strategi untuk membangun motivasi intrinsik siswa

advertisement
STRATEGI UNTUK MEMBANGUN MOTIVASI INTRINSIK SISWA
(STUDI KASUS DI KAMPUNG INGGRIS SEMARANG)
Rohani
[email protected]
Abstrak
Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa motivasi instrinsik lebih unggul dibandingkan
motivasi ekstrinsik. Makalah ini menyajikan usaha-usaha yang dilakukan oleh lembaga Kampung
Inggris Semarang untuk meningkatkan motivasi instrinsik siswa dalam belajar bahasa Inggris.
Usaha-usaha yang dilakukan lembaga tersebut terinspirasi oleh penelitian empiris Dornyei dan
Csizer (1998) yang menekankan apa yang bisa dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi
siswa. Laporan penelitian ini kemudian dikenal dengan Ten Commandments for Motivating
Learners (Sepuluh Pedoman untuk Memotivasi Siswa). Penelitian ini bersifat studi kasus dengan
pendekatan deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, dan focus
group discussion. Penelitian ini menemukan bahwa sepuluh pedoman yang dikemukakan oleh
Dornnyei dan Csizer (1998) untuk meningkatkan motivasi siswa tampak dipraktekkan di Kampung
Inggris Semarang dengan melalui berbagai macam strategi.
Kata Kunci: motivasi belajar, motivasi intrinsik, Kampung Inggris Semarang
PENDAHULUAN
Selama beberapa dasa warsa penelitian dalam bidang motivasi dalam pemerolehan bahasa
kedua sangat terpengaruh oleh karya Robert Gardner dan rekan-rekannya (Gardner & Lambert 1972;
Gardner 1985; Gardner 1985; Gardner & MacIntyre 1991, 1993; Gardner & Tremblay 1994).
Penelitian oleh Gardner dan rekan-rekanya berfokus pada dikotomi orientasi, bukan motivasi.
Orientasi artinya adalah tujuan belajar, sedangkan motivasi artinya adalah intensitas dorongan untuk
belajar. Orientasi yang integratif maknanya adalah siswa belajar bahasa kedua untuk tujuan sosial atau
budaya, dan dalam tujuan itu, siswa bisa didorong oleh motivasi tinggi atau motivasi rendah. Dalam
orientasi instrumental, siswa belajar bahasa untuk meningkatkan karir atau studi. Orientasi integratif
dan orientasi instrumental nampak jelas berbeda.
Orientasi instrumental dan integratif berbeda dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Orientasi
mengacu kepada tujuan belajar. Sementara motivasi mengacu kepada rentang intensitas dorongan
rasa, dari sangat dalam dan berakar dalam diri sendiri sampai pada pengharapan imbalan yang berasal
dari luar dirinya.
Edward Deci (1975: 23) mendefinisikan motivasi intrinsik sebagai berikut:
Kegiatan yang bermotivasi intrinsik adalah yang tidak ada imbalannnya kecuali kegiatan itu
sendiri. Orang nampak asyik dalam kegiatan tersebut untuk tujuan mereka sendiri bukan karena
kegiatan tersebut menghasilkan hasil yang bersifat ekstrinsik. … Perilaku yang termotivasi secara
intrinsik bertujuan untuk menghasilkan imbalan yang bersifat internal, yakni perasaan mampu dan
mandiri. Sebaliknya, tindakan yang termotivasi secara ekstrinsik dilaksanakan dengan
mengharapkan imbalan dari luar. Imbalan ekstrinsik yang umum misalnya adalah uang, hadiah,
nilai, bahkan umpan balik positif tertentu. Tindakan yang dilakukan hanya karena untuk
menghindari hukuman juga termotivasi secara ekstrinsik, walaupun berbagai keuntungan intrinsik
bisa akhirnya dimiliki oleh orang yang berpendapat bahwa menghindari hukuman adalah
tantangan yang bisa membangun perasaan mampu dan mandiri.
Banyak sekali penelitian yang secara meyakinkan menemukan bahwa motivasi intrinsik lebih
kuat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik terutama untuk ingatan jangka panjang. Piaget (1972)
189
Seminar Nasional Unnes-TEFLIN
dan yang lainnya menunjukkan bahwa manusia pada umumnya memandang ketidakseimbangan,
ketidakpastian, dan ketidakekuilibiriuman, sebagai memotivasi. Dengan kata lain, kita mencari
tantangan tertentu. Kemudian kita melakukan tindakan yang bertujuan untuk menaklukkan situasi
yang menantang tersebut. Ketidakseimbangan itu sendiri tidak memotivasi, tetapi ketidakseimbangan
opsional-atau apa yang Krashen (1985) sebut ―i + 1‖ memungkinkan untuk bereskan.
Maslow (1970) mengklaim bahwa motivasi intrinsik jelas-jelas lebih unggul dibandingkan
motivasi ekstrinsik. Menurut hirarki kebutuhannya, kita pada akhirnya termotivasi untuk mencapai
―aktualisasi diri‖ setelah tercapainya kebutuhan fisik dasar, keamanan, dan kebutuhan bermasyarakat.
Tidak peduli apakah ada motivasi ekstrinsik atau tidak, kita akan berusaha keras untuk meraih harga
diri dan kepuasan diri.
Dornyei dan Csizer (1998: 215) mengemukakan Ten Commandment (sepuluh pedoman) untuk
memotivasi siswa, berdasarkan survei guru-guru bahasa asing di Hungaria. Kesepuluh pedoman
tersebut berpusat pada apa yang bisa dilakukan oleh guru untuk merangsang motivasi intrinsik.
1. Jadilah suri taudalan
2. Ciptakan suasa kelas yang nyaman dan santai
3. Berikan tugas secara tepat
4. Ciptakan hubungan yang baik dengan siswa
5. Tingkatkan kepercayaan diri siswa dalam menggunakan bahasa asing
6. Buatlah kelas menarik
7. Tingkatkan kemandirian siswa dalam belajar
8. Perhatikan keunikan individu dalam belajar
9. Tingkatkan fokus akan tujuan belajar
10. Kenalkan siswa dengan budaya masyarakat yang berbahasa Inggris
SUBJEK PENELITIAN
Kampung Inggris Semarang adalah lembaga pendidikan bahasa Inggris non formal resmi
dengan izin operasional dari Dinas Pendidikan. Lembaga ini berkembang pesat. Sejak berdirinya di
tahun 2012, ribuan siswa telah mengikuti berbagai program kursus yang ditawarkan oleh lembaga
tersebut . Salah satu daya tarik dari lembaga tersebut adalah komitmennya untuk membantu siswa
agar bisa berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris dengan cara yang mudah, cepat, dan
menyenangkan. Lembaga tersebut meyakini bahwa salah satu faktor keberhasilan belajar adalah
motivasi intrinsik. Makalah ini menggambarkan usaha yang dilakukan oleh Kampung Inggris
Semarang sebagai lembaga dan para guru di sana untuk menerapkan sepuluh pedoman yang
dikemukakan oleh Dornyei dan Csizer (1998) untuk meningkatkan motivasi intrinsik para siswa.
Pedoman Pertama: Jadilah Suri Tauladan
Guru adalah teladan bagi siswanya. Apa yang dilakukan oleh guru akan diikuti oleh siswanya.
Guru bahasa Inggris mengharapkan siswanya untuk memiliki kecakapan dan sekaligus sikap yang
baik. Kecakapan yang diharapkan dari siswa adalah kecakapan dalam berkomunikasi secara aktif
dalam bahasa Inggris. Sikap yang baik yang diharapkan dari siswa misalnya adalah sikap disiplin,
berani mengambil resiko, dan percaya diri. Kecakapan dan sikap-sikap tersebut harus ditunujukkan
terlebih dahulu oleh guru sebagi contoh untuk diteladani siswa.
Di Kampung Inggris Semarang, dalam interaksi keseharian guru secara konsisten menggunakan
bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan civitas akademika. Tidak jarang siswa tidak langsung
memahami apa yang dikatakan oleh guru, tetapi guru tetap konsisten untuk menunjukkan contoh
penggunaan bahasa Inggris dalam komunikasi yang nyata. Kadang-kadang karena keterbatasannya
siswa bertanya kepada guru dalam bahasa Indonesia, demi untuk menjaga konsistensi guru menjawab
pertanyaan tersebut dalam bahasa Inggris. Seringkali jawaban tersebut harus diulang-ulang,
190
Seminar Nasional Unnes-TEFLIN
diparafrase, atau didukung dengan peragaan dengan bahasa tubuh untuk membuatnya menjadi lebih
jelas. Contoh yang ditunjukkan oleh guru ini memberikan pelajaran kepada siswa bahwa lain kali
mereka harus menggunakan bahasa Inggris dengan lebih berani.
Dalam hal sikap, guru menunjukkan kedisiplinan dengan datang lebih awal dan pulang paling akhir.
Sebelum jam pembelajaran dimulai guru telah lebih dulu datang ke ruang kelas untuk menyapa para
siswa agar merasa nyaman dan akrab. Disamping itu, guru juga menyiapkan peralatan-peralatan yang
akan digunakan dalam pembelajaran, misalnya laptop, LCD, speaker, worksheet, dan sebagainya.
Pada saat jam pembelajaran usai. Guru tidak langsung mengemasi peralatan-peralatan pribadinya,
seperti laptop, buku-buku, dan sebagainya. Guru meluangkan waktu untuk menutup pelajaran dengan
salam, memimpin berdoa, dan menyalami para siswa. Kadang-kadang ada siswa yang bertanya
setelah jam pelajaran usai. Guru melayani menjawab pertanyaan siswa ini semaksimal mungkin. Guru
yang mengajar kelas anak-anak selepas jam mengajar berkewajiban untuk memastikan bahwa mereka
telah dijemput oleh orang tua atau anggota keluarganya yang lain. Mereka menemani siswa sampai
penjemputnya datang.
Pedoman Kedua: Ciptakan Suasana Kelas yang Nyaman dan Santai
Suasana ruang kelas yang santai akan mendorong siswa untuk belajar dengan lebih baik.
Krashen(1985) menekankan pentingnya low affective filter selama proses pembelajaran. Low
affective filter dicapai melalui suasana yang santai dan aman, jauh dari rasa khawatir dan tertekan.
Di Kampung Inggris Semarang, suasana kelas yang menyenangkan dan santai diwujudkan dengan
berbagai macam cara. Musik dan gerak dipadukan dan digunakan untuk membangun nuansa
menyenangkan. Di awal pelajaran, siswa masuk kelas disambut dengan musik pembangkit semangat.
Kemudian mereka diajak untuk melakukan gerakan-gerakan pemecah kesunyian (ice breaking)
diiringi dengan musik dengan ritme penuh semangat.
Untuk membangun nuansa santai maka guru diwajibkan mengenal pribadi siswa semaksimal
mungkin, dimulai dari menghafal nama-nama mereka. Guru juga harus menjalin keakraban dengan
siswa dengan mengajaknya berbincang-bincang mengenai dirinya, keluarganya, dan kegiatannya.
Untuk itu setiap guru memiliki biodata lengkap dari setiap siswa. Dengan biodata lengkap ini guru
bisa memulai perbincangan mengenai kehidupan pribadi siswa dengan tepat.
Pedoman Ketiga: Berikan Tugas Secara Tepat
Di Kampung Inggris Semarang siswa dikelompokkan berdasarkan kelompok usia dan
kelompok kepentingan. Siswa usia TK, SD, SMP, dan SMA dikelompokkan dengan siswa yang
seusia. Program untuk TK adalah Pre English for Children. Untuk SD adalah English for Children,
SMP English for Teenagers, dan SMA English for adults. Siswa usia SMA ke atas bisa mengambil
program berdasarkan kepentingan, yakni English Conversation, TOEFL/TOEIC/IELTS preparation,
atau English for Specific Purposes. Pengelompokkan siswa berdasarkan umur dan kepentingan
tersebut memungkinkan kegiatan pembelajaran bisa dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
siswa.
Ketepatan tugas belajar juga diusahakan dengan beragamnya durasi dan frekwensi belajar.
Secara umum program kursus di Kampung Inggris Semarang menerapkan penjejangan program dan
level, misalnya Program English Conversation, Level 1 sampai Level 4. Satu level ditempuh dalam
dua belas kali tatap muka dengan durasi masing-masing tatap muka sembilan puluh menit. Frekwensi
tatap muka per levelnya adalah bervariasi, disesuaikan dengan keadaan dan kemauan siswa. Variasi
frekwensi tersebut adalah regular (seminggu sekali), intensive (seminggu dua kali), fiesta (setiap
hari), weekend (stiap akhir pekan-dengan menginap), dan holiday fiesta (stiap musim libur sekolah,
selama tujuh hari penuh, dengan menginap).
191
Seminar Nasional Unnes-TEFLIN
Pedoman Keempat: Ciptakan Hubungan yang Baik dengan Siswa
Hubungan yang baik antara guru dan siswa dibangun dengan adanya perhatian guru kepada
siswa. Perhatian di sini adalah perhatian yang bersifat lebih pribadi, lebih dari sekedar perhatian
secara akademis. Pada saat hari ulang tahun siswa, lembaga menyampaikan ucapan selamat ulang
tahun secara resmi kepada siswa melalui guru masing-masing. Pada saat siswa tidak bisa hadir, maka
guru diwajibkan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mengirim sms, menelepon, atau
mengunjungi rumah siswa tersebut. Hubungan baik juga diciptakan tidak hanya antar guru dan siswa,
tetapi juga antara guru dengan orang tua siswa. Secara periodik diadakan sarasehan dengan orang tua
siswa. Dalam acara sarasehan tersebut orang tua siswa diberi penjelasan mengenai proses
pemerolehan bahasa asing serta strategi-strategi yang bisa ditempuh untuk membantu putra-putri
mereka agar bisa belajar lebih efektif dan lebih cepat menguasai bahasa Inggris. Pertemuan dengan
orang tua siswa juga dilakukan secara informal pada saat ada hal yang perlu dikomunikasikan. Setiap
akhir triwulan, siswa mendapatkan laporan hasil belajar yang diserahkan kepada orang tua siswa
melalui sebuah pertemuan. Pada saat itulah orang tua dan guru bisa saling berkomunikasi dengan
lebih dekat mengenai perkembangan prestasi putra/putri mereka.
Pedoman Kelima: Tingkatkan Kepercayaan Diri Siswa dalam Menggunakan Bahasa Inggris
Kampung Inggris Semarang berpandangan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi oleh tiga
faktor. Faktor yang pertama adalah pengetahuan yang mendalam. Siswa akan merasa percaya diri jika
dia mengetahui dan meyakini bahwa apa yang ia ucapkan adalah akurat sesuai dengan kaidah
berbahasa yang baik. Faktor yang kedua adalah latihan. Setelah mengetahui apa yang akurat maka
siswa perlu berlatih untuk membiasakan diri. Faktor yang ketiga adalah lingkungan yang mendukung.
Orang-orang yang berada disekitar siswa memegang peranan penting sebagai faktor yang mendukung
siswa untuk merasa percaya diri.
Berdasarkan ketiga prinsip di atas, Kampung Inggris Semarang menerapkan berbagai strategi untuk
meningkatkan rasa percaya diri siswa. Untuk membangun pengetahuan siswa, maka materi
pembelajaran disajikan secara sistematik, mulai dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Untuk
mendapatkan latihan yang memadai, maka diberlakukan prinsip pembelajaran yang mengutamakan
praktek dibandingkan dengan teori. Untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, semua guru
diwajibkan untuk bersikap positif dengan segala kelebihan dan kelemahan siswa. Siswa terus
diberikan dorongan untuk menyadari kelebihannya dan memperbaiki kekurangannya dengan cara-cara
yang nyaman dan tidak menyinggung.
Pedoman Keenam: Buatlah Kelas Menarik
Untuk membuat kelas menarik ada banyak sekali yang dilakukan oleh Kampung Inggris
Semarang. Kemenarikan kelas muncul dari semua aspek yang terkait dengan pembelajaran, yakni
guru, metode, bahan ajar, media, ruang kelas, dan sebagainya. Dari sisi metode misalnya, Kampung
Inggris Semarang menerapkan prinsip bahwa pembelajaran harus mengakomodir semua tipe gaya
belajar. Oleh karena itu, sangat ditekankan kepada guru untuk memvariasikan kegiatan pembelajaran.
Setiap kegiatan pembelajaran harus mengakomodir jenis-jenis gaya belajar yang berbeda. Misalnya
tipe visual, auditory, dan kinesthetic. Untuk memaksimalkan potensi visual disediakan media yang
bisa dilihat oleh mata, misalnya gambar yang berwarna-warni atau grafik yang menarik perhatian.
Untuk memaksimalkan potensi auditory, disediakan media audio misalnya dalam bentuk rekaman
contoh-contoh dialog atau monolog. Juga disediakan musik-musik yang digunakan sebagai pengisi
kesenyapan dan latar belakang suara pada sebuah aktifitas. Untuk memaksimalkan tipe belajar
kinesthetic, kegiatan pembelajaran melibatkan kegiatan fisik yang menuntut siswa untuk bergerak.
192
Seminar Nasional Unnes-TEFLIN
Pedoman Ketujuh: Tingkatkan Kemandirian Siswa dalam Belajar
Kemandirian belajar didorong dengan menyediakan wahana bagi siswa untuk mengeksplorasi
bahan ajar secara mandiri dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Tersedia forum interaksi
online antara siswa dan guru dan antar sesama siswa melalui media sosial (facebook group). Guru
bertindak sebagai moderator dalam forum tersebut. Sebagai moderator guru menyediakan berbagai
macam materi yang bisa diakses secara online oleh siswa. Guru juga memberikan tugas-tugas yang
dikerjakan secara online oleh siswa. Selain menggunakan sarana TIK, di kampus Kampung Inggris
Semarang juga tersedia perpustakaan dan pusat permainan edukatif yang memungkinkan siswa untuk
belajar secara mandiri tanpa pengawasan langsung dari guru.
Strategi lain untuk meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar adalah diadakannya kegiatan yang
bersifat sukarela, misalnya English Community. Dalam kegiatan ini siswa dari berbagai kelas bertemu
dalam forum yang lebih santai. Dibawah bimbingan para mentor mereka berlatih percakapan bahasa
Inggris melalui berbagai kegiatan yang menyenangkan, seperti permainan, quiz, dan perlombaan.
Kegiatan ini dilaksanakan secara periodik dan bersifat tidak wajib. Nampak bahwa antusisme siswa
untuk mengikuti kegiatan ini cukup tinggi.
Pedoman Kedelapan: Perhatikan Keunikan Individu dalam Proses Belajar
Setiap individu memiliki kekhasan yang berbeda satu sama lain. Di Kampung Inggris
Semarang kekhasan karakter setiap siswa dikenali secara mendalam sejak awal mereka belajar.
Informasi penting yang harus dikenali oleh guru adalah latar belakang keluarga. Latar belakang
keluarga sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Siswa dengan keluarga yang mendukung
nampak secara psikologis lebih stabil dan lebih dewasa. Sedangkan siswa dengan keluarga yang
kurang mendukung nampak menunjukkan sifat keuletan yang lebih lemah. Karakter yang kedua yang
harus difahami oleh guru adalah kecepatan daya tangkap. Sebagian siswa adalah pembelajar yang
cepat menangkap pelajaran. Sebagaian yang lain adalah normal dan lebih lambat. Ada juga siswa
yang memiliki kebutuhan khusus. Baik siswa yang sangat cepat, biasa, lambat, ataupun berkebutuhan
khusus diberikan perlakuan khas yang sesuai dengan keadaan masing-masing. Perhatian yang bersifat
individual ini dipantau oleh manager akademik dan direktur sebagai atasan guru. Siswa-siswa yang
masuk dalam pantauan khusus dilaporkan kemajuannya secara khusus kepada atasan sebagai bahan
untuk tindak lanjut.
Pedoman Kesembilan: Tingkatkan Fokus Akan Tujuan Belajar
Untuk meningkatkan fokus akan tujuan belajar dilakukan analisis kebutuhan pada awal masa
belajar. Kebutuhan siswa yang terkait dengan bahasa Inggris diidentifikasi melalui wawancara.
Pengindentifikasian kebutuhan ini bertujuan untuk menunjukkan kepada siswa keuntungan yang akan
mereka peroleh dengan menguasai bahasa Inggris. Pada saat yang sama juga ditunjukkan kerugiankerugian yang bisa diderita jika tidak menguasai bahasa Inggris. Nampak para pembelajar dewasa
yang sudah bekerja atau menempuh pendidikan tinggi kebanyakan telah memiliki tujuan yang jelas,
yakni menyangkut peningkatan karir atau studi. Sedangkan anak-anak belum mampu menunjukkan
kejelasan tujuan belajar. Oleh karenanya, kepada anak-anak diberikan wawasan mengenai pentingnya
bahasa Inggris bagi masa depan mereka. Pada siswa usia dini tujuan pembelajaran ini diperkuat
dengan kenangan-kenangan positif yang mereka dapatkan selama mengikuti pembelajaran. Mereka
belum semuanya bisa secara kongkret mengkomunikasikan tujuan mereka belajar bahasa Inggris. Hal
ini tentu saja terkait degan perkembangan usia dan kemampuan penalaran mereka. Jadi, untuk para
pembelajar usia dini, fokus akan tujuan belajar bahasa Inggris diperkuat dengan kegiatan-kegiatan
yang menyenangkan sehingga mereka memiliki minat yang kuat untuk belajar.
193
Seminar Nasional Unnes-TEFLIN
Pedoman Kesepuluh: Kenalkan Siswa dengan Budaya Masyarakat yang Berbahasa Inggris
Pedoman yang kesepuluh adalah mengenalkan siswa dengan budaya masyarakat yang
berbahasa Inggris. Strategi ini direalisasikan melalui kegiatan guest lecture dimana para guru tamu
yang berasal dari negara berbahasa Inggris didatangkan untuk menyampaikan materi tentang negara
dan kebudayaannya. Acara ini dipandu oleh guru Kampung Inggris Semarang sehingga interaksi
antara pembicara tamu dengan para siswa bisa terlaksana dengan aktif. Di samping guest lecture,
untuk mengenalkan siswa dengan budaya masyarakat yang berbahasa Inggris, berbagai materi yang
mengandung kekhasan budaya negara berbahasa Inggris juga digunakan. Dengan melalui materi
tersebut siswa belajar kebiasaan-kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan budaya mereka sendiri.
PENUTUP
Sepuluh pedoman untuk meningkatakn motivasi siswa yang dikemukakan oleh Dornyei dan
Csizer (1998) nampak jelas tergambar dalam kegiatan di Kampung Inggris Semarang. Pedomanpedoman tersebut direalisasikan dalam bentuk kebijakan lembaga dan juga inisiatif guru sebagai
pribadi. Disarankan kepada Kampung Inggris Semarang untuk terus memperkuat usaha-usaha untuk
meningkatkan motivasi siswa. Kepada para peneliti yang ingin mengkaji permasalahan serupa
disarankan untuk mengkaji secara lebih kritis dan detil tentang implementasi sepuluh pedoman untuk
meningkatan motivasi siswa tersebut. Kajian yang lebih kritis dan detil tersebut diharapkan
menghasilkan pedoman yang lebih terperinci dan aplikatif.
DATAR PURSTAKA
Deci, EL., 1975, Intrinsic Motivation, Plenum Press, New York.
Dornyei, Z., Csizer, K., 1998, Ten Commandments for Motivationg Language Learners, Language
Teaching Research 2: 203-29.
Gardner, RC., 1985, Social Psychology and Second Language Learning, Edward Arnold, London.
Gardner, RC., Lambert, WE, 1972, Attitudes and Motivation in Second Language Learning, Newbury
House, Rowley: MA.
Gardner, RC., MacIntyre, PD., 1991, An instrumental motivation in language study: who says it isn‘t
effective? Studies in Second Language Acquisition 13: 57-72.
Gardner, RC., Tremblay, PF., 1994, On motivation, research agendas, and theoretical frameworks,
Modern Languange Journal 78: 359-68.
Krashen, SD., 1985, The Input Hypothesis, Longman, London.
Maslow, AH., 1970, Motivation and Personality: Second Edition, Harper and Row, New York.
Piaget, J., 1972, The Principles of Genetic Epistemology, Basic Books, New York.
194
Download