Arogansi IMF, Bukan Isapan Jempol Staf IMF Adalah Ekonom Kelas Tiga 17-10-02 Pengantar Redaksi Suka atau tidak suka, IMF memang masih sangat dibutuhkan. Dia adalah gerbang terakhir bagi Indonesia agar masih tetap memiliki akses ke dunia keuangan dan bisnis internasional. Namun, perlu disadari, IMF bukan malaikat, malah terkadang menimbulkan malapetaka. Adalah Joseph E Stiglitz-ekonom besar dunia dalam 50 tahun terakhir-yang menceritakan hal itu. Ia mendapatkan informasi ketika menjabat sebagai ekonom senior di Bank Dunia. Di Indonesia pandangannya kurang mendapatkan perhatian, tetapi di tingkat dunia dia sangat dihormati. Berikut sekelumit pandangannya yang disiapkan wartawan Kompas Simon Saragih masingmasing dimuat di halaman ini dan halaman 29. IMF arogan, tidak mendengar negara berkembang yang mereka tolong. IMF bekerja secara rahasia, dan tidak memiliki pertanggungjawaban secara demokratis. IMF seharusnya memberikan pertolongan bukan malah memperburuk situasi di negara yang mereka bantu.Saya ada di Bank Dunia sejak tahun 1997 hingga November 2000, ketika terjadi krisis ekonomi global yang terburuk dalam setengah abad. Saya melihat bagaimana IMF beserta Departemen Keuangan AS, bereaksi. Saya tercengang," tutur Stiglitz. Dok kompas/arbain rambey Krisis ekonomi global mulai di Thailand 2 Juli 1997. Ekonomi Asia Timur-juga Asia Tenggaratumbuh bagai sebuah keajaiban selama tiga dekade. Pendapatan meningkat, tingkat kesehatan membaik, tetapi tingkat kemiskinan menurun drastis. Tingkat melek huruf bukan saja membaik, tetapi pada sains internasional dan tes matematika banyak warga dari negara ini yang melampaui AS. Sebagian tidak pernah mengalami resesi selama 30 tahun terakhir. Akan tetapi, benih bencana sudah ditanamkan. Pada awal dekade tahun 1990-an, negaranegara Asia Timur telah meliberalisasikan pasar uang dan modal, bukan karena ingin menarik modal (tingkat tabungan sudah mencapai 30 persen lebih), tetapi karena tekanan internasional, termasuk sebagian dari Departemen Keuangan (Depkeu) AS. Hal itu mengundang masuk arus modal jangka pendek, yakni jenis modal yang ingin mencari keuntungan tertinggi pada hari, pekan, bulan-bulan berikutnya, namun bukan dalam jangka panjang seperti investasi di pabrik-pabrik. Di Thailand, arus modal jangka pendek mendorong boom real estat yang tidak berkesinambungan. Sebagaimana sebagian orang di dunia telah pelajari, setiap bubble real estat akan diikuti dengan ledakan, seringkali dengan konsekuensi munculnya bencana ekonomi. Sebabnya, modal yang masuk tiba-tiba, bisa juga ia tiba-tiba keluar. Dan, jika setiap orang menarik dananya pada saat bersamaan, dia akan menyebabkan persoalan ekonomi besar. Serangkaian krisis keuangan telah terjadi di Amerika Latin dekade tahun 1980-an. Itu akibat defisit besar anggaran pemerintah dan longgarnya kebijakan moneter yang mendorong inflasi tinggi. Di Amerika Latin, IMF telah benar dengan mencanangkan pengetatan ikat pinggang (anggaran berimbang) dan kebijakan moneter ketat, serta meminta negara-negara tersebut menjalankan kebijakan jenis itu sebelum mendapatkan bantuan IMF. Hal serupa diterapkan di Thailand tahun 1997. Penghematan drastis pada anggaran pemerintah, demikian isi dari misi pimpinan IMF, diperkirakan akan memulihkan krisis kepercayaan di Thailand. Krisis menyebar ke negara tetangga, kebijakan serupa diterapkan-meski sudah ada bukti kegagalan. Namun, IMF tetap saja melakukan hal sama pada negara yang mengetuk pintunya untuk minta pertolongan. Saya berpikir, kata Stiglitz, ini adalah sebuah kesalahan. Untuk satu hal, tidak seperti Amerika Latin, Asia Timur sudah menjalankan anggaran surplus. Di Thailand, pemerintah menjalankan anggaran surplus, yang membuat sektor pendidikan, pembangunan infrastruktur sangat minim, padahal itu sangat membantu untuk pertumbuhan ekonomi. Asia Timur-termasuk Asia Tenggara-juga sudah menjalankan kebijakan uang ketat, inflasi berada di tingkat rendah sekitar 4 persen per tahun. Masalahnya bukan karena pemerintah tidak prudent (hati-hati) seperti di Amerika Latin, tetapi adalah sektor swasta yang tidak prudent. Bankir-bankir, peminjam, sebagai contoh, berjudi pada bisnis real estat. Dengan kondisi seperti itu, saya khawatir, program penghematan tidak akan bisa menghidupkan ekonomi Asia Timur, bahkan menjatuhkannya ke resesi, bahkan depresi. IMF juga meminta agar negara-negara terkena krisis meningkatkan suku bunga. Tingkat bunga yang tinggi akan menghancurkan perusahaan pengutang besar, menyebabkan kebangkrutan, dan kegagalan bayar. "Saya lalu mulai melobi untuk perubahan kebijakan. Saya bicara dengan Stanley Fisher, ekonom terhormat dari MIT, mantan ekonom senior Bank Dunia, yang kemudian menjadi deputi pertama Direktur IMF." "Saya menemui rekan ekonom di Bank Dunia, yang bisa jadi memiliki kontak kuat di IMF, mendorong mereka melakukan apa pun yang bisa menggerakkan hati atau birokrasi IMF. Meyakinkan orang di Bank Dunia dengan argumentasi saya sangat mudah, namun mengubah pikiran IMF rasanya tidak mungkin." "Ketika saya bicara dengan pejabat senior IMF, menjelaskan, misalnya, bagaimana suku bunga tinggi mendorong kebangkrutan, lalu akan membuat sulitnya pemulihan kepercayaan di perekonomian Asia Timur, IMF menolak mentah-mentah pandangan itu." "Andaikan saya tahu tekanan datang dari dewan eksekutif IMF, sebuah badan yang diangkat Menteri Keuangan dari negara-negara industri, yang menyetujui semua pinjaman IMF. Arti dari semua itu sangat jelas. Cengkeraman dewan begitu dalam. Orang-orang di IMF sebenarnya mencoba menahan pengaruh kuat itu. Seorang rekan saya yang menjabat direktur eksekutif IMF mengatakan, mereka memang mendapatkan tekanan." Hal itu memprihatinkan, bukan saja karena IMF sulit berubah atau kaku, tetapi karena semua keputusan berlangsung dalam pertemuan tertutup. Tidak mungkin mengetahui, siapa sebenarnya penghambat perubahan di IMF. Apakah staf mendesak direktur eksekutif, atau apakah direktur eksekutif mendesak para staf? "Sungguh, saya tidak tahu itu. Tentu, setiap orang di IMF menjamin mereka akan berusaha fleksibel, jika kebijakan mereka tidak kena sasaran atau kontradiktif, lalu mereka akan mengubahnya." "Saya seharusnya tidak heran. IMF cenderung menjalankan keinginannya, enggan menghadapi banyak pertanyaan atas kebijakannya." Di dalam teori, IMF mendorong demokratisasi kelembagaan di negara yang dibantunya. Dalam praktiknya, IMF meremehkan proses demokratis dengan memaksakan kebijakannya. Secara ofisial, tentu IMF tidak memberikan ancaman secara terbuka pada negara yang dibantunya. IMF "bernegosiasi" tentang berbagai persyaratan, yang harus dituruti negara penerima bantuan. Akan tetapi, semua kekuatan negosiasi ada di satu pihak, IMF. IMF sangat jarang memberikan waktu luang untuk pencapaian sebuah konsensus, bahkan mengabaikan konsultasi dengan parlemen dan masyarakat sipil di negara yang dibantunya. Terkadang IMF berlagak terbuka, tetapi negosiasi selalu berlangsung tertutup. Ketika IMF memutuskan untuk membantu sebuah negara, dia akan mengirimkan misi ekonom. Ekonom-ekonom ini pada umumnya tidak memiliki pengalaman di negara itu. Mereka cenderung untuk ingin mengetahui lebih dulu, bagaimana kondisi hotelnya. Apakah berbintang lima? Mereka tidak peduli, bahwa ada titik perkampungan kumuh di negara-negara itu. Mereka bekerja keras, menuangkan angka-angka di meja hingga larut malam. Akan tetapi, tugas-tugas mereka tidak mungkin mencapai sasaran. Dalam periode beberapa hari, atau minggu, kemudian mereka mengeluarkan kebijakan. Tak perlu disebut, hanya sedikit pandangan IMF yang mengena dengan persoalan negara yang dibantu. Bahkan, dasar kebijakan IMF sudah buruk. Model matematika yang dipakai IMF sudah usang. Sudah diketahui, ada tim yang sudah menyusun laporan soal satu negara sebelum delegasi IMF melakukan kunjungan. "Namun, saya mendengar cerita yang tidak mengenakkan, ada sebuah tim ekonomi menggunakan data-data negara lain, karena terburu-buru. Ops...!" Tidak fair mengatakan, ekonom IMF tidak peduli dengan warga negara berkembang. Akan tetapi, orang-orang tua di IMF, mendominasi keputusan IMF. Ahli-ahli di IMF yakin bahwa mereka itu pintar-pintar, lebih terdidik, dan bebas pengaruh politik ketimbang ekonom di negara yang mereka kunjungi. Nyatanya, teknokrat ekonomi di negara-negara yang dikunjungi itu tidak kalah bagusnya. Pada banyak kasus lebih pintar dan lebih terdidik ketimbang ekonom IMF, yang seringkali terdiri dari ekonom di urutan ketiga dari universitas terkemuka. "Percayalah pada saya. Saya telah mengajar di Universitas Oxford (Inggris), Massachussets Institute of Technology (MIT), Stanford, Yale, Princeton. IMF hampir tidak pernah berhasil merekrut mahasiswa terbaik dari sana." "Saya pernah memberikan seminar di Cina soal kebijakan persaingan di sektor telekomunikasi. Setidaknya ada ekonom di antara hadirin yang mengajukan pertanyaan bagus." "Seiring berjalannya waktu, rasa frustrasi saya memuncak. IMF mengatakan, yang mereka minta dari semua negara Asia Timur terpukul krisis adalah agar menyeimbangkan anggaranya, pada saat resesi mulai terjadi." "Semua? Bukankah pemerintahan Bill Clinton harus berjuang keras dengan Kongres AS, agar mengubah opini mereka soal anggaran berimbang. Bukankah argumentasi pemerintah adalah, di masa resesi, anggaran defisit diperlukan (bukan anggaran berimbang)?" Itulah yang diajarkan selama 60 tahun bagi mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi. "Kalau ada pertanyaan ekonomi, kebijakan anggaran seperti apa yang harus diterapkan pada ekonomi Thailand, jika mahasiswa menjawab, "Anggaran berimbang" seperti kebijakan IMF, jelas mereka akan mendapatkan nilai F (fail)." "Ketika krisis menyebar ke Indonesia, saya semakin memokuskan perhatian." Penelitian di Bank Dunia menunjukan bahwa resesi di negara (Indonesia) yang terkotak-kotak secara etnis itu, akan memicu kerusuhan sosial dan politik. Demikian pula pada tahun 1997, pada sebuah pertemuan para Menkeu dan bank sentral di Kuala Lumpur. "Saya mengemukakan pendapat. Kebijakan moneter ekstra ketat dan anggaran berimbang, akan mendorong kerusuhan sosial dan politik di Indonesia." Terbukti, ramalan itu terjadi. Meski demikian IMF tetap kukuh atas pandanganya yang salah. Mantan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus berdalih. Asia Timur harus menjalani keadaan pahit secara tabah, seperti Meksiko. Dia memberikan catatan, berkat semua derita jangka pendek, Meksiko telah tumbuh lebih kuat. Akan tetapi, itu adalah sebuah analogi yang absurd. Meksiko belum pulih, dan sistem keuangan tetap saja lemah setelah bertahun-tahun. Ekonomi Meksiko pulih karena naiknya ekspor ke AS, dan karena North America Free Trade Area (NAFTA), bukan karena kebijakan IMF! Secara kontras, partner dagang Indonesia adalah Jepang, yang saat itu sangat lemah, terjebak dalam kelesuan besar. Lebih jauh, Indonesia berpotensi untuk lebih eksplosif dalam kehidupan politik dan sosial ketimbang Meksiko. Bibit pertikaian etnis di Indonesia lebih dalam. Pertikaian etnis, hanya akan mendorong aliran modal keluar lebih besar dari Indonesia, yang didorong oleh saran IMF, agar Indonesia menerapkan aliran modal bebas. Akan tetapi, tak satu pun argumentasi ini yang diperhatikan. IMF terus saja jalan, mendesak pengurangan anggaran pemerintah. Demikian juga subsidi yang penting bagi rakyat kebanyakan, diminta IMF untuk dikurangi, seperti bahan bakar minyak (BBM). Pada bulan Januari 1998, semua menjadi lebih buruk sehingga Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur, Jean Michael Severino, mengatakan Asia bukan saja alami resesi, bahkan depresi ekonomi. Akan tetapi, Wakil Menkeu AS saat itu, Lawrence Summers mencela Severino karena mengeluarkan pendapat itu. Lalu kata apa yang harus dipakai untuk menggambarkan situasi ekonomi di Asia itu. Produksi anjlok 16 persen atau lebih. Setengah dari bisnis di Indonesia bangkrut total. Indonesia tidak bisa mengambil kesempatan dari pasar ekspor, meski mata uangnya sudah anjlok drastis, karena tidak ada produksi. Pengangguran melejit, sepuluh kali lipat. Upah riil anjlok, di negara yang tidak memiliki jaring pengaman sosial. Bukan saja IMF gagal memulihkan ekonomi dan kepercayaan di Asia Timur. IMF malah merusak tatanan sosial Asia Timur. Lalu krisis merebak hingga ke negara yang paling meledak, yakni Rusia. *