pendahuluan tinjauan pustaka

advertisement
PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)
merupakan salah satu dari beberapa tanaman
palma penghasil minyak yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan termasuk industri padat
karya. Pengusahaan tanaman ini untuk
produksi
minyak
memiliki
beberapa
keunggulan, antara lain biaya produksi yang
relatif murah, hasil per hektar tinggi, umur
produktif yang panjang, serta pemanfaatannya
beraneka ragam (Lubis 1992).
Industri yang memanfaatkan kelapa sawit
sebagai bahan baku produknya antara lain
industri minyak goreng, makanan, kosmetik,
sabun, lilin, industri logam, serta biodiesel.
Biodiesel sawit adalah minyak atau solar yang
dibuat dengan menggunakan bahan baku
minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm
Oil (CPO). Pencampuran biodiesel dengan
minyak solar biasanya diberikan sistem
penamaan tersendiri seperti B2, B3 atau B5
yang berarti campuran biodiesel dan minyak
solar yang masing-masing mengandung 2%,
3%, dan 5% biodiesel (Boedoyo 2006).
Sumber energi alternatif ini bersifat ramah
lingkungan karena tidak mencemari udara,
mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan
baku yang dapat diperbaharui (BPPP 2006).
Permintaan CPO yang semakin meningkat
kurang bisa terpenuhi karena lahan yang
terbatas sehingga diperlukan terobosanterobosan baru yang menuntut dihasilkannya
bahan tanaman kelapa sawit yang unggul baik
dalam hal produktivitasnya maupun kualitas
minyaknya. Perbanyakan masal bibit unggul
kelapa sawit secara cepat dapat dilakukan
dengan teknik kultur jaringan, namun teknik
ini dapat menghasilkan tanaman kelapa sawit
dengan tingkat abnormalitas yang tinggi.
Keunggulan teknik kultur jaringan adalah
mampu menghasilkan bibit dalam jumlah
banyak dengan waktu relatif singkat, seragam,
sifatnya identik dengan induknya, masa non
produktif lebih singkat dan produktivitasnya
lebih tinggi. Abnormalitas pembuahan pada
tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan
dikenal dengan istilah mantled, yaitu
mesokarp tidak berkembang. Abnormalitas
bisa menyebabkan terjadinya bunga jantan
steril (Corley 1986). Abnormalitas terjadi
pada rata-rata 5-10 % dari populasi bibit asal
kultur jaringan (Jaligot 2000), dan bersifat
epigenetik (Tregear et al 2002). Marmey
(1991) menyatakan bahwa kalus remah yang
disebut sebagai kalus sekunder menyebabkan
terjadinya kalus embrioid yang abnormal.
Menurut Jones (1991) abnormalitas yang
terjadi pada klon kelapa sawit hasil kultur
jaringan disebabkan terhambatnya ekspresi
gen yang mengatur pembungaan, sebagai
akibat penambahan zat pengatur tumbuh
tertentu ke dalam media. Terjadinya tingkat
abnormalitas yang tinggi menyebabkan
rendahnya minat konsumen terhadap bibit asal
kultur jaringan.
Berdasarkan fenomena ini diperlukan
penanda molekuler yang mampu mendeteksi
abnormalitas secara dini sehingga bibit hasil
kultur jaringan kelapa sawit yang dipasarkan
pada masyarakat adalah bibit normal yang
terjamin kualitasnya. Penggunaan penanda
molekuler berbasis DNA untuk mendeteksi
abnormalitas pada fase dini dianggap tepat
untuk tujuan ini, karena memiliki tingkat
akurasi yang tinggi dan tidak terpengaruh oleh
cuaca serta dapat melibatkan contoh dalam
jumlah yang banyak.
Teknik RAPD (Random Amplified
Polymorphic DNA) merupakan salah satu dari
beberapa teknik pembuatan penanda berbasis
DNA dengan melibatkan penggunaan mesin
PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik
PCR-RAPD
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi perbedaan genotip normal
dan abnormal, berdasarkan perbedaan pada
pita DNA yang dapat teramplifikasi dengan
random primer. Pita DNA yang berbeda akan
dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui
perbedaan urutan basa DNA antara genotip
normal dan abnormal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan genotip daun, bunga, dan buah dari
tanaman kelapa sawit normal dan abnormal
berdasarkan perbedaan pola pita amplifikasi
cetakan DNA terhadap primer acak
menggunakan teknik PCR-RAPD. Hipotesis
penelitian ini adalah diperoleh genotip daun,
bunga, dan buah dari tanaman kelapa sawit
normal dan abnormal, serta diperoleh pola pita
amplifikasi DNA sampel menggunakan teknik
PCR-RAPD. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
ilmu
pengetahuan berupa data ilmiah yang
membuktikan terdapat perbedaan genotip
kelapa sawit normal dan abnormal.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Gambar 1) adalah tanaman
perkebunan atau industri dari famili Palmae.
Menurut penelitian, tanaman ini berasal dari
Nigeria di Afrika Barat, kemudian menyebar
ke Afrika, Amerika, Asia, dan Pasifik Selatan.
2
Benih kelapa sawit pertama kali ditanam di
Indonesia tahun 1848 berasal dari Mauritius,
Afrika. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia
dipelopori oleh Adrien Hallet berkebangsaan
Belgia di daerah Tanahitam, Hulu Sumatera
Utara pada tahun 1911 (Setyamidjadja 2006).
Kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah
yang gembur, pengairan dan drainasenya baik,
kaya akan humus, serta tidak memiliki lapisan
padas. Nilai pH tanah sebaiknya berkisar
antara 5.5-7.0. Curah hujan yang diterima
minimal 1000-1500 mm/tahun yang terbagi
rata sepanjang tahun, serta memiliki suhu
tumbuh optimal 26°C dan kelembaban udara
rata-rata 75% (Setyamidjadja 2006).
Kelapa
sawit
secara
sistematika
(taksonomi)
termasuk
dalam
Divisi
Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae,
Kelas Dicotyledonae, Famili Palmaceae,
Subfamili Cocoideae, Genus Elaeis, Spesies:
(1) Elaeis guineensis Jacq (kelapa sawit
Afrika) dan (2) Elaeis melanococca atau
Corozo oleifera (kelapa sawit Amerika Latin).
Varietas atau tipenya dapat digolongkan
berdasarkan tebal tipisnya cangkang dan
warna buah. Terdapat tiga varietas
berdasarkan
tebal
tipisnya
cangkang
(endocarp) yaitu, Dura, Pisifera, dan Tenera.
Sedangkan berdasarkan warna buah dikenal
tiga varietas yaitu, Nigrescens, Virescens, dan
Albescens (Setyamidjadja 2006).
Kelapa sawit yang tumbuh normal pada
tahun kedua telah menunjukkan pembungaan.
Buah yang terbentuk belum dapat diolah
karena ukurannya masih terlalu kecil. Tandan
buah telah masak atau siap panen sekitar 5.5
bulan setelah terjadi penyerbukan. Memasuki
umur sekitar 30 bulan, tanaman kelapa sawit
terutama varietas Tenera (Dura×Pisifera) siap
dipanen bila tandan buahnya sudah mencapai
berat ±3 kg. Pemanenan kelapa sawit perlu
memperhatikan beberapa ketentuan agar
tandan buah yang dipanen sudah matang,
sehingga dihasilkan kelapa sawit dengan mutu
yang baik (Setyamidjadja 2006).
Buah kelapa sawit terdiri atas perikarp dan
kernel. Perikarp tersusun atas eksokarp (kulit),
mesokarp (daging buah), dan endokarp
(cangkang).
Kernel
memiliki
kulit,
endosperm, dan embrio. Umur dan warna
mesokarp digunakan sebagai indikator
kandungan minyak. Kelapa sawit yang
berumur tiga bulan mesokarpnya berwarna
putih kehijauan yang menunjukkan bahwa
buah terdiri dari serat, klorofil, dan belum
terbentuk minyak. Perubahan warna daging
buah menjadi kuning kehijauan setelah
berumur lebih dari tiga bulan dan
menunjukkan bahwa minyak sudah terbentuk
dengan terbentuknya karotein (Lubis 1992).
Kelapa sawit yang dihasilkan dari kultur
jaringan mengalami 10-40% perubahan ke
arah abnormalitas pada organ bunga dan buah
sehingga dihasilkan kelapa sawit yang
abnormal (Corley 1986). Hal yang sangat
ekstrim dari abnormalitas adalah tidak
terbentuknya buah karena tandan buah
dipenuhi oleh bunga jantan atau buah
bermantel berat yang menyebabkan hilangnya
produksi (Mathius 2001). Beberapa pendapat
mengenai penyebab terjadinya abnormalitas
pada tanaman kelapa sawit hasil kultur
jaringan, perubahan tersebut dapat bersifat
genetik (Rao & Danough 1990), gangguan
ekspresi gen diakibatkan fitohormon (Jones
1991), struktur kalus, lamanya subkultur dan
umur kalus, tekanan seleksi yang dipakai,
jenis eksplan yang digunakan, level ploidi
sumber eksplan dan kecepatan proliferasi
kalus (Skirvin et al 1984 dan Karp 1995).
Gambar 1 Tanaman Kelapa Sawit.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Teknik ini dikembangkan oleh Kary
Mullis tahun 1984 berdasarkan penemuannya
tentang adanya aktivitas biologi dari DNA
polimerase pada suhu tinggi dalam bakteri
yang hidup pada sumber air panas
(thermophiles). Reaksi rantai polimerase
merupakan metode untuk memperbanyak
potongan DNA yang diinginkan dengan
sensitifitas, selektifitas yang tinggi, dan terjadi
pada waktu yang sangat cepat. Spesifitas
reaksi ditentukan pada penggunaan dua primer
oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi
rangkaian komplementer pada untai DNA
yang berlawan dan mengapit rangkaian
sasaran (Murray 2003).
Lima bahan baku yang diperlukan untuk
melakukan PCR adalah sampel target, primer,
enzim taq polimerase, nukleotida (dNTP), dan
bufer polimerase. Sampel target merupakan
DNA yang ingin diamplifikasi. Primer
merupakan untai DNA pendek yang
3
menempel pada fragmen DNA target, serta
sebagai tempat awal terjadinya replikasi.
Enzim taq polimerase berfungsi untuk
replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung
dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu
ditambahkan agar DNA polimerase dapat
membentuk kompleks rantai baru yang
komplementer. Reaksi PCR membutuhkan
suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena
aktivitas enzim polimerase dipengaruhi oleh
konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan
menstimulasi aktivitas enzim secara maksimal
pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya
lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai
inhibitor (Sambrook 1989).
Proses PCR melibatkan serangkaian siklus
temperatur berulang dan setiap siklus terdiri
dari tiga tahap (Gambar 2). Pertama proses
denaturasi dengan pemanasan (± 94 °C) untuk
memisahkan untai ganda DNA menjadi untai
tunggal. Kedua adalah penurunan suhu
menjadi 50-70 °C untuk memungkinkan
terjadinya penempelan (annealing) primer
(oligonukleotida) dengan untai tunggal DNA
sebagai cetakan. Suhu penempelan primer
bergantung pada titik leleh (Tm) primer yang
digunakan. Ketiga adalah ekstensi primer
menjadi untai DNA baru dengan enzim DNA
polimerase pada suhu optimumnya. Setiap
satu siklus PCR akan menggandakan jumlah
molekul cetakan DNA, sebab setiap utas baru
yang disintesis akan berperan sebagai cetakan
pada siklus selanjutnya. Penggandaan yang
dihasilkan bersifat eksponensial sehingga
dihasilkan produk PCR yang setara dengan 2n
(n adalah jumlah siklus) (Sambrook 1989).
situs tertentu yang homolog dengan spesifitas
penempelan yang tinggi. Potongan DNA yang
teramplifikasi
berdasarkan
pilihan
penempelan yang bersifat acak dan tidak
harus berkaitan dengan gen tertentu.
Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana
dan mudah dalam hal preparasi. Teknik
RAPD memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan dengan teknik molekuler
lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan
jumlah karakter yang relatif tidak terbatas,
sehingga sangat membantu untuk keperluan
analisis keanekaragaman organisme yang
tidak diketahui latar belakang genomnya, baik
organisme tingkat tinggi (eukariot) maupun
organisme
tingkat
rendah
(prokariot)
(Bardakci 2001).
Keunggulan teknik ini antara lain kuantitas
DNA yang dibutuhkan sedikit, hemat biaya,
mudah dipelajari, dan primer yang diperlukan
sudah banyak dikomersialisasikan sehingga
mudah
diperoleh.
Tanaman
tahunan
menggunakan RAPD untuk meningkatkan
efisiensi seleksi awal. Teknik RAPD telah
banyak
diaplikasikan
dalam
kegiatan
pemuliaan tanaman, antara lain analisis
keragaman genetik plasma nutfah tanaman
(padi, kapas, dan jeruk mandarin), dan analisis
populasi genetik tanaman (kakao dan kelapa)
(Azrai 2005).
Sekuen target
Penambahan primer,
suhu denaturasi dan
suhu penempelan
Random Amplified Polymorphic DNA
(RAPD)
Teknik PCR-RAPD merupakan salah satu
teknik
molekuler
untuk
mempelajari
keanekaragaman genetika. Dasar analisis
RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang
mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara
acak. Teknik ini melibatkan penempelan
primer yang dirancang secara khusus sepuluh
oligonukleotida pada cetakan DNA yang
komplementer, selanjutnya akan dibentuk
menjadi utas DNA baru. Proses selanjutnya
sama dengan proses dasar PCR (Gambar 3).
Jumlah produk amplifikasi PCR berhubungan
langsung dengan jumlah dan orientasi sekuen
yang komplementer terhadap primer di dalam
genom tanaman (Azrai 2005).
Teknik RAPD hanya digunakan pada satu
primer arbitrasi yang dapat menempel pada
kedua utas DNA setelah didenaturasi pada
Primer 1
Primer 2
+ enzim taq
polimerase dan dNTP
Siklus
diulang
25- 75 kali
Gambar 2 Skema proses PCR.
4
Siklus pertama
Siklus kedua
Denaturasi DNA
rantai ganda
Penempelan
primer
Suhu annealing
Denaturasi
Penempelan
primer
Disintesis menjadi
rantai DNA baru
Proses
amplifikasi
DNA
Denaturasi DNA
rantai ganda
Gambar 3 Skema Proses PCR RAPD.
Sequencing
Sequencing
adalah
metode
untuk
menentukan urutan basa-basa DNA dari
sebuah potongan DNA. Tahun 1977,
Frederick Sanger, Allan Maxam, dan Walter
Gilbert merintis dikembangkannya metode
sequencing DNA yang kemudian dikenal
dengan metode sequencing Maxam dan
Gilbert, yang melibatkan penggunaan suatu
basa terdegradasi (Gilbert 2000). Metode
sequencing DNA yang umum digunakan saat
ini adalah metode Sanger yang bertumpu pada
penggunaan
analog
dari
rantai
deoksinukleotida tripospat (dNTP) normal
(Sanger 1980).
Analog-analog deoksinukleotida tripospat
yang dimaksud adalah dideoksinukleotida
tripospat (ddNTP). Analog-analog ini sama
dengan deoksinukleotida tripospat normal,
tapi tidak memiliki gugus hidroksil pada
ujung 3’-nya. Ujung 5’ molekul-molekul
ddNTP dapat bereaksi dengan ujung 3’ dNTP
normal pada rantai DNA yang disintesis
dengan bantuan enzim DNA polimerase yang
juga bertindak sebagai pengendali reaksi,
yaitu apabila sudah berikatan dengan satu
jenis ddNTP (ddATP, ddGTP, ddCTP, atau
ddTTP) maka tidak ada nukleotida lain yang
dapat ditambahkan karena ujung 3’nya tidak
memiliki gugus hidroksil (Sanger 1980).
Komponen reaksi untuk tujuan sequencing
terdiri dari potongan DNA yang akan
disekuen, primer, campuran dNTP (dATP,
dGTP, dCTP, dan dTTP, yang salah satunya
diberi label radioaktif 32P) dengan konsentrasi
normal, dan enzim polimerase. Campuran
keempat bahan yang dilarutkan di dalam
larutan penyangga tersebut kemudian dibagi
rata ke dalam empat tabung. Masing-masing
tabung ditambahkan ddNTP yang berbeda
(ddATP, ddGTP, ddCTP, atau ddTTP) dengan
konsentrasi rendah. Campuran diinkubasi
pada suhu tinggi untuk memisahkan rantai
ganda DNA, yang kemudian diikuti dengan
perlakuan suhu rendah untuk memberikan
peluang primer menempel pada DNA cetakan
utas tunggal pada situs yang spesifik di ujung
5’. Enzim polimerase akan membantu sintesis
rantai DNA melalui penambahan satu per satu
basa yang jenisnya ditentukan oleh DNA
cetakan, mulai dari ujung 3’ primer. Untuk
memberikan ilustrasi kita ambil contoh pada
tabung yang ditambah ddTTP. Adanya dTTP
5
pada konsentrasi normal reaksi akan terus
berlanjut, tapi jika satu kali bereaksi dengan
ddTTP maka reaksi akan berhenti. Setelah
proses inkubasi berakhir
terdapat hasil
campuran reaksi dengan berbagai ukuran
panjang rantai yang berakhir dengan molekul
T pada ujung 3’ dan semuanya memiliki
ujung 5’ yang sama (ujung 5’ dari primer),
masing-masing dengan jumlah salinan yang
banyak. Proses inkubasi yang sama juga
dilakukan pada tiga dideoksinukleotida
tripospat yang lain, masing-masing dengan
memberi campuran reaksi ddCTP, ddATP,
dan ddGTP yang dapat menghentikan reaksi
pada posisi C, A, dan G secara berturut-turut
(Sanger 1980).
Empat reaksi ini masing-masing kemudian
dipisahkan menggunakan elektroforesis gel
akrilamid yang memiliki resolusi tinggi.
Teknik ini memisahkan rantai berdasarkan
ukuran, rantai yang berukuran lebih kecil akan
bergerak lebih cepat sedangkan yang ukuran
rantainya lebih besar akan bergerak lebih
lambat. Metode ini dapat membandingkan
secara akurat dan cepat, serta dapat membaca
urutan basa sampai 300 nukleotida dari ujung
3’ primer. Empat lubang sisir pada gel
akrilamid masing-masing akan diisi oleh hasil
reaksi dengan dideoksinukleotida berbeda.
Setiap sampel akan membentuk pola pita yang
berbeda dan ukuran nukleotida yang lebih
pendek ditunjukkan oleh pita yang terletak di
bagian bawah gel. Urutan basa hasil sekuen
kemudian dibaca dari dasar (ujung 5’) ke atas
(ujung 3’) gel (Gilbert 2000). Skema proses
sequencing dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Skema proses sequencing dengan metode Sanger.
Download