STRATEGI UNTUK MEMBANGUN MOTIVASI INTRINSIK SISWA (STUDI KASUS DI KAMPUNG INGGRIS SEMARANG) Rohani [email protected] Abstrak Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa motivasi instrinsik lebih unggul dibandingkan motivasi ekstrinsik. Makalah ini menyajikan usaha-usaha yang dilakukan oleh lembaga Kampung Inggris Semarang untuk meningkatkan motivasi instrinsik siswa dalam belajar bahasa Inggris. Usaha-usaha yang dilakukan lembaga tersebut terinspirasi oleh penelitian empiris Dornyei dan Csizer (1998) yang menekankan apa yang bisa dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi siswa. Laporan penelitian ini kemudian dikenal dengan Ten Commandments for Motivating Learners (Sepuluh Pedoman untuk Memotivasi Siswa). Penelitian ini bersifat studi kasus dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, dan focus group discussion. Penelitian ini menemukan bahwa sepuluh pedoman yang dikemukakan oleh Dornnyei dan Csizer (1998) untuk meningkatkan motivasi siswa tampak dipraktekkan di Kampung Inggris Semarang dengan melalui berbagai macam strategi. Kata Kunci: motivasi belajar, motivasi intrinsik, Kampung Inggris Semarang PENDAHULUAN Selama beberapa dasa warsa penelitian dalam bidang motivasi dalam pemerolehan bahasa kedua sangat terpengaruh oleh karya Robert Gardner dan rekan-rekannya (Gardner & Lambert 1972; Gardner 1985; Gardner 1985; Gardner & MacIntyre 1991, 1993; Gardner & Tremblay 1994). Penelitian oleh Gardner dan rekan-rekanya berfokus pada dikotomi orientasi, bukan motivasi. Orientasi artinya adalah tujuan belajar, sedangkan motivasi artinya adalah intensitas dorongan untuk belajar. Orientasi yang integratif maknanya adalah siswa belajar bahasa kedua untuk tujuan sosial atau budaya, dan dalam tujuan itu, siswa bisa didorong oleh motivasi tinggi atau motivasi rendah. Dalam orientasi instrumental, siswa belajar bahasa untuk meningkatkan karir atau studi. Orientasi integratif dan orientasi instrumental nampak jelas berbeda. Orientasi instrumental dan integratif berbeda dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Orientasi mengacu kepada tujuan belajar. Sementara motivasi mengacu kepada rentang intensitas dorongan rasa, dari sangat dalam dan berakar dalam diri sendiri sampai pada pengharapan imbalan yang berasal dari luar dirinya. Edward Deci (1975: 23) mendefinisikan motivasi intrinsik sebagai berikut: Kegiatan yang bermotivasi intrinsik adalah yang tidak ada imbalannnya kecuali kegiatan itu sendiri. Orang nampak asyik dalam kegiatan tersebut untuk tujuan mereka sendiri bukan karena kegiatan tersebut menghasilkan hasil yang bersifat ekstrinsik. … Perilaku yang termotivasi secara intrinsik bertujuan untuk menghasilkan imbalan yang bersifat internal, yakni perasaan mampu dan mandiri. Sebaliknya, tindakan yang termotivasi secara ekstrinsik dilaksanakan dengan mengharapkan imbalan dari luar. Imbalan ekstrinsik yang umum misalnya adalah uang, hadiah, nilai, bahkan umpan balik positif tertentu. Tindakan yang dilakukan hanya karena untuk menghindari hukuman juga termotivasi secara ekstrinsik, walaupun berbagai keuntungan intrinsik bisa akhirnya dimiliki oleh orang yang berpendapat bahwa menghindari hukuman adalah tantangan yang bisa membangun perasaan mampu dan mandiri. Banyak sekali penelitian yang secara meyakinkan menemukan bahwa motivasi intrinsik lebih kuat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik terutama untuk ingatan jangka panjang. Piaget (1972) 189 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN dan yang lainnya menunjukkan bahwa manusia pada umumnya memandang ketidakseimbangan, ketidakpastian, dan ketidakekuilibiriuman, sebagai memotivasi. Dengan kata lain, kita mencari tantangan tertentu. Kemudian kita melakukan tindakan yang bertujuan untuk menaklukkan situasi yang menantang tersebut. Ketidakseimbangan itu sendiri tidak memotivasi, tetapi ketidakseimbangan opsional-atau apa yang Krashen (1985) sebut ―i + 1‖ memungkinkan untuk bereskan. Maslow (1970) mengklaim bahwa motivasi intrinsik jelas-jelas lebih unggul dibandingkan motivasi ekstrinsik. Menurut hirarki kebutuhannya, kita pada akhirnya termotivasi untuk mencapai ―aktualisasi diri‖ setelah tercapainya kebutuhan fisik dasar, keamanan, dan kebutuhan bermasyarakat. Tidak peduli apakah ada motivasi ekstrinsik atau tidak, kita akan berusaha keras untuk meraih harga diri dan kepuasan diri. Dornyei dan Csizer (1998: 215) mengemukakan Ten Commandment (sepuluh pedoman) untuk memotivasi siswa, berdasarkan survei guru-guru bahasa asing di Hungaria. Kesepuluh pedoman tersebut berpusat pada apa yang bisa dilakukan oleh guru untuk merangsang motivasi intrinsik. 1. Jadilah suri taudalan 2. Ciptakan suasa kelas yang nyaman dan santai 3. Berikan tugas secara tepat 4. Ciptakan hubungan yang baik dengan siswa 5. Tingkatkan kepercayaan diri siswa dalam menggunakan bahasa asing 6. Buatlah kelas menarik 7. Tingkatkan kemandirian siswa dalam belajar 8. Perhatikan keunikan individu dalam belajar 9. Tingkatkan fokus akan tujuan belajar 10. Kenalkan siswa dengan budaya masyarakat yang berbahasa Inggris SUBJEK PENELITIAN Kampung Inggris Semarang adalah lembaga pendidikan bahasa Inggris non formal resmi dengan izin operasional dari Dinas Pendidikan. Lembaga ini berkembang pesat. Sejak berdirinya di tahun 2012, ribuan siswa telah mengikuti berbagai program kursus yang ditawarkan oleh lembaga tersebut . Salah satu daya tarik dari lembaga tersebut adalah komitmennya untuk membantu siswa agar bisa berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris dengan cara yang mudah, cepat, dan menyenangkan. Lembaga tersebut meyakini bahwa salah satu faktor keberhasilan belajar adalah motivasi intrinsik. Makalah ini menggambarkan usaha yang dilakukan oleh Kampung Inggris Semarang sebagai lembaga dan para guru di sana untuk menerapkan sepuluh pedoman yang dikemukakan oleh Dornyei dan Csizer (1998) untuk meningkatkan motivasi intrinsik para siswa. Pedoman Pertama: Jadilah Suri Tauladan Guru adalah teladan bagi siswanya. Apa yang dilakukan oleh guru akan diikuti oleh siswanya. Guru bahasa Inggris mengharapkan siswanya untuk memiliki kecakapan dan sekaligus sikap yang baik. Kecakapan yang diharapkan dari siswa adalah kecakapan dalam berkomunikasi secara aktif dalam bahasa Inggris. Sikap yang baik yang diharapkan dari siswa misalnya adalah sikap disiplin, berani mengambil resiko, dan percaya diri. Kecakapan dan sikap-sikap tersebut harus ditunujukkan terlebih dahulu oleh guru sebagi contoh untuk diteladani siswa. Di Kampung Inggris Semarang, dalam interaksi keseharian guru secara konsisten menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan civitas akademika. Tidak jarang siswa tidak langsung memahami apa yang dikatakan oleh guru, tetapi guru tetap konsisten untuk menunjukkan contoh penggunaan bahasa Inggris dalam komunikasi yang nyata. Kadang-kadang karena keterbatasannya siswa bertanya kepada guru dalam bahasa Indonesia, demi untuk menjaga konsistensi guru menjawab pertanyaan tersebut dalam bahasa Inggris. Seringkali jawaban tersebut harus diulang-ulang, 190 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN diparafrase, atau didukung dengan peragaan dengan bahasa tubuh untuk membuatnya menjadi lebih jelas. Contoh yang ditunjukkan oleh guru ini memberikan pelajaran kepada siswa bahwa lain kali mereka harus menggunakan bahasa Inggris dengan lebih berani. Dalam hal sikap, guru menunjukkan kedisiplinan dengan datang lebih awal dan pulang paling akhir. Sebelum jam pembelajaran dimulai guru telah lebih dulu datang ke ruang kelas untuk menyapa para siswa agar merasa nyaman dan akrab. Disamping itu, guru juga menyiapkan peralatan-peralatan yang akan digunakan dalam pembelajaran, misalnya laptop, LCD, speaker, worksheet, dan sebagainya. Pada saat jam pembelajaran usai. Guru tidak langsung mengemasi peralatan-peralatan pribadinya, seperti laptop, buku-buku, dan sebagainya. Guru meluangkan waktu untuk menutup pelajaran dengan salam, memimpin berdoa, dan menyalami para siswa. Kadang-kadang ada siswa yang bertanya setelah jam pelajaran usai. Guru melayani menjawab pertanyaan siswa ini semaksimal mungkin. Guru yang mengajar kelas anak-anak selepas jam mengajar berkewajiban untuk memastikan bahwa mereka telah dijemput oleh orang tua atau anggota keluarganya yang lain. Mereka menemani siswa sampai penjemputnya datang. Pedoman Kedua: Ciptakan Suasana Kelas yang Nyaman dan Santai Suasana ruang kelas yang santai akan mendorong siswa untuk belajar dengan lebih baik. Krashen(1985) menekankan pentingnya low affective filter selama proses pembelajaran. Low affective filter dicapai melalui suasana yang santai dan aman, jauh dari rasa khawatir dan tertekan. Di Kampung Inggris Semarang, suasana kelas yang menyenangkan dan santai diwujudkan dengan berbagai macam cara. Musik dan gerak dipadukan dan digunakan untuk membangun nuansa menyenangkan. Di awal pelajaran, siswa masuk kelas disambut dengan musik pembangkit semangat. Kemudian mereka diajak untuk melakukan gerakan-gerakan pemecah kesunyian (ice breaking) diiringi dengan musik dengan ritme penuh semangat. Untuk membangun nuansa santai maka guru diwajibkan mengenal pribadi siswa semaksimal mungkin, dimulai dari menghafal nama-nama mereka. Guru juga harus menjalin keakraban dengan siswa dengan mengajaknya berbincang-bincang mengenai dirinya, keluarganya, dan kegiatannya. Untuk itu setiap guru memiliki biodata lengkap dari setiap siswa. Dengan biodata lengkap ini guru bisa memulai perbincangan mengenai kehidupan pribadi siswa dengan tepat. Pedoman Ketiga: Berikan Tugas Secara Tepat Di Kampung Inggris Semarang siswa dikelompokkan berdasarkan kelompok usia dan kelompok kepentingan. Siswa usia TK, SD, SMP, dan SMA dikelompokkan dengan siswa yang seusia. Program untuk TK adalah Pre English for Children. Untuk SD adalah English for Children, SMP English for Teenagers, dan SMA English for adults. Siswa usia SMA ke atas bisa mengambil program berdasarkan kepentingan, yakni English Conversation, TOEFL/TOEIC/IELTS preparation, atau English for Specific Purposes. Pengelompokkan siswa berdasarkan umur dan kepentingan tersebut memungkinkan kegiatan pembelajaran bisa dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Ketepatan tugas belajar juga diusahakan dengan beragamnya durasi dan frekwensi belajar. Secara umum program kursus di Kampung Inggris Semarang menerapkan penjejangan program dan level, misalnya Program English Conversation, Level 1 sampai Level 4. Satu level ditempuh dalam dua belas kali tatap muka dengan durasi masing-masing tatap muka sembilan puluh menit. Frekwensi tatap muka per levelnya adalah bervariasi, disesuaikan dengan keadaan dan kemauan siswa. Variasi frekwensi tersebut adalah regular (seminggu sekali), intensive (seminggu dua kali), fiesta (setiap hari), weekend (stiap akhir pekan-dengan menginap), dan holiday fiesta (stiap musim libur sekolah, selama tujuh hari penuh, dengan menginap). 191 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN Pedoman Keempat: Ciptakan Hubungan yang Baik dengan Siswa Hubungan yang baik antara guru dan siswa dibangun dengan adanya perhatian guru kepada siswa. Perhatian di sini adalah perhatian yang bersifat lebih pribadi, lebih dari sekedar perhatian secara akademis. Pada saat hari ulang tahun siswa, lembaga menyampaikan ucapan selamat ulang tahun secara resmi kepada siswa melalui guru masing-masing. Pada saat siswa tidak bisa hadir, maka guru diwajibkan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mengirim sms, menelepon, atau mengunjungi rumah siswa tersebut. Hubungan baik juga diciptakan tidak hanya antar guru dan siswa, tetapi juga antara guru dengan orang tua siswa. Secara periodik diadakan sarasehan dengan orang tua siswa. Dalam acara sarasehan tersebut orang tua siswa diberi penjelasan mengenai proses pemerolehan bahasa asing serta strategi-strategi yang bisa ditempuh untuk membantu putra-putri mereka agar bisa belajar lebih efektif dan lebih cepat menguasai bahasa Inggris. Pertemuan dengan orang tua siswa juga dilakukan secara informal pada saat ada hal yang perlu dikomunikasikan. Setiap akhir triwulan, siswa mendapatkan laporan hasil belajar yang diserahkan kepada orang tua siswa melalui sebuah pertemuan. Pada saat itulah orang tua dan guru bisa saling berkomunikasi dengan lebih dekat mengenai perkembangan prestasi putra/putri mereka. Pedoman Kelima: Tingkatkan Kepercayaan Diri Siswa dalam Menggunakan Bahasa Inggris Kampung Inggris Semarang berpandangan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah pengetahuan yang mendalam. Siswa akan merasa percaya diri jika dia mengetahui dan meyakini bahwa apa yang ia ucapkan adalah akurat sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik. Faktor yang kedua adalah latihan. Setelah mengetahui apa yang akurat maka siswa perlu berlatih untuk membiasakan diri. Faktor yang ketiga adalah lingkungan yang mendukung. Orang-orang yang berada disekitar siswa memegang peranan penting sebagai faktor yang mendukung siswa untuk merasa percaya diri. Berdasarkan ketiga prinsip di atas, Kampung Inggris Semarang menerapkan berbagai strategi untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa. Untuk membangun pengetahuan siswa, maka materi pembelajaran disajikan secara sistematik, mulai dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Untuk mendapatkan latihan yang memadai, maka diberlakukan prinsip pembelajaran yang mengutamakan praktek dibandingkan dengan teori. Untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, semua guru diwajibkan untuk bersikap positif dengan segala kelebihan dan kelemahan siswa. Siswa terus diberikan dorongan untuk menyadari kelebihannya dan memperbaiki kekurangannya dengan cara-cara yang nyaman dan tidak menyinggung. Pedoman Keenam: Buatlah Kelas Menarik Untuk membuat kelas menarik ada banyak sekali yang dilakukan oleh Kampung Inggris Semarang. Kemenarikan kelas muncul dari semua aspek yang terkait dengan pembelajaran, yakni guru, metode, bahan ajar, media, ruang kelas, dan sebagainya. Dari sisi metode misalnya, Kampung Inggris Semarang menerapkan prinsip bahwa pembelajaran harus mengakomodir semua tipe gaya belajar. Oleh karena itu, sangat ditekankan kepada guru untuk memvariasikan kegiatan pembelajaran. Setiap kegiatan pembelajaran harus mengakomodir jenis-jenis gaya belajar yang berbeda. Misalnya tipe visual, auditory, dan kinesthetic. Untuk memaksimalkan potensi visual disediakan media yang bisa dilihat oleh mata, misalnya gambar yang berwarna-warni atau grafik yang menarik perhatian. Untuk memaksimalkan potensi auditory, disediakan media audio misalnya dalam bentuk rekaman contoh-contoh dialog atau monolog. Juga disediakan musik-musik yang digunakan sebagai pengisi kesenyapan dan latar belakang suara pada sebuah aktifitas. Untuk memaksimalkan tipe belajar kinesthetic, kegiatan pembelajaran melibatkan kegiatan fisik yang menuntut siswa untuk bergerak. 192 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN Pedoman Ketujuh: Tingkatkan Kemandirian Siswa dalam Belajar Kemandirian belajar didorong dengan menyediakan wahana bagi siswa untuk mengeksplorasi bahan ajar secara mandiri dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Tersedia forum interaksi online antara siswa dan guru dan antar sesama siswa melalui media sosial (facebook group). Guru bertindak sebagai moderator dalam forum tersebut. Sebagai moderator guru menyediakan berbagai macam materi yang bisa diakses secara online oleh siswa. Guru juga memberikan tugas-tugas yang dikerjakan secara online oleh siswa. Selain menggunakan sarana TIK, di kampus Kampung Inggris Semarang juga tersedia perpustakaan dan pusat permainan edukatif yang memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri tanpa pengawasan langsung dari guru. Strategi lain untuk meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar adalah diadakannya kegiatan yang bersifat sukarela, misalnya English Community. Dalam kegiatan ini siswa dari berbagai kelas bertemu dalam forum yang lebih santai. Dibawah bimbingan para mentor mereka berlatih percakapan bahasa Inggris melalui berbagai kegiatan yang menyenangkan, seperti permainan, quiz, dan perlombaan. Kegiatan ini dilaksanakan secara periodik dan bersifat tidak wajib. Nampak bahwa antusisme siswa untuk mengikuti kegiatan ini cukup tinggi. Pedoman Kedelapan: Perhatikan Keunikan Individu dalam Proses Belajar Setiap individu memiliki kekhasan yang berbeda satu sama lain. Di Kampung Inggris Semarang kekhasan karakter setiap siswa dikenali secara mendalam sejak awal mereka belajar. Informasi penting yang harus dikenali oleh guru adalah latar belakang keluarga. Latar belakang keluarga sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Siswa dengan keluarga yang mendukung nampak secara psikologis lebih stabil dan lebih dewasa. Sedangkan siswa dengan keluarga yang kurang mendukung nampak menunjukkan sifat keuletan yang lebih lemah. Karakter yang kedua yang harus difahami oleh guru adalah kecepatan daya tangkap. Sebagian siswa adalah pembelajar yang cepat menangkap pelajaran. Sebagaian yang lain adalah normal dan lebih lambat. Ada juga siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Baik siswa yang sangat cepat, biasa, lambat, ataupun berkebutuhan khusus diberikan perlakuan khas yang sesuai dengan keadaan masing-masing. Perhatian yang bersifat individual ini dipantau oleh manager akademik dan direktur sebagai atasan guru. Siswa-siswa yang masuk dalam pantauan khusus dilaporkan kemajuannya secara khusus kepada atasan sebagai bahan untuk tindak lanjut. Pedoman Kesembilan: Tingkatkan Fokus Akan Tujuan Belajar Untuk meningkatkan fokus akan tujuan belajar dilakukan analisis kebutuhan pada awal masa belajar. Kebutuhan siswa yang terkait dengan bahasa Inggris diidentifikasi melalui wawancara. Pengindentifikasian kebutuhan ini bertujuan untuk menunjukkan kepada siswa keuntungan yang akan mereka peroleh dengan menguasai bahasa Inggris. Pada saat yang sama juga ditunjukkan kerugiankerugian yang bisa diderita jika tidak menguasai bahasa Inggris. Nampak para pembelajar dewasa yang sudah bekerja atau menempuh pendidikan tinggi kebanyakan telah memiliki tujuan yang jelas, yakni menyangkut peningkatan karir atau studi. Sedangkan anak-anak belum mampu menunjukkan kejelasan tujuan belajar. Oleh karenanya, kepada anak-anak diberikan wawasan mengenai pentingnya bahasa Inggris bagi masa depan mereka. Pada siswa usia dini tujuan pembelajaran ini diperkuat dengan kenangan-kenangan positif yang mereka dapatkan selama mengikuti pembelajaran. Mereka belum semuanya bisa secara kongkret mengkomunikasikan tujuan mereka belajar bahasa Inggris. Hal ini tentu saja terkait degan perkembangan usia dan kemampuan penalaran mereka. Jadi, untuk para pembelajar usia dini, fokus akan tujuan belajar bahasa Inggris diperkuat dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan sehingga mereka memiliki minat yang kuat untuk belajar. 193 Seminar Nasional Unnes-TEFLIN Pedoman Kesepuluh: Kenalkan Siswa dengan Budaya Masyarakat yang Berbahasa Inggris Pedoman yang kesepuluh adalah mengenalkan siswa dengan budaya masyarakat yang berbahasa Inggris. Strategi ini direalisasikan melalui kegiatan guest lecture dimana para guru tamu yang berasal dari negara berbahasa Inggris didatangkan untuk menyampaikan materi tentang negara dan kebudayaannya. Acara ini dipandu oleh guru Kampung Inggris Semarang sehingga interaksi antara pembicara tamu dengan para siswa bisa terlaksana dengan aktif. Di samping guest lecture, untuk mengenalkan siswa dengan budaya masyarakat yang berbahasa Inggris, berbagai materi yang mengandung kekhasan budaya negara berbahasa Inggris juga digunakan. Dengan melalui materi tersebut siswa belajar kebiasaan-kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan budaya mereka sendiri. PENUTUP Sepuluh pedoman untuk meningkatakn motivasi siswa yang dikemukakan oleh Dornyei dan Csizer (1998) nampak jelas tergambar dalam kegiatan di Kampung Inggris Semarang. Pedomanpedoman tersebut direalisasikan dalam bentuk kebijakan lembaga dan juga inisiatif guru sebagai pribadi. Disarankan kepada Kampung Inggris Semarang untuk terus memperkuat usaha-usaha untuk meningkatkan motivasi siswa. Kepada para peneliti yang ingin mengkaji permasalahan serupa disarankan untuk mengkaji secara lebih kritis dan detil tentang implementasi sepuluh pedoman untuk meningkatan motivasi siswa tersebut. Kajian yang lebih kritis dan detil tersebut diharapkan menghasilkan pedoman yang lebih terperinci dan aplikatif. DATAR PURSTAKA Deci, EL., 1975, Intrinsic Motivation, Plenum Press, New York. Dornyei, Z., Csizer, K., 1998, Ten Commandments for Motivationg Language Learners, Language Teaching Research 2: 203-29. Gardner, RC., 1985, Social Psychology and Second Language Learning, Edward Arnold, London. Gardner, RC., Lambert, WE, 1972, Attitudes and Motivation in Second Language Learning, Newbury House, Rowley: MA. Gardner, RC., MacIntyre, PD., 1991, An instrumental motivation in language study: who says it isn‘t effective? Studies in Second Language Acquisition 13: 57-72. Gardner, RC., Tremblay, PF., 1994, On motivation, research agendas, and theoretical frameworks, Modern Languange Journal 78: 359-68. Krashen, SD., 1985, The Input Hypothesis, Longman, London. Maslow, AH., 1970, Motivation and Personality: Second Edition, Harper and Row, New York. Piaget, J., 1972, The Principles of Genetic Epistemology, Basic Books, New York. 194