Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh masyarakat yang berbicara dalam bahasa itu (William A. Haviland, 1998). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:119), bahasa didefinisikan dengan: 1 sistem lambang bunyi berartikulasi yg bersifat sewenang-wenang dan konvensional yg dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2 perkataanperkataan yg dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb); 3 percakapan (perkataan) yg baik; sopan santun; tingkah laku yg baik. Dengan adanya sekian banyak negara di dunia, tidak terlepas juga adanya keragaman bangsa. Sehingga muncul juga berbagai bahasa yang digunakan antar sesama dalam bangsa masing-masing untuk berkomunikasi. Di negara kita, penduduk Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuannya. Begitu juga dengan negara dan bangsa lain. Jepang merupakan salah satu negara yang telah menjalin persahabatan kuat dengan Indonesia. Seperti Indonesia, Jepang juga merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai kebudayaan yang khas. Jepang memiliki berbagai karya sastra yang telah berkembang luas dan banyak diminati oleh warga dunia, termasuk warga Indonesia. Di antara lain, terdapat komik, animasi, novel, serial televisi atau drama, musik, dan sebagainya. Dalam penyuguhan karyanya, tentunya para pencipta menggunakan bahasa yang dikuasainya sebagai orang Jepang yaitu Bahasa Jepang. Tidak sedikit warga Indonesia mulai mempelajari Bahasa Jepang untuk tujuan tertentu, seperti untuk bekerja, berkomunikasi dengan orang Jepang, menikmati karya sastra seperti komik, novel, drama, dan sebagainya dalam Bahasa Jepang, dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya, orang Jepang mempelajari Bahasa Indonesia. Namun, perbedaan bahasa ibu akan menjadi sebuah kesulitan untuk mempelajari bahasa asing, terutama bahasa asing yang memiliki banyak perbedaan dengan bahasa ibu pembelajar bahasa tersebut baik secara kosakata maupun gramatikal. Sebagai lambang bunyi yang menjadi alat komunikasi dan dipakai oleh bangsa tertentu, bahasa tidak terlepas dari yang disebut dengan tata bahasa yang merupakan 1 2 kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa (KBBI, 2008:1458). Dalam kaidah bahasa tersebut, terdapat kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis, yang dapat kita pelajari lebih dalam melalui ilmu-ilmu yang membahasnya secara khusus. Itulah yang menjadi salah satu ciri-ciri yang berbeda antara satu bahasa dan bahasa lainnya. Walaupun ada yang tampak serupa, tapi tidak semua tata bahasa dalam sebuah bahasa itu sama. Padahal, untuk menguasai suatu bahasa, tata bahasa merupakan salah satu pelajaran yang tidak dapat diabaikan. Walaupun kini sudah banyak toko buku biasa yang menyediakan buku pelajaran yang siap digunakan untuk mempelajari sebuah bahasa. Dari situ, para pembelajar bahasa asing dapat langsung secara instan mempelajari sebuah bahasa, termasuk kosakata yang sering digunakan, cara pembentukan kalimat, dan juga pengucapan. Namun jarang tersedia buku yang membahas lebih dalam mengenai ilmu sebuah bahasa yang menjurus ke kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis. Misalnya istilah keishiki meishi. Istilah ini biasanya tidak disebut dalam sebuah buku pelajaran bahasa, khususnya Bahasa Jepang. Bentuk yang diberikan merupakan bentuk sebuah gramatika yang sudah jadi (atau tinggal pakai) dan tidak dijelaskan apa itu sebenarnya. Terutama buku yang memaparkan cara belajar cepat sebuah bahasa asing yang isinya merupakan kalimat dalam Bahasa Jepang beserta terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Hal ini terjadi mungkin karena penyusun buku tersebut mempertimbangkan halnya Bahasa Indonesia tidak terdapat tata bahasa seperti keishiki meishi, sehingga akan membingungkan bagi pembelajar Bahasa Jepang pemula yang bahasa ibunya Bahasa Indonesia untuk memahaminya. Namun, dengan mempelajari sebuah teori dan hasil penelitian, seorang pembelajar bahasa akan mendapat ilmu yang lebih banyak dan akan membantunya dalam pemahaman suatu materi. Di dalam tata bahasa terdapat pembahasan seperti fungsi gramatikal, satuan gramatikal, kategori gramatikal, kalimat dasar dan kalimat perluasan, dan ragam bahasa (Tjandra, 2010:17). Fungsi gramatikal mempelajari hal-hal tentang subyek, predikat, obyek, dan pelengkap. Satuan gramatikal mempelajari satuan bahasa yang membentuk kalimat, seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kategori gramatikal mempelajari materi seperti gender, numeral, kasus, kala, aspek, diatesis, transitivitas, modus, modalitas, dan lain-lain. Kalimat dasar adalah kalimat yang susunannya paling sederhana, hanya terdiri dari subyek, predikat (dan obyek). Kalimat perluasan adalah kalimat 3 dasar yang mendapat tambahan macam-macam keterangan yang berfungsi sebagai pelengkap. (Tjandra, 2010:25) Selain tata bahasa, dalam usaha menyampaikan makna sehat kepada lawan, masih ada lagi cara penuturan yang merupakan variasi penuturan dan bersifat mana suka bagi penutur yang memakainya. Variasi penuturan itu disebut ragam bahasa. (Tjandra, 2010:26) Salah satu pelajaran yang juga sangat diperlukan, yaitu mengenai kata. Prof. Tjandra (2010:14-17) menyatakan bahwa kosakata dalam Bahasa Jepang terbagi menjadi empat golongan besar berdasarkan asal usulnya, yaitu wago (kosakata Jepang), kan-go (kosakata Kanji), gairaigo (kosakata Serapan), dan konshuugo (kosakata Campuran). Sedangkan klasifikasi kata-kata dalam Bahasa Jepang merupakan pemilahan kata berdasarkan kriteria tertentu yang bersifat gramatikal maupun leksikal. Dan terbagi menjadi dua belas kelas kata. Yaitu nomina (meishi/kata benda), pronomina (daimeishi/kata ganti), numeralia (suushi/kata bilangan), verba (doushi/kata kerja), adjektiva I (keiyoushi/kata sifat i), adjektiva NA (keiyoushi/kata sifat na), prenomina (rentaishi/kata yang melekat pada suatu kata yang lain), adverbia (fukushi/kata keterangan), konjungsi (setsuzokushi/kata sambung), interjeksi (kandoushi/kata seru), posposisi/partikel (joshi/kata bantu atau kata tugas), dan posverba (jodoushi/kata bantu [kata] kerja). Dalam penelitian ini, penulis mengangkat topik pembahasan yang merupakan bagian dari meishi (nomina/kata benda). Sebagai bagian dari meishi, keishiki meishi tidak hanya memiliki sifat atau ciri-ciri dari meishi, juga memiliki keunikannya sendiri. Takano (dalam Sudjianto dan Dahidi, 2004:160) menjelaskan bahwa keishiki meishi adalah nomina yang menerangkan fungsinya secara formalitas tanpa memiliki hakekat atau arti yang sebenarnya sebagai nomina. Jumlah jenis keishiki meishi banyak sekali, sehingga tidak memungkinkan penulis melakukan analisis pada semua keishiki meishi yang ada. Keishiki meishi wake merupakan salah satu keishiki meishi yang sering digunakan, selain mono, tame, hazu, tsumori, dan sebagainya. Dari pengalaman yang dialami penulis, keishiki meishi wake sering muncul dalam percakapan, terutama di drama dan animasi. Biasanya pada situasi dimana pembicara (orang yang mengucapkan kalimat berkata wake) mengajukan kalimat serupa pertanyaan pada pendengar (lawan bicara yang ditujukan oleh pembicara). Namun hal ini tidak berarti keishiki meishi wake tidak akan muncul dalam kalimat selain percakapan. 4 Sesuai pernyataan Teramura (dalam Nagatani, 2001), penggunaan keishiki meishi wake yang ditambah dengan da terdapat fungsi pernyataan keraguan terhadap suatu hal yang disampaikan pada kalimat yang muncul terlebih dahulu sebelum penyampaian keraguan tersebut. Selain itu juga dapat menunjukkan ekspresi sebuah kepantasan. Namun apabila tidak dipelajari lebih dalam lagi, kita tidak bisa memahami keishiki meishi ini secara keseluruhan. Kata wake sendiri merupakan sebuah kata benda huruf kanjinya berupa 「訳」, secara harfiah dapat bermakna “alasan”. Sehingga, kata wake dalam sebuah kalimat terdapat kemungkinan yang dapat menunjukkan fungsi lainnya di luar peranan sebagai keishiki meishi yang memiliki fungsi formalitas. Di sini, tampak adanya perlu untuk dicari tahu lebih banyak mengenai perbedaan wake dalam makna biasa dan makna keishiki meishi. Dibanding dengan bahasa lainnya seperti Bahasa Inggris dan Jepang, Bahasa Indonesia dapat dibilang sebagai bahasa yang cukup sederhana. Seperti Bahasa Inggris, Bahasa Jepang terdapat bentuk kalimat yang menunjukkan kala waktu saat kalimat diucapkan. Dalam KBBI (2008:747) dijelaskan definisi konjugasi sebagai sistem perubahan bentuk kata kerja yang berhubungan dengan bilangan, jenis kelamin, modus, dan waktu (terdapat pada bahasa-bahasa fleksi). Ini dapat jadi halnya pada kata da yang dikenakan pada wake. Walaupun da bukan kata kerja, da tetap berfungsi untuk menunjukkan perubahan yang berhubungan dengan waktu. Misalnya pada saat pembicara akan menyatakan bahwa ia adalah seorang pelajar. 「学生だ。」Gakusei da. Atau dalam bentuk lain, 「学生です。」Gakusei desu. Kedua kalimat di atas dapat berubah bentuk pada kata da ketika pembicara menyatakan ia pernah berupa seorang pelajar, maka kalimat tadi akan berubah menjadi bentuk lampau seperti di bawah ini: 「学生だった。」Gakusei datta. Atau, 「学生でした。」Gakusei deshita. Dan pada saat pembicara ingin menyangkal hal tersebut dengan menyatakan bahwa ia bukan seorang pelajar, ia dapat mengungkapkannya dengan beberapa bentuk kalimat negatif yang memiliki maksud yang sama, sebagai berikut: 5 「学生ではない。」Gakusei dewanai. 「学生ではありません。」Gakusei dewa arimasen. 「学生じゃない。」Gakusei janai. 「学生じゃありません。」Gakusei ja arimasen. Sehingga dapat kita ketahui bahwa kata da, dapat menunjukkan maksud iya, sedangkan kata dewanai dapat menunjukkan maksud tidak atau bukan. Ini sudah dapat kita simpulkan dari contoh yang sederhana, dengan kata benda yang biasa dan tidak dapat berfungsi sebagai sebuah keishiki meishi, yaitu gakusei atau pelajar. Namun bentuk da dan dewanai yang dikenakan dengan wake yang bertindak sebagai keishiki meishi dalam kalimat, kita tidak bisa memastikan hal ini apakah dapat berpengaruh pada perubahan dan fungsi penggunaan yang benar. Selain itu, pada dasarnya, keishiki meishi tidak menempel dengan kata da dan sebagainya. Sedangkan keishiki meishi wake yang diteliti dalam skripsi ini berbentuk wakeda dan wakedewanai. Ini mungkin akan menjadi sebuah pertanyaan bagi para pembaca skripsi. Apakah wake yang berbentuk wakeda masih berfungsi sama sebagai keishiki meishi, jawaban dari pertanyaan ini akan terbahas dalam Bab 2 selanjutnya. Untuk bahan penelitian, penulis memilih film drama sebagai sumber data, yang berjudul Nihonjin No Shiranai Nihongo dan kalimat percakapan di dalamnya sebagai korpus data. Nihonjin No Shiranai Nihongo merupakan sebuah film drama yang total berjumlah dua belas episode yang menceritakan seorang mantan karyawan handal di sebuah toko gaya busana, yang kemudian menjadi seorang pengajar Bahasa Jepang di sebuah sekolah yang khusus mengajarkan Bahasa Jepang pada orang asing yang sedang tinggal di Jepang. Selain terdapat kisah-kisah yang mengharukan antara para tokoh, dalam film drama tersebut juga terdapat berbagai pengetahuan mengenai Bahasa Jepang. Agar pembaca skripsi ini dapat memahami cerita yang dikisahkan dalam film drama ini, penulis telah lampirkan sinopsisnya di bagian akhir dari skripsi ini. 1.2 Masalah Pokok Permasasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai fungsi penggunaan keishiki meishi khususnya wake. 6 1.3 Formulasi Masalah Formulasi masalah dalam skripsi ini adalah penulis akan meneliti mengenai fungsi penggunaan keishiki meishi wake yang terdapat dalam sebuah film drama Jepang, serta menjabarkan teori wake khususnya pada wakeda dan wakedewanai. 1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan adalah meneliti mengenai fungsi penggunaan keishiki meishi wake dalam film drama Jepang yang berjudul Nihonjin No Shiranai Nihongo yang ditayangkan pada tahun 2010. Penulis akan membahas beberapa kalimat percakapan merupakan kalimat berpola wakeda dan wakedewanai yang muncul dalam film drama tersebut sebagai objek penelitian, sesuai teori mengenai masing-masing fungsi yang dipaparkan pada bab 2. 1.5 Tujuan Penelitian Untuk memahami fungsi penggunaan keishiki meishi wake pada bentuk kalimat berpola wakeda dan wakedewanai, serta melalui hasil penelitian ini, penulis harap para pembaca skripsi ini juga mendapatkan manfaatnya. Baik untuk menambah wawasan ataupun sebuah bahan pembelajaran, khususnya mengenai keishiki meishi wake. 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian terdahulu dilakukan sebelum memulai penulisan skripsi ini melalui buku-buku baik buku berbahasa Indonesia maupun buku berbahasa Jepang. Dan juga didukung dengan artikel-artikel atau jurnal-jurnal penelitian yang penulis dapatkan dalam bentuk tercetak dan elektronik. Dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan, penulis harap skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik. Keishiki meishi sudah bukan topik pembahasan skripsi yang baru lagi di Universitas Bina Nusantara. Penelitian yang pernah dilakukan oleh para senior di jurusan Sastra Jepang sebelumnya, antara lain mono, tokoro, tame, bakari, dake, tsumori, dan lainnya termasuk juga wake. Namun penulis hanya menemukan satu penelitian mengenai keishiki meishi wake dari sekian banyak skripsi yang tersedia di perpustakaan Universitas Bina Nusantara. Yakni, Analisis Fungsi Keishikimeishi Wake Dalam Novel Sastra Modern Umibe No Kafuka Karya Haruki Murakami, oleh Liza Atmajayanti (2008). 7 Atmajayanti membahas fungsi penggunaan keishiki meishi wake yang terdapat dalam novel Umibe No Kafuka tersebut dengan landasan teori yang dicetuskan oleh Nagara (dalam Napitupulu, 1994). Dimana fungsi keishiki meishi wake dibagi menjadi lima jenis, sebagai berikut: 1. Menunjukkan kepantasan akan pernyataan yang diungkapkan sebelumnya. 2. Menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu perbuatan atau kejadian sama sekali tidak ada. 3. Menegaskan penyangkalan. 4. Menyatakan makna tidak dapat melakukan suatu perbuatan, baik karena adanya pendapat suatu masyarakat atau dari dirinya sendiri. 5. Mengungkapkan makna harus. Pembahasan yang telah dilakukan Atmajayanti fokus pada fungsi wake dalam kalimat, serta maksud yang ingin disampaikan oleh pembicara. Dan tidak menentukan bentuk wake secara khusus. Sehingga ini akan menjadi salah satu poin yang berbeda dengan apa yang akan penulis bahas dalam penelitian ini. Penulis akan memaparkan landasan teori pada Bab 2, yang mendasarkan pola penggunaan sesuai bentuk wake yang digunakan dalam kalimat. Yaitu wakeda dan wakedewanai. Selain penelitian skripsi yang ada di Universitas Bina Nusantara, penulis juga mendapat berbagai referensi yang tersedia di media internet, jurnal dalam bentuk elektronik yang diunduh dari situs terpercaya di internet, seperti ci.nii.ac.jp dan situs sejenis web library lainnya. Penulis mengunduh jurnal elektronik yang berupa hasil penelitian dari berbagai sumber, seperti Osaka University Knowledge Archive, Ryuugakusei Nihongo Kyouiku Sentaa Ronshuu dari Tokyo University of Foreign Studies, Journal CAJLE, Asian and African Languanges and Linguistics, dan lainlain. Walaupun keishiki meishi wake masih tidak banyak dibahas oleh para peneliti di Indonesia, di luar negeri, terutama di Jepang sudah banyak dilakukan penelitiannya. Ada peneliti yang melakukan analisis dengan membandingkan satu jenis keishiki meishi dengan jenis keishiki meishi lainnya yang memiliki keserupaan dalam penggunaan. Ada juga yang fokus pada satu keishiki meishi saja. Seperti beberapa jurnal yang penulis baca, keishiki meishi wake banyak dikaitkan dengan noda yang berfungsi menegaskan hal dalam sebuah ungkapan, 8 hazu yang dapat menunjukkan suatu gagasan pembicara yang ingin menyatakan keyakinan, dan lain-lainnya. Walaupun teori yang disajikan oleh para ahli, terdapat berbagai perbedaan, namun pada dasarnya masih saling cocok satu sama lainnya. Penulis membaca beberapa teori yang dipaparkan oleh peneliti yang berbeda, kemudian diambil beberapa sesuai subbab pada Bab 2. Teori yang dikutip merupakan teori yang penulis anggap lebih mudah untuk dipahami. Sehingga melalui penelitian pada skripsi ini, pembahasan di Bab 4 dapat membantu pembaca skripsi ini untuk memahami keishiki meishi wake dengan lebih baik. Penulisan skripsi ini juga didukung dengan beberapa kamus, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat memberikan penjelasan atau definisi dari suatu kata yang diperlukan dalam penelitian.