BAB I DIKSI DAN GAYA BAHASA A. KATA DAN PILIHAN KATA 1. Kata Dan Gagasan Kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas poposional, yang berarti ia mempunyai komposisi tertentu baik monologis maupun morfologis dan secara relatif memiliki distribusi yang bebas. (Gorys Keraf, Hal. 21) Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata itu mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Atau dengan kata lain, kata-kata adalah penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Bila kita menyadari bahwa kata adalah alat penyalur gagasan, maka hal itu berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. (Gorys Keraf, Hal. 21) Tidak dapat disangkal bahwa penguasaan kosa kata adalah bagian yang terpenting dalam dunia perguruan tinggi. Prosesnya mungkin lamban dan sukar, namun seorang akan merasa lega dan puas, sebab tidak akan sia-sia semua jerih payah yang telah diberikan. Manfaat dari kemampuan yang diperolehnya itu akan lahir dalam bentuk penguasaan terhadap pengertian-pengertian yang tepat bukan sekedar mempergunakan kata yang hebat tanpa isi. Dengan pengertian-pengertian yang tepat itu, kita dapat pula menyampakan pikiran kita secara sederhana dan langsung. 2. Pilihan Kata Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan hanya dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan. Tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Fraseologi 1 mencakup persoalan kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang indifidual atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih itu dapat juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada. Sebuah kata yang tepat untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu dapat diterima oleh para hadirin atau orang yang diajak bicara. Masyarakat yang diikat oleh beberapa norma, menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan harus cocok atau serasi dengan norma norma masyarakat, harus sesuai dengan situasi yang dihadapi. (Gorys Keraf, Hal. 24) Dengan uraian yang singkat ini, dapat diberikan tiga kesimpulan utama mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata kata yang tepat atau menggunakan ungkapan ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa. (Gorys Keraf, Hal. 24) Diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. ( Arifin, 2009 Hal. 28) Diksi adalah Pemilihan sebuah kata yang tepat untuk menyampaikan sebuah gagasan atau sebuah ide. (Saya) Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya., baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, pemakaian pilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tepat penggunaan. 2 3. Makna Kata Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindra, yaitu dengan mendengar atau degan melihat. Sedangkan sisi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. (Gorys Keraf, Hal. 25) Contoh : “Maling!” (Gorys Keraf, Hal. 25) Keterangan : Pada waktu orang berteriak “Maling!” timbul reaksi dalam pikiran kita bahwa ada seorang telah berusaha untuk mencuri barang atau milik orang lain. Sedangkan makna atau isi adalah reaksi yang timbul pada orang yang mendengar. “Banjir !” (Saya) Keterangan : Pada saat orang berkata “Banjir !” timbul reaksi dalam fikiran kita bahwa adanya air yang menggenagi suatu tempat atau daerah. Sedangkan makna atau isi adalah reaksi yang timbul pada orang yang mendengar. Reaksi yang timbul itu dapat terwujud pengertian atau tindakan atau keduaduanya. Karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan “kata” yang menggenangi sebuah daerah atau tempat. Sedangkan reaksi yang timbul pada orang yang mendengar itu adalah makna atau isitetapi dengan suatu kata yang mendukung suatu amanat. Maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran kata yaitu: pengertian, perasaan, nada dan tujuan. (Gorys Keraf, Hal. 25) Pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan hal-hal tertentu kepada pendengar atau pembaca dengan mengharapkan reaksi tertentu. Perasaan lebih mengarah kepada sikap pembicara terhadap apa yang dikatakannya, bertalian dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakan pembicara atau penulis. 3 Nada mencakup sikap pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca. Sedangkan tujuan yaitu efek yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Memahami semua hal itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari seluruh usaha untuk memahami makna dalam komunikasi. 4. Macam-macam Makna Pada umumnya makna kata pertama-tama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. a. Makna Denotatif Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai apa adanya. (Arifin, 2009, Hal. 28) Makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung makna atau perasaan tambahan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 27) Makna denotatif adalah sebuah kata yang didalamnya tidak terdapat makna tambahan. (Saya) Makna denotatif dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya. Kedua relasi antara sebuah kata dengan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya. Dalam bentuk murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis hanya ingin menyampaikan informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk menggunakan kata-kata yang denotatif. Sebab pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan utamanya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 28) Contoh : 1. Rumah itu luasnya 250 meter persegi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 27) 2. Makan. (Arifin, 2009 Hal. 28) 3. Ada seratus orang yang mengikuti lomba itu. (Saya) 4 Keterangan : Pada contoh diatas semuanya mengandung makna denotatif, karena semua kata diatas tidak mengandung makna atau perasaan tambahan. b. Makna konotatif Konotasi atau makna konotatif disebut juga dengan makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Maka konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi Krena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju – tidak setuju, senang – tidak senang, (Gorys Keraf, 2009 Hal. 29) Memilih konotasi, seperti yang sudah disinggung diatas, adalah masalah yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan memilih denotasi. Oleh karena itu, pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Bila sebuah kata mengandung konotasi yang salah, misalnya kuruskering untuk menggantikan kata ramping dalam sebuah konteks yang saling melengkapi, maka kesalahan semacam itu mudah diketahui dan diperbaiki. Sangat sulit adalah perbedaan makna antara kata-kata yang bersinonim, tetapi mungkin mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu. Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Misalnya, kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasi yang sama yaitu “ peristiwa dimana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya”. Nanun kata wafat, meninggal, berpulang mempunyai konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan, sedangkan mangkat memiliki konotasi lain yaitu mengandung nilai “kebesaran” dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. Sebaliknya kata persekot, uang muka, atau panjar hanya mengandung makna denotatif. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 30) 5 Makna konotatif adalah makna kias, bukan makna sebenarnya. (Widjono, 2008 Hal. 105) Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. (Arifin, 2008 Hal. 29) Makna konotatif adalah makna kata yang mengandung perasaan arti tambahan, perasaan tertentu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 28) Makna konotatif adalah makna yang didalamnya terdapat arti tambahan yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi tertentu. (Saya) Makna konotatif sifatnya lebih professional dan operasional daripada makna denotatif. Makna denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang dikaitkan dengan kondisi dan situasi tertentu. Contoh : 1. Rumah = gedung, wisma, graha (Arifin, 2008 Hal. 29) 2. Meluap hadirin yang mengikuti pertemuan itu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 28) 3. Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono Berebut kursi Presiden.(Widjono, 2008, Hal. 106) 4. Tukang kayu itu membuat jendela. (Saya) Keterangan : Semua kata yang bercetak miring diatas merupakan makna konotatif, karena makna yang ada didalamnya terdapat arti tambahan jika dikaitkan dengan dengan situasi dan kondisi tertentu. 5. Konteks Linguistis Dan Nonlinguistis a. Konteks Nonlinguistis Relasi pertama erat hubungannya konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistis mencakup dua hal, yaitu hubungan antara kata dan barang atau hal, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat atau disebut juga konteks sosial. Konteks sosial ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penggunaan kata atau bahasa. Penggunaan kata-kata seperti istri kawan saya dan bini kawan 6 saya; buaya darat itu telah melahap semua harta bendanya dan orang itu telah melahap semua harta bendanya; kami mohon maaf dan kami mohon ampun, semuanya dilakukan berdasarkan konteks sosial atau situasi yang dihadapi. (Gorys Keraf, 2009 Hal.32) Walaupun ada ahli yang menolak konteks nonlinguistik sebagai hal yang telah berkaitan dengan bahasa, namun seperti tampak dari contoh-contoh di atas, konteks sosial ini merupakan bagian dari aparat linguistik. Menurut Fifth, konteks sosial itu mencakup : 1) Ciri-ciri yang relefan dari partisipan; orang-orang atau pribadi-pribadi yang terlibat dalam kegiatan berbicara. ciri-ciri ini dapat terwujud : a) aksi ferbal dari partisipan, yaitu setiap orang yang terlibat akan mempergunakan bahasa yang sesuai dengan situasi atau kedudukan sosialnya masing-masing. b) aksi non-ferbal dari partisipan, yaitu tingkah laku non-bahasa (gerakgerik, mimik dan sebagainya) yang mengiringi bahasa yang digunakan, juga dipengaruhi oleh status sosial para partisipan. 2) Obyek-obyek yang relevan; yang berarti bahwa pokok pembicaraan juga akan mempengaruhi bahasa para partisipan. Jika obyek yang menyangkut pembicaraan adalah mengenai Tuhan, moral, keluhuran, akan digunakan kata-kata yang berkonotasi mulia. Bidang ilmu akan mempergunakan kata-kata ilmiah, dan bidang sastra akan mempergunakan kata-kata yang khusus untuk kesusastraan. 3) Efek dariaksi verbal; efek yang oleh diharapkan partisipan juga akan mempengaruhi pilihan kata. Bila seseorang menginginkan suatu perlakuan yang baik dan manis, maka kata-kata yang digunakan juga akan sesuai dengan efek yang diinginkan itu. Dengan demikian, bahasa tyang digunakan bukan hanya semata-mata karena masalah-masalah kebahasaan, tetapi juga masalah kemasyarakatan, yang bersifat nonlinguistis. 7 b. Konteks Linguistis Konteks linguistis adalah hubungan antara unsur bahasa yang satu dengan unsur bahasa yang lain. Konteks linguistis mencakup konteks hubungan antara kata dengan kata dalam frasa atau kalimat, hubungan antar frasa dalam sebuah kalimat atau wacana, dan juga hubungan antar kalimat dalam wacana. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 33) Dalam hubungan dengan konteks ini, perlu kiranya dikemukakan suatu pengertian yang disebut kolokasi. Yang dimaksud dengan kolokasi (collocation) adalah lingkungan leksikal di mana sebuah kata dapat muncul. Misalnya, kata gelap berkolokasi dengan kata malam, dan tidak pernah berkolokasi dengan kata baik atau jahat; dengan demikian kita dapat memperoleh konstruksi malam gelap. Dengan dasar ini dapat di pelajari betapa jangka kolokasional dari kata-kata dalam suatu bahasa. Kata seorang hanya bisa dipakai bagi manusia atau malaikat atau dewa. Tetapi tidak pernah untuk binatang atau makhluk tak bernyawa. Dalam konteks linguistik dapat muncul pengertian tertentu akibat perpaduan antara dua buah kata, misalnya: rumah ayah mengandumg pengertian “Milik” rumah batu mengandumg pengertian dari atau bahannya dari. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 33) B. PENDAYAGUNAAN KATA DAN KETEPATAN PILIHAN KATA 1. Ketetapan Pilihan Kata Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketetapan pilihan kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 87) Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat dalam imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembicara. Ketepatan 8 makna kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk bahasa (kata) dan referensinya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 87) Bila kita mendengar seorang berkata “Roti” maka tidak ada seorangpun berfikir tentang suatu barang yang terdiri dari tepung, air, ragi, mentega, yang telah dipanggang. Semua oaring berfikir kepada esensinya yaitu jenis makanan entah itu disebut roti, bread, cake, panis atau apa saja istilahnya. Bunyi yang kita dengar atau bentuk rangkaian huruf yang kita kita baca akan langsung mengarahkan kepada jenis makanan tersebut. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa kata adalah sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menyebabkan orang berfikir tentang suatu hal. Dengan kata lain, arti kata adalah persetujuan atau konveksi umum tentang interrelasi antara sebuah kata dengan referensinya (barang atau hal yang diwakilinya). (Gorys Keraf, 2009. Hal. 88) 2. Persyaratan Ketetapan Diksi Ketepatan adalah kemampuan sebuah kata unruk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti yang difikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. (Gorys Keraf, 2009. Hal. 88) Beberapa butir perhatian dan persoalan berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan katanya itu. 1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain, ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Jika hanya menginginkan pengertian dasar, maka ia harus memilih kata yang denotatif. Jika ia menghendaki reaksi emosional, ia harus memakai kata konotatif. 2) Membedakan kata-kata yang cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Kata yang bersinonim tidak selalu mempunyai distribusi yang saling 9 melengkapi. Oleh sebab itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati dalam memilih kata, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan. 3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Contoh: Bahwa- bawah-bawa, karton-kartun dan sebagainya. 4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. 5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing. Contoh : faforablefaforit, progress-progresif, dan sebagainya. 6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara ideomatis. Contoh : angat akan bukan ingat terhadap, mengharapkan bukan mengharap akan dan sebagainya. 7) Untuk menjamin ketetapan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus. 8) Mempergunakan kata kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus. 9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang terkenal. 10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. 3. Kata Umum Dan Kata Khusus 1. Kata khusus a. Nama Diri Pada umumnya, kita sepakat bahwa nama diri adalah istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan kata-kata tersebut tidak akan menimbulkan salah paham. Bahwa nama diri ini merupakan kata khusus, tidak boleh disamakan dengan kata yang denotatif. Contoh; seorang yang bernama Mat Bonang yang dilahirkan pada tanggal 17, bulan 7, dan tahun 1997, pada dasarnya hanya memiliki denotasi, dan tidak akan memiliki konotasi lain selain dari penyebut orang itu. Tetapi dalam perkembangan waktu, nama diri dapat juga menimbulan konotasi tertentu. Konotasi ini timbul dari perkembangan yang dialami orang 10 yang menggunakan nama itu. Contoh; Bagi Ibunya, Ahmad yang berumur 1 tahun adalah anak yang dimanjakan, sedangkaan pada umur 18 tahun ia merupakan anak yang banyak menimbulkan duka dan cucuran air mata karena sering berkenalan dengan petugas keamanan. Disini tampak bawa kata yang paling khusus itu tetap tidak menimbulkan salah paham dalam pengarahannya, tetapi kata itu sudah menimbulkan konotasi yang berlainan dalam perkembangan waktu. Jadi, sifat khusus dapat bersifat denotatif maupun bersifat konotatif. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 91) b. Daya Sugesti Kata Khusus Di samping memberi informasi yang jauh lebih banyak, kata khusus juga memberi sugesti yang jauh leebih mendalam. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 91) Perhatikan contoh dibawah ini : Gelandangan itu bertatih-tatih sepanjang trotoir itu. Kalimat ini menimbulkan efek yang mendalam. Walaupun sudah terlalu lazim bagi kota-kota besar, namun kata gelandangan masih memiliki sugesti yang khusus. Ia bukan saja menyatakan seorang manusia, tetapi juga menyatakan tentang watak, tampang, dan karakter orang itu. 2. Kata Umum a. Gradasi Kata Umum Bila kita beralih dari nama diri kepada kata benda misalnya, maka kesulitan itu akan meningkat. Semakin umum sebuah kata, semakin sulit pula tercapai titik pertemuan antara penulis dan pembaca. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 91) Kata benda sepeti anjing misalnya akan menimbulkan daya khayal yang berbeda antara penulis dan pembaca. Kita tidak tahu bagaimana tepatnya pengertian dan cirri-ciri anjing itu. Mungkin penulis membayangkan anjing dari keturunan herder, sebaliknya pembaca yang membaca kata anjing itu membayangkan seekor anjing kampong. 11 Sesungguhnya perbedaan antara yang khusus dan umum, bagaimanapun juga akan selalu bersifat relatif. Sebuah istilah atau kata mungkin dianggap khusus bila dipertentangkan dengan istilah yang lain, tetapi akan dianggap umum bila harus dibandingkan dengan kata yang lain. Semakin umum sebuah kata, semakin sulit bagi pembaca untuk mengetahui apa yang dikatakan oleh penulis. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 92) b. Kata-kata Abstrak Kesulitan yang sama kita hadapi lagi pada waktu mendengar atau membaca kata-kata yang abstrak dan kata yang menyatakan generalisasi. Banyak kosakata terbentuk sebagai akibat dari konsep yang tumbuh dalam pikiran kita, bukan mengacu kepada hal yang kongkret. Seperti pada kata-kata seperti; kepahlawanan, kebajikan, kebahagiaan, keadilan, dan sebagainya, akan menimbulkan gagasan yang berlainan pada setiap orang, sesuai dengan pengalaman dan pengertiannya mengenai kata-kata itu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 93) 4. Penggunaan Kata Umum Dan Kata Khusus Dalam hal ini, kebijaksanaan setiap penulis memegang peranan yang penting. Ia tidakboleh mempergunakan kata abstrak atau kata umum lebih banyak dari pada yang diperlukan. Apabila ia harus mempergunakannya juga, maka ada baiknya ia menyertakan juga contoh-contoh yang kongkret dan khusus supaya pembaca dapat menciptakan pengalaman-pengalaman mental, sehingga dapat tercapai titik pertemuan itu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 93) Pendeknya, pengertian-pengertian yang umum perlu dapat menjelaskan lebih lanjut, memerlukan lagi pengembangan yang kongkret dan khusus pula. Semakin besar suatu hal yang dinyatakan melalui suatu istilah yang umum, makin besar pula keharusan untuk memberikan perincian-perinciannya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 93) 12 5. Kata Indria Suatu jenis pengkhususan dalam memilih kata-kata yang tepat adalah penggunaan istilah yang menyatakan pengalaman-pengalaman yang dicerap oleh pancaindria, yaitu cerapan indria penglihatan, peraba, perasa, dan penciuman. Karena kata-kata ini menggambarkan pengalaman manusia melalui pancaindra secara khusus, maka terjamin pula daya gunanya. Terutama dalam membuat deskripsi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 94) Sering kali bahwa hubungan antara suatu indria dengan indria yang laindirasakan begitu rapat, sehingga kata yang sebenarnya hanya dikenakan kepada suatu indria dikenakan pula pada indria lainnya. Gejala semacam ini disebut sinestesia. Contoh: kata merdu seharusnya bertalian dengan pendengaran, sedangkan kata sedap bertalian dengan perasa. Tetapi sering pula terjadi bahwa suara yang seharusnya bertalian dengan pendengaran disebut juga sedap. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 94) Kata yang sediakala bertalian dengan perasa kemudian dihubungkan juga dengan penglihatan dan pendengaran. Misalnya : Wajah manis sekali. Suaranya manis kedengaran. 6. Perubahan Makna a. Tejadinya Perubahan Makna Dari waktu ke waktu, makna kata-kata dapat mengalami perubahan, sehingga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru bagi pemakai yang terlalu bersifat konservatif. Oleh sebab itu, untuk menjaga agar pilihan kata selalu tepat, maka setiap penutur bahasa harus selalu memperhatikan perubahan-perubahan makna yang terjadi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 95) Dalam persoalan gaya bahasa atau lebih khusus dalam persoalan pilihan kata, dasar yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan apakah suatu makna sudah berubah atau tidak adalah pemakaian makna dengan makna tertentu harus 13 bersifat nasional (masalah tempat) terkenal, dan sementara berlangsung (masalah waktu). (Gorys Keraf, 2009 Hal. 95) Komunikasi kreatif berdampak pada perkembangan diksi, berupa penambahan atau pengurangan kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu bahasa berkembang sesuai dengan kualitas pemikiran pemakainya. Perkembangan dapat menimbulkan perubahan yang mencakup perluasan, penyempitan, pembatasan, pengaburan, dan pergeseran makna. (Widjono, 2008 Hal.102) Contoh : Sebelum perang Dunia II kita mengenal kata “Daulat” dengan arti; 1. bahagia, berkat kebahagiaan, misalnya : Daulat Tuanku; biasanya dipakai untuk raja-raja atau sultan-sultan. 2. mempunyai kekuasaan yang tinggi, misalnya penyerahan kedaulatan republik Indonesia. Tetapi selama revolusi fisik menentang penjajahan belanda, kata daulat dipakai dengan arti yang agak lain yaitu merebut hak dengan tidak sah, misalnya; Tanah-tanah perkebunan belanda banyak yang didaulat oleh rakyat. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 96) b. Macam-macam Perubahan Makna 1. Perluasan Arti Yang dimaksud dengan perluasan arti adalah suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang tadinya mengandung suatu makna yang khusus, tetapi kemudian meluas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 97) Contoh : Dahulu, kata “Bapak” dan “ Saudara” hanya dipakai dalam hubungan biologis, sekarang semua orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya desebut bapak, dan lain-lainnya dengan sudara. 2. Penyempitan Arti Penyempitan arti sebuah kata adalah sebuah proses yang dialami sebuah kata damana makna yang lama lebih luas cakupannya dari makna yang baru. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 97) 14 Contoh : Kata “sarjana” dulu dipakai untuk menyebutkan semua orang cendikiawan. Sekarang dipakai untuk gelar universiter C. GAYA BAHASA 1. Pengertian Gaya Bahasa Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah Style. Kata style diturunkan dari kata latin Stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 112) Walaupun kata style berasal dari bahasa latin, orang yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu : a) Aliran Platonik: memgungkap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, dan ada juga yang tidak memiliki style. b) Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, ada yang ada dalam tiap ungkapan. Secara umum, Gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya. Begitu pula sebaliknya. Style atau gaya bahasa dapat di batasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). (Gorys Keraf, 2009 Hal. 113) 15 2. Sendi Gaya Bahasa a. Kejujuran Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidahkaidah yang baik dan benar dalam bahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mrngandung ketidakjujuran. Pemakaian bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yng akan dikatakannya. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh sebab itu, ia harus digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114) b. Sopan-santun Sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkata. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114) Adapun kejelasan akan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu : 1) Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat. 2) Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat. 3) Kejelasan dalam pengaturan ide secara logis. 4) Kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan. Kesingkatan jauh lebih efektif dari pada jalinan yang berliku-liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efesien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih, yang bersinonim secara longgar, menghindari tautologi atau mengadakan reperisi yang tidak perlu. Diantara kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun, syarat kejelasan 16 masih jauh lebih penting dari pada syarat kesingkatan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114) c. Menarik Kejujuran, kejelasan, serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah awal. Bila gaya bahasa hanya mengandalkan kedua atau ketiga, kaidah diatas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik. Oleh sebab itu, gaya bahasa harus pula menarik. Gaya bahasa menarik dapat diukur melalui beberapa komponen sebagai berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114) Penggunaan variasi akan menghindari monotoni, dalam nada struktur, dan pilihan kata. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan dan pengalaman. 3. Jenis-jenis Gaya Bahasa Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa dan kedua dilihat dari segi bahasa. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 115) a. Segi Nonbahasa Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam unsur. Pada dasarnya style dapat dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut: 17 1) Berdasarkan pengarang: Gaya bahasa yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal berdasarkan ciri-ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya. Contoh: gaya Chairil, gaya Takdir dan sebagainya. 2) Berdasarkan Masa: Gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Contoh: gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern dan sebagainya. 3) Berdasarkan Medium: Yang dimaksud dengan medium adalah bahasa dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa karena struktur dan situasi sosial pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri. Contoh: karangan yang ditulis dalam bahasa Jerman, gaya bahasanya berbeda dengan yang ditulis dengan bahasa Jepang, indonesia, Arab dan sebagainya. 4) Berdasarkan Subjek: Subjek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. Contoh yang kita kenal, gaya filsafat,ilmiah (hukum, teknik, sastra) dan sebagainya. 5) Berdasarkan Tempat: Gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Contoh: gaya jakarta, gaya jogja, gaya medan dan sebagainya. 6) Berdasarkan Hadirin: Hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Contoh: adanya gaya populer yang cocok untuk masyarakat banyak, anak-anak, dewasa dan sebagainya. 7) Bedasarkan Tujuan : Gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang. Misal, gaya humoris, gaya teknis dan sebagainya. 18 b. Segi Bahasa Dilihat dari sudut bahasa atau unsure-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsure bahasa yang dipergunakan, yaitu : 1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata. 2) Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana. 3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat. 4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. 4. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat yang sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 117) a. Gaya Bahasa Resmi Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesepakatan-kesepakatan resmi, gaya yang dipergumakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Contoh: Amanat kepresidenan, pidato-pidato yang penting, dan sebagainya.(Gorys Keraf, 2009 Hal. 117) b. Gaya Bahasa Tidak Resmi Gaya bahasa tidak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan tidak formal atau kurang formal. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam artikel-artikel mingguan, bukubuku pegangan, majalah, tabloid dan sebagainya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 118) 19 Gaya bahasa resmi dan tidak resmi dapat dibandingkan sebagai berikut : gaya bahasa resmi dapat diumpamakan sebagai pakian resmi, pakaian upacara, sedangkan gaya bahasa tidak resmi adalah bahasa dalam pakaian kemeja, yaitu berpakaian secara baik, konfesional, cermat, tetapi untuk keperluan sehari-hari, bukan untuk pesta peristiwa resmi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120) c. Gaya Bahasa Percakapan Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan itu sendiri. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata yang populer atau kata-kata yang dikenal dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa ini digunakan ketika bercakap-cakap dengan orang lain, kebiasaan-kebiasaan dan sebagainya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120) 5. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti(ajakan) yang pancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata jika diikuti dengan suara dari pembicara, bila yang dihadapi adalah bahasa lisan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120) Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga dan gaya menengah. a. Gaya sederhana Gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah pelajaran, perkuliahan, dan sebagainya. Gaya ini cocok pula digunakan untuk menyampaikan fakta atau pembuktian-pembuktian. Untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 121) 20 b. Gaya Mulia dan Bertenaga Sesuai dengan namanya gaya ini penuh dengan vitalitas dan enersi, dan biasanya digunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu itu tidak hanya dengan tenaga ungkapan pembicara tetapi juga mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Contoh khutbah tentang kemanusiaan dan keagamaan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 122) c. Gaya Menegah Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai, karena tujuannya untuk menciptakan suatu keadaan yang senang dan damai, maka nada yang digunakan lemah lembut, penuh kasih sayang dan mengandung humor agar dapat menghibur pendengar. Contoh Pada kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan, rekreasi dan sebagainya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120) KESIMPULAN 21 Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata kata yang tepat atau menggunakan ungkapan ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Dilihat dari segi umumnya, makna dapat dibagi menjadi dua yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Makna konotatif sifatnya lebih professional dan operasional daripada makna denotatif. Makna denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang dikaitkan dengan kondisi dan situasi tertentu. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat dalam imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembicara, Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketetapan pilihan kata, Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata. Secara umum, Gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya, Begitu pula sebaliknya. Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : segi bahasa dan segi non bahasa. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, gaya bahasa resmi, gaya bahasa tidak resmi, dan gaya bahasa percakapan. Sedangkan gaya bahasa berdasarkan nada dapat dibedakan menjadi tiga yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah. 22 DAFTAR PUSTAKA 1. Keraf, Gorys. 2009. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2. Arifin, Zaenal. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Presindo 3. Widjono. 2008. Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo. 23