keseimbangan antara kemajuan materi dan nilai

advertisement
M. Dahlan M
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
PROSES ISLAMISASI MELALUI DAKWAH
DI SULAWESI SELATAN DALAM TINJAUAN SEJARAH
Oleh: M. Dahlan M.
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar
Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata-Gowa
E-mail: [email protected]
Abstract
This paper break down the process of Islamization in
South Sulawesi and propaganda methods adopted in the
process. By using an approach based on historical
analysis, this paper concludes that, the process of
Islamization in South Sulawesi through several stages,
the arrival of Muslim traders as bearers of Islam in the
16th century, after the advent of Islam King of GowaTallo in the 17th century, shipping army for kings to
develop Islamic Bugis although initially rejected by the
Bugis, continues with the arrival of Datuk Bandang ri, ri
Tiro Datuk, Datuk Pattimang broadcast and Islam.
Adopted the method of preaching Islam is spreading the
teachings of Islam to synchronize between pangadereng
so that the process of Islamization in South Sulawesi
take place quickly.
Keywords:
Islamizasition, South Sulawesi, syncronize, pangadereng.
A. Pendahuluan
erbicara tentang masuknya Islam di Indonesia, terdapat beberapa
versi di kalangan ahli sejarah. Sebagian di antara mereka, seperti
Pijnappel dan Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa abad XII
paling mungkin dari awal permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Menurut
mereka, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang berimigran dan
menetap di wilayah India, kemudian membawa Islam ke Nusantara.1
Teori ini dibantah oleh Thomas W. Arnold, yang menyatakan bahwa
mungkin agama Islam telah dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Arab, sejak
abad pertama Hijriah. Dugaan ini, diperkuat oleh kenyataan tentang adanya
perdagangan yang luas dengan dunia luar yang dilakukan oleh orang-orang
B
1
Teori ini menyebutkan bahwa begitu Islam mulai berkuasa di Anak Benua India, banyak di
antara orang-orang Arab tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur
Tengah dengan Nusantara. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 24.
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
141
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
M. Dahlan M
Arab sebelum Islam.2 Teori ini disetujui oleh sejarawan Muslim Indonesia,
sebagaimana tampak dalam kesimpulan seminar masuknya Islam di Indonesia
yang berlangsung di Medan pada tanggal17-20 Maret 1963 bahwa: Islam
langsung datang Arabia, bukan dari India; bukan pada abad XII atau abad
XIII, melainkan pada abad VII Masehi (abad I Hijriah).3
Dari perbedaan versi di atas, Umar Syihab mengkompromikan dan
menyatakan bahwa Islam datang di Indonesia pada abad VII, yang langsung
dibawa dari Arabia. Adapun abad XII dan XIII adalah datangnya para
penyebar Islam, baik dari Anak Benua India maupun dari Arab, sekaligus
menandai proses Islamisasi di Nusantara.4
Sejarawan sepakat bahwa daerah yang pertama kali disentuh oleh Islam
di nusantara ini adalah Sumatera. Dari daerah inilah kemudian menyebar ke
seluruh pelosok nusantara, termasuk Sulawesi Selatan. Dalam salah satu
riwayat disebutkan bahwa pada tahun 1565-1590, Kerajaan Gowa (salah satu
kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan) di bawah pemerintahan Karaeng
Tunijallo, menjalin persahabatan dengan raja-raja yang ada di Johor, Malaka,
Pahang, Sumatera, Blambangan, Patani, Banjar, dan Ternate. Pada saat inilah,
agama Islam sudah mulai menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan. Bahkan,
Karaeng Tunijallo sempat mendirikan mesjid bagi pedagang muslim yang
bermukim di wilayahnya.5 Melalui para pedagang itulah, agama Islam
pertama kali menyebar di Kerajaan Gowa. Selanjutnya, Kerajaan Gowa
memperkenalkannya kepada kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi
Selatan melalu kegiatan dakwah.
Berdasar dari latar belakang di atas, maka yang menjadi kajian pokok
dalam tulisan ini adalah bagaimana proses Islamisasi melalui dakwah di
Sulawesi Selatan. Dari kajian pokok tersebut, maka akan diuraikan bagaimana
proses Islamisasi diSulawesi Selatan dan bagaimana metode dakwah yang
ditempuh dalam proses Islamisasi tersebut.
2
Pada abad ke-2 sebelum Masehi, perdagangan dengan Ceylon sepenuhnya berada di tangan
bangsa Arab. Pada awal abad ke-4 Masehi, perdagangan dengan Ceylon mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada pertengahan abad ke-3 Masehi, sudah banyak
pedagang-pedagang Arab yang ditemui Canton. Lihat Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam,
diterjemahkan oleh Hasan Ibrahim Hasan dengan judul “al-Da’wa ila al-Islam” (Mesir: Maktabah alNahdhah al-Majriyyah, 1970), h. 401.
3
A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
h. 3.
4
Syihab, “Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Indonesia”, dalam Warta Alauddin, edisi
XIIX (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1998), h. 4.
5
Abd. Rahman Musa, Corak Tasawuf Syekh Yusuf (Disertasi pada Program Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1977), h. 22-23.
142
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
M. Dahlan M
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
B. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
Disebutkan bahwa awal kedatangan Islam secara terang-terangan di
Sulawesi Selatan dibawa oleh tiga da’i yang berasal dari Minangkabau yang
terkenal dengan Datu’ Tellue. Meraka adalah: Abdul Qadir Datuk Tunggal
dengan julukan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang,
dan Khatib Bungsu sebagai Datuk ri Tiro.6
Sejak abad ke-16, sudah terdapat perkampungan orang-orang Melayu
yang beragama Islam di Makassar. Pada masa pemerintahan Raja Gowa-Tallo
yang ke-12, Karaeng Tunijallo (1565-1590), beliau mendirikan mesjid bagi
pedagang-pedagang tersebut di Mangallekana.7
Pada abad ke-17, Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai
agama resmi kerajaan, sekaligus menjadi pusat pengislaman seluruh daerah
Sulawesi Selatan.8 Dalam proses Islamisasi tersebut, tidak dapat dipisahkan
dari peran yang dimainkan oleh Datuk ri Bandang, Datuk Pattimang, dan
Datuk di Tiro.
Yang mengislamkan Raja Gowa-Tallo ialah seorang ulama yang
bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal (kemudian lazim disebut Datuk ri
Bandang), yang berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera),9 yang
ditandai dengan sembahyang jumat pertama kali secara resmi dilakukan pada
Mesjid Mangallekana. Datuk ri Bandang menekankan aspek dakwahnya pada
syariat.10
6
Cerita awal kedatangan Islam juga dikisahkan bahwa seorang ulama dari Minangkabau
Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, tiba dipelabuhan Tallo dalam
tahun 1605, dengan menumpang sebuah kapal perahu, setibanya di pantai ia melakukan shalat yang
mengherankan rakyat. Ia menyatakan keinginannya untuk menghadap Raja. Raja Tallo yang
mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu.
Ditengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, baginda bertemu dengan
seorang tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan baginda. Orang tua itu menulis sesuatu di
atas kuku ibu-jari baginda dan mengirim salam pada orang berbuat ajaib yang ada di pantai itu.
Sewaktu Khatib Tunggal diberitahu tentang pertemuan Raja dengan orang tua itu, ia melihat bahwa
yang tertulis di atas kuku ibu-jari Raja Tallo itu ialah surah al fatihah. Khatib Tunggal menyatakan
bahwa orang tua itu yang menjumpai Baginda adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Seterusnya
orang makassar menamakan penjelmaan Nabi Muhammad itu “Makassar Nabi Muhamad” sebagian
orang Makassar mengartikan kalimat itu sebagai asal mula nama “Makassar”. Keterangan lebih
sempurna baca juga, A. Mattulada dalam karyanya, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi
Selatan, (Makassar: Hasanuddin University Press, 1998), h. 150.
7
Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang ; Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin. 1976), h. 3.
8
Umar Syihab, op.cit., h. 5-6.
9
Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan, 1976), h. 20.
10
Abu Hamid, Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Kerajaan Bone (Makassar:
Ininnawa, 2004), h. 16.
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
143
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
M. Dahlan M
Suasana masyarakat awal abad ke-17 tersebut, ditandai oleh kesibukan
mempelajari agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang tersebut. Raja
bersama kerabat bangsawan yang ada di sana, berusaha secara berangsurangsur mengetahui dan memahami ajaran Islam melalui pengajian,
sembahyang berjamaah, dan diskusi-diskusi.11
Setelah Raja Gowa-Tallo memeluk Islam dan memaklumkannya
sebagai agama resmi kerajaan. Dua tahu kemudian, Sultan Alauddin
mengeluarkan dekrit kerajaan tertanggal 9 Nopember 1607 M/19 Rajab 1016
H, yang berisi :
1. Islam menjadi agama kerajaan dan anutan masyarakat ;
2. Kerajaan Gowa-Tallo menjadi pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan.12
Dekrit di atas diilhami oleh dua faktor. Pertama, menurut syariat Islam
yang dipahami oleh raja Gowa-Tallo, bahwa setiap muslim adalah
pendakwah. Karenanya, Raja Gowa-Tallo memenuhi kewajiban itu dengan
mengirim seruan kepada raja-raja Bugis yang menjadi tetangganya.13
Kedua, ketika raja-raja Bugis-Makassar telah memegang prinsip untuk
saling memberitahu tentang kebenaran. Karenanya, Raja Gowa-Tallo merasa
berkewajiban menyampaikan agama Islam sebagai suatu kebenaran baru yang
diperolehnya kepada segenap raja-raja di Sulawesi Selatan.14
Dalam merealisasikan isi kedua dekrit di atas, dekrit pertama tidaklah
menimbulkan masalah. Sebagai masyarakat panutan, rakyat tunduk dan patuh
menerima perintah raja. Namun yang menjadi masalah adalah isi dekrit kedua,
yakni penyebaran Islam ke kerajaan-kerajaan tetangga. Masalah yang
dimaksud berkaitan dengan aliansi tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam
Tellumpoccoe, menolak ajakan Gowa untuk menerima Islam. Mereka
menganggap bahwa ajakan tersebut hanya sebagai dalih untuk menguasai
mereka. Penolakan itu menyebabkan terjadinya perang di antara mereka, yang
disebut dengan musu selleng. Menurut Ahmad M. Sewang, perang penaklukan
yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa ke kerajaan-kerajaan yang tergabung
dalam Tellumpoccoe, lebih dapat diartikan sebagai ekspansi politik ekonomi
dari pada perang pengislaman, terutama jika dihubungkan dengan posisi
Kerajaan Gowa-Tallo pada awal abad ke-17.15
11
Ibid., h. 16-17.
12
Ahmad M. Sewang, “Peranan Raja Bone dalam Islamisasi; Telaah Awal tentang
Perkembangan Islam”, Majalah al-Hikmah, Edisi IX (Makassar: UIN Alauddin, 2003), h. 26.
13
Abu Hamid, op.cit., h. 19.
14
Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufiq Abdullah (ed), Agama dan
Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 222.
15
Lebih lanjut Ahmad M.Sewang mengatakan bahwa, Gowa-Tallo sebagai kerajaan meritim
yang kemudian berkembang menjadi kerajaan niaga, dituntut untuk mencari daerah-daerah penghasil
komoditi perdagangan. Sementara daerah-daerah penghasil komoditi utama berada pada daerahdaerah yang dikuasai oleh aliansi kerajaan Tellumpoccoe. Dengan demikian, musu selleng merupakan
pemicu peristiwa, yang disebut “sebab langsung” suatu peristiwa. Penyebab utama adalah keinginan
144
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
M. Dahlan M
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
Meski musu selleng hanya merupakan “sebab langsung“ atau pemicu
terjadinya invasi terhadap Tellumpoccoe, namun dampak perang tersebut
sangat menguntungkan dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan, sebab
diiringi dengan pengucapan dua kalimat syahadat terhadap raja-raja yang
ditaklukkan. Karenanya, dapat pula diartikan bahwa pengucapan dua kalimat
syahadat bagi raja-raja yang dikalahkan, merupakan pernyataan yang
bermakna ganda. Pertama, sebagai pernyataan politik atas sebuah pengakuan
kekuasaan Gowa-Tallo. Kedua, sebagai pernyataan simbolik penerimaan
Islam.16
Pengiriman lasykar Gowa pertama kali ke daerah Bugis dalam tahun
1608, dipukul oleh laskar gabungan Tellumpoccoe. Tahun berikutnya, laskar
Gowa yang besar berhasil menundukkan Kerajaan Soppeng dan Sidenreng
dalam tahun 2609, disusul Kerajaan Wajo pada tahun 1610, kemudian
Kerajaan Bone pada tahun 1611.17 Raja Soppeng yang pertama memeluk
Islam ialah Datu Soppeng ke-25, Beoe (1601-1620). Raja Sidenreng yang
pertama memeluk Islam adalah Addatuang Sidenreng ke-6, La Patiroi.
Sedangkan raja Wajo yang pertama memeluk Islam adalah Arung Matoa
Wajo ke-15, La Sangkuru Patau (1607-1610).18
Karena aliansi Tellumpoccoe sudah pecah yang disebabkan oleh
Kerajaan Soppeng dan Wajo sudah memeluk Islam, bahkan sudah menjadi
negeri sahabat dengan Gowa, maka kedudukan Raja Bone, La Tenrituppu
(1602-1611) sudah mulai goyah. Karenanya, ia berangkat ke Sidenreng untuk
mempelajari Islam lebih dahulu, kemudian memeluknya jika memang hal itu
sebagai sesuatu yang baik. Akan tetapi, setibanya di Sidenreng, ia terkena
penyakit yang membawa kepada kematian, sehingga ia dimakamkan di sana
dan diberi gelar “Matinroe ri Sidenreng“.19
La Tenriruwa diangkat menjadi raja menggantikan sepupunya, La
Tenrituppu, pada tahun 1611. Baru saja tiga bulan menduduki tahta, datanglah
raja Gowa, Sultan Alauddin memperingatkan mengenai ikrar raja-raja dahulu
bahwa “barangsiapa yang menemukan jalan terbaik, berkewajiban
memberitahukan kepada raja-raja tetangganya.“ Berdasarkan ikrar itu, La
Tenriruwa menerima Islam secara tulus dan mengucapkan dua kalimat
syahadat.20
Setelah Raja Bone berhasil diislamkan, maka hal itu merupakan
prestasi terbesar bagi Kerajaan Gowa dan merasa bahwa keamanan di daratan
Sultan Alauddin untuk menjadikan Gowa-Tallo sebagai kerajaan yang kuat dari segi politik dan
ekonomi. Keinginan itu sudah berlangsung lama, yang juga menjadi obsesi para penguasa sebelum
Sultan Alauddin. Lihat Ahmad M. Sewang, op.cit., h. 28-29.
16
Ibid., h. 29.
17
Abu Hamid, op.cit., h. 19-20.
18
Ibid., h. 20.
19
Ibid.
20
Ibid.
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
145
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
M. Dahlan M
Sulawesi Selatan sudah terwujud, apalagi diikat oleh suatu ikatan agama yang
sama. Kondisi stabilitas yang terwujud ini adalah bagian dari strategi Gowa
untuk menghadapi musuh dari laut, terutama pedagang dari Eropa.21
C. Metode Dakwah dalam Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
Dalam proses perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, tidak dapat
dilepaskan dari peran ketiga datuk yang berasal dari Kota Tengah,
Minangkabau. Ketiga datuk itu ialah : (1) Datuk ri Bandang, yang
mengislamkan Raja Gowa, I Mangarangi Daeng Manrabia, yang kemudian
diberi gelar Sultan Alauddin, (2) Datuk ri Tiro, yang mengislamkan
masyarakat Bulukumba dan sekitarnya, (3) Datuk Patimang, yang
mengislamkan Datu Luwu, La Patiware Daeng Parabbung, yang kemudian
bergelar Sultan Muhammad.22
Ketiga datuk ini masing-masing menyampaikan dakwahnya sesuai
kondisi sosial masyarakat yang dihadapinya. Datuk ri Bandang lebih
menekankan dakwahnya pada aspek fikih, karena ia menghadapi masyarakat
peminum, pezina, dan penyabung ayam. Adapun Datuk ri Tiro lebih
menekankan dakwahnya pada aspek tasawuf, karena masyarakat yang
dihadapinya lebih menyukai hal-hal yang bersifat kebatinan. Sedangkan Datuk
Patimang lebih menekankan dakwahnya pada aspek tauhid, karena masyarakat
yang dihadapinya sangat erat kepada kepercayaan dewata sewwae.23
Salah satu prestasi cukup besar yang dihasilkan oleh penyiar Islam
dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan ialah kemampuan mereka
menyingkronkan ajaran Islam dengan pangadereng, meski secara potensial
kedua hal tersebut dapat berbenturan. Hal ini dapat berhasil karena sejak
semula, penyebaran agama Islam dilakukan atas prakarsa dan perlindungan
kekuasaan raja-raja, sehingga perkembangan agama Islam memperoleh tempat
yang layak dalam rangka perkembangan masyarakat dan kebudayaan
seluruhnya yang disebut pangadereng itu.24
Pada sisi lain, penyiar Islam telah berhasil memantapkan ajaran Islam
ke dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat. Hal ini ditandai dengan
masuknya syariat sebagai salah satu unsur pangadereng. Dalam lontara Latoa
misalnya, disebutkan :
21
Menurut Ahmad M. Sewang, penerimaan Islam Kerajaan Bone memberikan arti tersendiri
bagi Gowa sebab untuk pertama kalinya Gowa dapat menguasai kerajaan-kerajaan Bugis secara
keseluruhan. Lihat Ahmad M.Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Pertengahan Abad XVI sampai
Pertengahan Abad XVII (Disertasi pada Program PAscasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1997), h. 149.
22
Abdurrazak Daeng Patunru, op.cit., h. 19.
23
Ibid.
24
Mattulada, op.cit., 235.
146
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
M. Dahlan M
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
aEpmi auwGen pedecGi tn, aiymi ngEnE limpuaGE ndpimni asElEGE,
nriptm ton srea. Esauwni adEea, mduwn rpeG, mtElun wriea, maEpn
bicrea, mlimn srea.
(Eppami uangenna padecengi tana, iami negenne limappuangeng
narafi’mani asellengeng, narifattama tona sara’e. Seuani ade’e
maduwanna rafangnge, matelluna wari’e, maeppana bicarae,
malimanna sara’e).
Artinya:
Empat macam saja yang memperbaiki negara, barula dicukupkan lima
macam ketika sampai pada keislaman, dan dimasukkan juga syara’
(syariat Islam) itu. Pertama ade’, kedua rafang, ketiga wari’, keempat
bicara, dan kelima syara’.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat sebagai bagian
integral dari pangadereng, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya
orang Bugis-Makassar memperoleh warna baru. Sebab, ketaatan mereka
terhadap syariat sama dengan ketaatan mereka kepada aspek-aspek
pangadereng lainnya.
Kedatangan Islam di kerajaan-kerajaan Bugis, tidak merombak pranata
sosial yang ada, tetapi para pembawa Islam tetap menghormati pranata lama.
Mereka tinggal menyesuaikan dengan Islam, sambil menambahkan dengan
pranata Islam yang berkembang pada masa itu, seperti pranata qadhi, syara’,
atribut sultan, dan nama para raja yang lebih mencerminkan nama-nama
Islam. Dalam pranata sosial, muballig memperlihatkan toleransinya terhadap
pelaksanaan adat istiadat dalam masyarakat, sehingga adat dan syariat bisa
berjalan bersamaan. Kebijakan untuk tidak merombak pranata lama,
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekacauan yang bisa
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan
berakibat gagalnya Islamisasi.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
berikut ini akan dikemukakan kesimpulan bahwa proses Islamisasi di
Sulawesi Selatan melalui empat tahap, yaitu : (a) kedatangan para pedagang
muslim pada abad ke-16, (b) pengislaman Raja Gowa-Tallo pada abad ke-17,
sekaligus menjadikan Kerajaan Gowa sebagai pusat Islamisasi di Sulawesi
Selatan, (c) pengiriman laskar bagi raja-raja Bugis yang menolak agama Islam
secara damai, dan (d) kedatangan tiga datuk dari Kota Tengah, Minangkabau,
untuk menyebarkan Islam, masing-masing Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro,
dan Datuk Patimang. Adapun metode dakwah yang ditempuh para penyebar
Islam tersebut adalah menyingkronkan antara ajaran Islam dengan
pangadereng, sehingga masyarakat tidak merasa kesulitan dalam
menerimanya sebagai ajaran yang baru bagi mereka. Proses Islamisasi yang
begitu cepat berlangsung, disebabkan karena para penyiar Islam di setiap
kerajaan adalah semuanya di bawah pimpinan dan perlindungan raja.
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
147
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
M. Dahlan M
Daftar Pustaka
Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam, diterjemahkan oleh Hasan
Ibrahim Hasan dengan judul “al-Da’wah ila al-Islam”. Mesir:
Maktabah al-Nahdhah al-Majriyyah, 1970.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.
Daeng Patunru, Abdurrazak, Sejarah Gowa. Ujungpandang: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1976.
Hamid, Abu. Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Kerajaan Bone.
Makassar: Ininnawa, 2004.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1990.
Mattulada. Islam di Sulawesi Selatan. Ujungpandang : Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin, 1976.
Mattulada. “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufiq Abdullah (ed), Agama
dan Perubahan Sosial. Jakarta : CV. Rajawali, 1983.
Musa, Abd. Rahman. Corak Tasawuf Syekh Yususf dalam disertasi pada
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1987.
Musa, Abd. Rahman. “Peranan Raja Bone dalam Islamisasi; Telaah Awal
tentang Perkembangan Islam”, Majalah al-Hikmah, Edisi IX.
Makassar : UIN Alauddin, 2003.
Syihab, Umar. “Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Indonesia”, dalam
Warta Alauddin, edisi XIIX. Ujungpandang : IAIN Alauddin, 1998.
148
Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013
Download