7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Darah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan
luas dinding pembuluh. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan millimeter air
raksa (mm Hg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan
tahanan perifer total (Guyton, 2007).
Tekanan darah (TD) = Curah Jantung (CJ) x Tahanan Perifer Total (TPT)
Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah akan meningkat
jika curah jantung dan tahanan perifer total meningkat (Guyton, 2007).
2.1.1 Sistem renin – angiotensin – aldosteron
Selain kemampuan ginjal untuk mengatur tekanan arteri melalui
perubahan volune cairan ekstrasel, ginjal juga memiliki mekanisme yang kuat
lainnya untuk mengatur tekanan. Mekanisme ini adalah sistem renin – angiotensin
– aldosteron (Gambar 2.1) (Guyton, 2007).
Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)
7
Universitas Sumatera Utara
Renin adalah suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan
arteri turun sangat rendah. Kemudian, enzim ini meningkatkan tekanan arteri
melalui beberapa cara, untuk membantu mengoreksi penurunan awal tekanan
(Guyton, 2007).
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif yang disebut
prorenin di dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) di ginjal. Sel JG merupakan
modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak di dinding arteriol aferen, tepatnya
di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik di dalam ginjal
menyebabkan banyak molekul prorenin di dalam sel JG terurai dan melepaskan
renin. Sebagian besar renin memasuki aliran darah ginjal dan kemudian
meninggalkan ginjal untuk bersirkulasi ke seluruh tubuh. Walaupun demikian,
sejumlah kecil renin tetap berada dalam cairan lokal ginjal dan memicu beberapa
fungsi intrarenal (Guyton, 2007).
Renin adalah suatu enzim dan bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja secara
enzimatik pada protein plasma lain, yaitu globulin yang disebut substrat renin
(atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptide asam amino-10, yaitu
angiotensin I. Angiotensin I bersifat vasokonstriktor ringan dan tidak cukup
merubah fungsional dan bermakna fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah
selama 30 menit sampai 1 jam dan terus membentuk angiotensin I yang lebih
banyak dalam waktu tersebut (Guyton, 2007). Beberapa detik hingga beberapa
menit setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan
yang dipecah dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II peptide asam
amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru-paru, dikatalis oleh
8
Universitas Sumatera Utara
suatu enzim yaitu Angiotensin Converting Enzim (ACE) yang terdapat di
endothelium pembuluh paru (Guyton, 2007).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor poten, dan juga akan mempengaruhi
fungsi sirkulasi dengan cara lain. Walaupun begitu, angiotensin II menetap dalam
darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II dengan cepat akan
diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama
disebut angiotensinase. Selama angiotensin II berada dalam darah, angiotensin II
mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan darah arteri.
Pengaruh yang pertama, yaitu vasokonstriksi pada berbagai daerah di tubuh.
Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan jauh lebih lemah di vena.
Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer total, akibatnya
tekanan darah arteri meningkat. Konstriksi ringan di vena juga terjadi dan akan
meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa
jantung untuk melawan kenaikan tekanan. Pengaruh yang kedua yang membuat
angiotensin meningkatkan tekanan darah arteri adalah dengan menurunkan
ekskresi garam dan air oleh ginjal. Hal ini perlahan-lahan akan meningkatkan
volume cairan ekstrasel, sehingga meningkatkan tekanan darah arteri selama
berjam-jam dan hari-hari berikutnya. Efek jangka panjang ini, bekerja melalui
mekanisme volume cairan ekstrasel, bahkan lebih kuat daripada mekanisme
vasokonstriktor akut dalam meningkatkan tekanan darah arteri (Guyton, 2007).
9
Universitas Sumatera Utara
2.2 Hipertensi
2.2.1 Patofisiologi
Hipertensi merupakan penyakit heterogen dengan penyebab yang spesifik
(hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui
penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Kasus hipertensi sekunder kurang
dari 10% kasus, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal
kronik atau renovascular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi
sekunder antara lain pheochromocytoma, syndrome Cushing, hipertiroid,
hiperparatiroid, aldosteron primer, kehamilan, obstruktif sleep apnea, dan
kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah
kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amfetamine,
sibutramin, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine. (Susalit, dkk.,
2008).
Corwin (2001) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada tiga
variabel yaitu, laju jantung (heart rate), volume sekuncup dan Total Peripheral
Resistance (TPR). Peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak
dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan denyut jantung dapat
terjadi akibat rangsangan abnormal saraf simpatis pada nodus SA. Peningkatan
laju denyut jantung kronik sering disertai hipertiroidisme, namun peningkatan laju
denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau
TPR, sehingga tidak menimbulkan hipertensi (Astawan, 2002).
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi
apabila terjadi peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan
garam dan air yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron
10
Universitas Sumatera Utara
maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan
garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan volume
diastolik akhir meningkat sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan
tekanan darah. Peningkatan preload (tahanan yang harus dihadapi saat darah
dikeluarkan dari ventrikel) biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan darah
sistolik (Astawan, 2002)
Peningkatan Total Peripheral Resistance (TPR) yang berlangsung lama
dapat terjadi pada peningkatan saraf simpatis pada arteriol, atau responsivitas
yang berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal. Kedua hal tersebut
dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah.
Peningkatan Total Peripheral Resistance (TPR) membuat jantung harus
memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang
lebih besar untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit.
Hal ini disebut peningkatan afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan
peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama,
maka ventrikel kiri mungkin mengalami hipertrofi (membesar), sehingga
kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat dan ventrikel harus mampu
memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang
normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan
volume sekuncup (Astawan, 2002).
11
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Epidemiologi
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita
memiliki tekanan darah di atas normal. Penyakit ini diperkirakan telah
menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5%, dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gangguan jantung.
Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat juga berakibat terjadinya
gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini seringkali disebut
silent killer karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami
komplikasi pada organ-organ vital. Penyakit ini memerlukan biaya pengobatan
yang tinggi dikarenakan alasan seringnya angka kunjungan ke dokter, perawatan
di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang (Depkes, RI., 2006).
Data WHO (2011) dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang
mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik. Diperkirakan
pada tahun 2025 kasus hipertensi terutama di negara berkembang akan mengalami
peningkatan sekitar 80% dari 639 juta kasus di tahun 2000, menjadi 1,15 milyar
kasus. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melaporkan bahwa
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun keatas di Indonesia cukup
tinggi yaitu mencapai 31,7% dimana penduduk yang mengetahui dirinya
menderita hipertensi hanya 7,2% dan yang minum obat antihipertensi hanya 0,4%.
2.2.3 Klasifikasi Hipertensi
Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tahun
12
Universitas Sumatera Utara
2003, klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (≥ 18 tahun) terbagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2.
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC 7 (2003)
Klasifikasi TD
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
<120
<80
Prehipertensi**
120-139
80-89
Hipertensi
tingkat1
140-159
90-99
Konfirmasi dalam 2 bulan
>100
Evaluasi atau hubungi
sumber pelayanan dalam 1
bulan. Untuk tekanan
darah yang lebih tinggi
(misal: 180/100 mmHg,
evaluasi atau rawat segera
atau dalam 1 minggu
tergantung pada keadaan
klinis dan komplikasi.
Normal*
Hipertensi
tingkat 2
>160
Rekomendasi follow-up
Cek kembali dalam 2
tahun
Cek kembali dalam 1
tahun
Keterangan:
1. TD=Tekanan Darah, TDS= Tekanan Darah Sistolik, TDD= Tekanan Darah
Diastolik.
2. Tanda * yaitu batas optimal untuk resiko penyakit kardiovaskuler. Namun,
tekanan darah yang terlalu rendah juga dapat mengakibatkan masalah jantung
dan membutuhkan bantuan dokter.
3. Tanda ** yaitu prehipertensi merupakan keadaan dimana tidak memerlukan
medikasi, namun termasuk pada kelompok beresiko tinggi untuk menjadi
hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke. Individu dengan prehipertensi
tidak memerlukan medikasi, tetapi dianjurkan untuk modifikasi pola hidup
sehat yang mencakup penurunan berat badan, mengurangi asupan garam,
berhenti merokok dan membatasi minum alkohol (Jeffery, 2008).
2.2.3.1 Hipertensi Esensial
Hipertensial esensial atau hipertensi primer atau ideopatik adalah
hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hiperetnsi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik
dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium,
13
Universitas Sumatera Utara
kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor
resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara
lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas, dan lain-lain (Nafrialdi,
2011).
2.2.3.2 Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
Tabel 2.2). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obatobat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini
dapat dilihat pada Tabel 2.2. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi,
maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder.
Tabel 2.2 Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Penyakit
Penyakit ginjal kronis
Hiperaldosteronisme
Penyakit renovaskular
Sindrom Cushing
Pheochromocytoma
Koarktasi aorta
Penyakit tiroid atau paratiroid
Obat

 Kortikosteroid, ACTH

 Estrogen (biasanya pil KB
dengan kadar estrogen tinggi)

 NSAID, cox-2 inhibitor

 Fenilpropanolamine dan

analog


Cyclosporin dan tacrolimus

 Eritropoetin
 Sibutramin
 Antidepresan (terutama
venlafaxine)
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH: adrenokortikotropik
hormone (Depkes, RI., 2006).
14
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Manifestasi Klinis
Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda
pada hipertensi primer. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang
timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa
gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti
pada ginjal, mata, otak, dan jantung.
Gejala seperti sakit kepala, epistaksis, pusing, dan migren dapat ditemukan
sebagai gejala klinis hipertensi primer meskipun tidak jarang tanpa gejala. Pada
survei hipertensi di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan
dengan hipertensi. Pada penelitian Gani dan kawan-kawan di Sumatera Selatan,
pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering
dijumpai, setelah gejala lain seperti mimisan, sukar tidur, dan sesak nafas.
Penemuan ini tidak jauh berbeda dengan laporan Harmaji dan kawan-kawan, yang
juga mendapatkan keluhan pusing, rasa berat di tengkuk, dan sukar tidur sebagai
gejala yang paling sering dijumpai pada pasien hipertensi. Rasa mudah lelah dan
cepat marah juga banyak dijumpai sedangkan mimisan jarang ditemukan.
Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti gangguan
penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal tidak
jarang dijumpai. Gagal jantung dan gangguan penglihatan banyak dijumpai pada
hipertensi berat atau hipertensi maligna yang umumnya juga disertai oleh
gangguan fungsi ginjal bahkan sampai gagal ginjal. Gangguan serebral yang
disebabkan oleh hipertensi dapat berupa kejang dan gejala akibat pendarahan
pembuluh darah otak berupa kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai
15
Universitas Sumatera Utara
koma. Timbulnya gejala tersebut merupakan petanda bahwa tekanan darah perlu
segera diturunkan (Susalit, dkk., 2001).
2.3 Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal
jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan
hipertensi dapat dilakukan dengan:
2.3.1 Terapi Nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi
berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah
prehipertensi (Depkes, RI., 2006).
Modifikasi gaya hidup yang penting terlihat menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium
dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol
sedikit saja. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril
(Depkes, RI., 2006).
16
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Terapi Farmakologi
Menurut Joint National Committee (JNC) 7 obat-obat antihipertensi baik sendiri
atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan
hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Pilihan
terapi hipertensi dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Depkes, RI., 2006).
Modifikasi Gaya Hidup
Target tekanan darah tidak tercapai (<140/90 mmHg) (<130/80
mmHg untuk diabetes atau penyakit ginjal kronik
Pilihan terapi
awal
Tanpa indikasi penyerta
Hipertensi tingkat 1
(TDS 140-159 atau TDD
90-99 mmHg)
Diuretik tiazid, ACEI,
ARB, BB, CCB, atau
kombinasi
dengan indikasi penyerta
Hipertensi tingkat 2
(TDS ≥160 atau TDD≥100
mmHg) Kombinasi 2
obat(diuretik tiazid dengan
ACEI, ARB, BB, CCB
Target tekanan darah
tidak tercapai
Tingkatkan dosis atau
menambahkan obat tambahan
hingga target tekanan darah
tercapai. Dipertimbangkan
konsultasi dengan spesialis
hipertensi
Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC 7 (Jeffery, 2008).
17
Universitas Sumatera Utara
Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan oleh JNC 7 adalah
<140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk
pasien dengan penyakit diabetes, jantung koroner dan ginjal kronis, serta <120/80
mmHg untuk pasien dengan penyakit disfungsi ventrikel kiri (Dipiro, et al., 2008).
Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi seperti gagal
jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke memiliki algoritma
terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit
(Dipiro, et al., 2008).
18
Universitas Sumatera Utara
Menurut JNC 8 (2014), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada
pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi.
JNC 8 menyarankan target tekanan darah yang lebih tinggi dibanding guidline
sebelumnya, dan mengurangi penggunaan beberapa tipe obat antihipertensi. Bukti
saat ini menyarankan bahwa target tekanan darah sistolik <140 mmHg yang
direkomendasikan JNC 7 pada sebagian besar pasien sangat rendah dan tidak
menunjukkan manfaat yang berarti. Rekomendasi JNC 8 ini didasarkan pada
beberapa RCT (Randomized Clinical Trial) yang didapatkan bahwa dengan
melakukan terapi pada tekanan darah <150 mmHg untuk usia ≥60 tahun sudah
terjadi penurunan kejadian stroke, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner.
Ditambah dengan penemuan bahwa menerapkan target tekanan darah <140
mmHg pada usia tersebut tidak didapatkan manfaat tambahan dibandingkan
dengan target tekanan darah yang lebih tinggi. Target penurunan tekanan darah
yang direkomendasikan oleh JNC 8 dapat dilihat pada Gambar 2.4.
19
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi
(James, et al., 2014)
Pada pasien usia ≥18 tahun dengan diabetes atau penyakit ginjal kronis,
terapi awal dimulai dengan menurunkan tekanan darah <140/90 mmHg, target
tekanan darah ini lebih tinggi dibandingkan dengan JNC 7 yaitu <130/80 mmHg.
Terapi lini pertama dibatasi pada empat kelas antihipertensi yaitu: diuretik tiazid,
Calcium Channel Blocker (CCB), Angiotensin Converting Enzim inhibitor
(ACEi),
Antagonist
Reseptor
Blocker
(ARB).
Beta
blocker
tidak
20
Universitas Sumatera Utara
direkomendasikan untuk terapi inisial hipertensi karena penggunaan beta blocker
memberikan kejadian yang lebih tinggi pada kematian akibat penyakit
kardiovaskular, infark miokard, atau stroke dibandingkan dengan ARB. Tujuan
utama dari pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan
tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan
pengobatan, meningkatkan dosis obat awal atau menambah obat kedua dari salah
satu kelas (diuretik tiazid, CCB, ACEI, atau ARB). Klinisi harus terus menilai
tekanan darah dan menyesuaikan rejimen pengobatan sampai target tekanan darah
tercapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat, menambah
dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan menggunakan ACEI dan
ARB bersama pada pasien yang sama. Jika target tekanan darah tidak dapat
dicapai dengan menggunakan obat diuretik tiazid, CCB, ACEI, atau ARB karena
kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat untuk
mencapai target tekanan darah, obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan.
Rujukan ke spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang target
tekanan darah tidak dapat dicapai dengan menggunakan strategi di atas atau untuk
pengelolaan pasien yang rumit. Adapun perbandingan antara JNC 7 dengan JNC 8
dapat dilihat pada Tabel 2.3 (James, et al., 2014).
21
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Perbandingan anatara JNC 7 (2003) dengan JNC 8 (2014)
Topik
Metodologi
Definisi
Target terapi
Rekomendasi
pola hidup
Terapi obat
JNC 7
Tinjauan pustaka
nonsistematik oleh komite
ahli termasuk jangkauan pola
studi.
Rekomendasi berdasarkan
mufakat.
JNC 8
Pertanyaan-pertanyaan kritis
dan tinjauan kriteria yang
ditentukan oleh para ahli
dengan input dari tim
metodologi.
Tinjauan sistematis awal oleh
metodologi dibatasi pada
bukti percobaan terkontrol
secara acak.
Tinjauan berikutnya dari
bukti percobaan terkontrol
secara acak dan rekomendasi
oleh para ahli berdasarkan
protokol standar.
Mendefinisikan atau
Tidak memfokuskan pada
menetapkan hipertensi dan
definisi hipertensi dan
prehipertensi.
prehipertensi, tetapi fokus
pada ambang batas
pengobatan farmakologi.
Menetapkan tujuan terapi
Target terapi yang sama
yang berbeda untuk hipertensi untuk semua populasi
tanpa komplikasi dan untuk
hipertensi kecuali bila
hipertensi dengan berbagai
terdapat kajian bukti yang
kondisi kormobiditas
mendukung untuk target
(diabetes dan CKD).
terapi yang berbeda pada
subpopulasi tertentu.
Modifikasi gaya hidup
Merekomendasikan
direkomendasikan
modifikasi gaya hidup
berdasarkan tinjauan pustaka berdasarkan pada
dan pendapat ahli.
rekomendasi dari kelompok
kerja gaya hidup (Lifestyle
Work Group).
Merekomendasikan 5 kelas
antihipertensi untuk
dipertimbangkan sebagai
terapi awal tetapi
menyarankan diuretik tipe
tiazid sebagai terapi awal
untuk sebagian besar pasien
tanpa kondisi yang memaksa
untuk menggunakan kelas
antihipertensi lainnya.
Menentukan kelas obat
Merekomendasikan
pemilihan antara 4 kelas obat
tertentu (ACEI atau ARB,
CCB atau Diuretik) dan
dosisnya yang berdasarkan
pada bukti RCT (Randomized
Clinical Trial).
Merekomendasikan kelas
obat tertentu berdasarkan
pada bukti kajian untuk
subkelompok ras, gagal ginjal
22
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 (Lanjutan)
Terapi obat
antihipertensi tertentu untuk
pasien dengan indikasi
lainnya seperti diabetes, gagal
ginjal kronis, gagl jantung,
infark miokard, stroke dan
risiko tinggi pada
kardiovaskuler yang
dicantumkan dalam tabel
yang mencakup obat-obat
antihipertensi oral meliputi
nama dan dosis hariannya.
Batasan topik
Memfokuskan pada beberapa
masalah (metode pengukuran
tekanan darah, komponen
evaluasi pasien, hipertensi
sekunder, kepatuhan pada
pengobatan, hipertensi
resisten, dan hipertensi pada
populasi khusus) berdasarkan
kajian literature dan pendapat
ahli.
Tinjauan
Ditinjau oleh National High
proses sebelum Blood Pressure Education
publikasi
Program Coordinating
Committee, sebuah koalisi
dari 39 profesional, Publik,
Organisasi Sukarela dan 7
Agen federal.
kronis dan diabetes.
Para ahli membuat tabel obat
dan dosis yang digunakan
dalam percobaan hasil.
Kajian berdasarkan pada
bukti RCT terhadap sejumlah
pertanyaan yang dinilai oleh
panelis yang menjadi prioritas
tertinggi.
Ditinjau oleh para ahli
termasuk yang bergabung
dengan para ahli professional
dan agen federal, tidak ada
sponsor resmi oleh organisasi
manapun yang harus diambil.
(James, et al., 2014)
2.4 Obat Antihipertensi
Antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi. Pembagian
kelompok obat antihipertensi adalah sebagai berikut:
2.4.1 Diuretik
Diuretik adalah suatu zat yang meningkatkan laju pengeluaran volume urin
melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima golongan
obat yaitu:
23
Universitas Sumatera Utara
a.
Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja
di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja
dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na +, K+ dan Cl- di ansa henle dan
tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl- yang menyebabkan
meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik kuat adalah
furosemida, asam etakrinat dan bumetamida.
b.
Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa
komplikasi. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na +
dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama
dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid adalah
hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid.
c.
Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal,
yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini
bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya
osmotiknya. Obat-obat golongan diuretik osmotik adalah mannitol, sorbitol,
gliserin, dan isosorbid.
d.
Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme
kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion
natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium.
Proses
ini
dihambat
oleh
diuretik
penghambat
aldosteron,
yaitu:
spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk
melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran
natrium, yaitu: triamteren dan amilorid.
24
Universitas Sumatera Utara
e.
Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja
pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat melalui
penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan
ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium
di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium,
kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini adalah asetazolamid
dan diklorofenamid. Efek samping diuretik umumnya berupa hipokalemia,
hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia,
dan disfungsi seksual (Depkes, RI., 2006).
2.4.2 Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (ACEi)
ACEi menurunkan produksi angiotensin
II, meningkatkan kadar
bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan
curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah
angiotensin II di dalam darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini
adalah kaptopril, enalapril, ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan
sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik,
penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan
obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan
hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Fauci, et al., 2008).
2.4.3 Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan
kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot
jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat
sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja
25
Universitas Sumatera Utara
menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali
normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem,
nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif
menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering
dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, et al.,
2008).
2.4.4 Penghambat Reseptor Angiotensin (ARB)
ARB bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan
reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin
II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu
vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon
antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor
angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek
yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan
dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB
mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak
mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi.
Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,
hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes, RI., 2006).
2.4.5 Penghambat Reseptor Beta (β blocker)
Penghambat β menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah
jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama
penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara
langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi
26
Universitas Sumatera Utara
penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok
reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif
memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2
terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan
tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih
banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri.
Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan
pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan
vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat β
yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti
propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri
perifer, dan diabetes (Depkes, RI., 2006).
Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada
penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang
berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan
meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati.
Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauci, et
al., 2008).
2.4.6 Penghambat Reseptor Alfa (α blocker)
Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di jantung
sedangkan reseptor α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang
berlawanan. Aktivasi dari reseptor α1 akan meningkatkan pelepasan senyawa
katekolamin, yakni epinefrin, nor epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah
27
Universitas Sumatera Utara
penghambat reseptor α1 selektif. Obat-obat ini bekerja pada pembuluh darah
perifer dan menghambat pelepasan katekolamin pada sel otot jantung,
menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping yang
tidak disukai dari penghambat reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang
ditandai dengan pusing sementara atau pingsan dan palpitasi (Depkes, RI., 2006).
2.4.7 Agonis α2 sentral
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang
reseptor α2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik
dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan
meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung,
cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks
baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten, dan
metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Penghentian
agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension, yaitu
peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Efek ini diduga disebabkan oleh
meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba
(Depkes, RI., 2006).
2.5 Kepatuhan
2.5.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan terhadap pengobatan didefenisikan sebagai sejauh mana
perilaku pasien sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis
mengenai penyakit dan pengobatannya. Tingkat kepatuhan untuk setiap pasien
28
Universitas Sumatera Utara
biasanya digambarkan sebagai persentase jumlah obat yang diminum setiap
harinya dan waktu minum obat dalam jangka waktu tertentu (Osterberg, 2005).
2.5.2 Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Kepatuhan
Menurut Osterberg (2005), kepatuhan pasien terhadap pengobatannya
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi:
a. Faktor demografi
Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah, dan
tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan tingkat kepatuhan yang rendah
terhadap rejimen pengobatan.
b. Faktor psikologi
Faktor
psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap rejimen
pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan.
Sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makan yang
dialami pasien dikaitkan dengan ketidakpatuhan.
c. Faktor sosial
Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting
dalam pengelolaan hipertensi. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan
tingkat masalah atau konflik yang rendah dan pasien yang mendapat dukungan
dan memiliki komunikasi yang baik antara keluarga dan masyarakatnya
cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan sosial juga
dapat menurunkan rasa depresi atau stress terhadap pengelolaan hipertensi.
29
Universitas Sumatera Utara
d. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan modifikasi
Penyakit kronik yang diderita pasien, rejimen obat yang kompleks dan efek
samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan pada
pasien. Penelitian pada pasien hipertensi menunjukkan kepatuhan yang lebih
tinggi pada pasien dengan rejimen pengobatan yang sederhana dibandingkan
dengan pengobatan yang kompleks.
e. Faktor yang berhubungan dengan
f. tenaga kesehatan
Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga
kesehatan, seperti Dokter menyebabkan penyampaian informasi menjadi kurang
sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan.
Keterbatasan tenaga kesehatan lain, seperti Apoteker, waktu dan keahlian yang
dimiliki Apoteker juga berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai
penggunaan obat sehingga cenderung meningkatkan ketidakpatuhan pasien.
2.5.3 Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan
Menurut Osterberg (2005), tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat
diukur melalui dua metode, yaitu:
a. Metode langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan
beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat atau metabolit obat di dalam
darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam tubuh.
Metode ini umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadap
penolakan pasien.
b. Metode tidak langsung
30
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, .menggunakan
kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan
menghitung tingkat pengambilan kembali resep obat.
2.5.4 Metode Meningkatkan Kepatuhan
a. Pemberian edukasi kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya mengenai
penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan secara individu maupun
kelompok, dan dapat diberikan melalui tulisan, telepon, email, atau dating ke
rumah.
b. mengefektifkan jadwal pendosisan melalui penyederhanaan rejimen dosis
harian, menggunakan kotak pil untuk mengatur jadwal dosis harian, dan
menyertakan anggota keluarga berpartisipasi dalam meningkatkan kepatuhan
pasien untuk minum obat.
c. meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan (Osterberg,
2005).
Penderita hipertensi sangat penting untuk mengendalikan tekanan darah
dan faktor resiko guna meningkatkan derajat kesehatannya. Suhardjono (2008)
menyatakan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyebab tersering yang
menimbulkan kesakitan dan kematian akibat komplikasi penyakit kardiovaskuler.
Berdasarkan hal tersebut maka kepatuhan pasien hipertensi dalam mengontrol
tekanan darah adalah tindakan yang sangat penting. Kepatuhan pasien hipertensi
dapat dilihat dari perilaku pasien hipertensi yang menaati semua nasihat dan
petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan medis guna mencapai keberhasilan
pengobatan.
31
Universitas Sumatera Utara
Kepatuhan mencakup kombinasi antara kontrol tekanan darah dan
penurunana
faktor
resiko
yang dilakukan
pasien.
Keberhasilan
dalam
mengendalikan tekanan darah tinggi merupakan usaha bersama antara pasien dan
dokter yang menanganinya. Kepatuhan seorang pasien yang menderita hipertensi
tidak hanya dilihat berdasarkan kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi,
tetapi juga dituntut peran aktif pasien dan kesediaannya untuk memeriksakan
kesehatannya ke dokter sesuai denagn jadwal yang ditentukan serta perubahan
gaya hidup yang dianjurkan (Burnier, 2001).
32
Universitas Sumatera Utara
Download