Modul Pendidikan Agama Katolik [TM10].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PENDIDIKAN AGAMA
KATOLIK
PERKAWINAN AGAMA KATOLIK DAN
KETIDAKTERCERAIKANNYA
2015
Fakultas
Program Studi
MKCU
PSIKOLOGI
1
Elearning
06
Kode MK
Disusun Oleh
MK900022
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Abstract
Kompetensi
Bab ini membahas tentang hakekat,
tujuan
dan
sakramentalitas
perkawinan, ciri hakiki perkawinan,
kesepakatan nikah, hak untuk
menikah,
pertunangan
dan
permasalahan perkawinan katolik
Mahasiswa
dapat
mengerti,
memahami
serta
menghargai
perkawinan
katolik
sebagai
sakramen yang tidakterceaikan dan
dapat menghayati di dalam
kehidupan perkawinan yang akan
datang.
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
MATERI
BAB VIII
PERKAWINAN AGAMA KATOLIK DAN KETIDAKTERCERAIKANNYA
A.
PENDAHULUAN
Institusi perkawinan merupakan lembaga yang problematis dan kompleks bagi Gereja
dewasa ini, baik dari segi praktis maupun pastoral. Kendati demikian, perkawinan merupakan
sebuah realitas yang sangat kaya, dan dapat dipelajari dari berbagai macam aspek: antropologi,
etnologi, filsafat, etika, teologi, budaya, sosiologi, psikologi, hukum, dll. Bab ini membahas
perkawinan kanonik katolik yang pelaksanaannya diatur oleh norma-norma hukum kanonik
Gereja Katolik, khususnya kanon 1055-1165. Perkawinan kanonik ini mencakup semua
perkawinan yang dilangsungkan menurut tata peneguhan kanonik oleh orang-orang yang telah
dibaptis secara Katolik atau telah diterima dalam Gereja Katolik, paling tidak salah satu dari
pasangan suami-istri.
Hidup berkeluarga dalam ikatan perkawinan merupakan cara hidup yang sangat lazim
dan normal bagi kebanyakan orang, termasuk di dalamnya orang-orang yang telah dibaptis
secara Katolik atau diterima dalam Gereja Katolik. Menurut kanon 1059', perkawinan orangorang Katolik diatur secara serentak oleh tiga hukum: 1) hukum ilahi, 2) hukum kanonik, dan 3)
hukum sipil negara sejauh menyangkut akibat-akibat sipil perkawinan. Masalah-masalah yuridis
dan pastoral perkawinan, yang dapat muncul, baik sebelum maupun sesudah "perayaan
perkawinan" (the wedding), dapat menyibukkan para gembala umat dan semua saja yang ikut
serta dalam reksa pastoral umat.
Pengetahuan dan pemahaman akan hukum perkawinan akan sangat bermanfaat bagi para
mahasiswa khususnya dalam menghadapi perkawinan yang akan dijalaninya dan persoalan
perkawinan yang akan dihadapi di masa akan datang.
2015
2
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
B.
AJARAN GEREJA KATOLIK TENTANG PERKAWINAN
1.
Hakikat, Tujuan dan Sakramentalitas Perkawinan
Kanon 1055- $1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang
menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran
dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat
sakramen. $2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan
sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
a.
Hakikat perkawinan
Kanon 1055 ini merupakan kanon doktrinal dan mengartikan perkawinan sebagai
sebuah perjanjian (foedus, consensus, covenant) antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk kebersamaam seluruh hidup. Definisi ini mempunyai latar
belakang pada dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et spes art. 48, yang mengartikan
perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebagai
contractus (sebuah kontrak), seperti masih dapat dibaca dalam KHK 1917, kanon 1012
berikut ini:
Kanon 1012 §1 — Kristus Tuhan mengangkat kontrak perkawinan antara orangorang yang dibaptis martabat sakramen.
§2. Karena itu di antara orang dibaptis tidak ada kontrak perkawinan sah yang
bukan dengan sendirinya adalah sakramen.
Rumusan dari kanon 1012 KHK 1917 ini memandang perkawinan sebagai suatu
institusi yang sangat statis, yaitu sebagai sebuah kontrak: persetujuan antara dua atau
beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan, atau
menghindarkan sesuatu. Perkawinan merupakan sebuah kontrak karena memang
merupakan suatu persetujuan bilateral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Pandangan KHK 1917 yang terkesan statis ini mengalami perkembangan dengan
2015
3
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
munculnya berbagai refleksi teologis-sistematis tentang perkawinan, antara tahun 19501960. Ada pergeseran tekanan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan
lebih dibandingkan dimensi institusional. Itulah sebabnya GS 48 mengesampingkan
istilah kontrak (contractus) dan mengangkat istilah perjanjian atau kesepakatan (foedus)
untuk mendefinisikan perkawinan:
Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu sudah jauh berakar di dalam
janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tidak dapat ditarik kernbali.
Kendati Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah contractus untuk
mengartikan perkawinan, namun tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu
kontrak karena di dalam perjanjian perkawinan ini terdapat unsur-unsur kontraknya:
Forma : kesepakatan pribadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Objek : kebersamaan seluruh hidup.
Akibat : hak atas kebersamaan seluruh hidup, termasuk hubungan suami-istri.
Kedua istilah ini digunakan secara bersama-sama dalam kanon 1055 §1 (foedus) dan
kanon 1055 §2 (contractus) untuk menunjukkan kedua unsur pokok dari arti perkawinan.
b.
Tujuan perkawinan
... yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum
coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak…..
Kanon 1055 §1 ini dengan sederhana menunjukkan adanya 3 tujuan utama
perkawinan:
- kesejahteraan suami-istri
- prokreasi
- pendidikan anak
Dalam kanon ini, tidak lagi ditekankan adanya tingkatan-tingkatan tujuan
perkawinan, seperti dalam kanon 1013§1 KHK 1917 berikut ini:
2015
4
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tujuan primer perkawinan adalah prokreasi dan pendidikan anak; sekunder
adalah saling membantu dan penyaluran nafsu.
Hilangnya subordinasi tujuan perkawinan ini membawa dampak dalam teologi
moral, khususnya sehubungan dengan masalah pembatasan kelahiran. Dengan rumusan
kodeks lama, kiranya sangat sulit membenarkan praktik pembatasan jumlah anak karena
prokreasi menjadi tujuan utama perkawinan. Sedangkan rumusan kodeks baru, dengan
menekankan tujuan perkawinan pada kesejahteraan suami-istri, memberi kemungkinan
pembatasan anak ini sejauh cinta kasih suami-istri memang menuntut hal itu. Namun,
perkawinan tetap harus terbuka pada kelahiran anak.
c.
Sakramentalitas perkawinan orang-orang yang dibaptis
Kanon 1055 rnenyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi
sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan di antara orang-orang yang telah dibaptis
adalah sakramen (§2). Ide tentang sakramentalitas ini didasarkan pada Ef. 5, 22-32.
Kanon ini menandaskan adanya identifikasi antara perjanjian perkawinan orang-orang
dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:
>
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang
telah dibaptis secara sah menurut kategori kanon 849, dengan sendirinya
merupakan sebuah sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus
dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen.
>
Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor
karena yang menjadi pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai yang
saling mengikrarkan janji perkawinan.
>
Orang-orang yang dibaptis tidak dapat menikah dengan sah jika dengan
maksud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan.
2015
5
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
>
Perkawinan antar orang yang tidak baptis, dengan sendirinya akan
diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Dalam hal
ini, tidak dituntut perjanjian nikah baru, namun mereka dapat minta berkat pastor.
2.
Ciri Hakiki Perkawinan: Unitas Et Indissolubilitas
Kanon 1056 - Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan
indissolubilitas (sifat tak-dapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani
memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Yang disebut dengan ciri-ciri hakiki ialah ciri-ciri esensial/pokok yang pasti selalu ada
dalam setiap perkawinan, baik perkawinan sakramental maupun nonsakramental5. Ciri-ciri
hakiki yang menjadi ciri khas setiap perkawinan ini adalah: ke-satu-an (unitas) dan takterceraikan (indissolubilitas)."Ke-satu-an" atau unitasini menunj uk unsur unitif dan monogam
perkawinan. Dengan unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami dan istri
secara lahir dan batin. Sedangkan, unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah
jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dalam hal ini, tidak
dibenarkan adanya poligami simultan, yaitu bahwa seorang laki-laki mempunyai beberapa istri
sekaligus (poligami) atau seorang perempuan mempunyai beberapa suami dalam waktu yang
bersamaan (poliandri). Maka, setiap perkawinan kedua yang dicoba dilangsungkan tidak akan
pernah diterima sebagai perkawinan sah oleh Gereja Katolik, selama ikatan perkawinan yang
pertama belum dinyatakan secara legitim bahwa telah diputus atau dinyatakan batal oleh kuasa
Gereja yang berwenang (bdk. kanon 1085§2). Dalam hal ini, perceraian secara sipil tidak
memiliki efek yuridis dalam Gereja Katolik.
Sedangkan, yang dimaksudkan dengan "tak-terceraikan" atau indissolubilitas adalah
bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai
akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh
kematian. Indissolubilitas ini dapat bersifat hanya interna, yaitu ikatan perkawinan tidak dapat
diputuskan oleh kemauan dan persetujuan suami-istri (karena mereka tidak mempunyai hak dan
kuasa untuk mencabut kembali konsensus perkawinan yang telah mereka ikrarkan), namun
dapat diputuskan atas intervensi kuasa gerejawi yang berwenang. Dan, disebut externa jika
ikatan perkawinan tersebut tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi mana pun. Sifat takterceraikannya perkawinan (indissolubilitas) ini dibedakan menjadi dua:
2015
6
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
> Indissolubilitas absoluta: yaitu jika ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh
kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Satu-sa-tunya perkawinan yang memiliki
indissolubilitas absoluta adalah perkawinan sakramen yang sudah disempurnakan
dengan persetubuhan (ratum et consummatum), sebagaimana dinormakan dalam kanon
1141. Perkawinan ratum et consummatum ini tidak dapat diputuskan oleh kuasa mana
pun dan karena alasan apa pun karena melambangkan secara penuh dan sempurna
hubungan kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya. Sebagaimana Kristus selalu setia dan
tidak pernah meninggalkan Gereja-Nya, demikian juga antara suami-istri yang telah
dibaptis tidak dapat saling memisahkan diri (bdk. Ef. 5,22-33).
> Indissolubilitas relativa: yaitu bahwa ikatan perkawinan tersebut memang tidak dapat
diputuskan atas dasar konsensus dan kehendak suami-istri itu sendiri, namun dapat
diputuskan oleh kuasa gerejawi yang berwenang, setelah terpenuhinya ketentuanketentuan yang dituntut oleh hukum seperti diatur dalam kanon 1142 (matrimonium
nonconsummatum) dan 1143-1149 (khusus untuk perkawinan nonsakramen).
3.
Kesepakatan Nikah (Konsensus): Dasar Perkawinan
Kanon 1057 §1 —Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orangorang yang menurut hukum mampu, mernbuat perkawinam kesepakatan itu tidak dapat
diganti oleh kuasa manusiawi mana pun.
§2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan saling rnenyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk
perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
a.
Kesepakatan membuat perkawinan.
Dalam kanon 1057 §1 ini, ditegaskan bahwa kesepakatan merupakan satu-
satunya unsur yang "membuat" perkawinan itu sendiri, consensus matrimonium facit.
Kesepakatan merupakan satu-satunya causa efficiens dari suatu perkawinan. Dalam arti
ini, tidak pernah ada institusi perkawinan selain oleh karena kesepakatan nikah antara
dua pribadi berbeda seksualitas. Oleh karena itu, perkawinan bersifat contractus
2015
7
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
consensualis, dan bukan contractus realis. Artinya, perkawinan terjadi sejauh telah
terjadi kesepakatan nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan meskipun
belum disempurnakan dengan persetubuhan.
Kesepakatan itu harus muncul hanya dari pasangan suami-istri itu sendiri, dan
bukan dari orang lain. Kanon 1057 §1 menandaskan bahwa "kesepalcatan itu tidak dapat
diganti oleh kuasa manusiawi mana pun". Hal ini mengandaikan kebebasan masingmasing untuk saling meneguhkan perkawinan. Kebebasan ini tidak hanya berarti bahwa
tidak ada paksaan dari luar, namun juga berarti bebas secara hukum atau mampu secara
hukum. "Bebas secara hukum" berarti bahwa berdasarkan norma-norma hukum yang
berlaku, masing-masing tidak mempunyai halangan dan larangan untuk menikah (lih.
kanon 1073-1094).
Karena perkawinan merupakan sebuah tindakan yuridis, kese-pakatan nikah
harus diungkapkan atau dinyatakan secara publik dan sah menurut norma-norma hukum.
Hukum Gereja dapat menentukan kondisi-kondisi tertentu untuk sahnya sebuah
perkawinan (bdk. kanon 1108, 1117, 1127 §1). Oleh karena itu, kesepakatan nikah
bukanlah semata-mata tindakan internal batiniah, tetapi juga merupakan sebuah tindakan
yuridis ekternal.
Ajaran Gereja melarang adanya kesepakatan nikah bersyarat mengenai sesuatu
yang akan datang sehingga kesepakatan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan (lih.
kanon 1102). Kesepakatan nikah selalu bersifat praesens atau aktual-sekarang dan
berlangsung terus-menerus sehingga dalam kasus perpisahan suami-istri, kesepakatan
dan ikatan perkawinan masih tetap bertahan.
b.
Objek kesepakatan nikah
Kanon 1057 §2, selain memberikan definisi tentang kesepakatan, juga
menegaskan apa yang sebenarnya menjadi objek kesepakatan tersebut. Menurut kanon
1081 §2 dari KHK 1917, objek kesepakatan adalah hak ekslusi dan tetap terhadap tubuh
(ius in corpus) pasangannya dengan tujuan utama untuk mendapatkan keturunan.
Rumusan "hak atas tubuh" ini untuk pertama kalinya dimunculkan oleh Santo Paulus
dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef. 5,25-31).
Namun, perlu disadari bahwa hak atas tubuh hanyalah salah satu aspek dari
kesepakatan nikah. Kanon 1057 §2 dari KHK 1983 — dipahami bersama-sama dengan
2015
8
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kanon 1055 — tidak mau membatasi objek kesepakatan hanya pada ius in corpus, tetapi
memperluasnya dengan menegaskan bahwa objek kesepakatan nikah adalah
"kebersarnaan seluruh hidup" (consortium totius vitae) yang terarah pada kesejahteraan
suami-istri, kelahiran, dan pendidikan anak. Di dalarn consortium totius vitae ini, sudah
tercakup ius in corpus.
Perlu ditegaskan bahwa cinta kasih suami-istri (amor coniugalis) bukanlah objek
kesepakatan karena cinta dibedakan dari "kehendak untuk membentuk perjanjian nikah"
(matrimoniale foedus). Oleh karena itu, cinta kasih tidak dapat dipakai untuk
menentukan sah tidaknya kesepakatan atau perjanjian nikah.
4.
Hak Untuk Menikah
Kanon 1058 — Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang
hukum. Kanon ini menegaskan hak untuk menikah (ius connubii), sebagai hak asasi dan
fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih
calon pasangan hidupnya secara bebas. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, mempunyai hak
dasariah untuk menikah.
Namun, hak ini tidaldah absolut dan tanpa batas serta dapat dilaksanakan semaunya.
Hadirnya alasan-alasan yang secara objektif berat dan masuk akal, memungkinkan hukum, baik
natural maupun manusiawi untuk menghalangi beberapa perkawinan demi tujuan-tujuan yang
lebih besar''. Oleh karena itu, pelaksanaan hak asasi untuk menikah ini perlu diatur oleh hukum.
Ketentuan-ketentuan hukum inilah yang nantinya menjadi kriteria untuk menentukan sah
tidaknya sebuah perkawinan. Hanya mereka yang tidak dilarang atau dihalangi oleh hukum
dapat menikah dan membangun keluarga secara sah (bdk. kanon 1057 §1)16.
Ketentuan kanon 1058 ini sangat penting untuk menjamin kebebasan masing-masing
untuk melaksanakan hak asasinya untuk menikah, khususnya jika melihat adanya praktik kawin
paksa dalam masyarakat kita.
5.
Pertunangan
Kanon 1062 — P. Janji untuk menikah, baik satu pihak maupun dua belaah pihak, yang
disebut pertunangan, diatur menurut hukum partikular yang ditetapkan Konferensi para
Uskup dengan mempertimbangkan kebiasaan serta hukum sipil jika itu ada.
2015
9
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
§2. Dari janji untuk menikah, tidak timbul hak pengaduan untuk menuntut peneguhan
perkawinan; tetapi ada hak pengaduan untuk menuntut ganti rugi jika ada.
Kanon ini menegaskan bahwa pertunangan harus diatur oleh hukum partikular yang
dirumuskan dan disahkan oleh Konferensi para Uskup masing-masing. Sampai sekarang ini,
Konferensi para Uskup Indonesia belum merumuskan dan membuat hukum pertunangan.
Pertunangan sendiri pada dasarnya tidak dituntut demi sahnya perkawinan, namun dapat sangat
berguna sebagai langkah awal menuju perkawinan. Dengan pertunangan, calon suami-istri dapat
lebih saling mengenal dan menyesuaikan diri serta dapat lebih baik mempersiapkan diri untuk
memasuki dunia perkawinan.
Pada masa lampau, pertunangan ini mempunyai arti sangat penting dengan efek-efek
yuridis tertentu. Namun sekarang ini, lebih merupakan peristiwa sosial, untuk menyatakan
kepada umum bahwa pasangan secara serius mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
Dari pertunangan ini, tidak ada hak untuk menuntut dilak-sanakannya perkawinan. Hal
ini justru untuk melindungi hak masing-masing untuk menikah secara bebas. Namun jika
pertunangan ini diputuskan, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi, sejauh itu
mungkin dilaksanakan.
C.
PENUTUP
Dari uraian di atas perkawinan adalah persekutuan hidup - antara seorang pria dan
seorang wanita - yang terjadi karena persetujuan pribadi - yang tak dapat ditarik kembali - dan
harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami isteri - dan kepada pembangunan
keluarga - dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna - dan tidak mungkin
dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian.
Pada masa sekarang perkawinan katolik yang bersifat monogami dan tidakterceraikan
mendapat tantangan yang sangat besar dihadapkan pada kecenderungan manusia masa sekarang
ke arah seks bebas. Namun bagi umat katolik perkawinan yang bersifat monogami dan
tidakterceraikan memiliki nilai yang tinggi yang harus dipertahankan dalam situasi apapun.
2015
1
0
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
2015
1
1
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1.
Al. Purwo Hadiwardoyo MSF, Dr., Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta, 1992.
2.
Jacobus Tarigan, Pr, Religiositas Agama dan Gereja Katolik, PT Grasindo, Jakarta,
2007.
3.
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah,
Arnoldus Ende, 2007.
4.
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi, KanisiusObor, Yogyakarta, 1996.
5.
Robertus Rubiyanto, Pr., Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik, Kanisius,
Yogyakarta, 2011.
6.
---------, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1991.
24
2014
2015
1
2
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pendidikan Agama Katolik
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download