Mekanisme dan Eksternalitas Upaya Mitigasi Pemanasan Global di Indonesia Melalui Perdagangan Karbon sebagai Kebijakan Lingkungan Berbasis Pasar Shabrina Aulia, 1106086405 ABSTRAK Pemanasan global telah mengantarkan manusia kepada sejumlah fenomena alam luar biasa yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Beberapa di anatranya adalah peningkatan intensitas dan frekuensi badai yang terjadi karena meningkatnya suhu permukaan laut dan menyebabkan semakin tingginya tingkat evaporasi air laut sehingga mengubah kadar listrik dan air di atmosfer. Selain badai fenomena alam yang berkitan dengan cuaca yang terjadi adalah semakin hangatnya suhu-suhu di daerah dingin sementara di daerah gurun turun salju dan hujan es. Pemanasan global terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbon dioksida di atmosfer. Sedangkan peningkatan konsentrasi ini terjadi karena aktivitas manusia, khususnya karena semakin majunya proses industrialisasi yang mengemisi gas rumah kaca tersebut. Mengingat perubahan cuaca merupakan isu global, maka dibutuhkan penyelesaian dengan langkah-langkah koordinasi internasional untuk menanggulanginya. Salah satunya diwujudkan dengan Protokol Kyoto yang menggunakan mekanisme dengan pendekatan yang relatif baru dalam bidang kebijakan lingkungan, yaitu pendekatan berbasis pasar. Terdapat tiga mekanisme berbasis pasar yang ditawarkan oleh Protokol Kyoto kepada negara-negara yang menandatanganinya. Ketiga mekanisme ini menggunakan skema perdagangan karbon sebagai metodologi pelaksanaannya. Namun, skema ini mendapat kecaman dari berbagai pihak karena dinilai tidak mendorong negara maju untuk melakukan langkah nyata dalam pengurangan emisi dan malah memindahkan tanggung jawab pelaksanaan kepada negara berkembang. Kata Kunci: Perubahan Cuaca, Pemanasan Global, Perdagangan Karbon, REDD, dan Mekanisme Pembangunan Bersih PENDAHULUAN Segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk manusia, memiliki interdependensi yang kuat satu dengan yang lain di mana perubahan pada satu komponen akan membawa perubahan terhadap komponen lainnya (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Pernyataan ini merupakan asumsi dasar teori ekologi. Segala sesuatu di bumi ini berada dan saling berkaitan dalam sebuah lingkungan hidup. Lingkungan hidup menurut Davis (dalam Fewtrell, Kaufmann, & Prüss-Üstün, 2003) mencakup ruang, kondisi, dan pengaruh yang mempengaruhi organisme. Lingkungan merupakan milik dari dan penting bagi seluruh makhluk hidup (Singh, 2010). Setiap manusia, apapun pekerjaan yang dilakukannya, dipengaruhi oleh isu lingkungan seperti pemanasan global, penipisan lapisan ozon, deforestasi, sumber daya energi, berkurangnya biodiversitas, dan lain lain (Singh, 2010). Terdapat dua jenis lingkungan berdasarkan dominasi manusia terhadap lingkungan tersebut, yaitu lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatan (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Dalam lingkungan hidup alami, manusia tidak mendominasi hubungan interdependensi ini, namun seiring dengan evolusi alam pikirannya, manusia mendominasi ekosistem dan membentuk lingkungan hidup sosial serta lingkungan hidup buatan (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Evolusi pemikiran juga telah menyadarkan manusia akan hubungan antara masyarakat dan lingkungan hidup, khususnya pada abad ke-19 dan 20 (Foundations of Geographic Information and Spatial Analysis, 2007). Kesadaran ini juga mendorong berkembangnya konsep ilmu lingkungan yang mempelajari hakikat lingkungan serta peran dan tanggung jawab manusia di dalamnya (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Ilmu lingkungan melihat bahwa manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap alam (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Ilmu lingkungan mencoba untuk menjelaskan bagaimana menciptakan kehidupan berkelanjutan di bumi, bagaimana manusia berkontribusi terhadap berbagai masalah kelingkungan yang dihadapi saat ini dan solusi apa yang harus dilakukan (The University of Newcastle Australia, 2014). Sejalan dengan asumsi dasar teori ekologi yang telah disebutkan sebelumnya, dengan meningkatnya pembangunan yang dilakukan manusia 1 modern, saat ini telah terjadi degradasi alam besar-besaran (Singh, 2010). Hal ini mendorong urgensitas munculnya ilmu lingkungan yang dapat mengedukasi masyarakat bahwa alam telah terdegradasi dan seiring dengan degradasi ini sebenarnya manusia telah membahayakan dirinya sendiri sehingga diperlukan standar atas perilaku manusia untuk menciptakan ekosistem alami yang aman, bersih, dan sehat (Singh, 2010). Ilmu lingkungan merupakan kelanjutan dari teori ekologi, ilmu lingkungan adalah ekologi terapan di mana manusia tidak hanya menyadari kebergantungannya terhadap alam, namun juga menetapkan perilaku apa saja yang perlu dibentuk untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Dalam ilmu lingkungan, masalah kelingkungan dipelajari secara holistik dengan memberikan pertimbangan terhadap berbagai macam sudut pandang terhadap masalah tersebut (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Hal ini menyebabkan timbulnya kebutuhan pemahaman terhadap disiplin ilmu lain untuk mencapai analisis yang holistik tersebut (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Salah satunya dari disiplin ilmu administrasi negara. Semenjak Perang Dunia Pertama, peran penting negara sebagian besar adalah sebagai ‘nightwatchman’ yang hanya berperan memenuhi kebutuhan paling dasar masyarakat seperti pertahanan dan penegakan hukum (Hepburn, 2010). Namun, keterlibatan pemerintah dalam kehidupan masyarakat beberapa tahun terakhir ini telah meningkat drastis dan memainkan peranan yang lebih komprehensif dalam menyediakan jaminan keamanan sosial, pendidikan, kebutuhan fisik, kesehatan mental, dan keputusan-keputusan alokasi sumber daya lainnya (Hepburn, 2010). Hal ini juga termasuk dalam isu kelingkungan khususnya dalam hal kebijakan lingkungan (Hepburn, 2010). Pada kenyataannya, berbagai kebijakan pemerintah saat ini masih gagal dalam mempertahankan kelestarian lingkungan (Hepburn, 2010). Salah satu dari sekian banyak kebijakan pemerintah yang mendorong degradasi lingkungan ini adalah yang berkaitan dengan indutrialisasi dan pasar bebas di mana dari proses industri dihasilkan gas buang yang berbahaya bagi lingkungan serta pasar bebas telah memudahkan pelaku usaha untuk melakukan aktivitas ekonominya tanpa berorientasi pada kelestarian lingkungan (International Institute for Sustainable Development, 2013). Kegagalan ini telah berujung pada perubahan cuaca berupa peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi dan berbagai fenomena alam luar biasa yang berkaitan dengan cuaca. Pada tanggal 25 Agustus 2005, sebuah gelombang tropis dalam bentuk badai dengan kategori kekuatan level 5 berkecepatan maksimum mencapai 175 mph bergerak dari pesisir selatan Florida menuju teluk Meksiko, kemudian sampai di hulu sungai Misssissipi, menuju Louisiana, Laurer hingga lembah Tennesse (National Hurricane Center, 2012; National Weather Service Weather Forecast Office, 2010). Badai ini menyebabkan terjadinya hujan deras, longsor, serta banjir bandang yang kemudian diberi nama dengan Badai Katrina (National Hurricane Center, 2012). Badai Katrina telah menyebabkan 1833 korban jiwa di Negara Bagian Louisiana, Mississipi, Florida, Georgia, dan Alabama sedangkan ratusan orang lainnya hilang (Knabb, Rhome, & Brown, 2011). Dampak badai Katrina juga memengaruhi kehidupan ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang terutama pemukiman, pusat-pusat pariwisata, industri minyak dan gas, serta transportasi (Knabb, Rhome, & Brown, 2011). Badai Katrina merupakan salah satu badai yang paling mematikan dalam 77 tahun sejarah Amerika Serikat (National Hurricane Center, 2012). National Science Foundation Amerika Serikat menuliskan bahwa pada tahun 1970-an rata-rata terjadi 10 badai dengan kategori 4 dan 5 per tahun secara global, namun semenjak tahun 1990-an angka ini berlipat ganda mencapai 18 kejadian per-tahun (National Science Foundation, 2005). Berbagai gejala pemanasan global telah meningkatkan intensitas, dan frekuensi badai, banjir, kemarau, dan gelombang panas dan hal ini akan semakin memburuk apabila tidak segera dicegah (Cimons, 2013). 2 Penyebab utama terjadinya badai adalah evaporasi air laut, sedangkan peningkatan evaporasi disebabkan oleh peningkatan suhu air laut yang merupakan salah satu gejala pemanasan global (Cimons, 2013). Grafik 1.1. menunjukkan bagaimana kenaikan suhu permukaan laut telah meningkat. Grafik 1.1 Kenaikan Suhu Permukaan Laut Sumber: Harvey, 2000 Pada kenyataannya, peningkatan intensitas dan frekuensi badai bukan satu-satunya fenomena alam yang terjadi akibat pemanasan global. Pada Desember 2013 yang lalu, wilayah Asia Timur Tengah dilanda salju dan badai salju untuk pertama kalinya sejak lebih 112 tahun terakhir khususnya di Mesir, Suriah, Israel, Palestina dan Lebanon (Huffingtonpost.co.uk, 2013). Datangnya salju ini telah memperburuk kondisi pengungsi perang di wilayah rawan konflik ini karena menyebabkan tertundanya pengangkutan makanan dan bantuan lainnya melalui udara dari Irak menuju Suriah (Huffingtonpost.co.uk, 2013; Time.com, 2013). Sementara kawasan Timur Tengah mengalami salju untuk pertama kalinya sejak ratusan tahun yang lalu, beberapa lokasi di wilayah utara Skandinavia mendapatkan Desember terhangatnya pada bulan Desember yang sama (Burt, 2013). Ricketts dalam earthtimes.org menyatakan bahwa selama 37 tahun, rata-rata suhu bumi mencapai titik kritisnya pada bulan November 2013 di mana bumi bagian utara mencapai hembusan terdinginnya, sedangkan bagian selatan menjadi lebih panas dibanding tahun-tahun sebelumnya dan menyebabkan kekeringan di Australia dan topan dengan kekuatan tertinggi di Filipina (Ricketts, 2013). Perubahan iklim dapat terjadi karena hal-hal yang alami, namun peningkatan suhu yang drastis selama 100 tahun terakhir ini didorong oleh perbuatan manusia khususnya yang mengemisi gas rumah kaca (Harvey, 2000). Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang jumlahnya paling berlimpah, di mana bila dibandingkan dengan gas rumah kaca lain seperti metana, CFC, dan nitron dioksida, karbon dioksida telah berkontribusi sebanyak 60 persen terhadap pemanasan global (Enger & Smith, 2010). Selain itu Bryan Walsh, senior editor dalam majalah TIME, memberikan sebutan kepada karbon dioksida sebagai Tombol Pengendali Iklim (Walsh, 2010). Berdasarkan catatan majalah National Geographic gas karbon diosida berasal dari listrik dan pemanas, peralihan guna tanah, pertanian, transportasi, industri, pembakaran bahan bakar lainnya, kebocoran peralatan dan lain-lain, kotoran makhluk hidup, serta proses industri (dalam Rusbiantoro, 2008). Fenomena pemanasan global menunjukkan secara nyata bagaimana aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat memengaruhi lingkungan. Beragam aktivitas manusia telah merusak atmosfer dan mendorong terjadinya pemanasan global yang pada akhirnya membahayakan manusia kembali. Sejalan dengan konsep ilmu lingkungan, manusia adalah yang paling bertanggung jawab dalam mennggulangi kerusakan lingkungan ini. Dalam hal ini pemerintah memegang peranan penting sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan (Wirjosiswojo & Suhady, 2010). Enger dan Smith (2010) menyebutkan bahwa diperlukan koordinasi internasional dan penyelesaian secara politik, atau dalam hal ini kebijakan publik, 3 apabila tujuan untuk melindungi dan melestarikan alam ingin terwujud. Koordinasi internasional ini diwujudkan dengan berbagai pakta dan konvensi internasional maupun regional (Enger & Smith, 2010). United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan aktor penting dalam mewujudkan koordinasi internasional ini. Pada tahun 1992 beberapa negara bergabung dalam United Nations Framework Convention on Climate Change yang mengkaji mengenai apa yang dapat dilakukan oleh negara-negara ini untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi (United Nations Framework Convention on Climate Change, 2014). Protokol Kyoto sebagai upaya lanjutan menjadi wadah negosiasi untuk memperkuat respon dunia terhadap perubahan iklim yang pada dua tahun ke depan hasil negosiasi tersebut harus dilaksanakan (United Nations Framework Convention on Climate Change, 2014). Melalui Protokol Kyoto terjadi pergeseran pendekatan kebijakan lingkungan. Pada masa sebelumnya kebijakan lingkungan dilakukan dengan pendekatan Command-and-Control, yang dinilai berbiaya besar dan tidak mendorong prediksi resiko lingkungan di masa yang akan datang (Kosobud & Zimmerman, Introduction to Part 1: Regulatory Reform and Intervention, 1997). Sedangkan dalam Protokol Kyoto, di mana Indonesia termasuk pihak yang menandatangani, pihak atau negara yang menandatanganinya diwajibkan untuk mengurangi emisi dengan tiga mekanisme kebijakan berbasis pasar, yaitu International Emissions Trading (IMT), Clean Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI) (United Nations Framework Convention on Climate Change (a), tanpa tahun). Secara garis besar ketiga mekanisme tersebut mengandalkan skema Pasar Karbon yang menjadikan karbon dioksia sebagai sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan, namun yang membedakan adalah apa yang ditukar dengan karbon dioksida yang telah teremisi (United Nations Framework Convention on Climate Change (c), tanpa tahun). Permasalahan utama yang akan diangkat dalam literatur ini adalah bagaimana mekanisme perdagangan karbon serta eksternalitas apa saja yang mungkin terjadi dengan diterapkannuya kebijakan ini di Indonesia. Analisis dalam literatur ini akan didasarkan pada studi terhadp sejumlah literatur cetak maupun online. KERANGKA TEORI Pemanasan Global dan Mitigasi Pemanasan Global New Mexico Solar Energy Association (tanpa tahun) mendefinisikan pemanasan global sebagai peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi dikarenakan efek dari gas rumah kaca seperti emisi karbon dioksida, dari pembakaran bahan bakar fosil atau dari deforestasi, yang menyebabkan terperangkapnya panas yang seharusnya bisa keluar dari bumi. National Aeronatics and Space Administration di Amerika Serikat atau lebih dikenal sebagi NASA menyebutkan bahwa pemanasan global sebenarnya merupakan bagian dari perubahan iklim mengingat bahwa perubahan iklim dapat pula datang dalam bentuk pendinginan global (National Aeronatics and Space Administration, 2008). Ozon atau O3 secara alamiah memiliki fungsi memantulkan radiasi ultraviolet yang berasal dari matahari untuk masuk ke bumi. Selain radiasi yang dipantulkan kembali, terdapat juga radiasi panas matahari yang tmasuk melewati atmosfer hingga ke permukaan bumi dan menghangatkan permukaan bumi. Sebagian panas yang telah masuk ini sebagian ada yang tetap berada di permukaan bumi, dan sebagian lainnya, dengan bantuan ozon, keluar melewati atmosfer. Namun, konsentrasi gas rumah kaca seperti karbondioksida, metana, nitrus oksida, dan Chloro Fluoro Carbon (CFC) yang berlebihan di atmosfer dapat menghambat keluarnya kembali panas ini sehingga radiasi panas matahari terakumulasi di atmosfer bumi dalam jangka waktu yang lama dan menyebabkan suhu bumi menjadi semakin menghangat (penjelasan ini disederhanakan dari buku Rusbiantoro, 2008). 4 Efek rumah kaca dan gas rumah kaca merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan mengenai pemanasan global. Hubungan di antara ketiganya secara sederhana adalah sebagai berikut; gas rumah kaca secara sederhana merupakan gas yang dapat menimbulkan efek rumah kaca apabila terkonsentrasi di lapisan ozon secara berlebihan. Efek rumah kaca tersebut akan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi atau pemanasan global (Rusbiantoro, 2008). Beberapa contoh gas rumah kaca adalah CFC, metana, nitron dioksida, dan karbon dioksida. Gas rumah kaca yang paling menentukan adalah karbon dioksida. Perubahan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer adalah yang paling bertanggung jawab terhadap perubahan iklim sehingga disebut sebagai tombol pengendali iklim (Walsh, 2010). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang mengukur kepekaan suhu permukaan bumi terhadap jumlah atau kadar karbon di atmosfer yang menunjukkan tingginya kepekaan suhu di bumi terhadap kadar karbon di atmosfer (Walsh, 2010). Emisi karbon dioksida terjadi dalam hampir setiap aktivitas sehari-hari manusia, terutama yang menggunakan batu bara, minyak, gas bumi, dan biomassa di mana sumber energi ini dibakar untuk menyediakan panas dan listrik (Enger & Smith, 2010). Faktor lain yang turut meningkatkan jumlah karbon dioksida di atmosfer adalah deforestasi di mana secara alamiah pohon-pohon dan vegetasi lainnya yang relatif memiliki umur yang sangat panjang dapat menyerap, menyimpan dan menggunakan karbondioksida untuk proses fotosintesis (Enger & Smith, 2010). Sedangkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mendefinisikan mitigasi sebagai segala upaya intervensi yang bersifat antropogenik, dilakukan oleh manusia, untuk mengurangi sumber-sumber gas rumah kaca dan menghambat peningkatannya (Intergovernmental Panel on Climate Change , 2001). Mitigasi terhadap perubahan iklim khususnya pemanasan global memiliki karakteristik yang unik karena bersifat global dan melibatkan interaksi yang kompleks antara proses iklim, lingkungan, ekonomi, politik, kelembagaan, sosial, dan teknologi (Intergovernmental Panel on Climate Change , 2001). Konsep mitigasi mengacu pada kebijakan yang diambil untuk mencapai tujuan mitigasi di mana kebijkaan ini memengaruhi dan dipengaruhi oleh tren dan kebijakan sosial-ekonomi khususnya yang berkaitan dengan pembangunan, berkelanjutan, dan keadilan (Intergovernmental Panel on Climate Change , 2001). Perdagangan Karbon sebagai Kebijakan Lingkungan Berbasis Pasar Kebijakan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan lingkungan khususnya pemanasan global sebelum periode 1990-an cenderung menggunakan pendekatan kebijakan yang tradisional atau bersifat command-and control (Kosobud & Zimmerman, Introduction to Part 1: Regulatory Reform and Intervention, 1997). Pada masa setelah perang dunia kedua segala macam kebijakan untuk menanggulangi pemanasan global dibuat secepat dan selangsung mungkin serta didorong ketidakpercayaan terhadap pasar menciptakan kebijakan dengan pendekatan command-and-control dan berujung pada kegagalan (Kosobud & Zimmerman, Introduction to Part 2: from Journal Articles to Actual Markets: The Path Taken, 1997). Pendekatan kebijakan yang dibuat dengan terburu-buru ini menyebabkan kurang tanggapnya pemerintah terhadap isu lingkungan yang baru dengan masalah yang besar yang disebabkan langsung oleh kerusakan alam (Enger & Smith, 2010). Kritik tersebut mendorong perkembangan pendekatan alternatif dalam kebijakan lingkungan. Di antara berbagai alternatif pendekatan tersebut, perhatian dan penggunaan pendekatan berbasis pasar saat ini telah semakin meluas (Kosobud & Zimmerman, Introduction to Part 1: Regulatory Reform and Intervention, 1997). Instrumen kebijakan berbasis pasar menggunakan paksaan yang bersifat ekonomis dan membutuhkan kemampuan wirausaha untuk mencapai perlindungan lingkungan yang maksimal dengan biaya yang lebih murah (Enger & Smith, 2010). Kebijakan berbasis pasar menggunakan insentif sebagai 5 instrumen utamanya di mana pihak yang behasil melakukan upaya signifikan terhadap perbaikan lingkungan akan mendapat keuntungan finansial (Kosobud & Zimmerman, Introduction to Part 1: Regulatory Reform and Intervention, 1997). Salah satu bentuk kebijakan ini adalah berbagai skema pemberian izin atau kelonggaran yang dapat diperdagangkan (Kosobud & Zimmerman, Introduction to Part 1: Regulatory Reform and Intervention, 1997). Protokol Kyoto, serta Konferensi antar Pihak (COP) lainnya yang dilaksanakan oleh United Nations Framework on Climate Change (UNFCC) telah menunjukkan secara nyata pergeseran pendekatan kebijakan lingkungan ini. Protokol Kyoto mewajibkan pihak yang ikut di dalamnya untuk melakukan mitigasi perubahan iklim dengan tiga mekanisme kebijakan berbasis pasar, yaitu International Emissions Trading (IMT), Clean Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI) (United Nations Framework Convention on Climate Change (a), tanpa tahun). Sedangkan dalam COP di Montreal pada 2005 telah memunculkan mekanisme lainnya, yaitu (REDD) (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Africa, tanpa tahun). Selain mekanisme yang memerlukan keterlibatan penuh peerintah tersebut, terdapat pula mekanisme Voluntary Carbon Market yang bersifat business to business (Hindarto dalam Perspektif Baru, 2009). Terdapat dua bentuk perdagangan karbon, yaitu menggunakan skema cap and trade dan skema offsetting. Dalam skema cap and trade lembaga pemerintah atau antar pemerintah mengeluarkan izin kepada industri untuk mengemisi karbon dioksida dengan limit tertentu, ketika industri bersangkutan dapat mengemisi karbon dioksida di bawah limit tersebut ia dapat menjual sisa limitnya kepda industri lain yang emisi karbon dioksidanya melebihi izin limitnya (Gilbertson & Reyes, 2009). Dana yang didapat dari mengeluarkan izin tersebut akan digunakan pemerintah untuk melaksanakan peraturan yang dapat mengurangi emisi karbon dioksida (Gilbertson & Reyes, 2009). Sedangkan dalam skema offsetting, perusahaan, lembaga keuangan, pemerintah maupun individu membiayai proyek pengurangan emisi di luar wilayah atau negara yang diwajibkan untuk mengurangi emisi (Gilbertson & Reyes, 2009). Skema ini adalah yang digunakan Protokol Kyoto dalam Clean Development Mechanism (Gilbertson & Reyes, 2009). PEMBAHASAN Pemanasan global telah menyebabkan banyak terjadinya fenomena alam yang merugikan manusia. Maka dari itu, berbagai upaya mitigasi dilakukan salah satunya melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan. Kebijakan lingkungan berbasis pasar saat ini menjadi instrumen utama dunia internasional dalam mitigasi pemanasan global. Hal ini diawali dengan Protokol Kyoto dengan mekanisme International Emissions Trading, Clean Development Mechanism, dan Joint Implementation (United Nations Framework Convention on Climate Change (c), tanpa tahun). Upaya ini dilanjutkan dalam Bali Action Plan Conference of Parties dibahas pula menenai mekanisme REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation di negara-negara berkembang (Carpenter, 2008). Indonesia telah menandatangani Protokol Kyoto sejak tahun 1998 dan melalui Perpres No. 46 tahun 2008 telah mengamanatkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) untuk merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon yang juga menjadi dasar hukum pembentukan Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon (MPK). Divisi ini juga berperan sebagai Sekretariat Komite Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) yang juga berfungsi sebagai Otoritas Perencana Nasional proyek ini (Dewan Nasional Perubahan Iklim, tanpa tahun). Dewan Nasional Perubahan Iklim ((b), 2013) menyatakan bahwa Indonesia masih berada di tahap yang paling awal dalam pengembangan pasar karbon domestik. 6 Dalam bagian ini akan dibahas beberapa mekanisme perdagangan karbon dengan beberapa skema berbeda yang terjadi di Indonesia. Setidaknya terdapat tiga mekanisme perdagangan karbon yang telah dilakukan di Indonesia, yaitu REDD, Voluntary Carbon Market, dan Joint Crediting Mechanism. Dari ketiga mekanisme tersebut dua di antaranya berfokus pada peyelamatan hutan. Hal ini mengingat Indonesia dengan sumber daya hutan yang melimpah dianggap menjadi pelaku penting penyerapan emisi karbon dioksida. REDD Hutan memiliki peran penting dalam penyerapan dan penyimpanan karbon yang dapat memperburuk pemanasan global maupun perubahan iklim (The Sidney Morning Herald, 2010). Indonesia, sebagai negara yang 52.23 persen lahannya adalah hutan, mendapat perhatian khusus dunia internasional karena memiliki potensi yang cukup besar dalam mengurangi karbon dunia, namun di sisi lain tingkat deforestasi di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia (UN-REDD Programme, 2013; Reuters.com, 2013). Maka dari itu, skema perdagangan karbon dengan mekanisme REDD adalah yang paling ditekankan oleh dunia internasional pada Indonesia. Dalam skema REDD, negara berkembang seperti di Indonesia akan diberikan sejumlah uang oleh pihak tertentu untuk menjaga kelestarian hutannya (The Sidney Morning Herald, 2010). Terdapat dua mekanisme dasar pendanaan REDD; dengan menggunakan dana pemerintah negara lain, atau dari sektor privat (redd-monitor.org, 2014). Mengingat sifatnya yang berasal dari perjanjian internasional, skema REDD di Indonesia merupakan adopsi dari perjanjian tersebut. Berdasarkan paragraf 70 The Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Action under the Convention (AWG/LCA) REDD digambarkan sebagai “upaya mendorong pihak negara berkembang untuk berkontribusi melalui tindakan mitigasi dalam sektor kehutanan dengan melakukan beberapa tindakan berikut ini, yang dinilai sesuai oleh masing-masing pihak berdasarkan kepada kemampuannya dan kondisi nasional: mengurangu emisi dari deforestasi, mengurangi emisi dari degradasi hutan, mengkonservasi cadangan karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan” (dalam redd-monitor.org (a), 2011) Berbeda dengan hasil negosiasi PBB dalam mitigasi perubahan iklim yang lain, REDD berkembang dengan relatif lebih cepat (The Sidney Morning Herald, 2010). Fase akhir dari skema REDD adalah negara-negara maju membayar upaya-upaya pemeliharaan hutan yang dilakukan negara berkembang (The Sidney Morning Herald, 2010). Beberapa aktor penting dalam skema REDD ini adalah lembaga keuangan internasional, organisasi multilateral, sektor swasta, pemerintah, serta organisasi nonpemerintah (Carbon Trade Watch, 2011). Lembaga keuangan internasional berperan menyediakan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang ditujukan untuk membantu persiapan inisiatif REDD dan dalam mengelola BioCarbon Fund, yaitu dana yang ditujukan bagi proyek REDD (Carbon Trade Watch, 2011). Organisasi multilateral seperti PBB meluncurkan UN-REDD yang bertugas untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan skema REDD nasional di negara berkembang (Carbon Trade Watch, 2011). Dalam negosiasinegosiasi yang dilakukan PBB seringkali pelobi dari sektor swasta memiliki posisi tawarmenawar yang lebih kuat dibanding pelobi dari pihak pemerintah negara tertentu, khususnya negara yang belum maju (Carbon Trade Watch, 2011). Seringkali sektor swasta berkorporasi dengan NGO tertentu untuk ikut membela kepentingannya dalam negosiasi (Carbon Trade Watch, 2011). Keberadaan aktor-aktor ini tentunya akan memengaruhi hasil negosiasi dan akan memengaruhi arah kebijakan REDD di Indonesia. Persiapan pelaksanaan REDD di Indonesia dilakukan oleh Satgas REDD yang bertujuan melakukan pembangunan institusi, pengkajian ulang dan peningkatan kerangka 7 peraturan, dan meluncurkan program strategis (Satgas REDD, tanpa tahun). Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam pengembangan skema ini PBB memegang peranan penting, Indonesia dijadikan salah satu dari sembilan negara contoh pelaksanaan yang dibimbing olen UN-REDD ini. Saat ini Indonesia telah menerima dana hingga US$ 1 miliar dari Norwegia (REDD Indonesia, tanpa tahun). Selain pemerintah Norwegia, pemerintah Australia juga telah mengembangkan dua proyek demostrasi REDD dengan dana sebesar AUS$200 juta (Arup, 2009). Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan berbagai peraturan yang terkait dengan upaya-upaya penyelamatan hutan serat menjadikan Provinsi Kalimantan Tengan sebagai provinsi percontohan untuk proyek kerja sama dengan Norwegia ini (REDD Indonesia, tanpa tahun). Selain itu, telah disusun pula Rencana Aksi Nasional yang mengamanatkan adanya moratorium penebangan hutan dan pembenahan tata kelola hutan secara keseluruhan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap dana yang telah diberikan oleh pihak Norwegia (REDD Indonesia, tanpa tahun). Voluntary Carbon Market Selain pihak pemerintah, terdapat pula proyek REDD yang didanai oleh pihak swasta. Pada tahun 2005 dididrikan Voluntary Carbon Standard (VCS) oleh para pemimpin bisnis dan lingkungan yang meyadari bahwa memereka membutuhkan jaminan yang lebih besar atas kualitas dalam Voluntary Market (Carbon Trade Watch, 2011). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Voluntary Market lebih bersifat business to business. Namun, karena sifatnya ini, pelaku tidak mendapat jaminan yang sifatnya lebih legal. Maka dari itu, para pihak yang mendirikan VCS ini memberikan kebebasan bagi pelakunya untuk menentukan sendiri aturan main proyek yang akan dilaksanakan sehingga dapat menciptakan aturan-aturan serta alat-alat yang inovatif sehingga dapat membuka jalan baru dalam kredit karbon dan memberi kesempatan bagi perusahaan, dan lembaga non-profit, maupun pemerintah untuk berpartisipasi dalam aksi perubahan iklim (Carbon Trade Watch, 2011). VCS telah menciptakan ‘Kerangka Metodologi REDD+’ untuk membimbing pengembangan metodologi REDD dalam proyek voluntary market. Dalam skema VCS PBB tidak memiliki peran. Salah satu yang menjadi perbincangan adalah proyek yang didanai oleh Shell, Gazprom Market and Trading, serta Clinton Foundation adalah proyek Rimba Raya yang mencakup hampir 64.000 hektar lahan hutan gambut di Kalimantan Tengah sebagai metodologi REDD pertama yang disetujui dalam VCS (Carbon Trade Watch, 2011). Proyek Rimba Raya dikembangkan oleh Infinite Earth. Upaya pengembangan Voluntary Market di Indonesia juga telah mendpat perhatian oleh pemerintah Indonesia dengan diluncurkannya Standar Hutan Hujan yang dapat dijaikan sebagai karbon kredit di Taman Nasional Bali Barat. Standar ini merupakan hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Amerika melalui University of Columbia, Universitas Indonesia dan USAID (redd-monitor.org, 2014) Joint Crediting Mechanism Selain REDD, bentuk lain dari CDM adalah Joint Crediting Mechanism (JCM) (Green Futures Magazine, 2013). Berbeda dengan REDD yang memfokuskan proyek pengurangan emisi melalui pelestarian hutan, proyek yang dilakukan dalam skema JCM lebih luas. Salah satu contoh adalah kerjasama Indonesia dengan Jepang yang telah dimulai pada Agustus 2013 kemarin. Proyek yang dilakukan dalam kerja sama ini di antaranya adalah sistem energi terbarukan, instalasi energi tenaga angin dan surya, perbaikan pembangkit listrik tenaga air, dan sistem transportasi semen yang lebih efisien. Pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia ini nantinya akan ditukar Jepang dengan kredit karbon yang tidak dapat diperdagangkan. Kredit karbon menunjukkan jumlah karbon dioksida yang boleh diemisi oleh Jepang (Green Futures Magazine, 2013). Kerja sama Jepang dan Indonesia 8 dalam JCM ini tidak melibatkan PBB, sehingga negosiasi kedua negara tidak mendapat intervensi dari PBB. Hal ini cukup berbeda dengan proyek REDD di Indonesia di mana UNREDD memiliki keterlibatan penuh. Beberapa langkah yang akan dilakukan kedua negara pertama adalah mengembangkan “Joint Commitee” segera setelah penanda tangana perjanjian bilateral dengan peran yang serupa dengan Sekretariat Komite Mekanisme Pembangunan Bersih dalam sistem CDM. Langkah selanjutnya adalah pengembangan metodologi dan pedoman pelaksanaan JCM. Menyusun kriteria pembangunan berkelanjutan dan integritas kelingkungan yang diterima oleh kedua negara serta menentukan proyek percontohan untuk mengevaluasi siklus JCM. Dengan adanya pelaksanaan JCM ini, diharapkan dapat mewujudkan pelaksanaan proyek pembangunan rendah karbon, investasi hijau yang diiringi dengan transfer teknologi, dan pengembangan kapasitas. JCM juga diharapkan dapat menjadi katalis untuk mekanisme pasar karbon yang relatif baru bagi Indonesia (Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon Dewan Nasional Perubahan Iklim , 2013). Eksternalitas Perdagangan Karbon Berdasarkan mekanisme perdagangan karbon melalui REDD merupakan salah satu contoh dari perdagangan karbon dengan skema offsetting. Dalam Protokol Kyoto, setiap negara yang menandatanganiya diharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka ke level tertentu, namun dengan mekanisme REDD negara-negara ini tidak perlu melakukan upaya pengurangan emisi yang sebenarnya di negaranya, melainkan membiayai upaya penyelamatan hutan yang dapat menyerap dan menyimpan karbon dioksida di negara lain. Maka dari itu skema REDD dianggap lebih murah bila dibandingkan dengan dana yang harus dikeluarkan untuk menciptakan kegiatan industri yang ramah lingkungan. Namun, menurut Carbon Trade Watch, REDD menghilangkan kewajiban negara pemberi dana untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karena posisi mereka hanya sekedar menjadi promotor dan pendukung kegiatan penyelamatan hutan (Carbon Trade Watch, 2011). Selain itu, skema REDD dapat menimbulkan ketidakadilan dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan masayarakat lain yang menggantungkan kehidupannya pada hutan (Carbon Trade Watch, 2011). Hal ini dapat terjadi karena tiga tindakan terakhir dalam definisi REDD oleh AWG/LCA memiliki celah untuk terjadinya ketidak adilan ini. Pertama, kata konservasi, yang menurut sejarah, pembangunannya hampir selalu menyebabkan hilangnya masyarakat adat dan lokal. Hampir semua konservasi hutan tropik tidak dapat memenuhi kriteria berkelanjutan (redd-monitor.org, 2014). Frasa pengelolaan hutan yang berkelanjutan menjadi masalah karena dapat memberi celah terhadap pemberian subsidi terhadap operasi logging di hutan, wilayah masyarakat adat, maupun hutan masyarakat (reddmonitor.org, 2014). Secara normatif, seharusnya mekanisme REDD memberikan peran penting bagi mereka serta menjamin pengakuan atas lahan dan hak mereka jangan sampai dikesampingkan oleh kepentingan pemerintah, perusahaan dan elit lokal (Greenpeace Indonesia, 2010). Dua tahun setelah penandatanganan perjanjian dengan Norwegia, angka deforestasi Indonesia meningkat dua kali lipat (redd-monitor.org, 2014). Hal yang serupa terjadi pula di Brazil di mana dana yang diperoleh dari REDD tidak mewujudkan penurunan signifikan terhadap angka deforestasi (redd-monitor.org, 2014). Chris Lang, menyebutkan khusus untuk di Indonesia yang memiliki pemerintahan yang korup, perubahan yang cepat dan efektif sulit dicapai (redd-monitor.org, 2014). Terlebih lagi bila mengingat sektor yang mengelola dana tersebut adalah termasuk sektor paling korup, jadi dengan adanya dana ini diharapkan pemerintah Indonesia tidak hanya dapat mengurangi emisi, namun juga belajar untuk melakukan reformasi (redd-monitor.org, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa eksternalitas positif dari REDD sulit untuk dicapai apabila strategi kebijakan tidak diiringi dengan 9 pemerintah yang korup, memiliki ata kelola yang lemah, kurangnya penegakan hukum, dan kepemilikan yang tidak jelas (redd-monitor.org, 2014). Di sisi lain, sejumlah perusahaan minyak kelapa sawit di Kalimantan Tengah mendapatkan investasi dari Pemerintah Norwegia (Carbon Trade Watch, 2011). Sebagai daerah percontohan pelaksanaan REDD dengan dana yang diperoleh dari Norwegia tentunya hal ini akan memengaruhi pelaksanaan moratorium penebangan yang akan dilakukan khususnya terhadap perusahaan tersebut yang membutuhkan lahan hutan untuk dialihgunakan. Mungkin hal ini merupakan salah satu alasan selain pemerintah yang korup yang membuat pelaksanaan REDD di Indonesia tidak berjalan dengan efektif terhadap penurunan angka deforestasi. Selain itu, pelaku utama deforestasi di Indonesia bahkan dunia, adalah industri perkebunan dan pertanian, namun mereka belum dilibatkan dalam skema REDD (Carbon Trade Watch, 2008). Hal ini menjadi janggal dan menimbulkan kesan bahwa pelaku industri ini tidak memiliki kewajiban dan tidak perlu berperan dalam skema REDD. Hal ini juga dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat dan masyarakat lain yang bergantung dengan hutan karena saat ini mereka secara tidak adil dianggap sebagai penyebab utama deforestasi (Carbon Trade Watch, 2008). Hal ini terjadi mengingat absennya perhatian dunia internasional terhadap industri perkebunan dan pertanian ini sehingga tuduhan ini dijatuhkan kepada merek yang tidak kuat posisinya dalam koordinasi internasional yang dilakukan. Komodifikasi hutan selanjutnya dapat meningkatkan kendali pemerintah dan ‘ahli’ yang mendorong zoning, model yang eksklusif, spekulasi lahan, korupsi, konflik antar masyarakat adat sebagai tindakan yang sengaja dibuat untuk melindungi keuntungan yang didapat dari perdagangan karbon (Carbon Trade Watch, 2008). Dalam skenario ini, pemerintah akan menang dan masyarakat akan kalah (Carbon Trade Watch, 2008) Secara keseluruhan, baik melalui mekanisme VCS maupun REDD, telah nyata bahwa dalam hal ini hutan dikomodifikasi. Beberapa permasalahan muncul adalah karbon yang disimpan oleh hutan berbeda dengan krbon yang dirilis oleh proses industrialisasi. Hutan secara natural dan terus menerus merilis karbon dioksida ke atmosfer melalui siklus karbon, sedangkan hidro karbon yang berasal dari pemabakaran bahan bakar fosil tidak terlibat dalam siklus karbon ini dan menyimpan karbon dioksida secara permanen dan inaktif hingga bahan bakar fosil tersebut diekstrak dan dibakar (Carbon Trade Watch, 2008). Jadi, satu satunya cara untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil karena menukar karbon yang diemisi akibat proses industrialisasi dengan karbon yang disimpa di hutan merupakan hal yang sia sian karena perbedaan sifat karbon yang disimpan. KESIMPULAN Perdagangan Karbon memungkinkan negara atau pihak yang melakukan emisi gas karbon dioksida untuk tidak melakukan langkah nyata dalam mengurangi emisi karbon seperti pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan atau proses industri yang lebih ramah lingkungan sehingga negara-negara ini dapat tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Kontribusi terhadap mitigasi pemanasan global dilakukan dengan memberikan dana kepada pihak lain yang akan melakukan proyek pelestarian lingkungan yang sebenarnya. Dalam skema perdagangan karbon internasional, khususnya dalam mekanisme CDM dan REDD, Indonesia sebagai negara dengan lebih dari 50 persen wilayahnya adalah hutan lebih memiliki peran sebagai pihak yang diwajibkan melakukan pelestarian hutan dengan dana yang diperoleh dari negara maju, maupun pelaku pengusaha. Hal ini terlihat bahwa perdagangan karbon yang terjadi di Indonesia sebagian besar adalah yang berkaitan dengan proyek pelestarian hutan. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan Norwegia dan Jepang sebagai negara maju yang memiliki peran sebagai pemberi dana untuk proyek pelestarian hutan dan lingkungan. Dari segi negara maju, atau pelaku industri tentu saja hal ini akan 10 mengntungkan karena mereka dapat merasa telah berkontribusi terhadap mitigasi pemanasan global dengan biaya yang lebih murah bila dibandingkan dengan melakukan tindakan nyata seperti pengembangan energi ramah lingkungan atau lain sebagainya. Namun, dari sisi negara berkembang khususnya Indonesia hal ini tidak terlalu menguntungkan. Hal ini ditambah lagi dengan kecenderungan pemerintah Indonesia yang korup sehingga dana yang diperoleh intuk melestarikan hutan tidak daapat digunakan secara efektif. Permasalahan lainnya secara umum adalah masih banyak pihak-pihak yang seharusnya menjadi aktor penting dalam pelestarian lingkungan justru tidak dilibatkan dalam pertemuan koordinasi internasional tentang perubahan iklim. Contohnya adalah pelaku usaha di sektor perkebunana dan pertanian. Pelaku usaha di sektor ini adalah aktor utama deforstasi di Indonesia khususnya industri kelapa sawit. Ketidakterlibatan pelaku usaha di sektor ini menyebabkan tidak terciptanya kesan bahwa mereka sebagai pihak yang bertanggung jawab. Mekanisme perdagangan karbon juga membuka peluang terampasnya hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lain yang bergantung pada hutan. Rekomendasi Pemerintah Indonesia dalam hal ini dapat memanfaatkan dana yang diberikan oleh pihak luar dalam mekanisme perdagangan karbon. Namun, pemerintah Indonesia hendaknya tidak hanya fokus pada proyek yang berkaitan dengan pelestarian hutan, namun kembangkan pula proyek-proyek yang mendorong pengembangan pembangkit listrik dengan energi terbatrukan atau ramah lingkungan, proses industri yang ramah lingkungan, dan penyelamatan hutan dan satwa liar yang memberdayakan penduduk setempat. Selain itu, dalam koordinasi internasional Indonesia sebagai penyedia hutan penyerap karbon seharusnya memiliki proses tawar yang kuat. Dengan proses tawar yang kuat ini, diharapkan pemerintah Indonesia mampu mendorong negara-negara maju untuk tidak hanya memberikan dana dalam upaya pelestarian lingkungan, namun juga mengambil tindakan nyata dalam pengurangan emisi gas karbon dioksida. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Wirjosiswojo, S., & Suhady, I. (2010). Dasar-Dasar Administrasi Lingkungan. Jakarta: STIA-LAN Press. Enger, E. D., & Smith, B. F. (2010). Environmental Science: A Study of Interrelationships, Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill. Fewtrell, L., Kaufmann, R., & Prüss-Üstün, A. (2003). Lead: Assessing the Environmental Burden of Disease. World Health Organization. Gilbertson, T., & Reyes, O. (2009). Carbon Trading: How it Works and Why it Fails. Uppsala: Dag Hammarskjöld Foundation. Harvey, L. D. (2000). Global Warming The Hard Science. Singapore: Prentice Hall. Hepburn, C. (2010). Environmental Policy, Government, and the Market. Oxford Review of Economy Policy, Vol. 2, Number 2 , 117-136. Kosobud, R. F., & Zimmerman, J. M. (1997). Introduction to Part 1: Regulatory Reform and Intervention. Dalam R. F. Kosobud, & Z. M. Jennifer, Market-Based Approaches to Environmental Policy: Regulatory Innovations to the Fore (hal. 3-14). New York: Van Nostrand Reinhold. Kosobud, R. F., & Zimmerman, J. M. (1997). Introduction to Part 2: from Journal Articles to Actual Markets: The Path Taken. Dalam R. F. Kosobud, & J. M. Zimmerman, Market-Based Approache to Environmental Policy Regulatory Innovations to the Fore (hal. 59-60). New York: Van Nostrand Reinhold. Rusbiantoro, D. (2008). Global Warming for Beginner. Yogyakarta: O2. Singh, P. (2010). Environment and Ecology. Sitapur: Uttar Pradesh Technical University. Prosiding Diskusi Carpenter, C. (2008). The Bali Action Plan: Key Issues in the Climate Negotiations (Summary for Policy Makers). Bali Action Plan. Environment & Energy Group Publication. 11 Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon Dewan Nasional Perubahan Iklim . (2013, Juli 10). Indonesia Carbon Market Development and Joint Crediting Mechanism Status. Dipetik Maret 2014, dari IGES Japan: http://www.iges.or.jp/files/research/sustainable-city/PDF/20130710/Mr.Hindarto_DNPI.pdf Laporan Knabb, R. D., Rhome, J. R., & Brown, D. P. (2011, September 14). Tropical Cyclone Report Hurricane Katrina. Dipetik Maret 2014, dari National Wather Service National Hurricane Center: http://www.nhc.noaa.gov/pdf/TCR-AL122005_Katrina.pdf Intergovernmental Panel on Climate Change . (2001). Summary for Policymakers, Climate Change 2001: Mitigation. Sixth Session of IPCC Working Group III. Acra. UN-REDD Programme. (2013). Final Evaluation of the UN-REDD Programme in Indonesia. Jakarta: UN-REDD Programme. Sumber Internet Arup, T. (2009, Agustus 10). Australia, Indonesia in Carbon Trading Plan. Dipetik Maret 2014, dari The Age: Envionment: http://www.theage.com.au/environment/australia-indonesia-in-carbon-tradingplan-20090809-ee9s.html Burt, C. C. (2013, Desember 13). Topsy-Turvy Weather in Europe, Middle East. Dipetik Maret 2014, dari Weather Underground: http://www.wunderground.com/blog/weatherhistorian/comment.html?entrynum=224 Carbon Trade Watch. (2008). REDD-CO2lonialism of Forests : Climate Change and Forests. Dipetik Maret 2014 , dari Carbon Trade Watch: http://www.carbontradewatch.org/photo-essays/reddco2lonialism-of-forests/climate-change-and-forests/01-2.html Carbon Trade Watch. (2011, Juni). Some Key REDD+ Players. Dipetik Maret 2014, dari Carbon Trade Watch: http://www.carbontradewatch.org/downloads/publications/REDD_key_players.pdf Cimons, M. (2013, April 5). Perfect Storm: Climate Change and Hurricanes. Dipetik Maret 2014, dari livescience: http://www.livescience.com/28489-sandy-after-six-months.html Dani, D. N. (2014, Maret 23). Carbon Trade: Siapkah Kita? Dipetik Maret 2014, dari Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan: http://ksdasulsel.org/pjlwa-a-hl/177-carbon-trade-siapkah-kita Dewan Nasional Perubahan Iklim. (tanpa tahun). Mekanisme Perdagangan Karbon. Dipetik Maret 2014, dari DNPI: Dewan Nasional Perubahan Iklim: http://dnpi.go.id/portal/id/program/divisi/mekanisme-perdagangan-karbon Foundations of Geographic Information and Spatial Analysis. (2007). How People Interact With the Environment. Dipetik Maret 2014, dari Foundations of Geographic Information and Spatial Analysis PennState College of Earth and Mineral Science: https://courseware.eeducation.psu.edu/courses/bootcamp/lo01/11.html Green Futures Magazine. (2013, Oktober 4). Carbon Trading Scheme Boosts Japanese Technology Investments. Dipetik Maret 2014, dari Green Future Magazines: http://www.forumforthefuture.org/greenfutures/articles/carbon-trading-scheme-boosts-japanesetechnology-investments Greenpeace Indonesia. (2010, September 29). Apa itu REDD? Dipetik Maret 2014, dari Greenpeace Indonesia: http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alam-terakhir/apa-ituredd/ Huffingtonpost.co.uk. (2013, Desember 13). Snow in Egypt For The First Time in 100 Years, Reports Say (PICTURES). Dipetik Maret 2014, dari The Huffington PostUnited Kingdom: http://www.huffingtonpost.co.uk/2013/12/13/snow-egypt-middle-east_n_4438571.html International Institute for Sustainable Development. (2013). Market Failures Leading to Environmental Degaradation. Dipetik Maret 2014, dari International Institute for Sustainable Development: http://www.iisd.org/greenbud/market.htm National Aeronatics and Space Administration. (2008, Mei 12). What's in a Name? Global Warming vs. Climate Change. Dipetik Maret 2014, dari NASA: http://www.nasa.gov/topics/earth/features/climate_by_any_other_name.html National Aeronautics and Space Administration. (2008, Mei 12). What's in a Name? Global Warming vs. Climate Change . Dipetik Maret 2014, dari NASA : http://www.nasa.gov/topics/earth/features/climate_by_any_other_name.html National Hurricane Center. (2012, Mei 30). Hurricanes in History. Dipetik Maret 21, 2014, dari National Hurricane Center National Weatger Service: http://www.nhc.noaa.gov/outreach/history/#top 12 National Oceanic and Atmospheric Administration. (2005, Desember 29). Hurricane Katrina. Dipetik Maret 2014, dari National Climatic Data Center: http://ncdc.noaa.gov/extremeevents/specialreports/Hurricane-Katrina.pdf National Science Foundation. (2005, September 15). Number of Category 4 and 5 Hurricanes Has Doubled Over the Past. Dipetik Maret 2014, dari National Science Foundation: Wher Discoveries Begin: http://www.nsf.gov/news/news_summ.jsp?cntn_id=104428 National Weather Service Weather Forecast Office. (2010, Juli 2010). Hurricane Katrina. Dipetik Maret 21, 2014, dari National Weather Service Weather Forecast Office Miami- South Florida: http://www.srh.noaa.gov/mfl/?n=katrina New Mexico Solar Energy Association. (tanpa tahun). Energy Concepts Prime: Global Warming Chapter. Dipetik Maret 2014 , dari New Mexico Solar Energy Association: Promoting Renewable Energy and Sustainability Since 1972: http://www.nmsea.org/Curriculum/Primer/Global_Warming/fossil_fuels_and_global_warming.htm Perspektif Baru. (2009, November 15). Membentuk Pasar Karbon di Indonesia. Dipetik Maret 2014, dari Perspektif Baru: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/712 REDD Indonesia. (tanpa tahun). REDD, Apakah itu? Dipetik Maret 2014 , dari REDD Indonesia: http://www.redd-indonesia.org/tentang-redd/redd-apakah-itu redd-monitor.org (a). (2011, Februari). REDD: An Introduction. Dipetik Maret 2014, dari reddmonitor.org: http://www.redd-monitor.org/redd-an-introduction/ redd-monitor.org. (2014, Januari 21). Avoided deforestation or avoiding the issue? USAID’s forest carbon project in West Bali National Park in Indonesia. Dipetik Maret 2014, dari redd-monitor.org: http://www.redd-monitor.org/2014/01/21/avoided-deforestation-or-avoiding-the-issue-usaids-forestcarbon-project-in-west-bali-national-park-in-indonesia/#more-14782 redd-monitor.org. (2014, Maret 27). Norway’s REDD deal has “triggered promising reformation processes” in Indonesia, say Rainforest Foundation Norway and AMAN. Dipetik Maret 2014, dari redd-monitor.org: http://www.redd-monitor.org/2014/03/27/norways-redd-deal-has-triggeredpromising-reformation-processes-in-indonesia-say-rainforest-foundation-norway-and-aman/#more15047 Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Africa. (tanpa tahun). REDD+ Policy. Dipetik Maret 2014, dari REDDAF: http://www.reddaf.info/content/redd-policy-process Reuters.com. (2013, November 12). Indonesia to Launch Voluntary Carbon Market. Dipetik Maret 2014, dari Reuters: http://www.reuters.com/article/2013/11/12/indonesia-carbon-climateidUSL4N0IX4S920131112 Ricketts, C. (2013, Desember 18). Remember November? it was HOT. Dipetik Maret 2014, dari Earth Times: http://www.earthtimes.org/climate/remember-november-hot/2517/ Satgas REDD. (tanpa tahun). REDD+ di Indonesia. Dipetik Maret 2014, dari Satgas REDD: Persiapan Kelembagaan: http://www.satgasreddplus.org/tentang-redd/redd-in-indonesia The Sidney Morning Herald. (2010, November 18). Carbon Credits Have a Social Price for Indonesia. Dipetik Maret 2014, dari The Sidney Morning Herald: Federal Politics: http://www.smh.com.au/federal-politics/political-opinion/carbon-credits-have-a-social-price-forindonesia-20101118-17yp0.html The University of Newcastle Australia. (2014). Environmental Science Concepts & Methods. Dipetik Maret 2014, dari The University of Newcastle Australia: http://www.newcastle.edu.au/course/ENVS1001 Time.com. (2013, Desember 13). Rare Snow Dazzles Cairo Area Residents. Dipetik Maret 2014, dari TIME: http://world.time.com/2013/12/13/rare-snow-dazzles-cairo-area-residents/ United Nations Framework Convention on Climate Change (a). (tanpa tahun). Kyoto Protocol. Dipetik Maret 2014, dari United Nations Framework Convention on Climate Change : https://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php United Nations Framework Convention on Climate Change (c). (tanpa tahun). International Emissions Trading . Dipetik Maret 2014, dari United Nations Framework Convention on Climate Change: https://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/emissions_trading/items/2731.php United Nations Framework Convention on Climate Change. (2014). Background on the UNFCC: The International Response to Climate Change. Dipetik Maret 2014, dari United Nations Framework Convention on Climate Change: https://unfccc.int/essential_background/items/6031.php 13 United Nations Framework Convention on Climate Changel (b). (tanpa tahun). Status of Ratification of the Kyoto Protoco. Dipetik Maret 2014, dari United Nations of Ratification of the Kyoto Protocol: https://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php United States Environmental Protection Agency. (2014, Januari 27). Overview of Greenhouse Gases. Dipetik Maret 2014, dari EPA United States Environmental Protection Agency: http://www.epa.gov/climatechange/ghgemissions/gases/co2.html#content Walsh, B. (2010, Oktober 14). Climate: Why CO2 Is the "Control Knob" for Global Climate Change. Dipetik Maret 2014, dari TIME: http://science.time.com/2010/10/14/climate-why-co2-is-the-controlknob-for-global-climate-change/ 14