RUU Pengesahan Konvensi Internasional

advertisement
Masukan ELSAM dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
dengan Komisi 1 DPR RI terkait dengan Pembahasan
RUU Pengesahan Konvensi Internasional Penanggulangan
Tindakan Terorisme Nuklir (International Convention for
the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism)
Jakarta, 5 Februari 2014
LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (ELSAM)
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta, 12510, Indonesia,
Telp: (021) 7972662, 79192564, Fax : (021) 79192519
Email : [email protected] Website: www.elsam.or.id
Twitter : @elsamnews, @elsamlibrary
Pengantar
1. Upaya-upaya pencegahan tindak pidana terorisme mengalami peningkatan yang
sangat signifikan terutama setelah terjadinya serangan teroris 11 September
2001 di Amerika Serikat, yang kemudian disusul serangan-serangan berikutnya,
termasuk di Bali, pada 12 Oktober 2002. Setelah peristiwa-peristiwa tersebut,
muncul keprihatinan global baik dari pemerintahan nasional, organisasi regional
maupun internasional, tentang pentingnya tugas pencegahan terorisme,
termasuk di dalamnya penciptaan aturan hukum dan kebijakan dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan terorisme.
2. Pemerintah Indonesia sendiri sesaat setelah terjadinya peristiwa bom Bali,
segera mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003.
Tak-hanya Indonesia, negara-negara lain termasuk di Asia, juga mengeluarkan
kerangka hukum baru penanggulangan terorisme, pasca-terjadinya peristiwa 11
September. Jepang misalnya, segara melakukan amandemen terhadap Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana meraka, dan menciptakan UU Tindakan
Khusus Anti-terorisme.
3. Kaitannya dengan pengesahan instrumen internasional yang terkait dengan
penanggulangan terorisme, semenjak awal pemerintah Indonesia juga sudah
secara aktif turut berpartisipasi, termasuk dalam isu yang masih sangat
konvensional, pembajakan pesawat terbang. Hal ini tentu sangat berkait erat
kepentingan hubungan internasional Indonesia dengan negara-negara lainnya di
dunia, juga bagian dari implementasi kebijakan politik luar negeri bebas aktif.
Beberapa instrumen internasional terkait terorisme yang disahkan Indonesia di
antara lain: (1) Convention on Offences and Certain other Act Committed on
Board Aircraft (diratifikasi melalui UU No. 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tokyo 1963, Konvensi the Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971);
(2) Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (diratifikasi
melalui UU No. 2 Tahun 1976); (3) Convention for the Suppression of Unlawful
Acts against Safety of Civil Aviation (diratifikasi melalui UU No. 2 Tahun 1976).
Khusus yang terkait dengan perlindungan fisik dari material nuklir, Indonesia
juga turut serta meratifikasinya, melalui pengesahan Convention on the Physical
Protection of Nuclear Material (diratifikasi melalui Kepres No. 49 Tahun 1960).
Konvensi ini kemudian diamandemen dan diratifikasi kembali melalui Perpres
No. 46 Tahun 2009.
pg. 2
4. Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir (selanjutnya
disebut Konvensi Terorisme Nuklir) sendiri merupakan salah satu dari dua
konvensi terkait terorisme yang dibentuk oleh Komite Ad Hoc PBB, yang
merupakan mandat dari Resolusi Majelis Umum 51/210 tanggal 17 Desember
1996, tentang langkah-langkah untuk menghilangkan terorisme internasional.
Melalui resolusi tersebut, Komite Ad hoc diberi tugas untuk mengurai dan
membahasa dua konvesi sebagai prioritas, yakni: (i) Konvensi Internasional
Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris; (ii) Konvensi Internasional untuk
Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir. Komite yang beranggotakan enam
orang ini selanjutnya memilih Philippe Kirsch dari Kanada sebagai ketuanya. 1
5. Inisiatif rancangan Konvensi Terorisme Nuklir muncul dari pemerintah Federasi
Rusia, yang selanjutnya dibahas dalam sesi kedua pertemuan Komite, pada 1727 Februari 1998. Dalam usulannya pemerintah Rusia menyampaikan tentang
kebutuhan penting untuk mengatasi potensi ancaman terorisme yang melibatkan
penggunaan perangkat nuklir dan kebutuhan untuk melakukan kontra-aksi
internasional yang efektif terhadap ancaman tersebut. Rusia berpendapat bahwa
instrumen multilateral saat ini tidak cukup luas dalam jangkauan atau sarana
untuk menanggapi ancaman implisit dari aksi terorisme nuklir. Oleh karena itu,
sebuah konvensi baru diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum, sebab
Konvensi Perlindungan Fisik dari Meterial Nuklir hanya berkaitan dengan bahanbahan nuklir yang digunakan untuk tujuan damai, tetapi tidak mengatur bahan
nuklir atau fasilitas yang digunakan untuk tujuan militer. 2
6. Kekhawatiran pemerintah Rusia tersebut diamini oleh negara-negara lainnya,
terutama setelah adanya laporan tentang banyaknya bahan dan material nuklir
yang belum ditemukan pasca-perang dingin (terutama di negara-negara bekas
USSR), yang kemungkinan bebas diselundupkan melintasi perbatasan
internasional. Konvensi ini kemudian diterima oleh Majelis Umum pada 13 April
2005 dan pembukaannya untuk ditandatangani pada 14 September 2005.
Konvensi ini mulai berlaku mengikat pada 7 Juli 2007, setelah diratifikasi oleh
sedikitnya 20 negara pihak, hal ini sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 25
Konvensi Terorisme Nuklir. 3
Lihat Christopher C. Joyner, Countering Nuclear Terrorism: A Conventional Response, dalam The
European Journal of International Law Vol. 18 No. 2 (2007), hal. 229-231.
2 Ibid. Lihat juga IAEA International Law Series No. 4, The International Legal Framework for Nuclear
Security (2011).
3 Lihat http://legal.un.org/avl/ha/icsant/icsant.html.
1
pg. 3
Pengesahan Konvensi Terorisme Nuklir oleh Indonesia
7. Sebelum secara khusus membicarakan mengenai terorisme nuklir,
permasalahan yang acapkali dihadapi saat hendak menyusun kebijakan atau
kerangka legal yang terkait dengan terorisme adalah batasan pengertian dari
terorisme itu sendiri. Para ahli tidak pernah menemukan kesamaan pandangan
dan definisi dari istilah terorisme. Schmidt dan Joungman (2005) mencatat
sedikitnya terdapat 109 definisi yang berbeda dari terorisme, mayoritas
diantaranya mengatakan identik dengan aksi kekerasan, kepentingan politik, dan
ancaman. 4
8. Ramraj, Hor dan Roach (2005) bahkan mengatakan terorisme adalah sebuah
konsep yang bermuatan emosional, moral dan sarat politik, sehingga memicu
banyak perdebatan. Terorisme muncul sebagai fitur penting dan tidak dapat
dihindari dari lanskap hukum, baik hukum internasional maupun domestik. Lebih
jauh mereka mengatakan, langkah pertama dalam mendefinisikan terorisme
adalah dengan membedakan terlebih dahulu ketegorinya. Dalam hukum
kontemporer, biasanya dipisahkan ke dalam tiga kategori berbeda: (i) tanggapan
negara yang sah atau kontra-terorisme; (ii) perjuangan pembebasan nasional;
dan (iii) tindak pidana biasa. 5
9. Sementara Peter Katona (2006) menyebutkan bahwa terorisme memiliki tiga
unsur penting: (i) ada kekerasan, sebuah kegiatan yang tidak melibatkan
kekerasan atau ancaman kekerasan tidak akan didefinisikan sebagai terorisme
(termasuk
protes
non-kekerasan,
pemogokan,
demonstrasi
damai,
pembangkangan pajak, dll); (ii) tujuannya adalah untuk mencapai tujuan politik,
misalnya tujuan ideologis atau agama. Namun demikian terorisme harus
dibedakan dengan kekerasan politik seperti perang gerilya atau pemberontakan
sipil. Menurut Katona, secara historis, terorisme telah mengambil banyak bentuk,
pada mulanya berupa tindakan individual atau tindakan skala kecil yang
dilakukan selama perang. Baru kemudian dalam perkembangannya, di abad
kedua puluh muncul terorisme yang menggunakan senjata proliferasi termasuk
senjata pemusnah massal (WMD). 6
Lihat Alex P. Schmid dan Albert J. Jongman, Political Terrorism: A New Guide To Actors, Authors, Concepts,
Data Bases, Theories, And Literature, (London: Transaction Publishers, 2005), hal. 5-6.
5 Victor V. Ramraj, Michael Hor dan Kent Roach (eds.), Global Anti-Terrorisme: Law and Policy,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hal. 2-3.
6 Lihat Peter Katona, The Historical Impact of Terrorism, Epidemics and Weapons of Mass
Destruction, dalam Peter Katona, Michael D. Intriligator dan John P. Sullivan (eds.), Countering Terrorism
and WMD: Creating A Global Counter-Terrorism Network, (London: Routledge, 2006), hal. 14-15.
4
pg. 4
10. Kaitannya dengan WMD dan terorisme, setidakya ada empat kategori yang
berlaku umum, perihal kemungkinan teroris berusaha untuk memperoleh dan
menggunakan skenario serangan: (i) nuklir; (ii) radiologi; (iii) biologi, dan (iv)
kimia. Dalam konteks penggunaan senjata nuklir, teroris telah bekerja dengan
berbagai fasilitator untuk mengembangkan kemampuan nuklir. Fasilitator ini
termasuk proliferators pasar gelap atau jaringan kejahatan transnasional yang
berusaha untuk mencari keuntungan dari penjualan bahan nuklir tanpa jaminan,
perangkat pengiriman, atau pengetahuan teknis yang dikumpulkan dari para
pakar nuklir yang terlibat dalam program nuklir nasional. 7
11. Menyikapi berbagai kekhawatiran di atas, perwakilan sejumlah pemerintahan
telah melangsungkan pertemuan di Rabat pada 2006, untuk membahas
mengenai Inisiatif Global untuk Penanggulangan Terorisme Nuklir (GICNT).
Inisiatif ini telah berhasil mengumpulkan dukungan dari 82 negara, juga
melibatkan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Uni Eropa (EU) , dan
Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol).
12. Tujuan dari inisiatif ini sendiri adalah untuk mengumpulkan pengalaman dan
keahlian dari non-proliferasi, kontra-proliferasi, dan disiplin kontra-terorisme,
sebagai upaya: (i) mengumpulkan kemampuan kolektif dan sumberdaya untuk
memperkuat arsitektur global secara keseluruhan untuk memerangi terorisme
nuklir; dan (ii) menawarkan kesempatan bagi negara-negara untuk berbagi
informasi dan keahlian dalam kerangka hukum yang tidak mengikat. Adanya
kerjasama kemitraan ini diharapkan dapat: (i) memperkuat deteksi dini dan
forensik; (ii) menyangkal tempat aman (persembunyian) bagi teroris termasuk
pendanaannya; dan (iii) menghalangi niat teroris untuk memperoleh dan
menggunakan perangkat nuklir.
13. Pengaturan mengenai terorisme nuklir di Indonesia sebenarnya juga telah
disinggung di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15
Tahun 2003 tentang Pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2002). Hal ini
sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 12, yang telah mengikutsertakan
nuklir dalam aksi terorisme sebagai sebuah tindak pidana. Namun demikian, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum secara detail menjelaskan
Lihat Ashok Vaseashta, P. Susmann, Eric W. Braman, dan Nicolae A. Enaki, Nuclear Terrorism –
Dimensions, Options, and Perspectives in Moldova, dalam Ashok Vaseashta, Eric Braman dan Philip
Susmann (eds.), Technological Innovations in Sensing and Detection of Chemical, Biological, Radiological,
Nuclear Threats and Ecological Terrorism, (Dordrecht: Springer, 2012), hal. 102-104.
7
pg. 5
mengenai pengertian, batasan ruang lingkup, kategorisasi dan jenis nuklir
tersebut. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi Terorisme Nuklir ini akan
sangat membantu pembentuk undang-undang di dalam merumuskan hal-hal
terkait tersebut, khususnya di dalam rencana amandemen UU Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Hal ini penting untuk memastikan adanya kepastian
hukum dari peristilahan nuklir tersebut, sehingga tidak muncul penafsiran yang
beragam dalam penerapannya di lapangan.
14. Pengakuan secara hukum terhadap Konvensi Terorisme Nuklir juga sebenarnya
telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bersamaan dengan diratifikasinya
Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme, yang disahkan melalui UU
No. 5 Tahun 2012. Ketentuan Pasal 2 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan
Terorisme pada point k menyebutkan Konvensi Terorisme Nuklir sebagai salah
satu Konvensi terkait terorisme yang bentuk kejahatannya diakui oleh Kovensi
ASEAN. Selain itu pengesahan Konvensi Terorisme Nuklir ini juga akan
melengkapi pengesahan Konvensi Pemboman oleh Teroris dan Konvensi
Pendanaan Teroris yang masing-masing telah diratifikasi melalui UU No. 5
Tahun 2006 dan UU No. 6 Tahun 2006.
15. Sebagaimana pengesahan terhadap Amandemen Konvensi Perlindungan Fisik
dari Meterial Nuklir yang telah dilakukan pada 2009, dalam pengesahan
Konvensi Terorisme Nuklir, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373 dan 1540. Dalam resolusi tersebut
Dewan Keamanan mengatakan bahwa negara-negara yang bersangkutan
dengan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional diminta
untuk berkomitmen untuk menerapkan delapan prinsip berikut atas dasar
sukarela: 8
a. Mengembangkan, jika perlu dan meningkatkan penghitungan, kontrol
sistem perlindungan fisik untuk bahan radioaktif nuklir dan zat lainnya;
b. Meningkatkan keamanan fasilitas nuklir sipil;
c. Meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi bahan radioaktif nuklir
lainnya, serta zat untuk mencegah perdagangan terlarang material dan
zat tersebut, untuk memasukkan kerjasama dalam penelitian
pengembangan kemampuan deteksi nasional yang akan dioperasikan;
dan
dan
zatdan
Lihat di http://www.un.org/en/sc/ctc/specialmeetings/2012/docs/United%20Nations%20Security
%20Council%20Resolution%201373%20(2001).pdf dan http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.
asp?symbol=S/RES/1540%20(2004).
8
pg. 6
d. Meningkatkan kemampuan negara untuk mencari, batas kerahasiaan, dan
membangun kontrol yang aman dan sah terhadap bahan radioaktif nuklir atau
lainnya dan zat atau perangkat yang menggunakan material tersebut.
e. Mencegah penyediaan tempat aman (persembunyian) untuk teroris dan
pendanaan atau sumberdaya ekonomi untuk teroris yang ingin memperoleh
atau menggunakan bahan radioaktif nuklir dan zat lainnya;
f. Pastikan kerangka hukum dan peraturan nasional masing-masing yang
memadai, penerapan pidana yang tepat, dan jika perlu diberlakukan tanggung
awab perdata bagi teroris dan mereka yang memfasilitasi aksi terorisme
nuklir;
g. Meningkatkan kemampuan negara untuk merespon, mitigasi, dan investigasi,
dalam kasus serangan teroris yang melibatkan penggunaan bahan radioaktif
nuklir dan zat lainnya, termasuk pengembangan sarana teknis untuk
mengidentifikasi bahan radioaktif nuklir dan zat-zat lain yang mungkin akan
digunakan dalam sebuah serangan;
h. Mempromosikan berbagai tindakan terhadap aksi terorisme nuklir dan
fasilitasi mereka, mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan hukum
nasional dan kewajiban internasional untuk melindungi kerahasiaan dari
informasi yang kemungkinan dipertukakarkan dengan informasi yang juga
sifatnya rahasia.
Skema Keamanan Nuklir dari Kemungkinan Ancaman Terorisme Nuklir
Diadopsi dari Ashok Vaseashta, P. Susmann, Eric W. Braman, and Nicolae A. Enaki (2012).
pg. 7
Aspek Hak Asasi Manusia
16. Di luar hal-hal khusus yang terkait dengan terorisme nuklir di atas, dalam
konteks pemberantasan terorisme secara umum, yang penting untuk
diperhatikan adalah Resolusi Majelis Umum No. 60/288 yang dikeluarkan tahun
2006 tentang Global Counter Terrorism Strategy. Dalam resolusi tersebut PBB
menegaskan 4 pilar strategi global pemberantasan terorisme yang terdiri dari:
(1) pencegahan kondisi kondusif penyebaran terorisme; (2) langkah pencegahan
dan memerangi terorisme; (3) peningkatan kapasitas negara-negara anggota
untuk mencegah dan memberantas terorisme serta penguatan peran sistem
PBB; dan (4) penegakan hak asasi manusia bagi semua pihak dan penegakan
rule of law sebagai dasar pemberantasan terorisme. 9
17. Penanggulangan kejahatan terorisme seringkali bersinggungan dengan berbagai
tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Berbagai dokumen dan laporan
menyebutkan praktik-praktik pelanggaran HAM terjadi selama penanganan
kasus-kasus terorisme misalnya penyiksaan, perlakuan yang kejam dan tidak
manusiawi, penahanan sewenang-wenang, pelanggaran privasi dan termasuk
pelanggaran hak-hak dalam proses peradilan.
18. Komite Hak Asasi Manusia PBB telah menyampaikan kepedulian terkait dengan
langkah-langkah penanganan tindakan terorisme agar sesuai dengan jaminan
hak-hak sipil dan politik sebagaimana yang diatur dalam Kovenan Hak-Hak Sipil
dan politik (the International Covenant on Civil and Political Rights). Badanbadan regional juga mengemukakan tentang ancaman terorisme dan dampak
negatif dari langkah-langkah penanganan terorisme terhadap HAM.
19. Dewan Eropa pada tahun 2002 menyusun ‘the guidelines on human rights and
the fight against terrorism’, serta membentuk suatu kerangka kerja terkait
dengan pengumpulan dan proses data pribadi serta tindakan-tindakan yang
memasuki wilayah privasi, penangkapan, penahanan, proses hukum, ekstradisi
serta kompensasi kepada para korban. Dokumen tersebut memberikan
keseimbangan antara kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya dan
kewajiban untuk menghormati HAM dalam aktivitas yang terkait dengan
penanggulangan terorisme.
20. Hingga kini telah banyak instrumen baik di level internasional maupun regional
yang mengemukakan tentang masalah penanggulangan terorisme dan
9
http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N05/504/88/PDF/N0550488.pdf?OpenElement.
pg. 8
perlindungan HAM, 10 termasuk putusan-putusan pengadilan HAM regional yang
memberikan pandangan tentang aspek-aspek perlindungan HAM dalam
penanggulangan kejahatan terorisme.
21. Dalam konteks Indonesia, penanggulangan dan penegakan hukum atas
kejahatan terorisme juga mendapatkan banyak kritikan terkait dengan jaminan
hak-hak para tersangka pelaku terorisme. Hal ini menunjukkan pentingnya
menjaga hak-hak atas peradilan yang adil (fair trial rights) dan hak untuk bebas
dari penyiksaan (freedom from torture) dari para tersangka, baik ketika dalam
tahanan, ketika menghadapi proses peradilan di dalam negeri maupun ketika
akan di ekstradisi.
22. Bahwa Konvensi Terorisme Nuklir dalam Pasal 12 menyatakan setiap orang
yang ditahan atau yang terkait langkah lainnya yang diambil atau proses hukum
yang dilakukan menurut konvensi tersebut wajib diberikan jaminan perlakuan
adil, termasuk memperoleh semua hak dan jaminan sesuai dengan hukum
negara dalam wilayah orang tersebut berada dan ketentuan hukum internasional
yang dapat diterapkan, termasuk hukum internasional tentang hak asasi
manusia.
23. Mencermati muatan dalam Pasal 12 dan berbagai pengaturan lainnya dalam
Konvensi Terorisme Nuklir yang telah mempertimbangkan aspek-aspek HAM,
Konvensi ini sangat penting untuk memperkuat fondasi hukum dan kerangka
hukum di Indonesia, khususnya dalam upaya untuk melindungi warga negara
dari ancaman terorisme, penggulangan dan pencegahan terorisme, yang
dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia.
*****
10
Analisis tentang berbagai instrumen tersebut, diantaranya dapat dilihat dalam buku “Suppression of
Terrorism While Respecting Human Rights”, yang ditulis oleh Enny Soeprapto. Diterbitkan oleh South East Asia
National Human Rights Institution Forum (SEANF), 2011.
pg. 9
Download