M. Dahlan M Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan PROSES ISLAMISASI MELALUI DAKWAH DI SULAWESI SELATAN DALAM TINJAUAN SEJARAH Oleh: M. Dahlan M. Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata-Gowa E-mail: [email protected] Abstract This paper break down the process of Islamization in South Sulawesi and propaganda methods adopted in the process. By using an approach based on historical analysis, this paper concludes that, the process of Islamization in South Sulawesi through several stages, the arrival of Muslim traders as bearers of Islam in the 16th century, after the advent of Islam King of GowaTallo in the 17th century, shipping army for kings to develop Islamic Bugis although initially rejected by the Bugis, continues with the arrival of Datuk Bandang ri, ri Tiro Datuk, Datuk Pattimang broadcast and Islam. Adopted the method of preaching Islam is spreading the teachings of Islam to synchronize between pangadereng so that the process of Islamization in South Sulawesi take place quickly. Keywords: Islamizasition, South Sulawesi, syncronize, pangadereng. A. Pendahuluan erbicara tentang masuknya Islam di Indonesia, terdapat beberapa versi di kalangan ahli sejarah. Sebagian di antara mereka, seperti Pijnappel dan Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa abad XII paling mungkin dari awal permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Menurut mereka, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang berimigran dan menetap di wilayah India, kemudian membawa Islam ke Nusantara.1 Teori ini dibantah oleh Thomas W. Arnold, yang menyatakan bahwa mungkin agama Islam telah dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Arab, sejak abad pertama Hijriah. Dugaan ini, diperkuat oleh kenyataan tentang adanya perdagangan yang luas dengan dunia luar yang dilakukan oleh orang-orang B 1 Teori ini menyebutkan bahwa begitu Islam mulai berkuasa di Anak Benua India, banyak di antara orang-orang Arab tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 24. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 141 Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan M. Dahlan M Arab sebelum Islam.2 Teori ini disetujui oleh sejarawan Muslim Indonesia, sebagaimana tampak dalam kesimpulan seminar masuknya Islam di Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal17-20 Maret 1963 bahwa: Islam langsung datang Arabia, bukan dari India; bukan pada abad XII atau abad XIII, melainkan pada abad VII Masehi (abad I Hijriah).3 Dari perbedaan versi di atas, Umar Syihab mengkompromikan dan menyatakan bahwa Islam datang di Indonesia pada abad VII, yang langsung dibawa dari Arabia. Adapun abad XII dan XIII adalah datangnya para penyebar Islam, baik dari Anak Benua India maupun dari Arab, sekaligus menandai proses Islamisasi di Nusantara.4 Sejarawan sepakat bahwa daerah yang pertama kali disentuh oleh Islam di nusantara ini adalah Sumatera. Dari daerah inilah kemudian menyebar ke seluruh pelosok nusantara, termasuk Sulawesi Selatan. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa pada tahun 1565-1590, Kerajaan Gowa (salah satu kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan) di bawah pemerintahan Karaeng Tunijallo, menjalin persahabatan dengan raja-raja yang ada di Johor, Malaka, Pahang, Sumatera, Blambangan, Patani, Banjar, dan Ternate. Pada saat inilah, agama Islam sudah mulai menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan. Bahkan, Karaeng Tunijallo sempat mendirikan mesjid bagi pedagang muslim yang bermukim di wilayahnya.5 Melalui para pedagang itulah, agama Islam pertama kali menyebar di Kerajaan Gowa. Selanjutnya, Kerajaan Gowa memperkenalkannya kepada kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan melalu kegiatan dakwah. Berdasar dari latar belakang di atas, maka yang menjadi kajian pokok dalam tulisan ini adalah bagaimana proses Islamisasi melalui dakwah di Sulawesi Selatan. Dari kajian pokok tersebut, maka akan diuraikan bagaimana proses Islamisasi diSulawesi Selatan dan bagaimana metode dakwah yang ditempuh dalam proses Islamisasi tersebut. 2 Pada abad ke-2 sebelum Masehi, perdagangan dengan Ceylon sepenuhnya berada di tangan bangsa Arab. Pada awal abad ke-4 Masehi, perdagangan dengan Ceylon mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada pertengahan abad ke-3 Masehi, sudah banyak pedagang-pedagang Arab yang ditemui Canton. Lihat Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, diterjemahkan oleh Hasan Ibrahim Hasan dengan judul “al-Da’wa ila al-Islam” (Mesir: Maktabah alNahdhah al-Majriyyah, 1970), h. 401. 3 A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 3. 4 Syihab, “Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Indonesia”, dalam Warta Alauddin, edisi XIIX (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1998), h. 4. 5 Abd. Rahman Musa, Corak Tasawuf Syekh Yusuf (Disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1977), h. 22-23. 142 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 M. Dahlan M Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan B. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan Disebutkan bahwa awal kedatangan Islam secara terang-terangan di Sulawesi Selatan dibawa oleh tiga da’i yang berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Datu’ Tellue. Meraka adalah: Abdul Qadir Datuk Tunggal dengan julukan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, dan Khatib Bungsu sebagai Datuk ri Tiro.6 Sejak abad ke-16, sudah terdapat perkampungan orang-orang Melayu yang beragama Islam di Makassar. Pada masa pemerintahan Raja Gowa-Tallo yang ke-12, Karaeng Tunijallo (1565-1590), beliau mendirikan mesjid bagi pedagang-pedagang tersebut di Mangallekana.7 Pada abad ke-17, Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, sekaligus menjadi pusat pengislaman seluruh daerah Sulawesi Selatan.8 Dalam proses Islamisasi tersebut, tidak dapat dipisahkan dari peran yang dimainkan oleh Datuk ri Bandang, Datuk Pattimang, dan Datuk di Tiro. Yang mengislamkan Raja Gowa-Tallo ialah seorang ulama yang bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal (kemudian lazim disebut Datuk ri Bandang), yang berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera),9 yang ditandai dengan sembahyang jumat pertama kali secara resmi dilakukan pada Mesjid Mangallekana. Datuk ri Bandang menekankan aspek dakwahnya pada syariat.10 6 Cerita awal kedatangan Islam juga dikisahkan bahwa seorang ulama dari Minangkabau Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, tiba dipelabuhan Tallo dalam tahun 1605, dengan menumpang sebuah kapal perahu, setibanya di pantai ia melakukan shalat yang mengherankan rakyat. Ia menyatakan keinginannya untuk menghadap Raja. Raja Tallo yang mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu. Ditengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, baginda bertemu dengan seorang tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan baginda. Orang tua itu menulis sesuatu di atas kuku ibu-jari baginda dan mengirim salam pada orang berbuat ajaib yang ada di pantai itu. Sewaktu Khatib Tunggal diberitahu tentang pertemuan Raja dengan orang tua itu, ia melihat bahwa yang tertulis di atas kuku ibu-jari Raja Tallo itu ialah surah al fatihah. Khatib Tunggal menyatakan bahwa orang tua itu yang menjumpai Baginda adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Seterusnya orang makassar menamakan penjelmaan Nabi Muhammad itu “Makassar Nabi Muhamad” sebagian orang Makassar mengartikan kalimat itu sebagai asal mula nama “Makassar”. Keterangan lebih sempurna baca juga, A. Mattulada dalam karyanya, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, (Makassar: Hasanuddin University Press, 1998), h. 150. 7 Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang ; Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. 1976), h. 3. 8 Umar Syihab, op.cit., h. 5-6. 9 Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1976), h. 20. 10 Abu Hamid, Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Kerajaan Bone (Makassar: Ininnawa, 2004), h. 16. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 143 Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan M. Dahlan M Suasana masyarakat awal abad ke-17 tersebut, ditandai oleh kesibukan mempelajari agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang tersebut. Raja bersama kerabat bangsawan yang ada di sana, berusaha secara berangsurangsur mengetahui dan memahami ajaran Islam melalui pengajian, sembahyang berjamaah, dan diskusi-diskusi.11 Setelah Raja Gowa-Tallo memeluk Islam dan memaklumkannya sebagai agama resmi kerajaan. Dua tahu kemudian, Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit kerajaan tertanggal 9 Nopember 1607 M/19 Rajab 1016 H, yang berisi : 1. Islam menjadi agama kerajaan dan anutan masyarakat ; 2. Kerajaan Gowa-Tallo menjadi pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan.12 Dekrit di atas diilhami oleh dua faktor. Pertama, menurut syariat Islam yang dipahami oleh raja Gowa-Tallo, bahwa setiap muslim adalah pendakwah. Karenanya, Raja Gowa-Tallo memenuhi kewajiban itu dengan mengirim seruan kepada raja-raja Bugis yang menjadi tetangganya.13 Kedua, ketika raja-raja Bugis-Makassar telah memegang prinsip untuk saling memberitahu tentang kebenaran. Karenanya, Raja Gowa-Tallo merasa berkewajiban menyampaikan agama Islam sebagai suatu kebenaran baru yang diperolehnya kepada segenap raja-raja di Sulawesi Selatan.14 Dalam merealisasikan isi kedua dekrit di atas, dekrit pertama tidaklah menimbulkan masalah. Sebagai masyarakat panutan, rakyat tunduk dan patuh menerima perintah raja. Namun yang menjadi masalah adalah isi dekrit kedua, yakni penyebaran Islam ke kerajaan-kerajaan tetangga. Masalah yang dimaksud berkaitan dengan aliansi tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam Tellumpoccoe, menolak ajakan Gowa untuk menerima Islam. Mereka menganggap bahwa ajakan tersebut hanya sebagai dalih untuk menguasai mereka. Penolakan itu menyebabkan terjadinya perang di antara mereka, yang disebut dengan musu selleng. Menurut Ahmad M. Sewang, perang penaklukan yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa ke kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe, lebih dapat diartikan sebagai ekspansi politik ekonomi dari pada perang pengislaman, terutama jika dihubungkan dengan posisi Kerajaan Gowa-Tallo pada awal abad ke-17.15 11 Ibid., h. 16-17. 12 Ahmad M. Sewang, “Peranan Raja Bone dalam Islamisasi; Telaah Awal tentang Perkembangan Islam”, Majalah al-Hikmah, Edisi IX (Makassar: UIN Alauddin, 2003), h. 26. 13 Abu Hamid, op.cit., h. 19. 14 Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufiq Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 222. 15 Lebih lanjut Ahmad M.Sewang mengatakan bahwa, Gowa-Tallo sebagai kerajaan meritim yang kemudian berkembang menjadi kerajaan niaga, dituntut untuk mencari daerah-daerah penghasil komoditi perdagangan. Sementara daerah-daerah penghasil komoditi utama berada pada daerahdaerah yang dikuasai oleh aliansi kerajaan Tellumpoccoe. Dengan demikian, musu selleng merupakan pemicu peristiwa, yang disebut “sebab langsung” suatu peristiwa. Penyebab utama adalah keinginan 144 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 M. Dahlan M Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan Meski musu selleng hanya merupakan “sebab langsung“ atau pemicu terjadinya invasi terhadap Tellumpoccoe, namun dampak perang tersebut sangat menguntungkan dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan, sebab diiringi dengan pengucapan dua kalimat syahadat terhadap raja-raja yang ditaklukkan. Karenanya, dapat pula diartikan bahwa pengucapan dua kalimat syahadat bagi raja-raja yang dikalahkan, merupakan pernyataan yang bermakna ganda. Pertama, sebagai pernyataan politik atas sebuah pengakuan kekuasaan Gowa-Tallo. Kedua, sebagai pernyataan simbolik penerimaan Islam.16 Pengiriman lasykar Gowa pertama kali ke daerah Bugis dalam tahun 1608, dipukul oleh laskar gabungan Tellumpoccoe. Tahun berikutnya, laskar Gowa yang besar berhasil menundukkan Kerajaan Soppeng dan Sidenreng dalam tahun 2609, disusul Kerajaan Wajo pada tahun 1610, kemudian Kerajaan Bone pada tahun 1611.17 Raja Soppeng yang pertama memeluk Islam ialah Datu Soppeng ke-25, Beoe (1601-1620). Raja Sidenreng yang pertama memeluk Islam adalah Addatuang Sidenreng ke-6, La Patiroi. Sedangkan raja Wajo yang pertama memeluk Islam adalah Arung Matoa Wajo ke-15, La Sangkuru Patau (1607-1610).18 Karena aliansi Tellumpoccoe sudah pecah yang disebabkan oleh Kerajaan Soppeng dan Wajo sudah memeluk Islam, bahkan sudah menjadi negeri sahabat dengan Gowa, maka kedudukan Raja Bone, La Tenrituppu (1602-1611) sudah mulai goyah. Karenanya, ia berangkat ke Sidenreng untuk mempelajari Islam lebih dahulu, kemudian memeluknya jika memang hal itu sebagai sesuatu yang baik. Akan tetapi, setibanya di Sidenreng, ia terkena penyakit yang membawa kepada kematian, sehingga ia dimakamkan di sana dan diberi gelar “Matinroe ri Sidenreng“.19 La Tenriruwa diangkat menjadi raja menggantikan sepupunya, La Tenrituppu, pada tahun 1611. Baru saja tiga bulan menduduki tahta, datanglah raja Gowa, Sultan Alauddin memperingatkan mengenai ikrar raja-raja dahulu bahwa “barangsiapa yang menemukan jalan terbaik, berkewajiban memberitahukan kepada raja-raja tetangganya.“ Berdasarkan ikrar itu, La Tenriruwa menerima Islam secara tulus dan mengucapkan dua kalimat syahadat.20 Setelah Raja Bone berhasil diislamkan, maka hal itu merupakan prestasi terbesar bagi Kerajaan Gowa dan merasa bahwa keamanan di daratan Sultan Alauddin untuk menjadikan Gowa-Tallo sebagai kerajaan yang kuat dari segi politik dan ekonomi. Keinginan itu sudah berlangsung lama, yang juga menjadi obsesi para penguasa sebelum Sultan Alauddin. Lihat Ahmad M. Sewang, op.cit., h. 28-29. 16 Ibid., h. 29. 17 Abu Hamid, op.cit., h. 19-20. 18 Ibid., h. 20. 19 Ibid. 20 Ibid. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 145 Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan M. Dahlan M Sulawesi Selatan sudah terwujud, apalagi diikat oleh suatu ikatan agama yang sama. Kondisi stabilitas yang terwujud ini adalah bagian dari strategi Gowa untuk menghadapi musuh dari laut, terutama pedagang dari Eropa.21 C. Metode Dakwah dalam Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam proses perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, tidak dapat dilepaskan dari peran ketiga datuk yang berasal dari Kota Tengah, Minangkabau. Ketiga datuk itu ialah : (1) Datuk ri Bandang, yang mengislamkan Raja Gowa, I Mangarangi Daeng Manrabia, yang kemudian diberi gelar Sultan Alauddin, (2) Datuk ri Tiro, yang mengislamkan masyarakat Bulukumba dan sekitarnya, (3) Datuk Patimang, yang mengislamkan Datu Luwu, La Patiware Daeng Parabbung, yang kemudian bergelar Sultan Muhammad.22 Ketiga datuk ini masing-masing menyampaikan dakwahnya sesuai kondisi sosial masyarakat yang dihadapinya. Datuk ri Bandang lebih menekankan dakwahnya pada aspek fikih, karena ia menghadapi masyarakat peminum, pezina, dan penyabung ayam. Adapun Datuk ri Tiro lebih menekankan dakwahnya pada aspek tasawuf, karena masyarakat yang dihadapinya lebih menyukai hal-hal yang bersifat kebatinan. Sedangkan Datuk Patimang lebih menekankan dakwahnya pada aspek tauhid, karena masyarakat yang dihadapinya sangat erat kepada kepercayaan dewata sewwae.23 Salah satu prestasi cukup besar yang dihasilkan oleh penyiar Islam dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan ialah kemampuan mereka menyingkronkan ajaran Islam dengan pangadereng, meski secara potensial kedua hal tersebut dapat berbenturan. Hal ini dapat berhasil karena sejak semula, penyebaran agama Islam dilakukan atas prakarsa dan perlindungan kekuasaan raja-raja, sehingga perkembangan agama Islam memperoleh tempat yang layak dalam rangka perkembangan masyarakat dan kebudayaan seluruhnya yang disebut pangadereng itu.24 Pada sisi lain, penyiar Islam telah berhasil memantapkan ajaran Islam ke dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masuknya syariat sebagai salah satu unsur pangadereng. Dalam lontara Latoa misalnya, disebutkan : 21 Menurut Ahmad M. Sewang, penerimaan Islam Kerajaan Bone memberikan arti tersendiri bagi Gowa sebab untuk pertama kalinya Gowa dapat menguasai kerajaan-kerajaan Bugis secara keseluruhan. Lihat Ahmad M.Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Pertengahan Abad XVI sampai Pertengahan Abad XVII (Disertasi pada Program PAscasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997), h. 149. 22 Abdurrazak Daeng Patunru, op.cit., h. 19. 23 Ibid. 24 Mattulada, op.cit., 235. 146 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 M. Dahlan M Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan aEpmi auwGen pedecGi tn, aiymi ngEnE limpuaGE ndpimni asElEGE, nriptm ton srea. Esauwni adEea, mduwn rpeG, mtElun wriea, maEpn bicrea, mlimn srea. (Eppami uangenna padecengi tana, iami negenne limappuangeng narafi’mani asellengeng, narifattama tona sara’e. Seuani ade’e maduwanna rafangnge, matelluna wari’e, maeppana bicarae, malimanna sara’e). Artinya: Empat macam saja yang memperbaiki negara, barula dicukupkan lima macam ketika sampai pada keislaman, dan dimasukkan juga syara’ (syariat Islam) itu. Pertama ade’, kedua rafang, ketiga wari’, keempat bicara, dan kelima syara’. Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat sebagai bagian integral dari pangadereng, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Bugis-Makassar memperoleh warna baru. Sebab, ketaatan mereka terhadap syariat sama dengan ketaatan mereka kepada aspek-aspek pangadereng lainnya. Kedatangan Islam di kerajaan-kerajaan Bugis, tidak merombak pranata sosial yang ada, tetapi para pembawa Islam tetap menghormati pranata lama. Mereka tinggal menyesuaikan dengan Islam, sambil menambahkan dengan pranata Islam yang berkembang pada masa itu, seperti pranata qadhi, syara’, atribut sultan, dan nama para raja yang lebih mencerminkan nama-nama Islam. Dalam pranata sosial, muballig memperlihatkan toleransinya terhadap pelaksanaan adat istiadat dalam masyarakat, sehingga adat dan syariat bisa berjalan bersamaan. Kebijakan untuk tidak merombak pranata lama, dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekacauan yang bisa menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan berakibat gagalnya Islamisasi. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini akan dikemukakan kesimpulan bahwa proses Islamisasi di Sulawesi Selatan melalui empat tahap, yaitu : (a) kedatangan para pedagang muslim pada abad ke-16, (b) pengislaman Raja Gowa-Tallo pada abad ke-17, sekaligus menjadikan Kerajaan Gowa sebagai pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan, (c) pengiriman laskar bagi raja-raja Bugis yang menolak agama Islam secara damai, dan (d) kedatangan tiga datuk dari Kota Tengah, Minangkabau, untuk menyebarkan Islam, masing-masing Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk Patimang. Adapun metode dakwah yang ditempuh para penyebar Islam tersebut adalah menyingkronkan antara ajaran Islam dengan pangadereng, sehingga masyarakat tidak merasa kesulitan dalam menerimanya sebagai ajaran yang baru bagi mereka. Proses Islamisasi yang begitu cepat berlangsung, disebabkan karena para penyiar Islam di setiap kerajaan adalah semuanya di bawah pimpinan dan perlindungan raja. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 147 Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan M. Dahlan M Daftar Pustaka Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam, diterjemahkan oleh Hasan Ibrahim Hasan dengan judul “al-Da’wah ila al-Islam”. Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Majriyyah, 1970. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994. Daeng Patunru, Abdurrazak, Sejarah Gowa. Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1976. Hamid, Abu. Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Kerajaan Bone. Makassar: Ininnawa, 2004. Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Mattulada. Islam di Sulawesi Selatan. Ujungpandang : Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1976. Mattulada. “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufiq Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta : CV. Rajawali, 1983. Musa, Abd. Rahman. Corak Tasawuf Syekh Yususf dalam disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1987. Musa, Abd. Rahman. “Peranan Raja Bone dalam Islamisasi; Telaah Awal tentang Perkembangan Islam”, Majalah al-Hikmah, Edisi IX. Makassar : UIN Alauddin, 2003. Syihab, Umar. “Upaya Penyiar Islam dalam Islamisasi di Indonesia”, dalam Warta Alauddin, edisi XIIX. Ujungpandang : IAIN Alauddin, 1998. 148 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013