Jurnal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-4 COMPREHENSIVE PARTNERSHIP=DANA UNTUK LUAR NEGERI + KONDISIONALITAS EKONOMI POLITIK AMERIKA SERIKAT? Oleh : Tri Cahyo Utomo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mewakili pemerintah Indonesia, dan Presiden Barrack Obama, mewakili pemerintah Amerika Serikat (AS), bersepakat meluncurkanComprehensive Partnership (CP) manakala mereka bertemu di Jakarta sekitar 15 bulan yang lalu. Sesungguhnya CP itu sendiri merupakan gagasan Presiden Yudhoyono dan untuk pertama kalinya diusulkan kepada Presiden Obama sewaktu keduanya berjumpa di Washington November 2008. Proses pengolahan gagasan menjadi kesepakatan yang tertuang dalam CP tadi memerlukan jangka waktu dua tahun. Substansi CP itu sendiri adalah bahwa kedua Negara sepakat meningkatkan hubungan kemitraan dengan cara mengintensifkan konsultasi serta menggalang kerjasama menghadapi berbagai persoalan bilateral, regional serta global. Pihak –pihak yang didorong terlibat dalam CP itu tidak semata –mata kalangan pemerintah saja, akan tetapi juga kalangan swasta dan masyarakat. Kesepakatan yang tertuang dalam CP tersebut diterjemahkan ke dalam sebuah “Plan of Action” yang terdiri dari tiga pilar, yakni: politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan serta sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Terdapat enam Kelompok Kerja yang diberi tugas mengkoordinir dan menyusun prioritas kebijakan dalam kerangka Plan of Action tadi. Keenam Kelompok Kerja tadi mempunyai focus pada bidang energy, keamanan, perdagangan dan investasi, demokrasi dan masyarakat sipil, pendidikan serta iklim dan lingkungan. Maksud Kondisionalitas. Istilah “kondisionalitas” sering menjadi bahan kajian penting dalam literatur Ilmu Hubungan Internasioal, utamanya menyangkut bidang Ekonomi Politik Internasional. Manakala kajiannya menyangkut lembaga –lembaga keuangan dunia, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasioal maupun Negara –negara kreditur, seperti AS, Inggris, Perancis, istilah kondisionalitas kerap muncul ke permukaan. Mengapa demikian? Karena mereka Jurnal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-4 memiliki dana untuk dipinjamkan ataupun dihibahkan ke Negara –negara lain namun penyerahannya dikaitkan dengan serangkaian kondisionalitas (persyaratan/tuntutan) tertentu. Kondisionalitas yang dicanangkan bisa berkaitan dengan kepentingan politik, keamanan, ekonomi, keuangan maupun kepentingan lainnya dari para kreditur. Kondisionalitas tersebut, secara empiris, sering bertabrakan dengan kedaulatan serta kepentingan Negara –negara debitur, seperti yang dialami Indonesia. Ditinjau dari perspektif ekonomi politik internasional, CP merupakan kesepakatan antara Indonesia, sebuah Negara yang digolongkan sebagai sedang berkembang, dengan AS, sebuah Negara yang diklasifikasikan maju. Dikhawatirkan, kesepakatan ini tidak memberikan jaminan secara otomatis bahwa Negara yang namanya disebut belakangan akan memberikan sejumlah hibah ataupun bantuan secara cuma –cuma dalam jumlah yang cukup signifikan kepada Negara yang namanya disebut terlebih dahulu. Ada kemungkinan, kesepakatan dalam CP tidak menjanjikan AS memberikan “makan siang gratis” kepada Indonesia. Manakala dikaji secara mendalam, barangkali dapat dikatakan bahwa di dalam CP terselip kepentingan politk luar negeri/fungsi kepentingan nasional AS Paska Perang Dingin. Mengapa dapat dikatakan demikian? Di dalam CP terdapat ketentuan bahwa AS berjanji dan sekaligus memberikan jaminan bakal menyediakan sejumlah dana melalui serangkaian programnya kepada pihak Indonesia. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, di dalam CP, khususnya dalam Plan of Action, terselip point –point tertentu yang merupakan tujuan yang ingin dicapai AS dalam hubungan luar negeri dengan Indonesia. Point –point itu bersifat sensitive dan terkadang menimbulkan perdebatan. Akankah Negara yang pada bulan Novembe r 2012 mendatang bakal mengadakan pemilihan presiden secara nasional tersebut, menuntut Indonesia untuk menyepakati point –point yang masih controversial itu? Namun demikian, dalam kaitannya dengan CP, kesan yang diperoleh, AS cenderung menerapkan prinsip ex-post conditionality. Maknanya, Indonesia akan memenuhi kondisionalitas yang dituntut Amerika Serikat setelah ia menerima dana dari Negara adi daya tersebut; atau, paling tidak, kondisionalitas itu perlu dipenuhi Indonesia bersamaan waktunya dengan dikucurkannyanya dana yang berasal dari AS. Lagi pula, dalam kaitan dengan CP ini, AS kelihatannya lebih menekankan pada azas positive conditionality. Buktinya, Indonesia menerima dana (bukan hukuman) sebagai konsekwensi kesediaannya memenuhi tuntutan Negara yang sedang dipimpin Obama tadi. Barangkali bisa dikatakan, kondisionalitas yang dituntut masih bersifat lunak (soft). Penyediaan Dana. Dalam CP diungkapkan, antara lain, bidang –bidang yang menjadi wilayah kerjasama kedua negara, cara bagaimana kerjasama mereka diwujudkan, pihak –pihak mana saja yang boleh terlibat dalam kerjasama maupun besarnya dana yang disediakan pemerintah AS. Tertuang dalam program US – Indonesia Education Partnership, pemerintah AS memiliki komitmen menyediakan dana paling sedikit berjumlah $165 juta untuk kurun waktu lima tahun guna mendukung kegiatan pendidikan tinggi, pendidikan dasar, pendidikan bagi orang –orang Indonesia di AS serta kegiatan yang berhubungan dengan keperpustakaan. Dalam program US –Indonesia Environment and Climate Change Cooperation, pemerintah AS berjanji menyediakan dana paling sedikit berjumlah $459 juta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Indonesia serta berwawasan lingkungan. Dana sebesar ini, juga dipakai untuk konservasi hutan tropis, melindungi komunitas wilayah pantai serta pemukimannya, memperbaiki kualitas udara maupun memperkuat kebijakan perubahan iklim. Yang tercantum dalamUS – Indonesia Collaboration on Science and Technology,pemerintah AS bersedia menyediakan dana sekurang – Jurnal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-4 kurangnya $1,7 juta untuk kegiatan penelitian bersama dari para ahli kedua Negara, memperkuat kemampuan ilmuwan Indonesia untuk mendapatkan penelitian yang kompetitif serta meningkatkan publikasi ilmiah Indonesia. Juga disebutkan tersedianya dana sebanyak $6,9 juta untuk pendirian Pusat Perubahan Iklim Indonesia. Ketentuan yang tertuang dalam US – Indonesian Trade and Investment Relationship, menyebutkan bahwa perusahaan – perusahaan AS siap menyediakan dana $450 juta untuk kegiatan investasi di Indonesia. Juga disebutkan adanya dana sebesar $593 ribu bagi perbaikan sarana komunikasi PT KAI. Kesepakatan yang tertulis dalam Mobile Money Initiative and the US – Indonesia Comprehensive Partnership menyebutkan bahwa pemerintah AS menyediakan dana sejumlah $4 juta yang penggunaanya, antara lain, untuk pemberantasan kemiskinan. Demikian halnya yang tercantum dalam Global Health Initiative, pemerintah Negara besar itu juga berkomitmen menyediakan dana untuk tujuan perbaikan kondisi kesehatan masyarakat, seperti penurunan angka kematian bayi, kesehatan kaum ibu, penurunan penderita HIV/AIDS. Manakala diperhatikan ketentuan –ketentuan yang tercantum di dalam enam bidang kesepakatan kerjasama di atas, ternyata tidak keseluruhan dana dinikmati orang –orang Indonesia dan dihabiskan di Indonesia pula. Sebagian dari dana yang disediakan pemerintah AS, dinikmati oleh orang –orang AS dan dihabiskan di AS. Dengan demikian, sebagian dana itu kembali lagi ke AS. Memang, pihak ketiga dimungkinkan menikmati, akan tetapi jumlahnya terbatas sekali. Point –point Kontroversial. Di depan diungkapkan bahwa Comprehensive Partnership Indonesia – AS tidak sekedar berisi kesepakatan umum bidang kerjasama kedua belah pihak serta komitmen pemerintahan Obama untuk menyediakan dana, akan tetapi juga berbicara tentang Plan of Action (Rencana Aksi) yang pada dasarnya merupakan point -point prioritas program kerja dan berciri lebih terperinci. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah penyediaan dana oleh AS untuk membiayai berbagai program tadi dikaitkan dengan penerimaan point –point yang tertuang dalam Plan of Action? Tidak dapat dipungkiri, dari sekian banyak point – point prioritas program tadi, terselip beberapa point controversial dan yang merupakan cermin kepentingan nasional AS, yakni kepentingan spesifik mereka yang muncul di era paska perang dingin yang tidak jarang menimbulkan “bentrok” dengan kepentingan Negara –negara lain, termasuk di dalamnya dengan Indonesia. Beberapa point tadi ada yang berhubungan dan ada yang tidak berkaitan dengan penyebarluasan nilai –nilai liberalism. Dari Plan of Action yang berkaitan dengan Political and Security Cooperation, utamanya pada point 1 – 3, diutarakan mengenai arti penting memajukan good governance, democracy, serta human rights and fundamental freedoms for all. Sangatlah jelas bahwa pencantuman nilai –nilai tersebut merupakan refleksi kepentingan politik luar negeri AS semenjak awal decade 90an yang lalu. Dalam literature Hak Asasi Manusia, konsep human rights and fundamental freedoms for all, hanya mengacu pada hak sipil dan politik belaka. Selama ini, diketahui bahwa Negara adidaya tadi menolak hak ekonomi, social and budaya sebagai hak asasi. Akankah Amerika Serikat mengkaitkan pemberian dana dalam rangka CP dengan penerimaan konsep human rights and fundamental freedomtadi? Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, Indonesia sendiri , secara konseptual menekankan hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, social dan budaya. Bagi Negara kita, keduanya bersifat sejajar, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Andaikata demikian halnya, Indonesia tidak selayaknya menerima pengkaitan itu dan bisa mengantisipasi apa saja konsekwensinya. Pada point 6 disebutkan perlunya peningkatan kerjasama kedua Negara untuk mencegah serta memerangi tantangan –tantangan non tradisional, seperti counter – Jurnal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-4 terrorism. Dalam satu decade terakhir, AS sangat intense memerangi terrorism. Banyak kerugian material maupun non material yang diderita Negara adidaya ini. Sesungguhnya, Indonesiapun juga dikenal sebagai Negara yang anti terorisme dan banyak dirugikan karenanya. Namun demikian, siapa saja yang dianggap pelaku terorisme dan mengapa bisa muncul terorisme, kedua Negara sering tidak sepakat. Indonesia perlu mempunyai sikap sendiri dan tidak perlu memihak pada pemikiran Amerika Serikat mengenai terorisme. Apabila antara penyediaan dana dengan persoalan terorisme dikait – kaitkan, Indonesia perlu menyarankan adanya peninjauan ulang. Dalam point 8, dikemukakan adanya prinsip “…non-proliferation of Weapons of Mass Destruction (WMD), in accordance with the Nuclear Non Proliferation Treaty, the Chemical Weapons Convention and the Biological Weapons Convention, as well as pursuing ratification of the Comprehensive Nuclear Test ban Treaty (CTBT).Sesungguhnya, prinsip tersebut bersifat tidak adil dan mencerminkan kepentingan segelintir Negara yang maju dalam persenjataan, seperti halnya AS. Setelah berhasil mengembangkan senjata pemusnah mssal, mereka mebuat perjanjian non proliferasi. Sedangkan Negara –negara lain, seperti Indonesia, yang belum maju dalam persenjataan tidak diperkenankan mengembangkan persenjataan yang sangat berbahaya itu. Penyebutan point 8 ini barangkali akan membawa konsekwensi, bahwa Indonesia, disadari atau tidak, perlu patuh terhadap ketentuan yang tidak adil serta dirumuskan sekelompok kecil Negara yang dominan dalam persenjataan global. Masih berhubungan dengan Plan of Action, point 3 dariEconomic and Development Cooperation, menyebut tentang“…in support of an open, fair and transparent rules-based international trade and financial system” . Pencantuman point ini, ditambah dengan ketentuan yang tertulis dalam point 6, barangkali dapat dimaknai sebagai perlunya kedua belah pihak menerapkan serta mematuhi kebijakan semacam perdagangan bebas (free trade). Dalam literature Ekonomi Internasional, penerapan prinsip perdagangan bebas, akan lebih banyak menguntungkan Negara –negara maju, seperti AS, dan lebih banyak merugikan Negara –negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Maukah Indonesia menyepakati dan terikat dengan ketentuan yang sudah jelas –jelas terbukti merugikan kepentingan perekonomiannya? Pemerintah kita sudah sepantasnya memodifikasi makna dari ketentuan ini. Point 11 berisi ketentuan “to promote better protection and enforcement of intellectual property rights”. Akankah penyaluran dana dari pemerintah AS dikaitkan dengan ketentuan ini? Apabila terjadi pengkaitan, dan pemerintah Indonesia menyetujui secara penuh, bisa dibayangkan berapa banyak uang kita yang kembali mengalir ke AS! Oleh karenanya, pemerintah Indonesia pantas merundingkan makna dari ketentuan ini. Penutup. Ketentuan –ketentuan yang tercantum dalam CP menjanjikan penyediaan sekian banyak dana bagi sekian banyak program. Akan tetapi, hanya sebagian yang dinikmati oleh orang –orang Indonesia dan dibelanjakan di Indonesia. Sebagian lagi, dinikmati oleh orang – orang AS dan dibelanjakan di AS. Keterlibatan pihak ketiga, dalam kaitannya dengan pengguna dan tempat penggunaan dana, sangat dimungkinkan, walau dalam jumlah sangat terbatas. Pencantuman beberapa point controversial dalam Plan of Action, yang dianggap refleksi kepentingan nasional AS dan bisa bertabrakan dengan kepentingan nasional Indonesia, perlu ditinjau kembali. Adakah kaitan antara penyediaan dana oleh AS dengan kewajiban Indonesia untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional AS walaupun bertabrakan dengan kepentingan nasional Indonesia sendiri?