pandangan semacam ini banyak dikemukakan oleh Michel Foucault yang melihat
relasi antara kekuasaan bukan sebagai suatu kategori biner, melainkan “distrukturkan-oleh dan sekaligus menstrukturkan” pengetahuan (Lihat Michel Foucault, 1980. Power/Knowledge,New York: Harvester Press)
Ien Ang melihat bahwasanya politik multikulturalisme yang dipraktekkan di
Barat atau yang dilandasi oleh humanisme liberal-Barat, hanyalah suatu “perayaan bagi keberbedaan” saja, karena sesungguhnya ruang-ruang bagi negosiasi
politik dari berbagai kelompok yang multi-kultural itu “tetap” secara hegemonik
dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang dominan. Studi Ien Ang ini diperoleh melalui rekonstruksi kesadaran subjektif-nya yang tercerabut (displaced) dari
ruang geografis dimana ia memperoleh identitas-nya sebagai “warga kosmopolitan” tanpa suatu akar identitas yang jelas. Dilahirkan sebagai seorang peranakan
Cina, lahir di Surabaya dan mengalami masa kanak-kanak di zaman gelora “nasionalisme”Orde Lama yang memberi-nya identitas nasional pertama sebagai “orang
Indonesia dan orang Cina yang tidak bisa berbahasa Cina”. Kemudian terusir dari
“tanah kelahiran-nya” akibat tragedi politik penumpasan PKI dan membuatnya
hidup sebagai “pengungsi-politik”di Belanda, dan saat ini justru hidup dan menjadi warganegara Australia. Pengalaman itu, menurutnya, memberi suatu identitas
yang tidak dapat lagi ia pertahankan melalui ikatan-ikatan kolektivitas lama.
(Lihat Ien Ang, 2001. On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West.
London: Routledge)
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
31
kemanusiaan universal, melainkan suatu diferensiasi dan gerakan dimana
identitas merupakan karakteristik masyarakat modern. Kelompok-kelompok yang tersubordinasi dapat menggunakan pemikiran semacam
ini untuk membuka tabir kepalsuan yang ditawarkan oleh pemikiran
mengenai otoritas “individu”yang mutlak, untuk mempertahankan posisi
mereka sebagai “the other”atau minoritas. Dengan demikian, maka konstruksi bagi identitas alternatif merupakan bagian dari politik resistensi
atau politik oposisi yang memberikan suatu konstruksi “tandingan”bagi
kelompok-kelompok dominan.
Batasan-batasan di dalam menentukan lokasi bagi identitas di dalam ruang politik kemudian merupakan sesuatu yang tidak dapat bersifat
mutlak (fix), tidak bersifat pasif, dan bersifat dialektis. Michael Keith
dan Steve Pile (1993), menyarankan tiga lokasi bagi batasan-batasan
dalam “politik identitas baru (postmodern)”, yakni: (1) lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities of resistance);
dan (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan (location
of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik.
Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau
simbolik (symbolic space). Dalam konteks ini, penentuan lokasi bagi masuknya individu ke dalam politik haruslah ditempatkan di dalam relasi-nya
dengan masyarakat. Yakni berkaitan dengan:
“relasi-relasi sosial macam apa yang mereka bagi bersama; apakah mereka saling
berbagi pengalaman di bawah suatu penindasan; apakah perlu bagi kita untuk
mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam rangka membentuk suatu aliansi
melawan hegemoni kekuasaan; Perbedaan-perbedaan manakah yang perlu diartikulasikan dan mana yang tidak perlu bagi suatu perjuangan lebih lanjut”
(Keith dan Pile, 1993: 5-36).
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu-lah yang dapat menempatkan
identitas ke dalam lokasi politik, sehingga politik identitas bukan secara
sederhana dimaknai sebagai suatu pengorganisasian resistensi yang bersifat “biner”, yakni yang mengkategorikan “kita”dengan “mereka”, melainkan sebagai suatu pengelolaan bagi mobilisasi komunitas-komunitas
resistensi. Komunitas resistensi memerlukan suatu landasan (baik yang
bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan tumbuhnya
formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan
ruang gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatifalternatif kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political
possibilities). Salah satu alternatif bagi kemungkinan-kemungkinan politis
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
32
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
tersebut, misalnya dapat dimulai dari pendefinisian kembali atau pencarian konsep dan kebutuhan masyarakat atas “keadilan sosial”(social justice) yang selama ini hanya termuat di dalam pengertian universal mengenai hak-hak manusia— suatu pengertian yang melihat keadilan sosial semata-mata sebagai sesuatu yang secara aktual, melekat (embedded) di dalam
kondisi material dan kondisi hegemonik. Sehingga pemahaman mengenai
“keadilan sosial”haruslah disituasikan.
Dengan kata lain, konsep keadilan sosial memerlukan batasanbatasan yang memungkinan bagi identifikasi aliansi-aliansi yang secara
potensial menjadi basis dari persamaan-persamaan/kemiripan-kemiripan
(similarities), dan bukan kesamaan-kesamaan/keseragaman (sameness). Perluasan konsep keadilan sekaligus juga membuka peluang bagi perluasan
artikulasi kesetaraan. Dengan kata lain, politik identitas bukanlah suatu
persoalan mengenai penyikapan individu secara personal (personal attitude), melainkan lebih sebagai suatu penyikapan terhadap dilema struktural di dalam mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan
sosial. Sehingga kemunculan berbagai rezim baru yang mengusung wacana politik identitas sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai suatu
ancaman bagi kelangsungan peradaban manusia. Bahkan sebaliknya,
membuka dimensi-dimensi baru mengenai keadilan dan kesetaraan.[]
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ari Setyaningrum
33
Referensi
Abu-Lughod, Lila. 1995. “Going beyond global-babble”, in A.D King
(ed), Culture, Globalisation and the World-System. Basingstoke: MacMillan.
Anderson, Bennedict, 1983. Imagined Communities. London: Verso. Revised and extended edition, 1991.
Ang, Ien . 2001. On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West.
London: Routledge
Alcoff, Linda Martin. 2003. “Identities: Modern and Postmodern”, in
Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race, Class, Gender
and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing
Appadurai, Arjun. 1996 .”Disjuncture and Difference in the Global
Cultural Economy, dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of
Globalisation, Minneapolis: University of Minnesota Press
Ashcroft, B., Griffith, G., and Tiffin, H. 1998. Key Concepts in Post-colonial
Studies. London: Routledge.
Bhabha, Homi. 1998. “Cultures in Between”, in Bennet, David (ed),
Multicultural States, Rethinking Differences and Identity, London: Routledge
Bondi, Liz. 1993. “Locating Identity Politics”, in Keith and Pile (eds),
Place and the Politics of Identity, London and New-York: Routledge.
Bourne, Jenny. 1987. Homelands of the mind: Jewish Feminism, and
Identity Politics’
, Journal of Race and Class Vol. 29:1-24
Brunt, Rosalind. 1989. “The Politics of Identity”, in Hall, S. and Jacques,
M. (eds), New Times: The Changing Face of Politics in the 1990s. London: Lawrence and Wishart.
Butler, Judith. 1992. Contingent Foundation: Feminism and the Question of Postmodernism, in Butler, Judith and Scott, Joan (eds.),
Feminists Theorize the Political. New York: Routledge.
Chomsky, Noam. 1996. World Orders and New. New York: Columbia
Unversity Press.
Escobar, Arturo. 1995, Encountering Development, The Making and Unmaking of the Third World. Princeton-NJ: Princeton University Press.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge,New York: Harvester Press.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
34
'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial
Gupta, A. and Ferguson.J. 1997. “Beyond ‘
culture’
: Space, Identity, and
the Politics of Difference”, in Gupta, A. and Ferguson, J. (eds),
Culture, Power, Place: Explorations in Critical Anthropology. DurhamNC: Duke University Press.
Hall, Stuart. 1992. “Who needs identity”, in Hall, S and Du Gay, P
(eds), Questions of Cultural Identity. London: Sage.
Hall, Stuart, 2002. “The West and the Rest: Discourse and Power”, in
Haggis, Jane., and Schech, Susan (eds), Development: A Cultural
Studies Reader. Oxford:Blackwell
Habermas, Jurgen. 2001. The Postnational Constellation: Political Essay.
Cambridege-MA: The MIT Press.
Jameson, Friedric. 1991. Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism, London: Verso
Keith, Michael and Steve Pile. 1993. “The Politics of Place and the
Place of Politics”, in Keith and Pile (eds), Place and the Politics of
Identity, London and New-York: Routledge.
Mendieta, Eduardo. 2003. “Identities: Postcolonial and Global”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race, Class, Gender
and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing.
Shiva, Vandana. 1997. Economic Globalisation, Ecological Feminism,
Susitanable Development. Canadian Women’
s Studies Vol. 17 (2)
Shohat, Ella. 1992. “Notes on the Post-Colonial Context”. Social Text,
vol. 31/32:
Soja, Edward. 1989. Postmodern Geographic. London: Verso.
Spivak, Gayatri and Gunew, Sneja. 1993. Questions of Multiculturalism, in During, Simon (ed), the Cultural Studies Reader. London:
Routledge.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
35
The Forest, the State,
and Communal Conflict
in West Kalimantan, Indonesia
Gerry van Klinken*
Abstract
West Kalimantan has a history of violent communal conflict. It also has
extensive forests that have been looted for decades. Could the two be linked? If
yes, how? These are the guiding questions in this paper. The argument will be
that they are linked, but not in the way often supposed. Except in its first few
days, the two main episodes of 1997 and 1999 were not driven mainly by
grievances among marginal groups. Rather, explanations based on the “resource
curs”carry more weight. These focus attention on the predatory nature of the
state and how it deals with its closest clients, rather than on rebellious activities
of marginal groups.
Introduction
JOURNALIST Richard Lloyd Parry retold an account he had heard
from ‘
Bernard’about a rally of militant Dayaks held in the northern
part of Pontianak district, on 7 February 1997:
A group of men stood on the roof of the white bus... The Dayaks
were from the interior. The men on the bus were members of the
regional assembly, sent to calm them down. They were visibly failing
to achieve this. ‘
The Dayaks were all ready for war, and they were
possessed, they weren’
t acting normally’
, said Bernard. ‘
They were
completely silent, and then someone screamed, and they all screamed
together - “Woo-woo-woo-woo!”’Standing separately from the local
politicians was a group of men under a red sun umbrella. One of
them had a red headband, and seemed to be speaking into a microphone. This was the panglima. ‘
I have seen politicians speaking to
election rallies,’said Bernard, ‘
and they are nothing compared to the
panglima. These people would have done anything he said.’(Parry
1998)
*
Gerry van Klinken <[email protected]> is a research fellow at the Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, www.kitlv.nl. He is
writing a book on post-New Order ethnic conflict in Indonesia. This paper was
prepared for the conference “Natural Resources and Violent Ethnic Conflicts in
the Asia/Pacific Region”, East-West Centre, Honolulu, 18-20 March, 2005.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
36
The forest, the State, and Communal Conflict
Indonesia has seen too many such scenes. Separatist conflicts have been running in Papua and
Aceh for many years, while East Timor’
s long
struggle for independence after Indonesia annexed it in 1975 also resembled separatism.
After the end of Suharto’
s authoritarian New
Order in 1998, violent conflicts broke out in
several other places, namely parts of Maluku,
Central Sulawesi, and two provinces in Kalimantan. These were not separatist but communal in character.
Interpreting communal conflict is difficult because the participants often speak a cultural language, such as that of ‘
possession’in the
opening quote, which bears no relation to possible material interests.
Many observers never get beyond what they first hear the participants
saying. The best attempts for West Kalimantan to go a step further
come from anthropologists who know the Dayaks well. Several have
drawn attention to an environmental aspect. Standing out from the
many studies of cultural identity that continue to appear on West Kalimantan, this environmental work represents the main interests-based
analysis of the West Kalimantan violence.
In order to learn whether the communal conflict in West Kalimantan may have indeed been a civil war about natural resources, the
paper shifts reflexively between events on the ground and various theoretical literatures. It makes two main moves. In the first, the aim is to
achieve a better understanding of the possible environmental aspects
of violent conflict in West Kalimantan (and by analogy other timberrich parts of Indonesia). This part begins by contrasting two conceptualising literatures on the question. The difference between them hinges
on alternative ways of conceiving the dynamics of political conflict,
namely a grievance-based and a mobilisational view. It then describes
the two violent episodes in West Kalimantan, showing that the second
is the most appropriate.
In the second move, the focus shifts to the state. The paper asks
how the particular kind of state prevailing in Indonesia becomes vulnerable to mobilisation for violent conflict, in the presence of natural
resources such as timber, at a transitional moment such as 1999. Here it
concludes that a literature of the ‘
shadow state’is better than the more
common literature of the ‘
weak state’at capturing what we know about
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
37
the episodes in West Kalimantan. The paper closes by reflecting on
what has been gained by making these two moves.
Natural resources and conflict
Some of the growing literature on violent conflict in Indonesia has
seen connections with environmental problems. Two broad approaches can be distinguished. The ‘
environmental scarcity’approach traces
unrest to grievances among marginal groups over environmental degradation such as deforestation or soil erosion. The ‘
resource curse’approach considers how the local abundance of a globally scarce resource such as timber or diamonds can either weaken the state or embolden rebel groups. The labels ‘
environmental scarcity’and ‘
resource
curse’suggest that the two approaches have different starting points.
One begins with scarcity whereas the other starts with (local) abundance. But a more fundamental divergence is that they employ different concepts of conflict. One sees it as driven by grievances or ‘
relative
deprivation’
, a negative emotion (Gurr, 1970), the other by an eye for
opportunities, a positive one. Opportunity is a key concept in the resource mobilisation literature on violent conflict (Tilly 1978, 2003; McAdam, Tarrow, and Tilly 2001). Elites with establishment connections are
an essential element in this school’
s reading of conflict. Even intolerable
grievances, according to these authors, will continue to fester so long as
no elites choose to offer leadership.
The idea that grievances about environmental degradation caused
by population increase can be a significant cause of violent conflict,
especially internal conflict, received heightened attention through the
work of the Toronto Group (Homer-Dixon, 1999). In Indonesia this
idea has actually been around for a long time. It became almost a commonplace among anthropologists working on Kalimantan after the
early 1980s, when their discipline took a political turn. Until then anthropologists had portrayed Dayaks as tribes isolated from the outside
world. Now they began to see them as victims of an environmental
squeeze by capitalists and the intrusive state. They warned repeatedly
of a Dayak backlash against the loss of their traditional lands. When
violence did erupt in 1997 they were quick to conclude it proved them
right (Ludwig 1986; Sevin 1985; Dove 1982; Alcorn and Roy 2000;
Lowenhaupt Tsing 1993; Padoch and Peluso 1996; Peluso and Watts
2001; International Crisis Group 2001). The Dayak activist John Bamba (2000) presented a strong list of such grievances:
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
38
The forest, the State, and Communal Conflict
For many decades, the government’
s policies on forest management,
religion, education, political activities, and other issues that directly
touch the lives of the people created a disempowerment process. For
the Dayak in Kalimantan, it caused the destruction of their environment, loss of their land and forest, disempowerment of their local
adat institutions, destruction of their culture, and the creation of uncertainty with regards to their future as indigenous peoples in Kalimantan.
The grievances were real. And yet we never learn exactly how
they determined the course of the violence. Grievance-based accounts
are methodologically disinclined to take much interest in this question.
Dayak authors have even stronger reasons to emphasise grievances but
avoid organisational details. But when we do begin to look closely, we
notice things that do not fit. For example, the grievances do not match
the location very well. Sambas district is not the place where deforestation is greatest one, nor where plantations have robbed the greatest
number of people of their land.
The problem goes deeper. For when we ask how often does environmental degradation become a significant cause of violent conflict
around the world, the answer is, apparently, not very often. The Toronto
Group has been criticised for failing to come up with convincing evidence that environmental degradation consistently causes violent conflict. A volume edited by Diehl and Gleditsch (2001) has in my view
clinched the argument. The tone-setting chapter by Goldstone (2001)
cites three major statistical studies that all drew negative conclusions.
One by Hauge and Ellingsen (2001), in the same book, shows on the
basis of comprehensive global data between 1980 and 1992 that deforestation, land degradation, and low freshwater availability raises the
probability of civil war by less than 1.5%, though it raises the probability of lesser kinds of armed conflict by 4-8%. The risk of violent
conflict is in any case high in poor countries that have high income
inequality, high population density, and low cash income. Environmental degradation is also common in such countries, but its presence only
marginally raises the probability of violent conflict. Similar conclusions
were reached in the US-government sponsored State Failure Project
(Goldstone et al. 2000), and in an earlier extensive study by Baechler
(1998), ironically one of the founders of the environmental security
approach. All this makes it more difficult to argue that the Dayak episode in early 1997 was a typical case of protest by marginal groups on
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
39
environmental grounds. It seems such events are not ‘
typical’
.
Population increase by itself, which is apart from environmental
degradation, does demonstrably cause political instability if it is of certain kinds, according to the same chapter by Goldstone. The risk of
turbulence increases if the labour force grows sharply but there are not
enough jobs. One way this can happen is if urbanisation is high but
economic growth is low. Another is if the number of highly educated
youths surges but there are no elite political or economic positions for
them. Other examples are an expanding agrarian population running
up against land controlled by large landholders, or the migration of
populations into a region already settled by a population with a distinct
identity. We will briefly return to this below.
The ‘
resource curse’approach is discussed in an entirely separate
literature. The State Failure Project does not even allude to it, for example. Yet both are about the conflict-causing potential of the natural
environment. Actually ‘
resource curse’is a long-standing concept among
economists to explain why economies rich in natural resources often
grow poorly. They also call it Dutch disease. But only recently have
political scientists begun to ask why the same phenomenon also leads
to political instability (Ross 1999). The point of departure in subsequent studies has shifted away from grievances to opportunities. Among
the first to work along these lines was Paul Collier and his colleagues at
the World Bank (Collier and Hoeffler 2001; Collier et al. 2003). Their
interest was in rebel movements that considered ‘
lootable’natural resources an opportunity to finance their movement. Sierra Leone, Angola and Liberia with their diamonds, oil and timber, were their classic
examples.
Although it too is poor, Indonesia is not as dysfunctional as Sierra Leone. Indeed the Sierra Leone cluster is exceptional because these
countries have virtually no formal state (Herbst 2000). But other studies have broadened the scope to consider political violence in all resource-rich states. Renner (2002) included violent conflicts in Indonesia’
s Aceh and Papua as examples of civil wars intensified by the presence of abundant natural resources. He shifts the focus away from
rebel forces to the states themselves. Somehow a dependence on natural resources weakens state institutions, so they are unable to deal well
with dissent. Just how this works remained somewhat unclear.
Natural resources are not all alike in their effects. It is important
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
40
The forest, the State, and Communal Conflict
to distinguish between different kinds of resources. Oil is the most
thoroughly researched (Karl 1997). A new study disaggregates the possible effects on the risk of civil war of rents obtained from timber,
minerals and oil resources (Soysa and Neumayer 2003). Using three
large global datasets produced by other researchers (two on civil war
and one on natural resources), it concluded that the risk of civil war or
insurgency goes up dramatically as a country’
s dependence on oil increases. Strangely, the risk peaks when dependency reaches around 1525% of GDP, and declines after that. Possibly the reason is that totally
oil-dependent countries are rich enough to afford an effective police
force. Surprisingly also, timber and minerals seem to have no effect on
the risk of civil war, though the data was weak in both cases.
One other study that disaggregates natural resources is worth
mentioning because of its conceptual innovation, although it does no
large-N statistical work. Le Billon (2001) suggests that the field of political ecology (Bryant and Bailey 1997) can be turned into a powerful
tool to analyse violent conflict and natural resources. The post-cold
war decline in aid has made poor states more dependent on natural
resources and this has in turn made them more vulnerable to internal
conflict. Volatile, clientelistic, market-based forms of domination grow
out of the ruins of the formal state as dependence on resource extraction increases. Le Billon writes:
‘
… Resource-dependent countries thus tend to have predatory governments serving sectional interests and to face a greater risk of violent
conflict.... The violent conflictuality of resource exploitation is closely
linked to the failure and degeneration of political systems — most
generally patrimonialism or clientelism — into ‘
spoil politics’
, whereby ‘
the primary goal of those competing for political office or power is
self-enrichment’
.... Many contemporary wars are inscribed in the legacy
of earlier mercantile wars privately financed to serve economic objectives and similarly focusing on resource rich areas and trading posts.’
A matrix in Le Billon’
s article speculates that different geographies of resources might lead to different kinds of violent conflict,
depending on their location (distant or proximate to the centre of governance), and their concentration (point sources like an oil field, or a
diffuse resource such as timber). Thus timber, a distant, diffuse resource, leads to warlordism; oil in a proximate place tends to produce
coup d’
etats; oil in a distant place tends to stimulate secessionism; while
a proximate diffuse resource (such as agricultural land) leads to riots or
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
41
rebellions.
Let us now turn to what happened in West Kalimantan. As we
will see, much of it can be described by the dynamics of elites exploiting opportunities highlighted in the foregoing discussion.
Elite opportunities and the West Kalimantan violence1
Both major recent episodes of ethnic violence in West Kalimantan took
place in Sambas district, located in the large province’
s northwest corner bordering Malaysia’
s Sarawak (Maps 1, 2). Both involved more or
less unprovoked attacks against the entire local Madurese community.
The first left about 500 dead and about 20,000 internally displaced
Madurese (Human Rights Watch 1997). The second left fewer dead
but an even greater number displaced - approximately 35,000, which
swelled to 60,000 following another pogrom in 2000.2 The Madurese
are a small but widely despised immigrant community, mostly poor
farmers.
In both cases the security forces performed poorly. They occasionally shot wildly into trucks carrying attackers. Soon they put more
of their resources into evacuating the Madurese for their own safety,
thus helping to carry out ethnic cleansing (Davidson 2002: 374). A number of people were jailed for participating in violence, but who the
organisers may have been was never revealed.
There were also important differences between the episodes. The
first in 1997 was carried out by Dayaks, the second in 1999 mainly by
Malays. Dayaks and Malays are indigenous but culturally distinct ethnic
groups in West Kalimantan. Each makes up around a third of the
provincial population. The stereotypical Dayak is a tribal who lives in
the jungle interior and is pagan or Christian (mostly Catholic), while the
Malay is Muslim and farms near the coast (King 1993). The stereotype
is attractively exotic but it ignores the rapid process of urbanisation
that has affected all ethnic groups including Dayaks and Malays in re1
2
The following account highlights only some salient facts from a substantial literature. For the 1997 episode see Human Rights Watch (Human Rights Watch
1997), while for 1999 see (Davidson 2002; Davidson 2003). Some of the details
in this chapter are documented in my forthcoming book on post-New Order
ethnic conflict around Indonesia (for an outline see {Klinken, forthcoming [2006]
#3245}).
“Background information on the IDP situation in Indonesia”, Norwegian Refugee Council, 28 August 2002 (http://www.idpproject.org/).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
42
The forest, the State, and Communal Conflict
cent decades. Malays occupy much of the bureaucracy and have followed the state into the remotest interior. Upwardly mobile Dayaks
have developed sophisticated urban ethnic networks. Dayaks have a
long history of ethnic identity formation going back to colonial times,
when they were regarded as backward. Malays have for a century been
closer to the modern state and have not regarded themselves as ‘
ethnic’
until recently.
The first, Dayak episode of violence took place in two waves,
30 December 1996 till 4 January 1997, and then 29 January to the
second half of February 1997. In the first wave many small groups,
some described as ‘
hysterical’
, burned down houses in local Madurese
settlements till none were left. The focus was the small town of Sanggau Ledo. The second wave spread to other towns around Sambas
district, and beyond it into Pontianak district and Sanggau to the south.
It showed a higher level of coordination from the provincial capital
Pontianak, as well as more clearly enunciated political demands for
greater Dayak representation in the bureaucracy.
The second, Malay episode began on 22 February 1999 and ran
into April. It followed weeks of intensive planning, and was controlled
by a single organisation, FKPM (Forum Komunikasi Pemuda Melayu,
Communication Forum of Malay Youth). This was run by well-connected local businessmen in Singkawang and Pematang, the biggest
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
43
towns in Sambas district. It drew on a thuggish pool of underemployed young men, who are readily available at the markets and transport terminals of most towns in Indonesia. The repertoire of the Malay
‘
rioters’was so similar to that deployed by Dayaks in 1997 that observers spoke of conscious imitation.
Only the first wave of the 1997 episode looks like the kind of
grievance-based backlash that anthropologists studying Dayaks had long
predicted. It lasted barely a week and was confined to the Sanggau
Ledo vicinity. Even so, we do not know much about it. No experienced independent observers were on the scene, nor were they there
when the first wave was quickly overlaid by a second. Who, for example, were the panglima in the opening quote? The reports hint at frustrations about Dayak land allegedly taken by Madurese. Dayak mobilisation was diverse and led by local public figures such as teachers and
policemen, while local businessmen lent trucks. This multipolarity, and
the absence of a clear set of demands in those early days, indicates that
the movement to punish the Madurese arose from many places within
a broad layer of the Dayak community, rather than from a small group
of privileged Dayak elites.
The second Dayak wave similarly drew on the popular anti-Madurese racism that had long been a part of the Dayak identity, and
whose salience had escalated so dramatically the previous month. But
this time elite interests were more visible in both the organisation and
the framing of the ‘
conflict’
. Government-sponsored customary councils
(dewan adat) both at the district and the provincial levels, the provinciallevel NGO Pancur Kasih, and groups attached to the Catholic Church
were much more active as mediators, interpreters, and perhaps organisers. Their message was clear: Dayaks want a greater role in local government. For them, the ethnic violence committed by Dayaks against a
small immigrant group was politics by other means. It was a theatrical
demonstration of Dayak power. And an effective political instrument
it turned out to be.
Peluso and Harwell’
s (2001) moving account of the 1997 violence stands as it were on the cusp between the first and the second
wave. Methodologically it rejects the grievance-based environmental
scarcity approach of Homer-Dixon, and embraces the political ecology reasoning that I have here quoted in support of the mobilisational
resource curse approach. This is a consistent choice throughout the
volume (Peluso and Watts 2001). Yet it does not make the move to-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
44
The forest, the State, and Communal Conflict
wards discerning ‘
politics by other means’
, as others have done who
adopt the mobilisational approach. Rather it wishes to remain close to
the struggles and identities of the ordinary Dayak young people who
took part in the ethnic cleansing of Madurese. The ‘
theatricality’of a
cultural politics of violence, which Peluso and Watts provocatively introduce in the introduction to their volume (p.31-2), is an approach
that might bring together the imagined interests of both elites and nonelites. But it is not further elaborated.
What might the concrete interests of Dayak elites be? In this paper I am assuming that they have the same interests as other local elites
in the state-dependent outer islands of Indonesia, namely to control
local government. Struggles of this nature became, in my view, the
single most important cause of the communal conflicts that erupted in
Indonesia after the New Order collapsed. We have no evidence that
the vision of the state that Dayaks brought to their struggle differed
significantly from those that inspired other small town elites around
Indonesia at this time. Their interests led them to take a far less oppositional view of government than those less privileged Dayaks who
had suffered, as John Bamba put it, ‘
destruction of their environment,
loss of their land and forest, [and] disempowerment of their local adat
institutions’
.
The crucial position in local government in Indonesia is the district chief (bupati). West Kalimantan had seven districts in the New Order
(1966-1998). This increased to twelve through the administrative fragmentation that followed the end of the New Order. The New Order
government appointed district chiefs in a top-down fashion, often listening to local wishes with only one ear while showing few qualms
about over-riding them if its interests differed. A great proportion of
the chiefs throughout the country was serving or retired military officers. But in the early 1990s local movements erupted in several places
protesting against New Order centralism. They demanded the right to
have ‘
native born’district chiefs (putra daerah) (Malley 1999). This moment of so-called ‘
openness’was the beginning of the end of the New
Order’
s hegemony.
Dayaks were among the most vigorous challengers for district
chief positions even before the New Order had ended. By rallying
ethnic Dayak support for their favoured candidates, without excluding
the threat of violence, they rewrote the rules of local politics. Howev-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
45
er, the new rules also contained important continuities with the past.
The new ‘
ethnic’district chiefs were products of the military-dominated New Order. Even after democratisation had reduced the military’
s
political influence in Jakarta, the new civilian rulers in the provinces
took care never to position themselves in opposition to them. The
district military commander (komandan distrik militer, kodim) remained
an important behind-the-scenes power-broker and business partner
(Mietzner 2003). Soon this mixture of ethnic populism and military
brokerage became the common pattern of post-authoritarian local
politics, especially around Kalimantan. Ethnic competition for access
to the resources of the state was to become what Michael Mann called
the ‘
dark side of democracy’(Mann 2004).
The first Dayak activism for government office took place in
1994. It started in the interior, where they are numerically strong. Sintang is nearly 60% Dayak (BPS 2001 data, quoted in Andre W. P. (2003)).
It is one of only two districts where Dayaks have an absolute majority.
The other is Sanggau. In Kapuas Hulu they come in just behind the
Malays (42% and 50% respectively), but the district is so remote it is
widely considered Dayak territory. In Sintang in February 1994, hundreds
of Dayaks reacted with violent protest when their favoured candidate
for district chief was not selected.3 They blocked the road towards
Sintang and smashed car windows (Tanasaldy in press [2006]; Davidson 2002). It was the biggest collective action by Dayaks since the 1967
expulsion of the Chinese from the interior. The 1967 event too had
been closely related to power politics (Davidson and Kammen 2002).
The following year West Kalimantan’
s governor brought a peace
offering to Dayaks for their loss in Sintang. He ensured that a Dayak,
Jacobus Layang, became district chief in Kapuas Hulu, even though he
was not the best qualified for the job. He was close to the military, and
thus unlikely to seriously upset the existing timber regime. Kapuas Hulu
is still nearly all forest. Layang was also chairman of the newly established Dayak Customary Council (Majelis Adat Dayak, MAD), a provincial organ within the corporatist New Order political system. The council
was intended to pacify Dayaks, not empower them, but in February
1997, still led by Jacobus Layang, it suddenly emerged as a significant
3
The Dayak candidate was L.H. Kadir, a career bureaucrat who is today deputy
governor of West Kalimantan. Despite apparently having good Golkar backing,
Kadir was unexpectedly defeated by a Malay.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
46
The forest, the State, and Communal Conflict
player to mediate elite Dayak demands to the government.4
If Dayak assertiveness in the deep interior was a fairly safe bet, in
Sambas and Pontianak districts in early 1997 it was a risky move. Dayaks
do not constitute a majority in either. Sambas is a coastal district in
which Malays outnumber Dayaks more than three to one. It is the
most densely populated part of the province after the capital. It contains the province’
s second city, Singkawang. Sambas has a mixed economy
of farming, forestry, and trade with neighbouring Malaysia. But it has
more movie theatres than Pontianak city, and more karaoke bars than
the rest of the province put together. It also has an enormous district
government budget, far exceeding that of any other district, and even
that of the provincial government (Kantor Statistik Propinsi Kalimantan Barat 1996: 504-5, 466, 420). In Pontianak district, close to the
cosmopolitan provincial capital and also near the coast, Dayaks are the
largest group, but at 33% they fall far short of an absolute majority. To
make their presence felt in these two districts they needed a major
demonstration, and that is what they provided.The risk paid off. All
subsequent negotiations took place against the backdrop of a threatened repeat action by Dayaks (and later by Malays, who imitated the
Dayaks). The failure to indict significant organisers of the ethnic cleansing
was of great importance in keeping this threat real. Whatever grievances
may have motivated the young fighters in early 1997— notably land—
were soon forgotten. But in the hands of others the very memory of
violence retained its efficacy for years. Discussions were set in train that
resulted by 1999 in the division of Sambas district into two. The eastern part was now called Bengkayang, and Dayaks were its largest ethnic group (Andre W. P. 2003).5 The split was part of a seemingly endless process of administrative involution called pemekaran that began to
unfold all over Indonesia after the end of the New Order. In an effort
to please everyone, districts and provinces were carved up into smaller
and smaller pieces, each with its own set of new government offices.
Another new district, named Landak, was patched together in 1999
4
5
(Tanasaldy in press [2006]). See also “Update on West Kalimantan Conflict”,
Down to Earth, [email protected], 14 March 1997; “Keterbelakangan
Selalu Identik dengan Suku Dayak”, Mutiara, 7 October 1997.
The Dayak preponderance was slim because Bengkayang included the Chinesedominated city of Singkawang. This problem was solved when Singkawang
became its own district the following year.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
47
from pieces taken out of northern Pontianak district in such a way as to
give Dayaks a solid majority of over 80%.6 Both of these soon had
Dayak district chiefs of their own.7 When ethnic rioting again broke
out in Sambas in 1999 the Dayaks refused to take part. “We are busy
with plans to subdivide Sambas district”, a Dayak official told the press,
“If there is a riot, the subdivision of the district might fail.”8 West
Kalimantan today has twelve districts; nearly double the original seven
(see attached Map 2).
Dayak success did not stop there. Sanggau, the only district besides Sintang in which Dayaks had an absolute majority, by November
1998 also had a Dayak district chief. He was Colonel Mikhael Andjioe.
Even more than Jacobus Layang before him in Kapuas Hulu, he combined a military affiliation with ethnic credentials.9 Clearly it would be a
mistake to view these Dayak manoeuvres as oppositional. Andjioe’
s
predecessor was also a colonel, named Baizuni, who had the misfortune of being Madurese. Dayak rioters in early 1997, among them the
Sanggau deputy district chief named Ahok, had forced Baizuni to flee
for his life (Human Rights Watch 1997). They demonstrated again for
months in front of the district assembly in 1998 to demand Andjioe be
elected (Davidson 2002: 279-280). This was ethnic competition within
the state (such as it was), not an ethnic rebellion from outside it.
Sintang, too, eventually got its Dayak district chief after having
being denied one in 1994. Simon Djalil became an active spokesperson
for both Dayak ethnic pride in customary law and for redrawing administrative boundaries along ethnic lines.10 Even in the rump district
of Pontianak, where Dayaks made up less than 10% amid a great diversity of ethnic groups, they managed to have a Dayak elected district
chief. Militant Dayaks from the interior intimidated the district assembly in January 1999 by burning cars and then the assembly building
6
7
8
9
10
“House agrees to three new provinces, 32 new regencies”, Indonesian Observer, 17
September 1999 (about Landak); “Sambas Jadi Dua Kabupaten”, Kompas, 27
April 1999 (about Bengkayang, which became law in UU 10/ 1999). In both
cases Interior Minister Syarwan Hamid encouraged bureaucratic shortcuts in the
belief that this arrangement would reduce ethnic tensions (pers.com. Taufiq
Tanasaldy 21 December 2004).
They were Jacobus Luna (Bengkayang) and Cornelis (Landak).
“Pengungsi di Madura Tolak Relokasi”, Kompas, 28 April 1999.
“Andjioe, Bupati Sanggau”, Kompas, 28 November 1998.
“Daerah Sekilas”, Kompas, 26 July 2001; “Masih Wacana, Pembentukan Provinsi
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
48
The forest, the State, and Communal Conflict
itself, until the august body agreed to appoint Cornelis Kimha, till then
a subdistrict chief.11
Thus by 1999 Dayaks effectively controlled six of the province’
s
nine districts at that time - Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Bengkayang, Landak, and Pontianak district. Some such as Bengkayang were
viewed as Dayak preserves. Most had a Malay deputy district chief as
part of a ‘
power-sharing’arrangement. Conversely, Dayaks were given
the deputy district chief ’
s position in some strong Malay districts such
as Ketapang. In an evenly balanced district the priority sometimes
switched between Dayak-Malay and Malay-Dayak - this later happened
in Kapuas Hulu for example. Later on Melawi was carved out of
southern Sintang, and Sekadau out of eastern Sanggau, with similar
ethnic deals apparently in place. The only district where Malay-Dayak
ethnic power-sharing did not apply was the cosmopolitan cities of
Pontianak and (later) Singkawang. Considering Dayaks had held none
of the coveted positions only five years earlier, they had reason to be
satisfied.
Nonetheless, victory had come at a cost to the principle of nonethnic citizenship. The new rules effectively disenfranchised the one third
of West Kalimantan’
s population who happened not to have a Dayak
or Malay father but were classified as Chinese, Javanese, Batak, and so
on, to say nothing of the vilified Madurese.
The Malay movement in 1999 was essentially reactive. Davidson
wrote this about it:
‘
Threatened by Dayak mobilization, Malay leaders feared that they
would be bypassed as groups jockeyed for positions to best receive the
boons of regional autonomy. Recall the 1998 appointments of Dayak bupati in Sanggau and Pontianak districts to understand Malay elite
anxiety. So, for the Malay elite, their own “Malay”resurgence would
answer Dayak advances.’(Davidson 2002: 320)
The Malay repertoire of ethnic cleansing was imitative. It was
similarly directed at the Madurese. But it was handicapped because
Malay leaders could not draw on a highly salient Malay identity as Dayaks could. The political challenge for Malay elites was to face down an
11
Sintang Raya”, Kompas, 26 April 2002; “Masyarakat Adat Perlu Kepastian Hukum”, Pontianak Post, 25 October 2002.
“Jalur Pahauman-Ngabang Pulih”, Kompas, 26 Januari 1999.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
49
outright Dayak takeover of Sambas district. Bolstered by their own
show of strength, Malays managed at this time to negotiate the division
of Sambas district into two parts, in which they controlled the rump
district still named Sambas.
One reason why the competition was so intense is that West Kalimantan’
s modernisation has been distorted by an absence of industry.
This has led urban job-seekers to depend too much on the state. Urban
society has grown rapidly throughout the New Order. Especially outside Java its economy is highly dependent on the state.12 Of all Indonesia’
s provinces, West Kalimantan de-agrarianised most rapidly, where in
1971 only 13% of the working population worked outside agriculture,
by 1998 that had tripled to 38%. This shift to the cities paralleled a
significant intensification of government. Between the beginning and
the end of the 1980s alone, the number of bureaucrats per thousand
head of population more than doubled in West Kalimantan, from 10
to 21. This was twice the average increase in Indonesia as a whole.
Nearly 20% of the non-agricultural working population in West Kalimantan were bureaucrats. This was more than one and a half times the
national average and nearly three times the level in Central Java.
Dayaks have shared in this rush to the city. For example the number of Dayak teachers at Christian schools in Pontianak municipality
grew steadily from 5% in the early 1950s to 45% by the late 1980s. The
number of Dayak graduates from the government college for aspiring
bureaucrats in Pontianak (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) has
consistently been around half the total since the early 1960s. This is well
above the Dayak proportion in the overall population. However, Dayaks have not done as well in the higher reaches of local government.
For example, the proportion of Dayaks occupying subdistrict chief ’
s
offices (camat) in West Kalimantan has grown only slowly from 20% in
the 1960s to 23% in the 1980s (Alqadrie 1990: 293). This has fed a
sense of frustration among Dayaks.
To an important extent, therefore, the two episodes of communal violence in West Kalimantan can be explained through the optic of
urban elite interests, rather than through those of oppressed, the landless Dayaks. No matter how deep the latter’
s misery doubtless was -
12
This argument will be substantiated in more detail in {Klinken, forthcoming
[2006] #3245}
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
50
The forest, the State, and Communal Conflict
the anthropologists who lived with them were acutely aware of its
depth - their struggle was quickly hijacked by others who did not share
their misery but shared the ethnic attribution. They quickly transformed
the struggle into one that served their interests. No one ever mentioned
land again.
If we left the discussion at this point we would have gained
some insight into why things happened. The explanation fits with Goldstone’
s observations noted earlier about the conflictual potential of
demographic change of a certain kind. The urban labour force has
grown rapidly in West Kalimantan but there were not enough jobs in
the one sector that seemed to offer the greatest promise, the public
service. Young Dayaks had special reasons to be frustrated about this.
Yet we still have not learned much about the mechanics of how
things happened. For that, we need to shift the focus to the state. The
‘
resource curse’approach to our problem leads us to suspect that resources do something to the very structure of the state, making it vulnerable to violent explosions. The literature has so far said little about
how this operates. In order to make progress we need to bring in
another literature, namely one on the character of the state in a poor
country.
Weak states and shadow states
Although it was rarely said during the New Order, Indonesia was afterwards ranked among the ‘
weak states’of the world for being unable to control violence and corruption within its borders (Weinstein,
Porter, and Eizenstat 2004). However, the more states are qualified as
‘
weak’
, the more misgivings arise about the notion of the ideal ‘
state’
by which reality is measured and invariably found wanting. Joel Migdal
(2001) proposes a program of research which abandons the Weberian
definition of the ideal state (‘
a human community that (successfully)
claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a
given territory’
). He argues that the Weberian characterisation obscures
the conflict-laden ways in which states actually operate within society.
Instead, he suggests that the state is simply a ‘
field of power marked by
the use and threat of violence’
. It can be studied on two different levels.
One was through its ‘
image of a coherent, controlling organisation in a
territory, the other was through its ‘
actual practices of its multiple parts’
.
Observing actual state practices has led Africanists to adopt non-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
51
Weberian concepts of the state already for some time. Actual political
authority is no longer confined to the formal institutions of the state
but is exercised through the rulers’hegemony of informal markets
such as the illicit diamond trade. William Reno (1995) defined what he
called the ‘
shadow state’as ‘
the emergence of rulers drawing authority
from their abilities to control markets and material rewards’
. Sierra
Leone has almost no formal state left to speak of, so it is interesting
that Reno’
s notion has been taken up by students of India, where the
same cannot be said. Barbara Harriss-White was also attracted to the
idea of political authority drawn from hegemony in the ‘
black’economy, and thus in the blurring of the boundary between state and informal economy. Blurred but not indistinguishable, since formal state powers such as licenses remain vitally important resources to business actors. The black economy is that economy where the powerful practice
‘
fraud and theft from the state, the corrupt abuse of public office, the
illegal privatisation of public property rights, the theft or privatisation
of public time (moonlighting)’(Harriss-White 2003: 6). In Indonesia, a
large proportion of the resource extraction industry falls into the black
economy (International Crisis Group 2001). Harriss-White then defines the shadow state as ‘
that part of the informal, “real” economy
that cannot operate without the particular form taken by the state...
Hence the real state, including its shadow, is bigger than the formal
state, and has a vested interest in the perpetuation of a stricken and
porous formal state’(Harriss-White 2003: 89).13 In West Kalimantan’
s
timber-rich districts, that shadow state is the arena where district chiefs
13
The full citation runs: ‘
[The “shadow” State] can be defined as that part of the
informal, “real” economy that cannot operate without the particular form taken
by the State. While it might be considered to be analytically separate from the
definition of the State as a set of institutions of political and executive control
centred upon government, with which we embarked, the “shadow”State is part
of the actually existing state. The “shadow” State is big, yet it is ignored in
development discourse. Some roles in the “shadow” State are played simultaneously by the bureaucrats of the official State; for instance, accepting tribute,
patronage and/or clientelage. Other “shadow” state livelihoods are a form of
self employment, although they depend on state employees, politicians and other
interested social forces for their incomes; for example, private armies enforcing
black or corrupt contracts, intermediaries, technical fixers, gate keepers, adjudicators of disputes, confidants, contractors and consultants. Hence the real State,
including its shadow, is bigger than the formal State, and has a vested interest in
the perpetuation of a stricken and porous formal State.... [By] the end of the
1990s in some parts of India, notably Bihar, up to 40 percent of the develop-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
52
The forest, the State, and Communal Conflict
(and military officers, etc) become rich and finance their office expenses by legalising (protecting, etc) illegal timber felling, by collecting reforestation taxes without passing them on to Jakarta, and a host of
similar activities.
Regulation and enforcement are just as important in the shadow
state as they are in the formal state. Local power-holders sometimes
use armed police and soldiers, either in their private or official capacity,
for those ends. However, much more than in the formal state, regulation in the shadow state requires an ethic of trust and reputation. This is
how ethnicity enters the shadow state. This too is the reason, more
broadly, why ‘
culture’becomes so politicised in such a shadow state.
Joel Migdal’
s definition of the state as ‘
a field of power’was a conscious allusion to Bourdieu’
s (1986) apparatus of social capital, of which
cultural capital is merely one manifestation, and which can be converted
to other kinds of capital.
These ideas are useful in understanding the connection between
the state, natural resources and communal violence in West Kalimantan.
Most West Kalimantan district chiefs derive some income from the
timber industry in their district. Poor timber management is one of the
signs of state weakness (Dauvergne 1997) (though curiously Ascher
(1998) regarded timber corruption as a positive because its proceeds
helped Suharto hold things together). All the communal violence that
took place after the end of the New Order occurred in the timber-rich
outer islands beyond Java. Besides West Kalimantan, violence has also
been linked to the presence of timber in Central Kalimantan (Casson
2001; Klinken 2002), and Central Sulawesi (Harley 2003). Timber is
also an important industry in the similarly conflictual provinces of Maluku
and Irian Jaya. (On the other hand East Kalimantan, not particularly
conflictual, is about as timber-dependent as Central Sulawesi). On the
whole this strengthens the suspicion that timber, an eminently lootable
resource, has been a curse that weakened the state in timber-rich places
and made it less able to cope with social tensions.
Timber is fraught with illegality. We do not have a systematic
ment budget was said to be creamed off by contractors. The “shadow” State
spills spatially into the lanes surrounding state offices and into the private (some
would argue, the “female”) domestic space of officials’residences. This must be
the most vivid image of the blurred boundaries between State and society.’
(Harriss-White 2003: 89) (emphasis original).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
53
overview of how it works in West Kalimantan,14 but scattered news
reports give us a hint. Without judging the rights and wrongs of these
reports, we sense that timber provides lucrative and therefore controversial rent-seeking opportunities to the district chiefs as well as their
business partners (the military, police, Malaysian timber bosses, etc).
District chiefs were for a time in the year 2000 permitted to issue
100-hectare forest concessions to local interests (HPHH). Some observers described this system as ‘
an abuse of power’that merely allowed chiefs to demand bribes from local businessmen, since the local
groups usually teamed up with bigger players to exploit the forest.
Kapuas Hulu and Sintang district chiefs were cited as prolific concession givers.15
They collected a timber tax for the Reforestation Fund (Dana
Reboisasi) from these small concessions, but the chiefs in Kapuas Hulu,
Sintang, Sanggau, Ketapang, and Pontianak districts did not pass these
substantial sums up to Jakarta. Environmentalists labelled the case ‘
environmental criminality in the regions’
.16
District chiefs acquired a reputation of resisting central government attempts to control rampang illegal logging. Sanggau’
s chief was
17
mentioned, and the chiefs of Kapuas Hulu and Pontianak district were
prosecuted for illegal logging.18 The new districts of Melawi and Sekadau
were also rife with illegal logging, all done by Malaysian businessmen.19
Explaining his inability to control it, the Kapuas Hulu chief said the
people in his district were like a hungry tiger offered a huge chunk of
meat but not allowed to eat it. ‘
So it is with the forest, they wouldn’
t cut
14
15
16
17
18
19
Significant raw data is tabulated but not analysed in (Andre W. P. 2003).
Edi Patebang, “Concessionaires responsible for forest destruction”, Jakarta Post, 4
September 2001; “Bupati di Kalimantan Barat Masih Keluarkan Izin HPHH”,
Kompas, 7 November 2003. See also a study on HPHH in Ketapang (Soetarto,
Sitorus, and Napiri 2001)
“Bupati Sintang Tahan Rp 37 Milyar Dana DR/PSDH”, Kompas, 19 January
2002; “Tunggakan Dana Reboisasi di Kalbar Rp 46,7 Miliar”, Suara Pembaruan,
19 January 2002; “Kejahatan Lingkungan Daerah Lemparkan HPH, Sembunyikan Dana”, Sinar Harapan, 6 April 2004.
“Dana Tak Terbatas untuk Tumpas Penyelundup Kayu di Kalbar”, Sinar Harapan, 18 June 2003; “Sanggau-Sorong Merana Dilanda Illegal Logging”, Equator,
10 July 2003.
“Empat Bupati Terlibat Kasus Penebangan Kayu Ilegal”, Suara Merdeka, 24 December 2004.
“Penyelundupan Kayu Ilegal ke Malaysia Makin Parah”, Kompas, 19 July 2004.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
54
The forest, the State, and Communal Conflict
it down if they had another source of income’
.20
Even when reports do not explicitly mention a district chief, it is
difficult to imagine how they could remain untouched by the profitable illegal logging in their district. In any case they are never reported
taking effective action against it (hardly surprising since that would mean
challenging the military that protect the loggers). National parks and
remote border areas were particularly vulnerable.21
Central Kalimantan has been more intensively studied in this regard, and the parallels are instructive. Anne Casson writes as follows
about the district chief ’
s dependency on illegal logging revenues in
Kotawaringin Timur, in the western part of Central Kalimantan bordering West Kalimantan:
‘
In the era of regional autonomy, the Kotawaringin Timur government is increasingly relying on the district’
s forest resources for income. In doing so, it has effectively legalised and legitimised illegal
logging in the district and wrested much of the revenues obtained
from large-scale logging from the provincial and central governments.
For example, the district government was able to generate an estimated US$ 6.2 million from the natural resource sector in 2000. More than
half of this revenue was obtained from the illegal logging trade alone.’
(Casson 2001)
John McCarthy has written an insightful series of papers on
Sumatra and Central Kalimantan demonstrating similar rent-seeking
mechanisms at the district level (McCarthy 2004, 2001, 2000, [2006]).
District chiefs appear in these analyses as the essential brokers between
business and the local resource environment, whether that business is
legal or illegal. The district chief has always played such a role, but the
introduction of local autonomy after the end of the New Order heightened the formal powers attached to the office, at least for several years
until Jakarta began to wind them back. In essence local autonomy has
meant a perhaps temporary adjustment of rent-seeking powers spread
among a host of local state actors, from the district chief to the assembly chairperson, from the police chief to the military commander, and
from the various heads of government agencies to the state prosecutor. In general the movement of power was away from central agencies and the military, towards local agencies and the police.
20
21
“Kabupaten Konservasi Berbasis Kesejahteraan”, Equator, 27 April 2004.
“Pengusaha Rekayasa Izin HPH 100 Hektar”, Kompas, 24 February 2001.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
55
In West Kalimantan that localising movement for control of the
timber industry had a distinctly cultural or ethnic cast. After the astonishing Dayak victories of early 1997, local councils of elders began
confronting timber companies with ‘
customary fines’(Davidson 2002).
This was localism with a cultural twist. The new ethnic district chiefs
spoke the same language of customary authority. They were converting their cultural capital into hard cash.
The parallel with Central Kalimantan is not perfect. West Kalimantan no longer depends as much on timber.22 Timber resources are
unevenly distributed around the province. The once near-total forest
cover has been seriously depleted by decades of logging. Only the
eastern-most district of Kapuas Hulu retains almost full forest cover.
But all other districts do still have partial forest cover (see Map 3), and
timber remains attractive because it is so easily looted.
One indication of a vigorous shadow state is the corruption scandals that hover over it. In West Kalimantan many do revolve around
timber but not all. The classic scandal at the district level is nepotism in
the application process for new bureaucrats, which indicates how desirable such positions are in the urban economy. This perennial issue
everywhere in Indonesia also reached the papers in Sanggau, Sintang,
Sambas and Pontianak in late 2002.23 Other issues included government
educational money diverted to a political slush fund (Pontianak), a failed
transmigration project (Sanggau), corrupted tax receipts from bird nests
(Kapuas Hulu), and corrupted refugee assistance money (Sambas).24
Forest resources in West Kalimantan did not fuel a rebel move22
23
24
Central Kalimantan relies for 20% of its provincial GDP on timber, the highest
in Indonesia. West Kalimantan is second but a long way behind, at 8%. Next are
Irian Jaya and Maluku at 6%, Jambi at 5%, and Central Sulawesi and East
Kalimantan at 4%. The data, of course, takes no account of rampang illegal
logging (“May 18, 1999: Where the (natural resource) wealth is”, Jakarta: Embassy of the United States of America, www.usembassyjakarta.org/econ/
wealth.html, accessed 11 January 2005, quoting Indonesian BPS data).
“Nomor Siluman Bikin Gregetan yang Kere”, Equator, 10 November 2002; “Penerimaan CPNS Tak Transparan Ancam Ketegangan”, Pontianak Post, 12 November
2002; “Hasil Kelulusan CPNS Sambas Dibatalkan”, Pontianak Post, 12 November
2002; “CPNS Sangsot, Mental Nepotisme di Jiwa Pemimpin Kita”, Equator, 10
November 2002.
“DPRD Pontianak Juga Tersandung”, Kompas, 11 June 2004; “DPR Tinjau
Proyek Transmigrasi: Rp 6 Miliar Gagal”, Equator, 10 February 2003; “Bupati
Kapuas Hulu Dilantik”, Kompas, 25 Mei 2000; “Bupati a suspect in corruption of
assistance to pengungsi“, Tempo Magazine, 26 March - 1 April 2002.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
56
The forest, the State, and Communal Conflict
ment but weakened the state such that internal factionalism among ethnic lines led to violent conflict at a moment of political transition, namely
the end of the New Order. Thus we need not only to distinguish among
various kinds of natural resources, as was done by Soysa and Neumayer (2003) and Le Billon (2001), but we must also distinguish between
different kinds of states. In some countries, like Sierra Leone, the formal state has failed so thoroughly that virtually all authority is rooted in
the shadow state. In such countries warlordism may well be the best
description of what happens in timber-rich areas as Le Billon predicts.
In others, such as India or Indonesia, the formal state retains enough
coherence to prevent the emergence of local warlords who take no
orders from the capital. Here various regime factions back violent ethnic movements to overwhelm their rivals, while using timber resources
to buy military and police protection and immunity from the law.
Conclusions
Seen close up and in the short term, the communal violence in West
Kalimantan of early 1997 may appear to confirm the widely held view
that it was driven by grievances over environmental degradation. This
is especially true of its earliest phase. However, this paper has argued
that as violent collective action became better organised, violence was
increasingly transformed into a repertoire deployed by local ethnic elites
in their struggle to seize opportunities presented by a weakening central
authority. The interests of these elites differed markedly from those of
the victims of deforestation. Timber - that eminently ‘
lootable’natural
resource - played a significant role in the black economy of these frontier areas. By 1999 the memory of the violence had itself become an
effective part of the repertoire. So effective was it in backing up demands for a redistribution of power along ethnic lines at the local level
following the collapse of the New Order that Malays, the other main
ethnic group in West Kalimantan, imitated it in an attempt to introduce
a balance of force by the new set of rules.[]
[Resources and conflict in Kalbar - 2; 31 January 2005]
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
57
Bibliography
Alcorn, Janis B., and Antoinette G. Roy, eds. 2000. Indigenous social movements and ecological resilience: lessons from the Dayak of Indonesia, Peoples,
Forest and Reefs (PeFoR) Program Discussion Paper Series. Washington:
Biodiversity Support Program.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1990. Ethnicity and social change in Dayaknese
society of West Kalimantan, Indonesia. (Tempat dan tahun penerbitan?)
Andre W. P. 2003. Penguasaan Lahan Masyarakat oleh Negara. Pontianak:
PBH HAM.
Ascher, William. 1998. “From oil to timber: the political development
of off-budget development financing in Indonesia”. Indonesia 65
(April):37-61.
Baechler, Günther. 1998. “Why Environmental Transformation Causes Violence: A Synthesis”. Environmental Change and Security Project
Report 4:24-44.
Bamba, John. 2000. Land, Rivers and Forests: Dayak Solidarity and
Ecological Resilience. In Indigenous Social Movements and Ecological
Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia, edited by J. B. Alcorn
and A. G. Royo. Washington, D.C: Biodiversity Support Program.
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of Capital”. In Handbook of Theory
and Research for the Sociology of Education, edited by J. G. Richardson.
Westport, Connecticut: Greenwood.
Bryant, R., and S. Bailey. 1997. Third World political ecology. London: Routledge.
Casson, Anne. 2001. Decentralisation of Policies Affecting Forests and
Estate Crops in Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan.
Bogor: Center for International Forestry Research.
— — — . 2001. Ethnic violence in an era of regional autonomy: A background to the bloodshed in Kotawaringin Timur. Canberra:
Australian National University Research School of Pacific and
Asian Studies Resource Management in Asia-Pacific Project.
Collier, Paul, V.L. Elliott, Håvard Hegre, Anke Hoeffler, Marta Reynal-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
58
The forest, the State, and Communal Conflict
Querol, and Nicholas Sambanis. 2003. Breaking the Conflict Trap:
Civil War and Development Policy. Washington, DC: World Bank and
Oxford University Press.
Collier, Paul, and Anke Hoeffler. 2001. “Greed and Grievance in Civil
War”. In Typescript. Washington: World Bank.
Dauvergne, Peter. 1997. “Weak states and the environment in Indonesia and the Solomon Islands”. In Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No. 10. Canberra: Department of International
Relations, Australian National University.
Davidson, Jamie S, and Douglas Kammen. 2002. “Indonesia’
s unknown
war and the lineages of violence in West Kalimantan”. Indonesia
73:53-87.
Davidson, Jamie Seth. 2002. Violence and Politics in West Kalimantan,
Indonesia. PhD, Political Science, University of Washington, Seattle.
Davidson, Jamie. S. 2003. “The Politics of Violence on an Indonesian
Periphery”. South East Asia Research 11 (1):59-90.
Diehl, Paul F., and Nils Petter Gleditsch, eds. 2001. Environmental Conflict. Boulder, CO: Westview Press.
Dove, Michael. 1982. “The myth of the ‘
communal’longhouse in rural
development: the Kantu’of West Kalimantan”. In Too rapid rural
development: perceptions and perspectives from Southeast Asia, edited by
C. MacAndrews and L. S. Chia. Athens, Ohio: Ohio University
Press.
Goldstone, Jack A. 2001. “Demography, Environment, and Security”.
In Environmental Conflict, edited by P. F. Diehl and N. P. Gleditsch.
Boulder, CO: Westview Press.
Goldstone, Jack A., Ted Robert Gurr, Barbara Harff, Marc A. Levy,
Monty G. Marshall, Robert H. Bates, David L. Epstein, Colin H.
Kahl, Pamela T. Surko, John C. Ulfelder, and Alan N. Unger.
2000. State Failure Task Force Report: Phase III Findings. McLean,
VA: Science Applications International Corporation (SAIC).
Gurr, Ted Robert. 1970. Why Men Rebel. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Harley. 2003. “Di Balik Penghancuran Eboni: Perlawanan Rakyat Ter-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
59
hadap Ekspansi Kapitalis Di Sulawesi Tengah”. In Unpublished
manuscript. Palu: Walhi.
Harriss-White, Barbara. 2003. India working: essays on society and economy,
Contemporary South Asia; 8. Cambridge [etc.]: Cambridge University Press.
Hauge, Wenche, and Tanja Ellington. 2001. “Causal pathways to conflict”. In Environmental conflict, edited by P. F. Diehl and N. P. Gleditsch. Boulder, CO: Westview Press.
Herbst, Jeffrey. 2000. “Economic Incentives, Natural Resources and
Conflict in Africa”. Journal of African Economies 3:270-294.
Homer-Dixon, Thomas F. 1999. Environment, scarcity, and violence. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Human Rights Watch. 1997. Communal violence in West Kalimantan. Washington/New York: Human Rights Watch.
International Crisis Group. 2001. Indonesia: Natural Resources and Law
Enforcement. Jakarta/Brussels: International Crisis Group.
Kantor Statistik Propinsi Kalimantan Barat. 1996. Kalimantan Barat dalam
Angka 1995. Pontianak: BPS Kantor Statistik Propinsi Kalimantan
Barat.
Karl, Terry Lynn. 1997. The paradox of plenty: Oil booms and petro-states.
Berkeley, CA: University of California Press.
King, Victor T. 1993. The peoples of Borneo. Oxford [etc]: Blackwell.
Klinken, Gerry van. 2002. “Indonesia’
s new ethnic elites”. In Indonesia:
In search of transition, edited by Henk Schulte Nordholt and I.
Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
— — — . Forthcoming. Post-authoritarian ethnic conflict in Indonesia. Leiden:
KITLV.
Le Billon, Philippe. 2001. “The political ecology of war: Natural resources and armed conflicts”. Political Geography 20:561-84.
Lowenhaupt Tsing, Anna. 1993. In the Realm of the Diamond Queen: marginality in an out-of-the-way place. Princeton, N.J: Princeton University
Press.
Ludwig, Klemens. 1986. “Umsiedlungen in Indonesien: das Transmigrationsprogramm in Indonesien”. Zeitschrift fur bedrohte Volker
122:39-42.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
60
The forest, the State, and Communal Conflict
Malley, Michael. 1999. “Regions: Centralization and resistance”. In Indonesia beyond Suharto: Polity, economy, society, transition, edited by D. K.
Emmerson. New York [etc]: M. E. Sharpe.
Mann, Michael. 2004. The Dark Side of Democracy: Explaining Ethnic
Cleansing. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.
McAdam, Douglas, Sidney Tarrow, and Charles Tilly. 2001. Dynamics of
contention. Cambridge; New York: Cambridge University Press.
McCarthy, John F. 2000. “‘
Wild Logging’
: The Rise and Fall of Logging Networks and Biodiversity Conservation Projects on
Sumatra’
s Rainforest Frontier”. In OCCASIONAL PAPER NO.
31. Bogor: CIFOR.
— — — . 2001. Decentralisation and Forest Management in Kapuas
District, Central Kalimantan. In Case Studies on Decentralisation and
Forests in Indonesia. Bogor: CIFOR.
— — — . 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence
of Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan,
Indonesia. Perth: Murdoch University, Asia Research Centre.
— — — . [2006]. Sold Down the River: Renegotiating Predatory Regimes in Central Kalimantan. In Renegotiating Boundaries: Local politics in Post-Suharto Indonesia, edited by H. Schulte Nordholt and G.
v. Klinken. Leiden: KITLV.
Mietzner, Marcus. 2003. “Business as usual? The Indonesian Armed
Forces and Local Politics in the Post-Soeharto Era”. In Local Power
and Politics in Indonesia: Decentralisation and democratisation, edited by
E. Aspinall and G. Fealy. Singapore: ISEAS.
Migdal, Joel S. 2001. State in society: studying how states and societies transform
and constitute one another, Cambridge studies in comparative politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Padoch, Christine, and Nancy Lee Peluso (Eds.). 1996. Borneo in transition: People, forests, conservation and development. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Parry, Richard Lloyd. 1998. “What young men do”. Granta, 83-123.
Peluso, Nancy Lee, and Emily Harwell. 2001. “Territory, custom, and
the cultural politics of ethnic war in West Kalimantan, Indonesia”. In Violent environments, edited by N. L. Peluso and M. Watts.
Ithaca [etc.]: Cornell University Press.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gerry van Klinken
61
Peluso, Nancy, and Michael Watts, eds. 2001. Violent environments. Ithaca
[etc.]: Cornell University Press.
Renner, Michael. 2002. “The Anatomy of Resource Wars”. In WorldWatch Paper 162, edited by T. Prugh. Washington, DC: Worldwatch Institute.
Reno, William Sampson Klock. 1995. Corruption and state politics in Sierra
Leone. Cambridge [etc.]: Cambridge University Press.
Ross, Michael L. 1999. “The Political Economy of the Resource Curse”.
World Politics 51 (2):297-322.
Sevin, Olivier. 1985. “Migrations et mise en valeur d’
une basse plaine
marécageuse: l’
exemple des cocoteraies de la basse Mentaya (Kalimantan - Indonésie)”. Cahiers ORSTOM 21 (4):481-96.
Soetarto, Endriatmo, M. T. Felix Sitorus, and Yusup Napiri. 2001.
“Decentralisation of Administration, Policy Making and Forest
Management in Ketapang District, West Kalimantan”. In Case
Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia. Bogor: Center for
International Forestry Research.
Soysa, Indra de, and Eric Neumayer. 2003. “Natural Resources and
Civil War: Another Look with New Data”. In unpublished manuscript. Oslo: Centre for the Study of Civil War (CSCW), International Peace Research Institute (PRIO).
Tanasaldy, Taufiq. In press [2006]. “Ethnic identity politics in West Kalimantan”. In Renegotiating Boundaries: Local politics in Post-Suharto Indonesia, edited by H. Schulte Nordholt and G. v. Klinken. Leiden:
KITLV.
Tilly, Charles. 1978. From mobilization to revolution. New York: Random
House.
— — — . 2003. The politics of collective violence. Cambridge: Cambridge
University Press.
Weinstein, Jeremy M., John Edward Porter, and Stuart E. Eizenstat.
2004. On the Brink: Weak States and U.S. National Security: A Report
of the Commission for Weak States and U.S. National Security. Washington: Center for Global Development.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
63
The Role of International
Non-Governmental Organizations
(NGO) In Third World Disaster
Relief and the Failure of Globalization:
The Cases of Aceh and West Timor1
Ruthviana Mefi Hermawanti
Introduction: The Modern NGO and Globalization
Non-governmental organizations, more commonly called NGOs, represent a form of independent entity that includes private voluntary groups, civil society organizations, and citizens’associations. NGOs now play a crucial
role in creating and communicating global
policies at the grassroots level. However, independent NGOs are in theory, cooperation
with nation states and Western-based international organizations often create more complexity than the crises they purport to solve.
Today, NGOs operate in virtually every part of the globe as the
most outspoken advocates of human rights, environment protection,
social programs, women’
s rights, and other issues that affect localities.
Yet, for all their influence, how exactly have NGOs impacted the process of globalization? In this paper, I will argue that a romanticized
1
This paper is submitted for Government Studies and Comparative Politics, PLAN
633/ POLS 740. Special thanks to: Thomas Goodman, Deane Neubauer, Richard Baker, Terrance Bigalke, and Nurhayati Idris for such wonderful discussions,
critics, and many suggestions in this paper.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
64
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
view of NGOs as the counterbalance to rapacious nation states and
transnational corporations cannot compete with the reality of NGO
limitations in the developing world. NGOs, especially those working
in disaster relief operations, face media, nation state, migration, religious extremism, and financial challenges on a global scale. The NGO
response to the recent political and national disasters in the Indonesian
provinces of Aceh and West Timor highlight the cooptation of NGOs
by increasingly powerful nation-states and international organizations.
Global pressures threaten to undermine the undeniable good work
done by NGOs in nations like Indonesia.
The emergence of private NGOs and charitable community
organizations, separate from local state institutions, is a modern phenomenon in the context of globalization (Perlas, 1998:80-86). NGOs
have been a well-known part of many communities since the eighteenth century (1831), especially in the United Kingdom, where NGOs
took the name of “pressure groups”(Nye, 2004:2-3). The eighteenth
century political observer Alexis de Tocqueville spoke of independent
“political associations” as a key foundation of democracy (Basma,
2004:3-23). By the twentieth century, the social theorist Robert Putnam
still described the political associations as the “social capital”underpinning democratic societies (Putnam, 1993:45-67).
In its modern incarnation, the global NGO movement touches
all levels of society. The giving and dispensing of “aid” to disaster
stricken people in the developing world has become an international
industry of its own. Rock stars sing for huge benefit concerts. Movie
celebrities pitch their support for a favorite humanitarian organization.
Religious missions organize relief operations for potential converts.
Global political entities like the United Nations coordinate massive
money flows when disasters strike anywhere in the world. So pervasive is the NGO in the media that many people see little difference
between the UN and NGOs themselves. The United Nations uses the
term NGO to differentiate between representative agencies and government agencies. Today, many NGOs dislike their own classification
because its broad meaning can, at times, even refer to the UN itself,
despite the fact that the UN can and has acted as both a sponsor and an
opponent of NGO activity (Campbell, 2004:6-23).
If the definition of NGO seems confusing, consider its varied
impact on globalization. NGOs operate at the grass roots, nation-state,
regional, and international levels. Some work to alleviate poverty while
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
65
others focus exclusively on human rights or economic development.
Some cultivate close ties with governments and others pride themselves on resisting government oppression. International organizations
like the IMF, United Nations, UNTEA, and other western oriented
interests favor some NGOs over others. The media— local, national,
and international— assign great importance to natural disasters, political
crises, and other “human interest”stories which favor well-funded and
well-connected NGOs involved in specific aid efforts in specific locales at specific times (Wolf, 2004:x-13). Modern NGOs require sophisticated networks of World Wide Web groups for spreading information and soliciting contributions quickly.
In addition to organizational complexity, modern NGOs deal
with some of globalization’
s nastier byproducts: transnational migrations, religious extremism, ethnic conflict, distrust of Western international agencies, the strengthening post 911 nation-states, and global media
bias. The following discussion will discuss NGOs in developing countries, especially their mediating roles in the Indonesian provinces of
Aceh and West Timor during two important crises, one political, and
the other natural. In Indonesia case, the global influence of outside
organizations increased significantly after the strongman, President Suharto, resigned. On one level, the NGOs in Indonesia helped smooth
the transition to democracy, but in other ways, they remained supplicants for global, national, and local interests. The cases of Aceh and
West Timor aptly demonstrate the crosscurrents affecting the modern
NGO movement in Indonesia and similar developing nations around
the world.
The Indonesia Case
Among developing nations in Asia, Indonesia has perhaps the closest
historical association with NGOs. In Indonesia, NGOs are divided
into several categories according to their concerns, their independence,
and their historical background. In terms of NGO movements in Indonesia, the Indonesian government differentiates NGOs into local,
national, or international categories. Many NGOs cooperate with the
Indonesian government, but others are more independent.
The history of NGOs in Indonesia is divided into 3 periods.
Before the Suharto government, NGOs were a brand new formal
institution in a young political system. They assisted the fledging Sukarno government with the mobilization of Indonesian laborers and peas-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
66
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
ants. The presidency, the parliament, and the political parties dominated
state and civil society issues (Sakai, 2002:161-177).2 The second period— the Suharto era— is sometimes called “the dark era of democracy”by Indonesian historians. During this period, the government treated NGOs as “agents”from developed countries. The pervasive military establishment, citing national security concerns, periodically accused
NGOs of being communists and enemies of the state.3 Nevertheless,
NGOs grew in popularity as organizations that cared about social problems, social movements, and common people. Their perceived independence from the government and business interests bolstered popular support.4
It was a major globalization project called the Green Revolution
that further empowered the Suharto era NGOs. The Suharto Government needed help with the introduction of new seed strains and machines at the village level. Local communities developed closer relationships with NGO workers than government employees. The Green
Revolution kept most NGOs focused on Java. Suharto promoted the
idea of “Javanisasi”or “Javanization,”the development of fertile Java
before the rest of Indonesia (Riker, 1998). The New Order government took great pride in reducing poverty and hunger in Java. NGOs
2
3
4
In this article, Sakai noted that there was no appreciable development of NGO.
During the years of the Indonesian independence, this organization penetrated
into the local communities by consolidating and representing their interest on
various issues. However, they were also closely linked to the political parties.
The Sukarno government accorded the fledgling humanitarian organizations limited autonomy. Further, between 1950 and 1965, well-educated leaders from
the middle class established a purely welfare organization called PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Indonesian Planned Parenthood Association). It was considered the first NGO independent from the state and political
parties. For more information see: Philip J. Elridge (1989), “NGOs in Indonesia:
Popular Movement or Arm of Government?”Working Paper No. 55, Center of Southeast Asian Studies, Monash University, Australia.
In the 1970s, NGOs had four major goals: solving rural and urban poverty,
supporting and changing the domestic political system in Indonesia, coordinating
student movements, and facilitators of international assistance, see: Riker, 1998.
Andrew Maclntire and Geni-Rochman discuss the role of NGOs in Indonesia
during the authoritarian New Order era in the following areas: state-qua-state,
bureaucratic policy and patrimonial cluster, bureaucratic pluralism, bureaucratic
authoritarianism, structuralism, and restricted pluralism. Despite the all powerful state apparatus, a new level of social criticism and activism, especially on
college campuses, stimulated the new NGO movement. For more information
see; Shigetomi, et.al, 2002.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
67
shared in the credit despite government attempts to sell the Green Revolution as a Suharto achievement (Setiawan, 2001).
As a pillar of Indonesia’
s developmental priorities, the Green
Revolution had one major flaw that would impact NGO activities: a
focus on Java came at the expense of thousands of Indonesia’
s “outer
islands.”In Eastern Indonesia especially, the people of East Nusa Tenggara (including West Timor), Maluku, and Irian Jaya (now West Papua)
preferred sweet potatoes and sago to rice as their dietary staples. After
the Green Revolution, Eastern Indonesian societies, like others around
the nation, grew dependent on rice deliveries. Indonesia, once a great
rice exporter, became a net importer by the late eighties (Hidayati, 2002).
The NGO partnership with the government did not always benefit the
common people. Nevertheless, they did enjoy undeniable success in
Java (Dawe & Dedolph, 1999).5
Thus, during the Suharto years, NGOs in Indonesia operated in
formal, private, non-profit, self-governing, voluntary, non-religious, and
non-political contexts. After Suharto resigned in 1998, NGOs responded to the new political order. 6 Almost three years after the crisis in Indonesia (1997) NGOs increased in both quantity and quality (Setiawan, 2003).
During the 1960s, there were less than 6000 NGOs. By 1996, 10,000
NGOs operated in the country. The number doubled in 2000. In 2005,
Indonesia had an estimated than 24,500 NGOs (Setiawan, 2001).
Post-Suharto NGOs actually benefited from years of authoritarian rule. NGOs helped to increase economic growth at a grassroots
level and gave voice to community concerns that government could
not or would not address.7 When Suharto finally fell, NGOs had the
5
6
7
The politics of rice in Indonesia during the Soekarno (1945-1949) developed
within the political context of rice provisioning. See also Tuong Vu H (Tahun?)
During the Suharto era, a second form of rice politics was at the Suharto era
emerged during the Green Revolution. For more information please see Himpunan Alumni IPB, 2004.
NGOs had three classifications. The first group focused on poverty, supporting
basic needs, and standard of living improvement. The second group sought to
empower civil society in response to pressure to depoliticize NGO activities. The
third group supported the Indonesian environmental movement. See Hikam,
Muhammad A.S. (1999).
There were three model paradigms in NGO movement in the relationship with
the government. First, relationship in grass roots development. Second, political
and grass roots mobilization. Third, the empowerment of grass roots communities. See Mas’
oed, 1989.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
68
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
intense training and necessary infrastructure in place to mobilize the
community, intellectual, and professional resources that Indonesian
governments needed to improve conditions at the grass roots level.
The local and national Indonesian NGOs were joined by global NGOs
such as the United Nations, the Ford Foundation, the European Commission, and CARE International and many others. The future looked
bright for community activism.
However, during the crisis in Indonesia through 1998-2000,
NGOs faced a serious challenge. Anti-government separatist movements grew in West and East Timor, Papua, Aceh, Sambas, and Riau.
Rice shortages and rioting plagued Java. Sectarian violence, stoked by
instability at the national level, raged in Eastern Indonesia, particularly in
the province of Maluku. During this violent period, the national and
international media focused various levels attention on certain areas of
political unrest. The “international incidents” in West Timor, Papua,
and Aceh attracted the majority of international media stories. Concerns about the worldwide rise of Islamic fundamentalism, symbolized by the Al Qaeda and Jamaah Islamiyah (JI) terrorist organizations,
gave the Aceh crisis in particular an attractive media spin in the post 911
world. The so-call “sectarian riots”in Maluku, Sambas, and Lombok
made more headlines within Indonesia than without. Maluku was portrayed as a purely religious conflict and an internal Indonesian problem.
The NGOs, and their financial sponsors were forced to choose how
best to allocate their resources.
When the post-Suharto Indonesian crisis flared, many NGOs
stood ready to help. They had already established bases in Aceh and
Timor, but significantly less than in other parts of Indonesia. Few NGOs
operated in the war-torn cities and towns of Central Maluku, save for
the Summer Institute of Linguistics missionaries doing Bible translations in the Poka neighborhood of Ambon.
In Java, the large numbers of student activists and government
centers generated a vibrant NGO culture. The important Central Javanese city of Yogyakarta played a particularly important role in galvanizing aid for the rural and urban poor (Riker, 1998 and Hikam, 1999).8
However, even in Java, the NGOs depended on attention grabbing
8
NGOs in Yogyakarta targeted rural villages since the 1970s. However, after the
reformation period, the organizations responded to the wave of democratization
and academic criticism and concern a healthy civil society and good governance.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
69
activities to attract support. The large numbers of NGOs in Jakarta
also help the rural poor, especially the farming sector, but the urban
areas get little press. New rural farming inventions or drinking water
projects in remote villages attract the national media to the exclusion of
equally needy urban slum areas.
The media played different roles in their portrayal of NGOs in
Post Suharto Indonesia. Some were portrayed well and some were
considered spies (Australia). For example, national Indonesian media
outlets such as Republika and Tempo admired the NGOs as important in
building the process of democracy and development. However, the
weaker local media carefully considered the government’
s feelings and
their powerful patrons with government ties before criticizing the government policies. The government often used violence and legal bans
to control the local media.
Aceh
The difficulties faced by global NGOs become especially clear in the
case of Aceh. Aceh is a complex area with a rich historical background,
much of it violent. The romantic humanitarian mission of NGOs
seemed tailor made for Aceh. However, the NGO experience in Aceh
is a mixed one. The Acehnese, a proud and independent people, openly question the “hidden agenda”of global NGOs and their local affiliates. For their part, NGO operatives know little of Acehnese history
or the ongoing secessionist movement. After the tsunami, NGOs and
international governments alike spoke of “reconciliation”between the
Indonesian government and GAM, the principal secessionist group.
The actual response of the Indonesian government, and some of the
“neutral”NGOs themselves, suggest another reality operating below
the surface of the optimistic rhetoric. In this part, I would like to give
some background about Aceh, its people, and the political system that
affects NGO activities in the province.
NGOs confront Acehnese history
Aceh, a resource rich area, grew famous during the great expansions
of Islam during and after the 14th Century. By the 17th Century, the
peoples of the Indian Ocean called Aceh, the “Front Porch of Mecca.”Aceh was once one of Indonesia’
s wealthiest and powerful sultanates.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
70
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
Despite its glorious pre-colonial past, Aceh had an especially difficult history during the “colonial period.”In fact, most Acehnese express great pride in never accepting Dutch rule. For example, during
the late 19th century, the proud Acehnese fought a bloody 30-year war
with the Dutch colonial army (Powell, 2003). 9 After Sultan Muhammed
Daud Syah surrendered in 1903, Acehnese rebels initiated a guerrilla
insurgency until the Japanese Occupation between 1942 and 1945, and
the Indonesian independence proclamation that followed (Ricklef,
1996).10
The Acehnese had great hopes for the new nation. Nevertheless,
post-independence disputes about the role of Java and the other regions, including Aceh, led to rebellions across Indonesia. Subsequent
government oppression and economic exploitation of the region’
s rich
oil and natural gas reserves caused a feeling of bitter betrayal that continues to this day (Powell, 2003).11 For the Acehnese, the Javanese rulers
are but the most recent would-be colonizers of their beloved land.
Aceh-Java relations worsened during the 1950’
s. Muslim resentment grew as President Sukarno merged Aceh and North Sumatra
into a single province. Sukarno pronounced a “special regional autonomy law”that gave the Acehnese nominal control over education, religious affairs, and administrative management. However, the regulation failed to improve the situation (Thaib, 2002).
Aceh became one of the richest provinces in Indonesia following the discovery of natural gas reserves in the 1970s. Economically,
the wealthy province enjoyed the highest prospect for economic expansion in the nation. But with natural gas came exploitation.12 Ameri9
10
11
12
According to the Anglo Dutch agreement of 1824 the Dutch surrendered all
claims to East India (Indonesia) and Singapore, thus allowing with British government to recognize Acehnese Independence in 1871. Unfortunately, the Dutch
desire to colonize Aceh led to an amended agreement. See also the Amnesty Open
Document, about A brief Human Right History of Aceh on line resource at www.
Amnesty.org. When the Dutch decided to invade again in 1873, they touched off
the longest war in the history of Dutch colonialism and more than 10.000 lost
their lives.
Ricklef noted that in 1942, Dutch colonialization ended and the Japanese took
over the East Indies (Indonesia). Aceh donated planes and gold to the independence struggle.
By virtue of its former colonial status, the newly independent Indonesian nation
incorporated Aceh without any formal agreement from the Acehnese.
Paraphrase from; Backgrounder on Aceh, J History of Resistance and Militariza-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
71
can corporations earned an estimated $1.2 billion annually in the Aceh
petroleum and natural gas fields. Aceh contributed approximately 2.5%
of Indonesia’
s GNP, over half that amount from its natural resources
alone. For all its wealth, however, Aceh Province received little government support from the central government in Jakarta. Acehnese anger
soon translated into popular support for the separatist Free Aceh Movement.13 The Indonesian government responded with violence and a
steadfast opposition to increased revenue sharing. 14. In December 1976
the people of Aceh decided to fight. Hasan Tiro, a descendent of
Acehnese Sultan, Mohammed Daud Syah, inaugurated GAM in Sweden. By the end of 1980 GAM began military operations that continue
to the present day. The Indonesian Government sent more than 20.000
troops against a rebel army that numbered at most 2000 fighters. The
ensuing decade’
s long war of attrition has claimed over 10,000 people,
most of them civilians, according to Amnesty International. 15 Human
rights organizations became the first NGOs to enter Aceh.
Conflict and NGOs in Post Suharto Indonesia
The NGO movement faced its toughest test, and greatest opportunity,
during the ethnic upheavals that rocked the Indonesian nation following the fall of the Suharto regime in 1998. The violence complicated
Indonesia’
s growing reliance on global NGOs to compensate for under funded national aid programs. The NGO gained leverage as an
economic, social, and political mediator. The future looked bright until
the political catastrophe that destabilized and fractionalized the NGO
movement. 16
13
14
15
16
tion. January 2005 http://www. tapol.gn.apc.org/acehbeackgrounder05.html.
Mobil Oil exploited Aceh’
s natural gas reserves since 1971. The Indonesian state
oil company, Pertamina, operates the liquid natural gas facilities.
From the beginning of Indonesian independence, the relationship between Indonesian government and Aceh has been characterized with distrust. As de facto,
Aceh became a province and a large of autonomy fro the central government in
recognition of the independent movement. However, this status was revoke by
Sukarno at He stated Aceh as province of North Sumatra. Therefore, Aceh was
differently than the rest of republic.
Aceh was paid a lot for the fiscal deficit
Amnesty International noted that in 1989-1998 Aceh suffered “more than 781
deaths, 163 disappeared, and 368 cases of torture and 102 rape cases”.
Under the Wahid regime, NGOs tried to strengthen co-operation with the government by supporting local oriented policies, solving and mediating ethnic con-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
72
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
GAM was very popular after the Suharto government fell and
the process of democratization began in Indonesia. However, since
May 2003, the military stepped up its campaign and the world took
notice. Global NGOs like Amnesty International, CARE International,
and the International Red Cross and Red Crescent, redoubled their
efforts to find a win-win solution to the conflict. External aid from
Japan, the United States, Australia, the European Union, and the United Nations targeted the “IDP,”or Internally Displaced Person, the preferred term for “refugee.”
Indonesian NGOs, meanwhile, took an activist stance with the
government. The Civil Society Alliance for Democracy (YAPPIKA),
comprised of mostly Acehnese women, demanded a referendum for
self determination patterned on the successful, if bloody, East Timorese
independence movement. The local NGOs took a far more militant
stance than their global counterparts. The gulf between the two aid
groups increased following the Indonesian government’
s decision to
declare Aceh a DOM, or special military operation zone between 1989
and 1998. Atrocities against civilians, mostly at the instigation of government troops and ruling party officials, caused mass migrations of
IDPs around Aceh and neighboring regions. The surge in resistance
reached almost mythic proportions. The Acehnese talked openly of
“colonial oppression”by the Indonesian government, itself a child of
colonialism.17
As the political sensitivity of the conflict grew, the NGOs encountered the problem of forced migrations of thousands of people.
The problem was both legal and humanitarian. The violence against the
IDPs motivated the United Nations to send the United Nations Human Rights Commission to Indonesia for an investigation (Djuli, 2000).
The United Nations Security Council refused to take up the Aceh case
as it had in East Timor. The IDPs differed significantly in legal status
from refugees, especially in East Timor. Whereas refugees crossed
17
flicts, and coordinating economic development programs. The NGOs grew even
more popular under Wahid’
s successor, President Habibie, after gaining a higher
degree of autonomy. The Wahid administration responded to the sectarian violence late. But NGOs, meanwhile, were developing communication networks,
promotion of the dialogue, gathering and dissemination of information.
“Democracy, not war, would limit GAM’
s influence,”The Jakarta Post, March 14,
2005.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
73
international borders, the IDP remained an “internal” problem of a
nation state. The legal distinction made little difference to the suffering
of the Acehnese. At the peak of the violence, an estimated 200 000
Acehnese, 5% of the entire population, lived in mosques and exposed
open spaces.
On the December 9th, 2002, in Geneva, Switzerland, both the
Indonesian Government and GAM reached an agreement called “The
Cessation of Hostilities Agreement”(CoHA). For the first time in 26
years of brutal conflict, both parties seemed ready to lessen the violence. The mass migration of three million IDPs clearly played a significant role in pushing forward the peace talks. In the end, the agreement failed. The financially strapped Indonesian government continued its policy of violence and repression in hopes of avoiding a repeat
of the East Timor calamity. Wealthy Aceh Province fell victim to Indonesian debt obligations to Western nations and international monetary organizations, and a resurgence of Indonesian nationalism in the
wake of East Timor’
s independence.18
Natural Disaster, the Role of NGO and GAM
On December 26, 2004, the long-suffering Acehnese suffered the unthinkable. The largest tsunami in recorded history killed more than
200,000 people. The Indonesian government suffered massive losses
in equipment and civilian facilities, slowing critical relief efforts during
18
An Independent Commission for the Investigation of Violance in Aceh (Komisi
Independen Pengusustan Tindak Kekerasa di Aceh, KPTK) noted that during
1989-1998, the government created the DOM (Daerah Operasi Militer-military
operation zone), increased troop levels, and spread military posts throughout
Aceh Province. In the territory of Free Aceh Movement, the Indonesian military
(troops) violently repressed the local people. More than 1258 people died. 550
went missing, 368 injured, 102 sexual assaults, and 120 houses burned; this, in
addition to the more than 10.000 killed during a previous period of marital law
(DOM). See: Cheow, Eric, Teo, Chu. 2005. For a brief history of the Acehnese
human rights crisis see: www.indonesiaalert.org and www.amnsty.org. Responding
to the situation in Aceh, local international NGOs promoted social justice throughout Aceh. The local NGOs included LBH Aceh (Lembaga Bantuan Hukum), Walhi
Aceh (Wahana Lingkungan), Komisi untuk Aceh (Flower Aceh), Cordova (NGO
for Human Right Case), Kontras (The Commission for Disappearances and Victims
of Violence), Yayasan Insan Cita Mandiri (YICM), LeuHAM, SULoH. International NGOs included UNHCR, the Red Cross, CARE International, the European Commission, the Ford Foundation, YAPPIKA, and the World Bank. Was contributed such amount of money and protection from violence.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
74
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
the first hours and days of the disaster. The tsunami left Aceh Province
with one working helicopter. 19
The tsunami reinvigorated the NGOs after years of mixed success in mediating the political conflict. International shock and slow
government relief efforts placed the NGOs front and center in the
tsunami disaster. 20 What followed was a rehash of NGO problems in
Aceh, only this time it occurred under the glare of international television cameras.
The Acehnese population, already distrustful of Indonesian allies
like Japan and the United States, reacted cautiously to the massive influx of foreign aid workers. While the efforts of religious NGOs like
the Baltimore Catholic Relief Services gained the admiration of the
tsunami victims, news of the “private” organization’
s American and
United Nations funding sources raised more than a little concern. A
growing affiliation with radical fundamentalist Islam in the wake of
911 further disposed many Acehnese toward distrust of foreign intervention.
One of globalization’
s most disturbing byproducts, religious extremism, challenges the global NGO movement as never before. Islamic societies, Aceh in particular, have long resented the proselytizing
efforts of fundamentalist Christian missionary organizations. Yet nearly every major disaster attracts Christian relief organizations. For this
reason, the rumors that over 300-400 Acehnese orphans took on such
an ugly tone in the weeks following the tsunami. The worldwide transmission of photos showing orphaned children crying on the streets of
Banda Aceh produced such a wave of world empathy that Christian
missionary efforts to “rescue”Acehnese children from the disaster went
largely unnoticed. But the Acehnese noticed. Islamic clerics and their
own religious aid organizations condemned the “kidnapping” of Islamic children by Christians. The issue gained so much attention in the
Indonesian press that the government was forced to issue a strong
protest to the United States. The offending Christian missionaries were
expelled and not long afterward, the government gave the American
military relief operations just three months to finish their work and
leave Indonesian territory (Lampman, 2005).
19
20
Regional Conference on re-construction and development of fisher folk and
peasant livelihood, Medan- Indonesia, February 17 -21, 2005.
See the list of global NGOs in the tsunami disaster relief section below.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
75
The politically charged issue of global debt relief inevitably joined
global proselytizing in complicating NGO efforts, if only indirectly.
The alleged stinginess of American governmental aid highlighted the
issue early on. During the first days of the disaster, President Bush
offered $15 million, and doubled it when the international outcry became a domestic and foreign policy problem. By contrast Australia
gave $810 million; Germany $664 million; and Japan $500 million, and
many others countries. Even generous contributions could not escape
the politics of global debt relief. For example, half of the Australian
commitment to the tsunami relief effort was in the form of a loan,
adding to the indebtedness of the stricken nations (Cohen, 2004). To
the extent that the NGOs receive substantial funding from their home
nations, the question of international debt politics will affect perceptions of their independence and motivations.
The problems presented by media coverage differ somewhat
from the global religious and economic issues already mentioned. Globalization can not succeed without easy and unfettered access to information, but the demands of nation states and media outlets and the
conflicting interests within and between them are worsening with the
passage of time. During the long years of separatist warfare in Aceh,
the Indonesian government severely restricted media relations with the
NGOs. After the tsunami, the government leaned on the media to
drum up aid money, which favored media/NGO contacts. But the
media attention came at a price.
Initially, the Indonesian government received strong NGO criticism for limiting access to international media outlets (Tokyo Embassy,
2005). The government ultimately relented and opened Aceh to the full
range of global media. The “independence” of the media deserves
some scrutiny, however. First, the Indonesian government exerts some
control on its own national media by offering operating systems and
financial “incentives.” The government TV outlet, TVRI, continued to
batter GAM during the tsunami crisis. Private print media like the local
Aceh papers, Serambi and Aceh Kita, and their national counterparts,
Kompas and Tempo, also showed some reticence to portray GAM in a
positive light. 21 More ominous was the case of journalist and NGO
21
GAM was ceased fire to the humanitarian and to help the aid get through to
survivors but not for their ideology and missions. On the tsunami cases, 120-150
GAM followers died, however, they are between 3000-5000 initial memberships
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
76
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
activist, Munir, the principle force the publication Kontras (The Commission for Disappearances and Victims of Violence).22 Munir died in
a suspicious plane crash on his way to the Netherlands.23
The international media poured into post-tsunami Aceh, led by
the major Western news organizations. The international coverage,
however, glossed over the on-going sectarian tensions and violence to
the detriment of NGOs involved with human rights issues. Perhaps
the dearth of political reporting owed much to the coordinated effort
to drum up aid money for a truly humanitarian cause. An Islamic rebellion would have trouble making that sale in a post 911 world.
The Acehnese clearly fear that the short attention span of the
global media will encourage the Indonesian government to hermetically seal the troubled province again. Aceh needs a permanent international presence to monitor human right abuses and tsunami reconstruction efforts. The long-term effectiveness of NGOs in Aceh will
depend to a great degree on the sustained interest of a global media
that is increasingly dependent on governments. However, as the tsunami relief experience demonstrates, media attention often swings with
the current political tide. In the post 911 world, Islamic separatist
movements like GAM must face internationally supported central governments and jittery financial institutions (Jasparro, 2005). NGO humanitarian and human rights agendas must accommodate the global
tides.
22
23
right now, therefore, the movement it is not end yet. This information taken
from: Tapol, the Indonesian Human Right Campaign, 2005.
Kontras (The Commission for Disappearances and Victims of Violence) was
formed in March 1998 by a coalition of 12 pro-democracy NGO’
s such as KIPP
(Independent Committee for Election Watch), AJI (the Alliance Independent
Journalist), YLBHI (Indonesia Legal Aid Foundation), and one student organization PMII (Indonesian Islamic Student Movement) and activist in response to
the Indonesian government’
s silence regarding disappearances. More information: http://www.desaparecidos.org/kontras/about/
By Alan Sipress, Washington Post Foreign Service, “Airline Probed in Activist’
s
Murder; Indonesian Officials Allege Coverup After Poisoning of Rights Figure,”The Washington Post, March 14, 2005. Munir Said Thalib, Indonesia’
s best-known human
rights campaigner, started feeling sick shortly after his overnight flight left for
Europe last September. After he made a brief layover in Singapore, the pain grew
so intense that a doctor on board was roused from his sleep to tend to him. Within
hours, somewhere in the night skies above Eastern Europe, Munir died. About two
months after Munir’
s death on Sept. 6, an autopsy in the Netherlands found that he
had ingested 465 milligrams of arsenic, more than triple a lethal dose.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
77
West Timor- Caught in the Middle
As in Aceh, violence preoccupied the early NGO missions in West
Timor. The invasion by the Indonesian government of East Timor
was colored by the violations of human rights and international law in
post-war history. There were bloody actions by the Indonesian troops
against local unarmed communities. More than 680,000 people died in
the early 1980s, and again from 1980-1990 more than 60,000 people
died, and four years later more than 200,000 people died from famine
and disease. More killings and mass suffering happened in Cracas, where
1,000 people lost their lives (Dunn, 2002).
East Timor was comparatively little known in the West because
Jakarta instituted a near total ban of foreign media coverage at the
beginning of the war. Additionally, there was limited access between
East and West Timor, especially in the area where Indonesian troops
were fighting the separatist Fretilin forces. Furthermore, there was little
outside pressure on Jakarta to open the territory after its bloody annexation and UN General Assembly debate on East Timor in 1982 (Taylor, 1990).
The early NGOs entered a land with a long tradition of ethnic,
political, and religious conflict. Portugal colonized both West and East
Timor in the 16th century. In 1963, the nation united with the Indonesian government. However, not many people knew the truth about
what happened in East Timor, especially the NGOs.24 In the middle of
24
In the middle of 1974 the “Revolusi Bunga,” known as the Carnation Revolution in the West, targeted the fascist Marcelo Kaitano government in East Timor.
After Portuguese occupation ended, East Timorese opinions on the nation’
s
future were divided into four options. First, achieve freedom within the autonomy system of the Indonesian government. Second, become free and independent, an opinion originating from the Fretelin Party. Third, integrate with Portugal, and lastly a revolution for the independence of Timor Leste.
Fretelin captured more than 75% of the popular vote. However, this situation
created a new conflict between UDT and Fretelin (which was leading by the
Caras Calau family). Thus, allowing the process Indonesian military who did not
affiliate within one of the political party joining Fretelin an defeated UDT.
Therefore UDT was run to the West Timor in terms of counter the coop de
etach.
During the process in West Timor, UDT collaborated with the Indonesian government to keep Timor Leste a part of Indonesia. Three Indonesian generals—
Benny Mordani, Ali Murtopo, and Muhammad Yusuf— signed a unity agreement
in the Balibo Hotel in Bali Island. Interestingly, Balibo is a town on the East
Timor/West Timor border. News of a meeting in “Balibo” led many foreign
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
78
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
1974 the “Revolusi Bunga,”known as the Carnation Revolution in the
West, targeted the fascist Marcelo Kaitano government in East Timor.
After Portuguese occupation ended, East Timorese opinions on the
nation’
s future were divided into four options. First, achieve freedom
within the autonomy system of the Indonesian government. Second,
become free and independent, an opinion originating from the Fretelin
Party. Third, integrate with Portugal, and lastly a revolution for the independence of Timor Leste.
Under Indonesian government control, Timor was the most alienated and isolated province in Indonesia. The government banned international journalists, all NGOs except for PMI (Palang Merah International or Indonesian International Red Cross) and the CRS (Catholic
Relief Service), an organization dedicated to food and farming issues.
West Timor served as the central political and economic linkage between the Indonesian government and East Timor. The pent up frustration caused by years of Indonesian rule finally exploded in the aftermath of a traumatic massacre. On November 2, 1991, while all
Timorese prepared a ceremonial party for the Old Portuguese government.25 As expected, the Indonesian government canceled the meeting
to hide the volatile situation in East Timor from international scrutiny.
On that November day, during one celebration in Santa Cruz village,
the militia and Indonesian intelligence officials opened fire on a group
of marchers. The violence continued inside the Catholic Church where
additional people died. The world finally caught a glimpse of the terror in East Timor. But, as in Aceh, globalization trends cost the NGOs
another golden opportunity to prove their effectiveness. In the same
25
governments to praise the agreement, personal interview with East Timorese.
Despite the unity accord, Indonesia forcibly occupied Dili in April 1976. Indonesia claimed that its invasion prevented a “communist” foothold in Southeast
Asia, a message well received by the American and Australian governments that
had recently lost the war in Vietnam. Indonesia also cited “regional stability”as
a justification for war.
Since 1976, Indonesia controlled all Timor Leste through a combination of
military power and “private” militia groups. It was not until 1983 and the creation of Fretelin that a full scale guerrilla war began. Front Kladestin, or Clandestine Front, organized a popular resistance in the forests. Others continued to
work for the Indonesian government and smuggled food, medicine, and money
every chance that could.
Although Indonesia effectively ruled East Timor, the Portuguese government
still maintained de jure sovereignty under the Portuguese government.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
79
time, many West Timorese feel that political turmoil in Jakarta has resulted in scant attention being paid to peripheral areas such as their
own. One local politician has called for UN intervention. However,
this remains a sensitive issue.26 While the new country of East Timor
got their independent and obtains a lot of international help, West Timor
gets none.27
Military, NGOs and Border Conflict
Modern NGOs fail to effectively address a major problem of globalization: the movement of people across increasingly elastic borders.
Uncontrolled political and economic migrations challenge the nation
state to such a degree that NGOs must depend on nation state cooperation to operate in politically sensitive areas. In other words, the
NGO is caught between the need for states to control people and the
international migrations of workers and refugees caused by economic
necessity, emerging ethnic tensions, and other byproducts of modern
globalization.
The issue of refugees dominated the West Timor crisis. The
NGOs focused exclusively on refugee camp issues while ignoring the
rising tensions between the refugees and the local people. The lack of
social justice and land reform fueled the conflict. Prostitution and other vices increased. The NGOs seemed helpless in the face of the local
challenges.
According to some estimates28, three thousand pro-Indonesian
militia members worked to expel pro-independence supporters into
West Timor in 1999. For their part, the Indonesian military expelled
26
27
28
Elcid Li, The Forgotten of West Timor, Poverty, Refugees, Militias and Too Many Soldiers, a freelance journalist from East Timor who saved by a retired teacher in
Belu, West Timor, Antonius Seran Wilik. Li noted that the area near the border
has become heavily militarized. In January 2002 there were an estimated five
battalions. Although some welcomed the increased military presence because it
would control the militias dangerously frustrated with the new Jakarta policy,
many feared that West Timor could be turned into a military operations area as in
Aceh or Papua.
Elcid Li, op cit. Elcid Li noted that the trade profits the soldiers and police
guarding the crossings too. They take Rp 5,000 (one Australian dollar) in ‘
safety
money’for every box that passes by. A young Brimob policeman told me he
earned Rp 300,000 a day that way
John M. Miller, The East Timor Action network/U.S. (ETAN) document. For
more information: http://www.etan.org.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
80
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
international observers in West Timor while militia groups terrorized
the crowed refugee camps. Humanitarian organizations suspended their
operations during the violent clashes.
The Indonesian Military (TNI) gave their militia surrogates the
task of coordinating the “defense” of the East Timorese and West
Timorese populations against the impending violence by pro-independence guerrillas and youth groups. Many local people believed that the
militias were indeed working to protect the refugee’
s camps. However,
it soon became evident that the TNI gave the militias wide access to the
camps and the border regions to control refugee activities in West Timor.
The NGOs and the Indonesian government quarreled over the
treatment and status of the refugee populations. While Indonesia promised to provide security for the refugees and humanitarian workers in
the camps, humanitarian groups and NGOs insisted on the disarmament of the militias and a speedy repatriation of the refugees that
wished to return home. In fact, the Indonesian government could not
get an accurate refugee census. They found a solution in November
1999 when the Indonesian government and the UN signed a repatriation agreement. As part of the deal, UN workers would make a refugee census. A year later, an Indonesian government task force on
refugees found that 95% of refugees still resided in Indonesia, and
many were forced to vote against repatriation.29 “While the entire world
took a lot of notice of the refugees, however, when three staff members of the United Nations High Commissioner for Refugees were
murdered on 6 September 2000, nearly all international agencies helping the refugees pulled out of West Timor. They were reducing assistance for refugees placed an increasing burden on the locals. Because
of these situation theft increased in the town of Atambua near the
border.”30At the same time, forests in South Belu were chopped down
and turned into agricultural land. No local people had ever dared to
cut down those trees for fear of being fined. But the refugees just said
29
30
There was much evidence that Indonesian military officers and generals were
involved in plotting militia violence. However, the list of the abusers collected
by the Indonesian government omitted several senior officers. In response to the
murder of UNHCR workers in Atambua, the Indonesian government arrested
six East Timorese militiamen and put them on trial in January 2001. UN Secretary-General Kofi Anan called the government’
s actions “a wholly unacceptable
response to the ultimate sacrifice.’
Elcit Li, op cit
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
81
‘
we are defending the red-and-white (flag)’
, and after that the law was
powerless. The local people knew this was illogical; they were worried
about droughts and flooding for generations to come. But the refugees
were hungry, and they were relatives, as known before that the province
of East Nusa Tenggara of which West Timor is a part is the poorest in
Indonesia and it was forgotten during these periods of time. 31
Refugees: An NGO Priority Gone Awry
Since the conflict between Indonesia and Timor Leste began, many
NGOs focused on refugee relief. Out of some 290,000 East Timorese
refugees that fled in September 1999, over 160,000 return home and
another 50,000 returned 2000 (United Nations, 2000). Thanks to the
efforts of the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), the World Food Program (WFP), and many NGOs, more than
35,000 refugee lives were saved.32
Problems soon overtook the refugee relief effort. According to
the UNHCR registration records, more than 12,000 refugee’
s families
declared their intention to settle permanently in Indonesia, especially in
West Timor (UNHCR, 1999). Violence erupted between the local populations and the refugees. In Belu, a border district, the estimated local
population of 100,000 confronted 16,000 refugees in 32 campsites,
causing the vice-governor of East Nusa Tenggara to declare a twoweek state of emergency. By late May 2000, at least 126,000 died in
West Timor, half of them refugees. The Indonesian government acted
quickly. In coordination with UNTAET, the government considered
building a new camp in Maliana, Suat, or Oekusi. More than 2,600 families were eventually relocated (BIKN, 2000).
Camp conditions ranged from bad to terrible. By the end of
1999, the UNHCR camps located in the northeast portion of West
Timor and outside of the cities Attambua, Betun, Kefamenanu and
Kupang, varied in size, structure, and impoverishment. Some of the
31
32
Elcit Li, op cit.
There were two main organizations responsible for administering the refugee
repatriation process are the International Organization for Migration (IOM) and
the UNHCR. Additionally, there were some UN agencies and many local and
International NGOs that provided services in the area. Among those were Catholic Relief Services, CARE International, OXFAM Australia, The Australian
Red Cross, CONCERN, the Danish Refugee Council, and the International Rescue Committee. For more information www.unhcr.ch/fdrs/ga2001.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
82
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
camps consisted of no more than straw huts and tents walled with
plastic sheeting. The quality of live in the camps rapidly deteriorated as
food, water, and medical shortages, spawned disease epidemics. Tensions with the local population escalated as camp conditions worsened.
The first problem concerned land use rights. The camps siphoned
clean water from local farms and orchards. More importantly, the
local populations, themselves impoverished and in need of government intervention, were in no mood to cede valuable land to refugees.
Conflicts involving the vibrant inter-border black market trade
further worsened local-refugee relations. As in Aceh, the locals also
blamed the West Timor NGOs for trafficking in babies for adoption.
The issue gave the militias a powerful tool against outside organization.
International NGOs concerned with environmental conservation, like
OXFAM and Alpha Omega, suffered heavy criticism for their failed
attempts to restrict trade in the dwindling stands of valuable sandalwood.
Jealousy furthered complicated NGO activities. West Timor provided most of the rice, sugar, vegetables, fruits, and many other foodstuffs and goods for daily life in East Timor. The militias soon took
advantage of the black market trade to supplement their inadequate
Indonesian civil service salaries. Conflicts between West and East
Timorese soldiers flared when the East Timorese gained a trade advantage with their newly acquired American and Australian dollars.
The locals blamed the refugees for the general deterioration of
politics and social life. Food, water, and housing shortages forced many
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
83
locals to seek income in West Timor’
s only natural commodity: sandalwood. The border militias denied that economic opportunity as well.
All of the problems faced by the Timorese and the NGOs went
relatively unnoticed in the international community. Unlike their Acehnese counterparts, the West Timor NGOs encountered an even more
tightly controlled media. The international media never gained the unfettered access to refugee camps and government officials that they
enjoyed in Aceh. Most of the information was filtered through the
newly independent state of East Timor. Many West Timorese distrusted all Western media and their close partners the NGOs.
Conclusion
Modern NGO activities do little to cure the uneven process of globalization (Thomas, 1999). Western media interests, international monetary
restrictions, the demands of competing nation states, mobile populations, and competition between NGOs for limited global funds and
media exposure “benefit”some regions at the expense of others. This
paper has attempted to assess the true nature of the NGO “benefit”
for regional crises tailor-made for modern NGOs.
Although NGOs and many international agencies played important roles in the Aceh and West Timor crises, their ties to wealthy Western governments, a fickle global media, and Christian missionary groups
effectively blunted any long-term development goals in developing
nations like Indonesia. In the case of West Timor, the NGOs’grass
roots mission suffered from overregulation by the Indonesian state,
limited media appeal, and a global refugee phenomenon beyond their
immediate control. Indonesia’
s desire to control the movement of
people across the porous East Timor border clashed with the NGOs
support for the timely repatriation of political refugees. As a result,
NGO influence in West Timor nearly disappeared. Meanwhile, the
close association of NGOs with Western funding sources and media
outlets in East Timor and elsewhere generated intense distrust among
the refugees and local people. The massacre of UN workers in Atambua was one tragic result of local hostility.
Aceh presented a rather different problem: human rights took a
back seat to humanitarian relief. The NGOs in Aceh before the tsunami suffered from governmental distrust and a lethargic (some say com-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
84
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
plicit) global media. Many NGO problems in Aceh stemmed from a
historically rooted deep distrust of the West that refused to support the
separatist campaign. The intense media interest in the tsunami disaster
drove precious aid funds away from human rights NGOs. The Indonesian state also used its advantage as a “debtor nation” to redirect
attention to tsunami relief. The post 911 concern about “Islamic terror”gave Indonesia still more leverage to micro-manage relief activities according to national priorities. The Acehnese suspect that Western
interests want to use the tsunami disaster to further the Indonesian government’
s political position in Aceh. Islamic fundamentalist relief organizations established their own grassroots credentials by opposing Western NGOs and their “American”and “Christian”priorities. The Islamists gained credibility when the media trumpeted an “agreement”for a
ceasefire when no such agreement existed.
More generally, the Indonesian case demonstrates the power of
globalization forces in co-opting NGOs. Even in nations with strong
NGO movements, the nation state and its Western patrons use disaster
relief against the advocates for the poor and dispossessed. In fact, as
this paper has tried to show, the NGOs contribute negatively to some
of globalization’
s most onerous symptoms.
The NGO responses to natural and political disasters like those
in Aceh and West Timor are part of a global change in how the world
community views power and political responsibility. Issues like human
rights, antipersonnel mines, environmental degradation, actually serve
the interests of the global power brokers, blunting the promise of
NGOs as a counterbalance to globalization. More ominously, the historical roots of sectarian and secessionist struggles go unrecognized in
the headlong rush to develop a region’
s economic potential. Where
NGOs could ameliorate the affects of unrestrained development, and
the accompanying plague of social injustice, more radical, anti-Western
forces fill the void.
Yet, increasingly, the world community looks to the NGO movement for solutions where governments and international political organizations routinely fail. Ideally, the NGOs should promote more transparency from the governments they work with or against. The truth is
another matter.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
85
Bibliography
Perlas, Nicanor. 1998. Sustainable Development as a Response to Globalization
in Civil Society: Creative Responses to the Challenge of Globalization. Proceedings of the National Conference, Philippines. Page 80-86.
Nye, Joseph. 2004. Globalization is not Americanization, Contrary to Conventional Wisdom; Globalization is not ‘
Americanizing’the World. Massachusetts: Harvard University. Page 2-3.
Basma, Bin Talal. 2004. Rethinking an NGO: Development, Donor, and Civil
Society in Jordan. London-New York: I.B. Tauris. Page 3-23
Putnam, Robert D. et.al. 1993. The Prosperous Community-Social Capital and
Public Life, American Prospect in Culture Matters. Gavic. Page 45-67.
Campbell, Tom. 2004. Globalizing Equality: the Equal Worth Project in
Globalization and Equality. London and New York: Routledge,
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
86
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
Taylor & Francis Group. Page 6-23.
Wolf, Martin. 2004. Why Globalization Works. New Heaven and London: Yale University Press. Page. IX-13.
Sakai, Yumiko. 2002. Indonesia, Flexible NGOs vs Inconsistent State Control in
The State and NGO s, Edited by Shinichi Shigetomi, The Institute
of Southeast Asian Studies Singapore (ISEAS). Page 161-177.
Elridge, Philip J. 1989, “NGOs in Indonesia: Popular Movement or Arm of
Government?”Working Paper No. 55, Center of Southeast Asian
Studies, Monash University, Australia.
Riker, James Van. 1998. Reviews, The State, Institutional Pluralism, and
Development from below: The Changing Political Parameters of State –
NGO Relations in Indonesia, PH.D dissertation, Cornell University.
Shigetomi, Shinichi, et.al. 2002. The State and The NGOs, Perspective from Asia,
Institute of Southeast Asian Studies Singapore (ISEAS). Page 43.
Setiawan, Bonnie. 2001. Menggugat Globalisasi. Jakarta: International NGO
Forum on Indonesia Development (INFID) and the Institute
for Global Justice (IGJ). Page 23-45.
Hidayati, Nur. 2002. Pembangunan Berkelanjutan. Walhi Campaign. Jakarta: Walhi. Page 1-2.
Dawe, David, and Carolyn Dedolph. 1999. The Politics of Rice, International Rice Research Institute, Web Reviews.
Tuong Vu H, Of Rice and Revolution: The Politics of Provisioning and StateSociety Relations in Indonesia, 1945-1949. An Essay at Department
of Politic and Social Science.
Himpunan Alumni IPB. 2004. Media Features; Kisruhnya Politik Pangan.
Bogor: Insitut Pertanian Bogor. Page.1-31.
Hikam, Muhammad A.S. 1999. The Role of NGO in the Empowerment of
Indonesian Civil Society: A Political Perspective. Paper presented at the
Twelfth INFID Conference on Challenges for NGOs: The Role
of Civil Society in a Changing Indonesia. September 14-17, 1999.
Setiawan, Bonnie. 2003. Review from: Hadiwinata. S. Bob, The Politics of
NGOs in Indonesia: Developing Democracy and Managing a Movement,
first Edition, Routledge Curzon, New York and Rochman-Ganie.
Meuthia, ( 2002). An Uphill Struggle: Advocacy NGOs Under’
s
Suharto’
s New Order Lab Sosio FISIP UI Depok.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Ruthviana Mefi Hermawanti
87
Mas’
oed, Mohtar. 1989. “The State Reorganization of Society Under
The New Order”, Prisma No. 47. Page 25-33.
Powel, Sian. 2003. Aceh’
s History of No Surrender, expanded Academic
ANNALS (The American Academy of Political and Social Science) database and world press organization in Asia, May 17, 2003.
Amnesty Open Document, about A brief Human Right History of Aceh
on line resource at www. Amnesty.org.
Ricklef, M.C. 1996. Sejarah Indonesia Modern, chapter IV, Yogyakarta:
Gama Press.
Thaib, Lukman. 2002. Acheh’
s Case, A Historical Study of the National
Movement for the Independence of Aceh-Sumatra. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, Page 258-266.
http://www. tapol.gn.apc.org/acehbeackgrounder05.html. Mobil Oil exploited Aceh’
s natural gas reserves since 1971. The Indonesian state
oil company, Pertamina, operates the liquid natural gas facilities.
— — . 2005. “Democracy, not war, would limit GAM’
s influence,”The
Jakarta Post, March 14, 2005.
Djuli, N.M. 2000. Aceh for Beginners or the Process of Ethnic Dilution in Aceh.
http://acehnet.tripod.com/begin.htm
Cheow, Eric, Teo, Chu. 2005. U.S. Groups Urge Indonesian Government
to Put People over Politics, Humanitarian Catastrophe Adds to Human
Created Destruction in Aceh. For a brief history of the Acehnese
human rights crisis see: www.indonesiaalert.org and
www.amnesty.org.
— — . 2005. Proceedings of Regional Conference on re-construction
and development of fisher folk and peasant livelihood, MedanIndonesia, February 17 -21, 2005.
Lampman, Jane. 2005. “Disaster Aid Furthers Fear of Proselytizing”.
Christian Service Monitor, NGOs Global Policy Forum, January.
Page 1 of 3.
Cohen, Rick. 2004. “The Tsunami: The Charitable and Politic Response
to the Disaster”. The Leadership Journal, 2004, Vol. 11 Issue 4.
Tokyo Embassy. 2005. US. Groups Urge IndonesianGovernment to put People over Politics. January.
Tapol, The Indonesian Human Right Campaign. 2005. Backgrounder on
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
88
The Role of NGO In Third World Disaster Relief
Aceh: A History of Resistance and Militarization. January.
http://www.desaparecidos.org/kontras/about/
Sipress, Alan. 2005. Washington Post Foreign Service, “Airline Probed in
Activist’
s Murder; Indonesian Officials Allege Coverup After Poisoning of
Rights Figure,”The Washington Post, March 14, 2005.
Jasparro, Christopher. 2005. Old Threats, New Opportunities in Tsunami’
s
Wake: As Indonesia rebuilds from the December disaster, new developments
may shift the battle for security in Southeast Asia. Yale Global on line,
Center for the Study of Globalization, 2005, for more information see www.yale.edu.
Dunn, James. 2002. Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur,
Januari sampai Oktober 1999, Hakekat dan Sebab-sebabnya.
Report of the International Commission for Timor Loro Sae.
Taylor, John G. 1990. The Indonesian Occupation of East Timor 1974-1989,
A Chronology. Published by the Catholic Institute for International
Relations London in Association with the Refugee Studies Program at the University of Oxford. Page 1-69
Elcid Li. Tahun 1993 The Forgotten of West Timor, Poverty, Refugees, Militias
and Too Many Soldiers, a freelance journalist from East Timor
who saved by a retired teacher in Belu, West Timor, Antonius
Seran Wilik.
Miller, John M. Tahun? The East Timor Action network/U.S. (ETAN)
document. For more information: http://www.etan.org.
United Nations. 2000. Excutive Summary, United Nations Consolidated Inter-Agency Appeal for West Timor Revision, October 1999December 2000.
www. Unhcr.ch/fdrs/ga2001.
UNHCR Press Briefing Note, November 23, 1999, The Plight of East
Timorese Refugees in West Timor. For more infor mation:
www.hrw.org/report.
Badan Informasi dan Komunikasi Nasional. 2000. Tragedi Attambua,
Wacana Publik. Departemen Dalam Negri. Page 18-31.
Thomas, Dichter. W. 1999. Globalization and Its Effects on NGOs:
Efflorescence or a Blurring of Roles and Relevance?, Nonprofit
and Voluntary Sector Quarterly. Page 28: 38-58.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
89
Konflik Umbul Wadon:
Upaya Membangun
Gerakan Sosial di Hulu-Hilir1
Mimin Dwi Hartono, SE2
Latar Belakang
Sungai Kuning, atau biasa disebut masyarakat
sekitar sebagai Kali Kuning, terletak di perbatasan Kecamatan Pakem dan Cangkring-an,
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kali Kuning terletak di
lereng selatan Gunung Merapi (2986 meter di
atas permukaan air laut [dpl]), salah satu gunung api teraktif di dunia. Mata air Umbul Wadon, sumber air utama Kali Kuning, yang terletak di ketinggian sekitar 1250 meter dpl, merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak,
salah DAS utama yang dimiliki Provinsi DIY, disamping DAS Progo
dan DAS Oyo.
Lingkungan alam di sekeliling Kali Kuning berupa hutan pegunungan tropis (mountain tropical forest), dengan dominasi jenis pohon adalah
1
2
Tulisan ini berdasarkan pengalaman advokasi yang dilakukan LSM Wana Mandira
di komunitas Umbul Wadon.
Mimin Dwi Hartono adalah Koordinator Eksekutif Wana Mandhira
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
90
Konflik Umbul Wadon
pinus dan sebagian lagi pohon Puspa, Rasamala, dan Sarangan. Kali
Kuning juga kaya akan keanekaragaman hayati, seperti Bunga Kantung
Semar, Pohon Kina, Ayam Hutan, Elang Hitam, serta Burung Elang
Jawa (Spizaetus Bartelsi).
Umbul Wadon termasuk jenis mata air artesis yang muncul dari
patahan lempengan bumi. Menurut cerita para sesepuh desa, lokasi munculnya Umbul Wadon adalah titik dimana lahar dari Gunung Merapi
berhenti, ketika terjadi letusan besar ratusan tahun yang lalu. Pada musim
hujan, debit atau kapasitas air yang keluar dari Umbul Wadon sekitar
650 liter/detik dan 400 liter/detik pada musim kemarau. Pada musim
hujan debitnya lebih besar karena mendapat tambahan resapan air hujan
dan akar pepohonan yang menyimpan air.
Air dari Umbul Wadon telah dimanfaatkan selama puluhan tahun
untuk berbagai keperluan manusia, baik untuk irigasi pertanian, konsumsi rumah tangga, dan industri kecil. Menurut data dari Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), lahan pertanian seluas 650
hektar mendapatkan aliran irigasi dari Umbul Wadon. Namun data
dari masyarakat setempat, yang tergabung dalam Organisasi Pemakai
Air (OPA), tidak kurang dari 1.250 hektar lahan pertanian yang mendapatkan aliran air dari Umbul Wadon, yaitu di wilayah Kecamatan Pakem,
Cangkringan, dan Ngemplak. Selain untuk irigasi, Umbul Wadon juga
dimanfaatkan untuk air minum, dengan pengelola Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Sleman, PDAM Tirta Marta Yogyakarta, dan PD.
Anindya. Air minum yang dikelola oleh ketiga perusahaan tersebut mencukupi kebutuhan ribuan rumah tangga di Kabupaten Sleman dan Kodya
Yogyakarta. Namun, dari ketiga pengelola air minum tersebut, PDAM
Sleman adalah pihak yang ketergantungannya terhadap sumber Umbul
Wadon sangat tinggi, karena sebagian besar suplai air diambil dari Umbul Wadon.
Secara administratif, Umbul Wadon terletak diantara Kelurahan
Hargobinangun, Kecamatan Pakem, dan Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan. Walaupun secara geografis hanya dibatasi Kali Kuning, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di kedua wilayah tersebut
cukup berlainan. Masyarakat Hargobinangun, khususnya di wilayah Kaliurang, sangat bertumpu pada pariwisata, dan sebagian lagi pada pertanian dan peternakan sapi perah; sedangkan masyarakat Umbulharjo
sebagian besar bertumpu pada peternakan sapi perah dan pertanian
musiman, seperti palawija.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
91
Gambar 1. Peta kawasan hulu Gunung Merapi dan letak mata air Umbul
Wadon
Apabila ditinjau dari sisi kehidupan sosial-ekonomi, kehidupan
keseharian masyarakat di Umbulharjo masih sangat “ndesani”, dalam
arti tradisi gotong royong dan suasana perdesaan masih sangat kental
nuansanya. Suasana di Hargobinangun sudah jauh berbeda. Di wilayah
ini, kehidupan sosial-ekonomi penduduk sudah cenderung mengikuti
gaya hidup orang kota, walaupun tradisi gotong royong masih berlangsung dengan baik. Hal ini sangat dimungkinkan karena setting
pengembangan kawasan yang memang berbeda. Hargobinangun diorientasikan sebagai wilayah pengembangan wisata, sedangkan Umbulharjo adalah kawasan pertanian dan peternakan. Walaupun masuk dalam
kawasan daerah hulu atau atas, keberagaman sosial-ekonomi sangat
kelihatan.
Dalam tulisan ini, pembedaan antara masyarakat hulu dan hilir
berdasar pada posisi geografis dan fungsi tata ruang wilayah. Masyarakat
hulu adalah mereka yang tinggal di kawasan resapan air primer dan
sekunder, yaitu yang terletak di Kecamatan Pakem, Cangkringan, dan
Turi. Sedangkan masyarakat hilir adalah mereka yang bertempat tinggal
di kawasan pengembangan ekonomi, mulai dari kawasan Kecamatan
Ngaglik sampai ke Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
92
Konflik Umbul Wadon
Konflik yang Mencuat:
Berebut Emas Biru Umbul Wadon
Seperti halnya dengan sumberdaya kehidupan yang lain, kelestarian
Umbul Wadon saat ini semakin terancam oleh eksploitasi yang berlebihan dari berbagai pihak tanpa ada upaya konservasi yang konsisten.
Salah satu konflik yang mencuat adalah perebutan pembagian air antarmasyarakat di bagian hulu dan antara masyarakat hulu dengan hilir.
Dalam hal ini, konflik lebih diartikan sebagai sebuah situasi yang
dinamis (baca: ada pertentangan kepentingan— ed.) antara dua pihak
atau lebih dalam memandang suatu permasalahan. Konflik di sini belum
diartikan sebagai sebuah situasi yang diasosiasikan dengan kekerasan
fisik.
Tabel 1. Perkembangan Pertanian
di Daerah Aliran Kali Kuning
Sumber: Kompas Jogja dan Dinas Pertanian Sleman, 2004
Konflik antar-masyarakat hulu terjadi antara petani dengan
masyarakat yang memanfaatkan air untuk pariwisata yang disuplai oleh
PD. Anindya dan bisnis air minum dalam kemasan, yaitu Qannat dan
Evita yang disuplai oleh PDAM Sleman. Pabrik Qannat terletak di
Kaliurang dan Evita berada di Kota Kecamatan Pakem.
Air yang dipakai untuk pariwisata dianggap sangat boros dan
bahkan telah mengambil hak petani. Salah satu contoh, air irigasi yang
mengalir melalui selokan Plunyon di Kaliurang ternyata disedot untuk
kepentingan hotel dan penginapan yang lokasinya berada di sekitar aliran
air selokan. Para pelaku wisata, khususnya investor hotel besar di Kaliurang adalah pihak yang paling besar mengkonsumsi air dibanding dengan
penginapan kecil milik masyarakat sekitar. Mereka— pemilik hotel besar-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
93
— dipandang oleh petani hanya bisa melakukan eksploitasi air tanpa
bisa memberikan kontribusi untuk melestarikannya.
Namun, para pelaku wisata beranggapan bahwa mereka berhak
mengeksploitasi air karena sudah membayar biaya langganan ke PD.
Anindya, berbeda dengan petani yang sebagian besar memakai air secara
gratis. Bahkan, para pelaku wisata balik menuding petani sebagai pihak
yang sangat boros air karena tingginya angka ternak sapi perah di wilayah
Cangkringan (seekor sapi rata-rata membutuhkan air 60 liter/hari, dan
saat ini tercatat ada sekitar 5341 ekor sapi) serta pertanian yang tidak
hemat air.
Konflik antar-masyarakat hulu yang terjadi masih berupa ketegangan, belum termanifestasi menjadi kekerasan antarkelompok karena
proses komunikasi antarpihak masih bisa berjalan, baik dari sisi masyarakat maupun pemerintah desa serta kecamatan. Hal ini juga masih bisa
diantisipasi dengan masih tercukupinya kebutuhan air di masing-masing
pihak, walaupun manajemen air yang dipakai saat ini adalah sistem bergulir.
Konflik hulu-hilir terjadi dalam skala yang lebih lebar dan luas,
yaitu antara petani dengan PDAM Sleman. Konflik yang sudah sampai
pada tahap kekerasan antara kedua pihak sebenarnya sudah mulai di
tahun 1999, yaitu ketika PDAM Sleman mempunyai proyek penyediaan air bersih dengan mengambil air dari Umbul Wadon. Pada saat itu,
ribuan masyarakat di tiga kecamatan, yaitu Pakem, Cangkringan, dan
Ngemplak, menolak dan berdemo ke kantor Bupati Sleman. Massa
bahkan sudah sempat melakukan pembongkaran pipa-pipa berdiameter ¾ meter tersebut. Sampai akhirnya konflik tersebut bisa diredam
melalui negosiasi yang diakomodir dalam dokumen Analisis Dampak
Lingkungan (Amdal). Dalam Amdal tersebut diatur mengenai pembagian air, yaitu 50 persen untuk irigasi pertanian, 35 persen untuk air
minum (dibagi untuk PDAM Sleman, PDAM Tirta Marta, dan PD.
Anindya), serta 25 persen untuk konservasi. Amdal ini diberlakukan
mulai tahun 2000.
Sejak saat itu sampai dengan pertengahan tahun 2003, intensitas
konflik menurun, walaupun bersifat laten. Meski demikian, dalam interval waktu tersebut sebagian masyarakat sudah menengarai adanya kecurangan air, yang dibuktikan dari aliran untuk irigasi yang semakin mengecil. Akan tetapi, masyarakat belum mempunyai kapasitas untuk menyelesaikannya atau berkonsolidasi untuk bertindak. Melalui rangkaian
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
94
Konflik Umbul Wadon
diskusi terbatas para aktivis3 dan masyarakat, kecurangan tersebut dimunculkan melalui media massa pada September 2003. Sejak saat itu, isu
mengenai konflik Umbul Wadon mulai meningkat lagi. Selain dipicu
oleh publikasi, konflik meningkat karena aliran air irigasi masyarakat yang
sebelumnya juga disuplai dari Umbul Lanang, mulai September 2003
terhenti, karena Umbul Lanang mulai tidak mengeluarkan air. Praktisirigasi hanya bergantung dari Umbul Wadon yang sudah dieksploitasi
untuk berbagai macam keperluan.
Konflik mencuat karena PDAM Sleman tidak mematuhi aturan
pembagian air sesuai kesepakatan bersama yang tertera dalam Amdal.
Seperti disebut di atas, jatah 35 persen untuk air minum dibagi untuk
tiga perusahaan, yaitu PDAM Sleman, PDAM Kodya Yogyakarta, dan
PD. Anindya, yaitu perusahaan daerah milik Provinsi DIY yang bergerak
dalam bidang pariwisata di Kaliurang, yang salah satunya menyediakan
layanan air bersih. Namun kenyataannya, dari hasil pengukuran yang
dilakukan pada Oktober, Desember 2003 dan April 2004, PDAM Sleman telah mengambil jatah air yang berlebihan, dari yang diijinkan sekitar 80 liter/detik menjadi sekitar 190 liter/detik atau hampir 150 persen
lebih banyak dari yang diijinkan.
Dari permasalahan itulah kemudian muncul ketidakpuasan masyarakat hulu. Perilaku PDAM Sleman yang mengambil air secara berlebihan tersebut telah menyebabkan ratusan hektar lahan pertanian yang
terletak di Kecamatan Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak, mengalami gagal panen dan sulit untuk ditanami lagi.
Selain telah menyebabkan petani tidak bisa berproduksi akibat
ketiadaan air irigasi, pada gilirannya akan menyebabkan dampak
ekonomi, yaitu bertambahnya pengangguran. Masyarakat yang semula
bertani menjadi tidak bisa bertani lagi karena lahannya tidak mendapatkan
aliran air. Dampak berikutnya, akibat lahan tidak ada aliran air, tidak
bisa ditanami— padahal masyarakat harus tetap memenuhi kebutuhan
sehari-hari— menyebabkan tidak ada pilihan lagi bagi masyarakat, kecuali
menjual lahan miliknya. Akhirnya, penjualan tanah ke orang lain (khususnya
orang kota) dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan semakin
bertambah. Masyarakat semakin termarginalisasi dan masuk dalam perangkap kemiskinan struktural. Indikator ini bisa disaksikan di sepanjang
3
LSM Wana Mandira, secara kelembagaan, mulai melakukan pendampingan secara intensif pada pertengahan 2003.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
95
jalan Kaliurang, yaitu dimana alih fungsi lahan menjadi sangat cepat dan
akhirnya akan berpengaruh pada tata ruang yang banyak dilanggar dan
tidak ada penegakan hukum dari Pemda Sleman.
Perseteruan antara petani dan PDAM ini meluas menjadi ketegangan antara petani dan para pelanggan PDAM Sleman yang merasa
hak mereka sebagai pelanggan dicurangi oleh petani. Para pelanggan
yang sudah kecukupan mendapatkan aliran air secara kontinyu tiba-tiba
harus menghadapi kondisi yang tidak terbayangkan sebelumnya, yaitu
kesulitan air. Sistem giliranpun akhirnya diterapkan oleh PDAM Sleman.
Kondisi untuk mengembangkan “arena konflik”ini memang didesain
oleh pihak tertentu sehingga substansi permasalahan bisa digeser, bukan
lagi berfokus pada kecurangan pembagian air yang dilakukan PDAM
Sleman, namun pada pembagian air antara petani dan pelanggan air
PDAM Sleman. Namun komunikasi yang dibangun, baik melalui dialog
maupun media massa telah mencairkan ketegangan antara petani dan
forum pelanggan PDAM Sleman.
Pengorganisasian Petani dan Strategi Negosiasi
Langkah awal sebelum kecurangan PDAM Sleman dimunculkan ke
publik adalah dengan melakukan pendidikan kritis bagi para petani,
yaitu membekali petani dengan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum
pengelolaan air, Amdal, dan hak-hak petani. Dari proses yang dilakukan
ini diharapkan akan terbangun militansi di kantong-kantong petani untuk
ikut aktif berjuang mempertahankan hak-haknya. Proses ini berjalan
secara kontinyu dari Agustus 2003 –Februari 2004.
Kecurangan PDAM secara terbuka disampaikan melalui kampanye di media massa dan pertemuan masyarakat pada April 2004. Terkuaknya kecurangan tersebut menyebabkan Pemda dan PDAM Sleman
kalangkabut dan menyebabkan informasi yang beredar menjadi sangat
kompleks dan apabila dibiarkan akan menimbulkan konflik kekerasan.
Untuk itu, langkah kedua yang diambil, adalah dengan membentuk
tim negosiasi yang terdiri atas 7 orang yang mewakili petani, pemerintah
desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), dan aktivis LSM. Tim negosiasi,
yang kemudian disebut Tim 7, bertugas untuk mewakili petani dalam
mempersiapkan dan melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang
terkait, maupun menjadi juru bicara untuk kepentingan petani. Tim 7
juga mengambil peran untuk bisa melokalisir permasalahan sehingga
tetap pada fokus semula, yaitu tentang kecurangan PDAM Sleman.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
96
Konflik Umbul Wadon
Melalui proses negosiasi yang dilakukan oleh Tim 7 dengan Pemda
Sleman dan PDAM Sleman sepanjang April –Mei 2004 akhirnya membuahkan hasil, walaupun sempat dilakukan perundingan yang sangat
alot beberapa kali. Pada 21-30 Mei 2004, dilakukan pengukuran debit
dan pengalokasian air sesuai dengan Amdal, yang diikuti oleh Pemda
Sleman, petani, LSM, dan Perusahaan Air Minum.
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pelanggan PDAM
di Yogyakarta
Sumber: Kompas Jogja
Dalam pengukuran ulang tersebut juga terkuak ternyata bukan
hanya PDAM Sleman yang melakukan kecurangan, tetapi juga PDAM
Tirta Marta dan PD. Anindya karena mereka memasang pipa by pass
yang tidak melalui bak pembagian air. Pada saat itu juga dilakukan pembongkaran pipa oleh masyarakat. Namun memang dari sisi eksploitasi
air, PDAM Sleman melakukan kecurangan yang paling besar.
Selain pengalokasian air sesuai dengan Amdal, disepakati juga oleh
para pihak agar ada perbaikan dan peningkatan dalam melakukan konservasi di Kali Kuning. Namun, poin yang terakhir ini sampai saat ini
belum ada realisasi yang jelas, walaupun menurut informasi sudah dianggarkan dalam APBD Sleman tahun 2005 ini.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
97
Transformasi Konflik Menuju Kolaborasi
Meskipun Amdal sudah disepakati untuk dilaksanakan, permasalahan
belumlah selesai. Ketidakpuasan akibat pelaksanaan Amdal masih terus
disampaikan oleh PDAM Sleman dan Bupati Sleman. Mereka terus
meminta agar jatah air untuk PDAM Sleman ditambah, dari yang
sekarang— setelah disesuaikan dengan Amdal— sebesar 73 liter/detik
menjadi 110 liter/detik. Konflik yang saat ini kembali menurun intensitasnya bukan berarti telah usai, karena ribuan petani tidak bersedia memenuhi permintaan tersebut karena dianggap ilegal (tidak sesuai dengan
Amdal). Konflik melalui pernyataan di media massa masih terus terjadi
pada bulan Juni –Agustus 2004.
Konflikpun sempat berkembang menjadi perseteruan antara Bupati Sleman Ibnu Subiyanto dengan Gubernur DIY Sri Sultan HB X,
tentang peresmian pabrik air minum Evita oleh Gubernur DIY. Konflik
tersebut berkembang pada bulan Juni 2004, karena menurut Bupati
Sleman belum ada ijin beroperasi. Disamping itu, sikap Gubernur tersebut
sangat disayangkan oleh banyak pihak karena dalam situasi sulit air untuk
kepentingan pertanian dan konflik Umbul Wadon yang belum selesai,
gubernur malah “merestui”berdirinya sebuah pabrik air minum. Keberpihakan gubernur pun dipertanyakan oleh masyarakat karena mementingkan bisnis air daripada air untuk publik. Walaupun sempat berhenti
beroperasi, akhirnya Evita kembali menjalankan bisnisnya, meski permasalahan di Umbul Wadon dan krisis air masih terus terjadi. Sangat kelihat-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
98
Konflik Umbul Wadon
an bahwa perseteruan tersebut nampak sebagai sebuah “drama”yang
hanya sekedar mempertahankan kepentingan bisnis masing-masing, yaitu
antara Arbass yang mendapat restu dari Bupati Sleman dan Evita yang
mendapat restu Gubernur DIY4.
Disamping konflik vertikal-struktural tersebut, masih berkembang
pula konflik antara masyarakat petani dan PDAM, yang kemudian ditransformasikan oleh “oknum-oknum”PDAM Sleman menjadi konflik
horisontal antara masyarakat hulu dan masyarakat hilir (konsumen PDAM
Sleman). Pelaksanaan Amdal masih terus dipertanyakan oleh para konsumen PDAM karena dinilai sepihak dan merugikan mereka.
Konflik horisontal tersebut dibuat untuk mengalihkan kelemahan
dari pihak PDAM Sleman, yaitu masalah kecurangan air, menjadi konflik perebutan air antara petani dan pelanggan PDAM Sleman. Dengan
memanipulasi konflik maka substansi advokasi berusaha dipecah menjadi
sebuah provokasi dan akhirnya akan melepaskan tanggung jawab hukum
dari para pejabat PDAM Sleman dan Pemda Sleman.
Namun provokasi ini mampu dikelola melalui komunikasi antara masyarakat hulu dan hilir dengan memanfaatkan media cetak, elektronik, maupun melalui pertemuan langsung antara pihak-pihak terkait.
Kedewasaan dari masyarakat, baik petani dan pelanggan, harus diacungi
jempol, karena mereka menyadari kepentingan yang lebih besar.
Dalam mengeliminir provokasi tersebut, peran media massa
menjadi sangat penting untuk menjelaskan posisi petani dan pelanggan
PDAM Sleman, ketika saluran komunikasi langsung belum memungkinkan dilakukan. Dialog melalui radio dipergunakan sebagai media untuk
memberikan penjelasan objektif tentang apa yang sebenarnya terjadi di
Umbul Wadon, sehingga distorsi dan manipulasi informasi dapat ditekan.
Inisiatif melakukan komunikasi yang dilakukan oleh Tim 7 dilanjutkan secara langsung dan konkret dalam pertemuan dengan perwakilan
dari Forum Pelanggan PDAM Sleman. Dalam pertemuan langsung,
baik di lapangan maupun dalam pertemuan di rapat-rapat, dihasilkan
jaminan dari para pihak untuk tidak terpancing pada provokasi dan
sepakat untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan substansinya.
Namun, sampai sekarang, konflik menjadi sangat tidak “sehat”
dan tidak proporsional, karena penyebab konflik hanya berkutat pada
4
Arbass dan Evita adalah dua perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK).
Arbass milik Wahyu Wibowo dan Ibnu Subiyanto (Bupati Sleman).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
99
besar kecilnya pembagian air (water sharing), yang memang tidak akan
pernah usai karena masing-masing pihak masih berkutat pada posisinya.
Padahal persoalan mendasar lainnya bukan hanya pada masalah pembagian, tetapi juga pada keberadaan dari mata air Umbul Wadon yang
semakin tidak ada perhatian dari para pihak.
Pada pengukuran Juni 2002, debit Umbul Wadon masih menunjukkan angka 550 liter/detik, namun pada pengukuran terakhir Mei
2004 tinggal 406 liter/detik. Sungguh sebuah warning yang sangat serius
karena percepatan turunnya debit yang begitu hebat. Turunnya debit air
bisa disebabkan karena faktor manusia dan alam. Faktor manusia, misalnya, alih fungsi lahan hijau menjadi permukiman, akibatnya wilayah resapan air menjadi hilang. Air hujan tidak meresap menjadi air tanah, tetapi
air permukaan yang berakumulasi menjadi banjir. Disamping itu memang
faktor perilaku manusia yang belum mempunyai kesadaran untuk menjaga dan melestarikan mata air.
Faktor alami dominan yang menjadi penyebab adalah bencana
alam Merapi tahun 1994 dan kebakaran hutan 2002 yang menyebabkan
ratusan ribu pohon hangus dan mati, sehingga daya resap hutan menjadi
sangat berkurang. Dua faktor inilah yang seharusnya menjadi titik tolak
dari kasus konflik Umbul Wadon, yaitu bagaimana peran dari semua
pihak melestarikan sumber mata air.
Apalagi menurut prediksi dari Dinas Permukiman dan Prasarana
Wilayah DIY, dengan meningkatkan populasi penduduk, pada tahun
2015 mendatang DIY akan mengalami defisit air 1485 liter/detik. Sehingga dari warning ini yang mendesak untuk dilakukan adalah melakukan
upaya mempertahankan kapasitas mata air dan melakukan konservasi
kawasan. Prediksi ini juga menjadi sebuah warning yang serius atau menjadi peringatan dini karena potensi konflik air akan sangat besar di masa
mendatang, karena gap antara supply dan demand air sangat mencolok.
Upaya Wana Mandira (WM) sampai saat ini dan seterusnya adalah bagaimana konflik menjadi sebuah titik masuk sehingga hubungan
para pihak akan lebih sehat dan produktif. WM berusaha melakukannya dengan cara mentransformasikan konflik menjadi energi bersama
untuk melakukan perubahan cara pandang dan sistem pengelolaan
Umbul Wadon yang lebih baik dan partisipatif. Apabila masing-masing
pihak mau melihat pada kepentingan yang lebih besar, yaitu konservasi
Umbul Wadon sehingga pemanfaatan air akan berkelanjutan, maka
transformasi konflik menuju kolaborasi akan bisa dijalankan.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
100
Konflik Umbul Wadon
Diagram 1. Prediksi Kebutuhan Air DIY
Sumber: Kompas Jogja dan Depkimpraswil DIY
Kolaborasi Hulu Hilir
Kolaborasi hulu hilir. Itulah yang saat ini sedang diusahakan dilaksanakan dalam pengelolaan Umbul Wadon. Manajemen Kolaborasi adalah suatu
proses dimana dua atau lebih stakeholders dengan kepentingannya yang
berbeda menghadapi masalah yang sama dan secara konstruktif mencari
serta bekerjasama dalam perbedaan yang ada untuk mencapai solusi
yang saling menguntungkan (win-win solution).
Kolaborasi merupakan sebuah keniscayaan para pihak dalam memandang persoalan merupakan peluang melakukan perbaikan dan pembenahan berdasar pada visi bersama. Dalam hal ini, para pihak yang
akan diajak dalam berkolaborasi adalah:
1. Pemerintah à Pemda Sleman, Pemda Provinsi DIY, PDAM Sleman, PDAM Kodya Yogyakarta, PD. Arga Jasa, Dinas Kehutanan DIY, Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman, dan aparat Kecamatan Pakem-Cangkringan
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
101
2. Masyarakat à OPA (Organisasi Pemakai Air) Kecamatan Cangkringan, Pakem, dan Ngemplak; Paguyuban Pondok Wisata Kaliurang,
Konsumen PDAM Sleman dan Kodya Yogyakarta.
3. Sektor Swasta à Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (yang
mengambil air dari Umbul Wadon), yaitu Evita, Arbas, dan Qannat; pemilik hotel/penginapan di Kaliurang, dan Universitas Islam Indonesia.
4. Akademisi à PSLH UGM dan PSLH UII.
5. Ornop/LSM à Wana Mandhira, Walhi, dan Komite Rakyat Lereng
Merapi.
Para pihak tersebut merupakan aktor primer yang harus dilibatkan dalam upaya-upaya kolaborasi, melalui proses sbb:
Salah satu tujuan utama kolaborasi adalah mengelola pemanfaatan
sumberdaya alam melalui negosiasi prinsip-prinsip yang disetujui bersama dan dilaksanakan oleh stakeholders yang berkaitan. Dengan kolabora-
Gambar 2. Proses Kolaborasi Hulu-Hilir dalam Mengelola Konflik
Umbul W adon
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
102
Konflik Umbul Wadon
si, akan dapat dibangun proses berbagi kekuatan diantara stakeholders
untuk membuat keputusan paling disepakati mengenai pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya, yaitu Umbul Wadon. Bentuk kolaborasi yang
hendak dikembangkan nantinya tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang
berada di hulu, tetapi juga pihak-pihak di hilir, yang secara langsung dan
tidak langsung mendapatkan manfaat dari Umbul Wadon.
Bagan diatas menunjukkan bahwa kolaborasi hanya mungkin dimulai dari kemauan dan keterbukaan dari para pihak untuk sampai
pada kebutuhan bersama, yaitu kolaborasi adalah sebuah cara mencapai
tujuan bersama. Pada tahap ini sampai dengan identifikasi para pihak
yang akan diajak berkolaborasi, dilakukan oleh pihak eksternal atau fasilitator.
Tahapan berikutnya adalah berbagai pihak yang teridentifikasi dipertemukan dalam sebuah pertemuan bersama untuk menentukan pilihan
strategi mengelola konflik; melalui proses mediasi, ligitasi atau pengadilan,
atau kolaborasi. Apabila pilihannya adalah kolaborasi, perlu dilakukan
negosiasi para pihak mengenai indikator kolaborasi yang bisa menjadi
ukuran dan pegangan para pihak. Dalam kasus Umbul Wadon ini, ukuran
kolaborasi para pihak yang dipakai adalah dokumen Amdal yang telah
mengatur alokasi air sesuai dengan kebutuhan. Indikator ini harus dijaga
dan dimonitor oleh para pihak sehingga bisa berjalan secara baik dan
tidak merugikan.
Dalam proses ini, apabila salah satu pihak melakukan kecurangan, bisa mengacaukan proses kolaborasi, misalnya yang dilakukan PDAM
Sleman. Namun hal ini bisa diselesaikan melalui negosiasi ulang. Dan
proses ini akan terus menerus dilakukan, karena merupakan sebuah siklus
yang sangat bermanfaat dalam menjaga komitmen dari para pihak.
Instrumentasi Kolaborasi Hulu Hilir
Setidaknya, ada tiga instrumen yang dapat dikembangkan secara integral dalam kolaborasi hulu-hilir Umbul Wadon, yaitu pengembangan
kelembagaan, penyusunan kebijakan, dan insentif ekonomi. Hal ini yang
belum terjadi di Umbul Wadon, walaupun indikator kolaborasi sudah
ada, yaitu Amdal.
Bentuk kolaborasi awal antarpihak adalah dengan disediakannya
wadah lembaga atau forum yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Forum yang akan diisi oleh para pihak tersebut haruslah
merupakan perwakilan dan mampu mewakili kepentingan konstituen
yang mereka wakili. Melalui forum inilah para pihak bertemu, saling
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
103
berkomunikasi, sharing untuk mengelola konflik yang timbul, sehingga
tidak sampai berakibat pada kekerasan. Kontribusi masing-masing juga
dibicarakan dalam forum tersebut, misalnya kontribusi untuk pendanaan konservasi Umbul Wadon, perawatan bangunan air, irigasi, dsb.
Instrumen kedua adalah kebijakan yang memberikan dukungan
secara politis dari keberadaaan dan program kerja forum yang dibentuk
oleh para pihak diatas. Karena pemanfaat Umbul Wadon tidak hanya
masyarakat Kabupaten Sleman, tetapi juga masyarakat Kotamadya Yogyakarta untuk air minum dan Kabupaten Bantul untuk irigasi, maka
kebijakannya harus lintas kabupaten/kota, yaitu di tingkat provinsi. Kebijakan yang dikeluarkan nantinya bukan bersifat top down ‘
dibuat oleh
Gubernur dan DPRD DIY tanpa partisipasi masyarakat’
. Namun sebaliknya, kebijakan yang mengatur mekanisme dan program kerja forum
adalah berasal dari proses usulan dan partisipasi dari masyarakat. Hasil
dari konsultasi di masyarakat yang mampu menjangkau dan mengakomodasi para pihak inilah yang kemudian dirumuskan oleh forum untuk
diusulkan menjadi sebuah kebijakan formal ke Gubernur dan DPRD
DIY.
Instrumen ketiga, yang berjalan secara paralel dengan proses pembentukan forum kolaborasi dan penyusunan kebijakan adalah dikembangkannya insentif ekonomi untuk masyarakat di sekitar Umbul Wadon. Untuk memotivasi dan memberikan penghargaan pada usaha dan
kerja keras masyarakat hulu dalam mengkonservasi Umbul Wadon,
mereka perlu diberikan insentif ekonomi yang nyata dan kontinyu. Misalnya dalam bentuk pemberian keringanan biaya pendidikan, kesehatan, kredit usaha kecil, pembibitan tanaman produksi, dll.
Lesson Learned
Gagasan membentuk manajemen kolaborasi di Umbul Wadon bukalnlah hal yang mustahil, apalagi dengan adanya momentum konflik Umbul
Wadon yang belum selesai sepenuhnya. Masyarakat setempat bekerjasama dengan LSM telah berusaha membuka diri untuk bekerjasama. Seperti yang berulangkali dikatakan oleh masyarakat, asalkan bertanggung
jawab dan berjalan seiring-setara, mereka membuka diri terhadap pihak
luar yang hendak memanfaatkan Umbul Wadon.
Jika gagasan tersebut terealisir, ini merupakan test case yang baik
dalam pengelolaan sumberdaya air di DIY, sehingga konsep-konsep
pengelolaan sumberdaya air yang sering dilontarkan oleh para ahli dari
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
104
Konflik Umbul Wadon
universitas dan pemerintah tidak hanya berupa jargon kosong. Di Umbul
Wadon, masyarakat dan LSM telah memulai melakukan konservasi
sumberdaya air yang berkelanjutan.
Dan gayung pun bersambut, kepedulian dari aktor hulu dan hilir,
khususnya pada tataran pemerintah, mulai nampak. Hal ini terjadi pada
18 September 2004 yang lalu, ketika Bupati Sleman, Bupati Kulonprogo, dan Walikota Yogyakarta memberikan komitmen mereka untuk
terlibat secara aktif dalam upaya konservasi Merapi. Mereka menyadari bahwa ketersediaan air akan sangat tergantung pada baik buruknya
kondisi ekosistem Merapi, khususnya hutan Merapi seluas 8650 hektar.
(Pembacaan Deklarasi Merapi oleh Bupati Sleman, Walikota
Yogyakarta, dan Wakil Bupati Kulon Progo)
Dalam acara tersebut muncul-lah Deklarasi Merapi, yang bunyinya adalah “konservasi Merapi adalah tanggung jawab semua pihak,
konservasi Merapi tidak boleh meminggirkan masyarakat lokal, serta
hancurnya Merapi berari hancurnya Yogyakarta”. Deklarasi tersebut
menjadi sangat bermakna baik secara politis maupun secara substansial
karena diharapkan menjadi kelanjutan dan bola salju yang akan semakin
membesar dalam mewujudkan pola kolaborasi hulu-hilir yang sebenarnya. Semoga. []
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Mimin Dwi Hartono
105
Referensi
Dwi Hartono, Mimin (2004). Modul Pelatihan Konflik SDA Secara Kolaboratif. Wana Mandhira Yogyakarta.
Dwi Hartono, Mimin (2003-2004). Dokumen advokasi Umbul Wadon. Wana
Mandhira Yogyakarta.
Dinas Kimpraswil Sleman (2003). Rencana Detail Tata Ruang Kawasan
Wisata Kaliurang.
Kompas Edisi Yogyakarta (Mei 2004)
RECOFTC-FAO (2002). Training Modul on Managing Conflict in Forest
Resource Management. Bangkok Thailand.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
107
Dayang Sumbi Bertemu Cinderella:
Kode Feminitas
dalam Seni Visual Indonesia
Nuraini Juliastuti
(KUNCI Cultural Studies Center)
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai risalah
lengkap tentang se-niman perempuan Indonesia
dan karya-karyanya. Akan lebih baik untuk memandang tulisan ini sebagai tulisan awal saja. Mungkin
banyak nama dan karya yang masih luput saya sebutkan di sini, karena yang ingin saya tunjukkan
adalah peristiwa dan momen tertentu yang saya
anggap bisa merepresentasikan kompleksitas perkembangan wacana perempuan atau lebih tepatnya
mode feminitas dan interkoneksitasnya dengan hal-hal lain dalam seni
visual Indonesia.
Tubuh merupakan garis batas dan pintu masuk yang paling jelas
terlihat untuk membicarakan persoalan identitas. Dari karya-karya yang
saya jelaskan di esai ini dapat tergambar bagaimana para seniman perempuan tersebut memaknai tubuh, bagaimana tubuh dipakai sebagai menjadi medan pertarungan, wacana-wacana apa yang muncul di sana, dan
hal-hal apa yang memengaruhi para seniman tersebut dalam berkarya.
Arahmaiani
Rahmayani atau Arahmaiani. Ia merupakan satu sosok seniman perempuan paling terkemuka saat ini. Arahmaiani saya pilih sebagai salah satu
fokus dari tulisan ini karena darinya kita bisa menyaksikan perdebatan
dan gumam pribadinya tentang tubuh, norma, agama, tradisi, dan kapitalisme dalam karya-karyanya. Sekaligus dari sana kita bisa melihat sedikit
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
108
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
gambaran tentang posisi seniman perempuan dan kompleksitas persoalan yang melingkupinya.
Banyak hal menarik untuk dibaca dari naskah komik tentang Arahmaiani yang dimuat oleh seniman komik Arie Dyanto berdasarkan hasil
wawancara editor buku tersebut— Adi Wicaksono et.al.— dan diberi
judul “Kebudayaan itu Berkelamin” (Dyanto, 2003: 165-176) [Lihat
Gambar 1 dan Gambar 2].
Gambar 1
Gambar 2
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
109
Demikian petikannya:
“Aku berasal dari kelas menengah kota, terdidik, dan keluarga muslim
taat. Keluargaku memahami agama secara kritis. Pemahaman kritis itu
berseberangan dengan konsep agama puritan yang selalu menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Ketika kecil aku bercita-cita menjadi nabi. Waktu kecil aku suka sekali
berpakaian laki-laki. Teman mainku sering meledekku, “… pasti perempuan gak bisa… ”, tetapi malah itu menjadi tantangan buatku.
Tetapi begitu semakin dewasa ketegangan bahwa perempuan dewasa
harus mengikuti norma semakin ketat, dan sampai sekarang pun ketegangan itu masih terasa.
Perempuan harus kawin! Norma itu melekat kuat di masyarakat, dan
itu konflik spesifik pada perempuan usia 30-an. Aku selalu ingin menjadi diriku sendiri, aku sebenarnya tidak ingin membuat lingkunganku resah, tetapi aku juga harus selalu jujur pada diriku sendiri. Apapun
resikonya!
Dan aku tahu ketika memutuskan ikatan dengan norma kultur itu,
maka aku akan sendirian. Dan itu berat.
Lalu aku masuk seni rupa, meskipun orang tuaku tidak setuju, tetapi
itu sudah menjadi jalanku. Di akademi seni rupa pun, aku merasakan
kultur patriarkis, dosennya mayoritas laki-laki. Aku pikir ini adalah
cermin dari masyarakatku.
Aku juga merasakan di ruang kuliah pun ada diskriminasi halus,
“Ah… mana ada sih seniman perempuan yang berhasil… ”, itu yang
membuatku berambisi untuk mengubah pendapat itu. Mungkin karena itu orang mengatakan bahwa aku ini perempuan yang ambisius…
Tetapi aku juga sadar, akan sulit menemukan orang-orang yang bisa
kuajak komunikasi. Untuk itulah aku menulis, mengeluarkan apa yang
mendesak, yang ada dalam perasaanku. Kemudian aku juga menemukan berbicara dengan orang asing, orang jalanan ngomongnya lebih
enak, lebih bebas. Itu mungkin karena mereka nggak mriyayi, lebih
egaliter. Sedang pada kelasku lebih banyak aturan yang tidak transparan dan tidak bisa dipertanyakan secara terbuka.
Pada level kelas menengah, wacana perubahan itu lebih cepat tercerap,
tetapi di level bawah lebih cepat mengakomodir. Karena mereka lebih
dinamis, “perasaan aman kelas menengah mapan”tidak ada pada
mereka. Jadi mereka lebih bersifat nothing to loose.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
110
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
Permasalahan gender, atau katakanlah penyejajaran posisi, baru bisa
dilakukan dengan beberapa syarat: pembongkaran dominasi laki-laki
terhadap perempuan, keterbukaan politik, dan tentu saja perubahan
politik.
Aku pikir untuk mensosialisasikan ide-ide perubahan itu harus dimulai dari kelas bawah. Kelas menengah, seperti apa yang aku katakan
tadi, terlampau konservatif untuk melakukan perubahan. Dan itu
bukan terjadi begitu saja. Sesuatu harus dilakukan!
Persoalan gender dan agama itu terletak antara lain pada monopoli
penafsiran oleh sedikit orang (yang kebanyakan laki-laki). Untuk
melakukan pembongkaran diperlukan usaha untuk melakukan desakralisasi, tidak saja melalui seni tetapi juga lewat pendekatan sosial.
Kebanyakan pemikir perempuan berasal dari kelas menengah yang di
Indonesia secara kelas masih bermasalah. Kelas menengah punya
kekuatan untuk bergerak, untuk melakukan mobilisasi, tetapi kelas
menengah juga menciptakan hierarki baru, dan ini bisa berasal dari
tinggalan masa lalu cuma dalam bentuk berbeda. Jadi, disamping
melakukan penyadaran ke kelas lain, mereka seharusnya melakukan
juga penyadaran pada kelas mereka sendiri. Katakanlah sebagai cara
untuk mengurangi arogansi kelas itu.
Tetapi proses penyadaran, atau kalau aku sebut juga penelanjangan
diri, pada kelas menengah jauh lebih sulit, sehingga itu mungkin
menyebabkan mereka melakukan penelanjangan pada kelas lain. Sebagai seniman, aku menggunakan seniku dengan melihat sasaran yang
ingin aku tuju: pada kelas menengah aku akan banyak menggunaan
teori, sedang kelas yang lain aku menggunakan cara berbeda.
Dalam proses pembuatan karya aku lebih cenderung melihat persoalan
secara riil dan manusiawi. Tetapi aku tetap menjaga kesadaranku bahwa aku seorang perempuan, karena bagaimanapun kebudayaan itu
“berkelamin”.
Secara umum aku mengembangkan sebuah mode of communication,
aku tidak hanya berpikir secara logis dan rasional saja. Aku mengistilahkan komunikasi itu sebagai “hawa”. Tetapi bagaimana membuat
hawa menjadi hidup di tengah atmosfir yang telah tercemar oleh pembusukan politik, bahasa yang maskulin, dan lain-lain, adalah dengan cara
melihat persoalan gender bukan semata-mata masalah maskulin-feminin, tetapi lebih melihat pada aspek-aspek energi yang terkandung
didalamnya.
Istilah “energi”menurutku bisa menetralisir beban-beban yang sifatnya bias gender. Kalau kita mampu mengaturnya maka terjadilah kese-
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
111
imbangan. Dalam konteks berkarya dengan tema bias gender aku tetap
lebih memilih untuk “menggedor”, tetapi memang sering terjadi
ketidaksinkronan antara karya dengan penonton. Itu berarti aku harus
lebih memahami lagi dengan siapa aku berkomunikasi.
Meskipun ada banyak tema dalam karya-karyaku tetapi ia tetap memiliki benang merah, yaitu hubungan antara pihak yang lemah dan yang
kuat. Tetapi aku sadar bahwa akan berhadapan dengan sebuah mesin
besar yang bernama kapitalisme, yang mampu memproduksi image,
simbol, dan pencitraan yang lain.
Lewat karya-karyaku aku ingin memaknai tubuh perempuan. Sebuah
subjek yang telah dimanipulasi dan dieksploitasi oleh kebudayaan dan
kapitalisme. Aku ingin membuat koreksi. Dan koreksi itu aku mulai
dari titik bahwa selama ini tubuh perempuan telah menjadi komoditi.
Aku pikir setiap orang boleh memaknai tubuhnya sendiri-sendiri,
seperti halnya laki-laki memaknai dirinya sebagai kekuasaan. Sedangkan pada tubuh perempuan ia tidak pernah memaknai, tetapi selalu
dimaknai. Itu yang ingin aku rebut kembali.
Tetapi aku dalam berkarya menolak upaya pendiktean dari luar. Tubuh
perempuan(ku) bukan sesuatu yang untuk dijarah dan diperkosa!”
Arahmaiani menunjukkan dirinya sebagai seniman yang rajin dan
tekun mengolah pengalaman pribadi yang lahir dari identitas keperempuanannya, kegelisahannya memandang relasi perempuan-tradisi-norma
masyarakat-agama-kapitalisme sebagai bahan bakar abadi bagi penciptaan karya-karyanya.
Pada Juni 1999, di auditorium CCF Bandung, Arahmaiani menampilkan instalasi dan performance berjudul “Dayang Sumbi Menolak Status
Quo”. Bagi Arahmaiani, Dayang Sumbi adalah simbol profil perempuan
khas zaman Orde Baru yang pasif, terlalu banyak berkorban dan
menanggung beban— hidup terasing, kawin dengan anjing, melahirkan
anak yang kemudian membunuh bapaknya dan jatuh cinta padanya,
membuat Dayang Sumbi harus menarik diri kembali— dan masih tetap
tidak pernah dianggap sebagai figur sentral dalam cerita besar Sangkuriang Sakti. Gugatan terhadap posisi perempuan dalam konsep madon
sebagai bagian dari mo limo dalam budaya Jawa juga diungkapkannya
dalam karya berjudul “Aku Tak Ingin Menjadi Bagian dari Legendamu”. Berikut ini adalah semacam jawaban Arahmaiani yang sedikit terungkap dalam komik yang saya sebut diatas.
“Aku berhadapan dengan ekstase kapitalisme, dan seni harus berhadapan dengan itu semua. Aku juga menggunakan medium-medium
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
112
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
yang mereka pakai— semacam subversi simbol— untuk memberi contoh. Selain itu aku juga berhadapan dengan sebuah persepsi, terutama
yang berasal dari agama Islam, bahwa “tubuh perempuan itu bersalah!”Aku ingin sebuah keseimbangan antara wilayah material dan
spiritual; antara tubuh material dan tubuh spiritual. Karya “Dayang
Sumbi Menolak Status Quo”adalah caraku untuk mengkonkretkan
sesuatu yang abstrak supaya tidak tinggal menjadi abstraksi. Ada dua
lapis makna di sana, yang pertama memperlihatkan; lapisan kedua,
respon dengan segala kompleksitasnya.
Dalam karya ini aku ingin mengatakan kapitalisme adalah agama kontemporer. Orang berusaha mempertahankan dengan jiwa, mereka mau
berjihad membentuk tentara untuk menjaganya, dan ia juga menawarkan surga dan kebahagiaan. Dalam sistem ini, sekali lagi, perempuan hanya untuk dieksploitasi. Pada konsep agama yang formalis
dan skriptualis, seolah-olah tidak ada tempat bagi kesenian yang kritis.
Kalaupun mereka ada, mereka harus menggunakan cara-cara khusus.
Cara-cara khusus itu adalah dengan membongkar agama pada tingkat
tekstualnya, dan bukan pada tingkat prakteknya.
Ketika tidak mungkin aku melawan suatu sistem yang besar sekaligus,
kapitalisme misalnya. Yang aku butuhkan adalah sebuah landasan
yang kemudian mampu mengartikulasikan ide-ideku sehingga bentuk
akhirnya tetap terbaca. Pada situasi politik yang berubah sekarang ini,
seniman juga harus mendefinisikan kembali dirinya karena masyarakat
dan individu lainnya telah atau tengah berubah. Akhirnya seniku adalah kehidupan. Aku ingin melebarkan kanvasku pada kehidupan itu
sendiri.”
Arahmaiani lahir tahun 1961. Ia bisa dikatakan kenyang pengalaman berkarya di zaman Orde Baru yang serba menekan, juga telah
menyaksikan bagaimana tragedi demi tragedi terjadi demi sesuatu yang
dinamakan perubahan. Saya rasa pengalaman ini membuatnya tidak
pernah berhenti bertanya dan menggugat apa saja.
Pertengahan 2004 lalu Arahmaiani meluncurkan buku kumpulan
puisi “Roh Terasing”. Pada puisi “Cita –Cita”kita lihat bagaimana keberaniannya bertanya ini kembali ditunjukkan:
Waktu kecil aku ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak bisa
Anak perempuan boleh meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma atau Cina
Mendapat gelar terhormat
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
113
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai nabi
Itu hanya untuk anak lelaki
Sesudah dewasa aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang: kapan-kapan saja
Sebab keinginanku untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus punya laki-laki
Mestilah ia seseorang yang
Ingin jadi Tuhan
Pada bagian selanjutnya, saya ingin menunjukkan intensitas pengolahan identitas seniman perempuan dari generasi yang berbeda dengan generasi Arahmaiani, yang menunjukkan dirinya dalam bentuk yang
lain, dengan isu dan juga bahasa yang samasekali berbeda.
Feminitas dan Budaya Anak Muda
Pameran dengan tajuk “Youth of Today”yang dipamerkan di Ruang
Mes 56 Yogyakarta, sebuah ruang alternatif untuk fotografi kontemporer, Agustus 2004 lalu, bagi saya menarik karena darinya bisa dilihat
suatu gambaran ruang lingkup anak muda Indonesia zaman sekarang.
Atau bisa juga dibaca sebagai bagaimana remaja perempuan masa kini
berdialog dengan konteks sosial-politik yang melingkupi kesehariannya, apa problem-problemnya, dan hal-hal apa saja yang dianggap penting atau trendi menurut mereka. Sebagian besar dari peserta pameran
lahir tahun 1980-an. Artinya mereka memasuki perguruan tinggi pada
tahun 2000 atau 2001. Reformasi sudah lama lewat. Gaung gerakan
mahasiswa yang dulu pernah begitu kencang terasa diantara ruang-ruang kuliah dan kota Yogyakarta— dan jadi penanda penting kedudukan kaum muda Indonesia— hanya pada beberapa tahun sebelumnya
(1997-1998), mungkin kini hanya mereka baca dari guntingan kliping
koran, buku-buku, atau mendengar cerita-cerita orang. Pameran ini
sendiri diikuti oleh 7 orang perempuan muda: Dessy Sahara Angelina
(Ina), Amriana (Amri), Yuli Andari Merdikaningtyas (Andari), Reska
Andini (Reska), Margaretta (Rere), Made Primaswari (Prima), dan Anastasia Dessy (Anas).
Dari semua peserta residensi dan pameran tersebut, hanya Amri
yang mempunyai pendidikan formal fotografi (ISI Yogyakarta), sementara yang lain tidak pernah mendapat pendidikan formal maupun non
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
114
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
formal dalam bidang fotografi. Pada tahap ini memang soal kamera
jenis apa yang digunakan dan persoalan kemahiran teknis fotografi tidak
jadi masalah besar, karena yang penting adalah bagaimana sebuah kamera
dipergunakan untuk merepresentasikan dan membaca dirinya sendiri.
Dan memang persoalan inilah yang menjadi fokus pada awal pelaksanaan residensi dan pameran tersebut, karena meskipun hampir semua
peserta sudah pernah memegang kamera pocket, tetap saja mereka merasa tidak yakin apakah dirinya benar-benar mampu memotret dan menghasilkan sesuatu yang layak disebut “karya seni”. Fotografi disini akhirnya
diterjemahkan secara bebas. Poin pentingnya adalah justru bagaimana ia
digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang praktis— dan
akhirnya ideologis, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan diskursus
seni kontemporer.
Andari bahkan boleh dibilang baru pertama kali memegang kamera digital, bukan kamera pocket seperti biasanya, yang itupun jarangjarang dilakukan, paling kalau ada momen penting dalam keluarga: pesta,
ulang tahun, wisuda, atau piknik. Sehingga ketika pertama kali berkesempatan memegang kamera digital, dengan segala kemudahannya, ia seperti
mendapat semacam guncangan karena semua menjadi tampak menarik
untuk dipotret. Dan kemungkinan untuk memotret kesehariannya pun
menjadi terbuka lebar. Sebagai latihan memotret, Andari memotret
gantungan celana dalam, bra, handuk, gayung dan aneka perlengkapan
mandi yang berjajar rapi di kamar mandi, poster-poster di kamarnya,
deretan buku di rak kayu, yang ada di rumah kos yang ditempati bersama 40 teman perempuannya yang lain.
Jika melihat karya Rere— kolase dari foto dan guntingan majalah
yang menggambarkan pemain band— dan karya Riska— video mengenai
kehidupan sehari-hari sebuah kelompok band indie dan kumpulan foto
pentas band indie yang pernah disaksikannya— misalnya, maka bisa dipastikan bahwa tampaknya dunia yang dominan dari mereka adalah
dunia musik. Yogyakarta sendiri saat ini dikenal sebagai kota dengan
band-band indie yang banyak jumlahnya. Di kota ini juga mempunyai
beberapa media alternatif bikinan anak muda yang menempatkan musik
sebagai materi penting dari isi media mereka, misalnya Outmagz, Square,
atau Shine.
Jika dulu istilah media alternatif atau media independen identik
dengan pers mahasiswa, saat ini bagi sebagian anak muda lain, peran itu
telah banyak digantikan dengan zine. Zine punya sejarah panjang sendiri
di Amerika sana. Tapi secara singkat ia adalah majalah beroplah kecil,
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
115
yang oleh pembuatnya dibuat dengan teknik potong dan tempel, lalu
difotokopi atau dicetak, dan didistribusikan sendiri. Isinya luar biasa
bermacam-macam mulai dari puisi, umpatan dan gugatan pribadi, cerpen, komik, ulasan musik atau kondisi sosial-ekonomi-politik di sekelilingnya. Dengan metode pembuatannya seperti itu, zine berada diantara media personal dan umum. Ada sangat banyak media alternatif seperti
ini bertebaran di kota-kota Indonesia. Berikut ini adalah sebagian nama
mereka: Daging Tumbuh, Combro, Terompet Rakyat, Suara Hati, Venceremos, Anarkisme, Beni, Menolak Tunduk, dsb. Nama-nama tersebut sebagian saya dapat dari koleksi perpustakaan tempat saya bekerja,
dan sekarang semua orang bahkan bisa mendapatkan katalog lengkap
zine pada suatu situs yang khusus mendedikasikan dirinya untuk masyarakat pembaca zine di Indonesia yaitu www.penitipink.blogspot.com.
Zine ini kadang jadi media untuk mempromosikan band-band
lokal di kota masing-masing, informasi gig-gig terbaru di kotanya, atau
info tentang barang-barang baru yang dijual distro-distro lokal. Pokoknya
segala yang berkaitan dengan budaya anak muda sekarang. Ada pertautan
erat antara musik dan anak muda, antara musik dan dunia seni visual.
Banyak perupa yang sekaligus jadi pemain band, perupa yang mengelola sebuah band, atau perupa yang melibatkan diri dalam proses industri
musik. Tengoklah para aktivis Ruang Rupa, sebuah ruang alternatif untuk
seni visual di Jakarta, dan dapat ditemui seniman yang mempunyai pekerjaan lain sebagai manajer sebuah band, vokalis band, atau mengelola
rumah produksi pembuat video klip. Riska sendiri adalah pemimpin
redaksi Square. Rere adalah vokalis grup band Plastic Dolls. Anas dan
Prima adalah editor majalah musik Shine. Dengan latar belakang atmosfer seperti inilah mereka hidup.
Tema mengenai romantika dan percintaan masih menjadi titik
sentral bahasan majalah-majalah remaja perempuan— baik lokal maupun
lisensi— yang beredar di Indonesia: tips mengetahui isi hati cowok, tips
memperkuat inner beauty cewek, tips menjadi cewek favorit di sekolah,
kuis ‘
apakah kamu benar-benar suka si dia?’
, dsb. Topik pembicaraan
utama, diselingi aneka topik tentang tugas dosen-kerjaan di rumah yang
numpuk, dalam acara girl talk di kamar entah siapa, bersama temanteman lain. Dan karya berdua Anas & Prima— cerita foto mengenai
kisah cinta seorang robot hitam dengan boneka cantik— bagi saya seperti
menyuarakan cita-cita romantika para remaja perempuan seperti biasa
dibaca pada majalah remaja perempuan: a happy ending love story, pahlawan
baik hati dengan puteri jelita, robot Black Robin dan Barbie Ariel (Lihat
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
116
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
Gambar 3). Meski sampai disini, rasanya perlu membuat studi yang
bisa lebih jauh mengungkapkan apakah anak muda sekarang masih
menginginkan bentuk hubungan laki-laki-perempuan yang seperti itu.
Tapi dari pembacaan film-film remaja yang sekarang beredar di rentalrental VCD/DVD dapat dengan mudah dilihat bahwa dongeng Cinderella yang merindukan pangeran tampan— tentu dengan sentuhan yang
lebih kontemporer— banyak ditemui. Beberapa film terbaru dengan
tema diatas adalah Prince & Me, Cinderella Story, Confession of a Teenage
Drama Queen.
Sementara proyek-proyek fotografi lain yang akan saya bicarakan berikut ini mengungkapkan sisi-sisi feminitas yang lain, yang merupakan kunci untuk melihat bagaimana perempuan zaman sekarang membicarakan tubuh dan seksualitasnya sendiri.
Mata saya tertuju pada seri foto seorang perempuan yang tampak
sedang berusaha memasang selembar pembalut di kemaluannya. Fotofoto itu dipasang di tembok, yang penuh dengan coretan-coretan tulisan yang ditulis dengan cat piloks berbunyi: “She contaminates”, “Does
my vagina scare u enough?”, “Growing up sucks”, “Justification of
Gambar 3
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
117
power would be forever his if I let him to!”, “Just pics of my pussy,
dats all”. Ini karya Ina, dan tokoh yang ada dalam seri foto itu dirinya
sendiri (Lihat Gambar 4).
Gambar 4
Salah seorang teman laki-laki yang kebetulan sama-sama berdiri
melihat foto itu di samping saya berbisik, “Aduh, aku ngeri lihat fotofoto ini. Rasanya langsung theng gitu di pikiranku.”Sementara seorang
teman yang sehari-harinya berprofesi sebagai fotografer di Jakarta langsung berkomentar, “Ih, jorok! Siapa sih ini yang motret?” Di telinga
saya, ungkapan kekagetan dan kejijikan yang keluar dari teman-teman
laki-laki— yang menurut saya berpikiran bebas dan terbuka— itu cukup
mengagetkan. Saya tidak menduga bahwa ternyata ekspresi yang terbuka
mengenai menstruasi— hal alamiah yang dialami setiap perempuan—
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
118
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
rupanya masih menjadi sesuatu yang tidak cukup nyaman untuk didengar
atau dilihat. Awalnya saya berpikir bahwa mungkin ucapan yang keluar
dari kelompok laki-laki— yang tidak mengalami sendiri pengalaman
menstruasi— akan berbeda dari reaksi kelompok perempuan yang melihat karya ini. Tapi ternyata reaksi kaum perempuan pun berbeda-beda.
Meski ada yang menganggap karya Ina ini sebagai reaksi kejujuran perempuan, tapi saya juga menjumpai sebagian perempuan peserta pameran ini yang berpendapat bahwa karya ini membuat mereka malu,
dan merasa bahwa seharusnya hal-hal seperti itu— vagina, menstruasi— tidak sepantasnya dipamerkan secara luas seperti ini.
Proyek mempertanyakan tubuh yang lain juga ada pada karya
Amri dan Andari. Amri mengajak melihat persoalan tubuh perempuan
gendut versus tubuh perempuan kurus sebagai konstruksi ideal kecanti-
Gambar 5
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
119
kan seperti yang selalu ada dalam iklan di majalah dan televisi (Lihat
Gambar 5). Dan meski tidak sejelas Ina dan Amri, bagi saya proyek
memotret buku agenda yang dilakukan Andari merefleksikan tubuh
perempuan dalam versi lain: tubuh perempuan yang terjadwal rapi dan
ketat. Jam 5: bangun, jam 5.30: mencuci baju, jam 7.30: berangkat kuliah, jam
16: ketemuan sama Mas Nino, jam 20.30: harus sudah sampai kos, nonton
AFI!! (Lihat Gambar 6).
Gambar 6
Kebiasaan menuliskan pengalaman harian, di buku harian atau di
buku agenda yang selanjutnya lebih populer disebut dengan organizer
bukan hanya simbol manusia modern yang menginginkan pengaturan
kehidupan yang serba rapi, terjadwal, efisien, tapi juga bisa dimaknai
sebagai penulisan sejarah personal yang emotif. Dalam esai pendek yang
ditulis Andari dan dipasang di samping seri foto buku agendanya, ia
menceritakan kembali pengalaman teman-temannya mengenai buku
agenda yang dimiliki mereka: “Seorang teman bercerita padaku bahwa
jika tiba saatnya untuk menulis di buku harian, ia akan mengingat kembali
apa saja yang sudah kulakukan seharian. Bila ia sedang kesal, ia akan
tuliskan semuanya dalam diari. Beberapa waktu setelah menulis, bila ia
baca kembali buku itu, ia bisa tersenyum sendiri. Sementara teman lain
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
120
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
bernama Wikan menuliskan kisah keseharian pada lembar-lembar khusus
berwarna merah muda yang ada pada organisernya. Lembar-lembar
merah muda ini adalah bagian yang tak boleh dijamah siapapun. ‘
Semua
campur aduk dalam organiserku. Ada jadwal kuliah, jadwal marching
band dan ada beberapa ungkapan hati ketika sedih atau senang. Temanteman sering membuka organiserku tapi khusus lembar merah muda,
tidak boleh,’kata Wikan.”
Saya membayangkan beberapa tahun kemudian ketika para pemilik agenda ini menjalani kehidupan pernikahan, mereka akan mengulangi
kembali ritme jadwal tubuh ketat dan rapi antara keluarga-suami-pekerjaan-kehidupan sosial-tetangga-mertua, dan membuat perempuan merasa selalu sibuk, tapi sekaligus merasa selalu mempunyai masalah— persoalan yang tidak bernama— dan merasa sangat kosong dalam hatinya.
Aku dan Mereka
Di Indonesia, khususnya pascareformasi 1998, kita menyaksikan pintupintu yang terbuka pada banyak komunitas yang dulunya bergerak secara tertutup. Salah satu komunitas itu adalah komunitas gay/lesbian di
Indonesia. Saat ini terasa benar para pegiat komunitas gay/lesbian di
Indonesia bergerak dan bekerja— membangun jaringan antar mereka
sendiri dan organisasi-organisasi lain terkait— untuk menunjukkan makna
demokratisasi dan penghargaan tulus kepada sesama manusia.
Seiring dengan hal tersebut, pada dunia majalah laki-laki, terdapat
perkembangan baru yang juga menarik untuk disimak. Dari beberapa
studi atas artikel-artikel Majalah HAI, bisa dirunut wacana machoisme
atau kejantanan yang ditekankan oleh para jurnalis majalah tersebut terhadap para pembacanya: pemberani, tidak boleh cengeng, tidak boleh
menangis, tidak boleh bersifat pengecut, tidak boleh suka bergunjing
atau bergosip apalagi latah, karena bisa dianggap kecewek-cewekan.
Selanjutnya, penambahan rubrik fashion yang berisi perkembangan mode
remaja laki-laki, serta rubrik yang berisi tips perawatan tubuh: bagaimana supaya bebas dari jerawat, kiat supaya rambut tidak mudah rontok,
atau bagaimana membuat wajah tetap cerah, menunjukkan bahwa segala
urusan perawatan tubuh bukan hanya monopoli kaum perempuan, melainkan aktivitas yang multiseksual. Lebih jauh, hal ini merupakan beberapa tanda yang menegaskan terjadinya negosiasi wacana maskulinitas
yang selama ini diam dalam pengetahuan bersama masyarakat. Dan
mungkin hal ini akan terdengar terlalu spekulatif, tetapi bagi saya hal ini
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
121
merupakan salah satu bibit keterbukaan terhadap preferensi seksualitas
yang berbeda-beda.
Pada 2003 dan 2004, Q-mmunity sebuah komunitas gay, lesbian,
dan transeksual yang berbasis di Jakarta, membuat sebuah pameran
seni visual bertajuk “Roman Homogen”. Pameran ini diadakan bersamaan dengan festival film gay, lesbian, dan transeksual— dengan menghadirkan kurang lebih 100 film— di kota yang sama. Baru-baru ini, festival
yang sama berkeliling ke Yogyakarta. Para peserta pameran “Roman
Homogen”adalah sebagai berikut: Ayu Rai Laksmini (Bonnie), Imelda
Taurina, Ade Kusumaningrum, Ve Handojo, Yoyok Budiman dan John
Badalu. Sedangkan peserta pameran 2004 adalah: Permana, Erza Setydharma, Imelda Taurina, Yuska L. Tuanakotta, dan John Badalu.
Agak sulit untuk menemukan definisi film gay dan lesbian, juga
batasan seni visual gay dan lesbian. Apakah ia adalah karya dengan tema
gay, lesbian, dan transeksual? Ataukah ia adalah karya yang dibuat oleh
kaum gay, lesbian, dan transeksual itu sendiri, dan dengan demikian
maka segala isinya adalah refleksi cara pandang gay, lesbian, dan transeksual itu atas dunia? Batasan yang paling mudah memang dengan melihat
latar belakang si pembuat karya itu sendiri, karena karya dengan tema
gay, lesbian, transeksual yang dibuat oleh komunitas “yang lain”tidak
selalu bernada positif. Kita tentu dapat dengan mudah membuat daftar
film-film Indonesia dengan tokoh seorang transeksual yang hanya dipasang sebagai bahan tertawaan. Semua peserta pameran “Roman Homogen”berasal dari dalam lingkungan komunitas gay, lesbian, dan tran-
Gambar 7
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
122
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
seksual itu sendiri. Mereka adalah perupa gay dan lesbian yang sudah
coming out dan merasa nyaman dengan seksualitasnya dalam masyarakat.
Seksualitas tampak menjadi hal yang dominan sebagai tema karyakarya di sana (Lihat Gambar 7). Mungkin karena seksualitas adalah bagian
dari mereka yang mendapat represi paling hebat. Persoalan lain yang
juga menarik perhatian saya dalam pameran tersebut adalah ditampilkannya jejak-jejak sosok Michel Foucault pada karya Ayu Rai Laksmini,
dan Frida Kahlo pada karya Ade Kusumaningrum (Lihat Gambar 8).
Ade Kusumaningrum membuat karya foto diri yang saling berhadap-
Gambar 8
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Nuraini Juliastuti
123
an dengan dirinya sendiri. Satu pose foto yang jelas mengingatkan kita
pada karya Frida Kahlo berjudul Two Fridas. Michel Foucault adalah
seorang ilmuwan sosial yang memberikan beberapa landasan penting
tentang operasi kuasa/pengetahuan tentang seksualitas, sekaligus salah
seorang yang mewakili kaum gay dari dunia intelektual. Frida Kahlo
adalah seorang pelukis perempuan Meksiko yang tersohor, dan dari
membaca catatan-catatan tentang dia atau buku biografinya, terlihat jelas
sisi-sisi biseksualitasnya. Meski bagi sebagian orang, perihal biseksualitas
pada Frida Kahlo masih merupakan misteri. Bagi saya, kehadiran dua
tokoh tersebut adalah juga sarana untuk menegaskan intelektualitas seniman dan dengan demikian kepemilikannya atas wacana dan lingkungan
elit.
***
Terdapat beberapa poin yang saya rasa bisa menjadi penutup esai ini.
Pertama, tubuh masih jadi medan pertarungan penyampaian ekspresi seniman perempuan. Kita telah melihat bagaimana para seniman
perempuan— dari generasi yang berbeda-beda ini— memaknai tubuh,
feminitas, dan identitas perempuannya, serta hal-hal apa saja yang memengaruhinya. Seni adalah suatu ekspresi personal, dan tiap seniman punya
pengalaman dan pengetahuan sendiri untuk diolah sebagai karya. Dari
telaah terhadap kerja Arahmaiani dan para seniman perempuan yang
berasal dari generasi lebih muda, dapat dilihat perbedaan institusi-institusi
yang berperan penting dalam proses penciptaan karya mereka. Pada
Arahmaiani kita mungkin bisa melihat “negara”, “agama”, dan “masyarakat”. Pada diri generasi seniman perempuan sekarang akan kita
saksikan bahwa institusi-institusi lama seperti negara tidak terlalu dianggap
penting. Mereka menemukan dirinya dalam institusi-institusi baru: musik
atau kerumunan rave, media alternatif, televisi, majalah remaja.
Kedua, ada dunia lain atau ruang sunyi yang selama ini luput dari
ruang diskusi wacana seni visual kontemporer di Indonesia, yaitu ruangruang yang selama ini dihuni oleh kaum yang terpinggirkan secara seksualitas. Mereka ini adalah gay, lesbian, transeksual, dan kelompok lainnya
(warok, mairil, bissu). Maka itu usaha yang bergerak mendorong kebebasan berbicara dan “menuliskan dirinya”sendiri seperti tampak dalam
“Roman Homogen”adalah sesuatu yang berarti. Bukan saja karena hal
ini adalah suatu hal yang masih langka dilakukan, tapi karena ia dilakukan dari dalam, oleh mereka sendiri.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
124
Dayang Sumbi Bertemu Cinderalla
Ketiga, peranan bahasa Inggris. Banyak para seniman muda yang
saat ini menggunakan bahasa Inggris dalam judul maupun teks karyakaryanya. Satu sisi, hal ini bisa dianggap sebagai salah satu pilihan cara
menghadapi pasar global. Tapi ketika saya melihat begitu banyak coretan
grafiti di jalanan yang juga ditulis dalam bahasa Inggris, saya berpikir
lain. Jika untuk menorehkan ekspresi jiwanya seseorang menggunakan
bukan bahasa ibunya, apa artinya? Dalam pameran “Youth of Today”,
Ina menulis teks-teks bahasa Inggris dalam karyanya. Mengapa Ina merasa perlu menggunakan bahasa Inggris untuk menuliskan tubuhnya
sendiri? Mungkin bahasa daerah atau bahasa Indonesia tidak lagi cukup
ekspresif dan mengena bagi Ina untuk mampu mewadahi suara pikirannya. Atau mungkin memang bahasa ibu— bahasa daerah misalnya—
pada zaman sekarang sudah sangat jarang digunakan oleh anak muda
untuk mengungkapkan identitas dirinya. Sehingga akhirnya merasa lebih
enak dan pas jika menggunakan bahasa Inggris. Tidakkah hal ini merefleksikan bahwa ternyata tidak hanya kondisi sosial yang mengalami
kebuntuan, tetapi bahkan bahasa juga macet dan tidak lagi berfungsi
sempurna.
* Sebagian kecil dari esai ini pernah dimuat di Majalah Visual Arts edisi
Oktober/November 2004.
Referensi
Arahmaiani. 2004. Roh Terasing. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Dyanto, Ari. 2003. Kebudayaan Itu Berkelamin. Dalam Adi Wicaksono et.al (ed.), Aspek-aspek Seni Visual Indonesia: Politik dan Gender.
Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
125
Kilasan Singkat
Mengenai Demokrasi
Leo Agustino*
Introduksi
Demokratisasi merupakan tema sentral perubahan ekonomi-politik dunia dewasa ini, yang
didalamnya tercakup berbagai persoalan yang
saling berkait satu sama lain. Sebagai suatu tema
sentral, demokratisasi telah menjadi objek studi
yang sangat luas rentang pembahasannya. Ada
yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond dan Verba,
1984; Harrison dan Huntington, 2000), model
dan bentuk baru demokrasi (Held, 1986 dan
1999; Dahl, 1999), masalah-masalah civil-society
(Diamond, 1992), masalah civilian supremacy upon military (Huntington,
1956; Diamond dan Plattner (ed.), 2000), tingkatan modenisasidemokrasi (Apter, 1987; Diamond, Linz, and Lipset (eds.), 1990; International IDEA, 2001), pilihan strategi-strategi demokrasi (O’
Donnell,
Schmitter, dan Whitehead, 1993a, 1993b, 1993c, 1993d; O’
Donnell dan
Schmitter, 1993; Huntington, 1991), lembaga-lembaga demokratis (Linz
and Valenzuela (eds.), 1994), dan lain-lain. Selain itu, kegiatan studi yang
*
Pengajar di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
126
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
serius dalam membentuk suatu teori demokrasi terus dilakukan oleh
para scholar dalam rangka menemukan jati diri demokrasi yang sejati.
Kegiatan tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya
indikasi pergeseran fokus analisis dari negara (state) ke sisi sisi masyarakat
(society). Dari banyak tulisan yang membahas persoalan demokratisasi,
tampak bahwa para ilmuwan politik menaruh perhatian yang sangat
besar pada pengembangan kekuatan masyarakat sebagai prasyarat berkembangnya sebuah paham demokrasi.
Pengembangan kekuatan masyarakat dapat dilakukan, misalnya
dengan: mengeluarkan perwira-perwira militer yang ikut serta dalam
persoalan sosial-politik ranah-ranah kelompok sipil; pembentukan sistem
kepartaian yang mendukung terhadap berkembang dan berdayanya sistem parlementer guna terwujudnya pertanggungjawaban (responsibility)
dan pertanggunggugatan (accountability)— politik— pada masyarakat; atau
membuka keran-keran partisipasi seluas mungkin agar tuntutan dan dukungan warga dapat teragregasi dengan maksimal. Selain itu, mulai dikembangkannya otonomi partisipasi yang (mungkin) selama ini selalu
dimobilisasi; penguatan supremasi hukum; dan seterusnya. Dalam konteks ini asumsinya terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastis
dari state-centered development menuju society-centered development, atau sering
pula diistilahkan dengan people-centered development. Tetapi perlu juga diingat, Huntington (1965) pernah berargumentasi dalam artikelnya “Political Development and Political Decay”yang menjelaskan pada kita bahwa di
banyak negara berkembang, masyarakat justru semakin kehilangan kekuatannya. Bahkan lembaga-lembaga pendukung suatu pemerintahan, yang
dalam hal ini berarti kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak mampu
memaksa pemerintahannya untuk tunduk terhadap kepentingan warga
masyarakat. Oleh karena itu, asumsi teori modernisasi yang menyatakan
bahwa negara hanyalah pelaksana dari keinginan sosial-ekonomi-politik
mayoritas warganya tidak selamanya benar.
Bila merujuk pada dilema seperti yang tersebut di atas, memori
kita dengan kuat kemudian mengingat tulisan Thomas Kuhn (1970)
mengenai The Structure of Scientific Revolution yang melihat keilmuan pun
mengalami siklus rasionalitas dan otoritas. Maksudnya, bahwa rasionalitas
dan otoritas sains pada dasarnya merupakan konsensus para ahli daripada produk sebuah metode penelitian yang serba logis, objektif, dan taat
metodologi. Oleh karenanya, elemen-elemen lain di luar rasionalitas dan
objektivitas, seperti irasionalitas dan subjektivitas mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ilmu. Untuk memperkuat argumentasinya
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
127
Kuhn membuat tiga konsep yang secara analitis sangat kuat dalam melihat siklus rasionalitas dan otoritas kelimuan, yaitu: paradigma, normalsains, dan anomali.
Menurut Thomas Kuhn, ilmu (pengetahuan) dalam siklus (evolusi)
pertumbuhannya berada dalam suatu “otoritas” paradigma tertentu,
yang untuk sementara dapat didefinisikan sebagai “pencapaian-pencapaian ilmiah”yang secara universal diakui validitasnya untuk suatu kurun
waktu tertentu, dan memberikan model/strategi/kerangka-kerja serta
suatu pemecahan bagi suatu keilmuan tertentu. Di bawah otoritas dan
paradigma tertentu itulah suatu sains-normal (normal sciences) dalam pemahaman konteksnya dilihat sebagai suatu periode dimana penemuanpenemuan keilmuan terjadi. Sains-normal ini (sebagai riset yang telah
didasari pada suatu pencapaian ilmiah) pada masa lalu oleh beberapa
ilmuwan telah diakui memberikan landasan untuk mengembangkan
keilmuan selanjutnya. Dalam periode ini, ilmuwan bekerja untuk mengartikulasi dan memperluas paradigma yang sedang “berkuasa”. Karena
penekanannya pada paradigma yang normal, maka anomali— berupa
fenomena atau hal-hal lain yang tidak dapat diterangkan oleh “paradigma
dominan”— cenderung untuk diabaikan; namun hal ini berkembang
terus. Anomali yang terus berkembang dan meluas ternyata menghasilkan sejumlah kesangsian kritis terhadap paradigma-sains- normal yang
sedang berkuasa. Keadaan ini, diistilahkan Kuhn, sebagai krisis keilmuan,
suatu situasi dimana ilmuwan tidak dapat lagi menggantungkan kerangkakerja/model/strategi serta pemecahan pada otoritas sains-normal yang
tersedia. Dalam periode ini juga asumsi-asumsi dan premis-premis yang
mendasari beroperasinya sains-normal dipertanyakan ulang. Krisis keilmuan akhirnya memperlemah ikatan-ikatan teoretis yang mereka anut,
dan akhirnya memunculkan alternatif-alternatif paradigma baru. Yang
selanjutnya, alternatif-alternatif paradigma baru ini berebut otoritas (pengaruh) untuk menjadi dominan. Ketika terjadi pemilihan atas satu alternatif paradigma baru, maka satu putaran siklus keilmuan terjadi.
Oleh karena itu, demokrasi sebagai akar demokratisasi turut memberikan argumen definisinya sesuai dengan paradigma serta sains-normal
yang tengah dominan. Karenanya, dalam makalah singkat ini pun akan
dibahas beberapa teori demokrasi dan demokratisasi guna menjelaskan
suatu proses perubahan ke arah perubahan dari state-centered menuju
society-centered.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
128
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Perihal Demokrasi dan Demokratisasi
Sebagaimana siklus Kuhnian di atas, tekanan analisis demokrasi bergeser
dari tingkat negara ke masyarakat, dan kembali bergeser ke negara lagi
(pada awal tahun ‘
70-an) setelah masyarakat mendapat banyak kritikan1. Para pengritik teori modernisasi melihat bahwa ternyata negara
juga mempunyai otonomi yang (relatif) besar. Negara bukan sekedar
pelaksana kebijakan politik mayoritas masyarakat atau penengah konflik
semata, tetapi justru seringkali dapat bertindak otonom dan aktif dalam
menentukan dinamika perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya,
dan hankam. Dari titik balik ini, negara kemudian dipandang olah para
analis sebagai variabel pemilah bagi berbagai hal yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, khususnya menyangkut demokratisasi.
Dalam kaitan inilah kemudian muncul model Negara OtoriterBirokratik (NOB) yang diintroduksi oleh Guillermo O’
Donnell (1973),
yang kemudian menjadi kerangka pemikiran baru bagi banyak ilmuwan
politik dalam memandang demokratisasi di negara-negara berkembang.
Negara atau state, sebagai suatu konsep politik (yang sudah) lama kembali
tampil dengan kemasan baru yang mampu menggeser konsep politik
kontemporer, seperti political system-nya David Easton yang dikreasi untuk menghindarkan analisis politik dari kekakuan-kekakuan institusional
yang legal-formal.
Pada pertengahan 1980-an kajian pembangunan demokrasi bergeser pada perdebatan demokratisasi dan reformasi yang berorientasi
pasar (market-oriented reform) dalam proses global. Diskursus ini sekaligus
menandai siklus paradigma baru, sesudah mengalami warna demokratisasi yang pesimistik dan konservatif pada tahun 1970-an. Seiring dengan runtuhnya otoritarianisme dan tegaknya demokrasi di Portugal,
Spanyol, Yunani, dan kemudian pada awal dan pertengahan 1980-an di
Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Filipina dan beberapa negara lain (Huntington, 1991), agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari statecentered menuju society-centered dengan warna market. Apalagi dengan runtuhnya Uni Soviet dan beberapa negara komunis di Eropa Timur akhir
1980-an, kajian demokratisasi menjadi semakin bergairah dengan sudut
pandang yang semakin berdiaspora. Adam Pzeworski (1991), misalnya,
1
Pergeseran ini musti dipahami sebagai kritikan paham strukturalis yang menentang sejumlah asumsi teori modernisasi, terutama kegagalan teori modernisasi
menjelaskan proses pembangunan. Masyarakat dianggapnya tidak memiliki kekuatan untuk melakukan transformasi sosial.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
129
menggunakan konsep baru hardliners dan softliners dalam menganalisis
kejatuhan rezim otoritarian. Diikuti Samuel Huntington (1991) yang
menjelaskan diskursus demokratisasi gelombang ketiga yang ditekankan
pada tahap-tahap transisi. Kemudian, Donald Share dan Scott Mainwaring (1986) yang menawarkan pendekatan transaksional dalam proses
demokrasi antara kelompok pembaharu dan kelompok oposisi, yang
kesemuanya tetap dikontrol oleh pemimpin berkuasa. Hingga Robert
Dahl (1999) yang memaparkan demokrasi ideal dan demokrasi aktual.
Kebangkitan kembali tema society-centered dalam konteks demokratisasi mendorong terjadinya pergeseran analisis. Namun kali ini konseptualisasi mengenai institusionalisasi yang dianggap mewakili masyarakat
tidak terbatas pada partai politik semata, tetapi juga telah melibatkan
aktor lain seperti non-governmental organizations (NGO’
s), asosiasi-asosiasi
sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga lokal, dan lain-lain. Keberadaan
lembaga-lembaga tersebut dalam konteks yang baru ini merupakan bagian dari penguatan civil-society yang dianggap secara signifikan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap berdirinya demokratisasi (Hadiwinata, 2003 dan Keane, 1988). Hal ini banyak ditunjukkan oleh berbagai
studi yang menyatakan bahwa aktor masyarakat— di luar partai politik— mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan secara menggurita dan bergelombang. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada
tahun 1990-an studi yang menyelidiki kekuatan civil-society secara luas
mendapat tempat dalam agenda-agenda penelitian ilmu politik dan demokratisasi.
Membahas perihal demokratisasi dalam ranah ilmu politik dapat
dilihat melalui berbagai pendekatan ilmiah, mulai dari pendekatan struktural, pendekatan elite, pendekatan behavioral, hingga pendekatan sistem.
Namun sebelum jauh melangkah, ada baiknya kita mengupas dulu secara
etimologis apa itu “demokratisasi”. Yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan transisi menuju demokrasi dengan menggunakan pendekatan tersebut di muka secara acak.
Secara sederhana, definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai
suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis. Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri
berarti— secara sederhana— pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dalam arti yang (relatif) agak luas, demokrasi sering dimaknai sebagai
pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola, dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik tumpu roda penentu
berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan. Oleh karena demokrasi
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
130
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
merupakan sistem yang bertumpu pada daulat rakyat, maka nihilisme
terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun
daulat militer musti disingkirkan.
Dalam literatur ilmu politik (modern) disebutkan ada beberapa
ciri pokok dari sebuah sistem politik yang demokratis, diantaranya: pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom; demokrasi pertama-tama mensyaratkan dan membutuhkan adanya keleluasaan partisipasi
bagi siapa pun— baik individu maupun kelompok— secara otonom.
Tanpa perluasan partisipasi politik yang otonom, demokrasi akan berhenti
sebagai jargon politik semata. Oleh karena itu, elemen pertama dalam
sebuah sistem politik yang demokratis ialah adanya partisipasi politik
yang luas dan otonom. Kedua, berwujudnya kompetisi politik yang sehat
dan adil. Dalam konteks demokrasi liberal, seluruh kekuatan-politik
(partai politik) atau kekuatan-sosial-kemasyarakatan (kelompok kepentingan dan kelompok penekan) diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan
untuk saling berkompetisi secara adil sebagai corong masyarakat, baik
dalam pemilihan umum atau dalam kompetisi sosial-politik lainnya.
Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola,
serta terjaga dengan bersih dan transparan— khususnya melalui proses
pemilihan umum. Keempat, adanya monitoring, kontrol, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan
militer) secara efektif, juga berwujudnya mekanisme checks and balances
di antara lembaga-lembaga negara. Serta, kelima, adanya tatakrama, nilai,
norma yang disepakati (bersama) dalam bermasyarakat, bernegara, dan
berbangsa.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
131
Robert Dahl (1999) dalam bukunya On Democracy menjelaskan
juga bahwa demokrasi musti membutuhkan kondisi-kondisi awal yang
memadai guna terwujudnya demokratisasi itu sendiri, yaitu: 1) adanya
pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; 2) kebebasan berpendapat; 3) adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan beralternatif; 4) adanya otonomi asosiasional; 5) dibangunnya pemerintahan perwakilan; dan 6) adanya hak warganegara yang inklusif. Lain
dari itu, sistem politik yang demokratis pada hakikatnya memerlukan
tiga prinsip dasar sebagai institusionalisasi demokrasi itu sendiri, seperti:
pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem
politik, ekonomi, dan sosial dalam horison bernegara dan berbangsa.
Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas, melalui pelaksanaan (dan kepatuhan) terhadap supremasi hukum dalam masyarakat.
Dan terakhir, ketiga, diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang
jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga
dapat dimintai pertanggunggugatannya.
Menurut Samuel Huntington (1991) proses demokratisasi yang
tengah berlangsung di negara-negara di dunia ini bergerak dalam beberapa gelombang. Yang mana gelombang terakhir demokratisasi tersebut— gelombang ketiga demokratisasi— terjadi sejak tahun 1974 sampai
dengan sekarang. Secara sederhana Huntington menggambarkan gelombang-gelombang demokratisasi dalam bentuk kuantitas negara— sepanjang abad XX. Dan, disela-sela gelombang-gelombang demokratisasi
tersebut, menurutnya, terjadi arus balik, yaitu berlangsungnya proses
penguatan kembali otoritarianisme dan/atau totaliterianisme. Gelombang dan arus balik ini mengalami pasang-surut kuantitas negara pengikutnya (lihat tabel 1).
Tabel 1. Gelombang Demokratisasi Menurut Huntington
Sumber: Huntington (1991).
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
132
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Gelombang ketiga demokratisasi, lanjut Huntington, menjadi masa
pertumbuhan yang paling subur di antara gelombang lainnya, oleh karena
proses menuju demokrasi itu berjalan seiring dengan globalisasi (proses
pengglobalan dunia). Melalui globalisasi— adanya kemudahan akses informasi, komunikasi, transportasi, hingga pencabutan ruang atas waktu
(time-space distanciation, dalam istilah Anthony Giddens)— dunia menjadi
sebuah global village ‘
perkampungan dunia’
. Yang implikasinya apabila
terdapat katastropi politik di satu negara, maka akan dengan mudah
terlihat oleh warga masyarakat internasional lainnya secara instan dalam
hitungan detik. Oleh karena itu, dalam konteks politik, sering dikatakan
bahwa globalisasi merupakan wahana bagi penyebaran virus demokrasi— meminjam istilah Francis Fukuyama— ke seluruh antero dunia.
Merujuk (kembali) pada Huntington, proses menuju demokrasi,
paparnya, dapat berlangsung dalam empat skenario besar. Skenario pertama, disebut dengan istilah transformasi (reforma atau transaction dalam istilah
Juan Linz dan Alfred Stepan serta Donald Share dan Scott Mainwaring),
yakni proses menjadi demokrasinya suatu negara— yang awalnya otoriter
atau totaliter— dengan dimotori dan dikendalikan oleh pihak yang berkuasa— perubahan dari atas. Dalam skenario ini demokratisasi terjadi
sebagai konsekuensi atas terjadinya perubahan dalam rezim berupa pemihakan terhadap konsep demokratisasi itu sendiri. Oleh karena itu,
elite-rezim berkuasa amat menentukan dalam mengakhiri rezimnya
sendiri dan mengubahnya menjadi sebuah sistem politik yang demokratis.
Skenario kedua, disebut dengan istilah replacement, penggantian rezim (ruptura atau collapse dalam istilah Linz dan Stepan serta Share dan Mainwaring). Dalam bagian ini demokratisasi terjadi melalui runtuhnya kekuasaan
rezim lama yang kemudian digantikan oleh rezim yang (benar-benar)
baru, dan prodemokrasi. Dalam konteks ini perubahan terjadi karena
penguasa dalam rezim mengalami pelemahan-pelemahan (decaying) dari
dalam, sehingga berhasil dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mengalami penguatan-penguatan.
Skenario ketiga, disebut dengan istilah transpalecement (extrication dalam istilah Linz dan Stepan), yakni proses menuju negara yang demokratis
sebagai kombinasi antara gerakan sosial di luar rezim yang mengalami
penguatan-penguatan— melalui people power, misalnya— serta adanya dorongan dari faksi-faksi prodemokrasi di dalam rezim yang tengah berkuasa. Lalu, gerakan di luar dan faksi prodemokrasi di dalam rezim bersekutu serta mengendalikan proses demokratisasi, sebagai perwujudan
kontrak sosial baru. Dalam konteks ini kelompok oposisi tak sekuat
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
133
seperti dalam skenario replacement— untuk menggulingkan rezim prostatus quo— sehingga mereka memilih untuk berkolaborasi/bernegosiasi
dengan faksi-faksi prodemokrasi di dalam rezim berkuasa. Dan skenario terakhir, keempat, disebut dengan istilah intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh ikut sertanya pihak luar— negara lain—
dalam atau dengan menjatuhkan rezim yang tengah berkuasa.
Hampir serupa dengan apa yang dijelaskan oleh Huntington tersebut di atas, Gerado Munck dan Carol Leff (1997) memaparkan hal
serupa dengan contoh-contoh kasus di beberapa negara Amerika dan
Eropa. Lebih lanjut, menurut Munck dan Leff, transisi menuju demokrasi
(demokratisasi) akan dipengaruhi oleh identitas pelaku perubahan serta
strategi yang digunakan oleh mereka. Oleh karena itu, ada kemungkinan demokratisasi akan didorong oleh elite yang tengah berkuasa, atau
oleh kelompok oposisi, atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan
pada aspek identitas dan strategi tersebut, maka Munck dan Leff mengajukan tipologi transisi sebagai berikut. Pertama, reformasi dari bawah,
proses transisi menuju demokrasi ini digerakkan oleh kelompok di luar
elite berkuasa (penentang elite), melalui perjuangan yang bergerak dalam
kerangka hukum yang ada dan tersedia. Model seperti ini sangat jarang
terjadi, dan hasilnya pun tidak menjamin terbentuk sistem poltiik yang
sepenuhnya demokratis, sebab, kekuatan rezim lama dalam beberapa
hal masih sangat kuat yang mungkin dapat menghambat terhadap penerapan demokratisasi. Namun demikian refomasi dari bawah ini pernah
terjadi di Chile menurut mereka. Kedua, reformasi melalui transaksi.
Seperti di Brazil dan Polandia, demokratisasi terjadi karena elite penguasa tidak lagi memiliki cukup kekuatan untuk melawan dan memberangus
kekuatan kelompok prodemokrasi, sehingga terjadi negosiasi di antara
kedua kekuatan tersebut untuk akhirnya melaksanakan suatu sistem politik
yang demokratis. Walaupun pada awalnya kelompok prodemokrasi
mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pemerintah, namun akhirnya
konfrontasi antara kedua kekuatan ini berakhir dengan akomodasi yang
positif terhadap berwujudnya iklim demokratis.
Ketiga, refomasi melalui ekstrikasi (extrication). Sebagaimana yang
terjadi di Hungaria, transisi menuju demokrasi melalui ekstrikasi dilakukan
dengan cara yang eklektik, yakni dengan kerangka negosiasi antara kelompok oposisi dan kelompok berkuasa yang kemudian masing-masingnya
mempunyai kesediaan untuk membuka diri dan menerima kekurangan,
serta mengakumulasi kelebihan mereka bersama guna kebaikan seluruh
warga-negara. Oleh karena itu, proses ini tidak berlangsung secara rumit.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
134
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Hal ini terwujud sudah barang tentu karena kedua belah pihak memiliki
orientasi yang sama terhadap perubahan negara-bangsa. Keempat, reformasi melalui keruntuhan atau perpecahan, yang pernah terjadi di Argentina, adalah akibat lanjut dari kekalahannya dalam perang Malvinas yang
menyebabkan kelompok-kelompok dalam masyarakat akhirnya mengambil alih kekuasaan dalam politik. Juga transisi menuju demokrasi yang
berlangsung Chekoslovakia dipicu oleh merebaknya mobilisasi rakyat
sebagai respon represi rezim terhadap demonstrasi mahasiswa pada
November 1989. Pada kasus reformasi melalui keruntuhan atau perpecahan, rezim berkuasa tidak mampu menghadapi kekuatan perubahan
dari masyarakatnya, dan strategi konfrontasi yang dijalankan oleh kelompok-kelompok prodemokrasi berhasil me-lengser-kan penguasa lama.
Kelima, reformasi konservatif, yaitu suatu perubahan ke arah demokrasi yang dilakukan oleh elite berkuasa akibat dari “kesadaran elite”
dengan mengakomodasi semua kebutuhan yang diperlukan oleh suatu
sistem politik demokratis. Keenam, revolusi sosial, ialah suatu gerakan
warga yang digagas di luar rezim dengan cara/strategi konfrontasi. Kasus
Filipina adalah contoh bagaimana revolusi sosial dapat menyumbangkan
demokrasi di negara itu. Ketujuh, revolusi dari atas, sebagaimana kasus
Bulgaria terjadi karena faktor eksternal, yaitu runtuhnya komunisme.
Ketika Uni Soviet jatuh, elite pemerintah Bulgaria yang prodemokrasi
melakukan penggeseran “elite-elite tua”— yang ketika itu pro-Moskow,
sehingga pimpinan puncak diambil oleh elite-elite yang lebih muda,
yang mempunyai jiwa demokratis.
Teori demokratisasi Donald Share (1987) memberikan gambaran
yang agak berbeda mengenai jalannya transisi menuju demokrasi. Pola
transisi demokrasi-nya Share didasarkan pada dua kriteria umum, yakni
jangka waktu berlangsungnya proses demokratisasi serta keterlibatan
pemerintah yang tengah berkuasa dalam mewujudkan demokrasi. Pertama, demokrasi secara bertahap, yaitu suatu demokratisasi yang dilakukan
secara bertahap (gradual) dengan melibatkan rezim berkuasa. Demokratisasi bertahap ini pernah berlangsung di beberapa negara Eropa Utara.
Kedua, transisi melalui perpecahan, yaitu demokratisasi yang berlangsung
akibat perpecahan di dalam tubuh rezim berkuasa— sehingga tidak melibatkan elite penguasa— yang dibarengi oleh transisi yang amat cepat.
Perpecahan dalam tubuh rezim berkuasa, menurut Share, dapat disebabkan adanya kudeta dari kalangan elite militer atau polisi, keruntuhan
rezim akibat kalah perang, adanya revolusi yang digerakkan oleh kelompok-kelompok prodemokrasi, atau rezim secara tiba-tiba kehilangan
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
135
legitimasinya dan segera menyerahkan kekuasaannya pada kekuatan oposisi demokratis (ekstrikasi). Ketiga, transisi melalui transaksi, yaitu demokratisasi yang berjalan dengan cepat dengan melibatkan rezim berkuasa.
Untuk menjalankan proses dibutuhkan sejumlah persyaratan khusus yang
mungkin sulit dipenuhi dalam banyak kasus rezim otoriter. Persyaratan
yang mungkin paling sulit ialah adanya kehendak politik (political will)
dari rezim otoriter untuk mengambil inisiatif ke arah reformasi politik
yang mendukung transisi menuju demokrasi. Ini tentunya berlawanan
dengan nilai serta norma yang terkandung dalam jiwa status-quo rezim
berkuasa. Dan, keempat, transisi melalui perjuangan revolusi. Dalam konteks ini transisi menuju demokrasi dijalankan dengan bertahap dan tidak
melibatkan pemimpin rezim.
Melihat jalannya demokratisasi yang tertuang dalam beragam teori
tersebut di atas, bukan berarti proses menuju demokrasi akan dimulai
sesederhana seperti dalam kata-kata dan berhenti begitu saja. Ia memerlukan tahapan-tahapan yang perlu dijajaki sebelum sampai pada
kondisi yang diidamkan. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam meniti proses demokrasi. Tahapan pertama berjalan sebelum
keruntuhan rezim otoriter. Dalam tahap ini biasanya terjadi kombinasi
diantara beberapa hal sebagai berikut: 1) lahirnya kritisisme dari luar
rezim-berkuasa yang terbangun secara gradual dan semakin menguat;
2) rezim-berkuasa mengalami perpecahan internal; 3) kelompok militer
atau angkatan bersenjata pun mengalami perpecahan dan/atau perubahan
orientasi politik; 4) rezim-berkuasa menghadapi krisis ekonomi dan/
atau politik yang semakin sulit dikendalikannya; dan 5) berkumandangnya
tuntutan perubahan yang semakin kuat. Tahapan ini biasanya disebut
dengan istilah tahapan pratransisi.
Tahap kedua, adalah tahap terjadinya liberalisasi politik awal, yang
dicirikan dengan: 1) jatuh dan/atau berubahnya rezim-berkuasa; 2) meluasnya hak-hak politik rakyat melalui wadah political-rights dan civil-liberties; 3) terjadinya ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability); 4) terbentuknya ketidakpastian dalam banyak hal; dan 5) terjadinya ledakan partisipasi politik publik. Biasanya tahap ini ditutup dengan terjadinya pemilihan
umum yang demokratis dan pergantian pemerintahan sebagai konsekuensi logis dari hasil pemilihan umum tersebut.
Tahap ketiga demokratisasi dikenal dengan istilah transisi. Tahapan
ini berlangsung dengan telah berwujudnya pemerintahan baru yang bekerja dengan legitimasi yang memadai, atau bahkan kuat. Di bawah
pemerintahan baru inilah kemudian dilakukan penataan ulang terhadap
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
136
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
seluruh perangkat yang menyokong sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Penataan ulang terhadap perangkat sistem yang ada dalam negara—
seperti tersebut di muka— akan berkait dengan pergantian para pelaku
yang nondemokratis atau nonreformis, tumbuhnya lembaga atau institusi
baru, terjadinya perubahan dan pergantian peraturan berikut mekanisme
kerja, serta perubahan kebudayaan ke arah kultur yang lebih demokratis.
Tahapan terakhir, keempat, dalam proses menuju negara yang demokratis adalah konsolidasi demokrasi. Dalam tahapan ini, demokratisasi, ditandai oleh banyaknya orang baru dan bersih dalam pemerintahan;
adanya aturan— termasuk konstitusi— yang sudah diperbaiki; hingga
berubahnya cara berpikir, perilaku, serta budaya lama ke arah cara-cara
baru yang demokratis.
Namun demikian, tidak semua proses di atas bisa selalu berhasil
dengan mulus. Ada beberapa negara yang berhasil melewati masa pratransisi dengan baik, namun kemudian gagal setelah memasuki tahap
liberalisasi politik awal. Ada pula negara-negara yang berhasil dalam
tahap liberalisasi politik awal, tetapi gagal menjalani tahap transisi, dan
ironisnya mereka kembali ke sistem politik lama. Ada juga negara yang
berhasil menjalani tahapan transisi, tapi gagal menjalani tahap konsolidasidemokrasi. Jadi, pendek kata, proses demokratisasi merupakan sesuatu
yang tidak mudah dan butuh kesungguhan, konsistensi, serta kesabaran
yang memadai.
Konklusi
Paham demokrasi (demokratisme) sama sekali tidak bisa menjamin
bahwa warga-masyarakat suatu negara yang menjalankannya akan bahagia, makmur, damai, dan adil. Pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang paling demokratis, tak akan mampu memenuhi tujuantujuan ideal tersebut di muka. Bahkan dalam praktiknya demokrasi selalu mengecewakan dari apa yang dicita-citakan olehnya. Seperti usahausaha sebelumnya untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita banyak kerusakan (Snyder, 2003).
Terlepas dari cacat demokrasi, bagaimanapun juga kita harus terus
memandang berbagai keuntungan yang membuat terus demokrasi diharapkan. Ada beberapa alasan mengapa demokrasi begitu marak ingin
diwujudkan hingga saat ini. Setidaknya, menurut Robert Dahl (1999),ada
sepuluh keuntungan demokrasi dibandingkan sistem politik lainnya, yaitu:
1) demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
137
otokrat yang kejam dan licik; 2) demokrasi menjamin bagi warganegaranya dengan sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat
diberikan oleh sistem-sistem yang nondemokratis; 3) demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warganegaranya daripada
alternatif sistem politik lain yang memungkinkan; 4) demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasar mereka; 5) demokrasi
membantu perkembangan manusia lebih baik daripada alternatif sistem
politik lain yang memungkinkan; 6) hanya pemerintahan yang demokratis
yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang
untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri; 7)
hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggungjawab moral; 8) hanya
pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan
tingkat persamaan politik yang relatif tinggi; 9) negara-negara demorasi
perwakilan modern tidak berperang satu dengan lainnya; serta 10) negaranegara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur
daripada negara-negara dengan pemerintahan yang nondemokratis.[]
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
138
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Referensi
Almond, Gabriel, dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku
Politik dan Demokratisasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Apter, David. 1987. Politik Modernisasi. Jakarta: Gramedia.
Dahl, Robert. 1999. On Democracy. New Haven: Yale University Press.
Diamond, Larry dan Plattner, Marc (Ed.). 2000. Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Diamond, Larry. 1992. The Democratic Revolution. London: Freedom
House.
Diamond, Larry, Juan Linz, dan Seymour Lipset (Eds.). 1990. Democracy in Developing Countries: Comparing Experiences With Democracy. Boulder: Lynne Rienner.
Hadiwinata, Bob S. 2003. The Politics of NGOs in Indonesia: Developing
Democracy and Managing a Movement. Disertasi. London and New
York: Routledge Curzon.
Harrison, Lawrence, dan Samuel Huntington. 2000. Culture Matters: How
Values Shape Human Progress. New York: Basic Books.
Held, David (Ed.). 1986. New Form of Democracy. London: SAGE.
Held, David. 1990. Model of Democracy. Cambridge: Polity Press.
Huntington, Samuel. 1956. The Soldier and the State. Harvard: Harvard
University Press.
Huntington, Samuel. 1965. “Political Development and Political Decay”dalam World Politics, Vol. XVII, No. 3. P. 386— 430.
Huntington, Samuel. 1991. The Third Wave Democratization in the Late
Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press.
International IDEA. 2001. Democracy Assessment: the Basics of the International Idea Assessment Framework. Stockholm: International IDEA.
Keane, John. 1988. Democracy and Civil Society. London: Verso.
Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press.
Linz, Juan, dan Arturo Valenzuela (Eds.). 1994. The Failure of Presidential
Democracy. Baltimore: John Hopkins University Press.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Leo Agustino
139
Munck, Gerardo L., dan Carol Skalnik Leff. 1997. “Modes of Transition and Democratization: South America and EAst Europe in
Comparative Perspective” dalam Comparative Politics 29 (April,
1997). P. 343— 362.
O’
Donnell, Guillermo. 1973. Modernization and Bureaucracy Authoritarianism: Studies in South American Politics. Berkeley: Institute for International Studies, University of California.
O’
Donnell, Guillermo, dan Phillipe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta:
LP3ES.
O’
Donnell, Guillermo, Phillipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead.
1993a. Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta:
LP3ES.
O’
Donnell, Guillermo, Phillipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead.
1993b. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin. Jakarta:
LP3ES.
O’
Donnell, Guillermo, Phillipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead.
1993c. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan. Jakarta:
LP3ES.
Pzeworski, Adam. 1991. Democracy and the Market: Political and Economic
Reform in Eastern Europe and Latin America. New York: Cambridge
University Press.
Share, Donald, dan Scott Mainwaring. 1986. “Transactions through
Transaction: Democratization in Brazil and Spain”dalam Wayne
Selcher (Ed.). 1986. Political Liberalization in Brazil: Dilemmas and
Future Prospects. Boulder: Westview Press.
Share, Donald. 1987. “Transition to Democracy and Transition through
Trasaction”. Comparative Political Studies Vol. 19, No. 4 (January,
1987).
Shaw, Martin. Post-Military Society: Militarism, Demilitarization, and War at
the End of the Twentieth Century. London: Polity Press and Basil
Blackwell.
Snyder, Jack. 2003. Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis. Jakarta: KPG.
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
H
F-XC A N GE
H
F-XC A N GE
c u-tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
140
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
.d o
o
.c
m
C
m
w
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u-tr a c k
.c
Download