http://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/10/24/dampak-pembangunan/ Pertanyaan diatas seringkali muncul ketika sumber air yang kita gunakan selama ini seperti air sungai, danau atau air hujan tidak bisa kita dapatkan. Satu hal yang pasti ini adalah salah satu jenis air juga. Hanya dikarenakan jenis air ini tidak terlihat secara langsung, banyak kesalahfahaman dalam masalah ini. Banyak orang secara umum menganggap airtanah itu sebagai suatu danau atau sungai yang mengalir di bawah tanah. Padahal, hanya dalam kasus dimana suatu daerah yang memiliki gua dibawah tanahlah kondisi ini adalah benar. Secara umum airtanah akan mengalir sangat perlahan melalui suatu celah yang sangat kecil dan atau melalui butiran antar batuan. (Model aliran airtanah melewati rekahan dan butir batuan) Batuan yang mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah ini kita sebut dengan akifer. Bagaimana interaksi kita dalam penggunaan air tanah? Yang alami adalah dengan mengambil air tanah yang muncul di permukaan sebagai mata air atau secara buatan. Untuk pengambilan air tanah secara buatan, mungkin analogi yang baik adalah apabila kita memegang suatu gelas yang berisi air dan es. Apabila kita masukkan sedotan, maka akan terlihat bahwa air yang berada di dalam sedotan akan sama dengan tinggi air di gelas. Ketika kita menghisap air dalam gelas tersebut terus menerus pada akhirnya kita akan menghisap udara, apabila kita masih ingin menghisap air yang tersimpan diantara es maka kita harus menghisapnya lebih keras atau mengubah posisi sedotan. Nah konsep ini hampirlah sama dengan teknis pengambilan air tanah dalam lapisan akifer (dalam hal ini diwakili oleh es batu) dengan menggunakan pompa (diwakili oleh sedotan) Hal yang menarik, jika kita tutup permukaan sedotan maka akan terlihat bahwa muka air di dalam sedotan akan berbeda dengan muka air didalam gelas. Perbedaan ini akan mengakibatkan pergerakan air. Sama dengan analog ini, airtanahpun akan bergerak dari tekanan tinggi menuju ke tekanan rendah. Perbedaan tekanan ini secara umum diakibatkan oleh gaya gravitasi (perbedaan ketinggian antara daerah pegunungan dengan permukaan laut), adanya lapisan penutup yang impermeabel diatas lapisan akifer, gaya lainnya yang diakibatkan oleh pola struktur batuan atau fenomena lainnya yang ada di bawah permukaan tanah. Pergerakan ini secara umum disebut gradien aliran airtanah (potentiometrik). Secara alamiah pola gradien ini dapat ditentukan dengan menarik kesamaan muka airtanah yang berada dalam satu sistem aliran air tanah yang sama. Mengapa pergerakan atau aliran air tanah ini menjadi penting? Karena disinilah kunci dari penentuan suatu daerah kaya dengan air tanah atau tidak. Perlu dicatat: tidak seluruh daerah memiliki potensi air tanah alami yang baik. Model aliran air tanah itu sendiri akan dimulai pada daerah resapan airtanah atau sering juga disebut sebagai daerah imbuhan air tanah (recharge zone). Daerah ini adalah wilayah dimana air yang berada di permukaan tanah baik air hujan ataupun air permukaan mengalami proses penyusupan (infiltrasi) secara gravitasi melalui lubang pori tanah/batuan atau celah/rekahan pada tanah/batuan. (Model siklus hidrologi, dimodifikasi dari konsep Gunung Merapi-GunungKidul) Proses penyusupan ini akan berakumulasi pada satu titik dimana air tersebut menemui suatu lapisan atau struktur batuan yang bersifat kedap air (impermeabel). Titik akumulasi ini akan membentuk suatu zona jenuh air (saturated zone) yang seringkali disebut sebagai daerah luahan airtanah (discharge zone). Perbedaan kondisi fisik secara alami akan mengakibatkan air dalam zonasi ini akan bergerak/mengalir baik secara gravitasi, perbedaan tekanan, kontrol struktur batuan dan parameter lainnya. Kondisi inilah yang disebut sebagai aliran airtanah. Daerah aliran airtanah ini selanjutnya disebut sebagai daerah aliran (flow zone). Dalam perjalananya aliran air tanah ini seringkali melewati suatu lapisan akifer yang diatasnya memiliki lapisan penutup yang bersifat kedap air (impermeabel) hal ini mengakibatkan perubahan tekanan antara air tanah yang berada di bawah lapisan penutup dan air tanah yang berada diatasnya. Perubahan tekanan inilah yang didefinisikan sebagai air tanah tertekan (confined aquifer) dan air tanah bebas (unconfined aquifer). Dalam kehidupan sehari-hari pola pemanfaatan air tanah bebas sering kita lihat dalam penggunaan sumur gali oleh penduduk, sedangkan airtanah tertekan dalam sumur bor yang sebelumnya telah menembus lapisan penutupnya. Airtanah bebas (water table) memiliki karakter berfluktuasi terhadap iklim sekitar, mudah tercemar dan cenderung memiliki kesamaan karakter kimia dengan air hujan. Kemudahannya untuk didapatkan membuat kecenderungan disebut sebagai air tanah dangkal (Padahal dangkal atau dalam itu sangat relatif lho). Air tanah tertekan/ air tanah terhalang inilah yang seringkali disebut sebagai air sumur artesis (artesian well). Pola pergerakannya yang menghasilkan gradient potensial, mengakibatkan adanya istilah artesis positif ; kejadian dimana potensial airtanah ini berada diatas permukaan tanah sehingga air tanah akan mengalir vertikal secara alami menuju kestimbangan garis potensial khayal ini. Artesis nol ; kejadian dimana garis potensial khayal ini sama dengan permukaan tanah sehingga muka air tanah akan sama dengan muka tanah. Terakhir artesis negatif ; kejadian dimana garis potensial khayal ini dibawah permukaan tanah sehingga muka air tanah akan berada di bawah permukaan tanah. Jadi, kalau tukang sumur bilang bahwa dia akan membuat sumur artesis, itu artinya dia akan mencari air tanah tertekan/ air tanah terhalang ini.. belum tentu airnya akan muncrat dari tanah ;p Lalu air tanah mana yang akan dicari? Itulah yang pertama kali harus kita tentukan. Tiap jenis air tanah memerlukan metode pencarian yang spesifik. Tapi secara umum bisa kita bagi menjadi : Metode berdasarkan aspek fisika (Hidrogeofisika) : Penekanannya pada aspek fisik yaitu merekonstruksi pola sebaran lapisan akuifer. Beberapa metode yang sudah umum kita dengar dalam metode ini adalah pengukuran geolistrik yang meliputi pengukuran tahanan jenis, induce polarisation (IP) dan lain-lain. Pengukuran lainnya adalah dengan menggunakan sesimik, gaya berat dan banyak lagi. Metode berdasarkan aspek kimia (Hidrogeokimia) : Penekanannya pada aspek kimia yaitu mencoba merunut pola pergerakan air tanah. Secara teori ketika air melewati suatu media, maka air ini akan melarutkan komponen yang dilewatinya. Sebagai contoh air yang telah lama mengalir di bawah permukaan tanah akan memiliki kandungan mineral yang berasal dari batuan yang dilewatinya secara melimpah. Metode manakah yang terbaik? Kombinasi dari kedua metode ini akan saling melengkapi dan akan memudahkan kita untuk mengetahui lebih lengkap mengenai informasi keberadaan air tanah di daerah kita. Pembukaan Hutan Belum Bawa Kesejahteraan bagi Warga Kampung Di tanah Jayapura pembukaan hutan untuk investasi perkebunan maupun pengolahan kayu di Papua belum mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Kegiatan itu dinilai lebih banyak menimbulkan degradasi social dan adat. Yang pasti warga pedalamn Papua kesulitan mendapatkan makanan dan obat karena hutan dibuka. Bagi suatu suku di Papua bahwa hutan atau tanah adalah ibu yang memelihara warga. Pemahaman ini mulai hilang karena hutan dapat bernilai ekonomi. Masuknya berbagai perusahaan kayu dan memberikan iming-iming uang melimpah membuat warga menyerahkan hutannya kepada mereka untuk di tebang. Dan sayangnya warga tidak dapat mengelola uang dengan maksimal,mereka buta akan uang dan tidak memikirkan dampak dari semua itu. Seharusnya pohon yang ditebang harus segera digantikan dengan bibit baru dan menebangpun harus dibatasin. Dampak Terhadap Lingkungan Biota adalah Pembukaan hutan sekunder dan penyiapan lahan tanam akan memberikan dampak yang nyata terhadap lingkungan biota. Struktur dan komposisi komunitas tumbuhan akan berubah secara total. Vegetasi hutan sekunder yang sebelumnya terdiri dari berbagai jenis, umur, dan memiliki struktur dan fungsi yang sesuai dengan keseimbangan ekosistem hutan, dalam jangka pendek akan guncang. Dampak negatif ini akan teratasi dalam waktu singkat dengan adanya pemeliharaan tanaman jeruk secara intensif dan memberikan keseimbangan baru bagi ekosistem wilayah. Dampak penting lainnya akibat dari pembukaan lahan adalah berubahnya ekosistem tertutup menjadi ekosistem terbuka. Siklus hidup organisme peng-ganggu akan terputus, dan kalaupun mampu bertahan hidup, akan memakan apa adanya, atau bahkan akan menyerang tanaman jeruk di kebun plasma. Organisme pengganggu pada umumnya adalah satwa liar yang suka akan habitat terbuka. Dengan demikian, pembukaan lahan diperkirakan justru akan meningkatkan baik jenis maupun populasi dari organisme penganggu. Oleh karena itu dampak negatif ini penting dan harus diwaspadai serta diantisipasi dengan metode pengendalian hama terpadu yang tepat, baik itu secara mekanis maupun secara biologis dan kimiawi. Salah satu sumberdaya yang telah dieksploitir dengan tanpa memperhatikan kelestariannya adalah sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan telah memberikan sumbanganyang besar terhadap pembangunan. Tetapi akibatnya hutan menjadi rusak bahkan berubah menjadi padang ilalang atau padang pasir. Sampai saat ini pembukaan hutan masih tetap terjadi. Kegiatan pembukaan hutan ini menyebabkan rusaknya fungsi hutan, seperti fungsi sumber keanekaragaman hayati, fungsi menjaga tata air, fungsi pembersih udara dan lainlain. Saat ini telah diusahakan untuk memperbaiki fungsi hutan ini, walaupun mungkin tidak dapat berfungsi sebaik pada saat hutan masih alami, tetapi paling tidak sebagian fungsi tersebut masih ada. Akibat dari terjadi konversi hutan ini menyebabkan beberapa akibat diantaranya : 1. Global radiation dan Net radiation Dalam ekosistem yang bervegetasi, sebagian besar solar-radiasi ditangkap oleh tajuk tumbuhan dan hanya sebagian kecil yang diteruskan dan direfleksikan kembali atau hilang. Oleh karena itu pelenyapan vegetasi, seperti penebangan hutan, akan meningkatkan secara drastis jumlah solar-radiasi yang mencapai permukaan tanah. Vegetasi penutup permukaan tanah, selain vegetasi hutan, biasanya mempunyai nilai transmisi dan reflektivitas radiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi hutan. Hal ini mengakibatkan semakin banyaknya energi radiasi yang dapat m,encapai permukaan tanah dan akibat selanjutnya ialah perubahan pola suhu tanah. 2. Pola temperatur Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa pembukaan lahan hutan diikuti oleh lebih tingginya suhu udara siang hari. Suhu udara pada ekosistem hutan lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem pertanian, perbedaan dapat mencapai 1.0 -–1.5oC. Hasil studi di Afrika Barat membuktikan bahwa suhu udara di daerah yang dibuka lebih tinggi (sekitar 4oC) dibandingkan dengan daerah hutan. Dalam kaitannya dengan suhu udara ini, di daerah yang hutannya dibuka ternyata suhu siangnya lebih tinggi dan suhu malamnya lebih rendah. 3. Kelembaban udara. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam pemberian ijin dan hak pengusahaan hutan. Berbagai rencana pemberian ijin proyek dan eksploitasi hutan di dalam wilayah adat harus didasarkan atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dipertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat. Untuk mengatasi terjadinya konversi hutan ini memerlukan kerja sama yang baik dari pemerintah, masyarakat serta aturan yang dibuat harus ditaati dan tidak menyimpang terutama yang menyangkut masalah kehuutan yang ada di Indonesia. Salah satu pemecahannya adalah dengan pengelolan kepada masyarakat adat. Pemerintah dan DPR harus segera memperbaiki kebijakan tentang otonomi daerah agar memprioritaskan terjadinya devolusi, yaitu mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan dan wewenang yang lebih besar ke tingkat komunitas adat (otonomi asli komunitas masyarakat adat) Departemen Kehutanan harus segera menerapkan keterbukaan (transparansi) atas seluruh data dan informasi kehutanan. Data dan informasi yang transparan akan mendorong masyarakat untuk memantau dan melaporkan kegiatankegiatan eksploitasi hutan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan. Dari segi organisasi non pemerintahan pula perlu memberikan andil dalam penyelamatan hutan Indonesia. Salah satunya dengan kampanye. Kampanye “illegal logging” harus diletakkan dalam sebuah arus besar pelestarian sumberdaya hutan dan gerakan sosial lainnya di Indonesia. Dengan demikian, kampanye anti “illegal logging” hanyalah bagian kecil dari kampanye anti pengrusakan hutan (destructive logging). http://daniuciha90.blogspot.com/2009/11/pembukaan-hutan-belum-bawa.html PENGANTAR Masih belum luput dari ingatan kita bersama peristiwa yang terjadi bulan January –2006 yang lalu. Peristiwa itu seolah-olah menjadi awal sejarah yang buruk ketika kita memasuki tahun 2006. Peristiwa itu adalah terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang dua desa di kecamatan Pati-Jember-Jawa Timur. Belum lagi upaya evakuasi dan pertolongan selesai dilaksanakan, bencana baru terjadi lagi. Banjir bandang dan tanah longsor kembali menimpa Gunungrejo-Kecamatan Banjarnegara-Jawa Tengah yang menimbun empat RT dengan jumlah penduduk enam ratus limapuluh lima orang. Kejadian yang mengenaskan itu tidak hanya menimbulkan kerugian material yang diperkirakan milyaran rupiah saja, tetapi nyawa manusiapun ikut melayang. Akibat peristiwa ini, sedikitnya seratus tigapuluh dua orang tewas, puluhan dinyatakan hilang, ratusan rumah penduduk dan fasilitas umum mengalami rusak berat dan puluhan hektar sawah yang merupakan sumber mata pencaharian penduduk tertimbun. Dua peristiwa ini adalah potret dari peristiwa-peristiwa yang lainnya. Salah satu faktor terjadinya bencana ini adalah akibat terjadinya kerusakan hutan. Di Indonesia kerusakan hutan sudah merupakan suatu permasalahan yang besar, bahkan sudah mencapai ambang mengkhawatirkan. Menurut Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi, salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia adalah maraknya penebangan kayu liar (illegal loging). Saat ini diperkirakan kerusakan dan penggundulan hutan akibat penebangan kayu liar (illegal logging) sudah mencapai dua puluh juta hektare. Laporan Green peace menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia adalah kerusakan hutan tertinggi di dunia. Data Forest Watch Indonesia tahun 2003 menjelaskan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia saat ini telah mencapai 2,4 juta hektare pertahun. Dalam makalah ini penulis akan membahas kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkannya, kemudian menghubungkannya dengan pendapat Hegel tentang agama sebagai sumber keterasingan manusia dari alam, dirinya sendiri dan sesama. Penulis akan lebih fokus mengenai keterasingan manusia dari alam. Melalui pembahasan ini pada akhirnya penulis akan melihat siapa masyarakat Indonesia. II.KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, a.l: 1.Kepentingan Ekonomi Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi kelihatannya masih lebih dominan daripada memikirkan kepentingan kelestarian ekologi. Akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan. Proses ini berjalan linear dengan akselerasi perekonomian global dan pasar bebas. Pasar bebas pada umumnya mendorong setiap negara mencari komposisi sumberdaya yang paling optimal dan suatu spesialisasi produk ekspor. Negara yang kapabilitas teknologinya rendah seperti Indonesia cenderung akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengexploitasi sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan devisa ekspor. Industrialisasi di Indonesia yang belum mencapai taraf kematangan juga telah membuat tidak mungkin ditinggalkannya industri padat seperti itu. Kemudian beban hutang luar negeri yang berat juga telah ikut membuat Indonesia terpaksa mengexploitasi sumber daya alamnya dengan berlebihan untuk dapat membayar hutang negara. Inilah yang membuat ekspor non- migas Indonesia masih didominasi dan bertumpu pada produk-produk yang padat seperti hasil-hasil sumber daya alam. Ekspor kayu, bahan tambang dan eksplorasi hasil hutan lainnya terjadi dalam kerangka seperti ini. Ironisnya kegiatan-kegiatan ini sering dilakukan dengan cara yang exploitative dan disertai oleh aktivitas-aktivitas illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau kecil bahkan masyarakat yang akhirnya memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan hutan. 2.Penegakan Hukum yang Lemah Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Menurut Kaban penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan. Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah. 3.Mentalitas Manusia. Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitative yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya. Kerusakan hutan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang besar di bumi: 1.Efek Rumah Kaca (Green house effect). Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara dll) akan menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali ke permukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering. 2.Kerusakan Lapisan Ozon Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi. 3.Kepunahan Species Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh tahun terakhir ini. 4.Merugikan Keuangan Negara. Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia. 5.Banjir. Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Jawatimur dan Jawa tengah adalah contoh nyata . 3. AGAMA SEBAGAI SUMBER KETERASINGAN: TEORI HEGEL Menurut Hegel agama adalah sumber keterasingan manusia dari alam, diri sendiri dan dari sesama. Dalam makalah ini penulis akan berfokus untuk melihat agama sebagai sumber keterasingan dari alam. Keterasingan manusia dari alam menurut Hegel disebabkan karena manusia mengobjektifikasikan Allah sebagai objek dan sesuatu yang terasing. Bagi Hegel ini disebut agama yang tidak baik, bad infinity. Tuhan Allah dipahami sebagai Allah yang besar, mengatasi dunia yang terbatas dan terpisah dari kehidupan manusia. Dia adalah Allah yang berkuasa di atas dan tidak mempunyai persekutuan dengan manusia yang berada di bawah yaitu bumi. Dalam pemahaman yang seperti ini manusia tidak dapat berharap banyak untuk menemukan Allah di dalam alam sebab Dia terpisah dari alam. Karena pemahaman demikian, alam dilihat manusia sebagai sesuatu objek yang menakutkan sekaligus menjadi sumber bahaya bagi manusia. Alam dilihat sebagai sesuatu yang terasing dan sebagai sesuatu yang tidak bersahabat. Akibatnya manusia tidak dapat mengasihi alam. Manusia tidak lagi mencari keseimbangan hidup di alam yang dapat menyenangkan dan semangat kreativitas manusia untuk mengelola alam tidak lagi dipikirkan. Manusia terombang-ambing dalam menghadapi alam antara takut dan keinginan untuk menguasai alam. Ketakutan manusia terhadap alam menimbulkan lahirnya keinginan manusia untuk ingin menguasai alam. Keinginan seperti itu ditambah lagi dengan sikap manusia yang tidak mengasihi alam dan hilangnya semangat kreativitas untuk mengelola alam. Akhirnya alampun dikelola dengan dasar kekuasaan, tidak lagi berdasarkan kasih atau kreativitas yang dapat mengelola alam dengan baik. Keinginan manusia untuk menguasai alam semata-mata bukan karena manusia senang dengan alam, tetapi karena manusia ingin memenuhi keinginannya sendiri. Itu dilakukan demi kepentingan manusia sendiri dan sebagai bukti kekuatan manusia dalam menaklukkan alam. Tindakan ini akhirnya sering diwujudkan dengan cara-cara yang exploitative dan sebagai dominasi manusia terhadap alam. Alam sungguh-sungguh dijadikan objek yang dikuasai manusia karena Allah tidak ditemukan di dalamnya. Alam menjadi suatu objek yang bagi manusia tidak memiliki nilai ilahi. Karena itu alam dapat dikuasai, ditaklukkan yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan terhadap alam. Pengelolaan alam bukan lagi atas dasar kasih dan kreativitas tetapi atas dominasi dan keinginan untuk berkuasa dan menaklukkannya 4.MASYARAKAT INDONESIA. Seandainya Indonesia mempunyai kemauan untuk mengelola hutannya dengan baik dan jujur serta adil maka Indonesia dengan masyarakatnya akan hidup penuh dengan kemakmuran. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya; kerusakan hutan semakin parah, kemakmuran tidak dapat dinikmati, negara malah merugi dan bencana yang datang silih berganti. Membaca teori Hegel, menurut penulis peristiwa ini adalah akibat dominasi dan tindakan exploitative yang dilakukan oleh manusia terhadap alam, dalam hal ini secara khusus terhadap hutan. Pengelolaan hutan yang dilaksanakan tidak didasari karena mencintai hutan yang dipadukan dalam semangat kreativitas, tetapi berdasarkan keinginan untuk berkuasa atas hutan dan keinginan untuk menaklukkannya. Perilaku ini tidak terlepas dari pandangan manusia yang mengobjektifikasikan Allah yang dilihat sebagai sesuatu yang besar, berkuasa dan berada di tempat yang terasing. Dia adalah Tuhan yang absen dan tidak dapat ditemukan di alam termasuk dalam hutan. Tuhan tidak ditemukan di hutan, termasuk hutan di Indonesia. Bahkan hutan menjadi seperti “hantu (sumber ketakutan) ” . Hutan dilihat sebagai sesuatu yang tidak mempunyai nilai ilahi, tetapi sebagai objek dan menakutkan. Karena hutan dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan maka yang muncul justru rasa benci yang akhirnya diwujudkan melalui tindakan exploitasi terhadap hutan. Manusia tidak lagi mengasihi hutan termasuk dalam hal pengelolaannya. Tidak bersahabat dan tidak memiliki rasa persaudaraan terhadap hutan. Manusia tidak menyadari bahwa hutan memiliki peran yang dapat mempengaruhi kehidupan di atas bumi. Akhirnya sikap ini menimbulkan ketidakpedulian dan ketidakadilan terhadap hutan. Hutan dikuasai bahkan dijarah dengan cara yang sewenang-wenang untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya demi memenuhi kepentingan dan keinginan manusia sendiri. Faktor-faktor yang lain turut juga mempengaruhi terjadinya kerusakan hutan di Indonesia. Dominasi kepentingan ekonomi, struktur birokrasi dan aparat pemerintah yang tidak tegas dalam penegakan hukum dan sikap manusia yang bersifat antrophosentris (manusia sebagai pusat) telah menambah kompleksitas penyebab rusaknya hutan Indonesia. Menurut penulis munculnya sikap dan keadaan demikian dalam masyarakat tidak lepas dari pandangan manusia yang mengobjekkan Tuhan juga. Sehingga hutan dianggap tidak memiliki nilai ilahi, karena Tuhan tidak ditemukan di hutan. Dia jauh dan terasing di atas. Akhirnya manusia benci dan tidak mengasihi hutan. Hubungan yang terjadi antara manusia dengan hutan bukan hubungan yang harmonis, tetapi menegangkan dan menakutkan. Akhirnya timbullah sikap yang mengobjekkan hutan dan menjadikannya hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi saja. Menggunakan hutan untuk kepentingan ekonomi merupakan tindakan yang sah-sah saja, sebab negara dan masyarakat yang sehat harus didukung oleh ekonomi yang sehat juga. Tetapi jika karena kepentingan ekonomi tindakan exploitative dihalalkan itu akan menjadi masalah dan inilah yang terjadi di Indonesia. Ini juga menimbulkan lemahnya penegakan hukum oleh aparat pemerintah di Indonesia bahkan tidak sedikit yang ikut terlibat dalam kejahatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Ketidak seriusan dan ketidak tegasan untuk menindak dan mengungkap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap hutan adalah indikasi belum adanya kemauan untuk mengasihi hutan. Pandangan manusia yang mengangap dirinya sebagai pihak yang otonom dalam menentukan blue print pengelolaan hutan ikut memperparah keadaan tersebut, karena cenderung dilaksanakan demi pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. Luasnya hutan Indonesia yang mengalami kerusakan, gundul dan penggurunan yang telah sering memicu terjadinya banjir seperti yang di desa Pati dan Jember adalah suatu pertanda bahwa hutan di Indonesia belum diperlakukan dan dikelola dengan baik. Apresiasi terhadap hutan Indonesia masih minim, sebaliknya exploitasi sangat meningkat. Hutan masih hanya sekedar objek ekonomi, belum diperlakukan seperti sahabat yang dicintai dan dalam pengelolaannya belum diperlakukan dengan baik. Itulah masyarakat Indonesia, yang terasing dari alamnya, terasing dari hutannya. http://forumteologi.com/blog/2007/05/27/kerusakan-hutan-di-indonesia/ Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor 1.Kepentingan Ekonomi Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi kelihatannya masih lebih dominan daripada memikirkan kepentingan kelestarian ekologi. Akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan. Proses ini berjalan linear dengan akselerasi perekonomian global dan pasar bebas. Pasar bebas pada umumnya mendorong setiap negara mencari komposisi sumberdaya yang paling optimal dan suatu spesialisasi produk ekspor. Negara yang kapabilitas teknologinya rendah seperti Indonesia cenderung akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengexploitasi sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan devisa ekspor. Industrialisasi di Indonesia yang belum mencapai taraf kematangan juga telah membuat tidak mungkin ditinggalkannya industri padat seperti itu. Kemudian beban hutang luar negeri yang berat juga telah ikut membuat Indonesia terpaksa mengexploitasi sumber daya alamnya dengan berlebihan untuk dapat membayar hutang negara. Inilah yang membuat ekspor non- migas Indonesia masih didominasi dan bertumpu pada produk-produk yang padat seperti hasil-hasil sumber daya alam. Ekspor kayu, bahan tambang dan eksplorasi hasil hutan lainnya terjadi dalam kerangka seperti ini. Ironisnya kegiatan-kegiatan ini sering dilakukan dengan cara yang exploitative dan disertai oleh aktivitas-aktivitas illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau kecil bahkan masyarakat yang akhirnya memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan hutan. 2.Penegakan Hukum yang Lemah Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Menurut Kaban penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan. Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah. 3.Mentalitas Manusia. Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitative yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya. Kerusakan hutan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang besar di bumi: 1.Efek Rumah Kaca (Green house effect). Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara dll) akan menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali ke permukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering. 2.Kerusakan Lapisan Ozon Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi. 3.Kepunahan Species Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh tahun terakhir ini. 4.Merugikan Keuangan Negara. Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia. 5.Banjir. Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Jawatimur dan Jawa tengah adalah contoh nyata . Kerusakan Hutan Tak Dapat Dihindari? Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Hutan Ku Yang Semakin Sempit Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa masih tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010. Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004). Source : http://id.wikipedia.org Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 19972000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Semakin meluasnya lahan kosong atau gundul akibat penebangan liar yang melibatkan oknum tertentu tidak dapat dipungkiri. Sudah saatnya aksi penebangan liar yang terjadi di sejumlah hutan lindung harus segera mendapat perhatian lebih serius dari semua pihak. Kejadian ini akan menyebabkan timbulnya deforensi hutan, yang merupakan suatu kondisi dimana tingkat luas area hutan yang menunjukkan penurunan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan. Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan. Untuk saat ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum yang terjadi saat ini memperparah kerusakan hutan. Penyebab kerusakan hutan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Hak Penguasaan Hutan Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori “sudah terdegradasi”. 2. Hutan tanaman industri Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. 3. Perkebunan Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. 4. Ilegal logging (Pembalakan Liar) Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS. Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan ekspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia. Source : http://id.wikipedia.org 5. Program Transmigrasi Tujuan resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa [1], memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut: 1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan 2. Mendukung kebijakan energi alternatip (biofuel) 3. Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia 4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan 5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan Transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan berdasarkan Kerjasama Antar Daerah pengirim transmigran dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan transmigran Penduduk Asal (TPA). Dasar hukum yang digunakan untuk program ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia]] Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (sebelumnya UU Nomor 3 Tahun 1972)dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973), ditambah beberapa Keppres dan Inpres pendukung Source : http://id.wikipedia.org 6. Kebakaran Hutan Akibat dari itu semua memberi dampak buruk pada kita sendiri dan orang lain yang mana kita tahu hutan dapat menyerap polusi, erosi dan juga dapat mencegah terjadinya banjir, tetapi tidak dapat memberikan kita kehidupan yang lebih mengarah ke tingkat kesehatan yang lebih baik, sehingga banyak nya wabah penyakit yang terjangkit disekitar kita, Hutan merupakan paru-paru dunia yang fungsinya sangat banyak sekali manfaatnya bagi mahkluk hidup di dunia ini, salah satu nya yang sangat tergantung oleh hutan yaitu kehidupan fauna,hutan merupakan tempat tinggal, tempat mencari makan, berkembang biak, berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kalau setiap hari hutan ditebang dan diberantas apa jadinya kehidupan fauna disekitar kita,karena hidup mereka sangat tergantung dengan hutan. Tidak hanya fauna yang hidupnya tergantung pada hutan seluruh kehidupan yang ada didunia ini hidupnya akan tergantung dengan hutan bagi manusia hutan sangat diperlukan untuk berlangsungnya kehidupan, misalnya bagi yang hidup di daerah pelosok –pelosok sana mereka hanya hidup tergantung dengan hutan, tempat mencari makan, berladang, dan lain-lain. Sebelum hutan habis ditebang, hutan biasa menjadi sahabat bagi kita tetapi setelah hutan banyak ditebang dimana-mana,hutan menjadi musuh terbesar bagi kita,m karena hutan akan menjadi sebuah bencana yang tidak dapat kati duga kapan datang. Seperti binatang yang hidup dihutan, mereka tidak punya tempat tinggal lagi untuk bernaung, sekian banyak dari mereka banyak yang hampir punah, dan kalau tempat tinggal mereka tidak ada lagi dimana mereka tinggal, dan bencana itu sendiri akan datang atas amukan dari binatang buas yang marah,ini akan menjadi masalah baru. http://ndicka27khz.blog.uns.ac.id/2009/08/25/6/ Kerusakan Hutan Tak Dapat Dihindari? Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Hutan Ku Yang Semakin Sempit Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa masih tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010. Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004). Source : http://id.wikipedia.org Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 19972000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Kerusakan%20Hutan%20Tak%20Dapat% 20Dihindari?&&nomorurut_artikel=366 KabarIndonesia - Sepanjang sejarah manusia, banyak kisah menceritakan bagaimana manusia beradaptasi terhadap alam dan lingkungan menghadapi krisis atau perubahan negatif, seperti kekeringan, banjir, kerusakan hutan, dan konflik sosial. Jika tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk melakukan tindakan penyelamatan hutan kita, maka lima tahun yang akan datang hutan akan segera habis, akibat illegal logging yang membabi buta, tanpa memikirkan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.Semua sepakat pemanasan global merupakan momok yang menakutkan bagi kehidupan di bumi ini. Jika pemasanan bumi ini tidak dikurangi, kerusakan yang maha dasyat akan melanda bumi. Suhu udara semakin panas, air laut akan naik, banjir terjadi di manamana, penyakit bertebaran, dan bencana lainnya akan menghampiri umat manusia, tanpa pandang bulu. Kebakaran hutan yang rutin setiap musim kemarau merupakan contoh, betapa akhirnya manusia sendiri yang tersiksa karena mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan aspekaspek kelestarian ekosistemnya. Padahal, jika hutan terbakar, kerugian secara ekosistem sangat besar, lebih dari sekadar terganggunya manusia karena asap. Kebakaran hutan sama artinya kebakaran seluruh ekosistem hutan yang sangat kaya akan sumber plasma nutfah. Hutan tropis Indonesia adalah habitat dari lebih 70 persen seluruh jenis spesies makhluk hidup yang ada di bumi. Bumi dan isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah dititipkanNya kepada kita manusia untuk menjaganya. Akan tetapi terkadang manusia suka lupa dengan tanggung jawabnya sebagai manusia yang dikaruniai indra untuk selalu berbuat baik, termasuk didalamnya menjaga, melestarikan hutan dan lingkungan. Banyaknya problema mengenai kerusakan hutan yang belum terselesaikan, disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam membangun kepedulian terhadap kelestarian hutan, akibat : 1. Ada banjir bukan sekedar musibah yang datang dari Allah, akan tetapi merupakan fenomena ekologis yang disebabkan karena ulah manusia sendiri dalam mengelola lingkungan yang menentang sunnah alam, yaitu akibat kesalahan dalam mengelolanya. 2. Pada tahun 1999-2004 telah terjadi penggundulan hutan besar-besaran di kawasan hutan hampir di seluruh wilayah Indonesia yang menjadi penyebab utama terjadinya banjir besar di berbagai wilayah. 3. Selama ini hutan belum meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat di sekitar kawasan hutan. 4. Rendahnya kesadaran sebagian masyarakat dan pemerintah akan pentingnya kelestarian hutan di Indonesia. 5. Banyaknya kasus-kasus pembalakan/penebangan liar (illegal logging) yang telah merusak hutan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. 6. Ada indikasi bahwa telah terjadi perselingkuhan/pesekongkolan antara pejabat yang berwenang menjaga dan melestarikan hutan dengan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeruk keuntungan ekonomi dari hasil produksi hutan tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkannya. 7. Rendahnya komitmen pengambil kebijakan dan penegak hukum dalam melindungi kelestarian hutan. 8. Banyaknya kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan aspek-aspek dampak lingkungan. 9. Masih minimnya upaya-upaya reboisasi dan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah. 10. Konsep pelestarian hutan belum tepat dan belum berpihak pada rakyat. Melihat gambaran di atas, hutan kita, sudah barang tentu merupakan kawan dan harus menjadi kawan. Antara kita dan alam lingkungan, satu sama lain harus saling memelihara, saling membutuhkan dan saling memberi. Sebab, antara kita hutan dan alam lingkungan adalah satu dalam suatu kehidupan. Membangun kesadaran dan kepedulian terhadap kelestarian hutan adalah merupakan tugas kita bersama yang menghendaki hidup akrab dengan alam dan sehat tanpa polusi. Membangun kesadaran dan kepedulian terhadap kelestarian hutan merupakan kewajiban setiap manusia sebagai perwujudan manusia itu sendiri yang nyata dalam mengaplikasikan dirinya terhadap Sang Maha Pencipta.. Lebih jauh dari itu, pemanfaatan sumber daya alam hendaknya selaras, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bertanggung jawab atas berlangsungnya hidup manusia serta makhluk hidup lainnya di alam ini. Itulah kesadaran kita dalam membangun kepedulian terhadap kelestarian hutan dan lingkungannya, mengingat ; 1. 2. 3. 4. 5. Bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya agar manusia senantiasa menjaga dan melestarikannya sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr ayat:19-20: "Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gununggunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rizki kepadanya." Bahwa segala tindakan yang merusak keseimbangan dan kelestarian lingkungan alam harus dijauhkan". Wa lâ tufsidû fii al-ardl ba'da ishlâhihâ. (Hendaknya kalian tidak merusak bumi setelah kami memperbaikinya). Bahwa pencurian dan tindakan perusakan aset negara ataupun masyarakat merupakan pelanggaran ajaran agama dan karenanya merupakan dosa besar. Keharusan bagi pemerintah untuk melindungi hak-hak warganya dan menjaga kemaslahatan bersama (al-mashlahah al-‘âmmah/public interest) sesuai dengan kaidah tasharrufu al-imâm ‘alâ al-ra‘iyyah manûthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan bersama) . Urgensi organisasi/jaringan sosial dan informasi dalam menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai dengan prinsip al-haqq bilâ nidlâmin qad yaghlibuhu al-bâthil bi nidlâmin (kebenaran tanpa organisasi bisa dikalahkan kemungkaran yang terorganisir). Sadar terhadap kelestarian hutan, berarti membangun dan melestarikan sumber daya alam menuju tegaknya budaya cinta lingkungan. Jika lahir gerakan dalam masyarakat yang dengan penuh kesadaran terhadap lingkungan, maka bagaimana dengan para pemimpin masyarakat sendiri? Pertanyaan itu timbul, karena para pemimpin dengan dalih untuk sebuah pembangunan, justru kadang-kadang merusak hutan dan lingkungan. Padahal, seorang pemimpin, dirinya bukan sekedar memimpin masyarakat manusia, tetapi juga memimpin masyarakat makhluk selain manusia (yang luas dan beragam).Artinya, bukan merupakan kebijakan seorang pemimpin bila dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan, lantas sesuatu itu menjadi sebuah idiologi pembangunan modern yang merusak alam dan lingkungannya. Yang pada gilirannya, ia akan merusak manusia itu sendiri, seperti adanya kasus terjadinya pencemaran lingkungan (air, tanah, udara dan makanan) yang sering terjadi di sekitar kita. Oleh karena itu, di sini, perlu dicatat oleh kita bahwa tanaman berhak untuk hidup dan tumbuh, tanah berhak untuk ‘bernapas', hewan berhak untuk berkembangbiak agar memperoleh kemuliaan dikala disembelih dan dimakan manusia. Maka dari itu marilah kita bersama-sama membangun kepedulian terhadap kelestarian hutan dengan : A. UNTUK MASYARAKAT Aktif menjaga kelestarian hutan dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar undang-undang dan peraturan yang terkait dengan persoalan kehutanan dan lingkungan hidup. Aktif mengkritisi dan mengontrol Pemerintah Daerah dan pihak pengelola hutan dengan melaporkan kepada pejabat yang berwenang jika mengetahui ada upaya-upaya perusakan hutan. Pengupayakan penyempurnaan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) terkait dengan pelestarian lingkungan dan hutan. B. PT. PERHUTANI Harus menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati dalam mengelola hutan . Harus menjamin sistem pengelolaan hutan yang benar, sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada. Tidak melakukan manipulasi dalam memberikan data tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan hutan. Tidak melakukan penyelewengan dan pelanggaran dalam mengelola hutan sesuai dengan peraturan yang ada. Segera melakukan usaha-usaha penghijauan kembali hutan yang telah gundul. Membuka akses kepada masyarakat untuk terlibat dalam mengelola hutan. C. PEMERINTAH 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemerintah harus terus memonitor kondisi hutan dari tindakan perusakan Menyempurnakan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang memihak kepada kesejahteraan rakyat. Melakukan perencanaan tata ruang kota dengan memperhatikan secara sungguhsungguh aspirasi masyarakat. Menindak secara tegas siapapun yang melakukan pelanggaran perusakan hutan tanpa pandang bulu. Melakukan program reboisasi dan konservasi dengan melibatkan masyarakat. Mengeluarkan kebijakan untuk mengentikan sementara penebangan hutan / moratorium hutan. Mensosialisasikan, dan melaksanakan seluruh Undang-Undang, Keputusan- Keputusan, Perda-Perda dan aturan-aturan lain untuk mencegah terjadinya bencana akibat kerusakan hutan. D. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR RI dan DPRD) 1. 2. 3. 4. Membuat dan mengawasi peraturan daerah (Perda) yang berkaitan dengan perlindungan hutan dan pelestarian lingkungan. Proaktif dalam menggali, menampung dan memperjuangkan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat. Melakukan fungsi anggaran (budgeting) daerah dengan menetapkan alokasi dana yang signifikan untuk kelestarian hutan dan lingkungan. Mengawasi dan menegakkan pelaksanaan Perda-Perda tentang pengendalian kerusakan hutan yang mewajibkan pengelola hutan untuk melakukan usaha-usaha reboisasi dan konservasi. E. APARAT PENEGAK HUKUM 1. 2. 3. 4. 5. Menindak tegas terhadap setiap pelanggaran aturan dalam berbagai bentuknya yang berpotensi merusak lingkungan dan hutan. Tidak menjadi backing para pelaku illegal logging. Proaktif dalam menegakkan hukum (tidak birokratis, tidak bertele-tele dan tidak menunggu laporan). Menjamin keamanan dan perlindungan kekayaan hutan dari pencurian pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan ekonomis dari hasil hutan, tanpa pandang bulu. Dalam rangka menegakkan hukum dan menciptakan keamanan hutan diharapkan bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat. F. ULAMA/TOKOH MASYARAKAT 1. 2. 3. 4. Hendaknya aktif mengkampanyekan gerakan pelestarian lingkungan dan hutan kepada masyarakat luas. Memberikan masukan-masukan kritis-konstruktif terhadap Perda atau rancangannya, dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan hutan beserta implementasinya. Berperan secara langsung atau tidak langsung dalam Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat (PSBM) dan jaringan sosial/informasi sebagai salah satu pilar civil society. Mengembangkan dan mendakwahkan ajaran fikih ramah lingkungan yang menjamin lestarinya lingkungan dan hutan guna menegakkan prinsip maslahat. 5. Hendaknya ulama menjadi kekuatan moral dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang multi-dimensi, khususnya persoalan lingkungan dan hutan. Tanah dan air itu, akan menumbuhkan pepohonan yang rindang sebagai paru-paru dunia dan manusia hidup di dalamnya. Kita membayangkan pohon-pohon cemara menjulang tinggi melambai-lambai membagi cinta dan kasih sayang dengan manusia. Tidak ada suatu keindahan yang paling indah, selain keindahan disaat kita berkencan dengan keindahan alam. Itulah salah satu perwujudan dalam membangun kesadaran dan kepedulian terhadap pelestarian hutan sebagai dialog kita kepada Allah SWT. Dengan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan kelestarian hutan dan lingkungan akan benar-benar terpelihara. Dari semua upaya tersebut, membangun kepedulian terhadap kelestarian hutan, budaya kerja sama adalah sangat penting sekali. Membangun kepedulian terhadap kelestarian hutan sungguh bukan pekerjaan mudah, dan karena itu dituntut peran pemerintah, elite politik, LSM dan elemen masyarakat lainnya. Ini dalam rangka upaya kita meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal.*** Yogyakarta, 25 Oktober 2008 Referensi : Harian Republika 28/11/2007 Makalah : Kebakaran Hutan dan Bisnis Akrab Lingkungan. Hadi S Alikodra http://www.miqra.blogspot.com "Membangun budaya ramah lingkungan" Aceh Forum Community, 24 April 2006 "Budaya cinta lingkungan" Bindrang, 25 April 2007 Tempointeraktif.com : 4 Desember 2004 http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba+Penulisan+YPHL+%3A+ Membangun+Kesadaran+Dan+Kepedulian+Terhadap+Kelestarian+Hutan&dn=2008102 5074115 Pada dasarnya fungsi hutan bagi manusia dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi langsung dan tidak langsung. 1. Fungsi Langsung Hutan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat khususnya di sekitar hutan. Contoh: a. Memberikan lapangan kerja b. Memberi hasil hutan berupa kayu, getah, dan lain-lain. 2. Fungsi Tidak Langsung 1. 2. 3. 4. Fungsi hidrologis (pengatur air tanah) Fungsi klimatologis Mencegah erosi Sumber humus 5. Stabilisator unsur CO2 dan O2 udara 6. Menjaga kerusakan ozon 7. Tempat hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan. 1) Cagar alam adalah kawasan yang keadaan alamnya memiliki tumbuhan, hewan, dan ekosistem khas sehingga perlu dilindungi agar tumbuh secara alami. Contoh: Nusa Kambangan, Jawa Tengah. 2) Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas keanekaragaman dan keunikan jenis satwa sehingga perlu dilakukan pembinaan terhadap habitatnya untuk menjaga kelangsungan hidup satwa yang ada. Contoh: Baluran dan Meru Betiri di Jawa Timur. 3) Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, budidaya dan pariwisata. Contoh: Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur dan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Timur. 4) Taman Wisata adalah kawasan taman yang secara khusus dibina dan dipelihara untuk kepentingan pariwisata atau rekreasi. ContohPenebangan hutan tanpa perhitungan dapat mengurangi fungsi hutan sebagai penahan air. Akibatnya daya dukung hutan menjadi berkurang. Penebangan hutan akan berakibat pada kelangsungan daur hidrologi dan menyebabkan humus cepat hilang. Dengan demikian kemampuan tanah untuk menyimpan air berkurang. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan langsung mengalir, hanya sebagian kecil yang meresap ke dalam tanah. Tanah hutan yang miring akan tererosi, khususnya pada bagian yang subur, sehingga menjadi tanah yang tandus. Bila musim penghujan tiba akan menimbulkan banjir, dan pada musim kemarau mata air menjadi kering karena tidak ada air tanah. Penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir dan erosi. Akibat lainnya adalah harimau, babi hutan, ular dan binatang buas lainnya menuju ke permukiman manusia: Danau Towuti di Sulawesi Selatan dan Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. . Berikut ini berbagai usaha untuk menghindari kerusakan ekosistem hutan. 1. Reboisasi, yaitu penanaman kembali tumbuhan di daerah hutan yang gundul. 2. Melarang penebangan kayu di hutan. Penebangan hutan hanya boleh dilakukan dengan prinsip tebang pilih, artinya pohon yang ditebang harus memenuhi ukuran tertentu dan penebangan dalam jumlah terbatas. 3. Mencegah terjadinya kebakaran hutan. 4. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya hutan. 5. Menindak tegas dengan sanksi hukuman yang berat bagi mereka yang melakukan perusakan hutan. http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://arkandas.files.wordpress.com/2009/05/h utan-gundul.jpg& Sungai (river) Air hujan yang jatuh ke bumi, sebagian menguap kembali menjadi air di udara, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir di permukaan. Aliran air di permukaan ini kemudian akan berkumpul mengalir ke tempat yang lebih rendah dan membentuk sungai yang kemudian menalir ke laut. Pada tahun 1880 an seorang geologist berkebangssan Amerika, William Davis Morris, berpendapat bahwa sungai dan lembahnya ibarat organisme hidup. Sungai berubah dari waktu ke waktu, mengalami masa muda, dewasa, dan masa tua. Menurut Davis, siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul di atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit-parit itu bertemu sesamanya dan membentuk sungai. Danau menampung air pada daerah yang cekung, tapi kemudian hilang sebagai sebagai sungai dangkal. Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke dasarnya membentuk sisi yang curam, lembah bentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang tumbuh dari pohon. Semakin tuan sungai, lembahnya semakin dlam dan anak-anak sungainya semakin panjang. Gambar perubahan penampang sungai dibawah ini menunjukkan umur sungai. Sungai masih bayi. Sempit dan curam Sungai muda. Anak sungainya bertambah Sungai tua. Daerah alirannya semakin melebar dan berkelok Sungai sudah tua sekali. Robert E. Horton, seorang consulting hydrolic engineer, mengklasifikasikan sungai berdsarkan tingkat kerumitan anak-anak sungainya. Saluran sungai tanpa anaknya disebut sebagai "first order". Sungai yang mempunyai satu atau lebih anak sungai "first order" disebut saluran sungai "second order". Sebuah sungai dikatakan "third order" jika sungai itu mempunyai sekurang-kurangnya satu anak sungai "second order". Dan seterusnya. Lihat gambar di samping kanan ini. Sungai Amazon dan Congo, yang terbesar di dunia, diklasifikasikan sebagai sungai dengan "12th order" atau "13th order". Air Bawah Tanah (ground water) Lebih dari 98 persen dari semua air di daratan tersembunyi di bawah permukaan tanah dalam pori-pori batuan dan bahan-bahan butiran. Dua persen sisanya terlihat sebagai air di sungai, danau dan reservoir. Setengah dari dua persen ini disimpan di reservoir buatan. Sembilan puluh delapan persen dari air di bawah permukaan disebut air tanah dan digambarkan sebagai air yang terdapat pada bahan yang jenuh di bawah muka air tanah. Dua persen sisanya adalah kelembaban tanah.