PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING ATAU KONSELOR DALAM PENGUATAN KARAKTER DAN PENGEMBANGAN KARIER PESERTA DIDIK Hamid Muhammad, Ph.D Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Disampaikan Oleh: Dr. Supriano, M. Ed Direktur Pembinaan SMP Malang, 29 APRIL 2017 2nd SEMINAR NASIONAL “KOMITMEN PROFESIONAL DAN AKUNTABILITAS KONSELOR ATAU GURU BIMBINGAN DAN KONSELING” 1 PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING ATAU KONSELOR DALAM PENGUATAN KARAKTER DAN PENGEMBANGAN KARIER PESERTA DIDIK Hamid Muhammad, Ph.D Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen integral dalam sistem pendidikan di sekolah, di samping komponen lain yaitu layanan pembelajaran dan layanan manajemen. Sebagai bagian integral, layanan bimbingan dan konseling diharapkan mampu memfasilitasi perkembangan peserta didik secara optimal. Peran ini dapat dilakukan dengan melibatkan dan memanfaatkan seluruh aspek yang ada di sekolah beserta komponen lain di luar sekolah yang terkait dengan optimalisasi perkembangan peserta didik. Dengan demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor perlu mengubah paradigma layanannya ke arah bimbingan dan konseling perkembangan (developmental guidance and counseling) yang berupaya memfasilitasi seluruh siswa untuk mencapai perkembangan optimal masing-masing, dari pada pendekatan klinis (clinical approach) yang lebih fokus pada upaya-upaya kuratif terhadap siswa-siswa tertentu yang bermasalah (Myrick, 2011). Untuk mewujudkan paradigma tersebut, guru bimbingan dan konseling atau konselor harus berwawasan dan bertindak secara komprehensif yang diwujudkan dalam program bimbingan dan konseling komprehensif, yang memungkinkan seluruh komponen dan stake holder sekolah dilibatkan dalam memfasilitasi perkembangan optimal peserta didik (Dollarhide and Saginak, 2012) sehingga terwujud sekolah efektif. Diakui, upaya untuk mewujudkan sekolah efektif melalui layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan masih membutuhkan perjuangan. Sejumlah tantangan masih menghadang. Jumlah dan mutu guru bimbingan dan konseling atau konselor yang terbatas, penyebaran guru BK atau konselor yang belum merata ke semua daerah, dan persepsi masyarakat sekolah yang belum semua positif terhadap layanan bimbingan dan konseling merupakan sebagian tantangan yang harus dihadapi terutama oleh guru bimbingan dan konseling, sekolah dan pemerintah. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah dan terus berusaha meningkatkan mutu guru bimbingan dan konseling/konselor melalui berbagai kebijakan dan program, antara lain pelatihan kompetensi guru BK/K dan peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Namun demikian, dalam melaksanakan tugasnya guru BK agar fokus pada: (1) penguatan pendidikan karakter peserta didik melalui kegiatan kurikuler, ekstrakulikuler dan non kurikuler, (2) peningkatan bimbingan dan konseling peserta didik untuk memahami, menerima, mengarahkan, memecahkan masalah dan mengambil keputusan dalam memilih jenjang pendidikan berikutnya sesuai potensi, bakat dan minat masing2. Begitu pentingnya peran guru BK dalam mengawal perkembangan perserta didik, maka perlu reformulasi peran dan fungsi guru BK di sekolah agar mampu mengoptimalkan potensi peserta didik ke depan. A. Rasional “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan 2 kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”(Pasal 3, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003). Pasal tersebut mengamanatkan pentingnya pengembangan potensi peserta didik menuju terwujudnya insan Indonesia yang memiliki karakter yang baik (good character). Menyadari akan pentingnya pembangunan karakter bangsa, pemerintah mencanangkan penguatan revolusi karakter bangsa melalui budi pekerti dan pembangunan karakter peserta didik sebagai bagian dari revolusi mental (agenda Nawacita No. 8). Hal ini juga sejalan dengan salah satu pokok penting Trisakti yaitu “Mewujudkan Generasi yang Berkepribadian dalam Kebudayaan”. Penguatan pendidikan karakter juga dicanangkan dalam RPJMN 2015-2019 “Penguatan pendidikan karakter pada anak-anak usia sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk memperkuat nilai-nilai moral, akhlak, dan kepribadian peserta didik dengan memperkuat pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran”. Dengan pendidikan karakter yang sistematis dan terintegrasi, Generasi Emas 2045 yang bertaqwa, nasionalis, tangguh, mandiri, dan memiliki keunggulan bersaing secara global dapat kita wujudkan. Oleh karena itu penguatan pendidikan karakter menjadi salah satu Arahan Khusus Presiden kepada Mendikbud. Tantangan global di Abad XXI semakin kompleks. Untuk bisa unggul bersaing di Abad ini, setiap insan Indonesia harus kecakapan hidup yang meliputi fleksibilitas dan adaptabilitas, interaksi sosial-budaya, produktivitas dan akuntabilitas, kepemimpinan dan tanggung jawab. Selain itu, insan Indonesia juga harus memiliki kemampuan belajar dan berinovasi yang meliputi berfikir kritis dan penyelesaian masalah, kreativitas dan inovasi, komunikasi, dan kolaborasi. Kecakapan lain yang dibutuhkan pada abad ini adalah literasi digital yakni, literasi informasi, literasi media, dan literasi teknologi. Ketiga kecakapan tersebut tidak akan berfungsi baik sebagai insan Indonesia jika tidak dilandasi oleh karakter moral cinta tanah air, nilai-nilai budi pekerti luhur, jujur, adil, empati, penyayang, hormat, sederhana, pengampun, dan rendah hati. Dalam kaitannya dengan pendidikan di sekolah dasar dan menengah, Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 telah menetapkan Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah yang antara lain menegaskan bahwa setiap lulusan harus memiliki perilaku yang mencerminkan sikap: 1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, 2. berkarakter, jujur, dan peduli, 3. bertanggungjawab, 4. pembelajar sejati sepanjang hayat, dan 5. sehat jasmani dan rohani, sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional dan internasional. 3 Upaya mewujudkan lulusan sesuai dengan standar kompetensi lulusan sebagaimana dipaparkan di atas membutuhkan sistem layanan pendidikan integratif. Kompetensi hidup dikembangkan secara isi-mengisi atau komplementer antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan guru mata pelajaran dalam satuan pendidikan. Setiap peserta didik memiliki potensi (kecerdasan, bakat, minat, kepribadian, kondisi fisik), latar belakang keluarga, serta pengalaman belajar yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan peserta didik/konseli memerlukan layanan pengembangan yang berbeda-beda pula. B. Peran Guru Bk/Konselor Dalam Pendidikan Karakter (Pada K-13) Dalam pelaksanaan K-13, guru BK/Konselor berkewajiban menilai (memantau perkembangan) sikap spiritual dan sikap sosial peserta didik di luar jam pembelajaran baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah baik secara langsung atau tidak langsung. Guru BK/Konselor mencatat perkembangan sikap peserta didik dalam jurnal. Guru BK/Konselor (bersama-sama guru mata pelajaran – termasuk guru Pendidikan Agama dan Budi Pekerti) melakukan tindak lanjut hasil penilaian (pemantatuan perkembangan sikap) dengan memfasilitasi peserta didik memperoleh sikap (nilai-nilai) yang ditargetkan – terutama bagi peserta didik yang belum bersikap baik. Pada akhir semester guru BK/Konselor meringkas perkembangan sikap spiritual dan sikap sosial setiap peserta didik dan menyerahkan ringkasan tersebut kepada wali kelas. Guru BK / Konselor perlu mengawali segala tindakannya dengan pikiran-pikiran positif (pikiran yang baik). Kekuatan pikiran telah lama ditengarai Lickona akan menentukan karakter individu. Lickona (2004 : 3-4) mengingatkan pentingnya pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, dalam pembentukan karakter dan nasib atau keberuntungan seseorang: Be careful of your thoughts, for your thoughts become your words. Be careful of your words, for your words become your deeds. Be careful of your deeds, for your deeds become your habits. Be careful of your habits, for your habits become your character. Be careful of your character, for your character become your destiny. Berangkat dari pendapat Lickona, untuk membentuk karakter yang baik, guru BK harus memulai kinerjanya dari pikiran-pikiran yang baik dan positif, dan mencermati perkataan-perkataan yang muncul atau dimunculkan oleh peserta didik dan pendidik. Kata-kata yang positif perlu terus diupayakan agar muncul menjadi tindakan nyata atau perilaku yang positif. Tindakan-tindakan yang baik jika dilakukan secara terus menerus akan menjadi kebiasaan positif, dan kebiasaan positif yang dilakukan terus menerus akan menjadi bagian dari pribadi yang disebut karakter baik. Karakter baik jika terus dipelihara akan menjadi keberuntungan bagi pemiliknya. Dengan demikian Guru BK/konselor, sebagaimana juga guru, kepala sekolah dan tenaga kepedidikan serta orang dewasa lain harus mampu menjadi model positif (tauladan) bagi para peserta 4 didik. Guru BK/konselor harus menyadari bahwa semua perilaku, tutur kata dan sikapsikapnya akan ditiru oleh peserta didik. C. Evaluasi Guru BK/Konselor (dalam Pelaksanaan K-13 Tahun 2014) Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan SMP melakukan evaluasi terhadap Guru BK/Konselor dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 SMP. Secara umum, hasil evaluasi menunjukkan kategori baik (skor 2,96) dari rentangan skor 1-4. Evaluasi meliputi 10 komponen: 1) latar belakang pendidikan guru BK/K (baik, 2,8); 2) penetapan kebutuhan layanan dengan menggunakan instrumen, kategori baik (3,19); 3) program layanan bimbingan dan konseling, kategori baik (3,20); 4) pelaksanaan layanan bimbingan klasikal, kategori (2,87); 5) pelaksanaan bimbingan kelompok, kategori baik (2,96); 6) pelakasnaan layanan konselong individual, kategori sangat baik (3,28); 7) pelaksanaan layanan konseling kelompok, kategori baik (2,89); 8) pelaksanaan layanan pendukung, kategori baik (2,92); 9) pelaksanaan layanan peminatan dan perencanaan individual, kagtegori baik (2,80); 10. Pelaksanaan dukungan sistem, kategori baik (2,69). Dari hasil evaluasi tersebut tampak bahwa secara umum layanan bimbingan dan konseling di SMP telah berjalan dengan baik. Meskipun demikian diakui bahwa hasil evaluasi tersebut belum sepenuhnya menggambarkan potret pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling SMP se Indonesia karena terbatasnya responden yang belum sepenuhnya merepresentasikan variasi yang ada. Selain itu, cakupan wilayah evaluasi juga belum sepenuhnya mewakili variasi wilayah Indonesia. Kekurangan jumlah dan mutu guru BK /konselor yang kualifikasinya sesuai dengan peraturan yang belaku masih menjadi salah satu kendala layanan BK di sekolah. Dari data kualitatif yang dikumpulkan melalui kuesioner terbuka diperoleh informasi bahwa banyak layanan BK yang dirangkap oleh guru yang tidak berlatar belakang BK. Layanan bimbingan dan konseling sudah berjalan, tetapi belum maksimal karena banyak guru BK yang belum membuat Rencana Pelaksanaan Layanan (RPL). Banyak guru BK/Konselor yang mengusulkan diselenggarakannya pelatihan bagi guru BK, antara lain untuk memantapkan keterlaksanaan 10 aspek layanan BK yang telah dievaluasi. D. Langkah Strategis Kemendikbud Meningkatkan Profesionalitas Guru BK/Konselor Upaya untuk mewujudkan sekolah efektif melalui layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan masih membutuhkan perjuangan. Sejumlah tantangan masih menghadang. Jumlah dan mutu guru bimbingan dan konseling atau konselor yang terbatas, penyebaran guru BK atau konselor yang belum merata ke semua daerah, dan persepsi masyarakat sekolah yang belum semua positif terhadap layanan bimbingan dan konseling merupakan sebagian tantangan yang harus dihadapi terutama oleh guru bimbingan dan konseling, sekolah dan pemerintah. E. Penutup Guru bimbingan dan konseling atau konselor harus mengubah paradigma layanannya ke arah paradigma bimbingan dan konseling perkembangan (developmental guidance and counseling) yang berupaya memfasilitasi seluruh siswa untuk mencapai 5 perkembangan optimal masing-masing, dari pada pendekatan klinis (clinical approach) yang lebih fokus pada upaya-upaya kuratif terhadap siswa-siswa tertentu yang bermasalah (Myrick, 2011). Untuk mewujudkan paradigma tersebut, guru bimbingan dan konseling atau konselor harus berwawasan dan bertindak secara komprehensif yang diwujudkan dalam program bimbingan dan konseling komprehensif, yang memungkinkan seluruh komponen dan stake holder sekolah dilibatkan dalam memfasilitasi perkembangan optimal peserta didik (Dollarhide and Saginak, 2012) sehingga terwujud sekolah efektif. Seminar ini menjadikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari akan perlunya: 1. peningkatan jumlah, macam/jenis, dan mutu pembinaan guru BK/Konselor oleh Kemdikbud, misalnya dalam bentuk pelatihan (termasuk K-13), workshop, dan bimbingan teknis agar kompetensi guru BK/Konselor terus meningkat seiring tuntutan; 2. peningkatan intensitas pembinaan dan fasilitasi organisasi profesi guru BK/Konselor; 3. peningkatan pelaksanaan monitoring dan evaluasi kinerja guru BK/Konselor untuk tujuan pengembangan profesi dan peningkatan kinerja. 6 Lampiran Satuan Pendidikan Guru BK S1 1 SMP 28,032 26,932 15,589 370 10,373,937 2 SMA 14,294 13,959 7,715 338 4,825,121 3 SMK 10,405 10,175 3,923 467 4,859,892 7 Guru BK sertifikasi rasio siswa/Guru BK Guru BK No jumlah siswa SMP PROVINSI JUMLAH GURU BK Luar Negeri 5 Prop. Aceh SISWA RASIO SISWA/G URU SMA GURU BK S1 GURU BK SERTIFIKASI JUMLAH GURU BK RASIO SISWA/G URU SISWA 2 574 287.00 SMK GURU BK SERTIFIKAS I JUMLAH GURU BK SISWA 2 - - - GURU BK S1 RASIO SISWA/G URU GURU BK SERTIFIKA SI - - 2,614 522.80 5 2 465 205,72 8 442.43 445 163 446 143,57 9 321.93 434 205 110 52,040 473.09 107 38 Prop. Bali Prop. Bangka Belitung 708 198,44 0 280.28 691 336 356 85,721 240.79 352 223 263 95,982 364.95 261 102 155 61,301 395.49 148 45 24,330 405.50 58 19 57 23,003 403.56 56 13 Prop. Banten 617 437,83 8 709.62 593 347 361 182,84 6 506.50 357 184 208 249,61 7 1200.08 201 70 Prop. Bengkulu 221 91,113 412.28 215 72 162 50,468 311.53 160 30 76 26,182 344.50 71 20 Prop. D.I. Yogyakarta 665 131,10 6 197.15 643 477 261 54,327 208.15 257 199 383 86,790 226.61 376 230 1,231 382,40 4 310.65 1,202 809 672 170,26 5 253.37 666 412 415 220,55 6 531.46 407 194 Prop. Gorontalo 165 51,988 315.08 157 112 26,375 310.29 83 50 57 20,221 354.75 57 33 Prop. Jambi 358 129,01 1 360.37 347 184 77,818 316.33 244 126 114 49,201 431.59 111 45 Prop. Jawa Barat 3,025 1,847, 543 610.76 2,886 1,702 1,680 668,19 2 397.73 1,638 1,000 1,048 1,024,0 41 977.14 1,007 295 Prop. Jawa Tengah 5,000 1,228, 648 245.73 4,889 3,200 1,673 404,42 8 241.74 1,647 1,050 2,379 785,94 9 330.37 2,346 908 Prop. Jawa Timur 4,734 1,286, 271.75 4,638 3,095 1,898 533,48 281.08 1,880 1,149 1,979 728,57 368.15 1,955 832 Prop. D.K.I. Jakarta 60 85 246 8 0.00 GURU BK S1 SMP PROVINSI JUMLAH GURU BK SISWA RASIO SISWA/G URU SMA GURU BK S1 GURU BK SERTIFIKASI JUMLAH GURU BK 455 RASIO SISWA/G URU SISWA SMK GURU BK S1 GURU BK SERTIFIKAS I JUMLAH GURU BK 8 SISWA RASIO SISWA/G URU GURU BK S1 GURU BK SERTIFIKA SI 3 Prop. Kalimantan Barat 418 236,87 8 566.69 410 102 232 120,77 6 520.59 230 68 94 61,011 649.05 93 17 Prop. Kalimantan Selatan 529 123,39 8 233.27 520 283 235 65,065 276.87 233 131 194 53,102 273.72 193 80 Prop. Kalimantan Tengah 282 108,58 7 385.06 271 121 161 55,241 343.11 160 71 87 31,089 357.34 85 22 371 157,56 8 424.71 357 113 191 71,524 374.47 190 63 149 74,193 497.94 146 29 77 31,719 411.94 77 12 41 16,500 402.44 41 7 28 9,708 346.71 28 4 117 84,223 719.85 111 37 86 39,247 456.36 84 21 32 28,225 882.03 30 7 1,035 323,89 9 312.95 960 554 541 155,16 4 286.81 520 302 345 139,29 0 403.74 330 129 Prop. Maluku 92 98,741 1073.27 79 37 149 72,051 483.56 138 72 35 20,533 586.66 31 10 Prop. Maluku Utara 27 60,996 2259.11 26 12 38,493 1202.91 26 11 16 16,751 1046.94 15 5 Prop. Nusa Tenggara Barat 948 187,38 6 197.66 922 441 537 111,45 6 207.55 525 230 321 70,634 220.04 317 94 Prop. Nusa Tenggara Timur 648 335,68 8 518.04 586 265 417 185,36 4 444.52 401 148 148 73,215 494.70 142 53 Prop. Papua 161 124,04 7 770.48 147 78 126 60,020 476.35 121 62 60 33,144 552.40 60 22 Prop. Kalimantan Timur Prop. Kalimantan Utara Prop. Kepulauan Riau Prop. Lampung 32 9 SMP SMA JUMLAH GURU BK SISWA 68 47,004 691.24 66 32 Prop. Riau 561 266,18 1 474.48 529 306 Prop. Sulawesi Barat 123 66,680 542.11 113 57 Prop. Sulawesi Selatan 1,107 411,32 3 371.57 1,050 511 608 248,21 9 408.25 597 Prop. Sulawesi Tengah 300 133,37 7 444.59 280 159 199 72,414 363.89 Prop. Sulawesi Tenggara 331 132,93 7 401.62 313 173 216 94,338 Prop. Sulawesi Utara 130 126,51 1 973.16 121 88 104 Prop. Sumatera Barat 851 221,43 9 260.21 807 296 Prop. Sumatera Selatan 842 360,83 8 428.55 801 Prop. Sumatera Utara 1,665 680,32 8 408.61 28,032 10,373 ,937 512.67 Prop. Papua Barat Jumlah GURU BK S1 GURU BK SERTIFIKA SI 1006.36 14 3 89,217 521.74 166 43 35 29,089 831.11 34 10 332 311 133,78 1 430.16 307 111 192 104 105 45,116 429.68 100 40 436.75 211 115 75 31,113 414.84 74 32 57,225 550.24 97 78 69 52,293 757.87 65 52 618 147,67 9 238.96 595 267 285 83,824 294.12 282 75 408 514 210,39 5 409.33 504 225 214 106,31 1 496.78 207 66 1,527 960 920 374,60 1 407.18 860 558 528 302,00 9 571.99 501 239 26,932 15,589 14,294 4,825, 121 394.37 13,959 7,715 10,405 4,859,8 92 516.35 10,17 5 3,923 GURU BK S1 GURU BK SERTIFIKASI JUMLAH GURU BK SISWA RASIO SISWA/G URU 52 26,928 517.85 152,36 3 SMK RASIO SISWA/G URU PROVINSI 356 57 GURU BK SERTIFIKAS I JUMLAH GURU BK SISWA RASIO SISWA/G URU 52 19 14 14,089 427.99 348 149 171 27,647 485.04 56 35 10 GURU BK S1 Daftar Pustaka: Dollarhide, C.T., and Saginak, K.A. (2012). Comprehensive school counseling programs: K-12 delivery system in action. New Jersey : Pearson Education, Inc. Lickona, T. (2004). Character Matters. New York : Simon and Schuster. Myrick, R.D. (2011). Developmental Guidance and Counseling : A Practical Approach. 5’th Edition. Minneapolis : Educational Media Corporation. P4TK Penjas dan BK. (2013). Dampak Diklat Fungsional terhadap Peningkatan Kinerja Profesional Guru BK SMP dan SMA/SMK. Laporan Monev. 11 KOMITMEN ROFESIONAL DAN AKUNTABILITAS KONSELOR/ GURU BIMBINGAN DAN KONSELING Prof. Dr. Sunaryo Kartadinta, M. Pd Universitas Pendidikan Indonesia Malang, 29 APRIL 2017 2nd SEMINAR NASIONAL “KOMITMEN PROFESIONAL DAN AKUNTABILITAS KONSELOR ATAU GURU BIMBINGAN DAN KONSELING” 12 13 14 15 PENYELENGGARAAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA SATUAN PENDIDIKAN Dr. Muh Farozin, M. Pd Dosen BK UNY Malang, 29 APRIL 2017 2nd SEMINAR NASIONAL “KOMITMEN PROFESIONAL DAN AKUNTABILITAS KONSELOR ATAU GURU BIMBINGAN DAN KONSELING” 16 PENYELENGGARAAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA SATUAN PENDIDIKAN Oleh Muh Farozin Dosen BK UNY [email protected] [email protected] RINGKASAN Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dalam penyelenggaraan pendidikan, salah satu komponen pokok dalam penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan. Guru bimbingan dan konseling, guru matapelajaran dan kepala sekolah bersinergi kerja dalam penyelenggaraan pendidikan untuk membantu tercapainya kesuksesan belajar peserta didik yaitu tercapainya kematangan dan kemandirian serta kesuksesan. Dalam kaitannya dengan pendidikan, bimbingan dan konseling membantu tercapainya tujuan pendidikan. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Bab I, Pasal 1). Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. (Bab II, Pasal 3). Pendidikan diharapkan dapat mewujudkan manusia Indonesia yang berpengetahuan luas, berketrampilan yang memadai dan memiliki sikap spiritual dan sikap sosial yang terpuji. Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia yang memiliki lima karakter yaitu religius, demokratis, mandiri, gotong royong dan integritas. Rumusan karakter manusia terpuji adalah manusia yang sholeh dan sholehah menurut sudut pandang agama; atau manusia pancasilais yaitu manuasia yang dapat memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam masing-masing sila pancasila. Tujuan bimbingan dan konseling secara umum dalam kaitanya dengan pendidikan adalah membantu tercapainya tujuan tersebut. Secara khusus, tujuan layanan bimbingan dan konseling adalah membantu peserta didik dalam mencapai kemandirian, kematangan pikiran dan perasaan serta ketepatan perilaku sehingga dapat hidup yang bahagia, sejahtera, bermakna dan selamat. Dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional, tujuan bimbingan dan konseling adalah membantu tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sedangkan pada lembaga pendidikan, tujuan bimbingan dan konseling adalah membantu terciptanya kondisi yang kondusif dan edukatif untuk kelancaran dan kenyamanan proses pembelajaran sehingga berkembangnya potensi peserta didik secara maksimal. Pada dasarnya layanan profesi bimbingan dan konseling diperuntukan bagi setiap individu normal dalam segala usia yang memerlukan layanan profesi bimbingan dan konseling untuk pencapaian perkembangan optimal. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, layanan bimbingan dan konseling diperuntukan bagi peserta didik/konseli yang memerlukan dan yang dipandang perlu mendapatkan layanan profesi bimbingan dan konseling. Fokus subyek layanannya pada satuan pendidikan adalah peserta didik, namun bagi pendidik dan tenaga kependidikan yang memerlukan dapat memanfaatkan jasa profesi bimbingan dan konseling. Layanan profesional dalam bidang bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan dilakukan oleh tenaga profesional yang telah terdidik dalam waktu yang cukup sesuai kurikulum yang ditetapkan dan dinyatakan lulus, diselenggarakan oleh lembaga pendidikan penyelenggara program studi bimbingan dan konseling. Pemberian layanan bantuan dapat diberikan secara tepat diperlukan pemahaman secara mendalam terhadap konseli yang hendak dilayani. Pemahaman secara mendalam terhadap konseli merupakan langkah pokok sebelum memberikan layanan bimbingan dan konseling. Aspek diri konseli yang perlu dipahami meliputi aspek kognitif, emosi, sosial, fisik, moral, dan religius serta tugas-tugas perkembangan (POB BK,2016). Di samping itu, untuk memahami diri konseli terdapat beberapa data yang perlu dikumpulkan antara lain meliputi identitas, aspek fisik (struktur badan, kelengkapan anggota badan dan kesehatan fisik, dll.), aspek psikis (kecerdasan, kepribadian, bakat, minat, motivasi, prestasi, dll.),latar belakang keluarga, latar belakang sekolah/ pendidikan, latar belakang masyarakat. Konseli adalah manusia yang pada hakekatnya terdiri dari unsur jiwa dan raga yang saling berkait dan bergantung dalam kehidupan manusia, dalam jiwa terdapat aspek cipta-rasa dan karsa yang diharapkan berkembang optimal, sebagai manusia yang hidup sebagai individu dan sosial yang tidak terpisahkan dalam kehidupan, dan sebagai manusia yang hidup di dunia dan di akherat (alam yang kekal dan abadi). Semua unsur tersebut diharapkan berkembang optimal, serasi, selaras dan seimbang. Pemahaman terhadap tugas-tugas perkembangan konseli mulai usia dini sampai dewasa merupakan hal penting yang hendaknya dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling. Hal ini penting sebab pada dasarnya konseli mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia perkembangannya. Semakin mendalam pemahaman terhadap diri konseli maka akan semakin tepat layanan dan hasilnya dapat optimal. Hasil layanan akan berupa perubahan pikiran dan/atau perasaan dan/ atau perilaku pada diri konseli dalam kehidupannya. Pemahaman karakteristik individu dalam rangka pemberian layanan profesional bimbingan dan konseling dapat dilakukan dengan menggunakan teknik non tes dan tes. Teknik non meliputi wawancara, observasi, sosiometri, dokumentasi, otobiografi, autobiografi, dan angket, dll.. sedangkan teknik tes meliputi tes kecerdasan, kepribadian, bakat, minat, prestasi belajar,kreativitas, dll. Setiap teknik memiliki pengertian, data yang dapat diperoleh, langkah-langkah, kelebihan dan kelemahan, bentuk instrumen, sarat responden dan sarat pemaham. Penggunaan berbagai teknik dengan instrumen diharapkan memperoleh data akurat dan berpengaruh terhadap kedalaman pemahaman terhadap diri individu. Semakin banyak data yang terkumpul dan mampu memaknai maka akan semakin mendalam pemahaman terhadap konseli, maka layanan tepat dan hasil optimal. Di samping itu, hasil pemahaman individu dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan profil setiap individu, kelas, kelas besar dan juga sebagai dasar penyusunan program layanan profesi bimbingan dan konseling. Penyusunan program layanan berdasarkan hasil analisis kebutuhan merupakan hal prinsip yang diterapkan dalam profesi bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan. Analisis kebutuhan konseli dan sekolah dilakukan pada awal semerter tahun ajaran baru dan/atau setiap semester. Layanan profesi bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan perlu disusun program sebagai acuan pelaksanaan layanan. Perkembangan rumusan program bimbingan dan konseling disekolah meliputi rintisan program (hasil belajar para tokoh pendidikan), program bimbingan dan konseling sebagaimana tertuang dalam Buku III C Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan (1975), Bimbingan dan Konseling Pola 17 (1999), Bimbingan dan Konseling Komprehensif (2007), Bimbingan dan Konseling berdasarkan Permendikbud No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum, Bimbingan dan Konseling berdasarkan Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling beserta lampirannya berupa pedoman bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah (BK-PDPM), dan selanjutnya disusun berupa panduan operasional penyelenggaraan bimbingan dan konseling (POP BK) di SD, SMP, SMA, dan SMK. Dalam naskah POP BK dinyatakan bahwa penyusunan program bimbingan dan konseling meliputi dua tahap yaitu tahap persiapan yang meliputi analisis kebutuhan, memperoleh dukungan kepala sekolah dan komite, dan penetapan dasar perencanaan program; dan perancangan program yang meliputi persiapan kerja, penyusunan program tahunan dan semesteran gasal dan semester genap. Struktur program bimbingan dan konseling terdiri dari 12 komponen yaitu rasional, dasar hukum, visi dan misi, diskripsi kebutuhan, tujuan, pengembangan topik, pengembangan rencana pelaksanaan layanan, komponen program, bidang layanan, strategi kegiatan layanan, sarana dan prasarana, dan anggaran biaya kegiatan layanan. Program yang telah disusun bersifat fleksibel dalam arti bahwa program dapat berubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang diluar jangkauan perencanaan program. Apabila program yang telah ditetapkan tidak terlaksana maka hendaknya perlu ditelusuri dan dicatat penyebabnya. Rumusan penyebab ketidakterlaksanaan program menjadi pertimbangan dalam penyusunan program tahun berikutnya. (baca POP BK yang diterbitkan oleh Ditjen GTK Kemendikbud RI 2016, dapat diunduh melalui gtk.kemendikbud.go.id atau hsbki.or.id ). Di samping menyusun program tahunan dan semesteran, terdapat suatu model rangcangan program yang disusun dengan memperhatikan equivalensi kegiatan layanan bimbingan dan konseling dengan jam kerja/ jam pembelajaran. Format sederhana sebagai acuan kerja dapat disusun, misalnya : No. kegiatan, jumlah, perkiraan waktu, dan equivalen jam/minggu. (baca Pedoman BK-PDPM,2016). Pelaksanaan kegiatan layanan bimbingan dan konseling senantiasa memperhatikan landasan, pengertian, tujuan, fungsi, azas, prinsip, strategi, langkah-langkah, bidang layanan, komponen program bimbingan dan konseling. Di samping itu, didasarkan pada program yang meliputi berbagai komponen struktur program dan telah ditetapkan serta memperhatikan peristiwaperistiwa yang terjadi selama proses pendidikan berlangsung. Program yang telah disusun dan ditetapkan merupakan acuan dalam pelaksanaan kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Kegiatan layanan yang secara langsung berhubungan langsung dengan peserta didik/ konseli meliputi : konseling (individual dan kelompok), bimbingan (klasikal dan kelas besar/lintas kelas), konsultasi, advokasi, kunjungan rumah, kolaborasi kerja, pertemuan kasus, pengelolaan media, pengembangan media inovatif dalam bimbingan dan konseling serta layanan peminatan. Kegiatan tidak langsung yang berhubungan dengan peserta didik/ konseli namun berdampak pada etos kerja dan kualitas diri adalah mengerjakan administrasi dan manajemen bimbingan dan konseling, kegiatan peningkatan keprofesian berkelanjutan dan mengerjakan tugas tambahan. Kegiatan profesional tersebut dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan peserta didik/ konseli dan kondisi sekolah. Untuk mengetahui kesetaraan dengan jam kerja/jam pembelajaran dapat dihitungan dengan tabel equvalensi kegiatan layanan bimbingan dan konseling sebagaimana yang tertuang dalam lampiran permendikbud No. 111/2014 tentang bimbingan dan konseling. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui jam kinerja profesi dan sebagai dasar mengevaluasi kinerja profesi bimbingan dan konseling. Rasio guru bimbingan dan konseling dibanding peserta didik/konseli yang diterapkan sampai saat ini (2017) lebih mendasarkan sarat administrasi dan kewajaran sesuai dengan peraturan. Guru bimbingan dan konseling yang sudah mampu menunjukan daftar nama peserta didik sejumlah sesuai ketentuan berarti sudah memenuhi sarat untuk memperoleh hak kesejahteraan. Namun dilihat kinerja profesi tentunya belum memenuhi sarat untuk memperoleh hak kesejahteraan, sebab belum diketahui tentang apa yang dikerjakan berkaitan kegiatan layanan profesi bimbingan dan konseling dan kesetaraan dengan jam kerja sebagai pegawai. Kegiatan layanan profesi bimbingan dan konseling yang langsung diterima oleh peserta didik lebih rasional dan profesional dibanding pemenuhan jumlah peserta didik/konseli yang dibimbing. Dengan demikian maka guru bimbingan dan konseling dimasa mendatang tentunya tagihan nya adalah lebih kepada kinerja profesional dalam bidang bimbingan dan konseling dan dibuktikan dengan laporan kegiatan layanan profesional yang telah dilakukan. Sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No. 111/2014 tentang bimbingan dan konseling dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan pada satuan pendidikan. Satuan pendidikan adalah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan/Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa. Pelaksana layanan dilakukan oleh tenaga ahli yang berlatar belakang pendidikan (S-1) dalam bidang bimbingan dan konseling. Guru Bimbingan dan Konseling adalah pendidik yang berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan memiliki kompetensi di bidang Bimbingan dan Konseling. Konselor adalah pendidik profesional yang berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan telah lulus pendidikan profesi guru Bimbingan dan Konseling/konselor. Semoga bermanfaat sebagai bahan dialog. Yogyakarat, 29 April 2017. Sumber bacaan : Republik Indonesia, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Republik Indonesia , Permendikbud No. 111/2014 tentang Bimbingan dan Konseling Republik Indonesia, Ditjen GTK Kemdikbud, 2016, Paduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling SD,SMP,SMA,SMK AKUNTABILITAS KONSELOR DALAM LAYANAN PROGRAM BK KOMPREHENSIF Dr. Muslihati, S. Ag., M. Pd Dosen BK UM Malang, 29 APRIL 2017 2nd SEMINAR NASIONAL “KOMITMEN PROFESIONAL DAN AKUNTABILITAS KONSELOR ATAU GURU BIMBINGAN DAN KONSELING” Akuntabilitas Konselor dalam Layanan Program BK Komprehensif Muslihati Guru bimbingan dan konseling sebagai pengembang dan pelaksana program bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peran yang sangatlah strategis. Hal itu merujuk pada peran penting Bimbingan dan konseling dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Program bimbingan dan konseling yang terlaksana dengan baik akan memberikan kontribusi efektif terhadap capaian peserta didik dalam hal akademik, meningkatkan psychological well-beingpeserta didik, dan berkontribusi terhadap upaya fasilitasi pembentukan generasi masa depan yang berkualitas, matang dan bertanggungjawab (Lapan,et.al, 2001). Burkard dkk (2012) bahkan memandang bahwa tugas dan peran untuk memfasilitasi peserta didik mencapai keberhasilan dalam aspek akademik merupakan tugas mulia sekaligus tantangan bagi konselor pelaksana program bimbingan dan konseling komprehensif. Jika peran itu dilaksanakan dengan baik maka bukti keberhasilan akan dicapai, sebagimana paparaHowe (2009) yang menyebutkan bahwa bimbingan dan konseling merupakan salah satu faktor pendukung dalam pencapaian salah satu program pendidikan di Amerika Serikat yaitu standar no child left behindatau setiap peserta didik harus berhasil dan tidak boleh tertinggal dalam capaian akademiknya. Menyiapkan, merancang, dan melaksanakan program BK secara baik sehingga berdampak besar tidak selalu mulus tanpa tantangan. Realitanya, banyak konselor menghadapi perbedaan kebijakan kurikulum dan minimnya penyediaan sarana prasarana di sekolah. Konselor dipaksa untuk mencari langkah kreatif agar program yang disusunnya, tetap dapat terlaksana dengan baik. Persoalan ini tentu jangan sampai menjadi kisah klasik yang tidak terselesaikan. Persoalan utama yang perlu dijawab adalah, bagaimana meyakinkan pimpinan sekolah dan jajaran pimpinan sekolah lainnya yang berperan sebagai pengambil kebijakan penyusunan dan pelaksanaankurikulum di sekolah sertakomite sekolah agar memahami posisi strategis BK sebagai pengawal pendidikan karakter peserta didiksekaligus mengantarkan keberhasilan peserta didik baik aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier. Selanjutnya meyakinkan mereka untuk mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan program BK di sekolah. Guru bimbingan dan konseling sebagai pengemban amanah mengawal pencapaian tugas perkembangan peserta didik, sangat memerlukan kepercayaan dan dukungan pimpinan dan manajemen sekolah agar mampu menjalankan perannya sebagai konselor dan memantapkan kinerjanya dalam melaksanakan program yang telah dirancang. Perencanaan dan pelaksanaan program BK tidaklah berdiri sendiri melainkan harus melibatkan kebijakan Kepala Sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana, wakil kepala sekolah bidang kepeserta didikan, semua guru dan juga orang tua peserta didik yang tergabung dalam komite sekolah. Promosi tentang urgensi program BK memang harus disertai dengan kesungguhan guru BK/konselor dalam melaksanakan program yang dapat dirasakan manfaatnya. Dukungan pimpinan dan kepercayaan pengambil kebijakan dapat diperoleh melalui kerja nyata. Karena itu maka untuk meraih kepercayaan para stakeholder maka konselor harus menunjukkan kinerja yang akuntabel. Bagaimana konselor menjalankan tugasnya dan bagaimana capaiannya perlu dibahas secara detail agar cita-cita pendidikan yang diemban konselor melalui pengelenggaraan program bimbingan dan konseling dapat terwujud. Selama ini masih banyak tantangan bagi konselor dalam menunjukkan kinerja yang akuntabel. Dalam tulisan ini mengulas tentangakuntabilitas kinerja guru BK di Indonesia saat ini, urgensi akuntabilitas bagi keberlanjutan kinerja konselor, perkembangan issu akuntabilitas konselor dan rekomendasi. Akuntabilitas Konselor, Urgensi dan Prosedurnya Pelaksanaan dan hasil program BK oleh konselor perlu diinformasikan pada pihak-pihak yang terkait yaitu kepala sekolah dan jajaran pimpinan sekolah, orang tua, peserta didik dan dinas pendidikan. Penginformasian kinerja adalah wujud dari akuntabilitas konselor. Akuntabilitas dimaknai dengan upaya pertanggungjawaban kinerja dan pelaksanaan program BK berikut capaiannya. Akuntabilitas konselor sekolah dimaknai sebagai kemampuan konselor dalam menunjukkan keefektifan pelaksaan program bimbingan dan konseling melalui standar yang dapat diukur melalui sebuah laporan (ASCA, 2012 dalam Paolini, 2012).Akuntabilitas berkaitan dengan evaluasi dan pelaporan kinerja. Akuntabilitas konselor dan BK meliputi pengumpulan data, analisis data tentang proses dan hasil pelaksaan program BK yang dilaporkan secara sistematis (Dahir dan Stone dalam Topdemir, 2010). Pertanggungjawaban kinerja sekaligus menunjukkan efek capaian kinerja konselor pada konseli atau peserta didik. Akuntabilitas begitu penting karenapertanggungjawaban kinerja akan berdampak positif pada keberlangsungan program BK. Konselor akuntabel melaksanakan tugasnya melalui perencanaan dan pelaporan yang baik. Dia bekerja secara sistematis, terjadwal, terukur dan dilaporkan secara berkala. Konselor akuntabel memiliki catatan kinerja, melakukan evaluasi proses dan hasil, menyusun laporan kinerja pada pimpinan sekolah dan personil pendidikan, dengan tetap memperhatikan kode etik profesi konselor. Rekaman dan catatan proses kegiatan, evaluasi dan pelaporan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan akuntabilitas konselor.Pelaksanaan kegiatan yang “direkam” dengan baik dan disertai refleksi, evaluasi proses dan hasil dapat memudahkan konselor dalam mempertangungjawabkan kinerjanya kepada pengguna layanan, yaitu peserta didik, orang tua peserta didik, guru dan kepala sekolah. Diharapkan kepercayaan dari stakeholder akan mudah diperoleh. Evaluasi sebagai bagian penting dalam mewujudkan akuntabilitas kinerja konselor memang masih menjadi tantangan bagi guru BK/konselor. Padahal evaluasi program bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bagian penting dalam manajemen BK. Evaluasi menjadi kunci untuk pengembangan program BK pada tahuntahun selanjutnya. Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi, guru bimbingan dan konseling juga dapat mengembangkan program bimbingan dan konseling yang lebih baik karena lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Melalui evaluasi dan pelaporannya pula, konselor dapat menunjukkan eksistensi kinerja yang akuntabel. Schon (1983) bahkan menegaskan bahwa profesi helper adalah praktisi yang harus selalu merefleksikan setiap tindakannya atau reflective practitioner. Kekhasan inilah yang mengharuskan konselor untuk mawas dan membiasakan evaluasi diri. Pendapat Schon ini gayut dengan upaya pertanggungjawaban kinerja konselor. Dalam konteks penyelenggaraan program BK di Indonesia, akuntabilitas kinerja konselor dilakukan melalui evaluasi dan pelaporan. Evaluasi yang dikembangkan meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil yang akan digunakan untuk memotret keterlaksanaan program BK secara keseluruhan. Format akuntabilitas konselor memang belum mengarah pada pengaruh layanan pada pencapaian tugas perkembangan. Namun demikian format evaluasi telah dirancang sebaik mungkin dan memudahkan konselor dalam penerapannya. Format evaluasi program tersusun dalam pedoman operasional penyelenggaraan prgram BK di sekolah yang diterbitkan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan tahun 2016. Hal ini bertujuan untuk mendukung terwujudnya akuntabilitas kinerja konselor. Keberadaaan alat kerja ini diharapkan membantu konselor melakukan evaluasi den pelaporan sebagai wujud akuntabilitasnya. Issu Akuntabilitas Konselor dari masa ke masa Berikut ini adalah catatan Gysbers (2003) mengenai perkembangan issu akuntabilitas dalam BK mulai dibahas di Amerika Serikat sejak tahun 1920 an dimanakala itu masih berfokus pada pengembangan standar-standar program BK yang kualitas. 1. Pada tahun 1930an, akuntabiltas layanan bimbingan dan konseling di sekolah meliputi dua fokus yaitu; (1) keterlaksanaan program dan layanan secara lengkap sesuai dengan rancangan(2) pengaruh positif layanan sebagai capaian, misalnya sedikit nya peserta didik yang drop out, meningkatkan penerima beapeserta didik, peningkatan kualitas perilaku peserta didik, meningkatnya kualitas sosial lingkungan di sekitar sekolah, menurunnya ketidakhadiran peserta didik, meningkanya kebiasaan belajar yang baik. 2. Pada tahun 1940an issu akuntabilitas berkembang dan bertambah dari masa sebelumnya. Muncul issu baru yaitu keefektivan penggunaan teknik-teknik intervensi yang spesifik. 3. Pada tahun 1950an, kajian akuntabilitas menyangkut issu kefektivan program BK secara keseluruhan 4. Issu akuntabilitas pada tahun 1960an berkembang sangat pesat sejak dikukuhnya status hukum bagi National Defence Education Act pada tahun 1958, maka peningkatan kapasitas konselor semakin meningkat. Point akuntabilitas meningkat drastis dengan adanya program nasional departemen pendidikan berupa laporan tahunan kinerja bimbingan dan konseling yang diberi nama Evaluasi Program Testing dan BK. Keberadaan program yang direalisasikan dalam bentuk penerbitan bulletin menuntut setiap negara bagian mengevaluasi kinerja BK di wilayahnya masing-masing. Fokus dari laporan di bulletin tersebut adalah impact dan capaian program BK terhadap diri peserta didik diantaranya; apakah program BK meningkatkan pemahaman diri peserta didik, apakah peserta didik dan orang tua peserta didik menyadari dan memahami peluang pendidikan lanjut dan persyaratannya, apakah capaian prestasi akademik peserta didik sesuai dengan kemampuan dan potensinya, bagaimana minat peserta didik terhadap peningkatan kapasitas berbahasa asing, matematika dan sains, dan bagaimana rencana studi lanjut peserta didik. 5. Selanjutnya issu akuntabilitas pada tahun 1970ansemakin berkembang seiring dengan berkembangkan bimbingan karier komprehensifoleh Lembaga Riset Amerika yang bertujuan mengevaluasi kegiatan bimbingan dan konseling karier. Tidak saja secara kelembagaan di setiap Dinas Pendidikan Negara Bagian, issu evaluasi dan akuntabilitas semakin berkembang di dunia akademisi dengan terbitnya sejumlah buku kajian bimbingan dan konseling yang disertai dengan ulasan khusus tentang evaluasi dan akuntabilitas layanan bimbingan dan konseling. Salah satunya adalah buku Research and The School Counselor karya Cramer, Herr, Morris dan Franzt yang terbit pada tahun 1970 yang membahas metodologi evaluasi bimbingan konseling. Dilain pihak Pine (dalam Gysbers, 2003) mengembangkan kriteria perubahan perilaku peserta didik sebagai indikator ketercapaian kinerja konseling yang diikuti oleh peserta didik yang meliputi peningkatan prestasi akademik, peningkatan skor rata-rata, peningkatan kemampuan membaca, hubungan dengan sebaya, penyesuaian diri, kehadiran di sekolah, sikap dan perilaku di sekolah, kecemasan belajar, konsep diri, pemahaman diri, harga diri, hubungan guru dan peserta didik, berkurangnya perilaku tidak baik/sesuai, kemampuan menetapkan rencana diri. Pines juga mengembangkan alat evaluasi untuk menilai keterlaksanaan dan keefentivan program konseling di sekolah. 6. Pada tahun 1980 dilakukan pemangkasan anggaran evaluasi pendidikan yang berdampak pada evaluasi bimbingan dan konseling. Namun titik penting para tahun ini adalah munculnya Panduan Pelaksanaan BK Komprehensif: Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas oleh Departemen Pendidikan Negara Bagian California. Dalam panduan ini disebutkan bahwa evaluasi kinerja BK dilakukan melalui evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dengan pengumpulan dan penggunaan data produk, data proses dan data konteks. 7. Perkembangan issu akuntabilitas BK pada tahun 1990 berupa refleksi pada akademisi mengenai minimnya riset tentang evaluasi kinerja BK. Mereka juga merumuskan pemaknaan tentang evaluasi BK, dimana evaluasi merupakan bagian integral dalam program yang berfungsi melihat proses pelaksanaan dan ketercapaian tujuan. Sementara itu diantara fokus yang berkembang di era ini adalah adanya kompetensi perkembangan yang harus dikuasai oleh siswa dan bagaimana program bimbingan dan konseling dapat mempengaruhi budaya sekolah. Selanjutnya, akuntabilitas program BK harus diwujudkan berupa pemberian informasi pelaksanaan program pada orang tua, pimpinan dan warga sekolah serta dinas pendidikan tentang keefektivan program BK. Hal ini menguatkan kebutuhan pola kerja kolaboratif antara konselor sekolah dan kolega lainnya di sekolah. Evaluasi layanan bimbingan dan konseling tidak terpisahkan dari akuntabilitas kinerja konselor. Karena itu maka Heibert (1997) menyarankan agar konselor melakukan evaluasi secara bertahap untuk memudahkan pelaporan kegiatan secara keseluruhan. Pembiasaan dan pembudayaan evaluasi diri konselor termasuk juga evaluasi proses dan hasil akan mendukung terwujudnya akuntabilitas konselor profesional. SekilasAkuntabilitas Program Bimbingan dan Konseling Di Indonesia Program bimbingan dan konseling di sekolah telah dikenal di Indonesia sejak akhir tahun 60 an. Eksistensi layanan bantuan ini semakin kokoh semenjak diterbitkannya permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang standar kompetensi konselor/guru bimbingan dan konseling. Selanjutnya permen Permendikbud no. 111 tahun 2014 serta terbitnya Pedoman Operasional Penyelenggaraan BK (POP BK) di sekolah menjadi penguat pelaksanaan BK di sekolah. POP BK memberikan pedoman pelaksanaan BK komprehensif bagi guru BK agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai pola yang ditegaskan oleh peraturan yang berlaku. Apakah sebelum terbitnya POP BK, pelaksanaan layanan tidak tertata, tentu saja guru BK telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mantap mengenai manajemen penyelenggaraan BK mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan. Namun berdasarkan penuturan beberapa guru BK di Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Jakarta, diperoleh temuan bahwa tidak semua tahapan dan fungsi manajemen penyelenggaraan BK di sekolah terlaksana dengan baik. Tahapan perencanaan misalnya, kenyataan di lapangan, masih ada guru BK yang menyusun program semester dan program tahunan tanpa melakukan analisis kebutuhan, dan cenderung menggunakan program tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, konselor sudah melakukan pencatatan pelaksanaan kegiatan walau menggunakan format yang beragam. Hanya saja catatan tersebut tidak disertai dengan kegiatan evaluasi kegiatan baik evaluasi proses kegiatan maupun evaluasi hasil. Catatan pelaksanaan kegiatan yang disusun oleh konselor, sementara ini cenderung masih bertujuan untuk memenuhi tuntutan kinerja dari kepala sekolah dan pengawas sekolah. Selebihnya laporan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk menelaah ketercapaian tujuan layanan atau pengambilan keputusan dalam pengembangan program bimbingan dan konseling di tahun berikutnya. Tentu saja tidak semua konselor mengalami keterbatasan dalam pelaksanaan evaluasi program BK. Sebagian konselor yang telah mengembangan sikap profesional sebagai guru pebelajar telah menerapkan prosedur evaluasi program BK dengan baik. Mereka juga menyusun laporan dan menjadikan data-data yang dalam sebagai salah satu acuan pengembangan program lanjutan. Mereka belajar secara kolektif kolegial. Demikianlah, guru BK profesional memang seharusnya terus belajar untuk mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan. Sebagian ulasan dalam tulisan ini merupakan hasil diskusi ringan dengan sejumlah praktisi dan akademisi bimbingan dan konseling di beberapa daerah di Indonesia.Selanjutnya, dari diskusi kecil bersama beberapa guru Bimbingan dan Konseling yang bertugas di Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di Makassar diperoleh temuan bahwa, belum mantapnya pelaksanaan evaluasi kegiatan baik proses dan hasil dilatarbelakangi oleh tingkat pengetahuan, keterampilan dan pengalaman konselor dalam melakukannya. Konselor di lapangan mengakui bahwa mereka perlu memahami prosedur yang baku mengenai evaluasi dalam BK, bagaimana pelaksanaan dan pelaporannya serta untuk apa evaluasi perlu dilakukan. Banyaknya istilah dan format evaluasi kegiatan BK, serta ada atau belum jelasnya pedoman pelaksanaan evaluasi kegiatan menyebabkan guru BK atau konselor sekolah memilih tidak melakukan evaluasi sebagaimana mestinya. Sementara itu, konselor SMA di kota Malang menyebutkan bahwa mereka melakukan pencatatan kegiatan layanan bimbingan dan konseling untuk kepentingan persyaratan laporan kinerja, namun catatan itu hanya bersifat laporan deskriptif tanpa disertai refleksi dan evaluasi untuk pengembangan program di tahun berikutnya. Sementara itu, di beberapa sekolah Magetan, guru bimbingan dan konseling telah menerapkan evaluasi program Bimbingan dan Konseling. Keterlaksanaannya didukung oleh budaya belajar yang diciptakan dalam Musyawarah Guru BK yang aktif melakukan pertemuan. Dalam setiap kesempatan berinteraksi, mereka mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam menyiapkan, mengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasi serta melaporkan program BK di sekolah nya masing-masing. Meskipun belum dilakukan kajian mendalam di semua wilayah di Indonesia terutama daerah-daerah yang memiliki akses informasi yang lebih mudah semisal Jakarta, Yogyakarta, Solo, Bandung, Padang dan daerah lainnya, namun dapat dipahami bahwa pelaksanaan pelaksanaan evaluasi program BK belum sepenuhnya mendukung akuntabilitas kinerja berkelanjutan konselor profesional. Pelaksanaan evaluasi dan wujud akuntabilitas program BK di Indonesia tidak leas dari kapasitas stakeholder yang bertugas mengawal pelaksanaan program BK. Kenyataan di lapangan, supervisor BK baik kepala sekolah maupun pengawas memerlukan peningkatan kapasitas mengenai BK. Demikian pula dengan dinas pendidikan dan orang tua juga perlu diberi wawasan yang tepat mengenai peran BK di sekolah. Rekomendasi Bimbingan dan konseling di Indonesia sedang berkembang dan menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Sejumlah tantangan memang masih perlu dijawab bersama oleh akademisi sebagai pengembang, konselor sebagai praktisi, pemerintah sebagai penyokong fasilitas finansial, sarana dan prasarana, juga stakeholder lainnya. Merujuk pada uraian hakikat akuntabilitas maka dapat dipahami bahwa evaluasi program yang laporkan sebagai wujud kinerja yang akuntabel akan berdampak positif pada keberlangsung program BK. Pengakuan, dukungan dan kerjasama akan diperoleh dengan sendirinya oleh konselor. Hal tersebut tentu memudahkan konselor dalam mengembangkan melaksanakan program BK secara berkelanjutan. Konselor perlu menyadari bahwa laporan kinerja berbasis data riil yang menjadi indikator akuntabilitas kinerjanya akan berdampak pada status profesinya. Beberapa dampak profesi yang akan diperoleh oleh konselor yaitu, pengembangan kompetensi profesi, peluang menyusun karya berbasis praktik nyata terbaiknya (best practice) dan peluang kerjasama dengan stakeholder khususnya dalam konteks guru pebelajar. Terdapat beberapa poin rekomendasi terkait pengembangan akuntabilitas konselor dan kontribusinya bagi peningkatan profesionalitas konselor sebagai berikut. 1. Perlunya peningkatan pemahaman mengenai urgensi akuntabilitas program BK dan kinerja konselor agar peran dan fungsinya semakin diakui oleh stakeholder. 2. Perlunya peningkatan kapasitas supervisor baik kepala sekolah maupun pengawas mengenai evaluasi dan akuntabilitas BK, merujuk pada Pedoman Operasional Pelaksanaan BK di sekolah. 3. Perlunya gerakan pembiasaan evaluasi kerja oleh seluruh konselor sekaligus pelaporannya sebagai wujud akuntabilitas kinerjanya, yang digerakkan oleh MGBK dan tim BK di setiap sekolah. Konselor dan stakeholer terkait perlu menyadari bahwa akuntabilitas program BK adalah tanggung jawab konselor yang berkelanjutan. Akuntabilitas tidak tercipta tiba-tiba, akuntabilitas perlu diperjuangkan dengan upaya individu konselor dan kerjasama dengan pihak-pihak lain. Beberapa point diatas diharapkan memberi kontribusi dalam peningkatan akuntabilitas konselor profesional di Indonesia.Akuntabilitas menjadi kunci penyelenggaraan program BK yang berkualitas dan berkelanjutan. Daftar Rujukan Burkard dkk. 2012. Implementation Challenges and Training Needs for Comprehensive School Counseling Programs in Wisconsin School. Professional School Counseling, 16 (2) 136−145. Gysbers, N. C. 2003. Comprehensive Guidance and Counseling Program: The Evolution of Acountability. Professional School Counseling, Desember 2004. Heibert. 1997. Integrating Evaluation info Counseling Practice; Acountability and Evaluation intertwined. Canadian Journal of Counseling, 31:2 Howe, S. A. 2009. School Counseling Service And Student Academic Success. Thesis. The College of Borkfort, University of New York, diunduh tanggal 30 Maret 2017. Lapan et. al. 2001. Helping Seventh Grader Be Safe and Successful; a Statewide Study of The Impact of Compehensive Guidance and Counseling Program. Journal of Counseling and Development, 79. Paolini, A. C. 2012. Impact of Accountability Measures on Percieved Counselor SelfEfficacy and Students Outcomes. Vistas Online. Schon, D. A. 1983. The Reflective Practitioner: How Professionals Think In Action. New York: Basic Books. Topdemir, C. M. 2010. School Counselor Accountability Practice: A National Study. Thesis. University of California. School of Commons, Graduate School.