pendugaan emisi gas rumah kaca (grk) dari lahan padi

advertisement
PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN
PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH
TANAMAN
ADI BUDI YULIANTO
F14104065
2008
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN
PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH
TANAMAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ADI BUDI YULIANTO
F14104065
2008
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI
GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ADI BUDI YULIANTO
F14104065
Dilahirkan di Mataram pada tanggal 13 Juli 1986
Tanggal Lulus : ................
Menyetujui,
Bogor, September 2008
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc
Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc
NIP : 131918660
NIP : 080119823
Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS
Ketua Departemen Teknik Pertanian
Adi Budi Yulianto. F14104065. Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari
Lahan Padi Gambut Serta Analisis Serapan Karbon Oleh Tanaman. Di bawah
bimbingan: Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Dr. Ir. Prihasto Setyanto,
MSc. 2008.
RINGKASAN
Sekitar 85% penduduk Indonesia tergantung pada beras sebagai makanan
utama. Beras sebagai bahan pangan utama terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan,
tidak diikuti dengan adanya lahan pertanian yang subur. Untuk mengatasi masalah
itu maka dilakukanlah intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan pertanian harus dilakukan secara bijak dan terkendali. Banyak
faktor lingkungan yang akan rusak bila dilakukan tanpa memperhatikan faktor
lingkungan di sekitar.Para pemerhati lingkungan, khususnya lingkungan atmosfer,
melihat bahwa ekstensifikasi lahan pertanian pada tanah gambut akan
meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat manipulasi lingkungan yang
akan dilakukan pada ekosistem tersebut, dimana didalamnya terkandung bahan
organik dalam jumlah besar yang saat ini secara alami berada pada kondisi stabil
selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Selain itu, kandungan karbon yang
terlepas ke atmosfer dari tanah gambut cukup besar. Kandungan karbon yang
terlepas ke atmosfer selain dapat diabsorbsi oleh tanah itu sendiri, juga dapat
diabsorbsi oleh tanaman yang tumbuh di tanah itu. Berdasarkan hal inilah, maka
penelitian tentang pendugaan emisi gas rumah kaca dari tanah gambut dan
kemampuan tanaman dalam mengabsorbsi karbon dilakukan.
Gas rumah kaca yang keluar dari lahan gambut dianalisis menggunakan
gas kromatografi (GC), yang dilengkapi dengan FID (Flame Ionisation Detector).
Sampel gas CH4 diambil secara otomatis sedangkan sampel gas N2O dan CO2
diambil secara manual menggunakan jarum suntik. Sampel gas CH4 diambil
sekali dalam satu minggu dan dilakukan selama satu hari penuh, sedangkan gas
N2O dan CO2 diambil saat pagi hari yang dilakukan sekali dalam seminggu.
Analisis kandungan karbon yang diserap oleh tanaman dilakukan dengan metode
pengabuan. Biomas dari tanaman dikeringkan kemudian dihancurkan dan
diabukan dalam tanur pembakar.
Hasil penelitian selama satu musim tanam menunjukkan bahwa emisi CH4
terbesar dihasilkan oleh tanah gambut dengan pemberian perlakuan jerami kering
dengan nilai total emisi sebesar 852.95 kg/ha, kemudian diikuti oleh perlakuan
tanpa amelioran, dolomit dan pupuk kandang dengan nilai total emisi masingmasing sebesar 837.67, 593.69, dan 546.24 kg/ha. Total emisi N2O yang
dihasilkan oleh tanah gambut tiap perlakuan berkisar antara 0.127-0.241 kg/ha.
Sedangkan total emisi CO2 yang dihasilkan tiap perlakuan pada lahan padi
gambut berkisar antara 4784.32-5947.99 kg/ha.
Pemberian amelioran pupuk kandang pada tanah gambut mampu
menghasilkan total kandungan C-organik sebesar 5860.0 kg-C/ha, jerami kering
6231.9 kg-C/ha, tanpa amelioran 6240.9 kg-C/ha, dan dolomit 6412.3 kg-C/ha.
Sedangkan emisi GRK setara karbon dari karbondioksida yang dihasilkan dari
pemberian amelioran pupuk kandang sebesar 10821.96 kg CO2-C/ha, diikuti
dolomit, tanpa amelioran, dan jerami kering secara berturut-turut 11682.49,
15775.62, dan jerami kering 16347.53 kg CO2-C/ha. Net karbon terendah
dihasilkan oleh tanah gambut dengan perlakuan pupuk kandang sebesar 4962.0
kg-C/ha, diikuti perlakuan dolomit sebesar 5270.2 kg-C/ha, tanpa amelioran
9534.7 kg-C/ha, dan tertinggi jerami kering 10115.6 kg-C/ha.
Rasio perbandingan antara net kabon dengan hasil gabah pada tanah gambut
dengan penambahan dolomit sebesar 933.58 kg gabah/ton CO2-C, disusul pupuk
kandang, tanpa amelioran, dan jerami kering masing-masing sebesar 912.93,
491.92, dan 491.34 kg gabah/ton CO2-C. Artinya, setiap satu kg gabah
menghasilkan satu ton emisi. Penambahan amelioran pada tanah gambut ternyata
berpengaruh terhadap hasil produktivitas padi dan emisi GRK. Laju subsidensi
atau laju penurunan permukaan tanah gambut dengan perlakuan pupuk kandang
sebesar 1.7 cm/tahun. Sehingga penambahan pupuk kandang mampu menjaga
tanah gambut (kedalaman 1 m) hingga 58 tahun, yang berarti tanah gambut dapat
digunakan lagi untuk kegiatan pertanian selama 58 tahun. Pemberian dolomit
mampu menjaga tanah gambut hingga 55 tahun, dengan laju penurunan gambut
sebesar 1.8 cm/tahun. Laju subsiden tanah gambut dengan penambahan jerami
kering dan tanah gambut tanpa amelioran tidak berbeda jauh, masing-masing
sebesar 3.5 dan 3.4 cm/tahun.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis, Adi Budi Yulianto dilahirkan di
Mataram pada tanggal 13 Juli 1986. Anak sulung dari
dua bersaudara dari pasangan Sukidi S,Pd dan Yuni
Kamsiyati
S,Pd.
Penulis
menempuh
jenjang
pendidikan dasar di SD N 6 Mataram dan lulus pada
tahun
1998.
Kemudian
penulis
melanjutkan
pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP N 1
Mataram. Pada tahun 2001, penulis pindah ke SLTP N 1 Magetan karena
mengikuti orang tua yang pindah tugas dan lulus pada tahun yang sama. Penulis
menamatkan pendidikan menengah umumnya di SMU N 1 Magetan pada tahun
2004. Di tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan tercatat sebagai
mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan di Departemen Teknik Pertanian, penulis
juga
aktif
dalam
organisasi
Himpunan
Mahasiswa
Teknik
Pertanian
(HIMATETA) sebagai Kepala Biro Kewirausahan dari Departemen Ekonomi
pada tahun 2006/2007. Penulis melakukan Praktek Lapang di Pusat Pelatihan
Kewirausahaan Sampoerna (PPKS) dengan judul “ Mempelajari Aspek
Keteknikan Dalam Bangunan Produksi Tanaman dan Produksi Ternak di Pusat
Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna”. Penulis juga pernah menjadi Asisten
Praktikum Mata Kuliah Menggambar Teknik pada tahun 2006/2007. Penulis juga
aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) yaitu Ikatan Mahasiswa Pelajar
dan Alumni Magetan (IMPATA) sebagai Sekretaris (2005/2006) dan Ketua
(2006/2007).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
serta salawat dan salam yang tak henti-hentinya dipanjatkan kepada junjungan
besar Nabi Muhammad SAW, karena berkat suri tauladannya yang telah
menerangi bumi ini sehingga penelitian berjudul “PENDUGAAN EMISI GAS
RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS
SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN” dapat selesai tepat pada waktunya.
Penelitian ini akan digunakan penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi
Pertanian.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc selaku dosen pembimbing akademik
sekaligus pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis.
2. Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan, saran dan bimbingan kepada penulis selama
pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini.
3. Seluruh dosen pengajar di Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, atas bekal ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh
pendidikan di IPB.
4. Keluarga besar Laboratorium GRK, Mbak Lina, Mbak Mira, Mbak Rina,
Mbak Titi, Pak Yarpani, Pak Jumari, Pak Darmin, Pak Yoto, Mas Yanto,
Mas Yono atas bantuannya selama penelitian.
5. Bapak, Ibu dan adikku yang selalu memberikan kasih sayang serta doanya.
6. Teman seperjuangan selama penelitian di Pati, yaitu Haris.
7. Teman-teman kosan yaitu, Indra, Andika, Siwi, Heru, Iboy, Salamun,
Anami dan Busan atas doa dan bantuannya selama ini.
8. Seluruh teman-teman Teknik Pertanian angkatan 41 atas dukungan dan
doanya.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, maka dari itu penulis menyadari
akan kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam menyusun skripsi ini. Penulis
berharap adanya masukan dan kritikan untuk skripsi ini sehingga menjadi lebih
i
baik. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian yang telah dilakukan dan
dibukukan dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Bogor,
September 2008
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
RINGKASAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR ................................................................ .................. ... i
DAFTAR ISI ............................................................................... ...................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................. ...................... v
DAFTAR TABEL ...................................................................... ...................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. .................. ... vii
I. PENDAHULUAN ................................................................ ...................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................... ...................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ....................................................... ...................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... ...................... 3
2.1. Pengertian dan Pembentukan Gambut ........................ ...................... 3
2.2. Pemanasan Global ...................................................... ...................... 5
2.3. Emisi Gas Rumah Kaca ............................................. ...................... 6
2.4. Gas-Gas Rumah Kaca ................................................ ...................... 8
2.4.1. Gas Metana ................................................... ...................... 8
2.4.2. Gas Dinitro Oksida ........................................ ...................... 11
2.4.3. Gas Karbondioksida ...................................... ...................... 13
2.5. Serapan Karbon Oleh Tanaman ................................. .................. ... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................... ...................... 18
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................. ...................... 18
3.2. Bahan dan Alat ......................................................... ...................... 18
3.3. Pelaksanaan Penelitian ............................................. ...................... 18
3.4. Analisis Serapan Karbon Tanaman .......................... .................. .... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................... .................. .... 26
4.1. Emisi Gas Rumah Kaca Pada Setiap Aplikasi Amelioran ............... 26
4.1.1. Emisi CH4 ..................................................... .................. .... 26
4.1.2. Emisi N2O ...................................................... .................. .... 31
iii
4.1.3. Emisi CO2 ..................................................... .................. .... 34
4.2. Potensial Redoks (Eh) dan Kemasaman Tanah (pH) .................. .... 35
4.2.1. Potensial Redoks (Eh) ................................. .................. .... 35
4.2.2. Kemasaman Tanah (pH) ............................. .................. .... 38
4.3. Parameter Tanaman dan Komponen Hasil ............. .................. .... 39
4.3.1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan ......... .................. .... 39
4.3.2. Total Emisi Gas Rumah Kaca ..................... .................. .... 41
4.4. Global Warming Potential GWP) .......................... .................. .... 42
4.5. Kandungan Karbon Organik Pada Tanaman .......... .................. .... 43
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ............................................................ .................. .... 49
5.2. Saran ....................................................................... .................. .... 50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Mikroplot untuk penanaman padi ................................................. 19
Gambar 2. Skema penyusunan perlakuan bahan amelioran ............................ 19
Gambar 3. Bagan Alir Kegiatan Penelitian...................................................... 20
Gambar 4. Susunan tanaman padi gambut dalam mikroplot .......................... 21
Gambar 5. Boks otomatik penangkap gas CH4 ............................................... 22
Gambar 6. Boks manual .................................................................................. 23
Gambar 7. Tanur pembakar 2000 C ................................................................. 24
Gambar 8. Tanur pembakar 9000 C ................................................................. 24
Gambar 9. Kondisi tanaman padi dalam boks ................................................ 27
Gambar 10. Lokasi pengukuran CH4 secara otomatis .................................... 28
Gambar 11. Grafik fluks metana ..................................................................... 29
Gambar 12. Fluks kumulatif metana ............................................................... 29
Gambar 13. Dinamika produksi dan emisi metana dari lahan sawah ............. 31
Gambar 14. Pengambilan gas N2O secara manual .......................................... 32
Gambar 15. Grafik fluks N2O ......................................................................... 33
Gambar 16. Fluks kumulatif N2O ................................................................... 33
Gambar 17. Grafik fluks CO2 .......................................................................... 34
Gambar 18. Fluks kumulatif CO2 ................................................................... 35
Gambar 19. Pengukuran potensial redoks dan pH .......................................... 36
Gambar 20. Grafik pengukuran potensial redoks (Eh) ................................... 37
Gambar 21. Grafik kemasaman tanah gambut (pH) ........................................ 38
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Emisi CH4 dari sumber alami (natural) dan kegiatan manusia
(anthropogenic) ................................................................................. .... 10
Tabel 2. Source & sink gas N2O di atmosfer secara global menurut IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) ................................. … 13
Tabel 3. Emisi CH4 dari beberapa varietas padi pasang surut ........................ … 27
Tabel 4. Hasil analisis jumlah anakan dan tinggi anakan di tanah gambut
dengan 4 pemberian amelioran ......................................................... … 40
Tabel 5. Total emisi gas rumah kaca dan hasil gabah selama satu musim ..... .... 42
Tabel 6. Kandungan organik akar padi ........................................................... .... 45
Tabel 7. Serapan karbon tanaman berdasarkan bagian tanaman ..................... .... 45
Tabel 8. Rasio perbandingan net karbon dengan hasil gabah ......................... .... 46
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Total emisi gas rumah kaca dan global warming potential
(GWP) selama satu musim tanam ............................................... .... 56
Lampiran 2. Hasil analisis C-organik tanaman di tanah gambut .................... .... 57
Lampiran 3. Hasil konversi dan perhitungan arbon tanaman per lahan .......... .... 58
Lampiran 4. Hasil perhitungan kandungan organik pada akar gulma ............ .... 61
Lampiran 5. Hasil perhitungan total kandungan karbon organik dan
net karbon ................................................................................... .... 62
vii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 1980-an, perubahan lingkungan global mulai menjadi
pertimbangan di seluruh dunia. Pemanasan global, hujan asam, perusakan lapisan
ozon dan disertifikasi tanah/lahan mempunyai hubungan yang erat dengan
pertanian.
Sejak
itu
pertanian
bertambah
penting
perannya
dalam
mempertahankan dan memperkuat lingkungan melalui konservasi lahan dan
lingkungan berdasarkan fungsi-fungsi ekologinya, namun fungsi-fungsi tersebut
telah rusak oleh alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim global dan
intensifikasi pertanian (Mulya et al., 2003). Bagi negara agraris seperti Indonesia,
sektor pertanian sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional
terutama sebagai penyedia bahan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia.
Sekitar 85% penduduk Indonesia tergantung pada beras sebagai makanan utama.
Intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian harus dilakukan secara bijak dan
terkendali. Banyak faktor lingkungan yang akan rusak bila dilakukan tanpa
memperhatikan faktor lingkungan di sekitar.
Sebagai contoh, pengembangan Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta
hektar pada tahun 1995 meninggalkan sejumlah permasalahan lingkungan yang
cukup parah seperti kemasaman tinggi dan pencucian besi dalam jumlah besar
pada badan air yang merusak kehidupan biota sungai. Para pemerhati lingkungan,
khususnya lingkungan atmosfer, melihat bahwa ekstensifikasi lahan pertanian
pada tanah gambut akan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat
manipulasi lingkungan yang dilakukan pada ekosistem tersebut, dimana
didalamnya terkandung bahan organik dalam jumlah besar yang saat ini secara
alami berada pada kondisi stabil selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun
(Barchia, 2006).
Selain itu, kandungan karbon yang terlepas ke atmosfer dari tanah gambut
cukup besar. Kandungan karbon yang terlepas ke atmosfer selain dapat diabsorbsi
oleh tanah, juga dapat diabsorbsi oleh tanaman yang tumbuh di tanah itu.
Berdasarkan hal inilah, maka penelitian tentang pendugaan emisi gas rumah kaca
1
dari tanah gambut dan kemampuan tanaman dalam mengabsorbsi karbon
dilakukan.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan data emisi gas rumah kaca (GRK) dari pengelolaan padi
pada tanah gambut dan teknologi mitigasi untuk menekan emisi GRK.
2. Menganalisis kemampuan tanaman dalam mengabsorbsi karbon yang
terlepas ke atmosfer.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian dan Pembentukan Gambut
Berbagai istilah telah diberikan kepada tanah yang berkadar bahan organik
tinggi, misalnya istilah ”tanah gambut” oleh Wirjodihardjo pada tahun 1953,
”organosol” oleh Dudal dan Soepraptohardjo pada tahun 1961, dan ”histosol”
oleh FAO-UNESCO (Food and Agriculture Organization-United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization)
tahun 1974. Menurut
Hardjowigeno (1993), gambut terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi
secara anaerob dimana laju penambahan bahan organik lebih cepat daripada laju
dekomposisinya.
Semula para ahli dari Eropa berpendapat bahwa tanah organik tidak akan
ditemui di daerah tropika karena bahan organik dari tumbuh-tumbuhan akan cepat
terdekomposisi dan tidak akan terakumulasi di daerah beriklim panas seperti di
Indonesia. Akan tetapi dugaan ini tidak benar, karena Maens dan Vlaardingen
pada tahun 1885 menemukan tanah organik di Besuki dan Rembang. Sedangkan
pada tahun 1893 telah diterbitkan ekspedisi dari Yzerman di Sumatera yang
melaporkan adanya tanah organik di Siak. Hal ini sekaligus membantah dugaan
yang mengatakan bahwa di daerah tropis tidak mungkin terbentuk tanah dengan
kadar bahan organik tinggi (Hakim et al., 1986).
Luas lahan gambut di Indonesia menempati urutan ke empat terbesar di
dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat. Gambut yang tersebar di
Kalimantan dan Sumatera 90% arealnya merupakan gambut pedalaman. Salah
satu faktor pembatas yang sering diperbincangkan tentang pengelolaan gambut
adalah hubungan negatif antara ketebalan gambut dengan produktivitas lahan.
Makin tebal gambut, makin besar kendala biofisiknya dan makin rendah
produktivitas lahannya (Barchia, 2006). Lahan gambut memiliki fungsi antara lain
sebagai habitat beranekaragam makhluk hidup, pengendali banjir dan kekeringan,
menampung kelebihan air di musim hujan dan menyalurkan cadangan air di
musim kemarau, serta sebagai cadangan karbon terrestrial yang penting.
Hakim et al., (1986) menyatakan bahwa pembentukan tanah gambut
merupakan akumulasi bahan organik atau pembentukan gambut merupakan proses
3
pengkarbonan, karena relatif bersifat mempertinggi kadar C dalam tanah bila
dibandingkan dengan kadar N, H, dan O. Dalam proses ini akan terjadi :
a. Perubahan komposisi bahan-bahan yang larut serta pengangkutannya.
b. Bagian utama tumbuh-tumbuhan berupa sellulose dan hemi sellulose
akan diuraikan perlahan-lahan.
c. Akumulasi bahan bagian tumbuh-tumbuhan yang resisten, seperti
lignin, damar, gabus, dan kutin yang akan mempertinggi kadar C
tanah. Lignin mengandung 60-63% C, sellulose 40-46% C.
d. Makin aktifnya kehidupan jasad renik, setelah mereka memperoleh
energi dari penguraian sellulose dan hemi-sellulose.
Kegiatan
ini
akan
menghasilkan
protein
dan
dengan
makin
berkembangnya jumlah bakteri, berarti kadar N dalam gambut akan meningkat
pula sehingga lebih banyak dari kadar N dari tanaman hidup. Berdasarkan
lingkungan fisiknya, lahan gambut dapat dibedakan atas enam macam bentuk
(Noor, 2001), yaitu :
1. Gambut dataran rawa pantai.
2. Gambut rawa lagun.
3. Gambut cekungan/lembah kecil yang menyatu dengan dataran.
4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai.
5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salin).
6. Gambut rawa delta.
Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dapat dibedakan menjadi 5
kelompok (Najiyati et al., 2005), yaitu:
1. Lahan bergambut (0-50 cm)
2. Gambut dangkal (50-100 cm)
3. Gambut sedang (100-200 cm)
4. Gambut dalam (200-300 cm)
5. Gambut sangat dalam (>300 cm)
Lahan gambut umumnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah, miskin unsur
hara, dan pH tanah yang sangat rendah (kisaran 3-5), sehingga memerlukan bahan
amelioran sebelum dimanfaatkan untuk lahan pertanian.
4
Sedangkan berdasarkan proses pembentukan dan sifat-sifat kesuburannya,
gambut dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Gambut topogen (gambut air tanah)
Gambut topogen terbentuk karena pengaruh dominan topografi, dimana
vegetasi hutan yang menjadi sumber biomassa bahan gambut dan tumbuh
dengan memperoleh unsur hara dari air tanah (Subagyo, 2003). Gambut ini
dapat berkembang dengan mengambil nutrisi tanah mineral yang mengandung
air humifikasi sisa-sisa tumbuhan yang mendapat pengaruh dari air permukaan
tanah (Setiadi, 1990). Gambut ini juga memiliki kesuburan alami yang tinggi
karena memiliki banyak unsur hara.
2. Gambut ombrogen (gambut air hujan)
Gambut ombrogen terletak di bagian tengah depresi dan umumnya
membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian tengah depresi, dimana air
tanah terletak di dalam dan perakaran vegetasi hutan tidak mampu
mencapainya. Vegetasi hutan hanya memperoleh sumber hara yang seluruhnya
bersal dari air hujan. Gambut ini memiliki kesuburan yang rendah (Subagyo,
2003). Gambut ini bersifat sangat asam dan miskin unsur hara.
Lahan gambut menyimpan cadangan karbon yang sangat besar berupa
bahan organik yang terakumulasi selama ribuan tahun. Dalam keadaan alami,
lahan gambut berpotensi menyerap karbon, karena pH-nya yang rendah.
Pengelolaan tanah gambut yang tidak bijak akan berdampak terhadap
meningkatnya emisi gas rumah kaca seperti CH4 (Sabiham et al., 2003).
2.2. Pemanasan Global
Selama dua abad terakhir telah terjadi peningkatan suhu atmosfer di bumi
sehingga mengakibatkan beberapa bencana, salah satunya 'El Nino'. Kenaikan
suhu yang diprediksi oleh 'Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)'
pada akhir tahun 2100 akan mencapai 1-3.5 oC (IPCC, 1992). Hal ini disebabkan
oleh terakumulasinya gas rumah kaca (CO2, CFCs, N2O, CH4) di atmosfer
sehingga menghambat pantulan radiasi matahari (inframerah) dari permukaan
5
bumi ke luar angkasa. Sebagai gambaran, kenaikan gas metana sebanyak 1.3 ppm
CH4, dapat meningkatkan suhu atmosfer sebesar 1 oC (Neue, 1993). Saat ini
sumber utama emisi gas metana berasal dari padi sawah, karena padi
menghasilkan emisi gas metana cukup tinggi, yaitu antara 20 sampai dengan 100
Tg CH4/tahun (IPCC 1992). Indonesia, yang memiliki 10.6 juta hektar padi
sawah, diperkirakan menyumbang sekitar 1 % dari total emisi gas metana global
(Neue, 1993).
Emisi metan secara global diduga 420-620 Tg/tahun dan konsentrasinya
meningkat 1% (IPCC 1992). Sedangkan emisi gas N2O terus mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya penggunaan pupuk urea untuk memacu
peningkatan produksi padi. Emisi gas CO2, CH4 dan N2O masing-masing
menyumbang 55%, 15% dan 6% dari total efek rumah kaca (Mosier et al., 1994).
Walaupun sumbangan gas N2O terhadap atmosfer rendah, namun gas N2O di
atmosfer sangat stabil dan mempunyai waktu tinggal sampai 150 tahun (Cicerone,
1989).
2.3. Emisi Gas Rumah Kaca
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini terus menjadi
perhatian serius dari masyarakat global. Pembakaran energi fosil karbon dan
konversi hutan hujan tropis menjadi sorotan utama penyebab pelepasan gas rumah
kaca (radiatively active gases) seperti CO2, CH4, dan N2O. Barchia (2006)
menyatakan bahwa, kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia
menghasilkan emisi karbon sebesar 156.3 juta ton atau 75 persen dari total emisi
karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui dimana
pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama
terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2.6 milyar
ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon
reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak
bijaksana. Laju pelepasan CH4, dan CO2 meningkat sehingga dapat berimplikasi
pada peningkatan pemanasan global.
Tidak hanya itu, emisi gas rumah kaca juga dihasilkan dari lahan
persawahan. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dalam produksi padi sangatlah
6
unik. Selain memproduksi gas metana yang berasal dari peruraian bahan organik,
produksi padi juga menghasilkan karbondioksida (CO2) yang muncul dari
pembakaran sisa tanaman padi. Usaha tani padi juga memproduksi dinitro oksida
(N2O) dari peruraian pupuk. Emisi gas rumah kaca pada lahan sawah dipengaruhi
oleh kondisi oksidasi dan reduksi. Emisi gas metana lebih tinggi pada kondisi
sawah saat tergenang, sebaliknya emisi gas N2O lebih tinggi pada sawah saat
kondisi kering. Peran lahan sawah tadah hujan sebagai “source” dan “sink” GRK
dalam pola tanam satu tahun akan menentukan net emisi GRK meskipun sangat
dipengaruhi juga oleh budidaya dan pengelolaan lahan. Moiser et al., (1994)
menyatakan bahwa, lahan sawah merupakan sumber beberapa gas rumah kaca,
khususnya CO2, CH4, N2O yang berperan penting pada pemanasan bumi secara
global. Emisi gas CO2, CH4 dan N2O masing-masing menyumbang 55%, 15% dan
6% dari total efek rumah kaca. Meskipun sumbangan gas N2O terhadap atmosfer
rendah, namun gas N2O di atmosfer sangat stabil dan mempunyai waktu tinggal
sampai 150 tahun (Cicerone, 1989).
Lahan sawah dicirikan oleh ko-eksistensi struktur komunitas mikrobia
yang sangat berbeda kegiatan metaboliknya. Pada kondisi sawah terjadi
pertukaran senyawa yang ekstensif mengikuti gradien konsentrasi “source – sink”.
Senyawa-senyawa yang mudah menguap dapat keluar dari siklus internal ini
melalui emisi ke atmosfer. Emisi gas pada budidaya padi adalah hasil dari sistem
yang kompleks dari proses fisiko-kimia dan interaksi tanaman-mikrobia. Eksudat
dari akar dan akar yang mati merupakan substrat bagi mikrobia yang
menghasilkan dan menggunakan gas-gas yang terbentuk.
Gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O) menyebabkan peningkatan suhu bumi
secara global. Pola dan besarnya emisi dan produksi gas-gas rumah kaca di
Indonesia masih sedikit informasinya. Rennenberg et al., (1992) berpendapat,
proses-proses mikrobiologis penting yang menghasilkan gas N2O meliputi
denitrifikasi, nitrifikasi kemolitotrofik, oksidasi amonia menjadi nitrat (NO3-) dan
terbentuklah gas N2O. Bakteri dan cendawan berperan penting sebagai katalis
pada proses nitrifikasi heterotropik dalam pembentukan gas N2O. Peran masingmasing proses dalam keseluruhan pembentukan gas N2O masih belum diketahui
dengan pasti.
7
2.4. Gas-gas Rumah Kaca
Pemanasan global (global warming) yang terjadi tidak lepas dari aktivitas
manusia yang menghasilkan gas-gas rumah kaca. Gas-gas rumah kaca yang
dihasilkan antara lain :
2.4.1. Gas Metana (CH4)
Gas metana adalah salah satu gas rumah kaca yang keberadaanya
saat ini telah banyak meresahkan, karena keberadaanya yang mampu
meningkatkan efek pemanasan global. Gas metana merupakan salah
satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek
rumah kaca dibanding karbondioksida yang menyebabkan kerusakan
ozon dan kenaikan suhu. Gas metana yang muncul tidak hanya dari
kegiatan manusia sehari-hari, tetapi gas metana juga dapat dihasilkan
dari kegiatan pertanian terutama dari lahan persawahan. Menurut
Koordinator Konsorsium Padi dan Perubahan Iklim, Reiner Wassman
dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina menyatakan
bahwa budidaya tanaman padi merupakan penyumbang emisi metana
terbesar.
Konsentrasi metana di atmosfer dewasa ini mencapai 1700ppbv
(part per billion volume), dua kali lebih besar konsentrasinya
dibanding 100-200 tahun yang lalu (650-750ppbv). Angka tersebut
terus berubah karena laju kenaikan metana di atmosfer saat ini kurang
lebih 0.7% atau setara dengan beban bertambahnya gas metana di
atmosfer sebesar 40Tg per tahun (1 Tg = 1.000.000 ton). Indonesia
sendiri dengan luas panen padi sawah sekitar 8.83 juta per hektar
diperkirakan bertanggung jawab atas 1% emisi global metana
(Setyanto, 1994). Pembentukan metana menurut Ciceron dan
Oremland (1988), terjadi melalui dua cara: (1) degradasi bahan organik
secara anaerob (biogenik) dan (2) pembebasan langsung melalui
8
produksi dan pembakaran bahan bakar minyak dan kebocoran gas
alam (non biogenik).
Pembentukan
metana
secara
biogenik
merupakan
hasil
dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh bakteri methanogen.
Bakteri ini berkembang pesat pada tanah dengan kondisi anaerob, oleh
sebab itu banyak dijumpai pada tanah tergenang. Proses metanogenesis
merupakan proses biologi pada tanah yang dipengaruhi oleh sifat fisik
dan kimia tanah seperti suhu tanah, potensial redoks, pH tanah,
akumulasi dan dekomposisi bahan organik, dan varietas tanaman
(Setyanto, 1994).
Sedangkan menurut Patrick et al., (1977) dalam Setyanto, (1994)
bahwa, proses pembentukan metana adalah akibat dekomposisi bahan
organik pada kondisi anaerob. Organisme yang berperan dalam proses
dekomposisi ini khususnya bakteri methanogen, tidak dapat berfungsi
dengan baik apabila terdapat oksidan (elektron akseptor). Sebelum
oksidan-oksidan tanah tereduksi, metana tidak akan terbentuk. Oksidan
tanah yang harus tereduksi dahulu sebelum metana terbentuk adalah
oksigen (tereduksi pada Eh +350mV), diikuti Mn4+ dan NO3+ (pada Eh
+250mV), Fe3+ (pada Eh +150mV) dan SO42- (pada Eh -150mV).
Metan (CH4) terbentuk dari akibat reduksi CO2 pada Eh yang kurang
dari -200mV. Seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1, menunjukkan
bahwa sumber emisi CH4 berasal dari alam (natural) dan kegiatan
manusia (anthropogenic).
Secara fisiologisnya, tanaman adalah merupakan salah satu media
untuk pelepasan metana ke atmosfer. Berdasarkan beberapa penelitian
yang telah dilakukan diketahui bahwa, bagian batang tanaman
melepaskan metana lebih besar dibanding bagian daun. Akar tanaman
juga ikut memberikan kontribusi dalam proses pembentukan metana
oleh bakteri methanogen. Sebab, akar tanaman dalam metabolismenya
menghasilkan semacam substrat (eksudat akar) yang mempercepat
proses pembentukan metana.
9
Tabel 1. Emisi CH4 dari sumber alami (natural) dan kegiatan
manusia (anthropogenic)
Sumber
Emisi CH4
Standar emisi CH4 *
(Tg/th)
(Tg/th)
Natural
Lahan basah
100
tdk
Anai – anai
20
15 – 35
Samudra/laut lepas
4
tdk
Sedimen laut
5
0.4 – 12.2
Geologi
14
12 – 36
Kebakaran hutan
2
tdk
Total emisi natural
145
tdk
Anthropogenic
Padi
60
40 – 90
Hewan
81
tdk
Pupuk
14
tdk
Pengisian lahan
22
tdk
Penanganan limbah cair
25
tdk
Pembakaran biomassa
50
27 – 80
Penambangan batubara
46
Gas alam
30
7 – 70
Lain – lain
13
7 - 30
17
tdk
358
tdk
Bahan bakar bersuhu
rendah
Total emisi
anthropogenic
Total
503
* : IPCC (1991)
tdk : tidak diketahui
Sumber : Mattews et al., (1993) dalam Khalil (1993)
10
2.4.2. Gas Dinitro Oksida (N2O)
Pembentukan gas N2O melalui dua proses yaitu, nitrifikasi dan
denitrifikasi. Nitrifikasi terjadi dalam dua langkah (Haynes, 1986).
−
−
Langkah pertama adalah oksidasi NH 4 menjadi NO 2 , reaksinya adalah
sebagai berikut:
−
−
NH 4 + 1 O 2 → NO 2 + 2H + + H 2 O + energi
2
Bakteri yang berperan dalam reaksi ini adalah bakteri nitrosomonas. Dan
langkah kedua adalah oksidasi NO 2
−
menjadi NO 3
−
dengan reaksi
sebagai berikut:
NO
−
2
+ 1 O 2 → NO
2
−
3
+ energi
Bakteri yang berperan adalah bakteri nitrobacter. Kemudian hasil dari
nitrifikasi berupa NO 3
−
akan diubah menjadi N2O dalam proses
denitrifikasi. Denitrifikasi adalah langkah terakhir dalam siklus N dan
terjadi pada kondisi anaerobik. Kemudian N2O direduksi menjadi N2 oleh
enzim nitrous oxide yang tereduksi (Stouthamer, 1988). Reduksi N2O juga
dapat dilalukan dengan enzim nitrogenase (Hardy dan Knight, 1966),
sedangkan proses nitrifikasi terjadi pada kondisi aerobik.
Erickson dan Keller (1997) berpendapat bahwa, peningkatan emisi
gas N2O berkaitan erat dengan perubahan penggunaan lahan dan
penggunaan pupuk nitrogen. Beberapa hasil studi dan literatur tentang
emisi nitrogen oksida yaitu N2O dan NO yang berasal dari tanah
menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan sangat mempengaruhi
atmosfer baik secara regional maupun global (Veldkamp et al., 1998).
Tanah merupakan sumber dan rosot yang sangat penting terhadap ketiga
gas tersebut (CH4, N2O, CO2) dimana kondisi kimia, biologi maupun fisik
tanah berperan penting dalam proses pertukaran gas-gas dari tanah ke
atmosfer. Perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian merupakan
salah satu kegiatan yang menyebabkan pemanasan global.
Veldkamp dan Keller (1997) menyatakan bahwa N2O memiliki dua
peranan penting dalam pemanasan global yaitu, berperan dalam penurunan
11
lapisan ozon stratosfer yang diketahui berfungsi untuk melindungi biosfer
dari efek radiasi ultraviolet langsung dan sebagai gas rumah kaca.
Konsentrasi N2O di atmosfer meningkat sekitar 0.25-0.31 % per tahun
dan menyumbang sekitar 6% dalam pemanasan global, sedangkan CO2
(55%) dan metana (15%). Jika dibandingkan dengan metana dan
karbondioksida jumlahnya memang lebih rendah. Erickson dan Keller
(1997) juga berpendapat bahwa, potensial gas N2O dalam pemanasan
rumah kaca 200 kali lebih kuat dari pada CO2 dan telah berlangsung
selama 100 hingga 175 tahun.
N2O adalah salah satu gas biogenik yang dihasilkan akibat dari
adanya perubahan penggunaan lahan, pemakaian bahan bakar fosil,
pembakaran biomassa dan penggunaan pupuk nitrogen yang intensif,
asam-asam nitrik dan adipik dari proses pembutan nilon. Sumber utama
N2O atmosfer berasal dari proses mikrobiologi baik secara alamiah
maupun antropogenik (Hutabarat, 2001). Pemupukan tanah merupakan
kontribusi yang penting pada sumber total emisi NO dan N2O ke atmosfer.
Sumber biogenik NO dan N2O ke atmosfer disebabkan oleh pemupukan
kimia dalam bentuk N, waktu pemupukan dilakukan, metode dan aplikasi
dosis/angka pupuk N yang diberikan (Skiba et al., 1993). Sumber
atropogenik N2O paling besar berasal dari tanah pertanian yaitu
diperkirakan hampir 70% kontribusinya dalam meningkatkan efek rumah
kaca (Chang et al., 1998). Seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2 tentang
emisi N2O secara global.
Masa hidup dari N2O sangat panjang yaitu sekitar 150 tahun di
atmosfer,
oleh
karena
itu
peningkatan
emisi-emisi
kecil
dapat
meningkatkan konsentrasi. Pemakaian bahan bakar fosil dan pemakaian
pupuk nitrogen akan menyumbang terjadinya pencemaran udara yang pada
akhirnya terjadi penumpukan emisi N2O di atmosfer.
12
Tabel 2. Source & sink gas N2O di atmosfer secara global menurut
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change)
Source
N2O (Tg/tahun)
Alami
Lautan
1.4 – 2.6
Tanah tropis:
Hutan basah
2.2 – 3.7
Savana
0.5 – 2.0
Tanah temperate:
Hutan
0.05 – 2.0
Padang rumput
tdk
Total emisi alami
4.15 – 10.3
Anthropogenic
Pengolahan tanah
0.03 – 3.0
Pembakaran biomassa
0.2 – 1.0
Industri
0.1 – 0.3
Kendaraan bermotor
0.2 – 0.6
Pembentukan asam Apidic
0.4 – 0.6
Pembentukan asam Nitrat
0.1 – 0.3
Total emisi anthropogenic
1.03 -5.8
Total emisi
5.18 – 16.1
Sink
N2O (Tg/tahun)
Hilang dalam tanah
tdk
Photolisis di stratosfer
7 - 13
Peningkatan konsentrasi di atmosfer
3 – 4.5
tdk: tidak diketahui
(Sumber: IPCC, 1992)
2.4.3. Gas Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar
kontribusinya terhadap pemanasan global. Konsentrasi alaminya kecil,
hanya
sekitar
0.03
persen
di
atmosfer,
tetapi
secara
alamiah
13
karbondioksida bisa diserap oleh tanaman dengan bantuan sinar matahari
yang kemudian diuraikan untuk membentuk jaringan tanaman yang
dikenal dengan proses fotosintesis. Bila tanaman atau hewan mati,
kandungan karbon terlepas dalam bentuk karbondioksida, demikian pula
kegiatan membakar kayu atau bahan bakar fosil juga melepaskan
karbondioksida. Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai
50%, dari berat keringnya bisa berupa bahan organik yang membusuk
sebagian. Jika tanah ini dibalik menggunakan cangkul maka sejumlah
karbon terlepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida. Makin
banyaknya pemakaian kendaraan bermotor, menyebabkan pemakaian
bahan bakar fosil juga bertambah. Hal ini bisa menyebabkan
bertambahnya kadar karbon di atmosfer bumi dan akan menyebabkan
pembentukan semacam perisai, kemudian panas yang seharusnya keluar
dari atmosfer dipantulkan kembali ke bumi yang menyebabkan suhu bumi
mengalami kenaikan. Hutan secara alamiah menyerap kadar karbon yang
dilepas, tetapi apabila terjadi kerusakan hutan dan penimbunan kadar
karbon yang semakin meningkat karena kegiatan manusia akan
menyebabkan gas karbondioksida makin menumpuk (Nurmaini, 2001).
Penebangan hutan atau perladangan berpindah dengan membakar
hutan, dituduh ikut menyumbang gas-gas pencemar karbondioksida (CO2)
dan hutan itu sendiri berfungsi secara alamiah untuk menyerap karbon
monoksida (CO). Untuk negara maju hutan lebih berfungsi sebagai unsur
konservasi. Selain itu, gas CO2 dapat dihasilkan melalui proses
dekomposisi bahan organik dalam keadaan aerob.
Menurut Powlson dan Olk (2000), tanah dapat berperan sebagai
sink utama C (karbon) yang dapat digunakan sebagai upaya mitigasi
peningkatan CO2 di atmosfer. Mekanisme pelepasan CO2 dan N2O tidak
sama dengan CH4. Pelepasan CO2 dan N2O melalui difusi di air atau
melalui gelembung-gelembung udara pada kondisi anaerobik. Oleh karena
itu, pengambilan contoh gas untuk analisis CO2 dan N2O dilakukan pada
sela-sela tanaman padi. CO2 adalah gas yang diperlukan dalam proses
14
fotosintesis tanaman, dan N2O merupakan hasil samping dari proses
nitrifikasi dan dentirifikasi nitrogen dalam tanah.
Gas CO2 terbentuk dari proses respirasi dan dekomposisi oleh
mirkoorganisme tanah. Fotosintesis adalah proses perubahan senyawa
anorganik menjadi senyawa organik (karbohidrat, lemak, protein, dan lain
sebagainya) di mana energi foton matahari diperlukan dalam proses
tersebut. Karena gas CO2 yang dilepas dari lahan sawah akan kembali
ditranslokasikan tanaman padi melalui proses fotosintesis sebagai satu
keseimbangan antara source dan sink emisi (zero CO2 net emission).
Gas CO2 memiliki waktu urai hingaa 50-200 tahun dan memiliki
daya tangkap sinar matahari seperti efek rumah kaca. Dari jaman pre
industri (1750-1800), konsentrasi CO2 telah bertambah dari 280 ppmv
(parts per million volume) menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Saat ini
laju penambahan CO2 di atmosfer rata-rata berjumlah 1,8 ppmv.
Kehadiran gas CO2 memberikan kontribusi yang besar terhadap kenaikan
suhu permukaan bumi dan IPCC menyarankan agar emisi gas CO2
sekurang-kurangya 60% dari emisi gas yang dikeluarkan saat ini
(Bappenas, 2004)
2.5. Serapan Karbon Oleh Tanaman
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan
terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Pelepasan gas
rumah kaca seperti gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan
dinitro oksida (N2O) yang terus meningkat, semakin menyebabkan keseimbangan
energi antara bumi dan atmosfer terganggu. Saat ini konsentrasi gas rumah kaca
di atmosfer bumi telah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan
keseimbangan ekosistem.
Kegiatan pertanian atau pengolahan lahan yang kurang tepat dapat
mengakibatkan konsentrasi GRK meningkat. Salah satunya adalah dengan
pembakaran vegetasi hutan secara luas secara bersamaan dan adanya pengeringan
lahan gambut. Saat ini Indonesia adalah negara ke tiga penghasil emisi CO2
15
terbesar di dunia. Emisi CO2 yang dihasilkan Indonesia mencapai dua miliar ton
per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia.
Tumbuhan memerlukan sinar matahari, CO2 yang diserap dari udara dan
air serta hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Hara
dan karbon yang diserap oleh tanaman akan disimpan dalam tubuh tanaman.
Hairiah et al., (2007) menyatakan bahwa, proses penimbunan C dalam tubuh
tanaman hidup disebut dengan proses sekuestrasi (C-sequestration). Mengukur
jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan,
berarti dapat menggambarkan banyaknya atau jumlah CO2 yang diserap oleh
tanaman dari atmosfer. Sedangkan pengukuran C yang disimpan oleh bagian
tumbuhan
yang
telah mati
(nekromasa),
secara
tidak
langsung telah
menggambarkan banyaknya CO2 yang tidak dilepas ke udara melalui
pembakaran.
Dalam kurun dekade terakhir ini, mulai disadari perhatian yang besar
dalam sekuestrasi karbon (carbon sequestration) sebagai salah satu cara untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca. Sekuestrasi karbon merupakan salah satu cara
potensial berbiaya rendah yang dianjurkan untuk mengurangi konsentrasi
atmosferik gas-gas rumah kaca. Protokol Kyoto yang diprakarsai oleh United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) memberikan
dorongan terhadap aspek-aspek sekuestrasi karbon. Jika diratifikasi, perjanjian ini
mewajibkan negara-negara industri maju untuk mengurangi emisi gas-gas rumah
kacanya sebesar 6-8 %.
Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan
dengan tanaman yang tumbuh di lahan pertanian. Keragaman tanaman dan pohon
yang tumbuh menjulang tinggi dengan tumbuhan bawah dan seresah di
permukaan tanah yang banyak, menyebabkan hutan alami memiliki kemampuan
menyerap dan menyimpan karbon yang sangat baik. Tanaman atau pohon yang
memiliki umur panjang yang biasanya tumbuh di hutan merupakan tempat
penyimpanan atau penimbunan C yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
tanaman semusim.
Berkaitan dengan kegiatan pengembangan lingkungan yang bersih, maka
jumlah CO2 di udara harus dikendalikan melalui cara meningkatkan jumlah CO2
16
yang diserap oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan emisi CO2
ke udara serendah mungkin. Berdasarkan hal inilah, mempertahankan keutuhan
hutan alami, menanam tanaman dan pepohonan pada lahan-lahan pertanian serta
melindungi lahan gambut sangatlah penting dalam hal mengurangi jumlah CO2
yang terlepas secara berlebihan ke udara. Jumlah “C tersimpan” dalam setiap
pengunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai
“cadangan C”.
Banyaknya kadar C yang diserap dan disimpan oleh tanaman tergantung
dari lahan atau tanah dimana tanaman itu tumbuh. Menurut Hairiah et al., (2007)
menyatakan bahwa jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung
pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara
pengelolaanya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi besar bila kondisi kesuburan
tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C yang tersimpan di atas tanah
(biomasa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C yang tersimpan di dalam
tanah (bahan organik tanah). Menurut Lal (2002), pada dasarnya tanah di seluruh
dunia mengandung lebih dari 3.2 triliun ton karbon pada lapisan 6 feet teratas.
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
•
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah.
•
Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 2008.
3.2. Bahan dan Alat
• Bahan
1. Benih padi dari varietas Batanghari.
2. Gas N2, gas H2, gas Argon, gas standar CH4, CO2, N2O.
3. Aquades.
4. Tanah Gambut.
5. Pupuk N, pupuk P2O5, pupuk K2O.
6. Jerami kering, pupuk kandang, dan dolomit.
• Alat-alat
1. Boks penangkap gas secara manual.
2. Boks penangkap gas otomatis.
3. Jarum suntik.
4. Eh dan pH meter.
5. Elektroda.
6. Gas Kromatografi.
7. Komputer.
8. Tanur Pembakar dan cawan.
9. Grinder.
3.3. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan mikroplot yang diisi dengan tanah gambut
dari Kalimantan Selatan. Kurang lebih 9 m3 tanah gambut diangkut untuk
18
ditempatkan dalam mikroplot tersebut. Tanah gambut diambil sampai kedalaman
30 cm menggunakan cangkul, kemudian ditempatkan dalam karung plastik
berukuran 25 kg. Setelah pengepakan, karung berisi tanah gambut segera diangkut
menggunakan truk. Contoh tanah gambut ditempatkan pada mikroplot berukuran
1,5 m x 1,5 m x 1 m. Gambar 1 merupakan sketsa bentuk mikroplot yang
digunakan untuk penaman padi
plastik
0.25 m
permukaan tanah
0.75 m
1.5 m
Gambar 1. Mikroplot untuk penanaman padi
Dua belas mikroplot selanjutnya akan disusun seperti yang ditunjukkan
dalam Gambar 2 sesuai dengan urutannya yaitu:
(1) Tanpa Amelioran
(2) Dolomit (2 ton/ha)
(3) Jerami kering (2 ton/ha)
(4) Pupuk kandang (2 ton/ha)
III
1
4
2
3
II
3
2
4
1
I
4
1
3
2
U
Gambar 2. Skema penyusunan perlakuan bahan amelioran
19
Semua perlakuan amelioran diberikan 7 hari sebelum tanam. Perlakuan disusun
dengan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Skema kegiatan
penelitian ditunjukkan dalam bagan alir (Gambar 3).
Pembuatan mikroplot
Pengambilan sampel gas CH4,
CO2, dan N2O setiap 1
minggu sekali
Sampel gas dianalisis
dengan Gas Kromatografi
Tanah gambut dimasukkan ke
dalam mikro-plot
Penanaman dan pemeliharaan
padi
Hasil Analisis dari
Gas Kromatografi
Gambar 3. Bagan alir kegiatan penelitian emisi gas rumah kaca
Mikroplot tersebut ditanami padi varietas Batanghari dengan jarak tanam
20 cm x 20 cm. Bibit padi ditanam pada usia 21 hari setelah sebar (HSS).
Pemupukan diberikan berkala dengan dosis pupuk sama untuk semua perlakuan
yaitu 90 kg N + 60 kg P2O5 + 60 kg K2O/ha. Pupuk N dan K diberikan 3 kali yaitu
saat tanaman berumur 5 hari setelah tanam (HST), 21 HST dan sisanya pada saat
tanaman berumur 42 HST. Pupuk P dalam bentuk SP36 diberikan sekali pada saat
tanam padi. Hara mikro (Zn) diberikan jika tanaman menunjukkan gejala kahat
atau gejala dimana warna daun pada tanaman menjadi kuning. Pengendalian hama
dan penyakit dilakukan secara intensif. Pengendalian hama utama lainnya
dilakukan dengan penyemprotan insektisida sesuai dengan jenis hama yang
berkembang di lapangan. Gambar 4 menunjukkan susunan tanaman padi gambut
20
dalam mikroplot dan bagian tanaman yang diambil sebagai parameter seperti
perhitungan jumlah anakan, tinggi tanaman, dan potensial redoks.
1
Keterangan:
1. Titik pengamatan
parameter tanaman.
2. Potensial redoks (Eh).
3. Boks manual.
4
4. Boks otomatik.
3
1
2
Gambar 4. Susunan tanaman padi gambut dalam mikroplot
Data yang dikumpulkan selama penelitian adalah :
(1) Emisi gas CH4 yang keluar dari tanah gambut langsung diukur
menggunakan Sistem Sampling Gas Otomatik. Fluks CH4 diukur
secara otomatik yaitu sekali dalam satu minggu selama pertumbuhan
tanaman. Pengukuran dilakukan selama satu hari penuh (24 jam).
Setiap mikroplot percobaan dipasang boks berukuran 1 m x 1 m x 1
m. Boks terbuat dari fleksiglas yang dilengkapi dengan pompa
hidrolik untuk membuka menutupnya tutup boks secara otomatik
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5.
21
Gambar 5. Boks otomatik penangkap gas CH4
Di dalam boks dilengkapi 2 buah kipas elektrik (24 VCD) untuk
mencampur gas atau udara di dalam boks supaya homogen. Sampel
udara dari dalam boks dihisap secara otomatik menuju alat gas
kromatografi (GC), yang selanjutnya dianalisis konsentrasi gas CH4
nya dengan menggunakan GC yang dilengkapi dengan FID (Flame
Ionisation Detector). Untuk menghitung emisi gas CH4 digunakan
rumus:
E=
dc
Vch
mW
x
x
dt
Ach
mV
x
273 . 2
( 273 . 2 + T )
: Emisi gas CH4 (mg/m2/hari)
E
dc/dt : perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit)
Vch
: Volume boks (m3)
Ach
: Luas Boks (m2)
mW
: Berat molekul CH4 (g)
mV
: Volume molekul CH4 (22.41 L)
T
: Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel ( C)
0
(2) Emisi CO2 dan N2O diukur secara manual setiap satu minggu sekali
menggunakan sungkup atau boks dengan ukuran 40 cm x 60 cm x 40
cm yang dapat dioperasikan secara manual seperti dalam Gambar 6.
22
Gambar 6. Boks manual
Pengambilan sampel untuk CO2 dan N2O dilakukan pada pukul 6 pagi
dan tidak dilakukan satu hari penuh. Sampel yang telah diambil
kemudian dianalisis dengan analisis sampel gas secara manual.
(3) Berbagai parameter tanaman padi seperti hasil gabah, komponen hasil,
jumlah anakan, bobot jerami, dan lain-lain.
(5) Data perubahan redoks potensial tanah (Eh) dan pH, yang dilakukan
sekali dalam seminggu.
Untuk menghitung total emisi gas rumah kaca selama satu musim
tanam digunakan rumus sebagai berikut:
ETotal = E x U x (10000 / 1000000)
ETotal : Total Emisi CH4 atau CO2 (kg/ha/musim)
E
: Rata-rata emisi harian CH4 atau CO2 (mg/m2/hari)
U
: Umur tanaman saat dipanen (satu musim tanam)
ETotal = E x U x (10000 / 1000000000)
ETotal : Total Emisi N2O (kg/ha/musim)
E
: Rata-rata emisi harian N2O (µg/m2/hari)
U
: Umur tanaman saat dipanen (satu musim tanam)
23
3.4. Analisis Serapan Karbon Tanaman
Biomasa tanaman atas (tidak termasuk akar) dikeringkan dengan
menggunakan oven pengering. Biomasa yang telah kering kemudian dihancurkan
menggunakan mesin grinder hingga halus atau berbentuk serbuk. Berikut adalah
urutan kegiatan dalam menganalisis serapan karbon oleh tanaman:
1. Timbang biomas tanaman yang telah dihaluskan, lalu tempatkan dalam
cawan yang telah ditimbang bobotnya.
2. Panaskan dalam tanur pembakar sampai 1050 C. Gambar 7 menunjukkan tanur pembakar untuk suhu dibawah 2000C. Hal ini dilakukan untuk menghitung kadar air yang tersimpan dalam biomas.
Gambar 7. Tanur pembakar 2000 C
Gambar 8. Tanur pembakar 9000 C
3. Setelah didinginkan, cawan dan sampel biomas ditimbang untuk
mengetahui bobot yang hilang setelah pembakaran.
4. Cawan dan sampel kemudian dimasukkan kembali ke dalam tanur
pembakar hingga tanur bersuhu 7000 C, dan sampel telah berubah
menjadi abu.
5. Cawan dan sampel ditimbang kembali untuk mengetahui kadar C
organik yang tertinggal dalam tanaman. Kadar C organik berbentuk
abu. Gambar 8 adalah tanur pembakar hingga suhu maksimal 9000 C.
24
Untuk menganalisis karbon organik, kadar air, dan kadar abu dari
sampel tanaman yang telah diambil menggunakan rumus sebagai berikut:
⎛C − D ⎞
⎟ : 1.724 * 100
⎝C − A ⎠
C-Organik (%) = ⎜
⎛B −C ⎞
⎟ * 100
⎝C − A⎠
Kadar Air (%) = ⎜
⎛D − A⎞
⎟ * 100
⎝C − A⎠
Kadar Abu (%) = ⎜
Keterangan:
A : Bobot Cawan Kosong.
B : Bobot Cawan Kosong + Contoh.
C : Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu
1050 C.
D : Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu
7000 C.
1.724 = Rumus Baku ( kadar C 58% mudah teroksidasi)
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Emisi Gas Rumah Kaca Pada Setiap Aplikasi Amelioran
Gas rumah kaca merupakan kumpulan gas-gas yang paling besar
memberikan kontribusinya terhadap terjadinya pemanasan global (global
warming). Pemberian amelioran diharapkan dapat menekan laju emisi gas rumah
kaca terutama dari sektor pertanian yang diusahakan di tanah gambut. Penelitian
yang dilakukan di Balingtan, tepatnya di Jakenan, Pati-Jawa Tengah. Secara
geografis terletak pada koordinat 60 45’ LS dan 1110 40’ BT serta beriklim D
menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan rata-rata kurang
dari 1600 mm.
4.1.1. Emisi CH4
Emisi gas rumah kaca (GRK) akhir-akhir ini telah menjadi sorotan
dunia. Dampak yang dihasilkan dari emisi GRK telah menyebabkan
kekhawatiran bagi seluruh umat manusia. Gas CH4 merupakan salah satu
gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah
kaca. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, lahan
sawah memegang peranan penting dalam emisi CH4. Kegiatan
ekstensifikasi lahan pertanian pada tanah gambut berpotensi meningkatkan
emisi (GRK), terutama CH4.
Perubahan penggunaan lahan gambut menjadi lahan sawah akan
mempengaruhi muka air dan perubahan suhu tanah secara drastis sehingga
akan merubah keseimbangan ekosistem dan lingkungan lahan gambut
serta pelepasan CH4 ke atmosfer. Boer et al., (1996) berpendapat bahwa,
laju emisi CH4 pada hutan gambut lebih besar jika dibanding dengan
sawah pada tanah bergambut yang nilainya yaitu berturut-turut sebesar
9.40 mg.m-2.jam-1 dan 5.71 mg.m-2.jam-1. Gambar 9 menunjukkan dimana
tanaman padi dalam boks pada usia 10 HST (Hari Setelah Tanam)
26
Gambar 9. Kondisi Tanaman Padi Dalam Boks
Padi yang digunakan pada penelitian ini adalah padi varietas
batanghari.
Karena
berdasarkan
penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya, varietas Batanghari menghasilkan emisi metana yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan varietas padi pasang surut lainnya,
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3 di bawah.
Tabel 3. Emisi CH4 dari beberapa varietas padi
pasang surut (Setyanto, 2005)
Varietas Padi
Emisi CH4
(kg/ha/musim)
Punggur
183.0
Banyuasin
179.0
Martapura
171.0
Sei Lalan
153.0
Indragiri
141.0
Tenggulang
124.0
Batanghari
104.0
27
Pengukuran emisi CH4 dimulai pada 13 hari sebelum tanam
pindah, hal ini dilakukan untuk mengetahui emisi CH4 dari tanah gambut
sebelum dan sesudah tanah gambut ditanami padi.
Gambar 10. Lokasi Pengukuran CH4 Secara Otomatis
Pada awal pengukuran fluks CH4 terlihat masih rendah, setelah
ditanami padi fluks CH4 mulai meningkat dan fluktuatif seiring dengan
pertumbuhan tanaman (Gambar 11). Dari grafik terlihat nilai fluks metana
pada 13 hari sebelum tanam berkisar antara 200-400 mg/m2/hari. Fluks
metana meningkat setelah pemberian amelioran pada tanah gambut. Emisi
CH4 yang dihasilkan tidak lepas dari nilai potensial redoks (Eh). Pada
tanah gambut dengan tanpa amelioran memiliki Eh pada kisaran -100 mV
sampai -150 mV. Sesuai dengan teori bahwa semakin rendah suatu Eh
pada tanah gambut maka emisi CH4 yang dihasilkan semakin tinggi.
Sedangkan tanah gambut dengan pemberian amelioran memiliki Eh pada
kisaran lebih besar dari -100 mV, menghasilkan emisi CH4 lebih rendah
dibandingkan dengan tanah gambut tanpa pemberian amelioran. Dari
grafik juga terlihat bahwa pemberian pupuk kandang menghasilkan emisi
yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa amelioran, dolomit, dan
jerami. Gambar 12 adalah kumulatif fluks CH4 yang menunjukkan secara
jelas bahwa pemberian pupuk kandang menghasilkan emisi CH4 lebih
rendah dibandingkan perlakuan lainnya.
28
Tanpa amelioran
Dolomit
Jerami
Pupuk Kandang
1600
F lu k s C H 4 (m g /m 2 /h a ri)
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
-13
-6
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
HST
Gambar 11. Grafik fluks metana
Tanpa amelioran
Dolomit
Jerami
Pupuk Kandang
F lu k s K u m u la tif C H4 (m g /m 2 )
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
-13
-6
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
HST
Gambar 12. Fluks kumulatif metana
Schutz et al., (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering
3 t/ha menghasilkan emisi CH4 0.5 kali lebih tinggi dibanding dengan
tanpa pemberian jerami. Emisi CH4 akan meningkat dua kali lebih tinggi
pada penambahan jerami 5 t/ha, dan akan meningkat lagi sebesar 2.4 kali
29
lebih tinggi pada penambahan jerami 12 t/ha. Sedangkan penambahan 60
t/ha jerami memberikan emisi yang sama dengan pemberian 12 t/ha. Yagi
dan Minami (1990) menemukan bahwa, penambahan jerami 6 t/ha dapat
meningkatkan emisi CH4 1.8-3.3 kali lebih besar dibanding hanya
pemberian pupuk organik. Pada penambahan 9 t/ha jerami kering emisi
CH4 yang dihasilkan 3.5 kali lebih besar.
Pada awal pertumbuhan tanaman padi setelah tanam pindah, fluks
CH4 hariannya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya
proses adaptasi fisiologis dari tanaman terhadap kondisi lingkungan yang
baru akibat tanam pindah dan eksudat akar yang dihasilkan berupa karbon
organik (C-organic) masih sangat sedikit. Akan tetapi seiring dengan
bertambahnya umur tanaman, fluks CH4 harian pun meningkat. Pada saat
fase ini, fotosintat yang dihasilkan tidak banyak digunakan untuk
pertumbuhan tanaman sehingga banyak eksudat akar yang dikeluarkan.
Menurut Kimura et al., (1991), eksudat akar merupakan hasil
samping metabolisme karbon yang berupa senyawa organik yang
mengandung gula, asam amino dan asam organik yang akan digunakan
sebagai bahan bagi bakteri methanogen dalam pembentukkan CH4. Fluks
CH4 cenderung tinggi pada 15-50 HST, hal ini disebabkan tanaman padi
mengalami perkembangan jumlah anakan. Semakin banyak jumlah
anakan, maka semakin banyak media yang digunakan sebagai cerobong
untuk jalan keluar dan pelepasan CH4 ke atmosfer. Jaringan aerenkimia
pada tanaman padi merupakan cerobong untuk jalan keluar dan pelepasan
CH4 ke atmosfer.
Raimbault et al., (1977) menyatakan bahwa 90% CH4 yang dilepas
dari lahan sawah ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya
melalui gelembung air (ebullition). Ruang udara pada pembuluh
aerenkimia daun, batang dan akar yang berkembang dengan baik
menyebabkan pertukaran gas pada tanah tergenang berlangsung cepat.
Pembuluh tersebut bertindak sebagai cerobong (chimney) bagi pelepasan
CH4 ke atmosfer. Suplai O2 untuk respirasi pada akar melalui pembuluh
aerenkimia dan demikian pula gas-gas yang dihasilkan dari dalam tanah,
30
seperti CH4 akan dilepaskan ke atmosfer juga melalui pembuluh yang
sama untuk menjaga keseimbangan termodinamika.
Rejim air merupakan faktor utama yang menentukan iklim mikro
dari pertanaman padi. Kompleksitas iklim mikro menjadi lebih besar
karena fluktuasi intensitas sinar matahari, suhu, reaksi tanah (pH, Eh),
konsentrasi O2 di dalam air genangan, dan status hara tanah (Watanabe
and Roger, 1985) seperti yang disajikan dalam Gambar 13.
Gambar 13. Dinamika produksi dan emisi metana dari lahan sawah
(Watanabe and Roger, 1985)
4.1.2. Emisi N2O
Fluks N2O diukur saat tanaman berumur 2 HST (Hari Setelah
Tanam). Selanjutnya pengukuran fluks N2O dilakukan setiap satu minggu
sekali dengan menggunakan boks manual seperti yang disajikan dalam
Gambar 14. Dinitro oksida (N2O) dihasilkan oleh tanaman melalui proses
nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen dalam rizosfer tanah, proses ini
melibatkan bakteri nitrosomonas dan nitrobacter. Kondisi lingkungan
yang anaerobik merupakan kondisi yang baik bagi bakteri untuk
menghasilkan gas N2O. Lahan basah juga dicurigai sebagai sumber dari
nitro oksida, karena kondisi anaerob akan mendukung produksi nitro
31
oksida melalui denitrifikasi (Bouwman, 1990; Sahrawat dan Kenney,
1984). Walaupun demikian gas N2O dapat terbentuk pada kondisi aerobik
dan anaerobik. Pada kondisi aerobik proses yang dominan adalah proses
nitrifikasi sedangkan, pada kondisi anaerobik proses yang dominan adalah
proses denitrifikasi.
Gambar 14. Pengambilan Gas N2O Secara Manual
Nilai fluks N2O untuk setiap perlakuan bervariasi seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar 15. Dari grafik dapat dilihat bahwa pemberian
dolomit menghasilkan emisi N2O yang tinggi pada awal tanam yaitu
sebesar 1071.24 μg/m2/hari. Berdasarkan analisis secara kumulatif fluks
N2O meningkat secara linear seiring perkembangan dan pertumbuhan
tanaman seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16.
32
F lu k s N 2 O (m g /m 2 /h a ri)
Tanpa Amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
-13
-6
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
HST
Gambar 15. Grafik fluks N2O
Tanpa Amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
F lu k s K u m u la tif N 2 O (u g /m 2 )
5000
4000
3000
2000
1000
0
-13
-6
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
HST
Gambar 16. Fluks kumulatif N2O
Nilai fluks N2O yang beragam disebabkan oleh banyak faktor
diantaranya, suhu, jenis tanah, pH tanah, ketersediaan bahan organik,
aerasi dan penggunaan pupuk. Pemakaian pupuk nitrogen yang tidak tepat
sasaran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan N2O. Setyanto
(2004) menyatakan bahwa diperkirakan antara 1-2% pupuk nitrogen yang
33
diberikan ke tanaman terurai menjadi N2O. Cara mengurangi emisi N2O
adalah dengan penggunaan pupuk N lambat urai dan pemberian pupuk N
sesuai takaran yang dibutuhkan tanaman. Seperti yang terlihat dalam
Gambar 16 bahwa pemberian jerami kering mampu menghasilkan emisi
N2O yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga perlakuan yang lain
yaitu, tanpa amelioran, dolomit, dan pupuk kandang.
4.1.3. Emisi CO2
Karbondioksida merupakan salah satu gas yang sangat penting
dalam pertumbuhan tanaman. Fluks CO2 yang dihasilkan pada padi
varietas Batanghari di tanah gambut memiliki pola seperti yang terlihat
dalam Gambar 17, di mana fluks CO2 berfluktuasi dari awal tanam hingga
panen. Pemberian jerami kering menghasilkan fluks CO2 terendah sebesar
1043.3 mg/m2/hari sedangkan fluks CO2 tertinggi dihasilkan dari
pemberian pupuk kandang saat tanaman berusia 65 HST yaitu sebesar
17915.8 mg/m2/hari.
Tanpa amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
20000
18000
F lu k s C O 2 (m g /m 2 /h a r i)
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
-12
-6
2
9
16
23
30
37
44
51
58
65
72
79
86
93
HST
Gambar 17. Grafik fluks CO2
34
Tanpa amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
F lu k s k u m u la tif C O 2 (m g /m 2 )
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
-12
-6
2
9
16
23
30
37
44
51
58
65
72
79
86
93
HST
Gambar 18. Fluks kumulatif CO2
Fluks CO2 yang beragam disebabkan oleh aktivitas bakteri pada
lapisan tanah anaerob sepanjang waktu. Selain itu, adanya suplai oksigen
dari atmosfer melalui aerenkimia batang tanaman padi maupun dari
turbulensi aliran air yang terperangkap dalam air menyebabkan suasana
oksidatif tetap terjadi di lahan yang tergenang. Jika dilihat dari kumulatif
fluks CO2, pada dasarnya emisi CO2 yang dihasilkan meningkat untuk
setiap pemberian amelioran seperti yang disajikan dalam Gambar 18. Dari
Gambar dapat dilihat bahwa pemberian jerami kering menghasilkan emisi
CO2 yang lebih tinggi dari ketiga perlakuan yang lain. Sedangkan emisi
terendah dihasilkan oleh tanah gambut dengan perlakuan tanpa amelioran.
4.2. Potensial Redoks (Eh) dan Kemasaman Tanah (pH)
4.2.1. Potensial Redoks (Eh)
Potensi redoks tanah merupakan suatu petunjuk ketersediaan
elektron dalam larutan tanah. Sedangkan ketersediaan elektron sendiri
merupakan petunjuk status oksidasi-reduksi tanah. Redoks potensial (Eh)
merupakan petunjuk status oksidasi dan reduksi tanah. Kondisi oksidasi
35
maupun reduksi dapat terjadi serempak dalam tanah, saat lapisan
permukaan tanah berada pada kondisi oksidasi. Lapisan bawah dapat
berada pada kondisi reduksi akibat fluktuasi permukaan tanah. Salah satu
faktor penting yang mempengaruhi cepat-lambatnya proses produksi dan
konsumsi gas CH4 adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks) dari
oksidan-oksidan tanah. Tahapan proses redoks yang terjadi di lahan sawah
yang tergenang adalah berkurangnya kandungan oksigen tanah, reduksi
NO3, Mn4+, Fe3+, SO4 dan reduksi CO2 membentuk CH4.
Menurut Neue (1993), Eh tanah berkorelasi negatif dengan
produksi CH4. Gambar 20 menunjukkan Eh tanah gambut tanpa pemberian
amelioran lebih rendah dibandingkan tanah gambut dengan pemberian
amelioran, sehingga fluks CH4 yang dihasilkan pada tanah gambut tanpa
pemberian amelioran lebih tinggi dibandingkan dengan tanah gambut
dengan pemberian amelioran. Proses reduksi dari oksidan-oksidan tanah
ini diakibatkan oleh aktifitas mikroorganisme yang berbeda. Oksigen
direduksi oleh mikroorganisme anaerobik, sedangkan Mn4+ dan Fe3+ oleh
bakteri fakultatif anaerobik.
Gambar 19. Pengukuran potensial redoks dan pH
Pengukuran potensial redoks di tanah gambut ditunjukkan dalam
Gambar 19. Pengukuran dilakukan setiap seminggu sekali bersamaan
dengan pengukuran pH. Semakin kaya kandungan oksidan dalam tanah,
36
semakin lama CH4 terbentuk dalam tanah. Potensial redoks tanah diukur
dengan menggunakan alat Eh/pH meter.
Dinamika potensial redoks selam satu musim tanam ditunjukkan
dalam Gambar 20. Pada saat tanaman yaitu saat tanaman berusia 1 HST,
nilai Eh tertinggi dicapai pada tanah gambut dengan penambahan dolomit
sedangkan terendah adalah tanah gambut dengan tanpa amelioran.
Tanpa amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
P o te n s ia l re d o k s (m V )
150
100
50
0
-50
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
-100
-150
-200
-250
HST
Gambar 20. Grafik Pengukuran Potensial Redoks (Eh)
Pada awal pertumbuhan tanaman padi, Eh tanah gambut berada pada
kisaran positif, hal ini disebabkan masih tersedianya oksigen sebagai
sumber respirasi bagi bakteri yang terdapat dalam tanah. Nilai Eh
mencapai negatif untuk setiap perlakuan setelah tanaman berumur 22
HST. Untuk tanah gambut dengan tanpa amelioran, nilai Eh mencapai
positif saat tanaman berumur 71-85 HST. Hal ini disebabkan kebocoran
yang terjadi pada mikroplot, sehingga tanh gambut di dalamnya tidak
tergenang dan memungkinkan oksigen masuk ke dalam mikroplot. Nilai
Eh turun kembali menjadi negatif setelah panen (-191mV). Secara ratarata, nilai Eh yang dihasilkan adalah negatif untuk setiap perlakuan yang
diberikan terhadap tanah gambut.
37
Nilai redoks potensial tanah yang tinggi untuk tanah gambut
diduga disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa oksida pada tanah
tersebut. Tanah gambut sangat identik dengan tanah yang mengandung
besi (Fe) dan Aluminium (Al) yang tinggi. Bentuk oksida dari kedua unsur
tersebut diduga dapat menekan turunnya redoks potensial.
4.2.2. Kemasaman Tanah (pH)
Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral dan alkalin. Hal
ini didasarkan pada jumlah ion H+ dan OH- dalam larutan tanah. Bila
dalam larutan tanah ditemukan ion H+ lebih banyak dari OH- maka tanah
disebut masam, jika kondisi sebaliknya terjadi maka hal itu diebut alkalin.
Bila konsentrasi ion H+ dan OH- seimbang maka disebut netral. Untuk
menyeragamkan pengertian, sifat reaksi tersebut dinilai berdasarkan
konsentrasi ion H+ dan dinyatakan dengan pH.
Penambahan amelioran pada tanah gambut dapat meningkatkan
nilai pH tanah menjadi lebih basa atau bahkan mendekati netral. Selain
dapat meningkatkan nilai pH, penambahan amelioran juga berpengaruh
pada nilai Eh di tanah gambut. Meningkatnya pH pada tanah dengan
penambahan amelioran berpengaruh pada nilai Eh. Tanah gambut dengan
penambahan amelioran memiliki Eh rata-rata lebih besar dari -100mV, hal
ini berarti akan berpengaruh pada emisi CH4 yang dihasilkan.
Tanpa amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
7,00
6,00
pH
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
-13
-6
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
HST
Gambar 21. Grafik kemasaman tanah gambut (pH)
38
Wang et al.,(1993) menyatakan bahwa, pembentukan CH4 maksimum
terjadi pada pH 6.9 hingga 7.1. Perubahan kecil pada pH akan menyebabkan
menurunnya pembentukan CH4. Pada pH di bawah 5.75 atau di atas 8.75
menyebabkan pembentukan CH4 terhambat. Nilai pH dari tanah gambut hasil
pengukuran disajikan dalam Gambar 21. Pemberian amelioran untuk mengatasi
kemasaman sehingga dapat menaikkan pH tanah dan dapat meningkatkan
produktivitas. Tanah gambut yang mengalami peningkatan pH akan
memberikan suasana optimum bagi aktivitas mikroorganisme tanah dalam
merombak gambut.
Nilai pH terendah tanah gambut sebelum pemberian amelioran adalah
4.24. Selama pertumbuhan tanaman, pH tanah gambut berkisar antara 4.556.16. Tanah gambut dengan perlakuan pemberian dolomit memiliki pH yang
relatif konstan yaitu berkisar antara 5-6. Tetapi Yusima (1999) menyatakan
bahwa, bakteri metanogen merupakan bakteri neutrofilik yang mampu hidup
pada kisaran pH 6-8. Efek pH tanah sangat berpengaruh terhadap emisi N2O,
terutama proses denitrifikasi dan nitrifikasi. Menurut Granli (1995) bahwa jika
denitrifikasi sebagai sumber utama, peningkatan pH cenderung akan
menurunkan emisi sampai pH menjadi 6. Sedangkan jika nitrifikasi sebagai
sumber utama emisi N2O, emisi cenderung akan meningkat sejalan dengan
meningkatnya nilai pH yang berkisar antara 6-8.
4.3. Parameter Tanaman dan Komponen Hasil
Selain mengukur emisi GRK, penelitian ini juga mengukur parameterparameter tanaman yang mempengaruhi emisi GRK di lahan sawah. Parameterparameter tanaman yang diukur selama penelitian meliputi tinggi tanaman dan
jumlah anakan. Tinggi tanaman dan jumlah anakan diukur pada 8, 22, 36, 50, 64,
dan 78 HST. Parameter tanaman dianalisa statistik dengan menggunakan Duncan
Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar
perlakuan.
39
4.3.1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan
Tanaman padi merupakan penghubung dilepaskannya CH4 dari
rizosfer ke atmosfer. Tanaman padi mempunyai struktur anatomi yaitu
jaringan aerenkimia yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas antara
rizosfer dan atmosfer. Jaringan aerenkimia terdapat di batang tanaman
padi. Semakin banyak jumlah anakan maka semakin banyak batang yang
berfungsi sebagai cerobong yang menghubungkan antara rizosfer dan
atmosfer, sehingga akan semakin banyak pula emisi CH4 yang dilepaskan.
Semakin banyak jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah
pembuluh aerenkimia sehingga kapasitas angkut CH4 menjadi besar
(Aulakh et al., 2000b).
Tinggi tanaman dan jumlah anakan yang diukur setiap dua minggu
sekali berbeda untuk setiap pemberian amelioran. Tinggi tanaman dan
jumlah anakan selama percobaan disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis jumlah anakan dan tinggi anakan di tanah gambut
dengan 4 pemberian amelioran
Perlakuan
Jumlah Anakan
8 HST
22 HST
36 HST
50 HST
64 HST
78 HST
Tanpa Amelioran
2.66b
5a
10a
12,66a
11a
11,33a
Dolomit
3,33ab
6,67a
12,33a
12a
11a
10,66a
Jerami Kering
3,67a
8,66a
14,66a
14a
11,66a
12,33a
Pupuk Kandang
3,33ab
6,33a
11,33a
12,33a
12a
11a
Tinggi Tanaman
8 HST
22 HST
36 HST
50 HST
64 HST
78 HST
Tanpa Amelioran
23,33a
41,50ab
55,16ab
77,83a
98,50a
102,16a
Dolomit
24,16a
39,33ab
55,16ab
73,83a
98,33a
97,5a
Jerami Kering
25,66a
45a
63,50a
81,33a
103,33a
102,16a
Pupuk Kandang
22,83a
37,50b
50,33b
71,83a
103a
96,83a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0.05
Dari Tabel 4 di atas dapat dikatakan bahwa, terdapat perbedaan jumlah
anakan pada 8 HST. Sedangkan pada umur 22 HST hingga 78 HST tidak ada
perbedaan jumlah anakan pada setiap perlakuan. Berbeda halnya dengan tinggi
40
tanaman, perbedaan nyata terjadi hingga tanaman berumur 36 HST. Tanah
gambut dengan perlakuan tanpa amelioran memiliki tinggi tanaman tertinggi (63.5
cm). Pada saat tanaman berumur 50 HST hingga 78 HST tidak terjadi perbedaan
tinggi tanaman antar perlakuan. Berdasarkan uji DMRT, ternyata tanah gambut
dengan penambahan amelioran dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi
tanaman.
Emisi gas CH4 dari tanaman padi sawah ke atmosfer berdasarkan atas tiga
proses, yaitu (1) pelepasan gas CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara
(ebullition) (2) proses difusi yang ditentukan oleh adanya perbedaan konsentrasi
gas CH4 ke permukaan air dan (3) pelepasan melalui aerenkimia (Naharia, 2004).
Aerenkimia merupakan ruang udara yang terdapat pada pelepah daun, helai daun,
batang dan akar tanaman padi yang saling berhubungan satu sama lain, sehingga
seolah-olah membentuk pipa kecil.
4.3.2. Total Emisi Gas Rumah Kaca
Total emisi CH4, N2O, dan CO2 serta hasil gabah yang telah dianalisis
statistik disajikan dalam Tabel 5. Analisis statistik menunjukkan bahwa tanah
gambut dengan penambahan jerami kering tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa amelioran. Total emisi CH4 yang dihasilkan jerami kering
yaitu sebesar 852.95 kg/ha, diikuti tanpa amelioran, dolomit dan pupuk
kandang dengan total emisi secara berturut 837.67, 593.69, dan 546.24 kg/ha.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penambahan pupuk kandang sebagai
amelioran di tanah gambut untuk tanaman padi, dapat menekan emisi CH4.
Total emisi CH4 yang dihasilkan jerami kering tidak berbeda nyata dengan
tanah gambut tanpa amelioran. Sehingga penambahan jerami kering pada tanah
gambut tidak berpengaruh terhadap emisi CH4 yang dihasilkan.
Jika pada total emisi CH4 total emisi yang dihasilkan berbeda nyata, lain
halnya dengan total emisi N2O dan CO2. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
total emisi N2O yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Total
emisi N2O pada tanaman padi gambut dalam penelitian ini berkisar antara
berkisar antara 0.127-0.241 kg/ha. Sedangkan total emisi CO2 pada setiap
41
perlakuan selam satu musim tanam tidak berbeda nyata. Total CO2 yang
dihasilkan berkisar antara 4784.32 kg/ha sampai 5947.99 kg/ha.
Tabel 5. Total Emisi Gas Rumah Kaca dan Hasil Gabah Selama Satu Musim
Perlakuan
Emisi Gas
CH4 (kg/ha)
Emisi Gas
N2O (kg/ha)
Emisi Gas
CO2 (kg/ha)
Hasil
Gabah
(ton/ha)
Tanpa
Amelioran
837.67a
0.223a
4784.32a
4.69a
Dolomit
593.69b
0.241a
5201.69a
4.92a
Jerami
kering
852.95a
0.127a
5947.99a
4.97a
Pupuk
Kandang
546.24b
0.160a
5075.58a
4.53a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0.05
Sama halnya dengan total emisi CO2 dan N2O yang dihasilkan pada setiap
perlakuan, hasil gabah setiap perlakuan juga tidak berbeda nyata. Hasil gabah
berkisar antara 4.53 t/ha sampai 4.97 t/ha seperti disajikan dalam Tabel 5.
4.4. Global Warming Potential (GWP)
Untuk menduga berapa potensi emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari
suatu lahan pertanian, maka digunakan pendekatan menggunakan nilai Global
Warming Potential (GWP) atau biasa disebut sebagai potensi pemanasan global.
GWP digunakan untuk menyetarakan nilai masing-masing total emisi GRK
dengan nilai emisi karbondioksida (Emisi CO2-eq). Menurut data terbaru dari
IPCC tahun 2002, nilai GWP dari CH4 adalah 23 kali nilai GWP CO2 dengan
asumsi indeks GWP CO2 adalah 1, sedangkan N2O setara dengan 293 kali GWP
dari CO2. Sedangkan untuk mengetahui total emisi GRK yang setara dengan
karbon (C) dari karbondioksida atau Emisi CO2-C, dihitung dengan cara
mengalikan jumlah atom dari unsur N dalam senyawa N2O dengan 296, C dalam
senyawa CH4 dengan 23, dan C dalam CO2. Untuk mempermudah perhitungan
42
GWP yang dihasilkan dari keempat perlakuan, maka digunakan rumus sebagai
berikut:
Emisi CO2-eq = (N2O*296) + (CH4*23) + CO2
Emisi CO2-C= (N2O-N*(14/44)*296) + (CH4-C*(12/16)*23) + CO2-C*(12/44)
Hasil perhitungan menggunakan rumus di atas disajikan dalam bentuk
tabel (Lampiran 1). Jika dilihat dari nilai emisi CO2-eq yang dihasilkan dan hasil
gabah yang tidak berbeda nyata maka perlakuan pupuk kandang sebagai bahan
amelioran lebih baik daripada perlakuan tanpa amelioran, jerami kering dan
dolomit. Nilai emisi CO2-eq yang dihasilkan oleh pupuk kandang lebih kecil
dibandingkan dengan tiga perlakuan yang lain yaitu dengan emisi CO2-eq sebesar
17686,46 kg CO2-C/ha. Hal yang sama juga terjadi jika total emisi GRK dari
setiap perlakuan dijumlahkan. Perlakuan pemberian pupuk kandang lebih baik
dengan total emisi GRK lebih rendah dibanding dengan tiga perlakuan yang lain.
4.5. Kandungan Karbon Organik Pada Tanaman
Selain tanah, penanaman di lahan pertanian dan menjaga hutan tetap alami
merupakan salah satu cara yang mampu mengurangi emisi karbon di udara.
Nelson et al., (1982) berpendapat bahwa, total karbon (C) dalam tanah adalah
jumlah dari karbon organik dan karbon anorganik. Kebanyakan karbon organik
ditunjukkan dalam tanah dengan bahan yang sedikit, dimana karbon organik
ditemukan lebih besar dalam bentuk mineral karbohidrat. Tetapi yang pasti,
karbon organik terdapat dalam semua tanah pertanian. Organik karbon dapat
ditentukan langsung dengan proses total karbon setelah menghilangkan karbon
anorganik, atau dengan teknik dichromate oxidation-titration. Sedangkan menurut
Bohn (1976) dalam Schnitzer (1982) menyatakan bahwa, bahan karbon organik
tanah sangat penting dalam siklus karbon sebagai sumber utama CO2 dan karbon
reservoir yang sensitif dalam perubahan iklim dan konsentrasi CO2 di atmosfer.
Selain tanah, tanaman juga mampu menyerap karbon di atmosfer. Perbaikan
pertanian merupakan kunci utama untuk menyimpan karbon.
Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengetahui karbon
yang diserap dan tersimpan oleh tanaman sangatlah sederhana. Biomas tanaman
hanya dikeringkan lalu diabukan dalam tanur pembakar. Biomas yang telah
43
menjadi abu kemudian ditimbang dan hasil timbangan merupakan nilai karbon
organik yang mampu diserap dan disimpan oleh tanaman. Hasil analisis karbon
tanaman disajikan dalam bentuk tabel (Lampiran 2). Dari Lampiran 2 tersebut
dapat dilihat bahwa serapan karbon organik (C-organic) oleh tanaman yang
tumbuh di tanah gambut berkisar antara 49.34 % - 56.39 %, dengan perincian
berdasarkan sampel yang dianalisis sebagai berikut:
1. Gulma (C-organic) : 49.95 % - 52.85 %
2. Jerami (C-organic) : 49.34 % - 50.57 %
3. Gabah (C-organic) : 53.82 % - 56.39 %
Hasil analisis dari sampel biomas tanaman ini selanjutnya digunakan
sebagai acuan untuk mengkonversi dan menghitung kemampuan tanaman dalam
menyerap karbon dalam satuan berat per luas lahan. Hasil konversi disajikan
dalam bentuk tabel (Lampiran 3). Dari nilai kandungan karbon organik tersebut,
kemudian diambil rata-rata untuk setiap ulangan dengan perlakuan yang sama.
Ternyata untuk menghitung dan menganalisis kandungan karbon yang diserap
oleh suatu tanaman, tidak hanya menggunakan nilai kandungan karbon yang
diserap oleh tanaman bagian atas saja tetapi juga tanaman bagian bawah yaitu
akar. Karena akar padi tidak dianalisis kandungan karbonnya secara langsung,
maka untuk menghitung karbon organik yang terkandung dalam akar padi
menggunakan asumsi. Setyanto (2004) menyatakan bahwa, bobot kering akar
padi adalah 2.705 gr/rumpun. Jarak tanam pada penelitian ini adalah 20 cm x 20
cm maka, jumlah rumpun untuk 1 m2 adalah 25 sehingga untuk luas lahan 1 ha
jumlah rumpunnya adalah 250000. Bobot kering akar mencapai 676.25 kg/ha
yang diperoleh dari jumlah rumpun per hektar dikalikan dengan bobot kering akar
yang diasumsikan. Karbon organik akar diasumsikan sama dengan nilai karbon
organik dari jerami, sehingga kandungan karbon organik akar disajikan dalam
Tabel 6.
44
Tabel 6. Kandungan organik akar padi
Perlakuan
C-Organik
Akar** (%)
Kandungan
C-Organik Akar
(kg C/ha)
Tanpa Amelioran
50.13
338.99
Dolomit
50.57
341.97
Jerami Kering
49.34
333.64
Pupuk Kandang
49.81
336.83
** : C-Organik Akar diasumsikan sama dengan C-Organik jerami
Selain akar padi, perhitungan kandungan karbon organik pada akar gulma
juga dilakukan. Seperti pada akar padi, perhitungan kandungan organik akar
gulma dilakukan dengan pendekatan dan asumsi karena akar gulma tidak diambil
sampelnya untuk dianalisis langsung. Hasil perhitungan kandungan organik akar
gulma disajikan dalam bentuk tabel (Lampiran 4). Dari hasil perhitungan
kandungan C-organik baik dengan pendekatan atau asumsi maupun dengan
analisis langsung untuk setiap bagian tanaman disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Serapan karbon tanaman berdasarkan bagian tanaman
Perlakuan
Kandungan
C-Organik
Akar Jerami
(kg C/ha)
Kandungan
C-Organik
Gabah
(kg C/ha)
Kandungan
C-Organik
Jerami
(kg C/ha)
Kandungan
C-Organik
Gulma
(kg C/ha)
Kandungan
C-Organik
Akar
Gulma
(kg C/ha)
Tanpa
Amelioran
338.99
2646.67
3251.41
2.90
0.97
Dolomit
341.97
2648.47
3371.94
37.43
12.48
Jerami
Kering
333.64
2775.37
3111.74
8.36
2.79
Pupuk
Kandang
336.83
2488.02
3025.03
7.58
2.53
Dengan mengetahui kandungan karbon organik untuk setiap bagian
tanaman, maka dapat diketahui berapa total karbon organik yang diserap dan
disimpan oleh tanaman yang tumbuh di tanah gambut dengan perlakuan yang
diberikan. Selanjutnya, total kandungan karbon organik ini digunakan untuk
45
menghitung net karbon dengan mencari selisih antara emisi CO2-C dengan total
kandungan karbon organik dari tanaman. Hasil perhitungan disajikan dalam
bentuk tabel (Lampiran 5).
Berdasarkan data yang didapat diketahui bahwa, pemberian amelioran
pupuk kandang mampu menghasilkan total kandungan C-organik sebesar 5860.0
kg-C/ha, jerami kering 6231.9 kg-C/ha, tanpa amelioran 6240.9 kg-C/ha, dan
dolomit
6412.3
kg-C/ha.
Sedangkan
emisi
GRK
setara
karbon
dari
karbondioksida (Emisi CO2-C) yang dihasilkan dari pemberian amelioran pupuk
kandang sebesar 10821.96 kg CO2-C/ha, dolomit 11682.49 kg CO2-C/ha, tanpa
amelioran 15775.62 kg CO2-C/ha, dan jerami kering 16347.53 kg CO2-C/ha. Dari
hasil tersebut dapat diketahui bahwa, net karbon atau selisih antara emisi CO2-C
dengan total kandungan C-organik tanaman terendah adalah tanah gambut dengan
perlakuan pupuk kandang sebesar 4962.0 kg-C/ha disusul dolomit, tanpa
amelioran, dan jerami kering secara berturut-turut 5270.2, 9534.7, dan 10115.6
kg-C/ha.
Rasio perbandingan antara net karbon dengan hasil gabah seperti yang
disajikan dalam Tabel 8 ternyata, tanah gambut dengan perlakuan dolomit
memiliki rasio tertinggi sebesar 933.58 kg gabah/ton CO2-C. Artinya, setiap
933.58 kg gabah akan menghasilkan satu ton emisi GRK setara karbon. Perlakuan
pupuk kandang memiliki rasio tertinggi kedua setelah dolomit yaitu sebesar
913.30 kg gabah/ton CO2-C, disusul tanpa amelioran dan jerami kering masingmasing sebesar 492.13 dan 491.59 kg gabah/ton CO2-C. Dari hasil ini dapat
dilihat bahwa penambahan amelioran pada tanah gambut berpengaruh terhadap
hasil produktivitas padi.
Tabel 8. Rasio perbandingan net karbon dengan hasil gabah
Hasil Gabah
Net Karbon
Rasio Perbandingan
(kg/ha)
(ton CO2-C/ha)
(kg gabah/ton CO2-C)
Tanpa Amelioran
4690
9.53
492.13
Dolomit
4920
5.27
933.58
Jerami Kering
4970
10.11
491.59
Pupuk Kandang
4530
4.96
913.30
Perlakuan
46
Dengan menggunakan data net karbon, maka laju subsidensi (surut) atau
laju penurunan permukaan tanah gambut dapat diketahui. Jika diasumsikan tanah
gambut yang digunakan memiliki bulk density 0.1 gr/cm3, dengan luas gambut 1
ha dan kedalaman gambut 1 m maka bobot gambut adalah 1000 ton. Tetapan Corganik yang mudah teroksidasi adalah 58% dan bobot gambut dalam C-organik
adalah 580 ton. Berikut adalah perhitungan laju subsidensi dari tanah gambut:
Bobot gambut = 0.1 gr/cm3 x 10000 m2 x 1 m = 1000 ton
Bobot gambut dalam C-organik = 1000 ton x 58% = 580 ton
Laju Subsidensi:
•
Tanpa Amelioran
580/(2 x 9.534) = 29 tahun
Laju penurunan gambut : 100 cm/29 = 3.4 cm/tahun
•
Dolomit
580/(2 x 5.27) = 55 tahun
Laju penurunan gambut : 100 cm/55 = 1.8 cm/tahun
•
Jerami Kering
580/(2 x 10.11) = 28 tahun
Laju penurunan gambut : 100 cm/28 = 3.5 cm/tahun
•
Pupuk Kandang
580/(2 x 4.96) = 58 tahun
Laju penurunan gambut : 100 cm/58 = 1.7 cm/tahun
Perhitungan laju subsidensi gambut menggunakan net karbon dengan
catatan bahwa total biomas dikembalikan ke dalam tanah gambut. Jika total
biomas tidak dikembalikan, maka nilai emisi CO2-C yang digunakan untuk
menghitung laju subsidensi tanah gambut dengan cara perhitungan yang sama.
Dari perhitungan di atas dapat diketahui jika total biomas dikembalikan lagi ke
dalam tanah gambut maka pemberian pupuk kandang memiliki kemampuan
menjaga tanah gambut (kedalaman 1 m)hingga 58 tahun dengan laju penurunan
gambut sebesar 1.7 cm/tahun. Hal ini berarti, gambut yang diberikan amelioran
dapat digunakan lagi untuk pertanian selama 58 tahun. Pemberian dolomit
mampu menjaga tanah gambut hingga 55 tahun, dengan laju penurunan gambut
47
sebesar 1.8 cm/tahun. Berbeda dengan pemberian amelioran jerami kering
yang hanya mampu menjaga gambut selama 28 tahun dengan laju penurunan
gambut sebesar 3.5 cm/tahun. Tidak berbeda jauh dengan jerami kering, tanah
gambut yang diberi amelioran memiliki laju penurunan gambut sebesar 3.4
cm/tahun. Umumnya laju penurunan gambut tanpa penambahan amelioran
berkisar antara 2-3 cm/tahun.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian tentang emisi GRK di lahan padi gambut
dan analisis serapan karbon oleh tanaman selama satu musim tanam yang
dilakukan di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati-Jawa Tengah
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Hasil penelitian selama satu musim tanam menunjukkan bahwa emisi CH4
terbesar dihasilkan oleh tanah gambut dengan pemberian jerami kering dan
tanpa amelioran dengan total emisi 852.95 kg/ha dan 837.67 kg/ha, kemudian
diikuti oleh perlakuan dolomit dan pupuk kandang dengan total emisi masingmasing yaitu 593.69 kg/ha dan 546.24 kg/ha.
Total emisi N2O tidak berbeda nyata antar perlakuan. Emisi N2O dari
penelitian ini berkisar antara 0.127-0.241 kg/ha. Total emisi CO2 juga tidak
berbeda nyata anatar perlakuan. Emisi CO2 yang dihasilkan dari empat
perlakuan berkisar antara 4784.32-5947.99 kg/ha. Hasil perhitungan emisi
GRK setara karbondioksida (Emisi CO2-eq) menunjukkan bahwa tanah
gambut dengan pemberian amelioran jerami kering menghasilkan emisi CO2eq tertinggi dibandingkan dengan tanpa amelioran, dolomit dan pupuk
kandang. Jerami kering menghasilkan emisi CO2-eq sebesar 25603.43 kg
CO2-eq/ha. Sedangkan emisi CO2-eq terendah dihasilkan oleh pemberian
amelioran pupuk kandang sebesar 17686,46 kg CO2-eq/ha.
2.
Pemberian amelioran pupuk kandang pada tanah gambut mampu
menghasilkan total kandungan C-organik sebesar 5860.0 kg-C/ha, jerami
kering 6231.9 kg-C/ha, tanpa amelioran 6240.9 kg-C/ha, dan dolomit 6412.3
kg-C/ha. Berdasarkan data ini maka, tanah gambut dengan penambahan
dolomit memiliki daya absorbsi karbon yang tinggi. Sedangkan emisi GRK
setara karbon dari karbondioksida (Emisi CO2-C) yang dihasilkan dari
pemberian amelioran sebesar 10821.96 kg CO2-C/ha, diikuti dolomit, tanpa
amelioran, dan jerami kering masing-masing sebesar 11682.49, 15775.62, dan
16347.53 kg CO2-C/ha.
49
Net karbon terendah dihasilkan oleh tanah gambut dengan perlakuan
pupuk kandang sebesar 4962.0 kg-C/ha, diikuti perlakuan dolomit sebesar
5270.2 kg-C/ha, tanpa amelioran 9534.7 kg-C/ha, dan tertinggi jerami kering
10115.6 kg-C/ha. Rasio perbandingan antara net kabon dengan hasil gabah
pada tanah gambut dengan penambahan dolomit sebesar 933.58 kg gabah/ton
CO2-C, disusul pupuk kandang, tanpa amelioran, dan jerami kering masingmasing sebesar 912.93, 491.92, dan 491.34 kg gabah/ton CO2-C. Artinya,
setiap satu kg gabah menghasilkan satu ton emisi. Penambahan amelioran
pada tanah gambut ternyata berpengaruh terhadap hasil produktivitas padi dan
emisi GRK yang dihasilkan.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa laju subsidensi atau laju
penurunan permukaan tanah gambut dengan perlakuan pupuk kandang sebesar
1.7 cm/tahun. Sehingga penambahan pupuk kandang mampu menjaga tanah
gambut (kedalaman 1 m) hingga 58 tahun, yang berarti tanah gambut dapat
digunakan lagi selama 58 tahun. Pemberian dolomit mampu menjaga tanah
gambut hingga 55 tahun, dengan laju penurunan gambut sebesar 1.8 cm/tahun.
Laju subsiden tanah gambut dengan penambahan jerami kering dan tanah
gambut tanpa amelioran tidak berbeda jauh, masing-masing sebesar 3.5 dan
3.4 cm/tahun.
Kemampuan tanaman padi dalam melepas gas metana (CH4) dipengaruhi
oleh beberapa parameter antara lain jumlah anakan, tinggi tanaman, dan
biomas tanaman yang semuanya dipengaruhi oleh pemberian perlakuan ke
tanah gambut.
5.2. Saran
Analisis kandungan karbon organik pada akar baik akar padi maupun akar
gulma tidak dilakukan, sehingga perhitungan kandungan karbon organik
dilakukan dengan menggunakan asumsi dan pendekatan. Karena serapan karbon
organik tidak hanya dilakukan oleh tanaman bagian atas saja tetapi, tanaman
bagian bawah yaitu akar. Selain itu analisis kandungan karbon organik dari tanah
gambut yang digunakan tidak dilakukan. Diharapkan untuk penelitian lebih lanjut,
analisis kandungan karbon organik pada akar dan tanah gambut dapat dilakukan.
50
DAFTAR PUSTAKA
Aulakh MS, J Bodenbender, R Wassmann and H Rennnenberg. 2000b. Methane
transport capacity of rice plant. II. variation among different rice cultivars
and relationship with morphological characteristics. Nut Cycl in
Agroecosyst 58: 367-375.
Bappenas. 2004. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Indonesia. Antara
Krisis dan Peluang. Jakarta.
Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi
Karbon. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Boer, R., I. Nasution., I. Las dan A. Bey. 1996. Emisi Metan dari Lahan Gambut
Sejuta Hektar Kalimantan Tengah. Jurnal Agromet Vol. XII No. 1 dan 2,
1996/1997. pp.31-38.
Bohn. 1976. Estimate of Organic Carbon in World Soils. Soil Science Social
America. J. 40:468-469 dalam Schnitzer. 1982. Organic Matter
Characterization. Chemical and Microbiological Properties-Agronomy
Monograph No.9 (2nd edition).
Bouwman, A.F. 1990. Introduction. In Bouwman (Editor). Soil and Greenhouse
Effect. John Wiley & Son, New York, 25-35.
Chang, C., H.H. Jansen, C.M. Cho dan E.M. Nakonechny. 1998. Nitrous oxide
Emission through plants. Soil Science Am. Journal 62: 35-38.
Cicerone, R.J. 1987. Changes in Stratospheric Ozone. Sciences 237 : 35 – 42.
----------, R.J. 1989. Analysis of Sources and Sink of Atmospheric Nitrous Oxide
(N2O). J. Geophys. Res. 94: 1825 –1827.
Ciceron R. J. And R. S. Oremland. 1988. Biogeochemical Aspects of Atmospheric
Methane. Global Biogeochem. Cycles2, 299-327.
Dickenson, R.e., and R.J. Cicerone. 1986. Future Global Warming From
Atmospheric Traces Gases. Nature 319 : 109 – 115.
Erickson, H.E. dan M. Keller. 1997. tropical land use change and soil emissions
of nitrogen oxides. Soil use and management 13:278-287.
Granli, T. dan O. C. Bockman. 1994. Nitous Oxide from Agricultural. Norwegian
Journal of Agricuktural Sciances, Supplement 12 : 7-128.
Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai
MacamPenggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF,
SEA Regional Office, Universitas Brawijaya, Unibraw, Indonesia. p 77.
Hakim, N., M. Yusuf N., A.M. Lubis., Sutopo G.N., M. Rusdi S., M. Amin Diha.,
Go Ban Hong., dan H.H. Bailey.1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit
Universitas Lampung: Lampung.
Hardjowigeno. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapres.Jakarta.
Hardy, R.W.F. & E. Knight jr. 1966. Reduction of N2O by biological N2-fixing
systems. Biochem. Biophys. Res. Commun. 23: 409-414.
Haynes, R.J. 1986. Nitrification. pp. 127-165 in R.J. Haynes & F.L. Orlando
(eds.). Mineral nitrogen. In the plant-soil system. Academic Press, New
York, NY.
51
Hutabarat, Lusida. 2001. Emisi Nitrous Oksida (N2O) Pada Berbagai Tipe
Penggunaan Lahan di Kuamang Kuning, Provinsi Jambi. Skripsi.
Fakulktas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian
Bogor.
IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change). 1991. the Supplementary
Report to The IPCC Scientific Assesment Cambridge University Press.
Cambridge.
-----------. 1992. the Supplementary Report to The IPCC Scientific Assesment
Cambridge University Press. Cambridge.
Khalil, M.A.K. dan M.J. Shearer. 1993. Sources of Methane: an overview. Dalam:
Khalil, M.A.K, editor. Athmospheric Methane: Sources, Sinks, and Role in
Global Change. Heidelberg . Springer-verlag. hlm:180-198.
Kimura MD, H Murakami, H Wada. 1991. CO2, H2 and CH4 Production in Rice
Rhizosphere. Soil Sci. Plant Nutr 37 : 55-60.
Lal. 2002. Soil Carbon Dynamics in Cropland and Rangeland. Environmental
Pollution. 116: 353-362.
Mosier, A.R., K.F. Bronson, J.R. Freney, and D.G. Keerthisinghe. 1994. Use
Nitrification Inhibitors to Reduce Nitrous Oxide Emission From Urea
Fertilized Soils. Dalam CH4 and N2O: Global Emissions and Controls
from Rice Field and Other Agricultural and Industrial Sources. NIAES.
Pp. 187 – 196.
Mulya, S.H., Ade R., Arti D., Agus G., Triny S.K., dan Iwan J. 2003. Dampak
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Terhadap Kelestarian Lingkungan
Pertanian. Prosiding Sem. Nas. Pengelolaan Lingkungan Pertanian.
Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanaian.
Naharia. 2004. Teknologi pengairan dan pengolahan tanah pada budidaya padi
sawah untuk mitigasi gas metana (CH4). Disertasi. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands InternationalIndonesia Programme.
Nelson, D.W. and L.E. Sommers. 1982. Total Carbon, Organic Carbon, and
Organic Matter. Chemical and Microbiological Properties-Agronomy
Monograph No.9 (2nd edition).
Neue. 1993. Methane Emission From Rice Fields. Bioscience 43: 466-474.
Nurmaini. 2001. Peningkatan Zat-Zat Pencemar Mengakibatkan Pemanasan
Global. http://library.usu.ac.id (diakses, 07 April 2008)
Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta.
Patrick, Jr., W.H., and C.N. Reddy. 1977. Chemical and Biological Redox
Systems Affecting Nutrient Availability in The Coastal Wetlands.
Geosciences and Man 28: 131-137 Dalam Setyanto, P. 1994. Penelitian
Emisi Gas Metan di Kebun Percobaan Jakenan. Makalah.
Powlson, D.S., and D. Olk. 2000. Long-term Soil Organic Matter Dynamics.
52
Pp. 49-63 in Kirk, G.J.D., and D.C. Olk (eds.). Carbon and Nitrogen
Dynamics in Flooded Soils. International Rice Research Institute.
Philippines.
Raimbault, M. Rinando, G. Garcia, L. and M, Boureau. 1977. A Device to Study
Metabolic Gases in The Rice Rhizosphere. Biol Biogeochem 9: 193-196.
Rennenberg, H., R. Wassmann, H. Papen, and W. Seiler. 1992. Trace Gas
Exchange In Rice Cultivation. Ecological Bulletin 42 : 164 – 173.
Sabiham S, Mario MD, Barchia MF. 2003. Emisi-C dan produktivitas tanah pada
lahan gambut yang diusahakan untuk pertanian. Dalam: Noor YR,
Muslihat.
Sahrawat, K.Z. and Keeney, D.R. 1994. Nitrous Oxide Emission From Soils.
In B.A. Stewart (eds). Advances In Soil Science, Vol. 4. springer-Verlag,
New York. pp:119.
Schutz, H., W. Seiler, dan R. Conrad. 1989. Influence of Soil Temperature on
Methane Emission from Rice Paddy Fields. Biogeochemistry 11: 77-95
Setiadi. 1990. Gambut:Tantangan dan Peluang. Jakarta: Departemen Pekerjaan
Umum.
Setyanto, Prihasto. 1994. Penelitian Emisi Gas Metan di Kebun Percobaan
Jakenan. Makalah.
-------------. 2004. Mitigasi gas metan dari lahan sawah. Tanah Sawah dan
Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Hlm 287-303.
-------------. 2004. Methane Emission and It’s Mitigation in Rice Fields Under
Different Management Practices in Central Java. Disertation. Serdang:
Universiti Putra Malaysia.
-------------. 2005. Pengaruh Varietas Padi Pasang Surut Terhadap Emisi Gas
Rumah Kaca di Lahan Sawah Pasang Surut. Laporan Akhir. Loka
Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian. Puslitbangtanak, Badan
Litbang Pertanian.
Skiba, U., K.A. Smith dan D. Fowler. 1993. nitrification and denitrification as
resources of nitric oxide and nitrous oxide in sandy loam soil. Soil
biologhy biochemistry 25(11): 1527-1536.
Stouthamer, A.H. 1988. Dissimilatory reduction of oxidized nitrogen compounds.
pp. 245-303. In A.J.B. Zehnder (ed.). Biology of aerobic microorganisms.
John Wiley & Sons Ltd., New York, NY.
Subagyo. 2003. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk
pengembangan pertanian. Di dalam: Noor YR, Muslihat L, Ilman M,
editor. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Bogor: Wetlands
International-Indonesia Programme. Hlm 197-208.
Veldkamp, E., dan M. Keller. 1997. Nitrogen oxide emission from a banana
plantation in the humid tropics. Journal Geophysics research no. D13
(102): 15889-15898.
Veldkamp, E., M. Keller dan Marvin N. 1998. Effect of pasture management on
N2O and NO emissions from soils in the humid tropics of costa rica.
Global biogchemical cycles 12: 71-79.
53
Wang, Z.P., R.D. De Laune, P.H. Masscheley, and W.H. Patrick. 1993. soil redox
and pH effects on methane production in a flooded rice soil. Journal soil
science society America 57: 382—385.
Watanabe, I. and P.A. Roger. 1985. Ecology of Flooded Rice Fields. P. 229-243
in Wtland Soils: Characterization, Classification, and Utilization.
International Rice Research Institute. Los Banos, Philipines.
Yagi, K. dan K. Minami. 1990. Effect of Soil Organic matter Application on
Methane Emission From Some Japanese Paddy Fields. Soil Science Plant
Nutrition 36: 599-610
Yusima. 1999. Potensi produksi gas metan (CH4) pada tanah sawah di daerah
sentra produksi padi Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
54
55
Lampiran 1. Total emisi gas rumah kaca dan global warming potential (GWP) selama satu musim tanam.
Perlakuan
Total Emisi
CO2 (kg/ha)
Total Emisi
CH4 (kg/ha)
Total Emisi
N2O (kg/ha)
Jumlah
Total Emisi
(kg/ha)
Emisi CO2-eq
(kgCO2-eq)
Emisi CO2-eq
(tonCO2-eq)
Emisi CO2-C
(kg CO2-C/ha)
Hasil gabah
(ton)
Tanpa
Amelioran
4784.32
837.67
0.223
5622.21
24116.74
24.12
15775.62
4.69a
Dolomit
5201.69
593.69
0.241
5795.62
18927.90
18.93
11682.49
4.92a
Jerami
Kering
5947.99
852.95
0.127
6801.06
25603.43
25.60
16347.53
4.97a
Pupuk
Kandang
5075.58
546.24
0.160
5621.98
17686.46
17.69
10821.96
4.53a
GWP (Global Warming Potential) adalah angka yang digunakan untuk menyetarakan nilai potensi pemanasan global dari CH4-C
dan N2O-N yang disetarakan dengan nilai CO2-C.
Emisi CO2-eq = (N2O*296) + (CH4*23) + CO2
Emisi CO2-C= (N2O-N*(14/44)*296) + (CH4-C*(12/16)*23) + CO2-C*(12/44)
56
Lampiran 2. Hasil analisis C-organik tanaman di tanah gambut
Sample
Perlakuan
Gulma
Tanpa Amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
7.41
7.77
7.58
7.99
Tanpa Amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
Tanpa Amelioran
Dolomit
Jerami Kering
Pupuk Kandang
Jerami
Gabah
A (gram) B (gram)
7.46
7.81
7.62
8.03
Kadar Air
(%)
5.56
4.76
2.33
4.44
C-Organik
(%)
49.95
52.48
52.61
52.85
Kadar Abu
(%)
13.89
9.52
9.30
8.89
11.97
12
12.46
12.31
11.27
11.32
11.72
11.52
1.23
2.56
1.15
2.17
50.13
50.57
49.34
49.81
13.58
12.82
14.94
14.13
13.06
21.98
12.29
13.43
10.62
20.05
10.55
11.53
11.16
8.17
11.05
9.95
56.39
53.82
55.76
54.83
2.79
7.21
3.87
5.47
C (gram)
D (gram)
7.79
8.21
8.02
8.46
7.77
8.19
8.01
8.44
11.16
11.22
11.59
11.39
11.98
12.02
12.47
12.33
10.55
19.9
10.48
11.42
13.34
22.15
12.49
13.63
Ket: A = Bobot Cawan Kosong
B = Bobot Cawan Kosong + Contoh
C = Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu 1050 C
D = Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu 7000 C
1.724 = Rumus Baku ( kadar C 58% mudah teroksidasi)
57
Lampiran 3. Hasil konversi dan perhitungan karbon tanaman per luas lahan
Berat biomas panen (g)
3
1
1
U/P
Basah
(ubinan)
I-1
I-2
I-3
I-4
1570
II-1
II-2
II-3
II-4
1347
III-1
III-2
III-3
III-4
2058
1439
1273
1707
1854
1980
1541
1899
1928
1957
KA Biomas
(%)
Berat
Biomass
Atas Pada
KA 14 %
(kg/ha)
Kandungan
C-organik
biomas atas
pada KA 14%
(kg/ha)
Sampel(basah)
Sampel(Kering)
299
300
224
349
100
100
87
107
66.56
610.56
6105.62
3060.59
66.67
557.75
5577.52
2820.45
61.16
574.91
5749.12
2836.46
69.34
608.55
6085.46
3031.07
297
410
422
400
108
148
115
125
63.64
569.56
5695.56
2855.04
63.90
778.20
7781.96
3935.19
72.75
627.41
6274.11
3095.48
68.75
559.96
5599.56
2789.05
300
432
351
390
96
130
108
112
68.00
765.77
7657.67
3838.60
69.91
664.49
6644.86
3360.18
69.23
689.80
6898.03
3403.30
71.28
653.50
6535.00
3254.98
KA 14% Biomass = ((sampel basah- sampel kering) / sampel basah) x 100
Biomass Ubinan = ((100-KA biomass) / (100-14)) x berat basah biomass
3
Berat Biomass = (biomass ubinan/1000) x (10000/1)
4
Kandungan C-Organik Biomass = Berat biomass x C-Organik
2
4
Biomass
Ubinan Atas
KA 14%
(gr/m2)
2
1 : Tanpa Amelioran
2 : Dolomit
3 : Jerami Kering
4 : Pupuk Kandang
58
Lampiran 3 (lanjutan). Hasil konversi dan perhitungan karbon tanaman per luas lahan
Berat gulma (g)
1
Berat gulma
ubinan atas KA 14
% (g/m2)
3
4
Berat gulma pada
KA 14 % (kg/ha)
Kandungan
C-organik Gulma
KA 14% (kg/ha)
U/P
Basah
(ubinan)
Kering
(Ubinan)
I-1
I-2
I-3
I-4
11.6
4.7
8.1
7.2
1.1
0.7
2.7
1.2
90.52
1.28
12.79
6.39
85.11
0.81
8.14
4.27
66.67
3.14
31.40
16.52
83.33
1.40
13.95
7.37
II-1
II-2
II-3
II-4
1.2
4.7
11.2
10.4
0.3
0.3
1.1
2.1
75.00
0.35
3.49
1.74
93.62
0.35
3.49
1.83
90.18
1.28
12.79
6.73
79.81
2.44
24.42
12.90
III-1
III-2
III-3
III-4
0.4
83.2
2.3
1.4
0.1
17.4
0.3
0.4
75.00
0.12
1.16
0.58
79.09
20.23
202.33
106.18
86.96
0.35
3.49
1.84
71.43
0.47
4.65
2.46
KA 14 % Gulma = ((berat basah-berat kering) / berat basah) x 100
Berat Gulma Ubinan = ((100-KA 14%) / (100-14)) x berat basah
3
Berat Gulma = (berat gulma ubinan/1000) x (10000/1)
4
Kandungan C-Organik = Berat Gulma x C-Organik Gulma
2
2
KA 14%
Gulma (%)
1
1 : Tanpa Amelioran
2 : Dolomit
3 : Jerami Kering
4 : Pupuk Kandang
59
Lampiran 3 (lanjutan). Hasil konversi dan perhitungan karbon tanaman per luas lahan
GKG Kotor KA 14%
Kandungan C-organik
U/P
GKG Kotor KA 14% (kg/ha)
(ton/ha)
Gabah (ton/ha)
Kandungan C-Organik
Gabah (kg/ha)
I-1
4.56
2.57
4556.63
2569.34
I-2
4.68
2.52
4678.45
2518.02
I-3
3.51
1.96
3509.33
1956.85
I-4
4.73
2.59
4729.30
2593.09
II-1
4.53
2.55
4525.89
2552.01
II-2
5.00
2.69
4998.76
2690.41
II-3
5.49
3.06
5492.09
3062.47
II-4
3.72
2.04
3720.93
2040.20
III-1
5.00
2.82
4998.76
2818.65
III-2
5.09
2.74
5085.27
2736.98
III-3
5.93
3.31
5930.23
3306.78
III-4
5.16
2.83
5162.79
2830.77
1 : Tanpa Amelioran
2 : Dolomit
3 : Jerami Kering
4 : Pupuk Kandang
60
Lampiran 4. Hasil perhitungan kandungan organik pada akar gulma
U/P
Berat Gulma KA 14%
(kg/ha)
Berat Akar Gulma*
(kg/ha)
Kandungan C-Organik Akar
Gulma** (%)
Kandungan C-Organik Akar Gulma
(kg/ha)
I-1
I-2
I-3
12.79
8.14
31.40
4.26
2.71
10.47
49.95
52.48
52.61
2.13
1.42
5.51
I-4
13.95
4.65
52.85
2.46
II-1
3.49
1.16
49.95
0.58
II-2
3.49
1.16
52.48
0.61
II-3
12.79
4.26
52.61
2.24
II-4
24.42
8.14
52.85
4.30
III-1
1.16
0.39
49.95
0.19
III-2
III-3
202.33
3.49
67.44
1.16
52.48
52.61
35.39
0.61
III-4
4.65
1.55
52.85
0.82
* : Berat akar gulma = 1/3 * berat gulma KA 14%
** : Asumsi Kandungan C-Organik Akar Gulma sama dengan Kandungan C-Organik Gulma
1 : Tanpa Amelioran
2 : Dolomit
3 : Jerami Kering
4 : Pupuk Kandang
61
Lampiran 5. Hasil perhitungan total kandungan karbon organik dan net karbon
1
2
Kandungan
C-Organik
Gabah
(kg-C/ha)
3
Kandungan
C-Organik
Jerami
(kg-C/ha)
4
Kandungan
C-Organik
Gulma
(kg-C/ha)
5
6
Perlakuan
Kandungan
C-Organik
Akar Padi
(kg-C/ha)
Kandungan
C-Organik
Akar Gulma
(kg-C/ha)
Total
Kandungan
C-Organik
(kg-C/ha)
Emisi CO2-C
(kg CO2-C/ha)
Tanpa
Amelioran
338.99
2646.67
3251.41
2.90
0.97
6240.9
15775.62
9534.7
Dolomit
341.97
2648.47
3371.94
37.43
12.48
6412.3
11682.49
5270.2
Jerami Kering
333.64
2775.37
3111.74
8.36
2.79
6231.9
16347.53
10115.6
Pupuk Kandang
336.83
2488.02
3025.03
7.58
2.53
5860.0
10821.96
4962.0
7
8
Net Karbon
(kg-C/ha)
1
Kandungan C-Organik Akar Padi = Bobot Kering Akar x C-Organik Jerami
Kandungan C-Organik Gabah = GKG Kotor KA 14% x C-Organik Gabah
3
Kandungan C-Organik Jerami = Berat Jerami KA 14% x C-Organik Jerami
4
Kandungan C-Organik Gulma = Berat Gulma KA 14% x C-Organik Gulma
5
Kandungan C-Organik Akar Gulma = Berat Akar Gulma x C-Organik Gulma
6
Total Kandungan C-Organik = Jumlah Total Kandungan C-Organik
7
Emisi CO2-C = (N2O-N x 14/44 x 296) + (CH4-C x 23 x 12/16) + (CO2-C x 12/44)
8
Net Karbon = Emisi CO2-C – Total Kandungan C-Organik
2
62
Download