membongkar monisme dan membangun pluralisme epistemologis

advertisement
MEMBONGKAR MONISME DAN MEMBANGUN PLURALISME EPISTEMOLOGIS:
TANTANGAN SOSIOLOGI DI ERA GLOBALISASI
Oleh: Nasikun
I
1. Di hadapan kenyataan bahwa sosiologi lahir dua kali dari rahim dua tradisi
keilmuan atau epistemologi yang berbeda, yakni epistemologi “positivistisnaturalistis” yang dipinjam dari ilmu-ilmu alam dan epistemologi “historiskulturalistis” atau “hermeneutis” dari ilmu humaniora (baca: a.l., Marcelo Truzi,
1974 dan Henry Etzkowitz dan Ronald M. Glassman, 1991), adalah sangat
menarik menyaksikan betapa perkembangan sosiologi di Indonesia sampai saat
ini ternyata masih terlalu kuat dikuasai oleh dominasi penggunaan monisme
tradisi keilmuan atau epistemologi positivistis-naturalistis. Kita memang tidak
dapat mengingkari bahwa di dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir kita telah
menyaksikan munculnya “eksplosi” kecenderungan baru di kalangan sementara
ahli sosiologi di Indonesia untuk melakukan kajian tentang berbagai fenomena
sosial di atas landasan epistemologi historis-kulturalistis atau hermeneutis, akan
tetapi kecenderungan baru itu sejauh ini masih belum mencapai skala dan
“magnitute” yang cukup kuat untuk menggoyahkan dominasi penggunaan
monisme epistemologis dan metodologis positivistis-naturalistis di kalangan para
ahli sosiologi di Indonesia selama ini.
2. Kita semua mengetahui bahwa kontroversi tentang apakah ilmu-ilmu sosial, tidak
terkecuali sosiologi, harus dikembangkan mengikuti tradisi keilmuan positivistisnaturalistis atau historis-kulturalistis memang bukan merupakan suatu fenomena
yang baru. Gugatan klasik dari kaum subyektivis yang menolak pendekatan
positivistis-naturalistis di dalam ilmu-ilmu sosial bahkan sudah dilakukan jauh-----------------------------------------*). Disampaikan sebagai bahan diskusi pada Seminar Nasional Strategi Peningkatan Daya
Saing Ilmu-Ilmu Sosial di Era Global, yang diselenggarakan oleh Fakultas Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Perguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja
tanggal 12 November 2005.
jauh hari oleh ahli filsafat neo-idealis Jerman dari akhir abad 18 bernama
William Dilthey terhadap pemikiran metafisika Auguste Comte, dan terutama
terhadap argumen John Stuart Mill yang dengan penuh keyakinan menyatakan
bahwa: “Jikalau kita ingin keluar dari kegagalan ilmu-ilmu sosial dibandingkan
dengan ilmu-ilmu alam, maka satu-satunya harapan kita haruslah digantungkan
pada penggunaan di dalam ilmu-ilmu sosial metode-metode yang telah terbukti
sangat berhasil mendorong perkembangan ilmu-ilmu alam” (Truzi, 1974). Melalui
gugatannya itu Dilthey sesungguhnya sedang berusaha untuk meyakinkan para
penganut tradisi intelektual positivistis-naturalistis di dalam ilmu-ilmu sosial
akan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara ilmu-ilmu sosial dan ilmuilmu alam, dan yang oleh karena itu mengharuskan ilmu-ilmu sosial untuk
meninggalkan penggunaan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu alam dan
sebaliknya membangun dan mengembangkan basis metodologinya sendiri.
1
Jikalau oleh karena karakter obyektif dari “obyek” kajiannya ilmu-ilmu alam
bergumul untuk menemukan “hukum-hukum” yang bekerja di belakang dunia
alam fisik, maka oleh karena karakter dunia sosial yang tidak hanya memiliki
dimensi obyektif akan tetapi juga dimensinya yang bersifat subyektif maka
pergumulan ilmu-ilmu sosial harus terutama ditujukan untuk menemukan ultimate
understanding melalui pengembangan “insights” tentang dunia sosial yang
menjadi “subyek” pengamatan dan kajian mereka, yang di dalam ilmu-ilmu alam
biasa disebut sebagai “obyek” pengamatan.
3. Pertanyaannya adalah ini: mengapa, sesudah melalui kurun waktu yang sangat
panjang, perkembangan sosiologi sejawat ilmu-ilmu sosial pada umumnya
“panggah” atau tetap saja terjadi di bawah hegemoni monisme penggunaan
epistemologi, teori, dan metodologi positivistis-naturalistis? Menurut Stephen Jay
Kline (1995) di dalam bukunya berjudul Conceptual Foundations for
Multidisciplinary Thinking, jawabnya harus ditemukan di dalam keunggulan
ilmu-ilmu alam (baca: natural sciences) dan aplikasi metode-metode keilmuan
ilmu-ilmu tersebut oleh ilmu-ilmu sosial di dalam mengembangkan suatu sistem
intelektual yang dapat memberikan kepada umat manusia kemampuan luar biasa
untuk memahami hukum-hukum alam tempat kehidupan mereka bergantung.
Bukti empiris paling nyata dari keberhasilan itu dengan mudah dapat ditunjukkan
melalui keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam mentransformasikan sistem ekonomi
dunia dari karakternya sebagai apa yang oleh Karl Polanyi disebut sebagai sistem
ekonomi yang “luluh” (embedded economy) menuju karakternya sebagai suatu
sistem ekonomi yang “terurai” atau terdiferensiasi (differentiated economy) dan
yang oleh karenanya memiliki kemampuan untuk menciptakan kemakmuran
material yang luar biasa meski sejauh ini ia harus dicapai dengan biaya sosial dan
lingkungan yang sangat besar.
4. Keunggulan sistem intelektual tersebut pada gilirannya memiliki sumbernya di
dalam bekerjanya dua hal berikut. Yang pertama kita temukan di dalam
bekerjanya apa yang secara sangat longgar dapat disebut sebagai “metode-metode
ilmiah” (scientific methods), sementara sumbernya yang kedua dapat kita jumpai
di dalam berkembangnya spesialisasi bidang-bidang ilmu pengetahuan yang
secara progresif semakin lama menjadi sangat luas. Pada tahapan awal
perkembangannya, metode-metode keilmuan dan spesialisasi bidang-bidang ilmu
pengetahuan itu memang tidak menimbulkan masalah yang berarti. Akan tetapi,
sebagaimana yang akan disampaikan pada penyajian pokok bahasan yang lain,
ketika spesialisasi bidang-bidang ilmu pengetahuan berkembang terlalu jauh,
maka sistem intelektual tersebut menjadi semakin kehilangan kemampuan
esensialnya untuk melihat dan menjelaskan hal-hal berikut: (1) deskripsi tentang
keseluruhan kerangka kerja ilmu pengetahuan yang menempatkan beragam
disiplin ilmu pengetahuan di dalam hubungan mereka satu dengan yang lain; (2)
deliniasi tentang apa yang dapat direpresentasikan oleh setiap disiplin ilmu
pengetahuan; (3) perkembangan pemahaman (insights) tentang kesamaankesamaan dan perbedaan-perbedaan diantara berbagai disiplin ilmu pengetahuan
di dalam kaitannya dengan kompleksitas sistem paradigmatis, variasi-variasi
2
perilaku dan prinsip-prinsip keilmuan di dalam kurun waktu yang berbeda dan
jenis-jenis konsep yang mereka analisa; dan (4) bagaimana berbagai disiplin ilmu
pengetahuan berhubungan sangat erat satu dengan yang lain ketika mereka
diterapkan untuk mengungkapkan masalah-masalah tertentu; bagaimana ilmuwan
dapat menilai kemungkinan-kemungkinan bahwa bidang-bidang kajian yang
mereka lakukan dibangun di atas pertanyaan-pertanyaan yang sesat, dan bahwa
penelitian-penelitian mereka dilakukan di atas pilihan penggunaan pendekatanpendekatan keilmuan yang keliru dan oleh karena itu telah menghasilkan
kesalahan-kesalahan pemahaman yang sangat mendasar; dan bagaimana
keduanya sangat esensial bagi pengembangan kesyahihan metodologi masingmasing disiplin ilmu pengetahuan dan keseluruhan sistem intelektual.
5. Semua itu mengimplikasikan pentingnya, jikalau bukan keharusan pengembangan
pendekatan interdisipliner dan/atau transdisipliner untuk memberikan kemampuan
ilmu pengetahuan dalam empat hal yang dimaksudkan oleh Kline di atas.
Perkembangan ilmu pengetahuan dengan demikian tidak boleh hanya dipahami
melalui “koroborasi” statistik atau “falsifikasi” hipotesis-hipotesis. Pandangan
keilmuan yang demikian, seperti yang dikemukakan oleh Neurath (dalam
Martinez-Alier, 1995), sangat tegas menolak penggunaan monisme epistemologis,
teoritis dan metodologis, dan sebaliknya menganjurkan pentingnya penerimaan
pluralisme epistemologis, teoritis dan metodologis sebagai basis bagi
pengembangan ilmu pengetahuan. Mengikuti logika yang sama, Martinez-Alier
(1995: 136) mengusulkan pentingnya apa yang ia sebut sebagai “orkestrasi ilmu
pengetahuan” (orchestration of sciences). Seperti halnya dengan Neurath, yang
berpendapat bahwa pemahaman tentang sejarah penemuan-penemuan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan tidak boleh terjebak ke dalam “reduksionisme” dan
“piramidisme” Auguste Comte, Martinez-Alier memiliki keyakinan yang kuat
bahwa untuk mengungkapkan pemahaman yang lebih jernih tentang isu-isu
“pembangunan manusia yang berkelanjutan” (sustainable human development)
diperlukan pendekatan multidisipliner dan/atau transdisipliner.
6. Sebagai konsekuensi dari penerimaan dan penggunaan pendekatan yang
demikian, dunia ilmu pengetahuan kontemporer paling sedikit akan menuai
beragam keuntungan-keuntungan berikut. Pertama, pengembangan pendekatan
multidispliner atau transdisipliner akan memberikan kepada para ilmuwan
pemahaman yang lebih jernih tentang bagaimana beragam minat dan disiplin
keilmuan berkaitan tali-temali dengan keseluruhan sistem intelektual dan dengan
dunia alam fisik dan sosial yang menjadi obyek dan/atau subyek kajian mereka.
Kedua, pada saat yang sama, para peneliti (tidak terkecuali para ahli sosiologi dan
peneliti ilmu-ilmu sosial pada umumnya) akan semakin memahami pula bahwa
penilaian-penilaian lebih komprehensif yang mereka peroleh dari pengembangan
program-program multidispliner atau transdisipliner akan membantu mereka di
dalam memperoleh pemahaman yang lebih “penuh” dan lebih “otentik” tentang
disiplin ilmu pengetahuan masing-masing. Di dalam konteks pengembangan
program-program studi ilmu-ilmu sosial, tidak terkecuali program studi sosiologi,
pengembangan perspektif multidisipliner atau transdisipliner akan memberikan
3
keuntungan bagi para ilmuwan dan peneliti ilmu-ilmu sosial untuk lebih
memahami tali-temali bekerjanya berbagai kekuatan sosial (baik yang berkarakter
obyektif maupun subyektif, dan pada tataran makro maupun mikro) di belakang
berbagai realitas sosial dan kultural sebagai akomodasi dan aplikasi berbagai teori
ilmu-ilmu sosial beserta implikasi-implikasi dari metode-metode penelitian yang
diturunkan dari pilihan teori-teori tersebut.
7. Apa implikasi kelembagaan dari semua itu bagi perumusan kebijakan
pengembangan ilmu pengetahuan? Menurut hemat saya aktualisasinya paling
sedikit akan mengungkapkan dirinya di dalam tiga dataran kebijakan berikut.
Pada dataran yang pertama, ia harus mengungkapkan dirinya dalam bentuk
kebijakan pengembangan kurikulum yang dibangun di atas akomodasi perspektif
multidisipliner atau transdisipliner, di mana komposisi mata kuliah untuk tiap
program studi memiliki kemampuan yang kuat untuk mengembangkan dialog
antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan tanpa harus kehilangan fokus
perhatiannya pada pengembangan disiplin ilmu pengetahuannya sendiri. Pada
dataran kebijakan yang kedua, tidak terkecuali dalam penyelenggaraan program
studi ilmu-ilmu sosial, kebijakan yang dimaksud harus secara jelas didesain untuk
membongkar dan mengikis monisme epistemologis, teoritis, dan metodologis
yang selama ini sangat menguasai bukan hanya penyelenggaraan program studi
sosiologi akan tetapi bahkan nyaris semua program studi ilmu sosial di Indonesia.
Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah suatu kebijakan pengembangan
kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan yang membuka pintu lebar-lebar bagi
pengembangan beragam tradisi keilmuan atau epistemologi beserta dengan
konsekuensi-konsekuensi pilihan perspektif teoritis dan metodologi penelitian
yang menjadi turunan masing-masing. Kebijakan yang ketiga, dan yang tidak
kalah pentingnya, menyangkut bagaimana struktur organisasi lembaga pendidikan
tinggi yang bersangkutan harus dikembangkan. Salah satu diantara beragam
wujud pengungkapannya adalah kebijakan untuk mengelompokkan berbagai
program studi ke dalam jumlah kelompok program studi yang lebih kecil, yang
pada tingkat program studi S2 dan S3 dapat diungkapkan ke dalam
pengembangan tiga atau empat “Graduate School”, di mana “Graduate School of
Social Science and Humanity” merupakan salah satu diantaranya. Tentu saja
harus dipahami bahwa semua kebijakan itu jelas tidak akan mampu mencapai
tujuannya dengan baik, kecuali jikalau pada saat yang sama terjadi transformasi di
dalam kualitas seluruh sumber daya dan mutu “governance” atau tata
kepemerintahan lembaga pendidikan yang mendukungnya.
8. Hanya dengan semua itu, maka para ahli dan peneliti ilmu-ilmu sosial, termasuk
sosiologi, akan memiliki kemampuan dan daya saing yang tinggi dan terpercaya
untuk mengikuti persaingan profesional yang akan makin keras di era globalisasi
gelombang ketiga di masa depan. Hanya dengan semua itu maka para ahli dan
peneliti ilmu-ilmu sosial akan memiliki kemampuan untuk memahami kenyataan
dunia yang ada di hadapan mereka dengan lebih jernih dan benar melampaui
pemahaman manusia-manusia gua di dalam metafora “gua Plato” (Garon, 2003:
25), yang mengira bahwa bayang-bayang mereka di dinding gua di hadapan
4
mereka merupakan kenyataan dunia mereka yang sesungguhnya. Lebih dari
semua itu, hanya dengan semua itu maka para ahli dan peneliti ilmu-ilmu sosial di
negeri ini akan memiliki pemahaman kritis yang lebih jernih dan benar
melampaui pemahaman arus besar pemahaman para ahli tentang dinamika proses
globalisasi yang tengah kita hadapi saat ini dan implikasi isu-isu sosial dan
kemanusiaan yang ditimbulkannya.
II
9. Dengan semua itu kini saya ingin mengajak para peserta pertemuan ini untuk
memahami dengan lebih seksama tentang tantangan perubahan-perubahan global
yang tengah kita hadapi saat ini, dan yang membedakannya dari pemahaman arus
besar para ahli globalisasi yang melalui perspektif mereka yang melihat realita
globalisasi dan isu-isu sosial dan kemanusiaan yang sejauh ini ditimbulkannya
bukan hanya sebagai realita yang sesungguhnya tanpa menyadari bahwa realita
tersebut sesungguhnya hanya merupakan bayang-bayang dari kepentingan
kekuatan-kekuatan global yang tidak “legitimate”. Dengan semua itu saya juga
ingin mengajak para peserta seminar ini untuk memahami bahwa dinamika proses
globalisasi yang tengah kita hadapi saat ini, yang oleh Robbie Robertson (2003)
disebut sebagai globalisasi gelombang ketiga (dan yang kini lebih dikenal sebagai
globalisasi neo-liberal), memiliki karakter dan dinamika yang sangat berbeda dari
karakter dan dinamika globalisasi gelombang pertama dan kedua. Kedua, pada
saat yang sama, kita perlu melakukan penilaian kritis dan lebih jernih tentang
implikasi dari ekspansi globalisasi gelombang ketiga bagi negara-negara di Dunia
Ketiga, terutama implikasinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
universitas di negara-negara tersebut.
10. Sebagaimana kita ketahui, logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang
ketiga diturunkan dari idelologi neo-liberalisme, yang di dalam filsafat politik
kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisme yang direntang
melampaui batasnya yang ekstrim. Seperti halnya dengan libertarianisme yang
membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yang terbatas (Kymlycka,
1999: 95), neo-liberalisme percaya pada pentingnya institusi pemilikan privat dan
efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasikorporasi tansnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme
distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada
keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk
menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan individu
(Gelinas, op. cit., 2003: 24).
11. Bekerja melalui regulasi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh
Richard Peet (2003) disebut sebagai Unholy Trinity (baca: IMF, Bank Dunia, dan
WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga, perlahan-lahan
akan tetapi pasti, segala sesuatu yang memiliki nilai tidak dapat dipertahankan
dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: tidak juga air, bahan
pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua
itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-
5
negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka, yang terjadi
dalam lima tahapan perkembangan berikut (Gelinas, ibid: 31):
(1) Deregulasi sistem keuangan internasional Bretton Woods, yang terjadi sejak
tahun 1971, dan yang telah mengubah semua aset keuangan dunia ke dalam
kapital spekulatif.
(2) Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematik dan bertahap, yang terjadi
sejak tahun 1980-an melalui program-program penyesuaian struktural
(structural adjustment) di bawah pengawalan IMF dan Bank Dunia untuk
mengintegrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar
global.
(3) Deregulasi stock markets yang terjadi sejak tahun 1986 untuk mengatur
deregulasi semua stock markets di seluruh dunia.
(4) Deregulasi produksi pertanian dan komersialisasi pelayanan-pelayanan yang
timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional.
(5) Proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax and banking
havens) sejak pertengahan tahun 1990-an, yang telah menghasilkan separuh
dari seluruh aliran keuangan dunia terjadi melalui kemudahan-kemudahan
bebas hambatan dari semua bentuk kendala legal oleh karena kekuasaan
publik mengikuti ketidakpedulian kebijakan-kebijakan publik.
12. Semua itu telah menyebabkan globalisasi gelombang ketiga atau globalisasi neoliberal secara mendasar memiliki dinamika dan implikasi yang sangat berbeda
dari dinamika dan implikasi globalisasi gelombang pertama dan kedua. Jikalau di
era globalisasi gelombang pertama dan kedua ekstraksi kekayaan negara-negara
sedang berkembang di Dunia Ketiga dilakukan dengan menggunakan mekanisme
“akumulasi primitif” melalui beragam bentuk kekerasan fisik yang terbuka seperti
penaklukan dan kolonisasi, perampokan dan perbudakan, serta ekslpoitasi
pertanian dan perdagangan antar benua, maka di era globalisasi gelombang ketiga
ekstraksi kekayaan negara-negara Dunia Ketiga dilakukan dengan cara-cara yang
sangat lembut dan tersembunyi melalui regulasi sistem perdagangan internasional
yang di atas permukaan tampak sangat bebas dan demokratis akan tetapi yang di
bawah permukaan sesungguhnya seringkali jauh lebih eksploitatif dan tidak adil.
Tidak mengherankan oleh karenanya jikalau keberhasilan globalisasi gelombang
ketiga yang telah membawa perkembangan peradaban umat manusia ke tingkat
yang selama ini tidak pernah terbayangkan, harus berjalan seiring dengan
terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan di banyak negara sedang berkembang.
Gelinas (ibid: 165-166) menyebut beberapa tragedi kemanusiaan berikut diantara
yang paling penting:
(1) 4 sampai 6 milyar penduduk dunia berada di 127 negara terbelakang berada
di dalam kondisi kemiskinan yang berat;
(2) 49 negara paling terbelakang secara teknologis mengalami kebangkrutan;
(3) pendapatan per kapita per tahun dari 100 negara di Dunia Ketiga mengalani
penurunan dari keadaan 10, 15, 20 dan bahkan 30 tahun yang lalu;
6
(4) 2,8 milyar penduduk di negara-negara Dunia Ketiga hidup dengan
pendapatan kurang dari 2 dollar AS (Amerika Serikat) per hari;
(5) 1,3 milyar penduduk di negara-negara yang sama bahkan hidup dengan
tingkat konsumsi kurang dari 1 dollar AS;
(6) 2,6 milyar penduduk dunia tidak memiliki infrastruktur sanitasi yang
memadai; dan
(7) 1,4 penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersih.
13.
Laporan statistik UN Human Development Report tahun 1996 (Tehranian, op.
cit., 1999: 157) menguatkan semua itu dengan menunjukkan semakin
menguatnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi dunia melalui penyajian
statistik berikut: 20 persen penduduk terkaya di dunia menerima lebih dari 82
persen pendapatan dunia, sementara 20 persen penduduk paling miskin hanya
menerima 1,4 persen. Mengutip laporan Rummel tahun 1994, Tehranian
menyebutkan pula bahwa sepanjang kurun waktu antara tahun 1900 sampai
dengan tahun 1990 telah terjadi sekitar 250 perang antar negara dan perang sipil
di berbagai negara yang merenggut kematian lebih dari 100 juta tentara dan 100
juta penduduk sipil. Lebih dari itu, jikalau pada abad 18 dan abad 19 kematian
prajurit yang terjadi dalam peperanngan hanya mencapai angka 50 dan 60 orang
per 1 juta penduduk dunia, angka itu meningkat secara sangat dramatik pada
abad 20 menjadi 460 kematian per 1 juta penduduk dunia.
14.
Kenyataan-kenyataan itu pula yang antara lain telah menjadi alasan Tehranian
(1999: 156) untuk menyebut abad 20 sebagai “abad kematian yang
direncanakan” (a century of death by design). Memasuki akhir abad 20
sejumlah cendekiawan terkemuka di dunia bahkan telah menengarai terjadinya
“kematian” banyak hal yang selama ini menjadi fondasi dari tata kehidupan
dunia (Tehranian, op. cit., 1996): mulai dari “the end of ideology” (Bell, 1960),
“the end of history” (Fukuyama, 1989), “the end of modernity” (Mowlana dan
Wilson, 1990), “the end of journalism” (Katz, 1992), “the end of geography”
(Mosco, 1994), “the end of racism” (D’Souza, 1995), dan “the end of work”
(Rifkin, 1995), sampai dengan “the end of university” (Tehranian, 1996).
15.
Di dalam kaitannya dengan isu yang terakhir tentang “kematian universitas”,
yang sangat relevan bagi penyajian tema pembicaraan kita kali ini, globalisasi
telah membuat universitas di mana-mana di seluruh dunia, dan berbagai ilmu
pengetahuan yang mereka kembangkan, semakin kehilangan otonominya
sebagai suatu “culture-conserving”, “culture-creating” dan “civilizing
institituion” di dalam mewujudkan peran dan fungsinya untuk membebaskan
umat manusia dari berbagai bentuk penindasasan, ketidakadilan dan
dehumanisasi, dan sebaliknya untuk mewujudkan misi “liberasi” (liberation)
dan “pencerahan” (enlightnment) bagi kehidupan umat manusia. Sebagaimana
yang akan disampaikan lebih jauh pada halaman-halaman berikut, di bawah
tekanan globalisasi teknologi informasi genre baru, yang menjadi salah satu
elemennya yang paling penting, di mana-mana di seluruh permukaan bumi
7
universitas semakin kehilangan otonomi dan kemampuan mereka untuk
mewujudkan hampir semua peran dan fungsi tradisionalnya yang sangat
esensial untuk melakukan produksi, preservasi, dan transmisi pengetahuan
(Noam, 1995), dan pendidikan moral, sosialisasi keilmuan, kritik sosial, serta
sertifikasi profesional dan rekruitmen elit (Tehranian, 1996). Melalui kehadiran
revolusi teknologi informasi yang telah menciptakan perubahan-perubahan
sangat mendasar di dalam struktur organisasi dan mekanisma kerja universitas
sejak tahun 1980-an, globalisasi gelombang ketiga bahkan telah menciptakan
berbagai paradoks perkembangan universitas yang selama ini belum pernah
terjadi.
16.
Sebagaimana dikemukakan oleh Noam dan Tehranian, di bawah dukungan
revolusi perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, globalisasi telah
berhasil mendorong perkembangan ilmu pengetahuan pada tingkat pertumbuhan
yang sangat tinggi antara 4 sampai 6 persen tiap tahun, yang berarti telah
menghasilkan kelipatan pertumbuhan dua kali hanya dalam kurun waktu 10
sampai 15 tahun. Seperti yang terjadi dalam bidang-bidang yang lain,
spesialisasi merupakan mekanisme yang bekerja di belakang perkembangan
ilmu pengetahuan yang luar biasa itu. Salah satu sebabnya yang sangat penting
bersumber dalam keterbatasan kemampuan finansial dan sumber daya fisik yang
dimiliki oleh universitas, sehingga aktualisasi kemampuan para ilmuwan untuk
menguasai pengetahuan yang semakin banyak mengenai bidang-bidang yang
semakin sempit terpaksa harus menemukan solusinya dalam pengembangan
jaringan dengan lembaga-lembaga eksternal, seperti lembaga-lembaga “thinktanks”, konsultansi, korporasi riset dan pengembangan yang dimiliki oleh
berbagai departemen dan lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan nonpemerintah.
17.
Sebagaimana sudah disebutkan di muka, spesialisasi bidang-bidang ilmu
pengetahuan memang merupakan salah satu kekuatan sangat penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ketika spesialisasi bidang-bidang
ilmu pengetahuan berkembang terlalu jauh, apalagi ketika dorongan yang
menggerakkannya dikendalikan oleh kepentingan korporasi-korporasi
transnasional, maka sistem intelektual yang menjadi tempatnya berpijak akan
semakin kehilangan kemampuan esensialnya untuk melihat dan menjelaskan
hal-hal berikut: (1) deskripsi tentang keseluruhan kerangka kerja ilmu
pengetahuan yang menempatkan beragam disiplin ilmu pengetahuan di dalam
hubungan mereka satu dengan yang lain; (2) deliniasi tentang apa yang dapat
direpresentasikan oleh setiap disiplin ilmu pengetahuan; (3) perkembangan
pemahaman (insights) tentang kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan
diantara berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan
kompleksitas sistem paradigmatik yang mendasarinya; dan (4) bagaimana
berbagai disiplin ilmu pengetahuan berhubungan sangat erat satu sama lain
ketika mereka diterapkan untuk mengungkapkan masalah-masalah tertentu.
Yang terakhir memiliki kaitan yang erat dengan isu tentang bagaimana
ilmuwan dapat menilai kemungkinan-kemungkinan bahwa bidang-bidang kajian
yang mereka lakukan dibangun di atas pertanyaan-pertanyaan yang sesat, dan
bahwa penelitian-peneilitian mereka dilakukan di atas pilihan penggunaan
8
pendekatan-pendekatan keilmuan yang keliru dan oleh karena itu telah
menghasilkan kesalahan-kesalahan pemahaman yang sangat mendasar; dan
bagaimana keduanya sangat esensial bagi pengembangan kesyahihan
metodologi masing-masing disiplin ilmu pengetahuan dan keseluruhan sistem
intelektual yang mendasarinya. Itulah yang dikhawatirkan oleh Stephen Jay
Kline (1995) akan dapat terjadi atas perkembangan ilmu pengetahuan di era
globalisasi globalisasi saat ini di masa yang akan datang.
18.
Sebagai akibatnya, fungsi pertama universitas untuk mengembangkan (ilmu)
pengetahuan semakin banyak diambilalih oleh lembaga-lembaga penelitian
pemerintah dan/atau swasta yang memiliki dukungan dana yang kuat dan
menuntut keahlian yang semakin terspesialisasi. Fungsi pengembangan ilmu
pengetahuan yang selama ini secara internal dapat dilakukan universitas melalui
kebijakan-kebijakan pengembangan infrastruktur dan iklim akademik, berkat
dukungan perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi modern, kini
harus dilakukan melalui persaingan yang semakin tidak menguntungkan dengan
lembaga-lembaga dan jaringan-jaringan pengembangan ilmu pengetahuan yang
semakin banyak berkembang di luar universitas dengan dukungan infrastruktur
yang jauh lebih baik dan dana yang lebih besar.
19.
Dampak lebih jauh dari semua perkembangan itu adalah bahwa peran
universitas untuk mengintegrasikan perkembangan unit-unit pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya menjadi semakin
problematik. Tanpa kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang benar, program-program dan pusat-pusat studi yang menjadi ujung tombak
universitas di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan
semakin sulit dikendalikan untuk berkembang menjadi “kerajaan-kerajaan”
kecil yang memiliki hubungan yang minimal diantara satu dengan yang lain. Di
hadapan tawaran dukungan sumber dana yang besar dari luar, tidak jarang
bahkan dari lembaga-lemaga dana yang memiliki kaitan dengan kepentingan
korporasi-korporasi transnasional, maka program-program dan pusat-pusat studi
yang dimiliki universitas akan berkembang mengikuti irama dan dinamika
mereka sendiri-sendiri. Sebagai akibatnya, berbagai disiplin ilmu pengetahuan
menjadi semakin tidak dapat berbicara satu sama lain. Disiplin ilmu-ilmu
pengetahuan alam, misalnya, yang pada abad limabelas dan enambelas memiliki
kebesaran dan superiotas yang sangat tinggi oleh karena para ahlinya pada
umumnya memiliki kapasitas sebagai ahli-ahli filsafat yang tidak hanya
memiliki penguasaan atas fakta-fakta empiris akan tetapi juga konsep-konsep
kemanusiaan yang kuat (Heidegger, 1977), kini semakin tidak dapat berbicara
dengan para ahli ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Banyak diantara mereka
menganggap para ahli ilmu-ilmu sosial dan humaniora lebih banyak
membangun argumen keilmuan mereka di atas opini dan akal sehat yang tidak
memiliki dukungan fakta-fakta empiris yang kuat dan terpercaya. Sebaliknya,
disiplin ilmu-ilmu sosial yang pada awal kelahirannya berkembang dengan
meminjam epistemologi positivistis-naturlistis dari disiplin ilmu-ilmu
pengetahuan alam (Etzkowitz, 1991), kini semakin bersikap skeptis terhadap
kesyahihan fakta-fakta empiris yang “keras” yang dihasilkan melalui
penggunaan metode-metode penelitian positivistis-naturalistis, dan oleh karena
9
itu juga menjadi semakin tidak memiliki kemampuan untuk berbicara dengan
sejawat-sejawat mereka dari disiplin ilmu-ilmu pengetahuan alam. Mereka
menganggap banyak ahli ilmu-ilmu pengetahuan alam memberikan kepercayaan
terlalu tinggi pada fakta-fakta empiris yang “keras”, sebaliknya kurang menaruh
perhatian pada pentingnya refleksi dan kontemplasi.
20.
Semua itu telah menyebabkan fungsi liberasi universitas dan ilmu pengetahuan
untuk membantu masyarakat dan umat manusia melepaskan diri dari berbagai
bentuk penindasan, ketidakadilan dan dehumanisasi juga menjadi semakin
problematik. Meminjam argumen Schiller (Webster, 1995), di tengah era
globalisasi teknologi informasi, di mana-mana di seluruh dunia, terutama di
negara-negara Dunia Ketiga, universitas semakin tidak memiliki kemampuan
untuk mencegah hadirnya paling sedikit tiga ragam perubahan sangat
problematik berikut. Pertama, sebagai implikasi dari perkembangan dan aplikasi
teknologi informasi dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya, kini
universitas harus menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat
yang semakin dikendalikan oleh “kriteria-kriteria pasar”. Inovasi-inovasi
informasi dan komunikasi baru dan semua produk inovasi lain yang semula
diharapkan akan dapat menjadi kekuatan pendorong sangat penting bagi
dinamika perkembangan masyarakat di masa mendatang, ternyata telah
berkembang semakin dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan pasar di dalam
proses pembelian, penjualan, dan perdagangan untuk alasan keuntungan.
Sentralitas prinsip-prinsip pasar di dalam ketiga kegiatan itu pada gilirannya
telah menghasilkan terjadinya “komodifikasi” dan “komersialisasi” informasi,
dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia
menghasilkan keuntungan; dan bagi para pengguna informasi, hanya akan dapat
diperoleh sejauh mereka dapat dan mampu membelinya.
21.
Kedua, globalisasi teknologi informasi juga telah dan akan mengakibatkan
masyarakat dan ekonomi kita semakin tumbuh menjadi sebuah “corporate
capitalism” yang akan semakin didominasi oleh institusi-institusi korporatis di
dalam bentuk organisasi-organsisasi oligopolistis atau bahkan monopolistis.
Ketiga, sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akan kita saksikan semakin
transparan di hadapan mata publik adalah meningkatnya kesenjangan kelas
(class inequality) yang akan semakin menguasai dinamika perkembangan
masyarakat dan ekonomi kita di masa mendatang. Kelas, misalnya, akan
semakin menentukan siapa yang akan memperoleh jenis informasi macam apa
dan dalam jumlah seberapa banyak, serta semua konsekuensi yang
ditimbulkannya. Di dalam situasi seperti itu, hanya mereka yang berada pada
lapisan atas di dalam struktur sosial masyarakat kita yang akan memperoleh
keuntungan yang berarti dari perkembangan teknologi informasi. Dalam
konteks pemanfaatannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hal itu juga
berarti bahwa hanya mereka yang berada pada lapisan atas di dalam struktur
sosial masyarakat kita yang akan memperoleh keuntungan yang berarti dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
22.
Yang menjadi tantangan kita saat ini dan di masa depan adalah bagaimana di
bawah tekanan globalisasi gelombang ketiga yang semakin meraja, peran
10
universitas dan ilmu pengetahuan bagi liberasi umat manusia dari berbagai
bentuk penindasan, ketidakadilan, dan dehumanisasi harus dikontekstualisasi
dan direvitalisasi. Di dalam ungkapan lain, tantangan sangat besar yang harus
dapat dijawab oleh setiap universitas di masa depan adalah bagaimana misinya
itu harus dirumuskan dan didefinisikan kembali ke dalam bentuknya yang lebih
kontekstual untuk menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang
semakin keras saat ini dan di masa depan. Bagaimana, misalnya, misi
universitas harus dikontekstualisasi dan direvitalisasi sehingga aktualisasinya
melalui pelaksanaan program-program tridharma universitas dalam bidang
pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat benar-benar memiliki
kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-perubahan global. Tidak
kalah pentingnya adalah pertanyaan tentang bagaimana misi itu harus
didefinisikan kembali dan direvitalisasi ke dalam perumusan kebijakankebijakan organisasional atau institusional universitas.
23.
Di dalam konteks semua itulah uraian tentang implikasi kelembagaan dari
semua itu bagi perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang telah disampaikan pada butir 7 di muka
harus kita pahami dan kita tempatkan. Untuk mengukuhkan semua itu, sekaligus
untuk menutup penyajian ini, sebuah kebijakan pengembangan kelembagaan
universitas yang secara khusus dirancang untuk mengemban tiga fungsi berikut
perlu dikembangkan. Meminjam ungkapan Daly dan Cobb, Jr. (1998), fungsi
pertama yang harus menjadi pusat perhatian program kelembagaan universitas
tersebut menyangkut kajian-kajian kritis tentang eksistensi universitas kita
sebagai suatu institusi "culture-conserving", "culture-creating"; dan “civilizing
institution”; tentang sejarah kelahirannya dan cara ia mengorganisasi berbagai
disiplin ilmu pengetahuan yang dikembangkannya; tentang bagaimana ia
membangun hubungannya dengan masyarakat tempat ia menjadi bagiannya;
tentang sumbangan yang telah dan akan diberikan bagi perkembangan
kemanusiaan; tentang kendala-kendala yang menghalangi kebebasan universitas
untuk mengungkapkan fungsinya; dan di atas semua itu, tentang kesyahihan
asumsi-asumsi yang mendasari perkembangan berbagai disiplin keilmuan yang
dikembangkannya serta bagaimana asumsi-asumsi yang mereka anut berkaitan
satu dengan yang lain dan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
24. Fungsi kedua, yang juga sangat penting bagi aktualisasi misi universitas berkaitan dengan kajian-kajian sistematis tentang isu-isu kosmologi. Fokus
perhatian yang harus menjadi obyek kajiannya adalah mengungkapkan
pemahaman yang utuh dan bulat tentang kosmologi dunia yang dibangun dari
beragam informasi yang diperoleh dari perkembangan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang dikembangkannya. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
harus dijawab harus muncul dari upaya-upaya untuk mengkaitkan apa yang
diperoleh dari kajian-kajian kemanusiaan dengan apa yang diperoleh dari
kajian-kajian ilmu psikologi, kajian-kajian ilmu sosial, dan kajian-kajian ilmuilmu alam. Fungsinya yang ketiga, bertalian dengan kajian-kajian yang secara
khusus dan sistematis dirancang untuk melakukan analisa tentang beragam
bentuk krisis yang terjadi pada tingkat nasional dan global. Berbagai informasi
tentang hal itu memang sudah menjadi perhatian dari berbagai disiplin ilmu
11
pengetahuan, akan tetapi semua itu masih belum terintegrasi ke dalam suatu
institusi yang secara khusus berusaha memperoleh pengetahuan yang utuh dan
bulat mengenai seluruh persoalan yang sedang dialami umat manusia, dan
bagaimana informasi-informasi tersebut berkaitan satu sama lain.
15. Fungsi kelembagaan universitas ketiga yang juga perlu dikembangkan
menyangkut pengembangan sistem administrasi penyelenggaraan kegiatan
perkuliahan yang terintegrasi pada tingkat universitas untuk memberikan ruang
yang lebih luas bagi mahasiswa untuk merencanakan dan mengembangkan
kemampuan dan minat akademik dan profesional lintas disipliner yang sangat
diperlukan untuk menghadapi tantangan perubahan-perubahan global yang
semakin berat di masa depan.
Yogyakarta; 11 November 2003.
DAFTAR PUSTAKA
Bessis, Sophie. 2003. Western Supremacy: The Triumph of an Idea?, London & New
York: Zed Books.
Daly, Herman E. and John B. Cobb, Jr. 1989. For the Common Good: Redirecting the
Economy Toward Community, the Environment, and a Sustainable Future. Boston:
Beacon Press.
Etzkowitz, Henry and Ronald M. Glassman. 1991. The Renascence of Sociological
Theory: Classical and Contemporary, Illinois: F.E. Peacock Publishers, Inc.
Gelinas, Jacques B. 2003. Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization,
London & New York: Zed Books.
Heidegger, Martin. 1977. “Modern Science, Methaphysics, and Mathematics”, dalam
Krell, David F. Martin Heidegger Basic Writings: From Being and Time (1927) to
The Task of Thinking (1964), London and Henley: Routledge & Kegan Paul.
Kymlycka, Will. 1999. Contemporary Political Philosophy: An Introduction, Oxford:
Clarendon Press.
Kline, Stephen Jay. 1995. Conceptual Foundations for Multidisciplinary Thinking,
Stanford, California: Standford University Press.
12
Martinez-Alier, Juan. 1995. “The Socio-ecological Embeddedness of Economic Activity:
The Emergence of Transdisciplinary Field”, dalam Egon Becker and Thomas Jahn,
Sustainability and Environmental Considerations Into Theoretical Reorientation, Zed
Books.
Noam, Eli M. 1995. “Electronics and the Dim Future of the University”, dalam Science,
Vol. 270, pp 247-249.
Robertson, Robbie. 2003. The Three Waves of Globalization: A History of a Developing
Global Consciousness, London dan New York: Zed Books
Tehranian, Majid. 1999. Global Communication and World Politics: Domination,
Development, and Discourse, Linne Rienner Publishers.
_______________. 1996. “The End of University”, reproduced with permission by
Taylor and Francis, Inc, http:/www.routledge-ny.com.
Truzi, Marcello. 1974. Verstehen: Subjective Understanding in the Social Sciences,
Reading, Massachusetts: Addison-Westly Publishing Company.
--------------------
13
Download