Telaahan Umum Sektor Kehutanan

advertisement
Pengaruh Pasar Terhadap Industri
Kehutanan Nasional
Herry Suhermanto *)
I
Pendahuluan
Hutan merupakan elemen alam yang dapat diperbaharui (renewable). Oleh karenanya,
pemerintah memandang hutan sebagai modal bagi pertumbuhan ekonomi dan bagi penopang
sistem kehidupan. Hal ini tegas dikemukakan didalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM). Kebijakan sektor kehutanan dalam RPJM tersebut, pada prinsipnya,
diarahkan pada bagaimana memperbaiki sistem pengelolaan hutan, agar pembangunan sektor
kehutanan dapat berkelanjutan.
Prospek industri kehutanan memang sedang dipertanyakan sehubungan dengan
menurunnya pasokan produk hutan akibat deforestasi yang berkepanjangan. Pasokan produk
hutan ini meliputi kayu, non-kayu dan jasa lingkungan. Meskipun telah diupayakan
peningkatannya, pasokan produk hutan non kayu masih belum memperoleh permintaan pasar
yang cukup menarik untuk dapat dikelola dalam skala ekonomis. Sementara itu, produk hutan
jasa lingkungan hutan tampaknya lambat laun mulai memasyarakat terkait dengan produk jasa
ekoturisme.
Tantangan jangka menengah yang dihadapi revitalisasi hutan. Tujuannya adalah agar
hutan dapat berfungsi optimal dan berkelanjutan; tanpa harus mengorbankan kepentingan
pemenuhan kebutuhan produk hutan pada generasi yang akan datang. Persoalannya adalah:
apakah masih ada peluang bagi kita untuk mengembangkan industri kehutanan yang
memanfaatkan produk hutan kayu? Telaahan di bawah ini, barangkali dapat memberikan
gambaran, setidaknya perihal bagaimana mengisi upaya revitalisasi kehutanan kita.
Pemerintah sendiri telah memberlakukan berbagai peraturan dan perundangan
mengenai pemanfaatan sumberdaya hutan, namun tetap dirasakan belum cukup efektif untuk
menahan laju deforestasi yang mengancam kehidupan manusia. Meskipun demikian, peran
pemerintah tetap diperlukan, terutama sebagai fasilitator dan pemberi insentif kepada dunia
usaha. Yang dibutuhkan tampaknya adalah pelaksanaan good governance dari pemerintah,
sehingga ada mutual trust dari seluruh parapihak kehutanan. Hal ini menuntut adanya
pengelolaan sumberdaya hutan yang tepat, dalam arti perencanaan, pemeliharaan, dan
pemanfaatan hutan, serta penciptaan iklim usaha bidang kehutanan yang kondusif terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip sustainable forest management (SFM).
II
Sektor Kehutanan Dalam Perekonomian Nasional
Luas kawasan hutan 1 yang dikuasai negara saat ini mencapai areal seluas 120,35 juta
hektar. Di dalamnya terdapat hutan produksi seluas 43,95 juta hektar, yang terdiri dari 16,21
juta hektar hutan produksi terbatas dan 27,74 juta hektar hutan produksi. Adapun hutan
produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta hektar. Selain itu, masih ada bermacam
*)
Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP adalah Staf Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air,
Kementerian Negara PPN/Bappenas-red.
1
Dirjen Bina Produksi Kehutanan
1
kawasan hutan, seperti hutan lindung (3,3 juta hektar), hutan konservasi (23,2 juta hektar),
dan hutan suaka alam serta hutan wisata (keduanya seluas 1,5 juta hektar).
Sumbangan kehutanan kepada pembentukan PDB nasional relatif kecil, rata-rata
1,61% per tahun dalam periode 1995-2003. Sebagai bagian dari sektor pertanian, dalam
periode tersebut, kehutanan menyumbang sekitar 10,01% per tahun kepada pembentukan
PDB Pertanian. Sektor pertanian sendiri menyumbang rata-rata 16,15% pertahun kepada
pembentukan PDB Nasional. Perkembangannya dapat dilihat pada kolom (5), (6) dan (7) dari
tabel 1.
Tabel 1
PDB Kehutanan 1995-2003
Tahun
(1)
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002*
2003**
Kehutanan
(2)
6303,6
6444,1
7189,8
6580,7
6288,1
6388,9
6556,2
6682,2
6658,9
PDB (miliar Rp.)
Pertanian
(3)
61766,8
63827,8
64468,0
63609,5
64985,2
66208,9
67318,5
68669,7
70374,4
Nasional
(4)
383767,6
413798,0
433245,9
376375,0
379352,3
398017,3
411753,6
426942,9
444453,8
1
(2)/(4)
(5)
1,6
1,6
1,7
1,7
1,7
1,6
1,6
1,6
1,5
Kontribusi (%)
(2)/(3)
(3)/(4)
(6)
(7)
10,21
16,09
10,10
15,42
11,15
14,88
10,35
16,90
9,68
17,13
9,65
16,63
9,74
16,35
9,73
16,08
9,46
15,83
Sumber:
- Pendapatan Nasional Indonesia, 1998 - 2001, BPS
- Statistik Indonesia, 1999, dan 2001, BPS
- Tahun 2000-2003 dari sumber : Statistik Indonesia 2003, BPS
Keterangan : 1) Atas dasar harga konstan 1983
*) Angka sementara
**) Angka sangat sementara
Bila dibandingkan perkembangan kontribusi kehutanan relatif terhadap pertanian dan
pertanian relatif terhadap PDB nasional, tampak ada kontraksi seperti terlihat pada diagram
Kontribusi Relatif Kehutanan, 1995-2003. Kontribusi kehutanan yang meningkat terhadap
sektornya (pertanian) tidak cukup signifikan untuk meningkatkan konstribusi pertanian
terhadap PDB nasional. Bahkan sebaliknya, peningkatan kontribusi pertanian terhadap PDB
nasional justru terjadi pada saat kontribusi kehutanan yang relatif menurun. Namun demikian,
belakangan tampak ada keselarasan perkembangan, dimana kontribusi relatif keduanya
cenderung menurun, yakni kontribusi relatif kehutanan kepada pertanian dan pertanian kepada
PDB nasional sama-sama menurun.
Gambar 1
Kontribusi Relatif Kehutanan, 1995- 2003
18,00
16,00
14,00
HutanPertanian
Persentase
12,00
10,00
PertanianNasional Non
Migas
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002*
2003**
Tahun
Akan halnya produk hasil hutan kayu, tampaknya pada periode 1994-2002, penebangan hutan
”resmi” yang dilakukan tidak cukup untuk meningkatkan PDB sektor kehutanan. Tabel 2
kolom 5 menunjukkan adanya perkembangan kontribusi hasil penebangan resmi terhadap
pembentukan PDB kehutanan yang relatif menurun. Perkembangan antara 1994-1997
menunjukkan adanya peningkatan, dengan kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 1997
(10,24%). Perkembangannya kemudian cenderung menurun, dan pada tahun 2002
kontribusinya hanya mencapai 7,49%. Peningkatan pendapatan dari hasil tebangan ”resmi” ini
tampaknya tidak cukup berarti untuk meningkatkan PDB sektor kehutanan. Peningkatan PDB
sektor kehutanan diperkirakan berasal dari pendapatan kegiatan usaha selain penebangan
kayu. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga laju inflasi akibat depresiasi rupiah terhadap
mata uang asing terutama pada waktu resesi yang puncaknya terjadi pada tahun 1997-1998,
saat mana volume tebangan mengalami penurunan yang cukup berarti.
Tabel 2
Penebangan, Nilai Tebangan, PDB, dan
Perubahan Stok Hutan Indonesia, 1990-2002
Penebangan
Tahun
000 m3
Miliar Rp.
(1)
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
(2)
28553,9
28137,7
28689,4
29553,8
29701,4
29666,9
30093,0
34230,2
25532,7
25740,0
26264,2
25889,9
25371,2
(3)
349,1
369,1
393,5
522,1
631,1
691,2
744,0
1004,1
945,8
1204,1
1229,9
1243,7
1270,3
Sumber:
ƒ
ƒ
ƒ
PDB Hutan Berlaku
Share
Miliar Rp.
Penebangan
(%)
(4)
(5)=(3)/(4)
6897,4
7390,4
8170,5
9806,5
11700,5
13803,8
14947,8
15597,4
16952,9
9,15
9,35
9,11
10,24
8,08
8,72
8,23
7,97
7,49
D-Stok
000 m3
(6)
-1446,8
-2725,1
-21245,5
-29931,2
-19894,2
-20474,3
-13091,2
-57182,1
-60329,1
-72729,8
-62656,5
-83415,3
-117682,6
Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi
Indonesia, 1990-1995, BPS
Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi
Indonesia, 1996-2000, BPS
Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi
Indonesia, 1998-2002, BPS
Stok fisik sumberdaya hutan antara tahun 1990 hingga 2002 mengalami perubahan
dalam arti pengurangan. Berdasarkan data pada Tabel NH.01 dan Tabel NH.01a (terlampir),
diperoleh gambaran mengenai pengurangan tersebut. Perubahan stok dihitung berdasarkan
perbedaan antara Persediaan Akhir dan Persediaan Awal sumber daya hutan di Indonesia.
Pada Tabel 2, perubahan tersebut tercermin pada kolom (6) dan disebut sebagai D-Stok. Dstok ini merupakan perubahan negatif relatif terhadap stok sumber daya hutan, dimana
persediaan akhir cenderung menurun relatif terhadap persediaan awal.
Bila D-stok (kolom 6) dibandingkan dengan volume tebangan seperti yang disajikan
pada kolom (2), diperoleh gambaran ”gap” antara stok dan tebangan sebagai berikut:
Gambar 2
Penebangan dan Perubahan Stok Hutan, 1990-2002
140000,0
120000,0
100000,0
Ribu meter kubik
Penebangan
80000,0
Perubahan Stok
Hutan
60000,0
40000,0
20000,0
0,0
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
Tahun
Hingga tahun 1996 penebangan kayu di hutan, baik resmi maupun tidak resmi, tidak
mengakibatkan perubahan stok sumberdaya hutan secara berarti (significant). Setelah tahun
1996, justru pada saat hasil penebangan kayu resmi relatif menurun, malah terjadi perubahan
stok sumberdaya hutan yang sangat besar. Gap antara penebangan dan perubahan stok sumber
daya hutan cenderung semakin melebar dalam kurun waktu 1996-2002. Melebarnya gap
tersebut mengindikasikan adanya penurunan sumber daya hutan yang disebabkan oleh
kegiatan penebangan tidak resmi.
Dari sisi ketenagakerjaan, Soewarni (2005) 2 mencatat jumlah tenaga kerja yang
terlibat langsung di kehutanan adalah 2.345.150 jiwa, dan tenaga kerja tidak langsungnya
mencapai lebih kurang 1,5 juta jiwa. Dengan asumsi setiap tenaga kerja menanggung 2 anak
dan 1 istri, diperkirakan sektor kehutanan menghidupi 15,4 juta jiwa. Bappenas 3 mencatat
sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan pada tahun 2003 memberikan
2
3
Sumber data PDPI dan BRIK 2005
Berdasarkan Lampiran Memorandum Direktur Industri ,Perdagangan dan Pariwisata No.89/ Dt.4.5/ 09/ 2004.
kesempatan kerja kepada 42,0 juta jiwa. Relatif terhadap data Bappenas, kehutanan
menampung lebih dari sepertiga (36,7%) tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas.
Tenaga kerja di kehutanan ini umumnya ditampung pada unit-unit usaha seperti: HPH, HTI,
Plymill, Sawmill-Woodworking, Pulp & Papper, Furniture, dan Pertukangan/ pengrajin.
III
Perkembangan Harga dan Ekspor Kayu
Kayu merupakan penghasil devisa terbesar setelah minyak dan gas bumi.
Perkembangan total perdagangan ekspor hasil industri kehutanan pada periode tahun 19852004, dapat dilihat pada tabel E.04a (terlampir). Di situ diperlihatkan total nilai ekspor produk
industri hutan cenderung meningkat. Pada periode waktu 1985-2004 tersebut, penerimaan
dari ekspor industri kehutanan berkembang dengan pertumbuhan rata-rata 6,61% per tahun.
Secara perlahan namun pasti kontribusi devisa yang cukup besar dari produk kayu lapis (wood
panel) beralih ke produk pulp & paper. Namun demikian, pendapatan ekspor dari pulp &
paper tidak banyak berubah pada tiga tahun terakhir.
Diagram di bawah ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang perkembangan
kontribusi masing-masing komoditi ekspor produk industri kehutanan relatif terhadap nilai
total ekspor produk tersebut.
Gambar 3
Perkembangan Nilai Ekspor Produk Industri Kehutanan,
1985-2004
90,00
80,00
70,00
Kayu lapis
Persentase
60,00
50,00
Kayu
Gergajian
40,00
Wood
Working
30,00
Pulp & Paper
20,00
Wooden
Furniture
10,00
0,00
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
-10,00
Tahun
Devisa yang diperoleh dari ekspor produk kayu lapis tampak mengalami penurunan
sejak tahun 1990. Beberapa produk yang semula mengalami peningkatan nilai ekspornya,
seperti produk wood working dan wooden furniture tampak mengalami penurunan pada kurun
waktu yang berbeda. Pendapatan dari ekpor produk wood working mengalami penurunan
setelah tahun 1994, sedangkan produk wooden furniture mengalami rebound pada tahun
1999, namun cenderung menurun pada 3 tahun terakhir. Dari data di atas, hanya produk pulp
& paper dan kayu gergajian yang mengalami peningkatan.
Pada penelaahan mengapa pendapatan ekspor dari produk kayu lapis terus menurun,
sementara pendapatan ekspor kayu gergajian cenderung meningkat, hal tersebut dicoba
dijelaskan melalui diagram berikut:
Gambar 4
Perkembangan Harga Produk Industri Kehutanan, 1981-2004
1400,00
1200,00
Kayu Lapis/
Wood Panel
US $/ ton
1000,00
Kayu Gergajian/
Lumber
800,00
600,00
400,00
200,00
20
20 03
04
*)
02
01
20
20
00
99
19
20
97
96
98
19
19
19
94
95
19
19
92
93
19
19
90
91
19
19
89
88
19
19
86
87
19
19
84
85
19
19
82
83
19
19
19
81
0,00
Tahun
Diagram di atas memperlihatkan perkembangan harga/nilai ekspor per unit produksi (ton)
untuk produk kayu lapis (wood panel) dan kayu gergajian (lumber). Di situ terlihat bahwa
pada tahun 1980an, pasar tampaknya memberikan harga yang lebih baik kepada produk kayu
lapis, namun sejak tahun 1990an hingga 2004 harga produk kayu gergajian tampaknya
membaik bahkan melebihi harga produk kayu lapis per unit produknya.
Harga kedua produk kayu tersebut cenderung meningkat hingga tahun 1995, yang
kemudian diikuti oleh penurunan hingga tahun 2001 sebelum mengalami sedikit peningkatan
pada dua tahun terakhir. Perbaikan harga produk kayu lapis pada dua tahun terakhir belum
mampu memperbaiki posisi kontribusi produk ini terhadap nilai total ekspor produk industri
kehutanan. Kecenderungannya tetap menurun. Peningkatan harga produk kayu lapis itu
sendiri memberikan indikasi adanya peningkatan permintaan pasar terhadap produk tersebut.
Barangkali menurunnya pasokan bahan baku ke industri kayu lapis telah menurunkan produk
(output) kayu lapis di pasar.
Pada penelaahan harga ekspor kayu lapis berdasarkan negara tujuan ekspor, tampak
adanya perkembangan fluktuasi harga permintaan dunia.
Gambar 5
Perkembangan Harga Ekspor Kayu Lapis Menurut Negara Tujuan,
1978-2003
1400,00
Jepang
Hongkong
1200,00
Korea Selatan
1000,00
Taiwan
Singapura
US $/ Ton
800,00
Malaysia
Saudi Arabia
600,00
Amerika Serikat
400,00
Inggris
Belanda
200,00
Jerman Barat
0,00
1978
Belgia
1983
1988
1993
-200,00
1998
2003
Italia
Lainnya
Tahun
Diagram di atas menunjukkan adanya suatu ”band” (pita) harga yang cenderung
menyeragam (converge) setelah resesi 1998. Sebelumnya terlihat adanya perbedaan harga
yang lebar dengan beberapa ”outlier” harga pasar seperti yang dimintakan oleh Malaysia
(1983), Belgia (1996/97)), dan Taiwan (1983). Ketidakseragaman harga produk kayu lapis di
era sebelum 1998 kiranya merupakan perwujudan dari adanya kompetisi pasar dari sisi
permintaan. Hal ini diperkirakan mendorong peningkatan produk kayu lapis nasional, namun
belum cukup optimal untuk meningkatkan posisi penerimaan devisa dari produk kayu lapis
(yang cenderung menurun). Belakangan, tampak adanya suatu band harga yang lebih sempit
pada kisaran US $ 400 hingga US $ 600 per ton produk kayu lapis. Yang perlu dipertanyakan
dari perkembangan harga pasar ini adalah mengapa pada saat-saat tertentu kita menjual
produk kayu lapis dengan harga yang rendah ke Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan
pada kurun waktu 1978-1988. Dugaan sementara, diperkirakan hal ini terkait dengan kualitas
produk kayu lapis yang rendah atau karena adanya kelebihan penawaran (over supply) di
pasaran dunia.
Sebaliknya, produk kayu gergajian yang semula dianggap ”underdog” tampaknya
memberikan kontribusi yang menarik pada penerimaan devisa hasil ekspor. Harganya
cenderung membaik. Meskipun volume produk tidak terlalu besar, namun penerimaan dari
ekspor produk ini cenderung meningkat. Belakangan produk kayu gergajian merupakan
komoditi ketiga terpenting dalam penerimaan devisa hasil ekspor dari lima komoditi utama
ekspor produk industri kehutanan.
Dari penjelasan di atas, secara umum tampak bahwa penerimaan ekspor hasil produk
industri kehutanan yang berorientasi kayu cenderung mengalami penurunan, seiring dengan
menurunnya volume pasokan baik ke industri maupun ke pasar. Upaya peningkatan daya
saing nasional melalui sektor kehutanan tampaknya perlu dikaji ulang.
V
Kesimpulan dan Rekomendasi
Peran pemerintah ke depan tampaknya harus semakin berhati-hati dalam pengelolaan
hutan, karena kemampuan penyediaan pasokan yang semakin rendah. Kawasan hutan kita
yang luas, sudah terdegradasi dan kita harus dapat mengoptimalkan pemanfaatan hutan yang
ada, baik itu hutan produksi maupun non-produksi. Pemerintah dapat terus mengupayakan
pengembalian potensi hutan melalui program-program pembangunannya. Hal ini akan lebih
cepat bila diimbangi oleh kemampuan para pengusaha hutan dalam mengelola kawasan hutan
yang diberikan secara baik dan benar, tanpa harus merambah ke hutan-hutan lindung dan
konservasi.
Sementara itu, harga komoditi produk industri kehutanan tidak terlalu menjanjikan.
Kayu gergajian yang harganya di pasar internasional cenderung membaik, tampaknya akan di
larang untuk di ekspor. Alternatif dan terobosan pasar akan sangat diperlukan, khususnya
dalam memasarkan produk-produk industri kehutanan seperti wood furniture. Untuk itu
informasi pasar dan pengembangan teknologi di bidang furniture perlu mendapat perhatian
pemerintah, setidaknya para perajin kita mendapatkan kemampuan untuk memenuhi
permintaan pasar dan tetap memelihara peluang pasar yang ada.
Semakin berkurangnya pasokan bahan baku tidak harus berarti mematikan usaha
industri kehutanan, namun justru merupakan tantangan untuk dapat memasarkan produkproduk industri kehutanan yang inkonvensional. Yang diperlukan, barangkali menemukan
jenis-jenis komoditi yang sarat inovasi baru yang memiliki nilai tambah tinggi. Pemerintah
dapat membantu melalui pelaksanaan program Program Peningkatan Kualitas dan Akses
Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Sayangnya badan-badan riset di sektor
kehutanan belum sepenuhnya berorientasi pasar, ataupun sepenuhnya dikelola oleh lembagalembaga swasta, baik lokal maupun internasional yang berkiprah di negara ini.
Desentralisasi di sektor kehutanan tampaknya juga harus digarap, karena kemampuan
pengawasan dan penegakan hukum nasional pada akhirnya akan bertumpu kepada aparatur di
daerah. Tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun lokasi industri kehutanan berada di daerah,
namun proses perijinan usaha pada skala tertentu tetap harus diproses melalui Pusat. Ke depan
barangkali pemerintah dapat lebih menyederhanakan proses ini melalui deregulasi, yang
sekaligus dapat memperkuat otonomi daerah.
Pengelolaan secara bertanggungjawab jelas merupakan tugas seluruh parapihak
kehutanan. Untuk itu, diperlukan kesepakatan-kesepakatan dan komitmen antar parapihak
kehutanan, sejak dari tingkat daerah (lokal) hingga pusat. Peningkatan upaya melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan hutan ini akan memerlukan koordinasi dan peningkatan
pengawasan serta penegakan hukum. Pemerintah akan membangun kesadaran masyarakat
agar peduli lingkungan hidup (termasuk hutan tentunya), agar mereka dapat berperan sebagai
pengawas terhadap perusakan lingkungan di sekitar tempat kehidupan mereka.
Industri kehutanan sendiri perlu dikembangkan dengan menjadikan hutan tanaman
sebagai tulang punggung industri, dan menyediakan pasokan industri melalui pengembangan
hutan tanaman berdaur pendek. Selain itu, perlu terus diupayakan pendekatan pasar melalui
cara kemitraan dengan masyarakat. Penyempurnaan peraturan serta perundangan dilakukan
terutama untuk melarang ekspor kayu bulat dan kayu gergajian. Deregulasi perijinan
diharapkan akan dapat mengundang investor di sektor kehutanan.
Berikut dikemukakan beberapa data yang menyangkut kehutanan yang dikutip dari
beberapa sumber.
Download