daftar isi.pmd

advertisement
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
ISSN: 0216-1338
DAFTAR ISI
Dari Redaksi ............................................................................
Abstrak
Artikel:
Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan
Sosial
Oleh: Rudy Hendra Pakpahan dan Eka N. A. M. Sihombing .............
Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Oleh: Ahmad Nizar Shihab ..............................................................
Komitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Jaminan
Sosial Nasional
Oleh: Zaelani ...................................................................................
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
Oleh: Mundiharno ............................................................................
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
dan Transformasinya Menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Oleh: Qomaruddin ...........................................................................
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Oleh: Asih Eka Putri ........................................................................
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Oleh: Bambang Purwoko .................................................................
Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik
Jerman: Suatu Perbandingan
Oleh: Nurfaqih Irfani ........................................................................
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Sebagai Penerjemah Resmi Peraturan Perundang-Undangan
Oleh: Syahmardan ..........................................................................
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana
Korupsi
Oleh: Wahyu Wiriadinata .................................................................
Biodata Penulis
iii
163 - 174
175 - 190
191 - 206
207 - 222
223 - 238
239 - 254
255 - 274
275 - 298
299 - 314
315 - 332
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
D ARI REDAKSI
Dari Redaksi
Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012
menyajikan tema tentang “Penyelenggaraan Jaminan Sosial di
Indonesia”, tema ini dipilih sehubungan dengan telah berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial pada tanggal 25 November 2011. Pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan amanat UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam rangka mewujudkan sistem jaminan sosial nasional, Pemerintah
perlu membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbentuk
badan hukum publik. Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial ini selain mengamanatkan pembentukan 2 (dua) BPJS
yaitu BPJS Kesehatan yang menyelenggarakan program jaminan
kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan program
jaminan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan
kematian. Undang-Undang ini juga mengamanatkan adanya
transformasi kelembagaan PT. ASKES (Persero), PT. JAMSOSTEK
(Persero), PT. TASPEN (Persero), dan PT. ASABRI (Persero) menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Dengan terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, diharapkan seluruh masyarakat
Indonesia mendapat perlindungan dan kesejahteraan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012
ini memuat artikel-artikel tentang Tanggung Jawab Negara dalam
Pelaksanaan Jaminan Sosial, Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya
Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, Komitmen Pemerintah dalam
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional, Peta Jalan Menuju
Universal Coverage Jaminan Kesehatan, Badan Hukum Publik Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan Transformasinya menurut UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Konsepsi
Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), dan Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik
Jerman: Suatu Perbandingan.
iii
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Selain itu dalam setiap penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia
menyajikan artikel yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012 ini memuat
artikel mengenai Kedudukan Perancang Peraturan PerundangUndangan Sebagai Penerjemah Resmi Peraturan Perundang-Undangan
dan Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi.
Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk
tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.
Salam Redaksi.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Pakpahan, Rudy Hendra dan Sihombing, Eka N.A.M
Tanggungjawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Kegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar dan hal itu
akan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidak secara parsial.
Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasi diharapkan dapat menjamin
terciptanya suatu mekanisme yang efektif dan efisien sehingga mampu menyentuh
seluruh lapisan masyarakat.
Kata kunci: jaminan sosial, parsial.
Pakpahan, Rudy Hendra and Sihombing, Eka N.A.M
Responsibility State in the Implementation of Sosial Security
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
Operations of social security law based on a large scale it will be effective if its implementation would not be partially conducted. The implementation of an integrated social
security is expected to ensure the creation of an effective and efficient mechanism so
being able to reach all walks of society.
Keyword: social security, partially.
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Shihab, Ahmad Nizar
Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Jaminan sosial telah dilaksanakan sebagian negara di dunia. Di Indonesia,
jaminan sosial merupakan amanat konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam batang tubuh yaitu Pasal 28
(3) dan Pasal 34 (1) memberikan jaminan bagi seluruh masyarakat untuk
mendapatkan jaminan sosial. Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan jaminan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hingga akhirnya pada tahun 2004
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
nasional (SJSN). Undang-Undang SJSN memberikan pertimbangan utama untuk
memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindak
lanjut amanat konstitusi tersebut adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang
ini mengatur tentang Badan Penyelenggara yang akan melaksanakan jaminan
sosial sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang SJSN. Undang-Undang
ini mengamanatkan adanya transformasi badan penyelenggara dari badan
penyelenggara yang telah ada saat ini untuk menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Kata kunci:
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Jaminan Sosial, Transformasi.
Shihab, Ahmad Nizar
The Presence of the State Among People After the Declaration of Law Number 24 Year
2011 Concerning Social Security Administering Agency
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
Social security has been implemented in some countries in the world. In Indonesia,
social security is a constitutional mandate. Preamble to the Constitution of the Republic
of Indonesia Year 1945 and in the body of the Article 28 (3) and Article 34 (1) provide a
guarantee for the whole community to get social security. Article 28 Paragraph (3) and
Article 34 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 also
provide social welfare for the community. Until finally in 2004 issued the Law Number 40
Year 2004 on National Social Security System (SJSN). National Social Security Act gives
primary consideration to provide a comprehensive social security for all people of Indonesia. The follow-up of the constitutional mandate is by declared Law Number 24 Year
2011 on Social Security Administering Agency (BPJS). This Law regulates the Operating
Body that will carry out social security, as mandated in the National Social Security Act.
This Act mandates the existing agency organizing transformation of body organizers
today to be Health Social Security Administering Agency (BPJS), and Labor Social Security Administering Agency (BPJS).
Key words: Social Security Administering Agency, Social Security, Transformation.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Zaelani
Komitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
terhadap hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat, untuk mengimplemntasikan
jaminan sosial tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAP
MPR Nomor X/MPR/2001, menugaskan kepada Presiden untuk membentuk Sistem
Jaminan Sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), Jaminan sosial merupakan kebutuhan dasar hidup yang
layak dan memperoleh jaminan apabila mengalami kecelakaan, memberikan
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Program ini dapat menjamin seseorang ketika menderita sakit, kehilangan
pekerjaan dan memasuki usia lanjut atau pensiun. Undang-Undang
mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, untuk
melaksanakannya telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diselenggarakan oleh 4(empat)
Badan Penyelenggara Jaminan sosial, yaitu PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen,
PT. ASABRI (Persero), dan PT. Askes (Persero). kedepan sesuai dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dilaksanakan
oleh 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yaitu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Ketenagakerjaan.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 memerlukan Peraturan
Perundang-undangan pelaksana. Penyelenggaraan Jaminan Sosial keberadaannya
sangat didambakan masyarakat, karena itu perlu komitmen dan kesungguhan
Pemerintah dalam menyelenggarakan Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
sekaligus membentuk Peraturan Perundang-undangan dan peraturan kebijakan
sebagai payung hukum dan dasar hukum untuk melaksanakannya, oleh karena
itu perlu kerja keras dan kesungguhan Pemerintah untuk dapat segera
merealisakannya.
Kata kunci: komitmen pemerintah dalam melaksanakan jaminan sosial.
Zaelani
Government Commitment in the Implementation of National Social Security
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 mandates the right to sosial security for all citizens, for sosial security mengimpletasikan the People’s Consultative Assembly MPR Set with X/MPR/2001 number, assigned to the President to establish a
sosial security system. Law Number 40 Year 2004 on National Sosial Security System
(Navigation), Sosial security is a basic life needs and obtain a guarantee when an accident, the assurance of protection and sosial welfare for all the people of Indonesia. This
program can guarantee when suffering from illness, loss of jobs and into old age or
retirement. Act mandated the establishment of Sosial Security Administering Bodies,
have been enacted to implement the Act No. 24 of 2011 on Sosial Security Administering
Bodies. Based on Law Number 40 Year 2004 Sosial Security Administering Bodies held
by 4 (four) Sosial Security Administering Bodies, namely PT. Jamsostek (Persero), PT.
Taspen, PT. ASABRI (Corporation), and PT. Askes (Corporation), and in accordance with
Law Number 24 Year 2011 Sosial Security Administering Bodies carried out by two (2)
Sosial Security Administering Agency, the Agency for Health and Sosial Security Administering Security Administering Agency for Employment. Implementation of Law No. 24
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
of 2011 requires legislation to implement the other. Implementation of the Sosial Security existence highly coveted community, because it needs sincerity and commitment of
the Government in carrying out sosial security for all citizens and legal instruments and
creating legislation to make it happen, therefore it needs hard work and seriousness of
the Government to immediately merealisakannya.
Key words: the Government’s commitment in implementing the National Sosial Security.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Mundiharno
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya peta jalan menuju universal coverage jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Mengingat
universal coverage merupakan istilah yang relatif baru maka dalam tulisan ini
dijelaskan tentang pengertian universal coverage dan faktor-faktor yang
berpengaruh dalam mencapai universal coverage. Penyusunan peta jalan jaminan
kesehatan perlu memahami kerangka penyelenggaraan jaminan kesehatan yang
terdiri dari berbagai aspek baik aspek peraturan-perundangan, kepesertaan, paket
manfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan maupun organisasikelembagaan. Tulisan ini hanya berfokus pada peta jalan penyelenggaraan jaminan
kesehatan dari aspek peraturan-perundangan.
Kata kunci: Universal coverage, jaminan kesehatan.
Mundiharno
Road Map to a Universal Health Coverage
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
This paper describes the importance of a road to universal health insurance coverage in
the National Social Security System (SJSN). Considering of the universal coverage is a
relatively new term that is described in this paper about the notion of universal coverage
and the factors that influence in achieving universal coverage. In drawing a roadmap to
the health insurance needs to understand the framework of health insurance organization composed of various aspects of both aspects of the rules and regulations, membership, dues and benefits package, health care, financial and institutional organizations.
This paper only focused on the implementation roadmap of health insurance, and law
and regulations aspects.
Keywords: Universal coverage, health security.
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Qomaruddin
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Transformasinya
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sebagaimana ditentukan Pasal 7 adalah untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimaksud meliputi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang berfungsi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan, program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian,
program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.
Kata kunci: jaminan kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan hari tua.
Qomaruddin
Public Legal Entity Social Security Administrating Agency and its Transform Based on
Law Number 24 Year 2011 Concerning on Social Security Administrating Agency
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
Public Legal Entity Social Security Administrating Agency which established under the
Social Security Law Number 24 Year 2011 concerning on Social Security Administering
Agency as provided in Article 7 is to organize the social security program. Social Security
Administering Body shall include the Health Social Security Administering Agency and
Labor Social Security Administering Agency that serves up a program of health insurance, accident insurance, life insurance, pension, as well as old phase insurance.
Keywords: Work accident, death, pension, and old phase insurance.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Putri, Asih Eka
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Transformasi menjadi kosa kata penting sejak tujuh tahun terakhir di Indonesia,
tepatnya sejak diundangkannya UU SJSN pada 19 Oktober 2004. Transformasi
akan menghadirkan identitas baru dalam penyelenggaraan program jaminan sosial
di Indonesia. UU BPJS membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia
termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di
Indonesia. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi seluruh
pekerja Indonesia termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat
6 (enam) bulan di Indonesia. Empat BUMN Persero penyelenggara program jaminan
sosial – PT ASKES (Persero), PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero), dan
PT TASPEN (Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS. UU BPJS telah
menetapkan PT ASKES (Persero) untuk bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan
dan PT JAMSOSTEK akan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. UU
BPJS belum mengatur mekanisme transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT
TASPEN (Persero) dan mendelegasikan pengaturannya ke Peraturan Pemerintah.
Kata kunci: Transformasi, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan
Putri, Asih Eka
Social Security Administering Agency Transformation
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
Transformation into a critical vocabulary from the last seven years in Indonesia, precisely since the enactment of the National Social Security Law on October 19, 2004.
Transformation will bring a new identity in the administration of social security programs
in Indonesia. Social Security Administering Agency (BPJS) Law established two Social
Security Administering Agency (BPJS), Health Social Security Administering Agency and
Labor Social Security Administering Agency. Health Social Security Administering Agency
organized health insurance program for the entire population of Indonesia, including
foreigners working in Indonesia for a minimum of 6 (six) months in Indonesia. Labor
Social Security Administering Agency organized program of work accident insurance, old
phase insurance, pension and life insurance for Indonesian workers, including foreigners working in Indonesia for a minimum of 6 (six) months in Indonesia. Four state-owned
Corporation providers of social security programs - PT Askes (Persero), PT ASABRI
(Persero), PT Jamsostek (Persero), and PT TASPEN (Persero) will be transformed into
BPJS. BPJS Law has set the PT Askes (Persero) to transform into Health BPJS and PT
JAMSOSTEK be transformed into Labor BPJS. BPJS Law transformation mechanism has
not been set ASABRI PT (Persero) and PT TASPEN (Persero) and delegate the setting to
government regulation.
Keywords: Transformation, BPJS of Health, Labor BPJS
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Purwoko, Bambang
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Pengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS adalah audit operasional yang
ditujukan untuk minimalisasi penyimpangan khususnya dalam penggunaan dana.
Pengawasan sebagaimana mengacu pada studi ini adalah untuk memberikan
konseling, pengarahan dan pedoman bagi operasional BPJS agar mematuhi
ketentuan yang berlaku. Sasaran audit finansial adalah pengawasan yang berbasis
audit atas aliran kas sedangkan audit operasional difokuskan pada pemeriksaan
sistem dan prosedur operasional BPJS. Metodologi dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif tentang perlunya pengawasan operasional sesuai spesifikasi
kegiatan tugas pokok BPJS sebagaimana mengacu pada asas, prinsip dan tujuan
penyelenggaraan SJSN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.
Kesimpulan studi adalah hasil audit operasional oleh DJSN akan memberikan
informasi yang berharga kepada BPK tentang capaian-capaian kepesertaan, koleksi
iuran dan mekanisme penyelesaian klaim sesuai prosedur yang berlaku dan juga
untuk melengkapi hasil akhir audit finansial yang dilakukan Kantor Akuntan
Publik (KAP).
Kata-kunci: Jaminan sosial, audit finansial /operasional, badan-badan hukum
dan tata pamong
Purwoko, Bambang
Conception of Operating Audit of National Social Security Council Toward the Operational Activities of Social Security Administrative Body
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
Supervision over the operational activities of BPJS is operating audit intended to minimize the improper use of funds. Supervision as referred to this study is to provide
counseling, directive and guidance to the operations of BPJS in order to comply with
existing regulations. Target of financial audit is to examine cash flows whilst the operational audit is to examine standard operating procedure of social security administrative
body BPJS. The methodology in this research applies to descriptive method with regard
to the need for operational audit in accordance with the specified tasks of BPJS as
referred to the foundation, the principles and the objectives of the National Social Security System SJSN based on Law No 40 of 2004. Conclusion of this studyis that the
outcome of operational audit by the DJSN will provide valuable information to the State
Board of Auditors (BPK) regarding the achievements in coverage of members, additional
contributions and claims payment based on true procedures and to provide some useful
inputs for the completion of financial audits as prepared by Public Auditors as well.
Key-words: Social security, financial audit/operational, legal entities and good
governance.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Irfani, Nurfaqih
Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik Jerman: Suatu Perbandingan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
UU SJSN, yang menandai lahirnya era baru sistem jaminan sosial nasional,
memiliki beberapa kemiripan dengan pengaturan sistem jaminan sosial yang
dikembangkan di Negara Federal Republik Jerman, misalnya beberapa kemiripan
terkait dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial, skema pembiayaan
yang bersumber utama dari kontribusi peserta, serta cabang asuransi sosial yang
menjadi pilar utama jaminan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, di tengah
momentum pembentukan BPJS, menarik untuk membandingkan pola pembentukan
BPJS sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 dengan pola pengembangan
organisasi jaminan sosial yang dipraktikkan di Jerman. Di sisi lain, pembentukan
UU BPJS sebagai pelaksanaan ketentuan UU SJSN harus sejalan dengan arah
pengaturan organisasi jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.
Tulisan ini akan memberikan gambaran umum mengenai organisasi jaminan sosial
di Jerman sebagai suatu kajian perbandingan serta analisis kebijakan pembentukan
BPJS dikaitkan dengan grand design dan arah pengaturan organisasi jaminan
sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.
Kata kunci: era baru, jaminan sosial
Irfani, Nurfaqih
Social Security Organization in Federal Republic of Germany: a Comparative Study
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
National Social Security Act which has brought Indonesia to a new era of social security
system has some fundamental similarities with social security system developed in the
Federal Republic of Germany, for example, similarities related to the basic principles,
financing scheme from contribution, and similarity on social insurance programs as the
main pillar of social security system. In this regard, it is quite interesting to compare the
policy development in forming BPJS as stipulated in Law No. 24 Year 2011 with the
policy in developing social security organization in Germany. The formation of BPJS as
the implementation of National Social Security Act must be also in line with the grand
design and general directions on social security organization reform, as mandated in the
National Social Security Act. This article will provide an overview of social security organization in Germany as a comparative study and analysis on policy development in
forming BPJS related to the grand design and general directions of social security organization reform as mandated in National Social Security Act.
Keyword: new era, social security
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Syahmardan
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Sebagai Penerjemah Resmi
Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, Pasal 91 ayat (1) menegaskan bahwa
tugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangan khususnya ke dalam
bahasa asing menjadi sangat penting dalam rangka penyebarluasan suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menyadari hal ini tentunya membuka peluang
bagi Perancang untuk “mengembangkan profesinya” khususnya bagi Perancang
di Kementerian Hukum dan HAM, tidak hanya menjalankan tugas utama merancang
peraturan perundang-undangan, namun juga dapat merangkap menjadi penerjemah
resmi isi peraturan perundang-undangan. Namun demikian, tentu saja hal ini
tidak serta merta dapat direalisasikan tanpa diiringi dengan peningkatan
kompetensi ataupun kualifikasi penerjemahan dari Perancang itu sendiri meskipun
dari sisi peraturan perundang-undangan mengindikasikan sangat terbuka peluang
ke arah itu.
Kata kunci : Peraturan Perundang-undangan, Perancang Peraturan Perundangundangan
Syahmardan
Position of the Legislative Drafters as an Official Translator for Legislation
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
With the enactment of the Law Number 12 Year 2011 on the Forming of Legislation,
article 91 paragraph (1) asserts that the task of translating the text of legislation, especially in a foreign language becomes very important in order to disseminate the laws and
regulations applicable. Realizing that is certainly an opportunity for the legislative drafters to “develop the profession”, especially for drafters in the Ministry of Law and Human
Rights, not just run the main task of designing the legislation but also may concurrently
be the official interpreter of the legislations. However, that is would not necessarily be
realized without being accompanied by an increase in competence and qualifications of
the drafter’s own despite of the legislation indicates a very open opportunities in that
direction.
Key words:
Legislation, Legislative Drafters.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Wiridinata, Wahyu
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.
Tulisan berjudul Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian bertujuan untuk
menjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektifitas sistem pembuktian terbalik
sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian pertanyaan yang timbul berikutnya adalah; apakah penerapan sistem
pembuktian terbalik dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi dapat
mencegah atau mengurangi bahkan menghilangkan tindak pidana korupsi di Indonesia secara tuntas. Penelitian ini bertolak dari kerangka pemikiran teoritis
Roscoe Pound yang mengemukakan tentang hukum sebagai alat pembaharuan
masyarakat: Law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat pembaharuan
masyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar Kusumaatmadja dan disesuaikan
dengan kondisi Indonesia menjadi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Pembaharuan maksudnya ialah memperbaharui cara berfikir masyarakat dari cara
berfikir tradisional kepada cara berfikir modern. Hukum harus bisa dijadikan
sarana untuk memecahkan semua problem yang ada di dalam masyarakat termasuk
masalah tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang harus diperbaharui adalah
sistem hukum pembuktiannya, yaitu dari sistem pembuktikan yang konvensional
menjadi sistem pembuktian terbalik. Tulisan ini disusun dengan metode penulisan
yuridis normatif yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan baik
yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/
buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan
dengan sistem pembuktian terbalik. Kemudian hasilnya yang berupa aspek yuridis
dituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini
merupakan jawaban atas masalah-masalah yang timbul di atas, yaitu : Bahwa
tindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi. Sehingga,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 belum efektif dalam memberantas
tindak pidana korupsi.
Kata kunci: Korupsi, pembuktian terbalik, pembuktian terbalik terbatas.
Wiridinata, Wahyu
Reversal Burden of Proof on Corruption
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.
An article called Corruption and Reversal of Burden of Proof aim to answer the question
to what extent the effectiveness of the reversed burden of proof system as set out in
Indonesia, namely positive law as regulated in Law Number 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption. Then the next problem that arises is: whether the application of
reversed burden of proof in proving corruption crimes can prevent or reduce and even
eliminate corruption in Indonesia completely. This study departed from the theoretical
framework of the Roscoe Pound suggested as a means of updating the law: Law as a tool
of social engineering, law as a means of community renewal. This concept was launched
by Mochtar Kusumaatmadja and adapted to the conditions of Indonesia became law as
a means of community renewal. Renewal point is to renew the way society thinks of the
traditional ways of thinking to the modern way of thinking. Laws should be used as a
means to solve all the problems that exist in society, including the issue of corruption.
One of the things that should be renewed is a system of legal proof, that of the conven-
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
tional system is proving to be reversed burden of proof systems. This paper prepared by
the method of writing is to study the normative juridical laws and regulations that exist
both in the statute itself and that there is in the literature / science books of law, in
particular legislation relating to the verification system upside down. Then the results in
the form set out in the form of juridical aspects of descriptive analysis. The conclusions
of this paper is a response to the problems that arise in the above, namely: That the
criminal acts of corruption in Indonesia is still happening. Thus, Law No. 31 of 1999
Section 37 has not been effective in eradicating corruption.
Keywords: Corruption, reversed burden of proof, reverse proof is limited
TANGGUNG JAWAB NEGARA
DALAM PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL
(RESPONSIBILITY STATE IN THE IMPLEMENTATION
OF SOSIAL SECURITY)
Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum* dan Eka N. A. M. Sihombing, SH,
M.Hum**
(Naskah diterima 05/06/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Kegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar dan hal
itu akan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidak secara parsial.
Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasi diharapkan dapat menjamin
terciptanya suatu mekanisme yang efektif dan efisien sehingga mampu
menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Kata kunci: jaminan sosial, parsial.
Abstract
Operations of social security law based on a large scale it will be effective if its
implementation would not be partially conducted. The implementation of an integrated
social security is expected to ensure the creation of an effective and efficient
mechanism so being able to reach all walks of society.
Keyword: social security, partially.
A.
Pendahuluan
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya
mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dalam sila kelima
Pancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menekankan bahwa prinsip keadilan sosial
mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan
kesejahteraan sosial.1 Namun demikian, amanat konstitusi tersebut
*
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dan Alumni S2
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
* *
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
1
Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara, ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan, ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak, dan ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal
ini diatur dalam undang-undang.
163
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
belum dipraktikkan secara konsekuen, baik pada masa Orde Baru
maupun era reformasi, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas
wacana dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sebagai salah satu
pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang mendapat
perhatian cukup memadai dari pemerintah sehingga dari waktu ke waktu
pembangunan bidang sosial ekonomi mengalami banyak kemajuan yang
pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian pada gilirannya pula kesejahteraan tersebut dapat
dijangkau dan dapat dinikmati secara adil, berkelanjutan, merata bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu bentuk pembangunan sosial ekonomi menjadi dinamika
tersendiri dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia karena dalam
praktiknya masih banyak mengalami tantangan dan tuntutan yang harus
dipecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya seperti dimaksud
dalam Pasal 28H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2) yang
menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan matabat kemanusiaan”. Lebih lanjut Sistem
Jaminan Sosial juga diatur dan dijamin dalam deklarasi umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang
dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, dan juga ditegaskan
dalam konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 102 Tahun
1952 yang pada intinya menganjurkan semua negara untuk
memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.
Selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam TAP MPR
Nomor X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden untuk membentuk
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan
perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia yang menyeluruh
dan terpadu dan sebagai tindak lanjutnya dikeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 20 Tahun 2002 tentang pembentukan Tim Sistem
Jaminan Sosial Nasional. SJSN pada dasarnya merupakan program
pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian atas perlindungan
164
Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui
program SJSN diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidup yang layak yang sewaktu-waktu dapat hilang atau berkurang
antara lain karena berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit,
mengalami kecelakaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), habis
masa bekerja (pensiun) maupun karena memasuki usia lanjut.
SJSN seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan
berdasarkan pada prinsip-prinsip2:
1.
Prinsip kegotong-royongan, prinsip ini diwujudkan dalam
mekanisme gotong-royong dari peserta yang mampu kepada peserta
yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh
rakyat, peserta yang beresiko rendah membantu yang beresiko
tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip
kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Prinsip nirlaba, bahwa pengelolaan dana amanat tidak
dimaksudkan untuk mencari keuntungan bagi badan
penyelenggara jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesarbesarnya kepentingan peserta.
3.
Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektifitas, prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan
mendasari seluruh kegiatan pegelolaan dana yang berasal dari
iuran peserta dan dari hasil pengembangannya.
4.
Prinsip kehati-hatian, pengelolaan dana secara cermat, teliti,
aman dan tertib.
5.
Prinsip akuntabilitas, pelaksanaan program dan pengelolaan
keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
6.
Prinsip Portabilitas, bahwa jaminan sosial yang dimaksud untuk
memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta
berpindah pekerjaan atau tempat tinggal, tetapi masih dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertambah majunya
pertumbuhan ekonomi lebih lancarnya transportasi nusantara dan
meluasnya usaha-usaha pemerintah maupun sektor swasta di
seluruh nusantara menyebabkan penduduk akan lebih sering
berpindah-pindah.
2
Pasal 4, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
165
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
7.
Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh
rakyat Indonesia menjadi peserta walaupun dalam penerapannya
tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan
program. Peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal dan
pekerja pada sektor informal yang dapat menjadi peserta acara
sukarela.
8.
Prinsip dana amanat, bahwa dana yang terkumpul dari iuran
peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara
untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana
tersebut untuk kesejahteraan peserta.
9.
Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional bahwa hasil
berupa deviden dari para pemegang saham dikembalikan untuk
kepentingan peserta jaminan sosial.
Dengan demikian tampak jelas bahwa dengan hadirnya UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dimaksudkan untuk memberikan jaminan dasar yang layak bagi seluruh
masyarakat karena itu menjadi kewajiban konstitusional pemerintah
terhadap rakyatnya yang harus dikelola langsung oleh pemerintah agar
terciptanya suatu pemerataan dan keadilan di seluruh Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
B.
Konsep Negara Hukum
Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan konstitusionalisme
terhadap sistem kekuasaan yang absolut. Negara Hukum dalam
kepustakaan Indonesia sering diterjemahkan rechtsstaat atau the rule
of law. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak Abad XIX,
meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada.3 Sedangkan paham
the rule of law populer setelah diterbitkan buku Albert Venn Dicey pada
tahun 1885, dengan judul Introduction to Study of the Law of the Constitution.4 Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yang
sifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum kontinental
yang disebut civil law. Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam
perkembangannya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuan
yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.5
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsipprinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, , 1987), hlm.72.
4
Ibid.
5
Ibid.
3
166
Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Dalam karyanya tersebut di atas, Albert Venn Dicey mengemukakan
tiga unsur utama negara hukum (the rule of law), yaitu, (a) supremacy of
law; (b) equality before the law; dan (c) constitution based on individual rights.6
Meskipun ada perbedaan latar belakang paham rechtsstaat dan the rule
of law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran istilah negara
hukum atau dalam istilah UUD 1945 “negara berdasarkan atas hukum”
tidak lepas dari pengaruh kedua konsep tersebut.7 Konsep negara hukum
atau negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat atau the rule of law),
yang mengandung prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan
(pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang
merdeka, semuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara atau
pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang atau
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam negara berkedaulatan rakyat dan
berdasarkan hukum (negara hukum demokratis), 8 terkandung
pengertian bahwa kekuasaan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pula
menyatakan bahwa hukum adalah supreme dibanding semua alat
kekuasaan yang ada.9 Dengan kata lain, negara yang menempatkan
hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan
hukum10, tidak dengan kekuasaan sewenang-wenang.
6
Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta: UI
Press, 1997), hlm. 39.
7
Ahli-ahli hukum lain juga menekankan bahwa konsep negara hukum bertujuan untuk perlindungan
hak asasi manusia, ahli hukum tersebut diantaranya : Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche
Ansfangsgrunde der rechtslehre, mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakan
paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat
perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Kant ini terkenal dengan sebutan
nachtwakerstaat atau nachtwachterstaat. Lihat dalam Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), hlm. 73-74. Selanjutnya, Frederich Julius Stahl dalam bukunya Philosophie des
Rechts yang menganut paham negara hukum kesejahteraan dan kemakmuran (welvaarstaat dan
verzorgingstaat) menyebutkan bahwa unsur-unsur utama dari negara hukum adalah, (a) Mengakui dan
melindungi hak-hak asasi manusia; (b) Penyelenggaraan negara harus berdasrkan pada teori trias
politika; (c) Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang
(wetmatigbestuur); dan (d) Adanya peradilan administrasi negara. Lihat dalam, Padmo Wahjono,
Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta : In-Hill Co, 1989), hlm. 151.
8
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1993), hlm. 128.
9
Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara
di Indonesia, makalah Dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta, 1994,
hlm.8.
10
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundangundangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 8
167
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem kapitalisme dalam bidang
perekonomian secara perlahan-lahan menyebabkan terjadinya
kepincangan-kepincangan dalam pembagian sumber-sumber
kemakmuran bersama.11 Akibatnya, terjadi proses kemiskinan yang
sulit dipecahkan. Hal ini menimbulkan munculnya suatu pemikiran
baru, yang menghendaki agar keterlibatan negara untuk mengatasi
kepincangan-kepincangan yang ada dihidupkan kembali. Negara
dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu campur tangan
untuk mengatur agar sumber-sumber kemakmuran tidak dikuasai oleh
segelintir orang.12 Sehingga untuk itu, pada permulaan abad ke- 20 peran
negara sebagai penjaga malam (nachwachterstaat), berubah menjadi
negara kesejahteraan (welvaart staat atau welfare state). Pada mulanya
paham ini lebih dipelopori oleh aliran sosialisme yang menentang paham
individualisme, liberalism, dan kapitalisme. Konsep welfare state
berkembang di negara-negara Eropa, bahkan meluas hampir ke seluruh
negara-negara di dunia. Pengertian konsep welfare state secara umum
sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-XIV dan XV, dimulai dari proses
perkembangan politzei staat (welfare state klasik), liberale staat, kemudian
welfare state modern (akhir abad ke- XIX dan XX).
Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Negara hukum adalah negara yang di dalam penyelenggaraannya
berdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh
penguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut serta
secara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state),13 atau
dikenal dengan nama negara kesejahteraan yang kemudian dikenal
dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat (negara
hukum sosial). Dalam pengertian modern, pemerintah dituntut untuk
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Persamaan di muka hukum, perlindungan hukum, dan asas
legalitas bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintah
bertindak sewenang-wenang. Perbuatan atau tindakan negara atau
pemerintah tidak boleh melampaui atau melanggar hak asasi, tidak
boleh menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tidak mendapat
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Cet. I, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 222.
Ibid.
13
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 22-23.
11
12
168
Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
perlindungan hukum sebagaimana mestinya, tidak boleh membedabedakan orang karena alasan-alasan yang tidak sah dan semua
perbuatan atau tindakan-tindakan pemerintah harus berdasarkan pada
ketentuan hukum yang berlaku. Konsep kerakyatan tidak dapat
dipisahkan dari konsep negara hukum. Begitu pula sebaliknya sehingga
suatu negara semacam ini disebut “negara hukum demokratis”.14
C.
Jaminan Sosial Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Filosofi jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
berakar pada sistem kapitalisme karena jaminan sosial diterjemahkan
sebagai strategi penyediaan cadangan dana mengatasi resiko ekonomi
yang timbul secara sistemik dalam siklus ekonomi kapitalisme (krisis).15
Sejarah pembentukan sistem jaminan sosial mengacu pada kaidah
internasional dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandemen
terhadap UUD 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagai
metode yang harus dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi
Indonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) yang menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”,
kemudian Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negera Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pelaksanaan kedua pasal tersebut dapat memenuhi amanat Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (1)
berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”. Pasalpasal inilah yang secara material menjadi alasan konstitusional di bidang
Jaminan Sosial, yang menegaskan bahwa jaminan sosial (social
security) merupakan “hak” (right) bukan merupakan “hak istimewa”
(privilege), karena16: “Privilege is a particular benefit or advantage enjoyed
Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah……., Loc.Cit.
Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, Free Trade Watch Edisi Desember
2011.
16
Henry Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi VI, (USA: West Publishing,
1990), hlm. 1197.
14
15
169
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
by a person, company,or class beyond the common advantages of other
citizen. An exceptional or extraordinary power or exemptions. A peculiar right,
advantage, exception, power, franchise, or immunity held by a person or class,
not generally possessed by others”.
Konsep ini diakomodasi dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Pasal 14 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional menyatakan “Pemerintah secara bertahap
mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial”. Kemudian Pasal 14 ayat (2) berbunyi
“Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
fakir miskin dan orang tidak mampu”. Kemudian Pasal 17 ayat (4)
menyebutkan bahwa “Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin
dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah”.
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa “Asuransi
kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negara
yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan
mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya”. Ayat selanjutnya
menyatakan “Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah”.
Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa urusan sosial masuk
dalam urusan Pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila
diteliti lebih lanjut, sebenarnya Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional ini justru mendasari pemikirannya
berdasarkan Pasal 34 ayat (3) hasil amandemen yang ditambahkan
(fasilitas) “sosial” dan “lainnya” untuk lebih menegaskan unsur-unsur
yang menjadi tanggung jawab negara, bukan pada Pasal 34 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan ini didasarkan kepada kebutuhan meningkatkan jaminan
konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan
sosial. Adanya ketentuan mengenai kesejahteraan sosial yang jauh lebih
lengkap dibanding sebelum perubahan, merupakan bagian upaya
mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state)
sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan. Di dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuk
lebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan dalam Pembukaan
170
Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Undang Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 ke dalam realita.
Selanjutnya, negara Indonesia menganut paham sebagai negara
kesejahteraan, 17 berarti terdapat tanggung jawab negara untuk
mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan
serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik
melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.
Konsep jaminan sosial18 dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang
kesejahteraan sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalam
mengatasi keterbelakangan, ketergantungan, ketelantaran, dan
kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal di
Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dan
sifat ego sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalam
jaminan sosial. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup
deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan
(welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuah
konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa
setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini SJSN belum dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang mengemuka
selama ini adalah tidak adanya validitas data masyarakat di Indonesia,
contohnya terdapat perbedaan data masyarakat miskin versi Badan Pusat
17
Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged edition (Dacca: Lutfor
Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road, 1971), hlm. 89. “… The Social Welfare Theory of
Rights: The advocate of the social welfare theory hold that rights are conditions of social welfare. They
are creations of society, and therefore law, customs, traditions and the natural rights “should all yield
to what is socially useful or socially desireble.” The ultiratians, Bentham and Mill are the real exponents
of the social welfare theory of rights. They set up the principle of the greatest happiness of the greatest
number, and made it the criterion of utility. But, utility, they believed should be determined by consideration of reason and experience. The social welfare theory of rights has much to commend. But one cannot
say what social welfare actually means. Does it mean the greatest happiness of the greatest number to
be common good? In fact, much political wrong has been done, during recent time, to the individuality of
man in the name of social goods.”
18
Dalam Arikel 25 Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan: “everyone shall, ‘as a member
of society’, have the right to social security. Kemudian dilanjutkan pada ayat (1) “refers to the right to
security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or lack of livelihood in
circumstances beyond one’s control. Kemudian dalam Artikel 9 International Convenant on Economic,
Social, and Cultural Rights provides for the right of everyone to ‘social security, including social insurance’. Kemudian dalam Artikel 10 disebutkan, which deals with protection of the family, mentions social
security benefits during maternity leave. The Brief text of Article 9 of the International Convenant on
Economic Social, and Cultural Rights must be seen againts the background of the much more developed
ILO standards. The principal ILO instrument in the field of social security is the Social Security (Minimum
Standards) Convention of 1952. This menu type Convention is stuctured around nine specific branches
of social security: (1) medical care, (2) sickness benefit, (3) unemployment benefit, (4) old-age benefit, (5)
employment injury benefit, (6) family benefit, (7) maternity benefit, (8) invalidity benefit, (9) survivor’s
benefit.
171
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Statistik (BPS) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sehingga berdampak
pada ketidakakuratan data kepesertaan penerima jaminan sosial itu
sendiri dan berpotensi melanggar hak-hak setiap warga negara untuk
mendapatkan jaminan sosial yang diamanatkan dalam konstitusi.
D.
Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam
amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya,
meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945
mengalami banyak perubahan, konsepsi tujuan negara tersebut tetap
dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan
negara dan bangsa Indonesia.19 Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan
hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca
amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang
tampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala
hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of
Human Rights 1948. 20
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab
negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana
terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,
dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya,
merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang
harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk
melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.21
SJSN merupakan program negara yang bertujuan memberikan
kepastian perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam
R.Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20, No. I Januari 2005,
hlm. 9.
Ibid.
21
Ibid.
19
20
172
Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,
Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional
dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang
lebih menyeluruh dan terpadu.22
E.
Kesimpulan
Kegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar
dan hal itu akan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidak
secara parsial. Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasi
diharapkan dapat menjamin terciptanya suatu mekanisme yang efektif
dan efisien sehingga mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Secara universal, penyelenggaraan sistem jaminan sosial pada
prinsipnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan dalil
suatu penyelenggaraan untuk satu negara karena jaminan sosial
sebagai supra sistem untuk pengikat berdirinya sebuah negara.
Daftar Pustaka
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia yang
Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsurunsurnya, Jakarta: UI Press, 1997.
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung:
Alumni, 1982.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung: Alumni, 1993.
Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan
Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, makalah Dalam Kuliah
Umum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta,
1994.
22
Lihat juga dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
173
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged
Edition, Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das
Road, 1971.
Henry Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi
VI, USA: West Publishing, 1990.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 1994.
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co,
1989.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah
Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan
Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol.
20. No. I Januari 2005.
Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, Free
Trade Watch Edisi Desember 2011.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
174
HADIRNYA NEGARA DI TENGAH RAKYATNYA
PASCA LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011
TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
(THE PRESENCE OF THE STATE AMONG PEOPLE AFTER THE
DECLARATION OF LAW NUMBER 24 YEAR 2011 CONCERNING
SOCIAL SECURITY ADMINISTERING AGENCY)
Ahmad Nizar Shihab*
(Naskah diterima 29/05/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Jaminan sosial telah dilaksanakan sebagian negara di dunia. Di Indonesia,
jaminan sosial merupakan amanat konstitusi. Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam batang tubuh yaitu
Pasal 28 (3) dan Pasal 34 (1) memberikan jaminan bagi seluruh masyarakat
untuk mendapatkan jaminan sosial. Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan
jaminan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hingga akhirnya pada tahun
2004 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang SJSN memberikan pertimbangan utama
untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindak lanjut amanat konstitusi tersebut adalah disahkannya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Undang-Undang ini mengatur tentang Badan Penyelenggara yang akan
melaksanakan jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang SJSN. Undang-Undang ini mengamanatkan adanya transformasi badan
penyelenggara dari badan penyelenggara yang telah ada saat ini untuk menjadi
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kata kunci: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Jaminan Sosial,
Transformasi.
Abstract
Social security has been implemented in some countries in the world. In Indonesia,
social security is a constitutional mandate. Preamble to the Constitution of the Republic
of Indonesia Year 1945 and in the body of the Article 28 (3) and Article 34 (1) provide
a guarantee for the whole community to get social security. Article 28 Paragraph (3)
and Article 34 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year
1945 also provide social welfare for the community. Until finally in 2004 issued the
Law Number 40 Year 2004 on National Social Security System (SJSN). National Social
Security Act gives primary consideration to provide a comprehensive social security
for all people of Indonesia. The follow-up of the constitutional mandate is by
declared Law Number 24 Year 2011 on Social Security Administering Agency (BPJS).
This Law regulates the Operating Body that will carry out social security, as
*
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Tahun 2009-2012.
175
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
mandated in the National Social Security Act. This Act mandates the existing agency
organizing transformation of body organizers today to be Health Social Security
Administering Agency (BPJS), and Labor Social Security Administering Agency (BPJS).
Key words: Social Security Administering Agency, Social Security, Transformation.
A.
Pendahuluan
Jaminan sosial telah dilaksanakan sebagian negara di dunia.
Dilihat dari perspektif sejarah, sistem jaminan sosial yang bersifat luas
diciptakan pertama kali oleh Pemerintah Jerman di bawah Kanselir
Bismarck. Pada tahun 1883 Bismarck memulai program jaminan sosial
dengan memberikan jaminan kesehatan pada kelompok tenaga kerja
tertentu sesuai dengan kebutuhan industrialisasi waktu tersebut.
Berbagai asuransi tersebut wajib diikuti oleh para pekerja, dan dibiayai
dengan iuran dari para pekerja sendiri dan pemberi kerjanya
(Kertonegoro, 1982). Pekerja dan pemberi kerja bergotong royong
membiayai program jaminan sosial melalui mekanisme asuransi sosial.
Dalam beberapa dekade selanjutnya jaminan sosial di Jerman
mengalami perkembangan. Pada masa demokratik Weimar (1918-1933),
jaminan sosial terus berkembang. Pada saat dimulainya negara federal
republik Jerman pada 1949, ekonomi Jerman memperlihatkan
peningkatkan kemampuan basis ekonomi setelah jaminan sosial
memberikan stabilitas dan memberi kesempatan untuk memperluas
manfaat yang diperoleh.
Meski sejarah jaminan sosial pada awalnya dimulai di Jerman tetapi
istilah “Jaminan Sosial (Social Security)” sendiri pertama kali digunakan
secara resmi dalam suatu undang-undang di Amerika Serikat, yaitu
Undang-Undang Jaminan Sosial tahun 1935. Undang-Undang ini
memulai program untuk menanggulangi risiko hari tua, kematian, dan
cacat, serta kemudian juga memberikan asuransi kesehatan (DeWitt,
2010). Ada banyak pendapat mengenai asal mula atau penggunaan
pertama kali istilah “jaminan sosial”. Yang paling sering disebut adalah
undang-undang Jaminan Sosial tahun 1935, yang berlaku di Amerika
Serikat, meski undang-undang ini hanya mencakup jaminan sosial
untuk masa tua dan tunjangan bagi para pekerja.
Apa yang diperkenalkan Otto von Bismarck dan Amerika itu dewasa
ini telah berkembang di seluruh dunia, dengan modifikasi sesuai
kebutuhan masing-masing negara (Anuwat, 1996; Anong, 1993, Liu,
2001), misalnya Jepang 1922 dan kemudian negara-negara Asia lainnya,
Philiphina, Korea, Taiwan dan lain-lain. Kelebihan sistem ini adalah
memungkinkan cakupan untuk seluruh penduduk.
176
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) memberikan jaminan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Pada tahun 2004 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
nasional (SJSN). UU SJSN memberikan jaminan sosial yang menyeluruh
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tindak lanjut amanat konstitusi tersebut adalah disahkannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Undang-undang ini mengatur tentang Badan
Penyelenggara yang akan melaksanakan jaminan sosial sebagaimana
diamanatkan dalam UU SJSN. Undang-undang ini mengamanatkan
transformasi badan penyelenggara dari badan penyelenggara yang telah
ada saat ini untuk menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan akan mulai operasional pada 1 Januari 2014 dan BPJS
Ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli 2015. BPJS Kesehatan akan
memberikan jaminan kesehatan sementara BPJS Ketenagakerjaan
memberikan jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari
tua, dan jaminan kematian.
Jaminan sosial penting bagi masyarakat karena setiap individu
memiliki resiko mengalami kerentanan sosial. Resiko sosial misalnya
sakit, kecelakaan, kematian, pemutusan hubungan kerja, dan lainnya
dapat dialami oleh semua masyarakat baik kaya maupun miskin.
Dengan demikian adanya jaminan sosial merupakan harapan bagi
masyarakat.
Untuk menghadapi operasionalisasi jaminan sosial yang
menyeluruh melalui BPJS, maka diperlukan pemahaman yang sama
dari seluruh masyarakat. Sejumlah instansi gencar melakukan
sosialisasi saat ini. PT Askes (persero) melaksanakan sosialisasi di
berbagai tempat baik di kalangan akademisi, kampus, maupun di
masyarakat (Kabupaten Majene, 2012; Universitas Indonesia, 2012).
PT Jamsostek (persero) telah melakukan serangkaian seminar
sosialisasi BPJS yang bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat,
pemerintah, maupun badan penyelenggara lainnya. Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) menggelar sosialisasi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)
kepada pemerintah Kabupaten/Kota DIY, DPRD dan Direktur Rumah
Sakit di DIY di Gedung Pracimasono Kepatihan Jogja pada 10 Mei 2012
(Harian Jogja, 2012). Sementara itu Kementerian Kesehatan menggelar
sosialisasi Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Nusa
177
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Tenggara Barat untuk meningkatkan pemahaman aparatur pemerintah
setempat di bidang kesehatan (NTB terkini, 2012).
Meskipun sosialisasi telah dilaksanakan masih terdapat sikap
pesimisme dari masyarakat, padahal pelaksanaan jaminan sosial ini
sangat krusial bagi masyarakat. Disparitas pengetahuan masyarakat
menjadi satu hal yang menjadi pertimbangan dalam persiapan
pelaksanaan jaminan sosial. Pemahaman yang setara dari semua
masyarakat dapat memberikan jaminan kelancaran pelaksanaan
jaminan sosial. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka studi ini
berupaya untuk menyampaikan pemahaman tentang UU No 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
B.
Memahami Jaminan Sosial
Sebelum membahas lebih mendalam mengenai jaminan sosial di
Indonesia, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu perjalanan
jaminan sosial. Jaminan sosial merupakan satu bentuk sistem
perlindungan sosial. Rys (2011) menyatakan perlindungan sosial
lazimnya dipahami sebagai intervensi terpadu oleh berbagai pihak untuk
melindungi individu, keluarga, atau komunitas dari berbagai resiko
kehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi, atau untuk mengatasi
berbagai dampak guncangan ekonomi, atau untuk memberikan
dukungan bagi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Sistem
perlindungan sosial yang bersifat formal dapat dikelompokkan dalam
beberapa bentuk yaitu (i) bantuan sosial (social assistance), (ii) tabungan
hari tua (provident fund), (iii) asuransi sosial (social assurance), (iv)
tanggung jawab pemberi kerja (employer’s liability) (Kertonegoro, 1982).
Setiap negara biasanya menggunakan satu atau beberapa bentuk
perlindungan sosial tersebut.
Spicker (1995) dan MHLW (1999) dalam Nurhadi (2007) memberi
batasan dan penjelasan mengenai jaminan sosial sebagai berikut:
“The term “social security” is mainly now related to financial assistance but the general sense of term is much wider, and it is still used in many
countries to refer to provisions for health care as well as income. Although
the benefits if security are not themselves material, they do have monetary
value, people in Britain. Where there is National Health Service, are receiving
support which people in the US have to pay throught private insurance of
Health Maintenace Organization” (Spicker, 1995)”Social security systems
mean the systems to enable every citizen to lead worthly life as member of
cultured society. Social security systems provide countermeasures againts
178
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
the causes for needy circumstances including illnes, injury, childbirth,
disablement, death old age, unemployemnet and having a lot of children by
implementing economic security measures through insurance or by direct
public spending”, (MHLW, 1992)
Berdasarkan pemaparan di atas, batasan jaminan sosial adalah
bantuan untuk menjawab permasalahan sakit, kecelakaan, kelahiran,
ketidakmampuan, kesehatan, kematian, tidak adanya pekerjaan yang
dilakukan melalui asuransi atau direct public spending (Spicker, 1995;
MHLW, 1999). Dalam pelaksanaannya, jaminan sosial tidak hanya
memiliki batasan bidang yang dijamin, tetapi juga memiliki program,
jenis, metode, pembiayaan, jangka waktu, kepesertaan yang berbedabeda sehingga membutuhkan keterpaduan. Berdasarkan programnya,
jaminan sosial dapat dibedakan antara lain dalam pemeliharaan
kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, kematian, jaminan pengangguran
dan tunjangan keluarga.
Selain itu, kita dapat memahami jaminan sosial dengan merunut
perkembangan dari masa ke masa di beberapa negara tentang jaminan
sosialnya. Sejarah jaminan sosial memperlihatkan bahwa untuk
menerapkan sebuah rencana besar dan strategik tidak cukup hanya
memiliki sarana dan teknik penerapan yang tepat tapi yang terpenting
adalah tekad politik dari pemerintah tersebut. Pemikiran tentang teknik
asuransi sosial mulai dikenal di akhir abad ke 17, tetapi hanya Kanselir
Bismarck yang berhasil membuat skema yang diadopsi beberapa tahun
kemudian. Pelajaran penting lainnya dari sejarah memperlihatkan
bahwa pada dasarnya skema jaminan sosial muncul pada saat rasa
solidaritas nasional begitu tebal akibat pengalaman yang mengancam
keberadaan individu, seperti perang atau krisis ekonomi atau politik
yang berat.
C.
Urgensi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pada dasarnya terdapat dua aspek yang mendorong diperlukannya
undang-undang yang mengatur tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Pertama, amanat konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa cita-cita
luhur bangsa adalah menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pancasila
mengamanatkan kesejahteraan bagi masayarakat dalam sila kelima
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 juga memiliki beberapa pasal yang menjadi
landasan diperlukannya undang-undang yang mengatur tentang Badan
179
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 28 H ayat (1) secara langsung
mengatakan bahwa jaminan sosial menjadi hak setiap manusia. Pada
pasal 34 ayat (1) kembali disebutkan landasan konstitusional
diperlukannya sistem jaminan sosial.
“Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
(Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945)
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
martabat kemanusiaan.” (Pasal 34 ayat (1) UUD 1945)
Landasan konstitusional selanjutnya yaitu Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan latar
belakang untuk membangun sistem yang komprehensif dan memberi
“rasa aman” (security) yang lebih luas, pada masa Presiden Megawati
Sukarnoputri lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada awalnya krisis ekonomi
tahun 1998 Indonesia diprediksi akan paling lambat “recovery-nya”
karena belum memiliki program Jaminan Sosial. Oleh karena itu
Sistem Jaminan Sosial ini dipersiapkan sejak 2002 dengan Keputusan
Presiden Nomor 20 Tahun 2002 yang membentuk tim Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang diketuai oleh almarhumah Prof. Yaumil Agus Achir,
yang pada waktu itu bertugas sebagai Deputi Wakil Presiden untuk
Kesejahteraan Sosial. Setelah Prof Yaumil Achir wafat, Dr. Sulastomo
MPH, AAK ditugasi menjadi ketua Tim SJSN dengan Keputusan Presiden
Nomor 110 Tahun 2003 (Sulastomo, 2011, Sulastomo, 2008).
UU SJSN (yang diundangkan tanggal 19 oktober 2004),
mengamanatkan agar dalam kurun 5 tahun sudah terbentuk Badan
Pengelola Jaminan Sosial melalui Undang Undang. Pada tanggal 28
Oktober 2011 DPR RI dan Pemerintah sepakat mengesahkan undangundang badan penyelenggara jaminan sosial yang ditandatangani oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 25 November 2011.
Sementara itu, ditinjau dari komitmen internasional, terdapat
beberapa landasan komitmen yang menjadi dasar untuk
mengimplementasikan jaminan sosial. Universal Declaration of Human
Rights (1948), memuat hak-hak yang terdapat di dalam hak dasar manusia
sebagai standar dasar yang harus dimiliki setiap individu –”as a common standard of achievement for all peoples and all nations”. Pasal 22-25
180
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
United Nations on Universal Declaration of Human Rights menyatakan
bahwa setiap warga negara di dunia ini berhak atas jaminan kesehatan,
pekerjaan yang ditindaklanjuti dengan penghasilan yang layak dan
jaminan sosial.
Konvensi ILO Nomor 102/1952 juga menyatakan bahwa setiap
negara wajib menyelenggarakan sembilan cabang jaminan sosial yaitu
kecelakaan kerja, sakit-rikkes, persalinan, cacat, kematian dini,
pengangguran, hari tua, cacat permanen, dan perlindungan keluarga.
Kemudian pada tahun 1976 dikeluarkan International Convenant on
Economic, Social, and Cultural Rights dan International Convenant on Civil
and Political Rights atas persetujuan Majelis Umum PBB (Arinanto, 2003:
77). Konstitusi Internasional Social Security Association (ISSA) 1998
menyatakan bahwa setiap negara wajibk menyelenggarakan asuransi
sosial, bantuan sosial dan skema proteksi lain yang terkoordinasi untuk
mencegah kemiskinan (Purwoko, 2011). Dengan demikian baik dalam
konstitusi negara kita maupun komitmen internasional terdapat latar
belakang konstitusional yang mendorong pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial untuk melaksanakan jaminan sosial di
Indonesia.
Kedua, aspek kebutuhan rakyat. Jaminan sosial merupakan
kebutuhan bagi masyarakat. Jaminan sosial dibutuhkan secara
menyeluruh dan tidak terfragmetasi. Aksesabilitas masyarakat yang
berbeda karena perbedaan kemampuan ekonomi, letak geografis, dan
perbedaan ketersediaan fasilitas, mendorong perlunya jaminan yang
sama bagi setiap individu. Jaminan ini dibutuhkan karena setiap
individu memiliki kemungkinan masuk dalam kategori masyarakat
rentan dalam menghadapi resiko sosial dalam hidupnya.
Struktur penduduk Indonesia yang sudah mulai memasuki tahap
penduduk tua (ageing population) mengharuskan perlunya dibuat sistem
jaminan sosial sejak awal. Jika proporsi penduduk lanjut usia sudah
makin besar, biaya yang diperlukan untuk menghadapi resiko sosial
dalam hidupnya akan makin besar. Jika jaminan sosial dengan skema
asuransi sosial yang dipadukan dengan skema bantuan sosial sudah
berjalan, kendala tersebut akan lebih mudah diatasi.
Berbagai negara telah mengimplementasikan jaminan sosial
sebagai skema untuk mengatasi hal tersebut. Kondisi jaminan sosial di
Indonesia saat ini masih dianggap belum memenuhi amanah konstitusi
secara sempurna, karena itu Indonesia memerlukan undang-undang
yang menjamin jaminan sosial. Atas dasar kebutuhan ini disahkan
181
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai
penyelenggara jaminan sosial di Indonesia. Dengan terbentuknya
undang-undang ini diharapkan kita akan mampu menyelenggarakan
jaminan sosial dengan pendekatan sistem yang berlaku secara nasional
dan komprehensif berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan
sosial.
D.
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
pada November 2011 menjadi satu bekal menuju sistem jaminan sosial
bagi masyarakat Indonesia. Undang-undang tersebut mengamanatkan
transformasi empat badan penyelenggara yaitu PT Askes (persero)
menjadi BPJS Kesehatan pada Januari 2014, PT Jamsostek (persero)
bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli
2012, sedangkan untuk PT Asabri dan PT Taspen bertransformasi paling
lambat 2029 melalui Peraturan Pemerintah.
Dua BPJS ini memiliki amanah yang berbeda. BPJS Kesehatan
akan memberikan jaminan kesehatan. Sementara BPJS
Ketenagakerjaan akan memberikan jaminan pensiun, jaminan hari tua,
jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. BPJS adalah badan
hukum publik dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BPJS
berkedudukan dan berkantor pusat di Ibukota Negara dengan
kemungkinan untuk mendirikan kantor perwakilan di Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
Demi memenuhi amanat tersebut maka perlu ada transformasi
badan penyelenggara. Transformasi BPJS dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Gambar Tahapan Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
182
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
Hasil rumusan pansus RUU BPJS menyatakan beberapa prasyarat
dalam transformasi tersebut, antara lain:
1.
Tidak boleh ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak boleh
ada penghilangan hak-hak normatif dari karyawan keempat BUMN.
2.
Tidak boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program di
empat BUMN.
3.
Tidak boleh ada program terhadap peserta lama yang stagnan atau
terhenti. Pelayanan terhadap peserta lama tidak boleh terhenti.
4.
Satu peserta hanya membayar satu kali untuk setiap program.
5.
Ada batasan waktu transformasi berupa program, peserta, aset dan
lembaga.
6.
Pemerintah diamanatkan untuk menyelesaikan seluruh peraturan
pelaksanan yang diperlukan terkait transformasi empat BUMN
dengan batasan waktu paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan.
7.
Ada kepastian dalam investasi empat BUMN yang saat ini sedang
berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8.
Proses pengalihan asset dari 4 BUMN kepada asset BPJS dan asset
dana jaminan sosial dilakukan dengan prinsip ke hati-hatian.
Tahapan tranformasi tersebut akan dilaksanakan oleh DJSN dan
kementerian terkait, penyusunan PP/Perpres akan dikoordinasikan
oleh tiga istansi yaitu Kementerian Kesehatan, Kemenakertrans, dan
DJSN. Kementerian Kesehatan akan dikoordinasikan oleh Wakil
Menteri Kementerian Kesehatan serta Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dikoordinasikan oleh Sekjen Kemenakertrans. Badan
penyelenggara akan secara proaktif berkoordinasi dengan institusi
tersebut (serta institusi terkait lainnya) untuk memberikan masukan
teknis dalam proses penyusunan PP/Perpres.
Transformasi BPJS memerlukan harmonisasi undang-undang.
Diperlukan perubahan / harmonisasi atas beberapa peraturan
perundang-undangan antara lain:
1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai
dan Pensiun Janda/ Duda pegawai.
2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan
Badan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi
Sosial Pegawai Negeri Sipil.
183
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Dana tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan
Iuran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan
Bagi Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun.
Proses transformasi badan penyelenggara jaminan sosial menjadi
transformasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Transformasi menuju BPJS Kesehatan
Jaminan kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
menjadi prioritas pertama dalam implementasi yaitu akan dilaksanakan
pada 1 Januari 2014. Implementasi jaminan kesehatan ini
mensyaratkan adanya transformasi dari PT Askes (persero) menjadi
BPJS Kesehatan. Dalam prosesnya, jaminan kesehatan yang menjadi
bagian dari badan penyelenggara lain akan dipindahkan menjadi bagian
tugas BPJS Kesehatan misalnya Jamkesmas oleh Kementerian
Kesehatan dan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
PT Jamsostek (persero).
2.
Transformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan
Dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam rangka operasionalisasi
BPJS Ketenagakerjaan. Proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama
karena banyak peraturan perundang-undangan yang perlu disinkronisasi
dan diharmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih. Perlu dilakukan
sinkronisasi iuran dan manfaat untuk menghindari terjadinya
pembiayaan untuk pembayaran manfaat yang fungsinya sejenis atau
sama. Misalnya, uang perhargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan jaminan pensiun menurut
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Perlu waktu yang cukup bagi
pemberi kerja yang telah memiliki program pensiun, terutama yang
berjenis program pensiun iuran pasti, untuk melakukan koordinasi iuran
dan manfaat, mengingat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
mengisyaratkan penyelenggaraan program jaminan pensiun dengan pola
program pensiun manfaat pasti. Konsensus mengenai besaran manfaat
pensiun dan besaran iuran jaminan hari tua juga membutuhkan waktu,
mengingat terdapat perbedaan kemampuan calon peserta yang berasal
dari kelompok pekerja penerima upah dan yang tidak menerima upah.
Besaran manfaat pensiun dan besaran iuran jaminan hari tua
184
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
merupakan persoalan lain yang membutuhkan pembahasan agar sesuai
dengan kemampuan masyarakat dan keuangan negara.
Adapun transformasi PT Taspen (persero) dan PT Asabri (persero)
akan diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah. “Ketentuan
mengenai tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT ASABRI
(Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua dan program
pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.” (Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 Pasal 66). Transformasi tersebut diikuti pengalihan peserta,
program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. Terkait
hal ini di dalam pasal 65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
disebutkan bahwa paling lambat PT Asabri dan PT Taspen menyusun
peta transformasi tersebut pada tahun 2014.
E.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 telah mengatur fungsi,
wewenang, dan kewajiban dari BPJS di Indonesia. Fungsi BPJS adalah
melakukan pendaftaran peserta, mengumpulkan iuran dari peserta atau
pemberi kerja, menerima bantuan iuran dari pemerintah untuk BPJS
Kesehatan, mengelola dana jaminan sosial, mengelola data peserta,
membayarkan manfaat dan atau memberikan pelayanan. Adapun
wewenang BPJS adalah menagih iuran, menempatkan investasi dana
jaminan sosial, melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan
peserta, mengasosiasikan atau menghentikan kontrak dengan provider
pelayanan, mengenakan sanksi administratif, dan melaporkan
ketidakpatuhan peserta pada instansi yang berwenang.
BPJS juga memiliki beberapa kewajiban, antara lain memberikan
nomor identitas tunggal, mengembangkan dana aset jaminan sosial,
memberikan informasi kepada peserta dan pemangku kepentingan,
memberikan pelayanan dan manfaat, memberikan informasi (hak/
kewajiban), memberikan cadangan teknis, dan melakukan perubahan
laporan program 6 bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN.
BPJS akan bertanggung jawab atas jaminan sosial dari pesertanya.
Cakupan peserta jaminan sosial oleh BPJS adalah setiap orang yang
telah membayar iuran, termasuk orang asing yang bekerja lebih dari
6 bulan. BPJS Kesehatan mengenal bantuan iuran sehingga memerlukan
peran pemerintah sebagai pihak yang mengalokasikan APBN untuk
185
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
memberikan subsidi kepada penduduk yang menerima bantuan iuran.
Transformasi menyebabkan perubahan dalam beberapa bidang.
Badan penyelenggara jaminan sosial tidak lagi berbentuk Badan Usaha
Milik Negara melainkan akan menjadi Badan Hukum Publik yang akan
bertanggungjawab kepada Presiden. Cakupan jaminan sosial juga akan
bersifat wajib dan lebih luas yakni BPJS Kesehatan wajib untuk seluruh
penduduk dan BPJS Ketenagakerjaan wajib untuk seluruh pekerja.
Sistem penyelenggaraan juga akan berubah yaitu perusahaan
melakukan administrasi dengan dua BPJS; tenaga kerja dilayani oleh
dua BPJS. Dalam hal program dan manfaat pun terdapat perubahan
misalnya jaminan pensiun juga ada untuk tenaga kerja swasta dan
informal serta jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk.
Pengimplementasian BPJS perlu dipersiapkan. Poin-poin mendasar
dalam berbagai bidang penting untuk ditingkatkan perfomanya secara
bersama-sama. Diperlukan kerjasama intensif dari semua stakeholder
dalam sembilan hal yaitu, pertama, adanya identitas tunggal; kedua,
penyesuaian aspek hukum dari peraturan perundangan-undangan;
ketiga proses penyesuaian dari Perusahaan Persero menjadi BPJS;
keempat perancangan manfaat setiap program jaminan SJSN serta
detail atas proyeksi fiskal jangka pendek dan jangka panjang untuk lima
program jaminan sosial SJSN; kelima perbaikan sistem penarikan
iuaran/premi/kontribusi dan sistem pengumpulan data; keenam
negosiasi kontrak dengan penyedia pelayanan kesehatan dan
pelaksanaan prosedur pengendalian kualitas; ketujuh penentuan
metodologi untuk mengidentifikasi dan memonitor masyarakat miskin
yang berhak memperoleh subsidi pemerintah; kedelapan pembentukan
sebuah kantor aktuaria negara untuk mengelola aspek keuangan dan
aspek menajemen resiko program SJSN; dan kesembilan sosialisasi
untuk menjelaskan skema asuransi sosial yang baru kepada
masyarakat, media massa dan parlemen.
Sebagaimana kita ketahui bahwa BPJS akan merupakan hasil
transformasi dari badan penyelenggara yang telah ada saat ini. Proses
transformasi mensyaratkan adanya kegiatan operasional lembaga yang
saat ini telah melaksanakan jaminan sosial tetap berjalan. Disebutkan
dalam Pasal 57 ayat (a) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011, PT Askes
(persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (perum) Husada
Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (persero), diakui keberadaannya
dan tetap melaksanakan program jaminan kesehatan, termasuk
186
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
menerima pendaftaran peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS
Kesehatan. Dalam Bab yang sama, Kementerian Kesehatan tetap
melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan
kesehatan masyarakat, termasuk penambahan peserta baru, sampai
BPJS kesehatan beroperasi.
Demikian pula, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tetap melaksanakan
kegiatan operasional penyelenggaraan program layanan kesehatan bagi
pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan
beroperasinya BPJS Kesehatan, kecuali untuk pelayanan kesehatan
tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Kemudian Perusahaan Perseroan (persero) PT Jaminan Sosial
Tenaga Kerja atau PT Jamsostek (persero) yang dibentuk dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, tetap melaksanakan tugas operasional penyelenggaraan sampai
dengan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Sementara itu PT Asabri (persero) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia menjadi perusahaan perseroan, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1966, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974, sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988,
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1968, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 67 Tahun 1991 tetap emlaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dan program pembayaran pension bagi pesertanya, sampai
dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
PT Taspen (persero), yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 1981 tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan
program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi
pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan
dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
187
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita pahami bahwa dalam
masa transformasi menuju BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan, badan penyelenggara yang saat ini telah ada tetap
melaksanakan tugas operasionalnya. Kondisi ini akan berbeda pada
masa beroperasinya BPJS yang akan melibatkan Presiden, DJSN, DPR
RI dan BPJS sendiri.
Dalam pelaksanaannya, terdapat hubungan antar lembaga antara
BPJS, DJSN, dan Kementerian/Lembaga yang perlu dipahami. Ketiga
lembaga mempunyai hubungan fungsional satu sama lainnya, demikian
juga dengan Presiden dan DPR RI. Secara khusus Presiden dan DPR RI
mempunyai posisi strategis yaitu memilih dan menetapkan anggota
Dewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS, dan untuk itu Presiden
membentuk panitia
seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang BPJS.
Hubungan antar lembaga yang secara eksplisit diatur dalam Pasal
51 UU BPJS adalah sebagai berkut:
(1)
Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program
Jaminan Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah;
(2)
Dalam menjalankan tugasnya, BPJS dapat bekerja sama dengan
organisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri;
(3)
BPJS dapat bertindak mewakili Negara Republik Indonesia
sebagai anggota organisasi atau anggota lembaga internasional
apabila terdapat ketentuan bahwa anggota dari organisasi atau
lembaga internasional tersebut mengharuskan atas nama
negara.
Selanjutnya diamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara hubungan antarlembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Di samping pengaturan hubungan antar lembaga yang ditetapkan
dalam Pasal 51 UU BPJS tersebut, dalam pasal-pasal lainnya diatur
hubungan antar lembaga lainnya. Dalam UU BPJS diatur tugas dan fungsi
DJSN yang juga menggambarkan hubungan DJSN dengan lembaga
lainnya, yaitu:
(1)
DJSN menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi SJSN setiap
6 bulan;
(2)
Mengusulkan PAW anggota Dewan Pengawas dan Direksi;
(3)
Menerima Laporan Pengelolaan Program dan Keuangan BPJS;
(4)
Memberikan konsultasi kepada BPJS tentang Bentuk dan Isi
Laporan Pengelolaan Program;
188
Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...
(5)
Bersama Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan,
DJSN sebagai pengawas eksternal BPJS.
Dalam rangka persiapan implementasi UU BPJS tersebut,
hubungan antar lembaga sudah mulai terbangun berdasarkan tugas
pokok dan fungsinya masing-masing. Dari pihak Pemerintah, Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat telah membentuk Tim
Penyiapan Pelaksanaan BPJS, yang terdiri dari 3 (tiga) bidang: Bidang
BPJS Kesehatan yang diketuai oleh Wakil Menteri Kesehatan; Bidang
BPJS Ketenagakerjaan yang diketuai oleh Sekretaris Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi; dan Bidang Sosialisasi, Edukasi, dan
Advokasi yang diketuai oleh Direktur Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi.
PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) juga telah
membentuk Tim internal masing-masing guna mempersiapkan proses
transformasi sebagaimana diamanatkan dalam UU BPJS. Tim internal
kedua badan penyelenggara ini berkoordinasi secara intensif dengan
Tim Pemerintah agar terjadi sinkronisasi langkah-langkah transformasi
BPJS. Tim Pemerintah mengadakan persiapan dari aspek peraturan
perundang-undangan dan kebijakan, sementara Tim internal badan
penyelenggara menyiapkan aspek operasional BPJS.
Baik Tim Pemerintah maupun Tim internal PT. Askes (Persero)
dan PT. Jamsostek (Persero) telah bekerja secara sinergis, yang
dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat. Masing-masing Tim bekerja sesuai dengan work plan-nya yang
terus disinkronkan antar Tim. Sementara itu, DJSN telah membentuk
Tim Adhoc BPJS.
F.
Penutup
Jaminan sosial merupakan hak setiap individu. Akan tetapi perlu
dipahami bahwa untuk mewujudkan sebuah sistem yang stabil
diperlukan kerja sama tidak hanya antar stakeholder tetapi juga peran
aktif dari masyarakat. Masyarakat merupakan pemilik kepentingan yang
paling utama, dan selayaknya memiliki kesadaran untuk mengikuti
prosedur sistem yang hendak dibentuk dan dilaksanakan. Demikian
pula, instansi penyelenggara sebagai pihak yang mendapat amanat,
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab hingga terwujud sistem jaminan sosial nasional yang memberikan
jaminan sosial secara menyeluruh bagi seluruh masyarakat Indonesia.
189
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Daftar Pustaka
Anong Rojvanit. 1993. The Social Welfare for Health Care: The Civil Servant
Medical Benefit Scheme«, in: Health Financing in Thailand, Proceedings of a National Workshop. 11-13 November 1993 at Dusit
Resort and Polo Club, Petchaburi Province, Thailand.
Anuwat, Supachutikul. 1996. Situation Analysis on Health Insurance and
Future Development. Bangkok: Health Systems Research Institute.
Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2011. Roadmap Pencapaian Kepesertaan
menyeluruh (Universal Coverage) Program Jaminan Kesehatan di
Indonesia. Jakarta: DJSN RI.
Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2012. Himpunan Peraturan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Kelembagaan Dewan Jaminan
Sosial Nasional. Jakarta: DJSN RI.
Dewitt, Larry. 2010. The Development of Social Security in America. Social
Security Bulletin, Vol 70 No 3 3010.
Kertonegoro, Sentanoe. 1982. Jaminan Sosial: Prinsip dan Pelaksanaannya
di Indonesia. Jakarta.: Penerbit Mutiara.
Liu, Lilian. 2001. Special Study #8: Foreign Social Security Development
Prior to the Social Security Act Research Notes and Special Studies by
theHistorian’s Office. Baltimore, MD: SSA.
Nurhadi. 2007. Mengembangkan Jaminan Sosial Mengentaskan Kemiskinan.
Yogyakarta: Media Wacana.
Rys, Vladimir. Merumuskan Ulang Jaminan Sosial: Kembali ke Prinsipprinsip Dasar. Jakarta : Alvabet.
Sulastomo. 2008. Sistem Jaminan Sosial Nasional: Sebuah Introduksi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sulastomo. 2011. Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kompas.
190
KOMITMEN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN
JAMINAN SOSIAL NASIONAL
(GOVERNMENT COMMITMENT IN THE IMPLEMENTATION OF
NATIONAL SOCIAL SECURITY)
Zaelani *
(Naskah diterima 16/07/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
terhadap hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat, untuk mengimplemntasikan
jaminan sosial tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan
TAP MPR Nomor X/MPR/2001, menugaskan kepada Presiden untuk membentuk
Sistem Jaminan Sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jaminan sosial merupakan kebutuhan dasar
hidup yang layak dan memperoleh jaminan apabila mengalami kecelakaan,
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Program ini dapat menjamin ketika seseorang menderita
sakit, kehilangan pekerjaan dan memasuki usia lanjut atau pensiun. UndangUndang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
untuk melaksanakannya telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
diselenggarakan oleh 4(empat) Badan Penyelenggara Jaminan sosial, yaitu
PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen, PT. ASABRI (Persero), dan PT. Askes
(Persero). Kedepan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan
Badan Penyelenggara Jaminan Ketenagakerjaan. Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 memerlukan Peraturan Perundang-undangan pelaksana.
Penyelenggaraan Jaminan Sosial keberadaannya sangat didambakan
masyarakat, karena itu perlu komitmen dan kesungguhan Pemerintah dalam
menyelenggarakan Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan sekaligus
membentuk Peraturan Perundang-undangan dan peraturan kebijakan sebagai
payung hukum dan dasar hukum untuk melaksanakannya, oleh karena itu
perlu kerja keras dan kesungguhan Pemerintah untuk dapat segera
merealisakannya.
Kata kunci: komitmen pemerintah dalam melaksanakan jaminan sosial.
Abstract
Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 mandates the right to sosial
security for all citizens, for sosial security mengimpletasikan the People’s Consultative Assembly MPR Set with X/MPR/2001 number, assigned to the President to
*
Perancang Pertama merangkap Kasi Penerbitan Subdit. Publikasi, Dit. Pengundangan, Publikasi,
dan Kerja Sama, Ditjen Peraturan Perundang-undangan.
191
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
establish a sosial security system. Law Number 40 Year 2004 on National Sosial
Security System (Navigation), Sosial security is a basic life needs and obtain a
guarantee when an accident, the assurance of protection and sosial welfare for all
the people of Indonesia. This program can guarantee when suffering from illness,
loss of jobs and into old age or retirement. Act mandated the establishment of Sosial
Security Administering Bodies, have been enacted to implement the Act No. 24 of
2011 on Sosial Security Administering Bodies. Based on Law Number 40 Year 2004
Sosial Security Administering Bodies held by 4 (four) Sosial Security Administering
Bodies, namely PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen, PT. ASABRI (Corporation),
and PT. Askes (Corporation), and in accordance with Law Number 24 Year 2011
Sosial Security Administering Bodies carried out by two (2) Sosial Security Administering Agency, the Agency for Health and Sosial Security Administering Security
Administering Agency for Employment. Implementation of Law No. 24 of 2011
requires legislation to implement the other. Implementation of the Sosial Security
existence highly coveted community, because it needs sincerity and commitment of
the Government in carrying out sosial security for all citizens and legal instruments
and creating legislation to make it happen, therefore it needs hard work and seriousness of the Government to immediately merealisakannya.
Key words: the Government’s commitment in implementing the National Sosial Security.
A.
Pendahuluan
Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
menentukan mengenai hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Selain
itu, jaminan sosial dijamin pula dalam Deklarasi Perserikatan BangsaBangsa tantang Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Hal ini diperkuat juga
dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua
negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga
kerja. Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAP MPR Nomor X/MPR/
2001 telah menugaskan kepada Presiden untuk membentuk Sistem
Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial
yang menyeluruh dan terpadu.
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan sistem perlindungan
sosial bagi seluruh rakyat. Perlindungan sosial memiliki peran strategis
untuk menghadapi kerentanan (vulnerability) yang disebabkan oleh
risiko alam ataupun risiko ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa
Indonesia merupakan salah satu wilayah rawan bencana dan dampak
bencana yang terjadi mengakibatkan diharuskannya merelokasi
anggaran untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak. Bencana
juga telah mengakibatkan banyak keluarga kehilangan harta benda dan
jiwa, sehingga hal ini cukup menyulitkan dalam upaya meningkatkan
192
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
kesejahteraan rakyat.
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan
program negara yang mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak dan memperoleh jaminan apabila mengalami
kecelakaan dan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, diharapkan
setiap penduduk dapat terjamin ketika menderita sakit, kehilangan
pekerjaan, dan memasuki usia lanjut atau pensiun
Masyarakat pada dasarnya selalu berharap bahwa pelaksanaan
pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu kebijakan
pembangunan nasional harus dapat meningkatkna kesejahteraan
rakyat dan kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara
berkelanjutan, adil, merata, dan menjangkau bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional adalah peraturan yang dibentuk dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diharapkan mampu untuk mensinkronkan
berbagai sistem bentuk jaminan sosial yang dapat memberikan
perlindungan yang adil dan merata kepada seluruh masyarakat.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
merupakan upaya nyata, kesungguhan dan komitmen Pemerintah
untuk memberikan jaminan kepada seluruh rakyatnya, Undang-Undang
40 Tahun 2004 mempunyai maksud untuk mengimplementasikan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan mempunyai tujuan yaitu memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, dalam menyelenggarakan
jaminan sosial.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, telah mengamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
52 untuk mempercepat pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat
Badan Usaha Milik Negara untuk menyelenggarakan sistem jaminan
sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 25 Nopember
2011 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 116 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5256. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
merupakan pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun
193
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
2004 dalam rangka pembentukan badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Kedepan penyelenggara jaminan sosial akan diselenggarakan oleh 2
(dua) badan hukum Publik, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
B.
Pembahasan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), dibentuk dalam rangka memberikan jaminan
kepada seluruh rakyat, dan merupakan perangkat hukum untuk
mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam penyelenggarakan jaminan sosial
berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu sebagai berikut:
-
Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini diwujudkan dalam
mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta
yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh
rakyat. Peserta yang berisiko rendah membantu peserta yang
berisiko tinggi dan peserta yang sehat membantu peserta yang
sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat
menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
-
Prinsip nirlaba. Pengelolaan dan amanat tidak dimaksudkan
mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah
untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana
amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
-
Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas. Prinsip-prinsip menajemen ini diterapkan dan
mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dan yang berasal dari
iuran peserta dan hasil pengembangannya.
-
Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk
memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta
berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia.
-
Prinsip Kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan
agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.
Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rakyat dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan
194
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiria
sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat
mencakup seluruh rakyat.
-
Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta
merupakan titipan kepada badan-badan untuk dikelola sebaikbaiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta.
Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam
Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham
yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Pengertian sistem Jaminan sosial adalah suatu tata cara
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan
penyelenggara jaminan sosial.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
merupakan upaya nyata dan kesungguhan Pemerintah untuk
memberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyatnya, bertujuan
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat, dalam menyelenggarakan jaminan sosial,
pelaksanaannya berdasarkan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraannya,
sebagaimana tersebut di atas.
C.
Pelaksanaan Jaminan Sosial
Penyelenggaraan jaminan sosial oleh Pemerintah bagi seluruh
rakyatnya, sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Dasar
merupakan alat jaminan sosial untuk menghimpun dana dalam rangka
mengatasi risiko sosial ekonomi seperti sakit, kematian, dan hari tua.
Keberadaan jaminan sosial yang baik memastikan rakyat dapat hidup
damai, aman, dan sejahtera secara adil dan merata.
Dengan terselenggaranya jaminan sosial yang baik memungkinkan
semua pekerja akan bekerja lebih konsentrasi dan semangat tanpa
khawatir akan risiko ekonomi hal ini pada akhirnya rakyat semakin
sejahtera. Kondisi yang demikian akan membuat ekonomi semakin
maju dan rakyat sejahtera yang memungkinkan rakyat menabung lebih
besar dan mengiur lebih banyak guna memperkuat sistem jaminan
sosialnya.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) mempunyai tujuan yang sejalan dengan harapan
seluruh rakyat, yaitu memberikan kepastian perlindungan dan
195
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 3 Undang-Undang tersebut, yaitu:
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan
sepenuhnya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan/atau
anggota keluarganya.1
Jaminan Sosial merupakan harapan bagi seluruh rakyat untuk
menanggulangi risiko yang dialaminya, jaminan sosial juga merupakan
kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah,
untuk mewujudkan harapan tersebut, perlu membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai payung hukum pelaksanaan jaminan
sosial dimaksud.
Penyelenggaraan Jaminan sosial di satu sisi memerlukan
perangkat peraturan perundang-undangan sebagai dasar dan payung
hukum, dan di sisi lain diperlukan pula persamaan persepsi dan
dukungan serta komitmen dari berbagai elemen, tidak hanya
Pemerintah melainkan seluruh masyarakat.
Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hingga sekarang, badan
penyelenggara program jaminan sosial dilaksanakan oleh 4 (empat) badan
penyelenggara, yaitu sebagai berikut:
1.
Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek);
2.
Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
pegawai Negeri (TASPEN);
3.
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI);
4.
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan (ASKES).
Dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, badan penyelenggara
program jaminan sosial, semula diselenggarakan oleh 4 (empat) Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, selanjutnya akan bertransformasi
menjadi 2 (dua) Badan Penyelenggara dan berbentuk menjadi badan
hukum publik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5, yaitu sebagai
berikut :
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Dewan
Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, 2011
1
196
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
Pasal 5
(1)
Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.
(2)
BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
BPJS Kesehatan; dan
b.
BPJS Ketenagakerjaan.2
Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011, bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan, meliputi jaminan sebagai berikut:
a.
Jaminan Kecelakaan kerja;
b.
Jaminan Hari Tua;
c.
Jaminan Pensiun;
d.
Jaminan Kematian.
D.
Peraturan Perundang-undangan :
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Jaminan
sosial, sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, telah diundangkan:
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat
(4), yaitu sebagai berikut:
Pasal 2
(4)
2.
Seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan
kesejahteraan sosial bagi warganegara yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara
taraf kesejahteraan sosial sebagai perwujudan dari pada
sekuritas sosial.3
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, yang mengatur mengenai perlindungan bagi tenaga
kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti
sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
2
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Dewan Jaminan
Sosial Nasional, Tahun 2012.
3
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Gramedia
Pers, Jakarta, Tahun 2008.
197
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
3.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai,
Pensiun Janda/Duda Pegawai, diundangkan dalam Lembaran
Negara Tahun 1969 Nomor 42, mengatur mengenai kewajiban
Pemerintah untuk menyelenggarakan program Pensiun bagi
pegawai negeri.
4.
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), yang telah melahirkan peraturan
perundang-undangan dan peraturan kebijakan sebagai peraturan
pelaksanaan, yaitu:
E.
-
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja, Tata Cara
Pengangkatan, Penggantian dan Pemberhentian Anggota
Dewan;
-
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110/M Tahun
2008 tentang Keanggotaan Dewan Jaminan Sosial Nasional;
-
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/M Tahun
2009 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Jaminan Sosial
Nasional;
-
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73/M Tahun
2011 tentang Perubahan Anggota Jaminan Sosial Nasional;
-
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Nomor 36/PER/MENKO/KESRA/2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Sekretariat Dewan Jaminan Sosial Nasional
-
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 116 dan Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia Nomor 5256).
Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), adalah Peraturan Perundang-undangan untuk
menindaklanjuti dan melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam rangka pembentukan
badan penyelenggara jaminan sosial. Hal ini sesuai dengan Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Selain itu Undang-Undang
tersebut mengamanatkan untuk penyesuaian Badan Penyelenggara
Jaminan sosial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 52 ayat (2) yang
198
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
telah mengestimasikan pelaksanaannya paling lambat 5 (lima) tahun
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional
perlu membentuk badan penyelenggara yang berbadan hukum publik
berdasarkan prinsip-prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan,
kehati-hatian, akuntabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat,
dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk
pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan
peserta. Hal ini sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
khususnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) yaitu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang,
sebagai pelaksanaan amanat tersebut telah diundangkan UndangUndang Nomor 24 Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
116 dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 5256).
F.
Persiapan Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Untuk menjalankan amanat yang diatur Undang-Undang tersebut,
diperlukan persipan-persiapan untuk melaksanakannya yakni dengan
langkah-langkah menyiapkan perangkat kebijakan dan peraturan
perundang-undangan pelaksanaannya.
Undang-Undang tersebut telah memerintahkan pembentukan 8
(delapaan) Peraturan Pemerintah, 1 (satu) Peraturan Presiden, 1 (satu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan 1 keputusan
Presiden.
Salah satu amanat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
adalah pembentukan Dewan Jaminan Sosial, yaitu Dewan yang
berfungsi membantu Presiden dalam Perumusan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan nasional, yang akan
menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan
Presiden, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang serta Rancangan Keputusan
Presiden.
Persiapan yang utama adalah menyiapkan Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden sebagai dasar
transformasi penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Sesuai dengan Instruksi Presiden bahwa pada tanggal 01 Januari 2014
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di bidang Kesehatan yang selama
199
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
ini dilaksanakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi
Kesehatan (Askes) secara otomatis berubah statusnya menjadi Badan
Hukum Publik Badan Penyelenggara jaminan Sosial Kesehatan .
Pelaksanaan Jaminan kesehatan selama ini sudah ada ruhnya hanya
tinggal pelaksanaannya saja.4
Setelah pelaksanaan transformasi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial di bidang Kesehatan, selanjutnya akan dilaksanakan transformasi
penyelenggara Jaminan Sosial di bidang Ketenagakerjaan, yang akan
direalisasikan paling lambat pada tahun 2029.5
(3)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) adalah:
a.
Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek);
b.
Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
pegawai Negeri (TASPEN);
c.
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d.
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASKES).
(4)
Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain
dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan UndangUndang.
G.
Kendala dan Upaya yang Dilakukan
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, hingga saat ini penyelenggara jaminan
sosial diselenggarakan oleh badan penyelenggara yang belum sesuai
dengan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004,
misalnya banyak hal yang menyebabkan program sistem jaminan sosial
belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini banyak faktor
penyebabnya yaitu faktor politik dan nonpolitik, apalagi Peraturan
Perundang-undangan ini bukan merupakan hasil inisiatif DPR.
Hasil Wawancara dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, di Jakarta, pada tanggal 29 Mei
2012.
Ibid.
4
5
200
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
Dalam rangka mengimplementasikan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, perlu membentuk payung hukum, berkenaan dengan
hal tersebut, Dewan Jaminan Sosial Nasional berkewajiban menyiapkan
perangkat hukum sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang.
Perangkat hukum yang sedang disiapkan oleh Dewan Jaminan
Sosial Nasional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011,
yaitu berupa 8 (delapan) Rancangan Peraturan Pemerintah, 1 (satu)
Rancangan Peraturan Presiden, 1 (satu) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, 1 (satu) Rancangan keputusan Presiden.
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan
Ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 program jaminan sosial
dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Hukum Publik, yaitu:
-
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(Askes) berubah status menjadi badan hukum publik, yang akan
melaksanakan dari aspek Program jaminan sosial kesehatan.
-
Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) berubah status menjadi badan hukum publik, yang
akan melaksanakan dari aspek program jaminan sosial
Ketenagakerjaan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
mempunyai 4 (empat) Program ditambah dengan 1 (satu) Program yaitu
Jaminan Hari Tua. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakejaan hendaknya mengcover dari sektor penduduk.
Pelaksanaan dari kesuluruhan program tersebut di atas parameternya
adalah Peraturan Perundang-undangan
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dan Perusahaan Perseroan
(Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN)
melaksanakan program Jaminan hari tua bagi Pegawai Negeri Sipil
dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilaksanakan pada tahun
2029 diserahkan pelaksanaannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan.6
Dalam rangka merealisasikan pelaksanaan program jaminan
sosial tersebut di atas, Kendala utama adalah Pemerintah harus
mempunyai komitmen dan kerja keras, karena hal ini tidak lepas dari
6
Ibid.
201
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
dukungan Pemerintah, dengan demikian kebijakan para penegaknya
dapat berupa makareal yang kalau perlu maka demi Pemerintah tentang
Peraturan Pemerintah dapat segera direalisasikan.
Terkait dengan dukungan keuangan Pemerintah bagi orang miskin
dan tidak mampu adalah kisaran 3 X 14 X dari besar biaya yang
dikeluarkan untuk program Jamsostek , yaitu sebesar Rp. 6.500,- (enam
ribu lima ratus rupiah) per bulan. Biaya ditanggung oleh Pemerintah
Pusat. Pemerintah Daerah dapat kerja sama dengan Badan Jaminan
Sosial Nasioanal yang berada di Daerahnya.
Pada tahun 2008-2009 telah dilakukan persiapan yaitu membuat
draft Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan
Presiden, telah disiapkan sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
diundangkan.
Dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan sistem
jaminan sosial nasional, telah dilaksanakan Kajian Investasi, saran
investasi , monatarium perpindahan penyelenggaraan sistem jaminan
sosial sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
telah disahkan 5 (lima) Rancangan Peraturan Pemerintah.
Upaya yang dilakukan adalah mengajak masyarakat , hal ini adalah
tugas dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, mengenai bagaimana
dengan nasib tenaga kerja yang jumlahnya sebanyak lebih kurang 20
(dua puluh) juta orang.
Bagaimana dengan masyarakat yang perlu jaminan kesehatan
mereka mencari jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), hal ini
bagaimana kita melihatnya dan menyingkapinya, mereka terpaksa. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
-
rendahnya kelembagaan
-
publik kemasyarakatan
-
adanya kewajiban untuk mengiur
-
Masyarakat Melakukan paguyuban yang disebut jaminan bakul
Kondisi (trend) pembayaran jaminan kesehatan ke Askes umumnya
mereka sudah mengiur, dan dikalangan karyawan swasta umumnya
telah menjadi anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kesehatan,
penyelenggara jaminan sosial kesehatan harus ada Standar Operation
prosedur (SOP).
Pelayanan pengobatan dapat ditingkatkan, biaya kesehatan akan
lebih murah karena biaya dipikul oleh banyak orang, jadi biaya
kesehatan tidak perlu ditanggung sendiri, karena anggaran untuk
202
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
kesehatan mahal lebih kurang 15 % (lima belas persen) per tahun.7
Keberadaan Sistem Jaminan Sosial Nasional secara umum
menjanjikan, karena menyelenggarakan dan menjalankan jaminan
secara sentralisme sehingga memberi jaminan kepada semua
pemangku kepentingan (Steakholder) yaitu seluruh masyarakat di tingkat
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Upaya-upaya lain yang tidak kalah penting perlu dilakukan agar
badan penyelenggara jaminan sosial nasional dapat segera terealisasi,
adalah:
-
bersama-sama mensosialisasikan Undang-Undang;
-
mendorong steakholder yang belum bergerak;
-
mengakomodasi masukan dari masyarakat.
Peran Dewan Penyelenggara Jaminan sosial yang dapat
dilaksanakan, yaitu:
-
Merencanakan investasi harus melalui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS);
-
Melakukan pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) apakah telah bekerja sesuai dengan ketentuan UndangUndang;
-
Undang-Undang mengamanatkan adanya investor dibidang
Jaminan sosial.
H.
Penutup
Kesimpulan:
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program Negara yang
bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, dan melalui
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,
Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional
dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang
lebih menyeluruh dan terpadu.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas telah diundangkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
7
Ibid.
203
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
(SJSN), dan untuk mewujudkan tujuan nasional Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang berbentuk badan hukum publik sebagai badan
penyelenggara jaminan sosial nasional telah diundangkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Hal ini berkait dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap
perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 merupakan pelaksanaan
amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 untuk pembentukan
badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan
PT. Jamsostek (Persero), PT. TASPEN (Persero), PT. ASABRI (Persero) dan
PT. Askes (Persero), menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan
berubah status menjadi badan hukum publik, selain itu badan
penyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya akan dilaksanakan oleh 2
(dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yaitu badan Penyelenggara
Jaminan sosial Kesehatan dan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan, dan transformasi tersebut akan dilanjutkan dengan
pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan
kewajiban.
Badan Penyelengara jaminan Sosial Kesehatan, akan dilaksanakan
oleh PT. Askes (Persero) yaitu paling lambat direalisasikan pada tanggal
01 Januari 2014 secara otomatis berubah status menjadi badan hukum
publik, sedangkan transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan, akan direalisasikan paling lambat pada tahun 2029.
Saran:
1.
Program Jaminan sosial ini sangat penting dan diperlukan oleh
masyarakat , oleh karena itu perlu komitmen Pemerintah untuk
segera membentuk Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar
dan payung hukum Peraturan Pelaksanaan dalam rangka
mewujudkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional;
2.
Dewan Jaminan Sosial Nasional kiranya dapat segera melakukan
kajian-kajian antara lain : mengenai besarnya jumlah iuran bagi
para peserta jaminan sosial;
3.
Perlu dilakukan pengkajian mengenai besarnya iuran bagi
masyarakat, orang kaya dan masyarakat;
4.
Biaya paling besar adalah biaya iuran, oleh karena itu Pemerintah
mengkaji lagi mengenai besarnya penganggaran, untuk biaya
iuran;
5.
Sistem Jaminan Sosial Kesehatan harus dapat memberikan
204
Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional
jaminan perlindungan kesehatan kepada seluruh masyarakat,
sehingga masyarakat mau membayar iuran, karena semakin
banyak masyarakat yang membayar iuran maka semakin besar
dana yang diperoleh;
6.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus terhindar dari
anggapan yang sangat buruk, sehingga dapat mendorong
masyarakat untuk membayar iuran, karena dengan jaminan sosial
yang baik, akan meningkatkan pendidikan masyarakat yang
merupakan asset investasi dan kelak dapat mendorong
pembangunan.
7.
Dalam merealisasikan Sistem Jaminan Sosial Nasional,
Pemerintah jangan merasa dibebani sehingga Pemerintah
keberatan untuk membayar biaya jaminan sosial bagi
masyarakatnya.
205
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945,
Mahakamah Konstitusi, Jakarta 2010.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), Dewan Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, Dewan Jaminan Sosial Nasional,
2012.
Wawancara langsung dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional di
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2012.
206
PETA JALAN MENUJU UNIVERSAL COVERAGE JAMINAN
KESEHATAN
(ROAD MAP TO A UNIVERSAL HEALTH COVERAGE)
(Naskah diterima 01/06/2012, disetujui 23/07/2012)
Mundiharno*
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya peta jalan menuju universal
coverage jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Mengingat universal coverage merupakan istilah yang relatif baru maka dalam
tulisan ini dijelaskan tentang pengertian universal coverage dan faktor-faktor
yang berpengaruh dalam mencapai universal coverage. Penyusunan peta jalan
jaminan kesehatan perlu memahami kerangka penyelenggaraan jaminan
kesehatan yang terdiri dari berbagai aspek baik aspek peraturan-perundangan,
kepesertaan, paket manfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan maupun
organisasi-kelembagaan. Tulisan ini hanya berfokus pada peta jalan
penyelenggaraan jaminan kesehatan dari aspek peraturan-perundangan.
Kata kunci: Universal coverage, jaminan kesehatan.
Abstract
This paper describes the importance of a road to universal health insurance coverage
in the National Social Security System (SJSN). Considering of the universal coverage
is a relatively new term that is described in this paper about the notion of universal
coverage and the factors that influence in achieving universal coverage. In drawing a
roadmap to the health insurance needs to understand the framework of health
insurance organization composed of various aspects of both aspects of the rules and
regulations, membership, dues and benefits package, health care, financial and institutional organizations. This paper only focused on the implementation roadmap of
health insurance, and law and regulations aspects.
Keywords: Universal coverage, health security.
A.
Pendahuluan
Pengembangan jaminan sosial, termasuk di dalamnya jaminan
kesehatan, merupakan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28 H ayat (3) menyatakan
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
*
Peneliti Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan FKM UI dan Konsultan GIZ untuk Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN).
207
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Agar hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana amanat
konstitusi dapat terwujud, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dinyatakan bahwa
program jaminan sosial bersifat wajib yang memungkinkan mencakup
seluruh rakyat (universal social security) yang akan dicapai secara
bertahap. Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program
jaminan sosial yang diprioritaskan terlebih dahulu untuk mencakup
seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program jaminan kesehatan.
Dengan demikian pencapaian kepesertaan jaminan kesehatan untuk
semua penduduk (universal coverage) merupakan amanat undang-undang
yang harus dijalankan oleh pemerintah dan semua pihak yang terlibat.
Upaya mencapai universal coverage jaminan kesehatan bukanlah
hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan
dari berbagai aspek penyelenggaraan, tidak saja oleh satu lembaga tetapi
oleh berbagai lembaga yang satu sama lain saling terkait.
Selama ini pemahaman terhadap berbagai hal yang harus
dilakukan, bahkan pemahaman terhadap universal coverage jaminan
kesehatan sesuai UU SJSN, masih bervariasi di antara berbagai
pemangku kepentingan (stakeholders). Variasi pemahaman tersebut
berpengaruh terhadap cara untuk mengimplementasikan amanat
Undang-Undang.
Dengan kondisi seperti itu penyusunan peta jalan (roadmap) bagi
pengembangan jaminan kesehatan sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ada dalam UU SJSN merupakan suatu keharusan. Tanpa peta jalan,
yang di dalamnya antara lain memuat kegiatan-kegiatan apa yang perlu
dilakukan oleh siapa dan kapan dilakukan, upaya pencapaian universal
coverage jaminan kesehatan akan mengalami kebuntuan. Banyak hal
yang semestinya dilakukan tetapi tidak diidentifikasi dan tidak
dilakukan, sementara ada kegiatan lain yang belum perlu dilakukan
tetapi justru dilakukan. Bisa pula terjadi pemangku kepentingan
melakukan kegiatan yang sama secara berulang.
Peta jalan diperlukan untuk memandu implementasi
pengembangan jaminan kesehatan sesuai amanat UU SJSN dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (UU BPJS). Dalam rangka itu DJSN (Dewan Jaminan
Sosial Nasional) dan Kementrian Kesehatan RI bersama Kementrian/
Lembaga terkait telah menyusun peta jalan (roadmap) tentang
Pengembangan Jaminan Kesehatan di Indonesia.
208
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
B.
Pengertian Universal Coverage Jaminan Kesehatan
Universal coverage dapat diartikan sebagai cakupan menyeluruh.
Istilah universal coverage berasal dari WHO (World Health Organisation),
lebih tepatnya universal health coverage. Istilah tersebut sebenarnya
kelanjutan dari jargon sebelumnya yaitu health for all.
Belakangan istilah universal coverage lebih banyak dipakai dalam
jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan. Dalam perspektif
jaminan kesehatan, istilah universal coverage memiliki beberapa
dimensi. Pertama, dimensi cakupan kepesertaan. Dari dimensi ini
universal coverage dapat diartikan sebagai “kepesertaan menyeluruh”,
dalam arti semua penduduk dicakup menjadi peserta jaminan
kesehatan. Dengan menjadi peserta jaminan kesehatan diharapkan
mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Namun tidak
semua penduduk yang telah menjadi peserta jaminan kesehatan dapat
serta merta mengakses pelayanan kesehatan. Jika di daerah tempat
penduduk tinggal tidak ada fasilitas kesehatan, penduduk akan tetap
sulit menjangkau pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dimensi kedua
dari universal health coverage adalah akses yang merata bagi semua
penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Secara implisit
pengertian ini mengandung implikasi perlu tersedianya fasilitas dan
tenaga kesehatan agar penduduk yang menjadi peserta jaminan
kesehatan benar-benar dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Ketiga,
universal coverage juga berarti bahwa proporsi biaya yang dikeluarkan
secara
langsung oleh masyarakat (out of pocket payment) makin kecil sehingga
tidak mengganggu keuangan peserta (financial catastrophic) yang
209
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
menyebabkan peserta menjadi miskin.
WHO merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian universal
coverage yang digambarkan melalui kubus (Gambar 1). Ketiga dimensi
universal coverage menurut WHO adalah (1) seberapa besar persentase
penduduk yang dijamin; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin,
serta (3) seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung
oleh penduduk. Dimensi pertama adalah jumlah penduduk yang dijamin.
Dimensi kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, misalnya
apakah hanya layanan di rumah sakit atau termasuk juga layanan rawat
jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang dijamin.
Makin banyak dana yang tersedia, makin banyak pula penduduk yang
terlayani, makin komprehensif paket pelayanannya serta makin kecil
proporsi biaya yang harus ditanggung penduduk. Alokasi atau
pengumpulan dana yang terbatas berpengaruh terhadap komprehensif
tidaknya pelayanan yang dijamin serta proporsi biaya pengobatan/
perawatan yang dijamin. Inggris misalnya menjamin layanan kesehatan
komprehensif, termasuk transplantasi organ, untuk seluruh penduduk
(bukan hanya warga negara, tetapi penduduk yang tinggal secara legal
di Inggris). Malaysia menjamin seluruh penduduknya mendapat
pengobatan dan perawatan di rumah sakit, hanya saja penduduk harus
membayar 3 RM (sekitar Rp 9.000) per hari perawatan. Muangtai telah
menjamin seluruh penduduknya (dimensi I), untuk semua penyakit
(dimensi II) tanpa biaya yang harus ditanggung penduduk (dimensi III)
dan layanan disediakan di fasilitas kesehatan publik maupun di fasilitas
kesehatan swasta.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia berupaya mencapai
universal coverage dalam tiga dimensi tersebut secara bertahap. Prioritas
pertama dalam pencapaian universal coverage adalah perluasan penduduk
yang dijamin, yaitu agar semua penduduk terjamin sehingga setiap
penduduk yang sakit tidak menjadi miskin karena beban biaya berobat
yang tinggi. Langkah berikutnya adalah memperluas layanan kesehatan
yang dijamin agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan medis (yang
berarti pula makin komprehensif paket manfaatnya). Dan terakhir
adalah peningkatan biaya medis yang dijamin sehingga makin kecil
proporsi biaya langsung yang ditanggung penduduk. Sesuai dengan
pengalaman masa lalu dan pengalaman penyediaan jaminan kesehatan
untuk pegawai negeri, Indonesia menghendaki jaminan kesehatan
untuk semua penduduk (dimensi I), menjamin semua penyakit (dimensi
210
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
II) dan porsi biaya yang menjadi tanggungan penduduk (peserta) sekecil
mungkin.
Pencapaian universal coverage dengan tiga dimensi tersebut berbedabeda antar negara, tergantung pada kemauan politik dan kemampuan
keuangan negara yang bersangkutan. Semakin kaya suatu negara,
semakin mampu negara tersebut menjamin seluruh penduduk untuk
seluruh layanan kesehatan. Jangka waktu yang diperlukan untuk
mencapai universal coverage melalui jaminan kesehatan sosial (social
health insurance) juga berbeda-beda antara negara yang satu dan yang
lain. Negara Austria, misalnya, mencapai universal coverage dalam waktu
79 tahun sejak undang-undang pertama terkait asuransi kesehatan.
Belgia mencapai universal coverage dalam kurun waktu 118 tahun,
Costa Rica (20 tahun), Jerman (127 tahun), Jepang (36 tahun) Korea
Selatan (26 tahun) dan Luxemburg (72 tahun)1.
Cepat tidaknya pencapaian universal coverage melalui asuransi
kesehatan sosial (social health insurance) diperngaruhi oleh beberapa
faktor. Carrin dan James2 menyebut ada lima faktor yang mempengaruhi
cepat lambatnya suatu negara mencapai universal coverage. Pertama,
tingkat pendapatan penduduk. Makin tinggi tingkat pendapatan
penduduk makin tinggi kemampuan penduduk dan juga majikan dalam
membayar iuran (premi). Makin stabil pertumbuhan ekonomi makin
meningkat kapasitas negara tersebut untuk menyelenggarakan jaminan
kesehatan sosial. Kedua, struktur ekonomi negara terutama berkaitan
dengan besarnya proporsi sektor formal dan informal. Perekonomian
negara berkembang umumnya masih bergantung pada sektor pertanian,
perdagangan dan jasa yang sebagian besar pekerjanya adalah pekerja
informal. Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya mengumpulkan iuran
sebab para pekerja tidak memperoleh gaji secara formal. Ketiga, distribusi
penduduk negara. Distribusi penduduk yang tersebar luas ke berbagai
wilayah menyebabkan biaya administrasi penyelenggaraan yang lebih
tinggi dibanding kalau penduduknya terpusat pada daerah-daerah
tertentu. Mengelola asuransi kesehatan sosial di daerah perkotaan
1
Carrin, Guy and Chris James, Reaching Universal Coverage via Social Health Insurance: Key Design
Features in the Transition Period, WHO, Discussion Paper Number 2-2004, Geneva, 2004.
2
Ibid., PP. 15-17.
211
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi cenderung akan lebih mudah
dibanding jika mengelola di daerah pedesaan yang penduduknya tersebar
luas ke daerah-daerah pinggiran yang sulit dijangkau. Keempat,
kemampuan negara dalam mengelola asuransi kesehatan sosial.
Penyelenggaraan jaminan kesehatan memerlukan sumberdaya terampil
yang memadai. Oleh karena itu penyelenggaraan jaminan kesehatan
sosial harus didukung oleh tenaga-tenaga terampil yang memahami
berbagai aspek penyelenggaraan jaminan kesehatan. Kelima, tingkat
solidaritas sosial di dalam masyarakat. Tingkat solidaritas ini diperlukan
sebab sistem asuransi kesehatan sosial dibangun atas dasar prinsip
gotong royong yaitu yang kaya membantu yang miskin, yang sehat
membantu yang sakit, yang produktif membantu yang belum atau tidak
produkif. Kelima faktor tersebut perlu diperhatikan oleh pemerintah
dalam membuat pedoman dan aturan (stewardship) dalam mencapai
universal health coverage melalui asuransi kesehatan sosial (SHI).
C.
Kerangka Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan yang dikembangkan oleh Pemerintah
Indonesia adalah jaminan kesehatan yang didasarkan pada UU SJSN
dan UU BPJS. Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSN
adalah jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 ayat 1 UU SJSN.
Penjelasan Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksud
prinsip asuransi sosial adalah:
1)
kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan
sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;
2)
kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;
3)
iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;
4)
bersifat nirlaba.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah
kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkan.
Kesamaan memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauan
finansial ke pelayanan kesehatan.
Pasal 19 ayat 2 UU SJSN menyatakan bahwa “Jaminan kesehatan
diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
212
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
dasar kesehatan”. Kebutuhan dasar kesehatan adalah kebutuhan akan
layanan kesehatan yang memungkinkan seseorang yang sakit dapat
sembuh kembali sehingga ia dapat berfungsi normal sesuai usianya.
Dalam penyelengaraan jaminan kesehatan perlu diperhatikan tiga
unsur penting yaitu (a) bagaimana dana dikumpulkan; (b) bagaimana
resiko ditanggung secara bersama; dan (c) bagaimana dana yang
terkumpul digunakan seefisien dan seefektif mungkin3.
Bagan 2
Aspek Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Sebagaimana tampak pada Bagan 2 penyelenggaraan jaminan
kesehatan perlu memperhatikan berbagai aspek.
Pertama, aspek regulasi. Oleh karena jaminan kesehatan yang
akan dikembangkan adalah jaminan kesehatan sosial yang melibatkan
kepentingan publik yang demikian banyak, aspek regulasi sangat
penting diperhatikan dan bahkan menjadi dasar dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan. Perlu disusun sejumlah peraturan yang mendasari
penyelenggaraan jaminan kesehatan.
3
Normand, Charles and Axel Weber, Social Health Insurance. A guidebook for planning, second edition, ADB, GTZ, ILO and WHO, VAS, Germany, 2009, p.16
213
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Kedua, aspek kepesertaan. UU SJSN menyatakan bahwa program
jaminan sosial bersifat wajib yang memungkinkan mencakup seluruh
rakyat (universal social security) yang akan dicapai secara bertahap.
Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan
sosial yang terlebih dahulu diprioritaskan untuk mencakup seluruh
penduduk adalah program jaminan kesehatan. Dengan demikian terkait
aspek kepesertaan hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
semua penduduk dapat tercakup menjadi peserta jaminan kesehatan.
Ketiga, aspek manfaat dan iuran. Jaminan kesehatan diperlukan
untuk menjamin agar peserta tidak mengalami masalah pembiayaan
kesehatan ketika jatuh sakit. Oleh karena itu jenis penyakit yang
dicakup dalam manfaat jaminan kesehatan haruslah sesuai dengan
kebutuhan medis peserta. UU SJSN menyatakan bahwa manfaat
jaminan kesehatan yang dicakup adalah komprehensif sesuai
kebutuhan medis. Namun cakupan yang komprehensif berimplikasi pada
besarnya iuran. Agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelayanan
kesehatan maka cakupan manfaat yang ingin dicapai adalah manfaat
yang komprehensif, sesuai kebutuhan medis dan sama bagi semua
peserta.
Keempat, aspek pelayanan kesehatan. Salah satu masalah kritis
dalam pelayanan kesehatan adalah tersedianya fasilitas kesehatan dan
tenaga kesehatan yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Jaminan
kesehatan hanya bermakna jika diiringi dengan ketersediaan fasilitas
kesehatan dan tenaga kesehatan yang merata dan dengan kualitas yang
terjaga. Sistem rujukan berjenjang perlu diperkuat dalam upaya
mengembangkan pelayanan kesehatan.
Kelima, aspek keuangan. Salah satu fungsi yang harus dijalankan
dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan adalah menjaga agar dana
yang tersedia selalu mencukupi untuk menyelenggarakan jaminan
kesehatan, termasuk untuk membayar klaim-klaim biaya yang
dibayarkan kepada para providers. Untuk itu dari aspek keuangan perlu
dipastikan agar dana mencukupi dan pengelolaannya efisien dan
akuntabel.
Keenam, aspek organisasi dan kelembagaan. UU BPJS menyatakan
bahwa badan penyelenggara yang menyelenggarakan jaminan
kesehatan sosial di Indonesia adalah BPJS Kesehatan yang akan
beroperasi mulai 1 Januari 2014. Perlu dipersiapkan berbagai hal agar
BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014 sudah beroperasi dengan baik
sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate givernance.
214
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
Peta jalan yang disusun telah mengidentifikasi program dan
kegiatan apa saja yang perlu dilakukan untuk setiap aspek
penyelenggaraan tersebut, baik aspek regulasi, kepesertaan, paket
manfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan maupun organisasi
kelembagaan. Pada setiap kegiatan dari masing-masing aspek telah
diidentifikasi siapa yang harus melakukan dan kapan perlu dilakukan.
Mengingat keterbatasan tempat, tulisan ini hanya akan menukil peta
jalan menuju jaminan kesehatan dari aspek peraturan-perundangan.
D.
Aspek Regulasi Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Aspek hukum merupakan hal yang sangat penting dalam
penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, sebab
penyelenggaraan jaminan sosial harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Dasar peraturan perundang-undangan tersebut
diperlukan sebagai dasar hukum dipenuhinya hak dan kewajiban publik,
baik dalam kaitan dengan pengumpulan dan pengelolaan iuran dari
publik maupun dalam pemberian manfaat (benefit) kepada publik yang
menjadi peserta.
Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia secara konstitusional
diatur dalam Pasal 28 H dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian implementasinya didasarkan pada dua undang-undang
yaitu:
(a)
Undang Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN) dan;
(b)
Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Agar jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan, dapat
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
dua undang-undang tersebut, perlu dibentuk peraturan pelaksanaannya.
215
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
D.1. Turunan Peraturan UU SJSN
Beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus
dibentuk sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 khususnya terkait dengan jaminan kesehatan adalah:
D.1.1 Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PP PBI)
PP ini sebagai pelaksanaan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Pasal 14 UU SJSN menyatakan:
(1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; (2)
Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
fakir miskin dan orang tidak mampu; (3) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pasal 17 UU SJSN menyatakan: (4) Iuran program jaminan
sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh
Pemerintah. (5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan, (6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
RPP PBI sudah disusun sejak 2007 dan sudah berkali-kali dibahas
antar kementerian. Banyak pemangku kepentingan sudah dilibatkan
dalam pembahasan RPP tersebut, namun sampai saat ini RPP PBI tersebut
belum ditandatangani oleh Presiden. Agar BPJS Kesehatan dapat
beroperasi dengan baik sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU
BPJS pada 1 Januari 2014, PP PBI tersebut seharusnya sudah
dikeluarkan pada pertengahan Tahun 2013.
D.1.2 Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan
Peraturan Presiden ini mengatur mengenai program jaminan
kesehatan yang materinya meliputi substansi Pasal 21 sampai dengan
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 jo Pasal 19 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011. Uraian Pasal 21 sampai Pasal 28 UU
SJSN dapat dilihat pada Box 1. Sedangkan Pasal 19 ayat (5) UU BPJS
menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. besaran dan
tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalam
Peraturan Presiden.
216
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan mengatur tentang:
a.
Pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habispakai jika diperlukan serta urun biaya untuk jenis pelayanan yang
dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan (Pasal 22 UU
Nomor 40 Tahun 2004).
b.
Pemberian kompensasi oleh BPJS Kesehatan jika di suatu daerah
belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi sarat guna
memenuhi kebutuhan medis peserta dan kelas standar untuk
pelayanan di rumah sakit bagi peserta rawat inap (Pasal 23 UU
Nomor 40 Tahun 2004).
c.
Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS (Pasal 26 UU Nomor
40 Tahun 2004)
d.
Besarnya Jaminan Kesehatan untuk peserta penerima upah
dengan batas upah yang ditinjau secara berkala, peserta yang tidak
menerima upah, dan Penerima bantuan iuran (Pasal 27 UU Nomor
40 Tahun 2004).
e.
Kewajiban membayar tambahan iuran bagi pekerja yang memiliki
keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakan
anggota keluarganya (Pasal 28 UU UU Nomor 40 Tahun 2004).
f.
Besaran dan tata cara pembayaran iuran program jaminan
kesehatan (Pasal 15 ayat (5) huruf (a) UU Nomor 40 Tahun 2004).
Sebagaimana RPP PBI, Rancangan Peraturan Presiden juga sudah
disusun sejak lama (2009) dan sudah berkali-kali dibahas antar
kementerian. Banyak pemangku kepentingan sudah dilibatkan dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tersebut. Pembahasan
ulang rencananya akan dilakukan setelah keluar izin prakarsa dari
Presiden.
Penyelenggaraan jaminan kesehatan menurut UU SJSN dan UU
BPJS sangat tergantung pada Peraturan Presiden Jaminan Kesehatan.
Agar BPJS Kesehatan dapat beroperasi dengan baik pada tanggal 1 Januari
2014 Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus sudah dapat
ditetapkan dan diundangkan pada pertengahan tahun 2013 sehingga
semester kedua tahun 2013 dapat dilakukan sosialisasi ke berbagai
pihak.
217
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
D.1.3 Peraturan Presiden tentang Pentahapan Pendaftaran Peserta
Peraturan Presiden ini adalah pelaksanaan dari Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 13 UU SJSN menyatakan
(1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti; (2) Penahapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden.
Sedangkan pasal 15 UU BPJS menyatakan (1) Pemberi Kerja secara
bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta
kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti;
(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut
anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS; (3)
Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.
D.2. Turunan Peraturan UU BPJS
Di samping peraturan pelaksanaan UU SJSN, ada pula sejumlah
peraturan yang perlu disusun berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Beberapa
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus dibentuk
sebagai pelaksanaan dari UU BPJS khususnya terkait dengan jaminan
kesehatan adalah:
D.2.1 Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun
2011 tentang BPJS
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang:
a.
Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pemberi kerja (Pasal
17)
b.
Besaran dan tatacara pembayaran iuran selain program jaminan
kesehatan. (Pasal 19 ayat (5) huruf (b)
c.
Sumber dan pengunaan asset BPJS (Pasal 41)
d.
Sumber dan penggunaan asset Dana Jaminan Sosial (Pasal 43)
e.
Persentase dana operasional (Pasal 45)
218
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
f.
Tata cara hubungan antar lembaga (Pasal 51)
g.
Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Dewan Pengawas
dan Direksi BPJS (Pasal 53)
D.2.2 Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS dan
Pengelolaan Dana Jaminan Sosial
Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS perlu disusun
dalam rangka mengimplementasikan Pasal 42 UU BPJS yang
menyatakan “Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(1) huruf (a) untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan
masing-masing paling banyak Rp 2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara jo. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang BUMN,
penyertaan modal negara yang jumlahnya sebesar seratus milyar ke
atas, harus mendapat persetujuan DPR dan pelaksanaannya harus diatur
dalam Peraturan Pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, yang
berwenang memprakarsai penyusunan RPP tentang modal awal ini
adalah Menteri Keuangan. Sebelum dilakukan penyusunan RPP ini,
ketentuan tentang modal awal untuk BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan harus sudah mendapat persetujuan dari DPR RI pada
tahun 2013 dan dianggarkan dalam APBN 2013 sebagai kekayaan negara
yang dipisahkan.
D.2.3 Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan
Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Peraturan Presiden ini merupakan pelaksanaan dari beberapa pasal
UU BPJS yaitu Pasal 31, Pasal 36, dan Pasal 44. Pasal 31 UU BPJS
menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan
penetapan Dewan Pengawas dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Presiden’. Pasal
36 ayat (5) menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Presiden”. Sedangkan Pasal 44 ayat (8) menyatakan
“Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya
serta insentif bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur
dengan Peraturan Presiden’.
219
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Di samping itu, Perpres ini dapat pula mengatur tentang bentuk
dan isi laporan pengelolaan program dan laporan tahunan BPJS. Pasal
37 ayat (1) UU BPJS yang mengatur pertanggungjawaban BPJS
menyatakan “BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni
tahun berikutnya”. Pasal 37 ayat (7) menyatakan bahwa “Ketentuan
mengenai bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden”.
D.2.4 Keputusan Presiden tentang Pengangkatan untuk Pertama kali
Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (persero) menjadi Dewan
pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
menyatakan bahwa untuk pertama kali Dewan Komisaris dan Direksi
PT. Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Kesehatan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
BPJS Kesehatan beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Pengangkatan
Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (Persero) menjadi Dewan
Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan dalam Pasal 59 ini secara
normatif harus dilakukan dengan Keputusan Presiden. Oleh karena itu
perlu disiapkan Rancangan Keputusan Presiden tentang pengangkatan
untuk pertama kali Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (persero)
menjadi Dewan pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan.
Mengingat cukup banyak peraturan pelaksana yang harus disusun,
sementara waktu yang tersedia sangat terbatas yaitu tahun 2012 dan
2013, maka diperlukan kerja keras dari pihak-pihak terkait untuk dapat
menyelesaikan berbagai peraturan tersebut sehingga dapat disahkan
sebelum BPJS Kesehatan beroperasi pada 1 Januari 2014.
E.
Penutup
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat dikatakan
bahwa jalan menuju jaminan sosial, termasuk di dalamnya jaminan
kesehatan, di Indonesia makin terang. Namun jalan terang menuju
universal coverage jaminan kesehatan sebagaimana diamanatkan oleh
kedua undang-undang tersebut masih harus dilalui dengan kerja keras
220
Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan
oleh semua pemangku kepentingan terkait. Agar apa yang dilakukan
oleh masing-masing pemangku kepenting terhindar dari duplikasi dan
terjadi sinergi maka perlu ada panduan yang disepakati bersama dalam
bentuk peta jalan (roadmap). Peta jalan tersebut hanya bermakna jika
diimplementasikan secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Dengan
mengimplementasikan peta jalan tersebut diharapkan universal
coverage jaminan kesehatan bagi semua penduduk Indonesia dapat
tercapai pada tahun 2019.
Daftar Pustaka
Carrin, Guy, Community based Health Insurance Schemes in Developing
Countries: facts, problems and perspectives. Discussion Paper No. 1
2003, WHO, Geneva, 2003.
Carrin, Guy and Chris James, Reaching universal coverage via social health
insurance: key design features in the transition period, Discussion
Paper No. 2 2004, WHO, Geneva, 2004.
Carrin G., C. James and D. Evan, Achieving Universal Health
Coverage:Developing The Health Financing System, WHO, Geneva,
2005.
Dewan Jaminan Sosial Nasional, Roadmap Pencapaian Kepesertaan
Menyeluruh (Universal Coverage) Program Jaminan Kesehatan di
Indonesia, Dewan Jaminan Sosial Nasional Republik Indonesia,
Jakarta, 2011.
Nitayarumplong, Sanguan and Anne Mills, Achieving Universal Coverage
of Health Care: Experiences from Middle and Upper Income
Countries, Office of Health Care Reform, Ministry of Public Health,
third printed, Bangkok, Thailand, 2012.
Nitayarumplong, Sanguan, Struggling Along the Path to Universal Health
Care for All,
National Health Security Office, Bangkok, Thailand, 2006.
Normand, Charles and Axel Weber, Social Health Insurance. A guidebook
for planning, second edition, ADB, GTZ, ILO and WHO, VAS,
Germany, 2009.
WHO, World Health Report. Health System Financing: the Path to Universal
Coverage, WHO, 2010.
221
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
William Savedoff, Tax-Based Financing for Health Systems: Options and
Experiences, Discussion Paper No.4 2004, WHO, Geneva, 2004.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran.
222
BADAN HUKUM PUBLIK BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
DAN TRANSFORMASINYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24
TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
(PUBLIC LEGAL ENTITY SOCIAL SECURITY ADMINISTRATING
AGENCY AND ITS TRANSFORM BASED ON LAW NUMBER 24 YEAR
2011 CONCERNING ON SOCIAL SECURITY ADMINISTRATING
AGENCY)
Qomaruddin*
(Naskah diterima 22/05/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana ditentukan Pasal 7 adalah untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dimaksud meliputi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan, program jaminan kecelakaan
kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan hari
tua.
Kata kunci: jaminan kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan hari tua.
Abstract
Public Legal Entity Social Security Administrating Agency which established under
the Social Security Law Number 24 Year 2011 concerning on Social Security Administering Agency as provided in Article 7 is to organize the social security program.
Social Security Administering Body shall include the Health Social Security
Administering Agency and Labor Social Security Administering Agency that serves
up a program of health insurance, accident insurance, life insurance, pension, as
well as old phase insurance.
Keywords: Work accident, death, pension, and old phase insurance.
A.
Pendahuluan
Badan hukum adalah suatu persekutuan yang beranggota atau
suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan
seperti seorang manusia (persoon) sebagai pendukung hak dan kewajiban
yang dapat menggugat dan digugat di pengadilan. Dengan demikian,
badan hukum juga dapat beracara, baik selaku penggugat atau tergugat
di pengadilan. Dalam menjalankan peranannya badan hukum tersebut
*
Konsultan Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
223
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
diwakili oleh pengurus/anggotanya, karena sebenarnya secara fisik
badan hukum tersebut adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang
beranggotakan orang perseorangan. Untuk itu, badan hukum dapat
mengikat suatu perjanjian dengan pihak lain yang pertanggungjawaban
hukumnya dilaksanakan oleh pengurus/anggotanya atas nama badan
hukum. Jadi, perbuatan hukum tersebut secara yuridis dapat
dipertanggungjawabkan, baik di bidang hukum perdata maupun hukum
pidana. Di bidang hukum perdata, badan hukum bertanggung jawab
penuh atas akibat hukum yang timbul dari perbuatan yang telah
dilakukan melalui pengurusnya. Sedangkan di bidang hukum pidana,
pertanggungjawaban pidana yang timbul akibat perbuatan badan hukum
yang telah dilakukan, dibebankan kepada pengurusnya yang bertindak
mewakili badan hukum.
Untuk lebih memahami pengertian badan hukum, berikut ini
dikutip beberapa teori antara lain:
Teori Fiksi:
Teori ini dikembangkan oleh F.C. von Savigny (1779-1861) Menurut teori
ini dikatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan pemerintah/
negara. Sesungguhnya menurut alam, hanya manusia atau orang
perseorangan sajalah sebagai subjek hukum, badan hukum itu hanya
suatu fiksi (anggapan) yang sebenarnya tidak ada, tetapi kemudian
diciptakan yang dalam bayangannya sebagai pelaku hukum (badan
hukum). Badan hukum yang diciptakan ini diperhitungkan atau dianggap
sama dengan manusia sebagai subjek hukum. Untuk itu, sebagai subjek
hukum badan hukum juga merupakan pendukung hak dan kewajiban
dalam lalu lintas hukum.1
Teori Organ:
Teori Organ ini dikembangkan oleh Otto von Gierke (1841-1921). Menurut
teori ini dinyatakan bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas,
artinya badan hukum itu bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi benarbenar ada. Begitu juga badan hukum itu bukanlah suatu kekayaan yang
tidak bersubjek tetapi badan hukum itu suatu organisme yang nyata,
hidup dan bekerja seperti manusia. Menurut teori ini, badan hukum
itu tidak hanya merupakan suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi
badan hukum itu juga mempunyai kehendak dan kemauan sendiri yang
dibentuk melalui alat kelengkapannya yaitu pengurus dan anggota-
R Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koprasi, Yayasan,
Wakaf, Penerbit PT Alumni bandung, 2004, hlm 7-8.
1
224
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
anggotanya. Apa yang pengurus dan anggota-anggotanya putuskan adalah
merupakan kehendak atau kemauan badan hukum.2
Teori Kenyataan Yuridis:
Teori ini dikemukakan oleh E.M. Meijers dan diikuti oleh Paul Scholten.
Teori ini lebih merupakan penghalusan dari teori Organ. Menurut teori
ini dijelaskan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realitas,
kongkrit, dan nyata walaupun tidak dapat diraba, bukan hayal tetapi
suatu kenyataan yuridis. Menurut teori ini badan hukum adalah wujud
yang riil sama riilnya dengan manusia, maksudnya riil menurut hukum.
Teori ini sebenarnya teori organ yang telah diperhalus, artinya tidak
mutlak lagi seperti teori organ. Keberadaan badan hukum di sini
diperlukan menurut hukum sehingga tidak perlu dipersoalkan mana
organ-organ tubuhnya (tangan, kaki, otak dan sebagainya.)3
B.
Badan Hukum Publik
Dalam ilmu hukum dikenal badan hukum privat dan badan hukum
publik. Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan untuk
maksud dan tujuan tertentu oleh orang perseorangan yang
keabsahannya sebagai badan hukum ditentukan oleh instansi
pemerintah yang berwenang. Badan hukum privat ini dalam KUH Perdata
diatur dalam Pasal 1653-1654. Sedangkan pengertian badan hukum
publik adalah badan hukum yang dibentuk oleh kekuasaan umum
dengan kriteria:
1.
Dilihat dari cara pendiriannya/terjadinya badan hukum itu
diadakan dengan konstruksi hukum publik, yaitu didirikan oleh
penguasa (negara) dengan undang-undang.
2.
Lingkungan kerjanya, yaitu dalam melaksanakan tugasnya badan
hukum tersebut pada umumnya dengan publik/umum dan
bertindak dalam kedudukan yang sama dengan publik.
3.
Mengenai wewenangnya, badan hukum tersebut oleh penguasa
diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau
peraturan yang mengikat umum.
Dengan demikian, pengertian badan hukum publik adalah badan
hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum yang lazimnya mempunyai
teritorial yang pada umumnya harus memperhatikan atau
menyelenggarakan kepentingan orang-orang yang tinggal di daerah atau
2
3
Ibid hlm 8.
Chaidir Ali, Badan Hukum, Penerbit PT Alumni Bandung, 2005 hlm 35-36.
225
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
wilayah teritorial badan hukum publik tersebut, misalnya Negara
Republik Indonesia, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, bahkan
termasuk kota/kabupaten. Selain itu, termasuk dalam pengertian badan
hukum publik adalah badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum
misalnya partai politik.
Berdasarkan uraian mengenai pengertian badan hukum publik
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum publik adalah
badan hukum yang mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, dan
keberadaannya dalam lalu lintas hukum dapat mengambil keputusankeputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lain
yang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut.
C.
Badan Hukum Publik BPJS
Untuk lebih memahami keberadaan apa dan siapa badan hukum
publik BPJS ini, perlu memahami norma yang secara jelas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 ditentukan bahwa:
Pasal 5
(1)
Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.
(2)
BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
BPJS Kesehatan; dan
b.
BPJS Ketenagakerjaan.4
Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 7 bahwa:
Pasal 7
(1)
BPJS sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 adalah badan hukum
publik berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada presiden.5
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011, jika normanya dikaitkan dengan pengertian badan
hukum sebagaimana diuraikan sebelumnya dapatlah diidentifikasi
jawabannya apa dan siapa badan hukum publik BPJS itu. Badan hukum
publik BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, jika
4
5
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Peyelenggara Jaminan Sosial Pasal 5.
Ibid, Pasal 7.
226
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
dikaitkan dengan cara pembentukannya dengan undang-undang dan
tugas, fungsi, serta kewenangannya dalam mengambil keputusan/
kebijakan umum dan membuat aturan-aturan yang mengikat umum di
luar anggota BPJS, maka dapat dinyatakan bahwa BPJS adalah badan
hukum publik yang mempunyai tugas dan kewenangan umum bahkan
harus bertanggung jawab kepada Presiden.
Untuk menguji secara yuridis/normatif bahwa BPJS itu benarbenar merupakan badan hukum publik, maka dapat dilihat fungsi, tugas,
dan wewenang BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
D.
Transformasi Badan Hukum BPJS Menurut Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
D.1. Latar Belakang Pembentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) dan BPJS
Badan Hukum Publik BPJS yang dibentuk berdasarkan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS adalah untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS dimaksud meliputi
BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan yang berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan, program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan
pensiun, dan jaminan hari tua.
Program jaminan sosial sebagaimana disebutkan di atas
sesungguhnya pada saat ini telah diselenggarakan oleh badan hukum
privat yang berbentuk BUMN, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero)
PT Asuransi Kesehatan Indonesia (PT Askes), Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek), Perusahaan
Perseroan (Persero) PT ASABRI, dan Perusahaan Perseroan (Persero)
PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen). Keempat
Perusahaan Perseroan (Persero) tersebut pada saat ini sesuai dengan
lingkup tugas dan bidang masing-masing, sesungguhnya telah
menyelenggarakan program jaminan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Namun demikian,
penyelenggaraannya belum dilakukan secara menyeluruh, terintegrasi,
terstandar dan terukur, baik di bidang keperataan, iuran maupun
pemberian manfaat kepada peserta. Dalam penyelenggaraan program
jaminan sosial, masing-masing persero mempunyai standar dan ukuran
sendiri-sendiri dan lebih bersifat parsial dan tidak menyeluruh. Selain
227
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
itu, penyelenggraannya juga berbentuk badan usaha yang lebih
berorientasi pada mencari keuntungan. Jadi, secara ideologis
penyelenggaraan jaminan sosial tersebut merupakan kegiatan usaha
atau bisnis semata, walaupun bentuk badan usahanya adalah BUMN
yang secara filosofis masih mempunyai tanggung jawab untuk
memberikan pelayanan umum.
Sehubungan dengan hal tersebut, atas kesadaran semua pihak
sebagai komponen bangsa bahwa secara konstitusional sesungguhnya
penyelenggaraan program jaminan sosial tersebut, di satu sisi
merupakan tanggung jawab/kewajiban negara dan pada sisi yang lain
adalah hak konstitusional bagi warga masyarakat dan bangsa
Indonesia, terutama bagi warga masyarakat miskin dan tidak mampu.
Sinyalement tersebut didasarkan pada Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) yo Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) dan ayat(3) menyatakan :
Pasal 28 H
(1)
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
(3)
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermanfaat.
Selanjutnya dalam Pasal 34 ditentukan :6
Pasal 34
(1)
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara
(2)
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan
(3)
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.7
6
7
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 H
Ibid, Pasal 34.
228
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
Berdasarkan pertimbangan konstatasi fakta sosiologis dan filosofis
konstitusional sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 28 H
ayat (1), Ayat (2), dan ayat (3) yo Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut,
maka pada tanggal 19 Oktober 2004 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disahkan dan
diundangkan. Undang-undang ini secara jelas dan cukup rinci mengatur
SJSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dan untuk
menyelenggarakan SJSN tersebut dibentuk DJSN. Selain itu, dalam
penyelenggaraan SJSN perlu dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial atau disisngkat BPJS dengan Undang-Undang. Namun demikian,
dengan berbagai alasan dan pertimbangan, baik secara ekonomis,
sosiologis, maupun politis BPJS yang menurut ketentuan Pasal 5 ayat(1)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 harus dibentuk dengan UndangUndang, baru dapat dibentuk pada tanggal 25 November 2011
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
D.2. DJSN Sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian
Pengertian DJSN yang menurut ketentuan Pasal 1 butir 11 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang SJSN adalah dewan yang
berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum
dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN, secara kelembagaan dan
fungsional merupakan LPNK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
untuk membantu Presiden. Oleh sebab itu, dalam kedudukannya sebagai
pembantu Presiden tersebut secara konstitusional sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah LPNK, sehingga DJSN mempunyai peran yang sangat
strategis dalam penyelenggaraan program jaminan sosial. DJSN dalam
penyelenggaraan SJSN berfungsi sebagai pembantu Presiden untuk
merumuskan kebijakan umum dan melakukan singkronisasi
penyelenggaraan SJSN yang pada saat ini telah berjalan dan diselenggara
oleh 4 (empat) perusahaan perseroan (Persero) yang masing-masing
berjalan sendiri dengan system, standar, dan tolok ukur yang berbeda,
karena tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan, selain
pemberian pelayanan umum. Dengan demikian, keberhasilan DJSN
dalam menjalankan peran strategisnya tersebut akan sangat tergantung
pada komitmen semua pihak, terutama pemerintah dan pelaku usaha
sebagai pemberi kerja.
229
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Penyelenggaraan SJSN yang sangat kompleks dan sarat dengan
berbagai kepentingan serta isu sosial, ekonomi, politik, dan hukum akan
berhasil dan berjalan dengan baik, jika semua pihak sebagai stakeholder
mempunyai visi, misi, dan persepsi yang sama akan pentingnya jaminan
sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak. Kebijakan dan pelaksaan jaminan sosial yang pada saat ini
tersebar di berbagai kementerian, terutama Kementerian Kesehatan
dan Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, dan
pelaksanaannya diselenggarakan oleh beberapa perusahaan perseroan
(Persero), harus segera diintegrasikan dan disinkronkan. Kewenangan
perumusan kebijkan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN
harus diserahkan kepada DJSN. Dengan demikian, perumusan
kebijakan yang menyeluruh, terintegrasi, terstandar, dan terukur dapat
dilakukan sehingga tujuan penyelenggaraan SJSN sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
SJSN dapat diwujudkan.
D.3. BPJS sebagai Badan Hukum Publik Penyelenggara Jaminan
Sosial
BPJS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya
pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak
bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. BPJS yang menurut
ketentuan Pasal 5 ayat (2) terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan tersebut berfungsi menyelenggarakan Program
Jaminan Sosial Kesehatan, Program Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja,
Program Jaminan Sosial Kematian, Program Jaminan Sosial Pensiun,
dan Program jaminan Sosial Hari Tua. Dalam melaksanakan fungsi
tersebut, BPJS bertugas untuk:
a.
melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
b.
memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi
kerja;
c.
menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
d.
mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta;
e.
mengumpulkan dan mengelola data peserta Program Jaminan
Sosial;
f.
membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan
sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial; dan
230
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
g.
memberikan informasi mengenai Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat.8
Selanjutnya agar BPJS tersebut dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik dan efektif, maka berdasarkan ketentuan Pasal 11 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 diberi wewenang untuk:
a.
menagih pembayaran iuran;
b.
menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek
dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang
memadai;
c.
melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta
dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d.
membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar
pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif
yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e.
membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas
kesehatan;
f.
mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi
kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;
g.
melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang
mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam
memenuhi kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
h.
melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
penyelenggaraan program jaminan sosial.9
Selain fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana tersebut di atas,
BPJS dalam melaksanakan Program Jaminan Sosial juga mempunyai
kewajiban yang cukup berat. Kewajiban BPJS tersebut di atas dalam
Pasal 13 ditentukan sebagai berikut:
a.
memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta;
b.
mengembangkan aset dana jaminan sosial dan aset BPJS untuk
sebesar-besarnya kepentingan peserta;
8
9
Lock Cit, Pasal 10.
Ibid, Pasal 11.
231
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
c.
memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik
mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil
pengembangannya;
d.
memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e.
Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan
kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;
f.
Membaerikan informasi kepada peserta mengenai prosedut untuk
mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
g.
Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo jaminan
hari tua dan pengembangannya 1 (satu kali) dalam 1 (satu) tahun;
h.
Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak
pensiun 1 (satu kali) dalam 1 (satu) tahun;
i.
Membentuk cadangan teknis dengan standar praktik aktuaria yang
lazim dan berlaku umum;
j.
Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang
berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan
k.
Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi
keuangan secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden
dengan tembusan kepada DJSN.10
Dengan fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban yang sedemikian
berat tersebut, BPJS akan dapat melaksanakannya dengan baik, jika
semua stakeholder memberi dukungan dalam pengelolaannya mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan secara utuh, seimbang,
dan proporsional. Bahkan pada saat ini, sesuai dengan mandat dari
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, seluruh stakeholder harus
mempunyai komitment yang tinggi dan penuh tanggung jawab
membantu dan mendukung proses transformasi penyelenggaraan
jaminan sosial yang pada saat ini masih tersebar menjadi tanggung jawab
beberapa kementerian dan persero tersebut untuk dialihkan/
diserahkan kepada BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dengan
mekanisme yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011.
10
Ibid, Pasal 13.
232
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
D.4. Tata Cara Pengalihan Tanggung Jawab Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa BPJS terdiri dari
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan
pension, dan program jaminan hari tua. Berdasarkan ketentuan Pasal
60 Ayat (1) dan Ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
ditentukan bahwa BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 dan pada saat
itu pula PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa liquidasi dan semua
aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero)
menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS
Kesehatan. Begitu juga, berdasarkan ketentuan Pasal 62 Ayat (1) dan
Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2014 PT Jamsostek (Persero) statusnya berubah
menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan bersamaan dengan perubahan
status tersebut, PT Jamsostek dinyatakan bubar tanpa liquidasi dan
semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek
(Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum
BPJS Ketenagakerjaan.
Ketentuan Pasal 60 Ayat (1) dan Ayat (3) huruf a serta Pasal 62 Ayat
(1) dan Ayat (2) huruf a tersebut sangat jelas normanya, yaitu bahwa
terhitung mulai 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan mulai beroperasi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan PT Jamsostek
(Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Terhitung sejak pada
saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan dan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan, maka pada saat itu pula PT Askes (Persero) dan
PT Jamsostek (Persero) statusnya sebagai badan usaha yang berbentuk
badan hukum menjadi bubar. Selain itu, bubarnya status kedua Persero
tersebut terjadi tanpa liquidasi terlebih dahulu dan semua aset dan
liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes dan PT Jamsostek
beralih menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, terhitung sejak tanggal
1 Januari 2014 PT Askes dan PT Jamsostek statusnya sebagai badan
usaha yang berbentuk badan hukum penyelenggara program jaminan
sosial berakhir karena hukum dan seluruh asetnya, baik yang berupa
233
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
aktiva maupun pasiva terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014 beralih
menjadi aset BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan bubarnya kedua Persero (PT Askes dan PT Jamsostek) serta
beralihnya aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum kedua
Persero menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan tersebut, maka
menimbulkan akibat hukum sebagai berikut:
a.
Berdasarkan ketentuan Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 akibat hukum yang timbul meliputi:
a)
Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan masyarakat;
b)
Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan
program pelayanan kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk
pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan
operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden;
dan
c)
PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan.11
Selain itu, berdasarkan ketentuan ayat (3)nya akibat hukum yang timbul
meliputi:
b.
a)
Semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS
Kesehatan; dan
b)
Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) mengesahkan laporan posisi
keuangan penutup PT Askes (Persero) setelah dilakukan audit
oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuangan
mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJS
Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana
jaminan kesehatan.12
Berdasarkan ketentuan Pasal 62 Ayat (2) huruf b, dan c dinyatakan
bahwa :
a)
11
12
Semua pegawai PT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS
Ketenagakerjaan; dan
Ibid, Pasal 60 ayat (2).
Ibid, Pasal 60 ayat (3).
234
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
b)
Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) mengesahkan laporan posisi
keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelah dilakukan
audit oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuangan
mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJS
Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembuka dana
jaminan ketenagakerjaan.13
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan langkah-langkah
persiapan yang harus dilakukan secara terencana dan terpadu sebelum
BPJS Kesehatan mulai beroperasi dalam penyelenggaraan program
jaminan kesehatan. Untuk itu, berdasarkan ketentuan Pasal 58 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 ditentukan bahwa pada saat berlakunya
Undang-Undang BPJS ini, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes
(Persero) sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan ditugasi untuk:
a.
Menyiapkan operasional BPJS Kesehatan untuk program jaminan
kesehatan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 – Pasal 28 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN; dan
b.
Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan
kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 ditentukan bahwa pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Dewan
Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) sampai dengan
berubahnya PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan
ditugasi untuk:
a.
Menyiapkan pengalihan program jaminan pemeliharaan kesehatan
kepada BPJS Kesehatan;
b.
Menyiapkan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,
dan jaminan kematian;
c.
Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban
program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero)
terkait penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan
kesehatan ke BPJS Kesehatan; dan
d.
Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan
kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.14
14
13
Ibid, Pasal 61.
Ibid, Pasal 62 ayat (2) huruf b dan c.
235
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Terkait dengan langkah-langkah persiapan dalam penyelenggaraan
program jaminan kesehatan, Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 menentukan bahwa untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan
Direksi PT Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan Pengawas dan
Direksi BPJS Kesehatan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun sejak
BPJS Kesehatan mulai beroperasi,15 dan berdasarkan ketentuan Pasal
63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, untuk pertama kali Dewan
Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) diangkat menjadi Dewan
Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu
paling lama 2 tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi.16
Suatu hal yang perlu dicatat bahwa tanggal 1 Januari 2014 tersebut
merupakan saat berubahnya status PT Jamsostek (Persero) menjadi
BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan saat mulai beroperasinya
berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ditentukan
paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Untuk menghindari kekosongan hukum dalam penyelenggaraan
program jaminan sosial maka berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang 24
Tahun 2011 ditentukan bahwa pada saat Undang-Undang BPJS mulai
berlaku :
a.
PT Askes (Persero) diakui keberadaannya dan tetap melaksanakan
program jaminan kesehatan, termasuk menerima pendaftaran
peserta baru, sampai beroperasinya BPJS Kesehatan;
b.
Kementerian Kesehatan tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat,
termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya
BPJS Kesehatan;
c.
Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia tetap melaksanakan
kegiatan operasional penyelenggaraan layanan kesehatan bagi
pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan
beroperasinya BPJS Kesehatan, kecuali untuk pelayanan kesehatan
tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang
ditetapkan dengan Peraturan Presiden;
d.
PT. Jamsostek (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan:
15
16
Ibid, Pasal 59.
Ibid, Pasal 63.
236
Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...
1.
Program Jaminan Kesehatan termasuk penambahan peserta baru
sampai beroperasinya BPJS Kesehatan; dan
2.
Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan
jaminan Hari Tua bagi pesertanya termasuk penambahan peserta
baru sampai dengan berubah jadi BPJS Ketenagakerjaan
e.
PT. ASABRI (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan Program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan Program Pembayaran Pensiun bagi
pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan
dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan;
f.
PT. TASPEN (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program
pembayaran pensiun bagi pesertanya termasuk penambahan
peserta baru, sampai dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.17
Satu hal yang harus dicatat, bahwa berdasarkan Pasal 65 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 ditentukan bahwa PT. ASABRI (Persero)
menyelesaikan pengalihan Program Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dan Program Pembayaran Pensiun
paling lambat tahun 2009, sedangkan PT. TASPEN (persero)
menyelesaikan program tabungan hari tua dan program pembayaran
pensiun dari PT. TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat
tahun 2009.
E.
Penutup
Demikian hasil analisis dan kajian hukum mengenai badan
hukum publik BPJS dan transformasinya menurut Undang-Undang
nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Hasil analisis dan kajian hukum ini diharapkan menjadi policy paper
dalam persiapan pelaksanaan penyelenggarakan program jaminan
sosial. Urutan langkah ansipatif sebagaimana tercantum dalam Bab IV
merupakan tata urutan hierarki untuk kegiatan yang harus diambil
sehubungan dengan persiapan pelaksanaan penyelenggaraan program
jaminan sosial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang BPJS. Tataurutan kegiatan tersebut sejauh mungkin disusun
dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang
17
Ibid, Pasal 57.
237
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yaitu peraturan pelaksanaan
Undang-Undang BPJS harus sudah ditetapkan paling lama dalam waktu
1 tahun untuk peraturan yang mendukung beroprasinya BPJS Kesehatan
dan paling lama 2 tahun untuk peraturan yang mendukung beroprasinya
BPJS Ketenagakerjaan, terhitung sejak Undang-Undang BPJS
diundangkan. Namun demikian, mengingat substansi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS materinya saling terkait maka
penyusunan urutan kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan secara
konsisten. Selain itu, beberapa materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang SJSN secara substantif diatur kembali dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Dengan demikian,
penyusunan peraturan pelaksanaan sebagai langkah antisipatif dalam
persiapan dan pelaksanaan penyelenggaraan program jaminan sosial
harus benar-benar memperhatikan urgensi materinya.
Daftar Pustaka
Achmad Subianto, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pilar Penyangga
Kemandirian Perekonomian Bangsa, Diterbitkan Dalam Bahasa
Indonesia Oleh Gabon Books dan Yayasan Bermula Dari Kanan.
Haidir Ali, Badan Hukum, Penerbit PT Alumni Bandung, 2005.
H.A. Daradjat Kartawidjaja, Konsep dan Efektifitas, Implementasi
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Diterbitkan
Madani Publishing, 2011.
R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Koprasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit PT Alumni
bandung, 2004.
Dewan Jaminan Sosial Nasional Road Map Pencapaian Kepersertaan
Menyeluruh (Universal Coverage) Program Jaminan Kesehatan
Di Indonesia, 2011.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Peyelenggara
Jaminan Sosial.
238
TRANSFORMASI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
(SOCIAL SECURITY ADMINISTERING AGENCY TRANSFORMATION)
(Naskah diterima 23/05/2012, disetujui 23/07/2012)
Asih Eka Putri*
Abstrak
Transformasi menjadi kosa kata penting sejak tujuh tahun terakhir di
Indonesia, tepatnya sejak diundangkannya UU SJSN pada 19 Oktober 2004.
Transformasi akan menghadirkan identitas baru dalam penyelenggaraan
program jaminan sosial di Indonesia. UU BPJS membentuk dua Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan
kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja
di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun dan jaminan kematian bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk orang
asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.
Empat BUMN Persero penyelenggara program jaminan sosial – PT ASKES
(Persero), PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero), dan PT TASPEN
(Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS. UU BPJS telah menetapkan
PT ASKES (Persero) untuk bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan
PT JAMSOSTEK akan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. UU BPJS
belum mengatur mekanisme transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN
(Persero) dan mendelegasikan pengaturannya ke Peraturan Pemerintah.
Kata kunci: Transformasi, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan.
Abstract
Transformation into a critical vocabulary from the last seven years in Indonesia,
precisely since the enactment of the National Social Security Law on October 19,
2004. Transformation will bring a new identity in the administration of social security programs in Indonesia. Social Security Administering Agency (BPJS) Law established two Social Security Administering Agency (BPJS), Health Social Security
Administering Agency and Labor Social Security Administering Agency. Health Social
Security Administering Agency organized health insurance program for the entire
population of Indonesia, including foreigners working in Indonesia for a minimum of
6 (six) months in Indonesia. Labor Social Security Administering Agency organized
program of work accident insurance, old phase insurance, pension and life insurance for Indonesian workers, including foreigners working in Indonesia for a
minimum of 6 (six) months in Indonesia. Four state-owned Corporation providers of
social security programs - PT Askes (Persero), PT ASABRI (Persero), PT Jamsostek
(Persero), and PT TASPEN (Persero) will be transformed into BPJS. BPJS Law has
set the PT Askes (Persero) to transform into Health BPJS and PT JAMSOSTEK be
*
Direktur Konsultan Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan MARTABAT.
239
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
transformed into Labor BPJS. BPJS Law transformation mechanism has not been set
ASABRI PT (Persero) and PT TASPEN (Persero) and delegate the setting to
government regulation.
Keywords: Transformation, BPJS of Health, Labor BPJS.
A.
Pendahuluan
Perintah transformasi kelembagaan badan penyelenggara jaminan
sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Penjelasan Umum alinea
kesepuluh UU SJSN menjelaskan bahwa, Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang dibentuk oleh UU SJSN adalah transformasi dari badan
penyelenggara jaminan sosial yang tengah berjalan dan dimungkinkan
membentuk badan penyelenggara baru.
Transformasi badan penyelenggara diatur lebih rinci dalam UndangUndang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS). UU BPJS adalah pelaksanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi atas Perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
Penjelasan Umum UU BPJS alinea keempat mengemukakan bahwa
UU BPJS merupakan pelaksanaan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua pasal ini mengamanatkan
pembentukan BPJS dan transformasi kelembagaan PT ASKES (Persero),
PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero) dan PT TASPEN (Persero)
menjadi BPJS. Transformasi kelembagaan diikuti adanya pengalihan
peserta, program, aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban.
B.
Makna Transformasi
UU SJSN dan UU BPJS memberi arti kata ‘transformasi’ sebagai
perubahan bentuk BUMN Persero yang menyelenggarakan program
jaminan sosial, menjadi BPJS. Perubahan bentuk bermakna perubahan
karakteristik badan penyelenggara jaminan sosial sebagai penyesuaian
atas perubahan filosofi penyelenggaraan program jaminan sosial.
Perubahan karakteristik berarti perubahan bentuk badan hukum yang
mencakup pendirian, ruang lingkup kerja dan kewenangan badan yang
selanjutnya diikuti dengan perubahan struktur organisasi, prosedur
kerja dan budaya organisasi.
1.
Perubahan Filosofi Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Badan Usaha Milik Negara Persero penyelenggara jaminan sosial
terdiri dari PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN.
Keempatnya adalah badan hukum privat yang dirikan sesuai ketentuan
240
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara dan tatakelolanya tunduk pada ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Misi yang dilaksanakan oleh keempat Persero tersebut merujuk
pada peraturan perundangan yang mengatur program-program jaminan
sosial bagi berbagai kelompok pekerja. Walaupun program-program
jaminan sosial yang tengah berlangsung saat ini diatur dalam peraturan
perundangan yang berlainan, keempat Persero mengemban misi yang
sama, yaitu menyelenggarakan program jaminan sosial untuk
menggairahkan semangat kerja para pekerja.
Program JAMSOSTEK diselenggarakan dengan pertimbangan selain
untuk memberikan ketenangan kerja juga karena dianggap mempunyai
dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan
produktifitas tenaga kerja.1 Program JAMSOSTEK diselenggarakan untuk
memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, serta merupakan
penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga
dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.2
Begitu pula dengan Program ASKES dan Program TASPEN,
penyelenggaraan kedua program jaminan sosial bagi pegawai negeri sipil
adalah insentif yang bertujuan untuk meningkatkan kegairahan
bekerja.3 Program ASABRI adalah bagian dari hak prajurit dan anggota
POLRI atas penghasilan yang layak.4
Sebaliknya di era SJSN, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) merepresentasikan Negara dalam mewujudkan hak
konstitusional warga Negara atas jaminan sosial dan hak atas
pengidupan yang layak. Penyelenggaraan jaminan sosial berbasis kepada
hak konstitusional setiap orang dan sebagai wujud tanggung jawab Negara
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Penjelasan Umum alinea ke-2 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penjelasan Umum alinea ke-7 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
3
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian
4
Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Pasal 5 huruf
a dan huruf i PP No. 42 Tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota POLRI
1
2
241
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (3)5 dan Pasal 34 ayat
(2)6. Penyelenggaraan sistem jaminan sosial berdasarkan asas antara
lain asas kemanusiaan yang berkaitan dengan martabat manusia.7 BPJS
mengemban misi perlindungan finansial untuk terpenuhinya kehidupan
dasar warga Negara dengan layak. Yang dimaksud dengan kebutuhan
dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup
layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.8
Transformasi BUMN Persero menjadi BPJS bertujuan untuk
memenuhi prinsip dana amanat dan prinsip nir laba SJSN, di mana
dana yang dikumpulkan oleh BPJS adalah dana amanat peserta yang
dikelola oleh BPJS untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
peserta.9
Penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BUMN Perseroan
tidak sesuai dengan filosofi penyelenggaraan program jaminan sosial
pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pendirian BUMN Persero antara lain bertujuan untuk
memberikan sumbangan pada perekonomian nasional dan pendapatan
negara serta untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai
perusahaan.10 Tujuan pendirian BUMN jelas bertentangan dengan tujuan
penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diuraikan
di atas.
2.
Perubahan Badan Hukum
Keempat BUMN Persero penyelenggara program jaminan sosial –
PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN, adalah empat badan
privat yang terdiri dari persekutuan modal dan bertanggung jawab kepada
pemegang saham. Keempatnya bertindak sesuai dengan kewenangan
yang diberikan oleh dan sesuai dengan keputusan pemilik saham yang
tergabung dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)11.
Sebagai badan hukum privat, BUMN Persero tidak didirikan oleh
penguasa Negara dengan Undang-Undang, melainkan didirikan oleh
Pasal 28 H ayat (3) UUD NRI 1945: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.
6
Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
7
Penjelasan Pasal 2 UU No. 40 Tahun 2004.
8
Penjelasan Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2004.
9
Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
10
Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 12 huruf b UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
11
Pasal 13 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
5
242
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
perseorangan selayaknya perusahaan umum lainnya, didaftarkan pada
notaris dan diberi keabsahan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Menteri mendirikan persero setelah berkonsultasi dengan Presiden dan
setelah dikaji oleh Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. 12
Sebaliknya, pendirian BPJS dilakukan oleh penguasa Negara
dengan Undang-undang, yaitu UU SJSN dan UU BPJS. Pendirian BPJS
tidak didaftarkan pada notaris dan tidak perlu pengabsahan dari lembaga
pemerintah. 13
RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam Persero dan memegang wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Komisaris. Transformasi kelembagaan jaminan sosial
mengeluarkan badan penyelenggara jaminan sosial dari tatanan Persero
yang berdasar pada kepemilikan saham dan kewenangan RUPS, menuju
tatanan badan hukum publik sebagai pelaksana amanat konstitusi dan
peraturan perundangan. Selanjutnya, perubahan berlanjut pada
organisasi badan penyelenggara. Didasari pada kondisi bahwa kekayaan
Negara dan saham tidak dikenal dalam SJSN, maka RUPS tidak dikenal
dalam organ BPJS.
Organ BPJS terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi. Dewan
Pengawas berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
BPJS, sedangkan Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan
kegiatan operasional BPJS. 14 Anggota Direksi diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden15. Berbeda dengan Dewan Pengawas BUMN
Persero, Dewan Pengawas BPJS ditetapkan oleh Presiden. Pemilihan
Dewan Pengawas BPJS dilakukan oleh Presiden dan DPR. Presiden
memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur Pemerintah, sedangkan
DPR memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur Pekerja, unsur
Pemberi Kerja dan unsur tokoh masyarakat.
Sebagai badan hukum privat, keempat BUMN Persero tersebut tidak
memiliki kewenangan publik yang seharusnya dimiliki oleh badan
penyelenggara jaminan sosial. Hambatan utama yang dialami oleh
keempat BUMN Persero adalah ketidakefektifan penegakan hukum
jaminan sosial karena ketiadaan kewenangan untuk mengatur,
mengawasi maupun menjatuhkan sanksi kepada peserta. Sebaliknya,
12
Pasal 10 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Pasal 7 UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
13
Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 24 Tahun 2011
tentang BPJS
14
Pasal 20, Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS
15
Pasal 23 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS
243
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
BPJS selaku badan hukum publik memiliki kekuasaan dan kewenangan
untuk mengatur publik melalui kewenangan membuat peraturanperaturan yang mengikat publik.
Sebagai badan hukum publik, BPJS wajib menyampaikan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada pejabat publik
yang diwakili oleh Presiden. BPJS menyampaikan kinerjanya dalam
bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang
telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden, dengan tembusan
kepada DJSN, paling lambat 30 Juni tahun berikutnya.
Perubahan terakhir dari serangkaian proses transformasi badan
penyelenggara jaminan sosial adalah perubahan budaya organisasi.
Reposisi kedudukan peserta dan kepemilikan dana dalam tatanan
penyelenggaraan jaminan sosial mengubah perilaku dan kinerja badan
penyelenggara. Pasal 40 ayat (2) UU BPJS mewajibkan BPJS
memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial. Pasal 40 ayat
(3) UU BPJS menegaskan bahwa aset Dana Jaminan Sosial bukan
merupakan aset BPJS. Penegasan ini untuk memastikan bahwa Dana
Jaminan Sosial merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang
tidak merupakan aset BPJS.
Tabel 1. Karakteristik BPJS sebagai badan hukum publik
BPJS merupakan badan hukum publik karena memenuhi persyaratan
sebagai berikut:Dibentuk dengan Undang-Undang (Pasal 5 UU
BPJS)Berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang berdasarkan asas
kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 UU BPJS)Diberi delegasi kewenangan untuk
membuat aturan yang mengikat umum (Pasal 48 ayat (3) UU
BPJS)Bertugas mengelola dana publik, yaitu dana jaminan sosial
untuk kepentingan peserta (Pasal 10 huruf d UU BPJS)Berwenang
melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta
dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional
(Pasal 11 huruf c UU BPJS)Bertindak mewakili Negara RI sebagai
anggota organisasi atau lembaga internasional (Pasal 51 ayat (3) UU
BPJS)Berwenang mengenakan sanksi administratif kepada peserta
atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 11
huruf f UU BPJS).Pengangkatan Angggota Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi oleh Presiden, setelah melalui proses seleksi publik
(Pasal 28 s/d Pasal 30 UU BPJS).
244
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
3.
Proses Transformasi
UU BPJS mengatur ketentuan pembubaran dan pengalihan
PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero). Ketentuan pembubaran
BUMN Persero tidak berlaku bagi pembubaran PT ASKES (Persero) dan
PT JAMSOSTEK (Persero)16. Pembubaran kedua Persero tersebut tidak
perlu diikuti dengan likuidasi 17, dan tidak perlu ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.18 Namun, UU BPJS tidak jelas mengatur apakah
ketentuan ini juga berlaku bagi pembubaran dan transformasi PT ASABRI
(Persero) dan PT TASPEN (Persero).
Proses transformasi keempat BUMN Persero tersebut tidaklah
sederajat. Ada tiga derajat transformasi dalam UU BPJS. Tingkat tertinggi
adalah transformasi tegas. UU BPJS dengan tegas mengubah
PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan,
membubarkan PT JAMSOSTEK (Persero) dan mencabut Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK.
Tingkat kedua adalah transformasi tidak tegas. UU BPJS tidak
secara eksplisit mengubah PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan,
maupun pencabutan peraturan perundangan terkait pembentukan
PT ASKES (Persero). UU BPJS hanya menyatakan pembubaran PT ASKES
(Persero) menjadi BPJS Kesehatan sejak beroperasinya BPJS Kesehatan
pada 1 Januari 2014. Perubahan PT ASKES (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan tersirat dalam kata pembubaran PT ASKES (Persero) dan
beroperasinya BPJS Kesehatan.
Tingkat ketiga adalah tidak bertransformasi. UU BPJS tidak
menyatakan perubahan maupun pembubaran PT ASABRI (Persero) dan
PT TASPEN (Persero). UU BPJS hanya mengalihkan program dan fungsi
kedua Persero sebagai pembayar pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan
selambatnya pada tahun 2029. Bagaimana nasib kedua Persero tersebut
masih menunggu rumusan peraturan Pemerintah yang didelegasikan
oleh Pasal 66 UU BPJS.
Di samping terdapat tingkatan transformasi, UU BPJS menetapkan
dua kriteria proses transformasi BPJS. UU BPJS memberi tenggat
2 tahun sejak pengundangan UU BPJS (pada 25 November 2011) kepada
PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero) untuk beralih dari
Perseroan menjadi badan hukum publik BPJS. Namun, saat mulai
beroperasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan terpaut 1,5 tahun.
16
17
18
Pasal 67 UU NO. 24 Tahun 2011
Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 64 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
245
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Kriteria pertama adalah transformasi simultan. PT ASKES (Persero)
pada waktu yang sama bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan
beroperasi. Mulai 1 Januari 2014 PT ASKES (Persero) berubah menjadi
BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UU
SJSN.
Kriteria kedua adalah transformasi bertahap. PT JAMSOSTEK
(Persero) bertransformasi dan beroperasi secara bertahap. Pada
1 Januari 2014, PT JAMSOSTEK (Persero) bubar dan berubah menjadi
BPJS Ketenagakerjaan, namun tetap melanjutkan penyelenggaraan tiga
program PT JAMSOSTEK (Persero) – jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kematian dan jaminan hari tua. BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu
1,5 tahun untuk menyesuaikan penyelenggaraan ketiga program
tersebut dengan ketentuan UU SJSN dan menambahkan program
jaminan pensiun ke dalam pengelolaannya. Selambat-lambatnya pada
1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menyelenggarakan program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan
jaminan pensiun sesuai UU SJSN.
3.1
Transformasi PT ASKES (Persero) Menjadi BPJS Kesehatan
Masa persiapan transformasi PT ASKES (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan adalah selama dua tahun terhitung mulai 25 November 2011
sampai dengan 31 Desember 2013. Dalam masa persiapan, Dewan
Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) ditugasi untuk menyiapkan
operasional BPJS Kesehatan, serta menyiapkan pengalihan aset dan
liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke
BPJS Kes.
Penyiapan operasional BPJS Kesehatan mencakup:
-
penyusunan sistem dan prosedur operasional BPJS Kesehatan,
-
sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan,
-
ketentuan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan UU
SJSN,
-
Koordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkan
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas),
-
Kordinasi dengan KemHan,TNI dan POLRI untuk mengalihkan
penyelenggaraan program pelayanan kesehatan bagi anggota TNI/
POLRI dan PNS di lingkungan KemHan,TNI/POLRI, dan
-
koordinasi dengan PT Jamsostek (Persero) untuk mengalihkan
246
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan
Jamsostek.
Penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan
kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan, mencakup
penunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:
-
laporan keuangan penutup PT Askes(Persero),
-
laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kes,
-
laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.
Pada saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014,
PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Semua aset dan
liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadi
aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan,
dan semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan.
Pada saat yang sama, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkan
laporan posisi keuangan penutup PT Askes (Persero) setelah dilakukan
audit oleh kantor akuntan publik. Menteri Keuangan mengesahkan
laporan posisi keuangan pembuka BPJS Kes dan laporan keuangan
pembuka dana jaminan kesehatan. Untuk pertama kali, Dewan
Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan
Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan untuk jangka waktu paling lama
2 tahun sejak BPJS Kesehatan mulai beroperasi.
Mulai 1 Januari 2014, program-program jaminan kesehatan sosial
yang telah diselenggarakan oleh pemerintah dialihkan kepada BPJS
Kesehatan. Kementerian kesehatan tidak lagi menyelenggarakan
program Jamkesmas. Kementerian Pertahanan,TNI dan POLRI tidak
lagi menyelenggarakan program pelayanan kesehatan bagi pesertanya,
kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan
operasionalnya yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan pekerja.
3.2
Transformasi PT JAMSOSTEK (Persero) Menjadi BPJS
Ketenagakerjaan
Berbeda dengan transformasi PT ASKES (Persero), transformasi
PT Jamsostek dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah masa peralihan PT JAMSOSTEK (Persero)
menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 tahun, mulai 25
November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013. Tahap pertama
247
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014.
Tahap kedua, adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJS
Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai
dengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsung
selambat-lambatnya hingga 30 Juni 201 dan diakhiri dengan
beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempat
program tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada
1 Juli 2015.
Selama masa persiapan, Dewan Komisaris dan Direksi
PT Jamsostek (Persero) ditugasi untuk menyiapkan:
-
Pengalihan program jaminan kesehatan Jamsostek kepada BPJS
Kesehatan.
-
Pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban
program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero)
ke BPJS Kesehatan.
-
Penyiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan berupa
pembangunan sistem dan prosedur bagi penyelenggaraan program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun
dan jaminan kematian, serta sosialisasi program kepada publik.
-
Pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban
PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan
kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mencakup
penunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:
-
laporan keuangan penutup PT Askes(Persero),
-
laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kesehatan, dan
-
laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.
Seperti halnya pembubaran PT ASKES (Persero), pada 1 Januari
2014 PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan
PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum
PT Jamsostek (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan
kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan. Semua pegawai
PT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan.
248
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pada saat pembubaran, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkan
laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelah
dilakukan audit oleh kantor akuntan publik. Menteri Keuangan
mengesahkan posissi laporan keuangan pembukaan BPJS
Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan
ketenagakerjaan.
Sejak 1 Januari 2014 hingga selambat-lambatnya 30 Juni 2015,
BPJS Ketenagakerjaan melanjutkan penyelenggaraan tiga program yang
selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), yaitu program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian,
termasuk menerima peserta baru. Penyelenggaraan ketiga program
tersebut oleh BPJS Ketenagakerjaan masih berpedoman pada ketentuan
Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek.
Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan
beroperasi sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Seluruh pasal UU
Jamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan
UU SJSN untuk seluruh pekerja kecuali Pegawai Negeri Sipil, Anggota
TNI dan POLRI.
Untuk pertama kali, Presiden mengangkat Dewan Komisaris dan
Direksi PT Jamsostek (Persero) menjadi aggota Dewan Pengawas dan
anggota Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama
2 tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi.19 Ketentuan
ini berpotensi menimbulkan kekosongan pimpinan dan pengawas BPJS
Ketenagakerjaan di masa transisi, mulai saat pembubaran
PT JAMSOSTEK pada 1 Januari 2014 hingga beroperasinya BPJS
Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.
3.3
Transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero)
Menjadi BPJS Ketenagakerjaan
UU BPJS tidak membubarkan PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN
(Persero), juga tidak mengalihkan kedua Persero tersebut menjadi BPJS.
UU BPJS tidak mengatur pembubaran badan, pengalihan aset dan
liabilitas, pengalihan pegawai serta hak dan kewajiban PT ASABRI
(Persero) dan PT TASPEN (Persero).
19
Pasal 63 UU No. 24 Tahun 2011.
249
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
UU BPJS hanya mengalihkan fungsi kedua Persero, yaitu
penyelenggaraan program perlindungan hari tua dan pembayaran
pensiun yang diselenggarakan oleh keduanya ke BPJS Ketenagakerjaan
paling lambat pada tahun 2029. UU BPJS mendelegasikan pengaturan
tatacara pengalihan program yang diselenggarakan oleh keduanya ke
Peraturan Pemerintah.20 Berikut kutipan ketentuan yang mengatur
pengalihan program ASABRI dan program TASPEN:
Pasal 65 ayat 1, “PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program
pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.”
Pasal 65 ayat 2, “PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program
tabungan hari tua dan program pembayaran tabungan hari tua dan program
pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan
paling lambat tahun 2029.”
UU BPJS mewajibkan PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero)
untuk menyusun roadmap tansformasi paling lambat tahun 2014.21
4.
Kelengkapan Peraturan Perundangan
Transformasi PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero)
menjadi BPJS memerlukan koridor hukum yang diatur oleh peraturan
pelaksanaan UU BPJS. Untuk penyelenggaraan program, BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan memerlukan peraturan
pelaksanaan UU SJSN.
4.1
Peraturan Pelaksanaan UU BPJS
Telah enam bulan berlalu sejak pengundangan UU BPJS, belum
satupun peraturan pelaksanaan UU BPJS selesai diundangkan. Terdapat
duapuluh satu pasal UU BPJS mendelegasikan pengaturan teknis
operasional ke peraturan di bawah undang-undang. Delapan pasal
mendelegasikan peraturan pelaksanaan ke dalam Peraturan
Pemerintah. Delapan pasal mendelegasikan ke dalam Peraturan
Presiden. Satu pasal mendelegasikan ke Keputusan Presiden. Satu pasal
mendelegasikan ke Peraturan BPJS. Dua pasal mendelegasikan ke
Peraturan Direktur dan 1 pasal mendelegasikan ke Peraturan Dewan
Pengawas.
20
21
Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 24 Tahun 2011
Penjelasan Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2011
250
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Delapan pasal mendelegasikan ke dalam Peraturan Pemerintah
untuk mengatur hal-hal di bawah ini:
-
Tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemberi kerja
selain penyelenggara Negara dan setiap orang yang tidak
mendaftarkan diri kepada BPJS; pendelegasian dari pasal
17 ayat (5).
-
Besaran dan tata cara pembayaran iuran program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan
kematian; pendelegasian dari pasal 19 ayat (5) huruf b.
-
Sumber aset BPJS dan penggunaannya; pendelegasian dari pasal
41 ayat (3).
-
Sumber aset dana jaminan sosial dan penggunaannya;
pendelegasian dari pasal 43 ayat (3).
-
Presentase dana operasional BPJS dari iuran yang diterima dan/
atau dari dana hasil pengembangan; pendelegasian dari pasal 45
ayat (2).
-
Tata cara hubungan BPJS dengan lembaga-lembaga di dalam negeri
dan di luar negeri, serta bertindak mewakili Negara RI sebagai
anggota organisasi/lembaga internasional; pendelegasian dari
pasal 51 ayat (4).
-
Tata cara pengenaan sanksi administratif kepada anggota Dewan
Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar ketentuan
larangan; pendelegasian dari pasal 53 ayat (4).
-
Tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari
PT ASABRI (Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua
dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS
Ketenagakerjaan; pendelegasian dari pasal 66.
Delapan pasal mendelegasikan ke Peraturan Presiden untuk
mengatur hal-hal di bawah ini:
-
Tata cara penahapan kepesertaan wajib bagi Pemberi Kerja untuk
mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS
sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti; pendelegasian
dari pasal 15 ayat (3).
-
Besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan
kesehatan; pendelegasian dari pasal 19 ayat (5) huruf a.
-
Tata cara pemilihan dan penetapan Dewan Pengawas dan Direksi;
251
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
pendelegasian dari pasal 31.
-
Tata cara pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti
antarwaktu; pendelegasian dari pasal 36 ayat (5).
-
Bentuk dan isi laporan pengelolaan program; pendelegasian dari
pasal 37 ayat (7).
-
Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi
anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi; pendelegasian dari
pasal 44 ayat (8).
-
Daftar pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan
operasional Kementerian Pertahanan, TNI dan POLRI dan tidak
dialihkan kepada BPJS Kesehatan; pendelegasian dari pasal 57
huruf c dan pasal 60 ayat (2) huruf b.
-
Satu pasal mendelegasikan ke keputusan Presiden untuk
menetapkan keanggotaan panitia seleksi untuk memilih dan
menetapkan anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi;
pendelegasian dari pasal 28 ayat (3).
-
Satu pasal mendelegasikan ke Peraturan BPJS untuk mengatur
pembentukan unit pengendali mutu dan penanganan pengaduan
Peserta serta tatakelolanya; pendelegasian dari pasal 48 ayat (3).
Dua pasal mendelegasikan ke Peraturan Direktur untuk mengatur:
-
Tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Direksi;
pendelegasian dari pasal 24 ayat (4).
-
Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi
karyawan BPJS; pendelegasian dari pasal 44 ayat (7).
-
Satu pasal mendelegasikan ke Peraturan Dewan Pengawas untuk
mengatur tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Dewan
Pengawas.
4.2
Peraturan Pelaksanaan UU SJSN
Setelah hampir delapan tahun pengundangan UU SJSN pada 19
Oktober 2004, baru satu perintah pendelegasian yang dilaksanakan dari
22 pasal yang memerintahkan pengaturan lanjut materi muatan UU
SJSN. Perintah yang telah dilaksanakan adalah pembentukan Peraturan
Presiden tentang susunan organisasi dan tatakerja Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN). Perintah lainnya yang telah dilaksanakan adalah
putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 007/PUU-III/2005, yaitu
membentuk UU BPJS.
252
Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Dua puluh satu perintah pengaturan lanjut tentang
penyelenggaraan jaminan sosial dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Sembilan Peraturan Pemerintah:
-
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja
-
Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua
-
Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun
-
Penyelenggaraan Program Jaminan Kematian
-
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial
-
Tata cara pengelolaan dan pengembangan dana jaminan sosial
-
Cadangan Teknis
Dua Peraturan Presiden:
-
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
-
Penahapan pendaftaran peserta .
C.
Penutup
Mencermati ruang lingkup pengaturan transformasi badan
penyelenggara jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS,
keberhasilan transformasi bergantung pada ketersediaan peraturan
pelaksanaan yang harmonis, konsisten dan dilaksanakan secara efektif.
Kemauan politik yang kuat dari Pemerintah dan komitmen pemangku
kepentingan untuk melaksanakan trasnformasi setidaknya tercermin
dari kesungguhan menyelesaikan agenda-agenda regulasi yang
terbengkalai.
Peraturan perundangan jaminan sosial yang efektif akan
berdampak pada kepercayaan dan dukungan publik akan transformasi
badan penyelenggara. Publik hendaknya dapat melihat dan merasakan
bahwa transformasi badan penyelenggara bermanfaat bagi peningkatan
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan SJSN, sebagai salah satu pilar
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Pembangunan dukungan
publik diiringi dengan sosialisasi yang intensif dan menjangkau segenap
lapisan masyarakat. Sosialisasi diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran pentingnya penyelenggaraan SJSN dan penataan kembali
penyelenggaraan program jaminan sosial agar sesuai dengan prinsipprinsip jaminan sosial yang universal, sebagaimana diatur dalam
Konstitusi dan UU SJSN.
253
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota
POLRI.
254
KONSEPSI PENGAWASAN OPERASIONAL DEWAN JAMINAN SOSIAL
NASIONAL (DJSN) TERHADAP KEGIATAN OPERASIONAL BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)
(CONCEPTION OF OPERATING AUDIT OF NATIONAL SOCIAL
SECURITY COUNCIL TOWARD THE OPERATIONAL ACTIVITIES
OF SOCIAL SECURITY ADMINISTRATIVE BODY)
Bambang Purwoko*
(Naskah diterima 21/05/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Pengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS adalah audit operasional yang
ditujukan untuk minimalisasi penyimpangan khususnya dalam penggunaan
dana. Pengawasan sebagaimana mengacu pada studi ini adalah untuk
memberikan konseling, pengarahan dan pedoman bagi operasional BPJS agar
mematuhi ketentuan yang berlaku. Sasaran audit finansial adalah pengawasan
yang berbasis audit atas aliran kas sedangkan audit operasional difokuskan
pada pemeriksaan sistem dan prosedur operasional BPJS. Metodologi dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif tentang perlunya pengawasan
operasional sesuai spesifikasi kegiatan tugas pokok BPJS sebagaimana mengacu
pada asas, prinsip dan tujuan penyelenggaraan SJSN berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004. Kesimpulan studi adalah hasil audit operasional
oleh DJSN akan memberikan informasi yang berharga kepada BPK tentang
capaian-capaian kepesertaan, koleksi iuran dan mekanisme penyelesaian klaim
sesuai prosedur yang berlaku dan juga untuk melengkapi hasil akhir audit
finansial yang dilakukan Kantor Akuntan Publik (KAP).
Kata-kunci: Jaminan sosial, audit finansial /operasional, badan-badan hukum
dan tata pamong.
Abstract
Supervision over the operational activities of BPJS is operating audit intended to
minimize the improper use of funds. Supervision as referred to this study is to provide counseling, directive and guidance to the operations of BPJS in order to comply
with existing regulations. Target of financial audit is to examine cash flows whilst
the operational audit is to examine standard operating procedure of social security
administrative body BPJS. The methodology in this research applies to descriptive
method with regard to the need for operational audit in accordance with the specified
tasks of BPJS as referred to the foundation, the principles and the objectives of the
National Social Security System SJSN based on Law No 40 of 2004. Conclusion of
this studyis that the outcome of operational audit by the DJSN will provide valuable information to the State Board of Auditors (BPK) regarding the achievements in
coverage of members, additional contributions and claims payment based on true
*
Guru Besar Program Studi Doktor Ekonomika Universitas Pancasila dan Anggota Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) yang mewakili Ahli Jaminan Sosial.
255
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
procedures and to provide some useful inputs for the completion of financial audits
as prepared by Public Auditors as well.
Key-words: Social security, financial audit/operational, legal entities and good
governance.
A.
Pendahuluan
Pengawasan menjadi isu sentra khususnya bagi setiap badan
hukum yang melakukan kegiatan pengumpulan dana masyarakat
seperti asuransi, dana pensiun dan jaminan sosial yang dapat ditengarai
adanya penyimpangan dalam penggunaan dana yang pada akhirnya akan
merugikan para pemangku kepentingan. Pengawasan akan menjadi
efektif apabila ditindak-lanjuti dengan pelaksanaan pengendalian
internal sebagai salah satu sub-sistem dalam pengawasan suatu
organisasi. Pengawasan lebih ditujukan untuk memberikan konseling,
pengarahan dan pembinaan terhadap pelaksana kegiatan dan bukan
untuk melakukan investigasi atau mencari kesalahan semata.
Pengawasan berhasil apabila pelaksana kegiatan mematuhi kaidahkaidah yang berlaku sehingga berbagai kemungkinan penyimpangan
dapat dicegah atau direduksi. Untuk tindak-lanjut dalam implementasi
pengawasan diperlukan Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang berfungsi
melakukan kegiatan pemeriksaan antara kegiatan yang direncanakan
dan realisasi.
Pengawasan dapat dibedakan atas pengawasan finansial (financialauditor) dan pengawasan non-finansial atau pengawasan operasional
(non-financial or operational auditor). Pengawasan finansial untuk
mengevaluasi kinerja Badan Hukum Publik termasuk BUMN dilakukan
oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas rekomendasi BPK. Pengawasan
finansial untuk mengevaluasi kinerja Kementerian dilakukan oleh
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai
pengawas internal Pemerintah. Sasaran pengawasan finansial
difokuskan pada “financial measures of success” seperti aliran-kas untuk
penyusunan laporan keuangan secara lengkap, sedangkan pengawasan
non-finansial melakukan pemeriksaan pada sistem, proses dan prosedur
operasi baku untuk meminimalisasi penyimpangan
Pengawasan merupakan tindak-lanjut dari “Penerapan TataPamong” yang mencakup prinsip-prinsip (i) Transparansi, (ii)
Akuntabilitas, (iii) Pertanggung-jawaban, (iv) Kemandirian dan (v)
Kejujuran. Dalam hal ini, jelas bahwa setiap badan hukum apakah privat
atau badan hukum publik menjadi obyek pengawasan oleh lembaga-
256
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
lembaga negara yang berwenang seperti BPK, OJK dan DJSN. Demikian
halnya dengan Badan-badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
sebagai Badan Hukum Publik wajib diaudit, karena BPJS sebagai
operator Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi seluruh tenaga
kerja dan seluruh warga negara. Sebagai operator SJSN menurut UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004, BPJS melakukan tugas-tugas (i)
perluasan kepesertaan perusahaan/tenaga kerja, (ii) pendataan
penduduk miskin yang akan menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI),
(iii) koleksi iuran, (iv) kontrak kerjasama dengan fasilitas-fasilitas
kesehatan, (v) penyelesaian klaim/pembayaran manfaat tepat waktu
dan (vi) penerbitan kartu peserta serta (vii) pengelolaan dana jaminan
sosial. Karena fungsi dan tugas-tugasnya begitu menentukan, terutama
dalam pengumpulan dana publik untuk penyelenggaraan SJSN, maka
BPJS menjadi obyek pengawasan. Berikut disampaikan latar belakang
pembentukan DJSN dan BPJS beserta fungsi dan tugas-tugas masing
masing.
1.
Latar Belakang
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 UU SJSN, untuk
penyelenggaraan SJSN dibentuk DJSN yang bertanggung-jawab
kepada Presiden. DJSN memiliki 15 Anggota yang terdiri dari unsurunsur Pemerintah, Tokoh-Ahli, Pemberi-kerja dan Serikat-pekerja
yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden RI
Nomor 110/M/2008. DJSN dalam melaksanakan fungsi dan tugastugasnya dibantu oleh Sekretariat DJSN yang dibentuk dengan
Peraturan Presiden No 44/2008.
2.
Fungsi dan Tugas Pokok
Fungsi DJSN sesuai Pasal 7 (2) UU SJSN adalah merumuskan
kebijakan umum tentang jaminan sosial dan melakukan
sinkronisasi dalam penyelenggaraan SJSN. Adapun tugas-tugas
yang diemban sesuai Pasal 7 (3) mencakup 3 hal kegiatan, yaitu (i)
melakukan kajian-penelitian tentang jaminan sosial, (ii)
mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial dan (iii)
mengusulkan anggaran jaminan kesehatan bagi penerima bantuan
iuran khususnya penduduk miskin dan warga tak mampu.
3.
Kewenangan-kewenangan dalam penyelenggaraan SJSN
a.
Berdasarkan Pasal 7 (4) UU SJSN, DJSN berwenang
melakukan MONITORING dan EVALUASI (MONEV)
penyelenggaraan program jaminan sosial yang dilaksanakan
oleh BPJS-BPJS agar hasil hasil monev tersebut dapat
257
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
digunakan sebagai salah satu masukan dalam perumusan
kebijakan untuk disampaikan kepada Presiden.
b
4.
Berdasarkan Pasal 39 (3) UU BPJS yang mencakup BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan, DJSN berwenang
melakukan PENGAWASAN terhadap kegiatan operasional
BPJS yang dilakukan bersama dengan Lembaga Pengawas
Independen lainnya seperti BPK dan atau OJK.
Lingkup Bahasan, Metodologi dan Organisasi Penulisan
Lingkup bahasan adalah pengawasan-non-finansial atau
pengawasan operasional (non-financial audit or operating audit).
Perbedaannya dengan pengawasan finansial (financial-audit) adalah
bahwa sasaran pengawasan finansial difokuskan pada cash-flows
audit sedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan
sistem dan prosedur. Metodologi dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif tentang aplikasi pengawasan operasional sesuai
spesifikasi kegiatan tugas pokok BPJS yang mengacu pada asas,
prinsip dan tujuan penyelenggaraan SJSN berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004. Adapun organisasi penulisan
meliputi 5 sesi yang dimulai dengan pendahuluan tentang
pembentukan DJSN-BPJS. Sesi kedua ini menjelaskan tinjauan
pustaka tentang pengawasan, sedang sesi ketiga terkait dengan
implementasi SJSN dan sesi keempat menjelaskan sasaran
pengawasan. Dalam sesi kelima dibahas tentang alat-alat
pengawasan dan dalam sesi akhir disampaikan kesimpulan.
B.
Tinjauan Pustaka tentang Pengawasan
Setelah memahami latar belakang, fungsi-tugas pokok dan
kewenangan DJSN yang antara lain melaksanakan monitoring-evaluasi
(MONEV) serta pengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS, di bawah
ini akan dikutip beberapa pengertian tentang internal-external audits
dari sumber-sumber terpercaya seperti Woods (1990) dari the Institute
of Internal Auditors (1990); kemudian esensi pengawasan dari Committee of Sponsoring Organization of the Treadway (COSO), yaitu Komisi
Nasional di AS yang dibentuk pada tahun 1985 untuk membangun
pengawasan yang terintegrasi antara financial dan operating audits
menyusul pemahaman Pengawasan Internal dari Mercher University’s
Audit Charter (2006) dan konsep pengawasan operasional (operating
audit) dari Medical College of Ontario in Canada (2010) yang dapat
digunakan DJSN dalam melakukan pengawasan operasional terhadap
258
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
1.
Pengertian
Pengertian pengawasan (supervision) sebagaimana dikemukakan
Woods (1990) dan konsep COSO (1985), Audit Service Charter dan
Medical College of Ontario (2006) bervariasi, akan tetapi pengawasan
yang dimaksud pada prinsipnya diperlukan berbagai persiapan/
pentahapan audit dari mulai rekonsiliasi data, pemeriksaan dokumen
rinci yang terkait, telaahan dokumen kebijakan, pemeriksaan sistemprosedur dan komunikasi dengan pejabat kunci serta persiapan
lingkungan audit yang baik.
Pengawasan sebagai suatu proses pemeriksaan yang terkait dengan
kedudukan struktur organisasi, alur pekerjaan & batasan kewenangan,
interaksi eksekutif dan sistem informasi manajemen dilakukan untuk
mencapai tujuan akhir suatu organisasi. Audit Service Charter dari
Mercer University lebih menekankan pada sasaran pengawasan efektif,
yang sangat tergantung dari tersedianya laporan finansial yang
terpercaya, kegiatan operasional sesuai prosedur yang berlaku dan
adanya tingkat kepatuhan pelaksana kegiatan terhadap regulasi dan
statuta.
a.
Dalam melakukan pengawasan, khususnya audit operasional,
diperlukan proses, sistem dan prosedur operasi baku yang dilakukan
oleh Badan Hukum tertentu seperti BPK dan OJK termasuk DJSN
sebagai Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan.
Tujuan utama pengawasan adalah untuk konseling, pengarahan
dan pembinaan tentang capaian-capaian kinerja agar sesuai visi,
misi dan rencana-kerja. Prinsip pengawasan mencegah
kemungkinan terjadinya penyimpangan sedangkan hasil akhir
pengawasan berupa catatan-catatan tentang temuan temuan yang
harus ditindak-lanjuti dengan perbaikan karena ditengarahi terjadi
potensi pelanggaran UU, PP dan Statuta.
b.
Pengendalian (control) adalah tindak-lanjut dari kegiatan
pengawasan dalam bentuk verifikasi pemeriksaan dan uji ulang
atas capaian kinerja tentang pertambahan perluasan kepesertaan
universal oleh BPJS Kesehatan. Jika tambahan perluasan
kepesertaan tidak sesuai rencana kerja atau bahkan tak tercapai,
maka berarti terjadi temuan yang dapat dilakukan melalui
verifikasi antara sasaran pertambahan kepesertaan dan realisasi
kepesertaan. Penelusuran lebih lanjut tentang pertambahan
kepesertaan yang tidak sesuai rencana kerja dapat
259
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
memperlihatkan antara lain: (i) rendahnya tingkat kepatuhan
peserta terhadap UU SJSN, (ii) masalah penindakan hukum, (iii)
kurangnya kordinasi kebijakan, (iv) kurangnya sosialisasi program
SJSN kepada stake-holders dan (v) masalah kompetensi SDM.
Karena pengendalian adalah pengawasan yang berbasis
perencanaan, maka pengawas berpegang pada rencana kerja dan
ketentuan peraturan perundangan dalam mengenali berbagai
kemungkinan penyimpangan yang terjadi, baik yang mengarah
pada temuan yang bersifat materil atau tidak. Jika temuan yang
terjadi bersifat material, diperlukan tindak-lanjut sampai pada
proses sanksi administrasi hingga sanksi hukum. Jika temuan
yang terjadi tidak bersifat materil, diberikan nota rekomendasi
untuk perbaikan kinerja lebih lanjut.
2.
Proses Pengawasan
Proses pengawasan melakukan pengukuran kinerja dan
perbandingan kinerja terhadap standar yang telah ditetapkan
sebelumnya, misalnya pengukuran kecepatan penyelesaian klaim
jaminan terhadap standar satuan waktu yang ditetapkan lebih dulu
dalam rencana kerja BPJS. Standarisasi diperlukan sebagai satuan
ukuran yang digunakan DJSN untuk mengevaluasi apakah kinerja BPJS
memadai atau tidak.
Pengawasan dilakukan secara acak mulai dari obyek pemeriksaan
suatu kasus yang paling ekstrim hingga obyek pemeriksaan kasus yang
paling ringan. Sebagai contoh, pengawasan terhadap kantor pusat
dilakukan secara penuh sedangkan pengawasan terhadap kantor-kantor
cabang BPJS dilakukan secara acak mulai dari kantor cabang utama
hingga kantor cabang pembantu yang dipilih secara proporsional. Alasan
pengawasan secara acak adalah efektivitas waktu dan skedul kerja
pengawas itu sendiri yang sangat padat dan waktu untuk menyusun
rekapitulasi atas hasil pemeriksaan BPJS.
3.
Jenis-jenis Pengawasan
Pengawasan mencakup tindakan preventif untuk minimalisasi
potensi penyimpangan, kegiatan identifikasi terhadap berbagai
permasalahan dan pada akhirnya analisis terhadap sebab-sebab
terjadinya penyimpangan.
a.
Pengawasan awal
pengawasan awal adalah kegiatan konseling, pengarahan dan
pembinaan yang dilakukan oleh Pimpinan Unit Kerja ataupun
Pengawas kepada Pelaksana kegiatan sebelum melaksanakan
260
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
kegiatan operasional. Tujuan pra-pengawasan adalah untuk
mengingatkan pelaksana kegiatan agar selalu mematuhi
ketentuan-ketentuan yang berlaku dengan berpedoman pada
rencana kerja sehingga kemungkinan penyimpangan dapat
dicegah.
b.
Pengawasan sedang berlangsung
Pengawasan ini adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan
pengawas secara acak terhadap pelaksanaan pekerjaan untuk
kemudian dibandingkan dengan standar-standar yang berlaku atau
statuta dan atau ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Hasil dari analisis komparatif dilakukan untuk mengetahui
apakah terjadi peningkatan kinerja atau sebaliknya terjadi
penurunan kinerja.
c.
Pengawasan historikal
Pengawasan ini memberikan perhatian pada capaian-capaian
kinerja masa lalu sebagai illustrasi untuk memberikan koreksi
atau gambaran tentang keberhasilan kinerja di masa lalu sebagai
rujukan dalam meningkatkan kinerja di masa datang. Sebagai
contoh, sukses dalam reduksi kemiskinan tidak semata akibat
dari pemberian jaminan kesehatan secara gratis oleh Pemerintah
kepada penduduk miskin akan tetapi dapat disebabkan oleh
keberhasilan dalam pemberdayaan penduduk miskin secara
ekonomi.
4.
Fungsi-Fungsi Pengawasan
a.
Pengawasan berfungsi memberi masukan untuk perbaikan
kinerja lebih lanjut bagi BPJS dan bagi DJSN selaku pengawas
dalam meningkatkan intensitas pemantauan terhadap
kegiatan operasional BPJS.
b.
Pengawasan berfungsi memberikan pembagian kewenangan
secara berjenjang sesuai bidang pertanggung-jawaban yang
sifatnya melekat pada jenjang jabatan yang berbeda.
c.
Pengawasan berfungsi untuk melakukan pencegahan,
pengarahan atas kegiatan operasional dan pemberian sanksi
terhadap setiap penyimpangan prosedur atau pelanggaran
statuta.
d.
Pengawasan berfungsi untuk penyelamatan aset BPJS dan
juga untuk pemberdayaan dana jaminan sosial bagi
kepentingan peserta.
261
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
5.
Hambatan, Kegagalan dan Gangguan Pengawasan beserta solusinya
a.
Adanya resistensi dari pelaksana kegiatan terhadap
pemeriksaan dengan cara memberikan berbagai kemudahan
tertentu yang biasanya tidak disadari oleh pengawas seperti
mengajak golf dan sebagainya. Karena itu, pengawas tidak
diperkenankan untuk bekerja secara sendirian atau tinggal
di hotel sendirian guna mencegah kunjungan yang tak
dikehendaki.
b.
Karena acuan regulasi yang begitu ketat dan karena
kekhawatiran para pelaksana kegiatan akan keberhasilan
suatu capaian rencana kerja, maka sering kali terjadi
pemalsuan dokumen. Untuk itu diperlukan on the spot inspection atau wawancara dengan peserta dan atau dengan
karyawan tertentu tanpa diketahui oleh pelaksana kegiatan.
c.
Karena ketakutan yang berlebihan dari para pelaksana
kegiatan, maka sering dilakukan penghilangan dokumen
atau barang bukti lain agar proses pemeriksanaan terhenti
untuk sementara waktu.
Hasil akhir dari pengawasan adalah temuan-temuan yang meliputi
(i) penyimpangan prosedur operasi standar (POS), (ii) pelanggaran statuta/
regulasi dan (iii) penyalah-gunaan wewenang. Penyimpangan POS pada
dasarnya masih dapat diperbaiki, sedangkan pelanggaran statuta/
regulasi dapat berupa sanksi, dan penyalah-gunaan wewenang dapat
mengarah pada masalah pidana. Untuk mendapatkan hasil akhir dari
pengawasan diperlukan alat-alat pengawasan untuk melakukan
financial dan operating audits. Di bawah ini akan diuraikan alat-alat
pengawasan yang dapat digunakan DJSN untuk melakukan
non-financial audit terhadap kegiatan operasional BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenaga-kerjaan.
C.
Implementasi SJSN dan Kegiatan Operasionalisasi BPJS
Sebelum merumuskan alat-alat pengawasan yang akan digunakan
DJSN dalam pembinaan kegiatan operasional BPJS, maka terlebih dulu
akan dibahas pemahaman SJSN sebagai suatu program jaminan sosial
yang memiliki 3 asas, 9 prinsip dan 5 program yang perlu dijadikan
pedoman pengawasan manakala terjadi penyimpangan dalam
implementasi dan operasionalisasi oleh BPJS. Pemahaman tentang
SJSN berdasarkan Pasal 1 (2) UU Nomor 40 Tahun 2004 adalah tata cara
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS sebagai badan hukum
262
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
publik yang dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 7 (1).
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 UU SJSN, SJSN
diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat dan
asas kedialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila
penyelenggaraan SJSN tidak berbasis pada ketiga asas tersebut, maka
terjadi pelanggaran terhadap UU SJSN. Kelalaian dalam meliput dan atau
melayani jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, termasuk warga
tak mampu, pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap asas
kemanusiaan. Kemudian, asas manfaat jaminan sosial yang didesain
harus memberikan manfaat yang berarti bagi peserta, paling tidak
memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar bagi peserta
termasuk layanan kesehatan secara komprehensif, sedangkan asas
keadilan dalam penyelenggaraan SJSN berlaku untuk seluruh lapisan
masyarakat baik kaya, menengah atau miskin agar tercipta prinsip
kegotong-royongan.
Prinsip-prinsip SJSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1.
Kegotong-royongan
2.
Nirlaba
3.
Keterbukaan
4.
Kehati-hatian
5.
Akuntabilitas
6.
Portabilitas
7.
Kepesertaan yang bersifat wajib
8.
Dana amanat dan
9.
Hasil pengelolaan dana jaminan sosial untuk peserta
Potensi-potensi pelanggaran terhadap sembilan (9) prinsip SJSN
mencakup (i) penyimpangan dalam implementasi program; (ii) penyalahgunaan prinsip nirlaba; (iii) keterbatasan akses informasi; (iv) ketidakhati-hatian dalam investasi; (v) ketidak-akuratan dalam pengelolaan
keuangan; (vi) terhentinya layanan kesehatan yang berkelanjutan; (vii)
kepesertaan yang masih bersifat eksklusif; (viii) kelalaian dalam
pengelolaan dana amanah dan (ix) ketidak-sesuaian dalam pengembalian
hasil investasi kepada peserta. Direksi BPJS kesehatan maupun Direksi
BPJS Ketenagakerjaan diamanatkan untuk melaksanakan sembilan
prinsip SJSN. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip SJSN dapat
dikenakan sanksi hukum. Karena itu, dalam penyelenggaraan SJSN
263
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
oleh BPJS-BPJS diperlukan DJSN sebagai pengawas berdasarkan Pasal
39 (3) UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Sudah barang tentu,
peranan DJSN dalam pengawasan adalah non-financial auditor atau
operating auditor sebagai mitra kerja BPK atau OJK yang berperan
sebagai financial auditor. Kedua auditor yang berbeda tersebut pada
prinsipnya akan memberikan temuan audit yang saling melengkapi.
Alat-alat pengawasan yang digunakan baik dalam financial audit
maupun operating audit hanya berbeda dalam penekanan audit (lihat
Tabel 1). Penekanan financial audit tertuju pada rasio rasio finansial
sedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan standar operasi
baku, proses dan supervisi suatu kegiatan operasional. Pengawasan
finansial berlaku juga pada BPJS untuk melengkapi ukuran kinerja
finansial. Berikut disampaikan perbedaan dalam penggunaan alat-alat
pengawasan antara financial audit dan operating audit dalam
penyelenggaraan SJSN.
Tabel 1 Alat-alat Pengawasan yang digunakan dalam Penyelenggaraan
SJSN
No
Financial Audit dilakukan oleh
Operating Audit dilakukan oleh
BPK atau OJK
DJSN
1
Rasio profitabilitas
Pertambahan perluasan kepesertaan
2
Rasio solvabilitas
Mekanisme koleksi iuran
3
Rasio kecukupan dana
Desain manfaat / paket manfaat
4
Rasio produktivitas kerja
Prosedur penyelesaian klaim jaminan
5
Pembiayaan berbasis kegiatan
Ketentuan investasi dana jaminan sosial
Tabel 1 memaparkan perbedaan penggunaan alat-alat pengawasan
antara financial audit dan operating audit. Audit finansial difokuskan
pada analisis laporan keuangan sehingga alat-alat pengawasan yang
digunakan mencakup rasio profitabilitas, yaitu rasio kemampu-labaan
yang mencakup Return on Investment (ROI) dan Return on Equity (ROE)
dengan ekspektasi bahwa capaian ROI ditetapkan paling tidak 10%
sedang ROE paling tidak 30%. Capaian ROI ditetapkan paling tidak 10%
dalam artian lebih besar dari suku bunga deposito sebesar 5,5%.
Kemudian Rasio Solvabilitas, yaitu rasio antara total aset dan liabiliti
atau rasio antara investasi dan akumulasi dana jangka panjang plus
264
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
cadangan teknis untuk mengukur sampai seberapa besar kemampuan
BPJS dalam memenuhi kewajiban jangka panjang yang harus dicapai
di atas 100%. Rasio kecukupan dana dalam hal ini mengacu pada risk
based capital ratio (RBC) atau rasio modal berbasis risiko, yaitu aset yang
diperkenankan (investasi) terhadap cadangan teknis dengan ketentuan
lebih besar dari 100%. Rasio produktivitas kerja, yaitu rasio antara
penyelesaian klaim dan jumlah klaim yang dilaporkan dan faktor-faktor
lain yang tak dapat dijelaskan dalam perumusan ini dengan tingkat
capaian di atas 100%. Pembiayaan berbasis kegiatan adalah refleksi
bahwa setiap kegiatan BPJS memiliki konsekuensi finansial yang harus
menghasilkan nilai tambah.
Kemudian alat-alat pengawasan untuk operating audit ditujukan
untuk identifikasi masalah yang terkait dengan kegiatan operasional
BPJS sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 meliputi pertambahan
kepesertaan antara lain pertambahan perusahaan/badan hukum,
pertambahan tenaga-kerja dan pertambahan partisipasi masyarakat atau
perorangan. Ukuran kinerja BPJS adalah bahwa dalam perluasan
kepesertaan tidak lagi ditemukan adanya perusahaan yang
mendaftarkan hanya sebagian tenaga kerjanya ataupun sebagian gaji/
upah. Mekanisme koleksi iuran dilakukan melalui perbankan yang
ditunjuk BPJS dimana peserta perusahaan membayar iuran SJSN untuk
tenaga-kerja secara tepat waktu untuk keperluan pengelolaan dana
jaminan sosial. Ukuran sukses dalam penyimpanan iuran adalah tidak
ditemukan adanya tunggakan iuran kecuali perusahaan peserta SJSN
dinyatakan pailit oleh ketentuan perundangan yang berlaku. Desain
manfaat SJSN bersifat komprehensif dan paling tidak memenuhi
kebutuhan dasar sebagai pengganti penghasilan yang hilang karena
mencapai usia pensiun atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Prosedur penyelesaian klaim dengan pemenuhan kelengkapan dokumen
sebagai persyaratan untuk mendapatkan klaim SJSN diharapkan tidak
lebih dari 1 (satu) hari dan bahkan kalau bisa dalam hitungan jam. Untuk
pengelolaan investasi dana jaminan sosial biasanya berlaku kebijakan
yang konservatif yang mengacu pada faktor-faktor likiditas dan
solvabilitas.
D.
Sasaran Pengawasan Non-Finansial
Sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1, perbedaan antara financial audit dan operating audit sangat jelas, yaitu DJSN berperan sebagai
operating auditor. Untuk memperlancar tugas-tugas DJSN baik dalam
265
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
melakukan MONEV sesuai Pasal 7 (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
SJSN maupun melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan
operasional BPJS sesuai Pasal 39 (3) UU Nomor 24 Tahun 2011 jelas
diperlukan bantuan tenaga spesialis seperti akuntan, dokter dan
pharmasi. Selain itu, juga dapat dilakukan pelatihan bagi Staf
Sekretariat DJSN yang ada sekarang untuk operating audit.
Dalam kegiatan operasional BPJS, seperti halnya dalam
penyelenggaraan program-program Askes dan Jamsostek, tidak tertutup
kemungkinan ditemukan adanya penyimpangan. Potensi penyimpangan
dalam operasionalisasi program jaminan sosial tak dapat dihindarkan
dan dapat diperkecil melalui pembinaan rutin oleh kepala unit kerja
dan pengawasan yang melekat pada setiap kepala unit kerja. Potensipotensi penyimpangan dan atau penyalah-gunaan wewenang secara
empirik dalam penyelenggaraan program-program jaminan sosial baik
yang terjadi secara external maupun internal adalah sebagai berikut:
1.
2.
266
Penyimpangan dalam perluasan atau pertambahan sebagai berikut:
a.
Pertambahan kepesertaan badan-hukum termasuk badanbadan usaha menengah seperti toko, restoran, outlet, usaha
praktek dokter bersama, jasa hukum, jasa pengiriman tenaga
kerja, jasa pendidikan dan bengkel masih belum mencapai
sasaran sebagaimana mestinya khususnya dalam
penyelenggaraan program Jamsostek yang bersifat wajib
sesuai UU No 3/1992, karena belum efektifnya penindakan
hukum.
b.
Pertambahan kepesertaan tenaga-kerja yang bekerja pada
badan-badan hukum termasuk badan usaha menengah ke
atas masih belum mencapai sasaran sebagaimana mestinya,
karena masih adanya perusahaan baru atau perusahaan yang
terdaftar hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya termasuk
melaporkan sebagian penghasilan tenaga kerja.
Mekanisme penghimpunan iuran dilakukan melalui transfer
pembayaran iuran oleh perusahaan ke bank yang telah ditunjuk.
Bagi perusahaan-perusahaan peserta yang melakukan pembayaran
iuran secara teratur atau secara berkala tertentu tidak akan terjadi
penyimpangan. Sebaliknya perusahaan-perusahaan peserta yang
tidak tertib administrasi kepesertaannya termasuk menunggak
iuran dapat terjadi penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan oleh
petugas-petugas lapangan (account officers) di kantor-kantor cabang
khususnya pada perusahaan-perusahaan yang menjadi binaan
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
petugas yang bersangkutan.
3.
Desain manfaat atau paket manfaat khususnya dalam layanan
kesehatan masih belum bersifat komprehensif, dalam artian
membatasi atau tidak menanggung penyakit-penyakit yang
berisiko tinggi termasuk pembatasan obat-obat tertentu sehingga
terjadi out of pocket (OOP), yaitu pengeluaran ekstra oleh peserta
baik dalam rawat jalan maupun rawat inap. Masalah OOP terkait
dengan rendahnya biaya kapitasi dan fee for service untuk rujukan
layanan kesehatan spesialis. Dalam tagihan biaya rawat inap atau
rujukan khusus untuk perawatan medis sering terjadi moral
hazard yang dilakukan oleh rumah sakit, sehingga diperlukan
verifikasi pengeluaran medis oleh para dokter sebagai pegawai BPJS
guna meminimalisasi moral hazard.
4.
Dalam prosedur penyelesaian klaim/pembayaran jaminan
diperlukan dokumen-dokumen asli seperti kartu peserta, surat
keterangan pemutusan hubungan kerja dan surat keterangan
dokter tentang kecelakaan kerja dan tentang kematian sebagai
salah satu persyaratan untuk mendapatkan klaim jaminan
kecelakaan kerja atau jaminan kematian. Dalam praktek sering
terjadi pemalsuan dokumen-dokumen di atas yang pada umumnya
dilakukan oleh perusahaan atau kelompok tertentu. Kemungkinan
terjadi pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh BPJS dalam artian
tidak menyelesaikan klaim dengan tepat waktu atau klaim telah
selesai diproses tapi sengaja tidak diberitahukan kepada peserta
yang mengalami musibah.
5.
Penyimpangan/penyalah-gunaan wewenang sebagaimana
dikemukakan dalam angka-angka 1-4 merupakan penyimpangan
operasional sehingga perlu dilakukan operational audit untuk
memperkecil penyimpangan. Di samping (kemungkinan)
penyimpanan operasional, ada juga penyimpangan finansial atau
investasi yang biasanya terjadi pada penempatan dana jaminan
sosial pada sekuritas yang berisiko melebihi batas toleransi
sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tentang
Investasi Dana Jaminan Sosial (PP Nomor 22 Tahun 2004).
Dengan demikian, sasaran operating audit yang akan dilakukan
DJSN difokuskan pada pemeriksaan proses kepesertaan, penghimpunan
iuran dan mekanisme penyelesaian klaim, dan verifikasi untuk klaim
obat dari faskes kepada BPJS. Untuk menopang operating audit yang
akan dilakukan DJSN diperlukan perekrutan atau kontrak profesi
267
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
akuntan guna melaksanakan tugas financial audit dan kontrak profesi
dokter dan ahli hukum serta aktuaris untuk melaksanakan operational
audit. Para auditor bertindak tersebut sebagai pembantu Anggota DJSN
yang difasilitasi Sekretariat DJSN dalam baik dalam melakukan
operational audit maupun penyampaian hasil audit untuk disahkan oleh
Anggota DJSN.
E.
Alat-alat Pengawasan yang digunakan
Alat-alat pengawasan sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 masih
perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pengawasan yang efektif
terhadap kegiatan operasional BPJS (lihat Tabel 2 dan 3). Pengawasan
perlu ditindak-lanjuti dengan pengendalian, yaitu teknik penelusuran
baik terhadap kegiatan operasional BPJS di masa lalu maupun
operasional sedang berjalan dengan tujuan untuk mengenali sampai
seberapa besar adanya penyimpangan operasional. Terjadinya
penyimpangan operasional boleh jadi disebabkan oleh adanya kegagalan
sistem atau perubahan perilaku dari pelaksana kegiatan. Secara umum,
alat-alat pengawasan yang digunakan oleh DJSN melakukan kontrol
meliputi (i) manajemen pengecualian, (ii) analisis ekonomi ketenagakerjaan, (iii) analisis kepesertaan dan (iv) rencana kerja BPJS. Adapun
perangkat peraturan perundang-undangan yang digunakan DJSN untuk
mengawasi kegiatan operasional BPJS sebagai “Operating Auditor”
mencakup (i) UU No 40/2004 tentang SJSN, UU No 24/2011 tentang
BPJS, (ii) Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden, (iii) Peraturan
Menteri terkait, (iv) Pedoman Kerja BPJS dan (v) Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) BPJS. Dalam Tabel 2 dipaparkan sasaran-sasaran untuk
audit operasional DJSN terhadap BPJS.
Tabel 2 Audit Operasional yang berbasis Sasaran oleh DJSN
No Sasaran Audit
Rincian Audit
Kinerja sesuai rencana
1
Angkatan kerja,
Apakah sesuai dengan
kesempatan kerja dan
perencanaa jaminansosial
Ketenaga-kerjaan
komposisi pekerja
2
268
Kepesertaan SJSN
-Badan hukum
-Tenaga-kerja
Tidak sesuai rencana
-Orang perorangan
Sesuai rencana
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
3
Penerima bantuan iuran
-Rumah tangga miskin
Tepat sasaran atau tidak
-Warga tak mampu
Idem
4
Koleksi iuran
Lama koleksi
Makin cepat makin baik
5
Penyelesaian klaim
Lama penyelesaian
Idem
6
Kualitas manfaat
-Manfaat tunai
Makin bermanfaat
-Layanan kesehatan
Keluhan berkurang
Tabel 2 memaparkan tentang sasaran audit yang meliputi analisis
ketenagakerjaan, kepesertaan jaminan sosial, penerima bantuan iuran,
penghimpunan iuran sebagai suatu proses, penyelesaian klaim serta
kualitas manfaat. Dalam analisis ketenaga-kerjaan terdapat
perencanaan jaminan sosial (social security planning) sebagai pilar kedua
dari perencanaan ketenaga-kerjaan dan investasi sebagai pilar utama.
Social security planning pada dasarnya merupakan perluasan
kepesertaan yang berbasis pada pertambahan angkatan kerja, dimana
BPJS akan menyusun perencanaan perluasan kepesertaan sebagai
indikator untuk menilai kinerja BPJS (Purwoko, 2011:104). Pertambahan
angkatan kerja diharapkan berdampak terhadap pertambahan
kepesertaan jaminan sosial. Jika tidak, maka dapat dilihat apakah
rencana kerja BPJS dalam perluasan kesempatan kerja telah
memperhatikan analisis ketenagakerjaan sebagai salah satu sasaran
audit. Pertambahan angkatan kerja yang terkait dengan kesempatan
kerja dapat dibedakan atas kesempatan kerja di sektor formal dan
kesempatan kerja di sektor informal. Kesempatan kerja di sektor
formal dengan sendirinya akan menambah kepesertaan jaminan sosial
yang dapat dilihat dari seberapa besar potensi jumlah badan hukum,
jumlah tenaga kerja dan perorangan yang belum diliput dalam
kepesertaan jaminan sosial. Pertambahan kepesertaan berdampak
terhadap pertambahan iuran dengan harapan terjadi proses koleksi iuran
yang berkesinambungan. Proses koleksi iuran yang tepat waktu menjadi
penting guna membiayai manfaat jaminan sosial yang jatuh tempo (pay
as you go) dan juga untuk pengembangan pengelolaan dana jaminan
sosial.
Sebaliknya angkatan kerja yang tak terserap di sektor formal
menunjukkan bahwa daya serap kesempatan kerja di sektor formal
masih sangat rendah. Dengan demikian pekerja sektor informal akan
269
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
mengalami tantangan tersendiri dalam memperoleh hak jaminan sosial,
karena walaupun jaminan sosial adalah hak seluruh warga negara,
namun masalah pekerjaan yang tidak stabil dapat menimbulkan
gangguan dalam pembayaran iuran. Karena itu diperlukan bantuan iuran
bagi penduduk miskin dan warga tak mampu sesuai Pasal 17 (4) dan (5)
UN SJSN. Penyelesaian klaim dapat dilakukan dengan hitungan menit
atau jam khusus untuk proses penarikan JHT yang jatuh tempo dan
jaminan kematian bila dokumen yang diperlukan lengkap dan juga dapat
diselesaikan dalam hitungan minggu khususnya untuk jaminan
kecelakaan kerja. Indikator kualitas manfaat dapat dilihat dari komplain
peserta, khususnya untuk manfaat layanan kesehatan.
Setelah mendalami tentang audit operasional yang berbasis
sasaran seperti dipaparkan dalam Tabel 2, dalam Tabel 3 dijelaskan audit
operasional yang berbasis pada program-program SJSN. Rincian audit
dalam program JK mencakup layanan diagnosa dokter umum/spesialis,
layanan rawat jalan dan inap, serta berapa besarnya biaya kapitasi serta
frekuensi kunjungan pasien ke fasilitas-fasilitas kesehatan. Audit pada
JKK diawali dengan mengenali ada tidaknya kelengkapan K3, karena
kelengkapan K3 yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku dapat
menimbulkan potensi kecelakaan kerja. Telaah berikutnya dalam JKK
terkait dengan kelengkapan dokumen seperti surat keterangan dokter/
polisi dalam hal terjadi peristiwa kecelakaan kerja baik di tempat kerja
maupun menuju tempat kerja. Audit operasional terhadap program JHT
lebih ditekankan pada kekuatan internal BPJS itu sendiri untuk
melakukan proses amalgamasi, yaitu koneksitas dari perpindahan
pekerja peserta SJSN dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Selain
itu, juga kinerja BPJS dapat dilihat dari rekonsiliasi data apakah
dilakukan per minggu atau per bulan dan untuk JHT paling tidak
dilakukan rekonsiliasi per minggu. Penerbitan pernyataan saldo/dana
jaminan hari tua (PS/DJHT) yang selama ini diberikan kepada peserta
setahun sekali dapat ditingkatkan paling tidak per semesteran agar
peserta dapat mengetahui akun yang sebenarnya, khususnya dampak
terhadap mutasi upah. Kemudian, dalam administrasi kepesertaan,
khususnya untuk program JP, diperlukan kesiapan administrasi data
keluarga peserta, surat keterangan pensiun dari perusahaan dan proses
pembayaran pensiun melalui bank guna menghindari antrian panjang
di BPJS. Audit operasional yang terakhir tertuju pada proses penyelesaian
program JKm, yaitu kesiapan BPJS dalam hal kesiapan administrasi
pendataan ahli waris dan surat kematian yang dinyatakan sah,
khususnya dari rumah sakit atau pejabat setempat yang berwenang,
270
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
sebagai syarat untuk memastikan pembayaran manfaat tunai jaminan
kematian kepada ahli waris yang benar dan sah.
Tabel 3 Audit Operasional yang berbasis Program oleh DJSN
No Program Audit
Rincian Audit
Hasil Pengawasan
1
-Diagnosa dokter u/s
-Layanan relatif baik
-Rawat jalan / inap
-Dominan rawat jalan
-Biaya kapitasi / FFS
-Standar / beragam
-Frekuensi kunjungan
-Sedang / kerap
Jaminan Kecelakaan
-Kelengkapan K3
-Tidak lengkap
Kerja
-Kenyamanan Kerja
-Tidak tersedia
-Surat Dokter/Polisi
-Tidak lengkap
-Penyelesaian klaim
-Terganggu
-Proses amalgamasi
-Belum on-line
-Rekonsiliasi iuran
-Mingguan / Bulanan
-Penerbitan PS/D-JHT
-Per semester / tahun
-Surat ket PHK < 55
-Pemalsuan
-Pembayaran JHT
-Tepat waktu
-Kesiapan administrasi
-Masih dalam proses
2
3
4
Jaminan Kesehatan
Jaminan Hari Tua
Jaminan Pensiun
data keluarga peserta
-Surat keterangan
-Ada
pensiun normal
-Prosedur pembayaran
-Diminati sebagian
pensiun melalui bank
-Pembayaran pensiun
-Sebagian besar
secara berkala
-Validitas penerima
-Sebagian tak berlaku
271
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
manfaat pensiun
5
Jaminan Kematian
-Kesiapan administrasi
-Masih dalam proses
untuk ahli waris
-Surat kematian sah
F.
-Ada
Penutup
Hasil akhir dari pengawasan adalah perbaikan kinerja untuk
capaian di masa datang dan informasi terkini tentang capaian kinerja
dengan minimalisasi penyimpangan. Pokok-pokok pengawasan yang
sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011 dalam
penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional.
1.
Pengawasan adalah tindakan sistematis yang dilakukan oleh unit
kerja khusus seperti SPI dan atau Badan Hukum tertentu seperti
DJSN sebagai Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Tujuan utama pengawasan adalah untuk konseling,
pembinaan dan pengarahan kepada BPJS tentang apakah capaiancapaian kinerja telah sesuai visi, misi dan rencana-kerja. Prinsip
pengawasan mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan
sedangkan hasil akhir pengawasan berupa catatan-catatan tentang
temuan-temuan ringan dan berat yang terkait dengan pelanggaran
UU, PP dan Perpres serta penyimpangan finansial.
2.
Pengendalian adalah kegiatan pengawasan dalam bentuk
pemeriksaan, verifikasi dan uji ulang atas capaian kinerja tentang
pertambahan perluasan kepesertaan. Penelusuran lebih lanjut
tentang capaian kepesertaan yang tidak sesuai rencana kerja dapat
terjadi karena berbagai sebab. Karena pengendalian adalah
pengawasan yang berbasis perencanaan, maka pengawas
berpegang pada rencana kerja dan ketentuan peraturan
perundangan dalam mengenali berbagai kemungkinan
penyimpangan yang terjadi, yaitu apakah mengarah pada temuan
yang bersifat materil atau tidak. Jika temuan yang terjadi bersifat
material, diperlukan tindak-lanjut sampai pada proses sanksi
administrasi hingga sanksi hukum. Jika temuan yang terjadi tidak
bersifat materil, diberikan nota rekomendasi untuk perbaikan
kinerja lebih lanjut.
3.
Alat-alat pengawasan yang digunakan baik dalam financial audit
maupun operating audit hanya berbeda dalam penekanan audit.
272
Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...
Penekanan finansial audit tertuju pada rasio-rasio finansial
sedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan standar
operasi baku, proses dan supervisi dari suatu kegiatan operasional.
Pengawasan finansial pada BPJS dilakukan untuk melengkapi
ukuran kinerja finansial.
4.
Sasaran operating audit yang akan dilakukan DJSN difokuskan
pada pemeriksaan proses kepesertaan, penghimpunan iuran dan
mekanisme penyelesaian klaim serta verifikasi untuk klaim obat
dari faskes kepada BPJS. Untuk menopang operating audit yang
dilakukan DJSN diperlukan perekrutan atau bantuan tenaga
akuntan dari BPK guna melaksanakan tugas financial audit,
kemudian kontrak-kerja dengan profesi dokter, ahli hukum dan
aktuaris untuk melaksanakan operational audit.
5.
Alat-alat pengawasan untuk DJSN melakukan kontrol meliputi (i)
manajemen pengecualian, (ii) analisis ekonomi ketenaga-kerjaan,
(iii) analisis kepesertaan dan (iv) rencana kerja BPJS. Selain itu,
diperlukan perangkat peraturan perundangan-undangan yang
memadai untuk DJSN agar lebih leluasa dalam mengawasi kegiatan
operasional BPJS sebagai “Operating Auditor”.
273
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kesekretariatan
DJSN.
Keputusan Presiden Nomor 110/M/2008 tentang Keanggotaan DJSN.
(2001), “Committee of Sponsoring Organization of the Treadway (COSO)
as formed in 1985 to sponsor the National Commission on
Integrated Control in US.
(2006), “Procedure of Internal Control”, Mercer University’s Audit
Service Charter, Atlanta, USA.
(2010), “Operating Audit”, Medical College of Ontario in Canada.
Hansen, Don, R and Maryanne M. Mowen, (2000), “Cost Management:
Accounting and Control”, Thompson Learning Asia Singapore
1899969.
Purwoko, Bambang, (2011), “Sistem Proteksi Sosial dalam Dimensi
Ekonomi”, ISBN 978-979-1380-08-9, Penerbit Oxford Graventa
Indonesia-Jakarta.
Woods, Gae-Lynn, (1990), “How to prepara for an external audit”, the
Institute for Internal Auditors By Gae-Lynn Woods, eHow
Contributor-USA.
274
ORGANISASI JAMINAN SOSIAL
DI NEGARA FEDERAL REPUBLIK JERMAN: SUATU PERBANDINGAN
(SOCIAL SECURITY ORGANIZATION
IN FEDERAL REPUBLIC OF GERMANY: A COMPARATIVE STUDY)
Nurfaqih Irfani*
(Naskah diterima 01/06/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
UU SJSN, yang menandai lahirnya era baru sistem jaminan sosial nasional,
memiliki beberapa kemiripan dengan pengaturan sistem jaminan sosial yang
dikembangkan di Negara Federal Republik Jerman, misalnya beberapa kemiripan
terkait dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial, skema
pembiayaan yang bersumber utama dari kontribusi peserta, serta cabang
asuransi sosial yang menjadi pilar utama jaminan sosial. Sehubungan dengan
hal tersebut, di tengah momentum pembentukan BPJS, menarik untuk
membandingkan pola pembentukan BPJS sebagaimana diatur dalam UU
No. 24 Tahun 2011 dengan pola pengembangan organisasi jaminan sosial yang
dipraktikkan di Jerman. Di sisi lain, pembentukan UU BPJS sebagai
pelaksanaan ketentuan UU SJSN harus sejalan dengan arah pengaturan
organisasi jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN. Tulisan
ini akan memberikan gambaran umum mengenai organisasi jaminan sosial di
Jerman sebagai suatu kajian perbandingan serta analisis kebijakan
pembentukan BPJS dikaitkan dengan grand design dan arah pengaturan
organisasi jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.
Kata kunci: era baru, jaminan sosial.
Abstract
National Social Security Act which has brought Indonesia to a new era of social
security system has some fundamental similarities with social security system
developed in the Federal Republic of Germany, for example, similarities related to the
basic principles, financing scheme from contribution, and similarity on social insurance programs as the main pillar of social security system. In this regard, it is quite
interesting to compare the policy development in forming BPJS as stipulated in Law
No. 24 Year 2011 with the policy in developing social security organization in
Germany. The formation of BPJS as the implementation of National Social Security Act
must be also in line with the grand design and general directions on social security
organization reform, as mandated in the National Social Security Act. This article will
provide an overview of social security organization in Germany as a comparative study
*
Pegawai Direktorat Harmonisasi Peraturan perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI.
275
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
and analysis on policy development in forming BPJS related to the grand design and
general directions of social security organization reform as mandated in National
Social Security Act.
Keyword: new era, social security.
A.
Pendahuluan
Sistem jaminan sosial di Negara Federal Republik Jerman
merupakan salah satu sistem jaminan sosial tertua yang menjadi
inspirasi dan model bagi pengembangan sistem jaminan sosial negara
lain di dunia. Sistem tersebut didasarkan pada konsep asuransi sosial
yang dikembangkan oleh Otto von Bismarck (Bismarck Model) yang
menekankan pembiayaan asuransi dari kontribusi peserta berupa premi
asuransi. Sistem lain yang lazim dijadikan pembanding adalah Beveridge
System yang dikembangkan oleh William Beveridge dari Inggris yang
menekankan pembiayaan asuransi dari penerimaan perpajakan
(general taxation).
Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam pengembangan
sistem jaminan sosialnya banyak belajar dari pengetahuan dan
pengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang dikembangkan
di Jerman. Kehadiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang membawa Indonesia
pada pintu gerbang reformasi jaminan sosial nasional, tidak dapat
dilepaskan dari dukungan dan peran aktif Pemerintah Jerman melalui
kerjasama teknis bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
Pemerintah Federal Republik Jerman yang dalam pelaksanannya
difasilitasi oleh GTZ (Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit/
the German Technical Cooperation) dan InWEnt.1 Melalui kerjasama
tersebut, Pemerintah Jerman banyak memberikan kontribusi baik
berupa asistensi teknis seperti analisis penentuan kebijakan,
penyediaan tenaga ahli, referensi, dan akses informasi, maupun
kontribusi yang berupa dukungan finansial. Di samping itu, Pemerintah
Jerman juga aktif memberikan dukungan peningkatan kualitas sumber
daya manusia melalui pelatihan “International Leadership Training on
Sejak 1 Januari 2012, GTZ bersama dengan dua organisasi kerja sama internasional lainnya yaitu
InWEnt dan DED bergabung menjadi satu organisasi kerja sama internasional dengan nama GIZ (Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit/German Agency for International Cooperation). Saat
ini GIZ merupakan organisasi terbesar di Jerman yang bertugas mempromosikan dan memfaslitasi
kerjasama internasional Pemerintah Jerman dengan negara lain.
1
276
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
Social Security” yang diselenggarakan di Jerman dalam rangka
mempelajari secara langsung dan lebih mendalam implementasi sistem
jaminan sosial di Jerman.
Menentukan Jerman sebagai salah satu referensi utama dalam
pengembangan sistem jaminan sosial nasional memiliki alasan yang
cukup kuat mengingat saat ini Jerman diakui sebagai salah satu negara
yang paling berhasil dalam menyediakan jaminan sosial bagi seluruh
warga negaranya. Sistem jaminan sosial di Jerman dikenal dengan
kualitas layanan (services) dan manfaat (benefit) yang tinggi serta tingkat
cakupan (coverage) yang hampir menyeluruh, yaitu mencapai 90% dari
total jumlah penduduk.2 Beberapa hal yang dapat menggambarkan
pengaruh Jerman dalam pengembangan sistem jaminan sosial di
Indonesia antara lain sebagai berikut:
1.
Prinsip penyelenggaraan jaminan sosial nasional dalam UU SJSN
memiliki kemiripan dengan prinsip penyelenggaraan jaminan
sosial yang diterapkan di Jerman.
2.
Sumber utama pembiayaan sistem jaminan sosial nasional
sebagaimana diatur dalam UU SJSN bersumber dari kontribusi
peserta dan bukan dari penerimaan perpajakan (general taxation).
Skema pembiayaan tersebut merupakan karakter utama sistem
asuransi sosial yang dikembangkan oleh Kanselir Otto von
Bismarck (Bismarck Model) dan menjadi ciri khas sistem jaminan
sosial di Jerman.
3.
Sistem jaminan sosial dalam UU SJSN terdiri atas beberapa program jaminan sosial yang hampir sama dengan cabang asuransi
sosial yang menjadi pilar utama sistem jaminan sosial di Jerman.
B.
Prinsip dan Pilar Utama Sistem Jaminan Sosial di Jerman
Sistem jaminan sosial di Jerman mulai dikembangkan pada masa
Pemerintahan Kaisar Wilhelm I (1871-1888) dan banyak dipengaruhi
oleh pemikiran kanselir Otto von Bismarck, yang merupakan salah satu
tokoh pencetus negara kesejahteraan (welfare state) dalam perjuangan
penyatuan Jerman pada abad ke-19. Berdasarkan inisiatif Kanselir Otto
von Bismarck, Kaisar Wilhelm I menerbitkan Imperial Decree 17 November 1881, yang secara resmi menandakan peluncuran sistem asuransi
2
http://www.deutsche-sozialversicherung.de/en/guide/pillars.html.
277
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
pertama yaitu system of accident and illness insurance for workers sebagai
cikal-bakal pengembangan sistem jaminan sosial di Jerman. Dalam
perkembangan selanjutnya, Bismarck memperkenalkan beberapa
asuransi sosial lainnya, yaitu asuransi kesehatan (statutory health
insurance) pada 1883, asuransi kecelakaan (statutory accident insurance)
pada 1884, dan sejak 1889 para pekerja untuk pertama kalinya dapat
mengasuransikan diri terhadap konsekuensi yang timbul dari usia tua
dan keadaan cacat.
Pada tahun 1911 pengaturan beberapa cabang asuransi sosial
tersebut dikonsolidasikan dalam sebuah undang-undang tentang
asuransi sosial, yaitu Reichsversicherungsordnung (RVO).3 Kemudian pada
tahun berikutnya, cakupan sistem asuransi sosial diperluas, yaitu
dengan menciptakan asuransi sosial bagi pekerja kantoran (white-collar
employees) pada 1912 dan asuransi bagi pengangguran yang mulai
diberlakukan pada tahun 1927. Cabang terbaru asuransi sosial di Jerman
adalah asuransi perawatan jangka panjang (statutory long-term care
insurance) yang mulai diperkenalkan secara bertahap pada tahun 1994.
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Jerman merupakan
salah satu upaya menuju negara kesejahteraan (welfare state)
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (Grundgesetz).
Prinsip negara kesejahteraan yang juga merupakan salah satu atribut
negara hukum (Rechtsstaat) 4 , menentukan bahwa negara wajib
menyelenggarakan sistem jaminan sosial (social security) sebagai bentuk
tanggung jawab untuk mengamankan dan mensejahterakan kehidupan
warganya. Falsafah utama penyelenggaraan sistem jaminan sosial di
Jerman adalah menjaga standar hidup orang tertanggung (insured people)
dan kedudukan sosialnya dalam masyarakat dalam hal terjadi situasi
yang mengancam mata pencahariannya dan kondisi keuangannya. Hal
tersebut diwujudkan melalui penyelenggaraan asuransi sosial yang
berlandaskan pada prinsip antara lain sebagai berikut.5
Nigel Foster dan Satish Sule, German Legal System and Laws, Cet. 4., Oxford University Press,
2010, hlm. 311.
4
Christian Starck, “Constitutional Interpretation”, artikel dalam Studies in German Constitutionalism:
The German Contribution to the Fourth World Congress of the International Association of Constitutional
Law, cet. 1, Baden-Baden: Nomos Publishing, 1995, hlm. 67.
5
http://www.deutsche-sozialversicherung.de/en/guide/basic_principles.html.
3
278
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
1.
The Principle of Compulsory Insurance
Berdasarkan Prinsip ini, pada dasarnya seluruh warga negara
diwajibkan menjadi peserta asuransi sosial (statutory social insurance).
Namun demikian, bagi warga negara yang telah memenuhi syarat
tertentu, diberikan kebebasan untuk memilih menjadi peserta asuransi
swasta (private insurance) atau secara sukarela menjadi peserta asuransi
sosial (voluntary social insurance). Meskipun pengecualian ini dalam
praktiknya menimbulkan keberatan, khususnya bagi golongan yang
diwajibkan untuk tunduk pada sistem asuransi sosial, sistem asuransi
sosial yang demikian telah diterima secara luas sebagai inti dari
penyelenggaraan jaminan sosial di Jerman. Hampir 90% penduduk telah
berhasil tercakup dalam sistem asuransi sosial yang diselenggarakan
oleh negara baik yang bersifat wajib (statutory social insurance) maupun
sukarela (voluntary social insurance).
2.
The Principle of Financing through Contributions/Shared
Financing
Prinsip ini menentukan bahwa skema pembiayaan asuransi sosial
bersumber utama dari kontribusi yang dibayar oleh pekerja (employees)
dan pemberi kerja (employers). Besarnya kontribusi pada umumnya
ditetapkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Federal Jerman
(asuransi pensiun, kesehatan, perawatan jangka panjang, dan
pengangguran) dan dapat pula ditentukan oleh organisasi asuransi sosial
sendiri (asuransi kecelakaan).
3.
The Principle of Solidarity
Prinsip solidaritas mengandung makna bahwa risiko ditanggung
secara kolektif oleh komunitas peserta asuransi (members) dan orang
tertanggung (insured people). Tanpa membedakan besar kontribusi yang
diberikan oleh masing-masing peserta ke dalam sistem asuransi, semua
peserta memiliki akses yang sama atas layanan komprehensif dan
manfaat (benefit) yang disediakan oleh sistem asuransi. Pendekatan
berbasis solidaritas ini ditujukan untuk menciptakan keseimbangan
antara yang sehat dan sakit, yang berpenghasilan tinggi dan rendah,
serta antara keluarga dan individu.
4.
The Principle of Self-Government
Berdasarkan prinsip ini, pelaksanaan kegiatan operasional
asuransi sosial bukan merupakan lingkup tugas dan wewenang lembaga
negara melainkan dilakukan oleh organisasi asuransi sosial yang
279
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
mandiri dan tidak berstatus sebagai badan atau lembaga negara. Negara
mendelegasikan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan sistem asuransi
sosial kepada organisasi asuransi sosial yang bukan lembaga Negara,
yang dikenal dengan the principle of subsidiarity. Organisasi asuransi
sosial tersebut adalah korporasi yang dalam menyelenggarakan
kegiatannya tunduk pada ketentuan hukum publik, yaitu hukum
jaminan sosial (social security law). Korporasi tersebut secara penuh
bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mengelola
dana asuransi sosial dan dalam pelaksanaannya berada dalam
pengawasan hukum Negara. Organisasi jaminan sosial bersifat mandiri
baik dari segi kelembagaan maupun finansial. Pembayar kontribusi yang
terdiri atas pekerja dan pemberi kerja berpartisipasi secara langsung
dalam organisasi asuransi sosial melalui mekanisme pemilihan umum
(sozialwahl) untuk menentukan perwakilan yang duduk dalam organisasi
tersebut.
5.
The Principle of Equivalence
Prinsip ini hanya berlaku untuk asuransi pensiun untuk
menggambarkan hubungan antara jumlah kontribusi yang sudah
dibayarkan dan manfaat yang akan diterima oleh orang tertanggung.
Berdasarkan prinsip ini, jumlah benefit yang akan diterima oleh setiap
orang tidak sama, melainkan didasarkan pada pada jumlah kontribusi
yang telah dibayarkan oleh tertanggung.
Sistem asuransi sosial yang diwajibkan berdasarkan undangundang (statutory social insurance/die gesetzliche Sozialversicherung)
memegang peran utama dalam penyelenggaraan jaminan sosial di
Jerman. Asuransi swasta (private insurance) tetap diberikan ruang untuk
menyediakan layanan asuransi yang sama, namun undang-undang
menentukan bahwa hanya orang tertentu saja yang diberikan hak
untuk dapat memilih menjadi peserta asuransi swasta tersebut, yaitu:
pekerja (employees) atau pensiunan (pensioners) yang pendapatan per
tahunnya di atas batas yang telah ditentukan, wiraswasta (self-employed),
pegawai negeri (Staatsbeamte), atau orang yang sudah terdaftar sebagai
perserta asuransi sosial namun menginginkan layanan dan manfaat
(benefit) tambahan. Apabila mereka memilih untuk menjadi peserta
asuransi sosial (voluntary social insurance) maka pengaturannya tunduk
pada rezim hukum publik, yaitu Undang-Undang Jaminan Sosial (Social
Security Code/Sozialgesetzbuch (SGB)) dan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya. Sebaliknya, apabila mereka memilih menjadi peserta
asuransi swasta maka pengaturannya tunduk pada rezim hukum perdata
280
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
berdasarkan kontrak asuransi yang disepakati kedua belah pihak.
Pendapatan minimum per tahun seseorang untuk dapat diberikan
kebebasan untuk memilih asuransi swasta adalah sebesar 49.950 € dan
angka tersebut disesuaikan setiap tahunnya oleh Pemerintah Federal
berdasarkan mekanisme yang diatur dalam SGB.6
Berdasarkan solidaritas komunitas orang tertanggung (insured
people), sistem asuransi sosial memberikan perlindungan finansial yang
efektif terhadap risiko kehidupan yang utama (major life risks) dan
akibatnya. Asuransi sosial menjamin standar kehidupan yang stabil bagi
setiap individu melalui lima cabang asuransi yang menjadi pilar utama
penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Jerman, yaitu: 1) asuransi
kesehatan (statutory health insurance/die gesetzliche Krankenversicherung);
2) asuransi pensiun (statutory pension insurance/die gesetzliche
Rentenversicherung); 3) asuransi pengangguran (statutory unemployment
insurance/die gesetzliche Arbeitslosen-versicherung); 4) asuransi
kecelakaan (statutory accident insurance/die gesetzliche Unfallversicherung);
dan 5) asuransi perawatan jangka panjang (Statutory long-term care insurance/die gesetzliche Pflegeversicherung). Selain lima cabang asuransi
tersebut, sistem jaminan sosial di Jerman dalam arti yang luas
mencakup pula apa yang disebut dengan social compensation dan social
welfare. Salah satu elemen dalam social welfare benefit adalah
pemenuhan kebutuhan dasar warga negara, yaitu kebutuhan dasar yang
diperlukan oleh seseorang untuk hidup secara layak (basic living expenses/Lebensunterhalt), yang di dalamnya mencakup juga kebutuhan
dasar sosial dan budaya, misalnya kebutuhan untuk menikmati hiburan
seperti menonton film.7 Skema sistem jaminan sosial (social security) di
Jerman dalam pengertian yang luas dapat dijelaskan dengan tabel
sebagai berikut:
6
7
Monika Karn, Ibid.
Gerhard Robbers, an Introduction to German Law, Cet. 1., (Baden-Baden: Nomos, 1998), hlm. 123.
281
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
SOCIAL SECURITY SYSTEM
SOCIAL INSURANCE
SOCIAL COMPENSATION
SOCIAL WELFARE
- Statutory Pension
e.g.
e.g.
- Assistance to war/
- Basic income support for
Insurance
- Statutory Health
Insurance
mil.s. victims
- Assistance to victims
- Statutory
Unemployment
of crime
- Assistance to political
Insurance
prisoners in the
- Statutory Long-term
German Democratic
Insurance
- Statutory Accident
Job Seekers
- Social assistance benefits
- Housing allowance
- Child welfare
- Allowance for disabled
persons
Republic (GDR) System
- Severely disabled
Insurance
persons
- Victims of violence
Sumber: Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical
Development of Social Security Systems, 2010.
Dilihat dari aspek penggolongan hukum, hukum jaminan sosial
termasuk dalam kategori hukum publik karena mengatur hubungan
antara negara dan warga negara. Hukum jaminan sosial merupakan
salah satu jenis hukum administrasi negara yang bersifat khusus
(special administrative law/besonderes Verwaltungsrecht) di samping jenis
hukum administrasi negara khusus lainnya seperti hukum lingkungan,
hukum pajak (Steuer), hukum lalu lintas (Strassenverkehrsrecht), hukum
bangunan (Baurecht), dan hukum perlindungan data (Datenschutz).8
Sistem hukum jaminan sosial di Jerman meliputi berbagai perangkat
aturan yang kompleks dan tersebar dalam berbagai instrumen hukum.
Dalam rangka menciptakan sistem hukum jaminan sosial yang
harmonis, pada tahun 1971 Pemerintahan Jerman memutuskan untuk
8
Nigel Foster, Op. Cit., hlm.309.
282
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
melakukan kodifikasi hukum jaminan sosial yang pelaksanaannya
dimulai pada tahun 1975. Kodifikasi ditujukan untuk menyatukan
sekaligus menyempurnakan pengaturan sistem jaminan sosial di
Jerman dalam satu Kitab Undang-Undang Jaminan Sosial yang dikenal
dengan Social Security Code atau Sozialgesetzbuch (SGB) yang terdiri dari
13 (tiga belas) Buku.
SGB diposisikan sebagai sumber hukum utama sistem jaminan
sosial yang mengatur secara lengkap dan terperinci setiap aspek
penyelenggaraan sistem jaminan sosial, yang mencakup antara lain:
prinsip dasar, pilar utama jaminan sosial; tugas dan wewenang
pemerintah; hak dan kewajiban organisasi jaminan sosial, peserta,
orang tertanggung, dan stake holders lainnya; kelembagaan dan hubungan
kerja antar lembaga; pembiayaan; besaran dan mekanisme penentuan
kontribusi asuransi sosial; layanan dan manfaat bagi perserta dan
orang tertanggung, administrasi kepesertaan; sanksi; dan pengaturan
kegiatan operasional setiap cabang asuransi sosial yang ada. Proses
kodifikasi SGB masih terus berlangsung dan sejauh ini telah berhasil
disusun 12 Buku yang sebagian besar menyempurnakan dan
menginkorporasikan ketentuan hukum jaminan sosial yang tersebar
dalam berbagai undang-undang seperti: Reich Insurance Code
(Reichsversicherungsordnung-RVO), Federal Social Welfare Acts
(Bundessozial-hilfegesetz-BSHG), The Promotion of Employment Acts
(Arbeitsforderungsgesetz-AFG), dan Employees Insurance Act
(Angestelltenversicherungsgesetz-AVG). Buku XIII akan diisi dengan materi
muatan yang terkait dengan pelayanan jaminan sosial dalam lingkup
Uni Eropa.9
C.
Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik Jerman
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa organisasi
jaminan sosial di Jerman melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip
pengaturan sendiri (the principle of self-government) dan prinsip
subsidiaritas (the principle of subsidiarity). Organisasi tersebut berbentuk
korporasi yang bersifat independen (self-governing corporations) yang
tunduk pada hukum publik, yaitu hukum jaminan sosial sebagaimana
tertuang dalam SGB. Korporasi tersebut dibentuk sesuai dengan wilayah
kerja masing-masing di tingkat negara bagian dan representasi mereka
di tingkat federal diwujudkan dalam bentuk asosiasi.
9
Ibid., hlm. 311.
283
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Tugas dan fungsi organisasi jaminan nasional ditetapkan dalam
Undang-Undang dan dalam melaksanakan kegiatannya, organisasi
jaminan sosial berada dalam supervisi Pemerintah Negara Federal.
Kementerian Federal yang berwenang dalam hal ini adalah:
1.
Kementerian Kesehatan (the Federal Ministry of Health/
Bundesministerium für Gesundheit) yang bertugas memastikan
kemampuan kinerja dan pengembangan berkelanjutan
penyelenggaraan asuransi kesehatan dan asuransi perawatan
jangka panjang; dan
2.
Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial (the Federal Ministry
of Labour and Social Affairs/Bundesministerium für Arbeit und Soziales)
yang bertugas untuk memastikan kemampuan kinerja dan
pengembangan berkelanjutan asuransi di bidang pensiun,
kecelakaan kerja, dan pengangguran.
Sistem jaminan sosial di Jerman tidak dilaksanakan oleh satu
organisasi tunggal melainkan oleh banyak korporasi sesuai dengan
bidang asuransinya masing-masing. Berikut akan dikemukakan secara
sepintas organisasi yang menangani masing-masing cabang asuransi
sosial yang menjadi pilar utama sistem jaminan sosial di Jerman.
C.1. Organisasi Asuransi Kesehatan
Asuransi kesehatan di Jerman dilaksanakan setidaknya oleh 6
(enam) macam organisasi. Organisasi tersebut berdomisili dan
melakukan kegiatan operasionalnya pada tingkat negara bagian.
Sedangkan pada tingkat federal, masing-masing organisasi tersebut
direpresentasikan dalam berbagai asosiasi tersendiri. Enam macam
organisasi asuransi kesehatan tersebut adalah:
1.
General local health insurance funds atau AOK yang merupakan
organisasi asuransi kesehatan terbesar di Jerman. Asosiasi yang
mewadahi AOK pada tingkat federal adalah the Federal Association
of Local Health Insurance Funds atau AOK-Bundesverband;
2.
Alternative health insurance funds, yaitu organisasi asuransi
kesehatan alternatif seperti Barmer dan TK (Techniker
Krankenkasse), yang pada tingkat federal diwadahi dengan the
Federation of Alternative Health Insurance Funds (Verband der
Ersatzkassen - VDEK);
3.
The Sickness Fund for Miners and Seamen (Knappschaft), yaitu
asuransi bagi pekerja di sektor pertambangan dan pelaut serta the
Maritime Health Insurance Fund (See-Krankenkasse), yang sejak
284
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
1 Januari 2008 bergabung menjadi The Sickness Fund for Miners
and Seamen (Knappschaft);
4.
Company health insurance funds, yang pada tingkat federal diwadahi
oleh asosiasi the Federal Association of Company Health Insurance
Funds (BKK Bundesverband;
5.
Guild health insurance funds, pada tingkat federal diwadahi dengan
the Federal Association of Guild Health Insurance Funds
(IKK-Bundesverband); dan
6.
Agricultural health insurance funds, pada tingkat federal diwadahi
dalam the Central Agricultural Social Insurance Fund (LSV Spitzenverband der landwirtschaftlichen Sozialversicherung).
Jumlah perusahaan asuransi kesehatan di Jerman pada tahun
1970-an tercatat mencapai 1815 perusahaan dimana 399 perusahaan
di antaranya adalah AOK. Jumlah tersebut semakin berkurang seiring
dengan kebijakan efisiensi dan efektifitas kelembagaan asuransi
kesehatan. Pada 2010, perusahaan asuransi kesehatan hanya
berjumlah 160 perusahaan dimana 13 di antaranya adalah AOK yang
wilayah kerjanya tersebar meliputi 16 negara bagian.10 Dari sekian
banyak organisasi asuransi kesehatan di Jerman, AOK adalah organisasi
yang terbesar dengan jumlah tertanggung (insured people) paling banyak.
Sampai dengan Januari 2011, dari jumlah keseluruhan peserta
(members) asuransi kesehatan di Jerman sebanyak 51.235.860 orang,
peserta asuransi kesehatan AOK mencapai 17.499.660. Sedangkan
jumlah tertanggung secara keseluruhan mencapai 23.728.633 dari
total jumlah keseluruhan tertanggung di Jerman sebanyak 70.010.369.11
Organisasi asuransi kesehatan melaksanakan kegiatannya
berdasarkan prinsip self-government atau lazim disebut dengan isitilah
“self-administering corporations under public law”. Ini berarti bahwa
organisasi asuransi kesehatan dalam menjalankan tugasnya berada di
bawah pengawasan Pemerintah Federal, namun organisasi tersebut
secara kelembagaan dan finansial bersifat mandiri (independent). Prinsip
self-administration dalam kelembagaan asuransi kesehatan pada
umumnya direpresentasikan oleh dua organ utama, yaitu Administrative Council dan Executive Board. Perwakilan yang duduk di Administrative
10
Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development of Social Security Systems
(Social Insurance - Health Insurance), 2010.
11
Ibid.
285
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Council dipilih oleh seluruh tertanggung (insured people) dan pemberi
kerja (employers). Administrative Councils bertugas antara lain: menyusun
rencana anggaran organisasi, menyusun ketentuan mengenai tarif
kontribusi, serta memilih dan mengawasi executive board. Pemilihan
anggota Administrative Council dilaksanakan secara demokratis melalui
pemilihan umum yang lazim disebut dengan social election atau
sozialwahl. Pemilihan umum ini dilaksanakan enam tahun sekali
dengan berpegang pada prinsip bebas dan rahasia. Para tertanggung
(insured people) dan pemberi kerja (employers) secara terpisah memilih
wakil mereka masing-masing dari daftar nama yang sudah
direkomendasikan yang akan menjadi wakil kelompok mereka,
berdasarkan prinsip perwakilan proporsional. Anggota executive board
dipilih oleh administrative council dan bertugas melaksanakan kegiatan
bisnis organisasi sehari-hari. Skema self-administering corporation dalam
organisasi asuransi kesehatan di Jerman dapat dilihat dari gambar
sebagai berikut:
Sumber: Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development
of Social Security Systems, 2010.
Berbagai asosiasi organisasi asuransi kesehatan sebagaimana
dikemukakan di atas, diwadahi lagi oleh satu asosiasi yang lebih besar,
yaitu “The National Association of Statutory Health Insurance Funds (GKVSpitzenverband)”. GKV-Spitzenverband mengambil peran sentral dalam
sistem asuransi kesehatan Jerman sejak 1 Juli 2008, dengan menjadi
tempat bertemu, pusat lobi, dan pengambilan keputusan bagi berbagai
asosiasi organisasi asuransi kesehatan di tingkat federal. GKVSpitzenverband mengambil alih kewenangan yang sebelumnya
dilaksanakan oleh tujuh asosiasi asuransi kesehatan yang ada dalam
rangka meningkatkan koordinasi, kebersamaan, dan pendekatan yang
seragam dalam menentukan kebijakan asuransi kesehatan.
286
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
Organisasi lain yang memiliki peran penting dalam sistem asuransi
kesehatan di Jerman adalah the Federal Joint Committee (Gemeinsamer
Bundesausschuss/G-BA) yang bertindak selaku penentu kebijakan dan
pengambil keputusan bagi seluruh organisasi kesehatan yang ada di
Jerman. Anggota G-BA, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 91 SGB V,
berjumlah 13 orang yang komposisinya terdiri dari perwakilan semua
stake holder yang tercakup dalam sistem asuransi kesehatan, yaitu:
Federal Association of Statutory Health Insurance Funds (GKVSpitzenverband), German Hospital Federation (DKG), National Association
of Statutory Health Insurance Physicians (KBV), dan National Association of
Statutory Health Insurance Dentists (KBVZ).12 G-BA juga dikenal sebagai
“little legislator” karena G-BA berwenang mengeluarkan peraturan
pelaksanaan atas undang-undang pemerintahan federal. Dalam
melaksanakan kewenangan tersebut, G-BA tunduk pada supervisi
Kementerian Kesehatan dan hanya apabila tidak ada keberatan dari
Kementerian Kesehatan, peraturan pelaksanaan yang disusun oleh
G-BA dapat disahkan menjadi peraturan yang mengikat umum.13 Secara
umum, skema organisasi asuransi kesehatan di Jerman dan hubungan
kerjanya dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:
Sumber: Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development of
Social Security Systems, 2010.
12
13
http://www.english.g-ba.de/structure/
http://www.english.g-ba.de/legalduties/
287
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
C.2. Organisasi Asuransi Pensiun
Sama halnya dengan organisasi asuransi kesehatan, organisasi
asuransi pensiun merupakan korporasi (self-governing corporation) yang
tunduk pada hukum publik sebagaimana diatur dalam Buku VI SGB
tentang Asuransi Pensiun (Gesetzliche Rentenversicherung). Pada
1 Oktober 2005, dilakukan reformasi besar-besaran terhadap organisasi
asuransi pensiun di Jerman dan sejak saat itu semua perusahaan
asuransi pensiun melaksanakan kegiatannya di bawah satu nama
organisasi yaitu: German Pension Insurance/Deutsche Rentenversicherung
(DRV). DRV merupakan gabungan (merger) dari beberapa organisasi
asuransi pensiun yang ada sebelumnya, yaitu:
1.
the Federal Insurance Institution for Salaried Employees
(Bundesversicherungsanstalt für Angestellte/BfA);
2.
dua puluh dua (22) Kantor Wilayah (Regional Insurance Offices/
Landesversicherungsanstalten-LVA) yang tersebar di negara bagian;
3.
the Federal Miners’ Insurance Institution;
4.
the Railways Insurance Office and the Mariners’ Insurance Fund; dan
5.
the Federation of German Pension Insurance Institutes (Verband
Deutscher Rentenversicherungsträger/VDR).
Reformasi organisasi asuransi pensiun dilakukan dalam rangka
meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan asuransi
pensiun dan menciptakan organisasi yang lebih kuat dan terpadu dalam
kerangka sistem asuransi sosial. Di samping itu, pelaksanaan reformasi
organisasi juga akan mengurangi biaya operasional organisasi (administrative costs), memudahkan penyeragaman kualitas layanan dan
manfaat yang karena faktor historis cenderung dibedakan antara whitecollar workers (Angestellte) dan blue-collar workers (Arbeiter), serta
meningkatkan koordinasi dan tata kerja organisasi asuransi baik pada
tingkat federal maupun negara bagian.14 Organisasi di tingkat federal
adalah Deutsche Rentenversicherung Bund dan pada tingkat negara bagian
terdapat cabang asuransi pensiun (insurance agencies) yang wilayah
kerjanya dibagi secara proporsional berdasarkan wilayah negara bagian.
Sylvia Dünn, Organizational Reform of the Statutory Pension Insurance in Germany, European
Regional Meeting of International Social Security Association, “Social security reforms Empowering the
Administrators” Vilnius, 17 - 19 May 2006.
14
288
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
DRV Bund sebagaimana ditentukan dalam SGB, memiliki peran ganda,
yaitu sebagai penyedia jasa asuransi sosial bagi peserta layaknya agen
asuransi (insurance agency) pada umumnya, sekaligus berkedudukan
sebagai organisasi induk (umbrella organization) yang menjalankan fungsi
representasi organisasi pensiun di tingkat federal dan melaksanakan
tugas pokok lain yang bersifat lintas sektoral.
Operasional organisasi asuransi pensiun didasari oleh prinsip self
government/self administration yang merupakan ciri utama dari setiap
organisasi asuransi sosial di Jerman. Dalam prinsip ini terkandung
beberapa esensi atau hal pokok organisasi asuransi pensiun, yaitu:
organisasi asuransi pensiun adalah korporasi yang tunduk pada hukum
publik; tertanggung (insured people) dan pemberi kerja (employers)
terorganisasi dalam satu badan yang dipilih secara demokratis
berdasarkan partisipasi yang sama (equal participation); tugas-tugas yang
diamanatkan secara hukum merupakan otoritas penuh organisasi
(legal autonomy); dan keuangan organisasi bersifat otonom atau terpisah
dari keuangan negara.
Gambaran umum mengenai organisasi asuransi pensiun di Jerman
sebelum dan sesudah reformasi dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
289
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Sumber: Sylvia Dunn et.al., SGB IV- Kommentar, Beck Muenchen, 2008.
C.3. Organisasi Cabang Asuransi Sosial Lainnya
Di samping organisasi asuransi kesehatan dan asuransi pensiun
sebagaimana telah dikemukakan di atas, cabang asuransi sosial lainnya,
yaitu asuransi pengangguran (statutory unemployment insurance/die
gesetzliche Arbeitslosen-versicherung) dan asuransi kecelakaan (statutory
accident insurance/die gesetzliche Unfallversicherung) juga dilaksanakan
oleh organisasi tersendiri yang secara khusus menangani cabang
asuransi tersebut. Organisasi asuransi pengangguran adalah
Bundesagantur fur Arbeit (BA). Sama halnya dengan organisasi asuransi
sosial kesehatan dan pensiun, BA merupakan korporasi yang tunduk
pada hukum publik yang dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan
pada prinsip self-government. Kantor pusat BA terletak di Nuremberg
dengan 10 direktorat regional, 178 kantor perwakilan, dan 610 kantor
cabang.15
Asuransi kecelakaan diselenggarakan juga oleh berbagai organisasi
yang secara khusus menangani cabang asuransi tersebut. Secara umum
dikenal dua macam organisasi asuransi kecelakaan, yaitu organisasi
asuransi kecelakaan yang dibentuk bagi pekerja pada sektor industri
atau sektor privat lainnya yang dikenal dengan sebutan
Berufsgenossenschaft (BG) dan organisasi asuransi kecelakaan yang
dibentuk bagi pekerja di bidang pelayanan publik (Unfallversicherungsträger
der Öffentlichen Hand), seperti petugas pemadam kebakaran, angkutan
umum, dan perkeretaapian. Pada tingkat federal, organisasi asuransi
15
http://www.deutsche-sozialversicherung.de/de/arbeitslosenversicherung/.html.
290
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
kecelakaan diwadahi dalam satu asosiasi yang disebut German Social
Accident Insurance atau Deutsche Gesetzliche Unfallversicherung
Spitzenverband (DGUV). DGUV terletak di Berlin dan memiliki kantor
perwakilan di Sankt Augustin (dekat Bonn) dan Munich.16
Satu-satunya cabang asuransi sosial yang tidak dijalankan secara
khusus oleh suatu organisasi tersendiri adalah asuransi perawatan
jangka panjang (Statutory long-term care insurance/die gesetzliche
Pflegeversicherung). Asuransi ini dilaksanakan di bawah payung dana
asuransi kesehatan karena pengelolaan asuransi perawatan jangka
panjang memiliki keterkaitan dengan asuransi kesehatan. Pengelolaan
asuransi perawatan jangka panjang berafiliasi dengan organisasi
asuransi kesehatan sehingga organisasi yang menjalankan fungsi
asuransi perawatan jangka panjang adalah organisasi asuransi
kesehatan yang juga menyediakan layanan asuransi perawatan jangka
panjang.
D.
Catatan Kecil atas Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa terdapat
beberapa kesamaan prinsipiil antara sistem jaminan sosial nasional
sebagaimana diatur dalam UU SJSN dengan sistem jaminan sosial yang
dikembangkan oleh Negara Federal Republik Jerman. Sehubungan
dengan hal tersebut, di tengah momentum lahirnya UU No. 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) sebagai
pelaksanaan ketentuan UU SJSN, menarik untuk membandingkan pola
pembentukan organisasi jaminan sosial sebagaimana diatur dalam UU
BPJS dengan pola pengembangan organisasi jaminan sosial yang
diterapkan di Jerman.
Pendekatan yang digunakan dalam kebijakan pengembangan
organisasi jaminan sosial di Jerman lebih menekankan pada spesialisasi
tugas dan fungsi organisasi yang fokus pada pengelolaan satu cabang
asuransi sosial tertentu sehingga masing-masing cabang asuransi sosial
dikelola oleh organisasi yang secara khusus dibentuk untuk
menyelenggarakan cabang asuransi tersebut. Dari lima cabang asuransi
sosial yang menjadi pilar utama sistem jaminan sosial di Jerman, hanya
16
http://www.dguv.de/content/about/index.jsp
291
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
ada satu yang tidak dikelola oleh organisasi tersendiri, yaitu asuransi
perawatan jangka panjang (Statutory long-term care insurance/die
gesetzliche Pflegeversicherung). Hal ini disebabkan karena layanan
asuransi perawatan jangka panjang berkaitan erat dengan layanan
asuransi kesehatan sehingga operasional kegiatan dan pengelolaan
finansialnya dapat dikelola oleh satu organisasi, yaitu organisasi
asuransi kesehatan seperti AOK atau Barmer.
Pembentukan organisasi jaminan sosial dalam UU BPJS memiliki
arah kebijakan yang berbeda dengan pola pembentukan organisasi
jaminan sosial yang dikembangkan di Jerman. Dalam UU BPJS
dinyatakan bahwa lima program jaminan sosial sebagaimana diatur
dalam UU SJSN diselenggarakan oleh dua BPJS yaitu: 1) BPJS Kesehatan
yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan; dan 2) BPJS
Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian.
Dengan demikian, apabila Jerman lebih menekankan pada spesialisasi
tugas dan fungsi organisasi yang fokus pada pengelolaan satu cabang
asuransi sosial tertentu, pembentukan BPJS dilakukan dengan
menggabungkan pengelolaan beberapa program jaminan sosial dalam
satu organisasi, sebagaimana yang terjadi pada BPJS Ketenagakerjaan.
Memang tidak dapat disangkal bahwa adanya perbedaan historis,
sistem ketatanegaraan dan administrasi pemerintahan, sistem
keuangan dan kemampuan pembiayaan, serta faktor sosial-budaya
mengakibatkan pola pembentukan organisasi jaminan sosial di Jerman
dan di Indonesia tidak dapat disamakan. Namun demikian, jika dilihat
dari perspektif penguatan fungsi kelembagaan, Jerman berada pada
situasi yang lebih kondusif, rasional, dan realistis. Secara empiris,
spesialisasi tugas dan fungsi organisasi pada cabang asuransi tertentu
menjadi salah satu faktor pendukung dalam mewujudkan
profesionalisme, peningkatan layanan (services) dan pemberian manfaat
(benefit), serta pencapaian tingkat cakupan (coverage) yang tinggi,
sehingga saat ini Jerman diakui sebagai salah satu negara yang paling
berhasil dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Oleh sebab itu, pola
pengembangan organisasi asuransi sosial di Jerman walaupun tidak
dapat diterapkan secara utuh, pada dasarnya mengandung prinsip dasar
dan arah pengaturan yang dapat dipetik sebagai pelajaran berharga dalam
menentukan kebijakan pengembangan organisasi jaminan sosial di
Indonesia.
292
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
Dalam berbagai diskusi tentang organisasi jaminan sosial,
berkembang pula pendapat yang menyatakan bahwa pembentukan badan
tunggal (single payer) atau penyelenggaraan administrasi yang terpusat
(central administration) cenderung dijadikan sebagai trend kebijakan
pembentukan organisasi jaminan sosial modern yang sejalan dengan
tujuan efisiensi kelembagaan. Kebijakan demikian sebenarnya
cenderung dipraktikan oleh beberapa negara yang sistem asuransi
sosialnya menganut konsep Beveridge Model.17 Sedangkan di negara yang
menganut Bismarck Model seperti Jerman, upaya menuju efisiensi
kelembagaan tidak dilakukan dengan menggabungkan pengelolaan
beberapa cabang asuransi sosial ke dalam satu organisasi, melainkan
dengan menggabungkan beberapa organisasi yang melaksanakan cabang
asuransi yang sama sebagaimana yang dipraktikkan terhadap AOK dan
DRV.
UU BPJS pada dasarnya dibentuk dalam rangka melaksanakan UU
SJSN sehingga politik hukum dan arah kebijakan pembentukan BPJS
harus sejalan dengan kebijakan reformasi organisasi jaminan sosial
sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN. Penentuan arah kebijakan
pembentukan BPJS harus mengacu pada grand design organisasi yang
telah disepakati bersama serta berorientasi pada penguatan fungsi dan
peningkatan kinerja organisasi dalam melaksanakan program jaminan
sosial sebagaimana telah ditentukan dalam UU SJSN. Pasal 5 UU SJSN,
meskipun telah dibatalkan sebagian dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) terhadap perkara Nomor 007/PUUIII/2005, pada dasarnya
mencerminkan kehendak pembentuk UU SJSN yang cenderung ingin
mempertahankan eksistensi organisasi asuransi sosial yang sudah ada
dan menetapkan organisasi tersebut, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes,
PT. Taspen, dan PT Asabri, sebagai badan penyelenggara jaminan sosial
yang sah menurut UU SJSN. Hal tersebut diperkuat lagi dengan adanya
ketentuan peralihan sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 UU SJSN
yang membuka jalan bagi empat organisasi tersebut untuk melakukan
transformasi kelembagaan guna menyesuaikan diri dengan prinsip
jaminan sosial sebagaimana ditentukan dalam UU SJSN.
17
N. Lameire, P. Joffe, dan M. Wiedemann, Healthcare systems — an international review: an overview,
Nephrol Dial Transplant, Vol. 14 , 1999, hlm. 1.
293
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
MK pun dalam salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa:
Pasal 5 ayat (1) UU SJSN yang berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial harus dibentuk dengan undang-undang” tidak bertentangan
dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh
ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan
sosial tingkat nasional yang berada di Pusat. Kaedah hukum menetapkan
bahwa setelah empat badan penyelenggara yang ada menyesuaikan
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sesuai dengan UU SJSN,
maka empat badan tersebut sah menjadi BPJS menurut UU SJSN. Tafsir
ahli hukum ini telah dikonfirmasi oleh Ketua MK dan hakim konstitusi
yang menyatakan “Undang-Undang baru diperlukan jika akan dibentuk
BPJS yang baru”, sedangkan empat BPJS yang sudah ada sudah dibentuk
dengan UU SJSN dan apabila ke-empatnya telah menyesuaikan diri
dengan aturan UU SJSN.18
Pada fase awal penyusunan RUU BPJS, Pemerintah pun telah
menentukan arah pengaturan pembentukan BPJS yang diselaraskan
dengan UU SJSN, antara lain:19
1.
2.
Mentranformasikan badan penyelenggara yang ada sekarang yaitu
PT. Jamsostek, PT. Taspen, PT. Asabri dan PT. Askes menjadi BPJS
menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Untuk itu, pengaturan
dalam RUU BPJS diarahkan untuk:
a.
menegaskan pembentukan BPJS Jamsostek, Taspen, Asabri,
dan Askes dengan UU ini; dan
b.
menetapkan status BPJS sebagai badan hukum yang bersifat
nirlaba untuk menyelenggarakan jaminan sosial dalam
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.
Mengatur kembali pilar-pilar jaminan sosial yang diselenggarakan
masing-masing BPJS sebagai berikut:
a.
BPJS Jamsostek menyelenggarakan program Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian
untuk seluruh kelompok rakyat;
Hasbullah Thabrany, Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia dalam SJSN, makalah
disampaikan pada Diskusi RPJMN Bappenas 29 April 2008, Jakarta, hlm. 19.
19
Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN, Rancangan Undang-Undang Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) Pembahasan I-IV 2007-2008, kerja sama Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia dengan GTZ-GVG SHI Support.
18
294
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
3.
b.
BPJS Taspen menyelenggarakan program Jaminan Pensiun
seluruh kelompok rakyat;
c.
BPJS Askes menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan
seluruh kelompok rakyat; dan
d.
BPJS Asabri menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan
Kematian untuk TNI/Polri, Janda/Duda TNI/Polri.
Membangun kembali struktur organisasi BPJS yang ramping dan
kaya fungsi, serta standar operasional dan prosedur kerja BPJS
yang sesuai dengan prinsip good (public) governance.
Faktanya, arah pengaturan tersebut tidak berhasil diloloskan
sebagai pola pembentukan BPJS sebagaimana telah ditentukan dalam
UU BPJS. Menjadi ironis ketika UU BPJS yang dibentuk dalam rangka
mengawal pelaksanaan UU SJSN justru memuat kebijakan yang berbeda
dengan kebijakan awal reformasi organisasi jaminan sosial
sebagaimana dituangkan dalam UU SJSN. Bertolak dari hal tersebut,
dapat dikemukakan bahwa terdapat semacam disorientasi arah
kebijakan dan inkonsistensi politik hukum dalam pembentukan UU
BPJS. Perkembangan dinamika politik menuntut terjadinya pergeseran
politik hukum pembentukan BPJS yang berujung pada pembentukan
dua BPJS sebagaimana ditentukan dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang
BPJS.
Pengesahan UU BPJS merupakan akhir dari perjalanan panjang
dan penuh liku pembentukan BPJS, sekaligus menjadi awal pelaksanaan
reformasi organisasi jaminan sosial nasional dengan setumpuk
pekerjaan rumah yang menghadirkan lika-liku baru. Penggabungan
beberapa organisasi jaminan sosial menjadi dua BPJS tentunya bukan
hal yang sederhana dan mudah untuk direalisasikan. Harus disadari
bahwa tugas dan fungsi organisasi ke depan akan menjadi jauh lebih
berat seiring dengan tuntutan peningkatan kualitas layanan dan manfaat
serta target pencapaian cakupan jaminan sosial yang menyeluruh bagi
seluruh warga negara. Sehubungan dengan itu, pengelolaan berbagai
program asuransi dalam satu manajemen kelembagaan tentunya akan
menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi BPJS Ketenagakerjaan.
Reformasi organisasi jaminan sosial nasional harus disertai dengan
grand design yang jelas dan pelaksanaannya harus dipatuhi bersama
secara konsisten karena hal tersebut pada dasarnya merupakan salah
satu faktor penentu keberhasilan reformasi sistem jaminan sosial
nasional. Berkaca dari praktik yang ada, seiring dengan perubahan
295
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
konfigurasi politik lembaga pembentuk Undang-Undang pada masa yang
akan datang, kekhawatiran terjadinya inkonsistensi kebijakan dalam
implementasi UU BPJS bukan tanpa alasan. Oleh sebab itu, semua pihak
harus memahami betul bahwa agenda pembentukan BPJS sebagaimana
diamanatkan dalam UU BPJS merupakan proses yang mutlak harus
dilalui dan dijalankan secara konsisten. Jangan sampai sebelum agenda
tersebut tuntas, terjadi lagi perubahan arah kebijakan sehingga
penyelenggaraan sistem jaminan sosial akan terus disibukkan dengan
urusan pembenahan kelembagaan yang justru dapat menelantarkan
tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial itu sendiri, yaitu
mengimplementasikan program jaminan sosial yang berkualitas bagi
seluruh warga negara.
E.
Penutup
Meskipun UU SJSN memuat beberapa kesamaan prinsipiil dengan
pengaturan sistem jaminan sosial yang dikembangkan di Negara
Federal Republik Jerman, UU BPJS yang pada dasarnya dibentuk untuk
melaksanakan ketentuan UU SJSN, menentukan arah kebijakan
pembentukan organisasi yang berbeda dengan pola pengembangan
organisasi jaminan sosial yang dipraktikkan di Jerman. Apabila Jerman
lebih menekankan pada spesialisasi tugas dan fungsi organisasi yang
fokus pada pengelolaan satu cabang asuransi sosial tertentu,
pembentukan BPJS dilakukan dengan menggabungkan pengelolaan
beberapa program jaminan sosial ke dalam satu kesatuan organisasi,
sebagaimana yang dilakukan terhadap BPJS Ketenagakerjaan. Ditinjau
dari perspektif penguatan tugas dan fungsi kelembagaan, Jerman berada
dalam kondisi yang lebih kondusif dan rasional. Secara empiris,
spesialisasi tugas dan fungsi organisasi jaminan sosial diperlukan dalam
rangka mewujudkan profesionalisme, penyediaan layanan dan manfaat
jaminan sosial yang berkualitas, serta mendukung pencapaian tingkat
cakupan (coverage) yang menyeluruh bagi warga negara. Di sisi lain,
kebijakan penggabungan pengelolaan beberapa program jaminan sosial
dalam satu manajemen organisasi, menyisakan tanda tanya besar jika
dikaitkan kembali dengan grand design dan arah pengaturan reformasi
organisasi jaminan sosial sebagaimana tertuang dalam UU SJSN.
296
Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...
Daftar Pustaka
Bundesminiterium fuer Arbeit und Soziales, Social Security at a Glance,
BMAS, 2009.
Christian Starck, “Constitutional Interpretation,”makalah dalam
Studies in German Constitutionalism: The German Contribution to
the Fourth World Congress of the International Association of Constitutional Law, cet. 1, Baden-Baden: Nomos Publishing, 1995.
Hasbullah Thabrany, Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan
Indonesia dalam SJSN, makalah disampaikan pada Diskusi
RPJMN, Bappenas, 29 April 2008.
Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development of
Social Security Systems, Inwent International Leadership
Training (ILT) Social Security, Mannheim, 2010.
Marcus Oehlrich, Social Protecton, Inwent International Leadership
Training (ILT) Social Security, Mannheim, 2010.
Nigel Foster dan Satish Sule, German Legal System and Laws, Cet. 4.,
Oxford University Press, 2010.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik
Indonesia, Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan
UU SJSN, Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (RUU BPJS) Pembahasan I-IV 2007-2008,
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik
Indonesia bekerja sama dengan GTZ-GVG SHI Support.
Konrad Obermann, The Visible Hand: a Refresher and an Update on Health
Care Financing, Berlin, 2010.
Sylvia Dünn, Organizational Reform of the Statutory Pension Insurance
in Germany, European Regional Meeting of International Social
Security Association, Social security reforms Empowering the
Administrators, Vilnius, 17 - 19 May 2006.
Sylvia Dünn et.al., Sozialgesetzbuch Gesetzliche Rentenversicherung – SGB
IV - Kommentar Herausgegeben von Dr. Ralf Kreikebohm, Beck:
Muenchen, 2008.
David Khoudour-Castéras. “Welfare State and Labor Mobility: The Impact of Bismarck’s Social Legislation on German Emigration Before World War I.” Journal of Economic History Vol . 68. No. 1, 2008.
E. P. Hennock, “Social Policy in the Bismarck Era: A Progress Report,”
German History, Vol. 21 No. 2, June: 2003.
297
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 007/PUU-III/
2005.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456).
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256).
Internet:
www.aok.de
www.bmg.bund.de
www.bmas.de
www.bmj.de
www.deutsche-rentenversicherung.de
www.deutsche-sozialversicherung.de
www.g-ba.de
www.gkv-spitzenverband.de
www.drv-bund.de
www.dguv.de
298
KEDUDUKAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SEBAGAI PENERJEMAH RESMI PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
(POSITION OF THE LEGISLATIVE DRAFTERS AS AN OFFICIAL
TRANSLATOR FOR LEGISLATION)
Syahmardan*
(Naskah diterima 09/06/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, Pasal 91 ayat (1) menegaskan
bahwa tugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangan khususnya
ke dalam bahasa asing menjadi sangat penting dalam rangka penyebarluasan
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menyadari hal ini tentunya
membuka peluang bagi Perancang untuk “mengembangkan profesinya”
khususnya bagi Perancang di Kementerian Hukum dan HAM, tidak hanya
menjalankan tugas utama merancang peraturan perundang-undangan, namun
juga dapat merangkap menjadi penerjemah resmi isi peraturan perundangundangan. Namun demikian, tentu saja hal ini tidak serta merta dapat
direalisasikan tanpa diiringi dengan peningkatan kompetensi ataupun
kualifikasi penerjemahan dari Perancang itu sendiri meskipun dari sisi
peraturan perundang-undangan mengindikasikan sangat terbuka peluang ke
arah itu.
Kata kunci : Peraturan Perundang-undangan, Perancang Peraturan Perundangundangan.
Abstract
With the enactment of the Law Number 12 Year 2011 on the Forming of Legislation,
article 91 paragraph (1) asserts that the task of translating the text of legislation,
especially in a foreign language becomes very important in order to disseminate the
laws and regulations applicable. Realizing that is certainly an opportunity for the
legislative drafters to “develop the profession”, especially for drafters in the
Ministry of Law and Human Rights, not just run the main task of designing the
legislation but also may concurrently be the official interpreter of the legislations.
However, that is would not necessarily be realized without being accompanied by an
increase in competence and qualifications of the drafter’s own despite of the
legislation indicates a very open opportunities in that direction.
Key words: Legislation, Legislative Drafters.
*
Perancang Muda Peraturan Perundang-undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
299
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
A.
Pendahuluan
Dalam era persaingan bebas, penguasaan informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan prasarat bagi kelangsungan
hidup bangsa. Adanya tuntutan akan pengalihan informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi dari bahasa sumber (bahasa Indonesia ke
bahasa asing atau sebaliknya) menjadikan kemampuan dan kegiatan
penerjemahan menjadi sesuatu yang esensial. Pentingnya
penerjemahan dalam rangka penguasaan informasi, ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya bagi negara-negara berkembang telah diakui
dan dirasakan oleh berbagai pihak.
Penerjemahan dalam rangka penguasaan informasi sekarang ini
memainkan peranan yang sangat strategis. Mereka yang tidak ingin
tertinggal harus mengikutinya dengan segera. Oleh karena itu,
penerjemah dituntut terus mengikuti perkembangan dan informasi agar
mampu menghasilkan karya terjemahan yang berkualitas khususnya
di bidang peraturan perundang-undangan yang dapat dengan cepat
dipahami oleh masyarakat pengguna baik pengguna dalam negeri
maupun luar negeri.
Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, Pasal 91 ayat (1)1
ditegaskan bahwa tugas penerjemahan teks peraturan perundangundangan khususnya ke dalam bahasa asing menjadi sangat krusial
dalam rangka penyebarluasan suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Di samping itu, pada ayat (2)2 disebutkan bahwa hasil dari
terjemahan tersebut merupakan terjemahan resmi dari peraturan
perundang-undangan dimaksud.
Mencermati hal tersebut, dikaitkan dengan tugas dan fungsi pejabat
fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan (Perancang)
menjadi sangat relevan. Hal ini tidak saja terkait dengan tugas dan
fungsi utama perancang peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan3 namun terkait
Pasal 91 ayat (1), “Dalam hal peraturan perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum”
2
Pasal 91 ayat (2), “Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi”.
3
Penjelasan Pasal 98 ayat (1), “Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan”
adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundangundangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”
1
300
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
juga dengan tugas “Pengembangan Profesi” Perancang Peraturan
perundang-undangan 4 sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 41/KEP/
M.PAN/12/2000.
Berdasarkan uraikan di atas maka tulisan ini mencoba mengulas
sejauhmana tugas dan fungsi Perancang Peraturan Perundangundangan yang salah satu unsur tugas/kegiatannya yakni melakukan
penerjemahan/menyadur buku dan bahan-bahan lain di bidang hukum5
dikaitkan dengan norma Pasal 91 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan khususnya
penerjemahan teks peraturan perundang-undangan ke dalam bahasa
asing.
B.
Pijakan Teoritis
1.
Hakikat Penerjemahan
Berbagai difinisi telah dikemukakan oleh para ahli mengenai
istilah terjemahan (translation). Catford6 menekankan pada medium,
yakni melihat penerjemahan sebagai pengalihan bahasa dan
mendefinisikan terjemahan sebagai “an operation performed on language:
a process of substituting a text in one language for a text in another”.
Meetham dan Hudson (1969) dalam Bell 7 mendefinisikan
terjemahan sebagai “the process or result of converting information from
one language or language variety into another. The aim is to reproduce as
accurately as possible all grammatical and lexical features of the ‘source
language’ original by finding equivalents in the target language. At the same
time all factual information contained in the original text … must be retained
in the translation”
Secara eksplisit definisi di atas mengisyaratkan dua pengertian
yakni terjemahan sebagai proses dan produk. Namun dari definisi di
atas Bell menangkap ada tiga pengertian yang berbeda: (1) translating,
yakni suatu istilah yang mengacu pada proses dan bermakna
‘menerjemahkan’ yakni merupakan aktivitas bukan objek yang bisa
4
Lampiran I, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000
tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya.
5
Ibid.
6
J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, Oxford University Press, London, 1965, hlm. 1.
7
Roger T. Bell, Translation and Translating: Theory and Practice. Longman, London, 1991, hlm. 13.
301
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
dilihat dan dirasakan; (2) a translation yang merupakan produk dari proses
penerjemahan dalam bentuk teks terjemahan; dan (3) translation yang
mengacu pada suatu konsep abstrak yang memberikan penjelasan
terhadap proses penerjemahan dan produk dari proses tersebut.
Sumbangan teoritis lain yang memberikan kontribusi sangat
penting dalam pendekatan kajian terjemahan diberikan oleh Hans J.
Vermeer (1986) dengan Skopostheorie yang sangat menentang pandangan
bahwa penerjemahan semata-mata masalah bahasa. Konsep terjemahan
Verneer adalah: “but a complex form of action, whereby someone provides
information on a text (source language material) in a new situation and under
changed functional, cultural and linguistic conditions, preserving formal
aspects as closely as possible”8
Menurut Vermeer. Pertama, penerjemahan merupakan pengalihan
lintas-budaya (crosscultural transfer) dan dalam pandanganya penerjemah
haruslah bicultural atau multicultural yang memiliki kemampuan berbagai
bahasa. Yang kedua adalah Vermeer melihat penerjemahan sebagai
wujud aksi (form of action) atau sebagai ‘cross-cultural event’. Ciri yang
menonjol dalam definisinya adalah fungsi teks target yang bisa sangat
berbeda dari fungsi asli dari teks sumber. Dari berbagai definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa9 :
a)
penerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa
(linguistic transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning)
tetapi juga pengalihan budaya (cultural transfer);
b)
hakikat studi terjemahan sangat tergantung pada paradigm, yakni
cara bagaimana peneliti memandang terjemahan sebagai okjek
kajian. Sebagai objek studi terdapat dua cara memandang suatu
terjemahan: (a) sebagai suatu produk, dan (b) sebagai suatu proses;
dan
c)
fitur-fitur umum yang dimiliki oleh terjemahan adalah pengertian
(a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa
target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusan
atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan
fitur-fitur keasliannya.
Mary-Hornby Snell, “Linguistic Transcoding or Cultural Transfer? A Critique of Translation Theory in
Germany”, 1995 dalam Susan Bassnett dan André Lefevere (Eds.), 1995, Translation, History and
Culture, Cassell, 1990, hlm. 82.
9
Ida Bagus Putra Yadnya, Masalah Penerjemahan: Sebuah Tinjauan Teoritis, Universitas Udayana,
tanpa tahun.
8
302
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
2.
Proses Penerjemahan
Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Sebagai
proses komunikasi, penerjemahan melibatkan pengirim, penerima,
amanat dan penerjemah. Dalam penerjemahan tertulis, pengirim adalah
penulis, penerima adalah pembaca yang dituju. Penerjemah bertugas
mengalihkan amanat dari teks sumber ke teks sasaran. Di dalamnya
tersangkut mengkaji masalah intrinsik bahasa dan penggunaan bahasa
selaras dengan konteks situasi dan budayanya. Penerjemah
digambarkan oleh Hoed10 berperan sebagai penerima bahasa sumber
(Bsu) dan kemudian sebagai pengirim bahasa sasaran (Bsa). Oleh karena
Bsu dan Bsa masing-masing berada dalam satu lingkungan masyarakat
dan kebudayaan tertentu (bukan hanya bahasa) maka penerjemahan
merupakan proses pengalihan amanat dari dunia Bsu ke dunia Bsa.
Dalam hal ini penerjemah berada dalam suatu situasi lintas budaya
dan dituntut bisa beralih dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan
yang lain. Pandangan terhadap penerjemah sebagai komunikator juga
ditegaskan oleh Houbert (1998) dengan mengatakan “the translator is
essentially a message conveyor not an author”. Dengan demikian proses
penerjemahan memiliki dua sisi, yakni penerjemah, pertama perlu
mengantisipasi potensi perbedaan dan ketaksaan dalam teks asli dan
mengertikan makna yang ingin disampaikan, dan kedua mengkaji
struktur sisntaksis teks sumber untuk kemudian memformulasikan
pesan yang sepadan dalam bahasa target yang pada akhirnya memberikan
nilai tambah pada teks sumber dalam hal penataan ekspresi (wording)
dan dampak (impact) pada pembaca11.
Kalau Hoed lebih menekankan pada status penerjemah, Larson
dalam menggambarkan proses penerjemahan lebih terfokus pada makna,
yakni sebagai rentetan kegiatan dari memahami makna teks yang
diterjemahkan sampai pengungkapan kembali makna dalam teks
terjemahan. Model proses penerjemahan ini menggambarkan bahwa
penerjemahan mencakup kegiatan mengkaji leksikon, struktur
gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya teks bahasa
10
Benny H. Hoed, Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1992, hlm. 81.
11
Frederic Houbert, Translation as a Communication Process, 1998 dalam Translation Journal and the
Authors 1998 Volume 2, No. 3 July 1998; URL:http://accurapid.com/journal/htm. diakses tanggal 3
juni 2012.
303
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
sumber, menganalisisnya untuk menentukan maknanya dan kemudian
merekonstruksi makna yang sama ini dengan menggunakan leksikon
dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks
budayanya12.
Dalam kajian terjemahan kedua model tersebut di atas bisa
menjadi pembenaran teoritis untuk melihat terjemahan sebagai produk.
Selanjutnya yang masih tertinggal dan perlu dijelaskan dalam proses
penerjemahan tersebut adalah bagaimana proses itu terjadi. Untuk
menjawab ini Bell13 menawarkan suatu model penerjemahan sebagai
suatu proses yang menunjukkan transformasi suatu teks bahasa sumber
melalui suatu proses yang berlangsung dalam lingkup memori
penerjemah, yakni (1) proses analisis terhadap suatu teks bahasa
tertentu (one language-specific text) sebagai bahasa sumber ke dalam
representasi semantik universal (non-language-specific) dan (2) sintesis
dari representasi semantik tersebut ke dalam teks bahasa lain (second
language-specific text) yakni bahasa sasaran.
Berdasarkan paradigma tersebut di atas, penerjemah pertama
melakukan analisis terhadap teks bahasa sumber melalui interpretasi
monolingual (bahasa sumber). Analisis teks (text analysis) dikategorikan
oleh Riazi14 ke dalam (1) micro-structure analysis yang bertujuan untuk
menyediakan analisis linguistik yang mendetail terhadap teks dalam
hubungan dengan leksis dan sintaksis, dan (2) macro-structure analysis
yang berhubungan dengan analisis dan deskripsi dari pengorganisasian
retorik berbagai teks. Tahap analisis tersebut dimaksudkan untuk
memperoleh pemahaman tentang teks sumber melalui telaah linguistik
dan makna (grammar dan lexis), pemahaman bahan atau materi yang
diterjemahkan dan masalah konteks situasi dan budaya bahasa sumber
yang terealisasi dalam makna unit terjemahan (dalam hal ini makna
niatan berwujud kata, frasa, kalimat, atau wacana).
Mildred L. Larson, Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. (Second
Edition), University Press of America, Inc., USA, 1984, hlm 2-3.
13
Roger T. Bell, Op. Cit., hlm. 20-21.
14
Abdolmehdi Riazi, Ph.D., The Invisible in Translation: The Role of Text Structure, dalam Translation
Journal, 2003 and the Authors 2003 Volume 7, No. 2, April 2003; URL:http://accurapid.com/journal/
htm, diakses tanggal 3 juni 2012.
12
304
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
Pada tahapan kedua, penerjemah melakukan interpretasi
bilingual, yaitu penjelajahan dua arah secara bolak-balik berupa telaah
linguistik dan makna terhadap teks bahasa sumber dan bahasa target
sekaligus. Penjelajahan ‘ulang alik’ ini terealisasi dalam pengalihan
atau pengungkapan kembali representasi semantik, yakni unit makna
(kata atau frasa) bahasa sumber ke dalam bahasa target untuk mencapai
padanan yang akurat dan alami melalui berbagai strategi atau cara
(borrowing, substitusi linear, alih struktur isomorfis, transposisi,
modulasi, equivalence, adaptasi, dan sebagainya) sesuai dengan situasi
komunikasi dan konteks budayanya.
Tahapan ketiga adalah sintesis berupa rekonstruksi representasi
semantik ke dalam teks bahasa target melalui penyusunan kalimatkalimat terjemahan dan memperkirakan teks target dengan
mempertimbangkan aspek keterbacaan teks, kesesuaian dengan
konvensi bahasa target serta menilai kesesuaian terjemahan bagi
tujuan-tujuan tertentu atau spesifik sampai memperoleh hasil akhir
dalam bentuk teks bahasa target.
3.
Strategi Penerjemahan
Penerjemahan menyangkut pemilihan padanan yang paling
mendekati untuk unit bahasa sumber dalam bahasa target. Berdasarkan
pada tingkat unit bahasa yang akan diterjemahkan, Riazi 15 (2003)
mengelompokkan pendekatan terhadap penerjemahan menjadi (1)
penerjemahan pada tataran kata (word for word translation), (2)
penerjemahan pada tataran kalimat, dan (3) penerjemahan konsepsual
(unit terjemahan bukan pada tingkatan kata atau kalimat). Secara garis
besar terdapat beberapa kemungkinan kesepadanan dalam
penerjemahan, yakni (1) sepadan sekaligus berkorespondensi, (2)
sepadan tetapi bentuk tidak berkorespondensi, dan (3) sepadan dan
makna tidak berkorespondensi karena beda cakupan makna.
Di dalam pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa
target (dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya)
lebih sering terjadi pergeseran makna. Dalam pergeseran ini, makna
bahasa sumber (Indonesia) berpadanan dengan makna yang lebih luas
15
Ibid.
305
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
dalam bahasa target (bahasa Inggris) atau sebaliknya lebih sempit
dibandingkan dengan bahasa target. Kemungkinan penerjemahan dari
bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa lainnya baik
serumpun maupun tidak serumpun (selain bahasa Inggris) juga berkisar
dari kesepadanan penuh, pergeseran cakupan makna (penyempitan atau
perluasan) dan penyimpangan.
Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya
sifat universal bahasa dan konvergensi budaya, tetapi fakta
menunjukkan bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang
memiliki suatu budaya yang sering amat berbeda dengan budaya penutur
bahasa lain (sumber) sehingga sulit menemukan padanan leksikal. Oleh
karena itu, dalam menilai pilihan padanan selalu tergantung tidak hanya
pada sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorang
penerjemah tetapi juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumber
dan penerjemah maupun memanipulasi sistem bahasa bersangkutan.
Dalam hal ini penerjemahan menjadi tidak bisa terlepas dari campur
tangan penerjemah dan memiliki dinamika.
Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang
komunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis dan
pembaca yang semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campur
tangan atau subjektivitas. Untuk itu, setiap penerjemah perlu memiliki
suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan. Penerjemahan
menurut Newmark (1988) bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis
dan ditentukan oleh cara pandang atau pendekatan yang diterapkan
terhadap teks sebagai poros. Teks sumber (yang akan diterjemahkan)
ditentukan oleh sepuluh faktor, yakni (1) penulis yang memiliki gaya
(style) penulisan sendiri atau idiolek dalam bahasa sumber sehingga
harus ditentukan kapan harus dipertahankan atau dinormalisasi dalam
penerjemahan; (2) norma-norma yang biasa berlaku dalam bahasa
sumber mengenai penggunaan leksikal dan gramatikal secara
konvensional bagi jenis teks yang akan diterjemahkan yang tergantung
pada topik dan situasi; (3) kebudayaan yang menjadi latar bahasa sumber;
(4) latar ruang dan waktu (setting) serta tradisi penulisan atau penerbitan
(seperti misalnya format tertentu sebuah teks dalam buku, terbitan
periodik, surat kabar, dsb. yang dipengaruhi oleh tradisi dan waktu); (5)
pembaca teks target (seperti harapan pembaca sesuai dengan tingkat
pemahamannya mengenai topik dan gaya bahasa yang mereka
gunakan); (6) norma-norma yang dimiliki oleh bahasa target seperti
halnya yang dimiliki oleh bahasa sumber; (7) kebudayaan yang menjadi
latar bahasa target; (8) latar ruang dan waktu (setting) serta tradisi
306
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
penulisan atau penerbitan yang berhubungan dengan teks target; (9)
kebenaran (truth) atau substansi yang dibicarakan (berupa kebenaran
referensial, yakni apa yang dideskripsikan atau dilaporkan yang diyakini
kebenarannya); dan (10) penerjemah termasuk pandangan dan prasangka
yang kemungkinan bersifat pribadi dan subjektif atau juga bersifat sosial
dan kultural yang menyangkut ‘faktor loyalitas kelompok’ dari
penerjemah yang mungkin mencerminkan asumsi penerjemah yang
bersifat nasional, politis, etnik, religius, klas sosial, gender dan
sebagainya16.
Pertimbangan lain yang perlu dilakukan penerjemah sebelum
menerjemahkan adalah menentukan pembaca ideal. Sekalipun pembaca
tersebut memiliki tingkat akademik, profesional dan intelektual yang
sama dengannya, tetapi kemungkinan pula pembaca tersebut juga
memiliki perbedaan harapan (expectation) tekstual dan budaya yang
signifikan17. Dengan demikian sebagai proses, pemadanan tidak saja
berarti pengalihan informasi dari satu bahasa ke dalam bahasa lain
tetapi juga memperhatikan sudut pandang pengguna terjemahan
(translation user) di samping memahami secara penuh pesan yang ingin
disampaikan dalam bahasa sumber.
Terdapat banyak strategi alternatif untuk menangani masalah
ketidaksepadanan (non-equivalence) dalam proses penerjemahan.
Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh para pakar. Vinay
dan Darbelnet melihat banyak sekali alternatif pemadanan dan
menyarikannya dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsung
(direct translation) dan (2) pemadanan oblik (oblique translation) yang terdiri
dari tujuh strategi berbeda. Larson mengelompokkan strategi pemadanan
berdasarkan apakah suatu konsep bahasa sumber dimiliki/dikenal
dalam bahasa target atau tidak dan mengusulkan tidak kurang dari
sembilan alternatif cara pemadanan. Newmark melihat tidak kurang
dari enambelas alternatif, dan Machali walaupun menyadari banyaknya
alternatif yang ada tetapi dalam kasus-kasus penerjemahan InggrisIndonesia melihat hanya 5 strategi yang menonjol. Walaupun terdapat
berbagai alternatif penerapan, namun suatu cara pemadanan sangat
ditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budaya
sumber dan target. Di samping itu, strategi tersebut tidak hanya bisa
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 104.
Coulhard dalam Kate James, Cultural Implications for translation dalam Translation Journal and the
Authors 2002 Volume 6, No. 4 October 2002; URL:http://accurapid.com/journal/htm., diakses tanggal
3 Juni 2012.
16
17
307
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
diterapkan secara sendiri-sendiri tetapi mungkin juga dikombinasikan
dengan strategi yang lainnya sekaligus. Melihat berbagai alternatif yang
telah dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, strategi pemadanan
bisa dikelompokkan berdasarkan orientasi penerjemah ke dalam (1)
strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber, (2) strategi
yang berorientasi pada bahasa target (dampak pemadanan) dan (3)
strategi yang berorientasi pada makna, yakni apakah suatu konsep
bahasa sumber dikenal/dimiliki (known/shared) atau tidak (unknown)
dalam bahasa target.18
C.
Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagai Penerjemah
Resmi Peraturan Perundang-undangan
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa selain tugas dan
fungsi utama Perancang Peraturan Perundang-undangan berupa
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, Perancang
Peraturan Perundang-undangan juga mempunyai tugas lain yang terkait
yang mendukung kegiatan Perancang Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa
Perancang Peraturan Perundang-undangan, yang selanjutnya disebut
Perancang adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundangundangan dan/atau instrumen hukum lainnya pada instansi
pemerintah.
Selanjutnya dalam Pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok
Perancang adalah menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan
peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya. Lebih
lanjut dalam Pasal 5 disebutkan bahwa unsur dan sub-unsur kegiatan
Jabatan Fungsional Perancang terdiri atas:
a.
18
Pendidikan, meliputi:
1.
Pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar;
2.
Pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) Fungsional di Bidang
Perancang Peraturan Perundang-undangan dan mendapat
Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Latihan (STTPL).
Ida Bagus Putra Yadnya, Op. Cit.
308
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
b.
c.
d.
e.
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, meliputi:
1.
melakukan persiapan;
2.
menyusun rancangan;
3.
membahas rancangan undang-undang atau rancangan
peraturan daerah
4.
pemberian tanggapan terhadap rancangan peraturan
perundang- undangan
Penyusunan intrumen hukum, meliputi:
1.
Instruksi Presiden, Instruksi Pimpinan Departemen/LPND,
Pimpinan Lembaga Negara, Lembaga Negara Non Pemerintah,
Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Panglima
TNI, Gubernur BI;
2.
Surat edaran;
3.
Perjanjian Internasional;
4.
Persetujuan Internasional;
5.
Kontrak Internasional;
6.
Kontrak Nasional;
7.
Gugatan;
8.
Jawaban gugatan;
9.
Akta; dan
10.
Legal opinion.
Pengembangan profesi, meliputi:
1.
melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidang
hukum;
2.
menerjemahkan/menyadur buku dan bahan-bahan lain di
bidang hukum.
Penunjang kegiatan Perancang, meliputi:
1.
mengajar, melatih, dan/atau membimbing pada pendidikan
sekolah dan pendidikan latihan pegawai;
2.
mengikuti seminar/lokakarya;
3.
menyunting naskah di bidang hukum dan perundangundangan;
4.
berperan serta dalam penyuluhan hukum;
5.
menjadi anggota organisasi profesi;
309
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
6.
menjadi anggota keanggotaan dalam Tim Penilai Jabatan
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan;
7.
menjadi anggota delegasi dalam pertemuan internasional;
8.
memperoleh gelar kesarjanaan lainnya;
9.
memperoleh tanda penghargaan/tanda jasa.
Berdasarkan uraian unsur dan sub-unsur kegiatan Jabatan
Fungsional Perancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di atas,
terdapat salah satu unsur yang berkaitan dengan kegiatan
penerjemahan yakni unsur “Pengembangan Profesi”. Menurut penulis,
pasal ini dapat menjadi jawaban terhadap Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudangundangan dimana pasal tersebut mengamanatkan bahwa penerjemahan
peraturan perundang-undangan ke dalam bahasa asing dilaksanakan
oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
Menyadari hal ini tentunya membuka peluang bagi perancang
untuk “mengembangkan profesinya” khususnya bagi perancang di
Kementerian Hukum dan HAM atau perancang pada Biro-Biro Hukum
di Kementerian/Lembaga, tidak hanya menjalankan tugas utama
merancang peraturan perundang-undangan namun juga dapat
merangkap menjadi penerjemah resmi dari peraturan perundangundangan. Hal ini tentu saja akan melengkapi keistimewaan dari tugas
dan fungsi perancang dimana sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 200519 telah dinyatakan bahwa Perancang Peraturan
Perundang-undangan dapat merangkap jabatan struktural20.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap, Pasal 2 ayat (2) huruf
c, “Ketentuan pelarangan menduduki jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
bagi Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan Perancang, merangkap jabatan
struktural di lingkungan instansi pemerintah yang tugas pokoknya berkaitan erat dengan bidang peraturan
perundang-undangan”.
20
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 disebutkan bahwa pada dasarnya
Pegawai Negeri Sipil yang telah diangkat dalam jabatan strutural tidak dapat merangkap jabatan struktural
lain atau jabatan fungsional. Hal ini dimaksudkan agar Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat
memusatkan perhatian dan kemampuannya dalam melaksanakan tugas jabatannya sehingga dapat
menghasilkan kinerja yang optimal. Namun, dalam jabatan-jabatan struktural pada unit organisasi yang
tugas dan fungsinya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, terdapat tugas Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan instansi pemerintah yang hanya dapat dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil yang
menduduki jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. Hal ini mengingat sifat tugas
dan tanggung jawab jabatan struktural tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
tugas dan tanggung jawab jabatan fungsionalnya.
19
310
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
Namun demikian, tentu saja hal ini tidak serta merta bisa
direalisasikan tanpa diiringi dengan peningkatan kompetensi maupun
kualifikasi penerjemahan dari perancang itu sendiri, meskipun dari
sisi peraturan perundang-undangan mengindikasikan sangat terbuka
peluang ke arah itu. Sebagaimana diuraikan dalam pijakan teoritis di
atas, minimal perancang mempunyai kompetensi dasar di bidang
penerjemahan. Perancang diharapkan dapat memahami bahwa
penerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa
(linguistic transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning) tetapi
juga pengalihan budaya (cultural transfer) khususnya di bidang hukum.
Di samping itu, Perancang juga diharapkan mengetahui proses
penerjemahan dimana hal tersebut memiliki dua sisi, yakni pertama
perlu mengantisipasi potensi perbedaan dan ketaksaan dalam teks asli
dan mengertikan makna yang ingin disampaikan, dan kedua mengkaji
struktur sintaksis teks sumber untuk kemudian memformulasikan
pesan yang sepadan dalam bahasa target yang akan memberikan nilai
tambah pada teks sumber dalam hal penataan ekspresi (wording) dan
dampak (impact) pada pembaca khususnya dalam konteks hukum.
Selanjutnya Perancang juga diharapkan dapat mengetahui strategi
penerjemahan guna mengatasi permasalahan-permasalahan yang
muncul dalam penerjemahan yang secara umum dapat dikelompokkan
berdasarkan orientasi penerjemah ke dalam (1) strategi pemadanan yang
berorientasi pada bahasa sumber, (2) strategi yang berorientasi pada
bahasa target (dampak pemadanan) dan (3) strategi yang berorientasi
pada makna.
Dengan berbagai persyaratan keterampilan dan pengetahuan yang
harus dimiliki oleh seorang Perancang di bidang penerjemahan, maka
mutlak diperlukan pendidikan dan pelatihan peningkatan pengetahuan
perancang khususnya di bidang penerjemahan baik bersifat short course
maupun bersifat pelatihan/pendidikan jangka panjang. Menurut penulis,
setidaknya ada beberapa keuntungan apabila pelatihan/pendidikan
penerjemah diberikan kepada perancang peraturan perundangundangan, yakni:
1.
pemahaman tentang hukum dan peraturan perundang-undangan
sangat memadai;
2.
relatif lebih singkat dalam memahami bahasa apabila dibandingkan
dengan memahami substansi hukum;
311
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
3.
telah memiliki landasan hukum dan perangkat peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan tugas Perancang
Peraturan Perundang-undangan;
4.
dapat menstimulasi peningkatkan dan pengembangkan potensi
perancang peraturan perundang-undangan secara keseluruhan dan
lain-lain.
D.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa penerjemahan
dalam rangka penguasaan informasi sekarang ini memainkan peranan
yang sangat strategis. Oleh karena itu, penerjemah dituntut terus
mengikuti perkembangan dan informasi agar mampu menghasilkan
karya terjemahan yang berkualitas khususnya di bidang peraturan
perundang-undangan yang dapat dengan cepat dipahami oleh masyarakat
pengguna baik pengguna dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan
bahwa tugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangan
khususnya ke dalam bahasa asing menjadi sangat penting dalam rangka
penyebarluasan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 91
disebutkan bahwa penerjemahan peraturan perundang-undangan ke
dalam bahasa asing dilaksanakan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
Menyadari hal ini tentunya sekali lagi membuka peluang bagi
Perancang untuk “mengembangkan profesinya” khususnya bagi
Perancang di Kementerian Hukum dan HAM perancang pada Biro-Biro
Hukum di Kementerian/Lembaga sekaligus menjawab “tantangan”
sebagai penerjemah resmi dari suatu peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut secara umum
komponen-komponen yang dibutuhkan harus terlebih dahulu
dipersiapkan secara bersama-sama baik oleh perancang itu sendiri
melalui pelatihan/pendidikan di bidang penerjemahan maupun
“willing” dari organisasi untuk mendorong peningkatan kompetensi
Perancang di bidang penerjemahan peraturan perundang-undangan. Hal
ini pada gilirannya diharapkan bermuara pada terlaksananya tugas
312
Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...
penerjemahan teks resmi peraturan perundang-undangan khususnya
ke dalam bahasa asing dalam rangka penyebarluasan suatu peraturan
perundang-undangan.
Daftar Pustaka
Bell, Roger T., Tahun 1991, Translation and Translating: Theory and
Practice. Longman, London.
Catford, J.C., Tahun 1965, A Linguistic Theory of Translation, Oxford
University Press, London.
Coulhard dalam Kate James, Cultural Implications for translation dalam
Translation Journal and the Authors 2002 Volume 6, No. 4 October
2002; URL:http://accurapid.com/journal/htm.
Hoed, Benny H., Tahun 1992, Kala dalam Novel, Fungsi dan
Penerjemahannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Houbert, Frederic, Translation as a Communication Process, 1998 dalam
Translation Journal and the Authors 1998 Volume 2, No. 3 July
1998; URL:http://accurapid.com/journal/htm.
Larson, Mildred L., 1984, Meaning-Based Translation: A Guide to CrossLanguage Equivalence. (Second Edition), University Press of
America, Inc., USA.
Machali, Rochayah, Tahun 2000, Pedoman Bagi Penerjemah, Penerbit
PT Grasindo, Jakarta.
Riazi, Abdolmehdi, Ph.D., The Invisible in Translation: The Role of Text Structure, dalam Translation Journal, 2003 and the Authors 2003 Volume 7, No. 2, April 2003; URL:http://accurapid.com/journal/htm.
Yadnya, Ida Bagus Putra, tanpa tahun, Masalah Penerjemahan: Sebuah
Tinjauan Teoritis, Universitas Udayana.
Snell, Mary-Hornby, “Linguistic Transcoding or Cultural Transfer? A Critique
of Translation Theory in Germany”, Tahun 1995 dalam Susan
Bassnett dan André Lefevere (Eds.), Tahun 1995, Translation, History and Culture, Cassell.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
313
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997
tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap.
314
PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PADA
TINDAK PIDANA KORUPSI
(REVERSAL BURDEN OF PROOF ON CORRUPTION)
Wahyu Wiriadinata*
(Naskah diterima 28/03/2012, disetujui 23/07/2012)
Abstrak
Tulisan berjudul Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian bertujuan untuk
menjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektifitas sistem pembuktian
terbalik sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kemudian pertanyaan yang timbul berikutnya adalah; apakah
penerapan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian perkara tindak pidana
korupsi dapat mencegah atau mengurangi bahkan menghilangkan tindak pidana
korupsi di Indonesia secara tuntas. Penelitian ini bertolak dari kerangka
pemikiran teoritis Roscoe Pound yang mengemukakan tentang hukum sebagai
alat pembaharuan masyarakat: Law as a tool of social engineering, hukum sebagai
alat pembaharuan masyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar Kusumaatmadja
dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia menjadi hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Pembaharuan maksudnya ialah memperbaharui cara
berfikir masyarakat dari cara berfikir tradisional kepada cara berfikir modern.
Hukum harus bisa dijadikan sarana untuk memecahkan semua problem yang
ada di dalam masyarakat termasuk masalah tindak pidana korupsi. Salah satu
hal yang harus diperbaharui adalah sistem hukum pembuktiannya, yaitu dari
sistem pembuktikan yang konvensional menjadi sistem pembuktian terbalik.
Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif yaitu dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan baik yang ada dalam undangundang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan
hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
pembuktian terbalik. Kemudian hasilnya yang berupa aspek yuridis dituangkan
dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini merupakan
jawaban atas masalah-masalah yang timbul di atas, yaitu : Bahwa tindak pidana
korupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi. Sehingga, UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 belum efektif dalam memberantas tindak
pidana korupsi.
Kata kunci: Korupsi, pembuktian terbalik, pembuktian terbalik terbatas.
Abstract
An article called Corruption and Reversal of Burden of Proof aim to answer the
question to what extent the effectiveness of the reversed burden of proof system as
set out in Indonesia, namely positive law as regulated in Law Number 31 Year 1999
*
Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran.
315
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
on the Eradication of Corruption. Then the next problem that arises is: whether the
application of reversed burden of proof in proving corruption crimes can prevent or
reduce and even eliminate corruption in Indonesia completely. This study departed
from the theoretical framework of the Roscoe Pound suggested as a means of updating the law: Law as a tool of social engineering, law as a means of community
renewal. This concept was launched by Mochtar Kusumaatmadja and adapted to the
conditions of Indonesia became law as a means of community renewal. Renewal point
is to renew the way society thinks of the traditional ways of thinking to the modern
way of thinking. Laws should be used as a means to solve all the problems that exist
in society, including the issue of corruption. One of the things that should be
renewed is a system of legal proof, that of the conventional system is proving to be
reversed burden of proof systems. This paper prepared by the method of writing is
to study the normative juridical laws and regulations that exist both in the statute
itself and that there is in the literature / science books of law, in particular legislation relating to the verification system upside down. Then the results in the form set
out in the form of juridical aspects of descriptive analysis. The conclusions of this
paper is a response to the problems that arise in the above, namely: That the criminal
acts of corruption in Indonesia is still happening. Thus, Law No. 31 of 1999 Section
37 has not been effective in eradicating corruption.
Keywords: Corruption, reversed burden of proof, reverse proof is limited.
A.
Pendahuluan
Aliran hukum alam atau hukum kodrat sebagaimana diutarakan
oleh Aristoteles murid Socrates (± 300 tahun SM), memberikan arahan
tentang tujuan hukum. Bahwa tujuan hukum yang utama adalah untuk
mencapai tujuan akhir yang hakiki di masyarakat, yaitu tercapainya
keadilan. Akan tetapi untuk mencapai keadilan dimaksud harus terlebih
dahulu terciptanya ketertiban di masyarakat. Tanpa ketertiban tidak
mungkin tercapai rasa keadilan di masyarakat.
Memang tujuan hukum bukan hanya untuk mencapai keadilan,
tetapi tujuan hukum adalah untuk adanya kepastian hukum,
sebagaimana dianut oleh recht positivisme atau aliran hukum positif yang
berkembang pada abad 19 dengan tokoh yang terkemuka yaitu Hans
Kelsen (1881 – 1973). Tujuan hukum untuk mencapai keadilan di
masyarakat merupakan tujuan hukum yang utama dan yang paling tua
yang sampai saat ini tetap dipertahankan, namun dengan syarat bahwa
di masyarakat harus terlebih dahulu terciptanya ketertiban.
Tentang hal tersebut dikemukakan juga oleh Muchtar
Kusumaatmadja yang memberikan definisi tentang hukum, yaitu:
Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur
pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk
memelihara ketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi
316
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
lembaga serta proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut
sebagai kenyataan di masyarakat.1
Dari definisi yang dikemukakan tersebut, jelaskan bahwa menurut
Muchtar Kusumaatmadja tujuan hukum yang hakiki ialah
terpeliharanya ketertiban dan tercapainya keadilan. Untuk tercapainya
keadilan maka ketertiban harus tercipta terlebih dahulu.
Keadilan bisa ditegakkan melalui proses peradilan. Di Indonesia,
peradilan merupakan suatu proses dalam hukum acara pidana yang
dimulai dari penyelidikan sampai eksekusi. Kegiatan peradilan dimulai
dari penyelidikan oleh penyidik (polisi, jaksa, KPK), pra-penuntutan oleh
jaksa penuntut umum, penuntutan dan pemeriksaan di depan
persidangan oleh jaksa penuntut umum dan hakim dan upaya hukum
(banding, kasasi, peninjauan kembali) serta tindakan eksekusi atau
pelaksanaan hukuman yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dan
juga pada saat terpidana menjalani pidana di Lembaga Permasyarakatan.
Korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu penyebab dari
runtuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Tumbangnya
rezim orde baru melahirkan orde lain yaitu orde reformasi, pada orde
reformasi inilah penguasa orde reformasi mengambil suatu political will
yaitu langkah pemberantasan korupsi, sebab korupsi merupakan
kejahatan yang susah pemberantasannya sehingga merupakan
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Untuk itu
pemberantasannya diperlukan langkah-langkah yang luar biasa pula.
Kejahatan korupsi merupakan warisan dari orde lama dan orde baru,
bahkan jauh sebelumnya yaitu di masa VOC (Verrenige Ost Indische
Company). Penyebab klasiknya adalah budaya upeti dan seremonial
merupakan penyebab klasik dari maraknya korupsi di Indonesia. Tetapi
pasca kemerdekaan, khususnya sejak dimulainya era Orde Baru, ada
penyebab kontemporer dari tindak pidana korupsi yang harus
digarisbawahi, di antaranya:
B.
Aspek Perundang-Undangan
Bahwa perundang-undangan / hukum positif di Indonesia masih
lemah, sebab banyak yang merupakan produk kolonial penjajahan
Belanda, Sudah tentu perundang-undangan tidak mempunyai nilai yang
P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan Law Faculty, Alumnus Press,
Bandung, 1998 , hlm. 94.
1
317
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
aspiratif dengan kehendak masyarakat Indonesia kini, karena memang
perundang-undangan itu dibuat oleh pemerintah Belanda, di Negeri
Belanda pula dan sudah ketinggalan zaman. Oleh karena itu perundangundangan ini sangat tidak aspiratif dengan kehendak masyarakat /
bangsa Indonesia.
Perundang-undangan tentang KKN yang berlaku sekarang belum
secara utuh mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia, sebut saja
undang-undang itu, misalnya saja tentang “Sistem pembuktian terbalik”,
karena sistem pembuktian terbalik yang dimuat pasal 37 undang-undang
PTP Korupsi bukan sistem pembuktian terbalik murni, tapi sistem
pembuktian terbalik yang terbatas, sehingga kurang mempunyai daya
tangkal untuk mencegah orang melakukan korupsi.
C.
Aspek Aparat Penegak Hukum
Ada tiga pilar aparat penegak hukum di Indonesia dalam konteks
intergrated criminal justice system, yaitu penyidik (Polisi/Jaksa/KPK),
Penuntut Umum (Jaksa/KPK) serta pemeriksa dan pemutus (Hakim).
Ketiga aparat penegak hukum inilah yang menjadi alat negara untuk
menjalankan undang-undang.
Perundang-undangan yang baik (kaffah, kapabel aspiratif) tidak
punya arti sama sekali jika tidak dijalankan dengan baik oleh aparat
penegak hukum, artinya jika alat pemaksa/aparat penegak hukumnya
tidak melaksanakan dengan baik, maka maksud dari perundangundangan itu tidak akan tercapai.
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan undang-undang
harus mempunyai integritas kepribadian, adil dan jujur. Akan tetapi, di
dalam praktik banyak aparat penegak hukum yang melakukan
penyimpangan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penegak
hukum. Hal ini disebabkan karena antara lain integritas kepribadian
yang rendah, SDM yang tidak memadai dan tingkat kesejahteraan yang
tidak memenuhi standar minimum sehingga mereka ikut dalam praktik
KKN.
D.
Aspek Kesadaran/Pentaatan Hukum Masyarakat
Kesadaran/penaatan masyarakat terhadap hukum seperti telah
digambarkan pada awal tulisan ini sudah berada pada titik yang paling
rendah. Fenomena ini sangat tidak mendukung terwujudnya penegak
hukum dan keadilan termasuk substansi pemberantasan korupsi.
Perundang-undangan yang baik dengan didukung dengan oleh aparat
318
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
penegak hukum (sebagai alat pemaksa terlaksananya undang-undang)
yang baik pula, akan tidak punya arti apa-apa apabila tidak didukung
oleh tingkat kesadaran hukum masyarakat. Penaatan hukum standar
yang dipunyai oleh masyarakat (sebagai subjek yang harus
melaksanakan norma-norma yang termuat dalam hukum/perundangundangan itu) harus ditingkatkan.
Budaya korupsi seperti diuraikan di atas, tumbuh salah satunya
diakibatkan oleh karena lunturnya perasaan malu dari masyarakat
termasuk penyelenggara negara. Jadi, dalam konteks pemberantasan
korupsi harus ditumbuhkan kembali budaya rasa malu dalam
masyarakat kita, jika melakukan korupsi. Hal-hal ini bisa dilakukan
dengan langkah-langkah sosialisasi, berupa pendidikan, penyuluhan dan
penerangan. Sosialisasi hendaknya dilakukan tidak terbatas pada para
birokrat penyelenggara negara, melainkan elit politik, aparat penegak
hukum, generasi muda bangsa, dan jika perlu dilakukan terhadap anakanak di lingkungan sekolah-sekolah.
Di samping ketiga aspek di atas perlu juga diperhatikan aspek
keteladanan, yaitu: harus ada keteladanan yang dicontohkan oleh para
pejabat, khususnya para birokrat di dalam kehidupan sehari-hari.
Selama ini ada satu stigma di dalam dunia birokrat bahwa banyak para
birokrat yang mempunyai sifat hedonis dan konsumtif dalam kehidupan
sehari-hari. Harus diciptakan satu keteladanan dari para birokrat,
dimana para birokrat mempunyai sifat sederhana di dalam kehidupan
sehari-hari sehingga hal ini akan diteladani oleh masyarakat, hal ini
pun akan mengurangi atau mencegah timbulnya korupsi.
Terhadap ketiga penyebab korupsi tersebut di atas pemerintah orde
reformasi telah mengambil langkah-langkah yang dinilai maksimal,
akan tetapi ternyata perilaku korupsi dan tindak pidana korupsi semakin
merajalela, sehingga pada masa orde reformasi ini dibentuk suatu
lembaga superbody yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi
di luar aparat penegak hukum yang telah ada (kejaksaan dan kepolisian),
yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
KPK sudah bekerja hampir sepuluh tahun, ternyata perilaku dan
tidak pidana korupsi oleh penyelenggara negara dan masyarakat makin
merajalela. Di samping itu, ternyata dalam perjalanannya langkahlangkah yang dilakukan oleh KPK selain menimbulkan akibat hukum
juga menimbulkan efek politik, terutama terhadap kalangan
penyelenggara negara dan birokrasi. Akibat dari langkah-langkah yang
319
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
diambil oleh pemerintah Indonesia menimbulkan gejala chaos birokrasi.
Banyak para desision maker yang tidak berani mengambil kebijakan
dalam melaksanakan pelayanan terhadap publik sehingga menimbulkan
stagnasi.
Pemerintah seperti sudah putus asa dalam memberantas korupsi
yang sudah membudaya. Masalah korupsi selalu menjadi hal yang
aktual, kita harus mencari jalan keluar, bagaimana cara
penanggulangannya yang tepat. Ada satu hal yang belum ditempuh oleh
pemerintah dan masyarakat Indonesia guna memberantas korupsi, yaitu
dengan melalui penerapan teori atau sistem pembuktian terbalik. Hal ini
merupakan wacana untuk diterapkan dalam pembuktian (murni/
mutlak) terhadap tindak pidana korupsi. Wacana ini menarik untuk
dikaji.
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa identifikasi masalah.
Adapun permasalahan yang timbul dalam tulisan ini adalah: Sampai
sejauh mana efektifitas sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang
diatur dalam hukum positif Indonesia, yaitu seperti diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kemudian masalah yang timbul berikutnya adalah: Apakah
penerapan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian perkara
tindak pidana korupsi (seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999) dapat mencegah atau mengurangi bahkan menghilangkan
tindak pidana korupsi di Indonesia secara tuntas.
Adapun tujuan dan kegunaan penulisan ini adalah untuk
mengetahui sampai sejauh mana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 37,
membuat prinsip-prinsip tentang pembuktian terbalik. Sistem
pembuktian terbalik dimaksud; pembuktian yang murni atau semu.
Penulisan ini diharapkan berguna bagi ilmu pengetahuan hukum
khususnya hukum pidana formil/hukum acara pidana.
Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif yaitu
dengan mempelajari peraturan perundang-undangan baik yang ada
dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/
buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yang
berkaitan dengan sistem pembuktian terbalik. Kemudian hasilnya yang
berupa aspek yuridis maupun sosiologis dituangkan dalam bentuk
deskriptif analitis.
Tulisan ini juga disertai dengan pemikiran, bahwa tujuan hukum
untuk mencapai keadilan di masyarakat merupakan tujuan hukum yang
320
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
utama, selain untuk tercapainya kepastian hukum sebagaimana
dimaksud oleh aliran Rechts Positivisme yang dipelopori oleh Hans Kelsen.
Tujuan hukum untuk mencapai keadilan merupakan tujuan hukum
yang paling tua yang sampai saat ini tetap dipertahankan. Namun
dengan syarat bahwa di masyarakat harus terlebih dahulu terciptanya
ketertiban.
Tentang hal tersebut di atas dikemukakan juga oleh Muchtar
Kusumaatmadja yang memberikan definisi tentang hukum, yaitu :
Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan
hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memelihara
ketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta proses
yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut sebagai kenyataan di
masyarakat.2
Dari definisi yang dikemukakan tersebut di atas, jelaskan bahwa
menurut Muchtar Kusumaatmadja tujuan hukum yang hakiki ialah
terpeliharanya ketertiban dan tercapainya keadilan. Pemikiran dari
Muchtar Kusumaatmadja ini sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound.3
Lebih jauh lagi Roscoe Pound mengemukakan tentang hukum sebagai
alat pembaharuan masyarakat: Law as a tool of social engineering, hukum
sebagai alat pembaharuan masyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar
Kusumaatmadja disesuaikan dengan kondisi Indonesia menjadi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pembaharuan maksudnya
ialah memperbaharui cara berfikir masyarakat dari cara berfikir
tradisional kepada cara berfikir modern. Hukum harus bisa dijadikan
sarana untuk memecahkan semua problem yang ada di dalam
masyarakat termasuk masalah tindak pidana korupsi yang merajalela.
Salah satu hak yang dibaharui adalah sistem hukum acara pidananya,
yaitu dari sistem pembuktikan yang konvensional menjadi sistem
pembuktian terbalik. Apakah hal itu memungkinkan diberlakukan di
Indonesia.
E.
Sistem atau Teori Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya dan terbukti atau tidak
terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan seperti termuat dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, bagian terpenting dalam proses acara
2
P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan Law Faculty, Alumnus Press,
Bandung, 1998 , hlm. 94.
3
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, Jakarta, 1972, hlm. 37.
321
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
pidana. Dalam proses ini hak asasi manusia menjadi hal yang sangat
penting. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti
yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran
materiil.
Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat (negara). Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara
Eropa Kontinental yang lain, menilai bahwa hakimlah yang menilai alat
bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri dan bukan juri seperti
Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon. Di negara-negara
tersebut, belakang juri yang umumnya terdiri dari orang awam itulah
yang menentukan salah tidaknya (guilty or not guilty) seorang terdakwa.
Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana
(sentencing).
Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah, alat-alat bukti
seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian
diberikan oleh orang yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut
psikolog, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa
orang akan berbeda-beda. Pernah diadakan percobaan di suatu sekolah
di Swedia. Para murid dikumpulkan dalam suatu kelas, kemudian
seseorang tamu masuk ke kelas itu sejenak kemudian keluar lagi.
Setelah murid-murid ditanya apakah pakaian tamu tadi, maka jawabnya
berbeda-beda. Ada yang mengatakan berbaju biru, ada yang mengatakan
baju abu-abu, dan bahkan ada yang menyebut baju coklat.
Oleh karena itulah, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti
yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena
ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Diusahakanlah memperoleh
pengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan, yang akan
menenteramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran
materiil.
Dalam alasan mencari kebenaran materiil itulah maka asas
akusator (accusatoir) yang memandang terdakwa sebagai pihak sama
dengan perkara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor
(inquisitoir) yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan,
bahkan kadangkala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan
terdakwa. Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,
dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian.
322
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
E.1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang
secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie).
Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang
disebut undang-undang, disebut teori pembuktian berdasar undangundang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie).4 Dikatakan secara
positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya
jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang
disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan
sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele
bewijstheorie).
Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori
ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut
oleh undang-undang.
E.2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
saja
Berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang
secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim. Teori
ini disebut juga conviction intime. Disadari bahwa alat bukti berupa
pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran.
Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar
telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu,
diperlukan juga keyakinan hakim.
Dari pemikiran itulah, maka teori keyakinan hakim itu yang
didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem
ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis.
Sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu
pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini
memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium atau paranormal.
Dahulu pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem
keyakinan hakim selaras dengan kenyataan bahwa pengadilanpengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2006, hlm. 249.
323
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
(berpendidikan) hukum. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim
terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau
penasihet hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal
ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa
ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di
Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan
mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh
dan mengusik rasa keadilan.
E.3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee).
Sebagai solusi, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian
yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction
raisonnee). Teori ini mempunyai konsep bahwa hakim dapat
memutuskan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
motivasi.
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije
bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang
berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terbagi dua. Yang
pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan
hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialah
teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk bewijstheorie).
Persamaan antara keduanya adalah sama-sama berdasar atas
keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa
adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah. Perbedaannya ialah
bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim,
tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan
(conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang,
tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,
menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang
mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak
pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh
undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.
Dapatlah disimpulkan bahwa ada dua perbedaan yaitu yang kesatu
berpangkal pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua berpangkal
pada ketentuan undang-undang. Kemudian, yang pertama dasarnya ialah
324
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
suatu kesimpulan yang tidak didasarkan undang-undang, sedangkan
yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut
secara terbatas.
E.4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk)
HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian
berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat
dilihat dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR.
Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan
kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang tersebut dalam
Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari
alat-alat bukti tersebut.
Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang
tersebut pada Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut :
“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim
mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah
terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang
didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”
Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok tentang Kekuasaan
Kehakiman (UUPKK) Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang
mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan
atas dirinya.”
Kelemahan dari rumusan undang-undang ini ialah disebut alat
pembuktian hukum alat-alat pembuktian, atau seperti dalam Pasal 183
KUHAP disebut dua alat bukti. Dalam sistem atau teori pembuktian yang
berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie)
ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian ganda (dubbel en
grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan
325
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu
bersumberkan pada peraturan undang-undang.
Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP tersebut,
yang mengatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan
hakim. Menurut penulis keyakinan itu hanyalah dapat didasarkan
kepada isi alat-alat bukti yang sah (yang disebut oleh undang-undang).
Penjelasan Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah
untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum
bagi seseorang.
Keempat sistem pembuktian tersebut di atas dapat diberlakukan
terhadap semua tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak
pidana khusus. Terhadap beberapa tindak pidana tertentu bisa pula
diberlakukan sistem pembuktian yang lain dari keempat sistem tersebut
di atas, yaitu sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban
pembuktian.
F.
Pembalikan Beban Pembuktian
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau sistem Pembuktian
Terbalik dalam istilah lain disebut juga omkering van het bewijslast
(Belanda) atau reversal borden of proof (Inggris) ini merupakan adopsi
dari negara anglo-saxon, seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. Di
Indonesia, pengkajian terhadap sistem atau teori Pembalikan Beban
Pembuktian ini memiliki manfaat yang sangat komprehensif, sebab
salah satu hambatan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sulit
dilakukannya pembuktian terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.
Atas dasar penelitian akademis dan praktis, maka maksud
diberlakukannya asas ini tidak dalam konteks total dan absolut, tetapi
pendekatan komparatif negara yang memberlakukan asas ini.5
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ini tidak pernah ada yang
bersifat total absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatas
yaitu terhadap delik yang berkenaan dengan “gratification”
(pemberian) yang berkaitan dengan suap (“bribery”).
Aturan mengenai pemberian) yang berkaitan dengan suap, pada
pokoknya disebut bahwa pegawai pemerintah yang menerima,
dibayarkan atau diberikan dari dan atau oleh seseorang, maka
Andi Hamzah, Perkembangan Pidana Khusus, Jakarta : P.T. Rineka Cipta, Cetakan Pertama, 1991,
hlm. 31.
5
326
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
pemberian harus dianggap korupsi, sampai sebaliknya dibuktikan. Hal
ini menerapkan sistem Pembalikan Beban Pembuktian, tetapi terbatas
pada delik yang berkaitan dengan “gratification” dan “bribery”, artinya
sistem pembalikan beban pembuktian dari negara anglo-saxon sebagai
asalnya sistem pembalikan beban pembuktian ini, tidak absolute dan
memiliki kekhususan serta terbatas sifatnya.
G.
Sistem Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999
Telah dikemukakan dalam tulisan di atas bahwa negara anglo-saxon
sebagai cikal bakalnya Sistem Pembalikan Beban Pembuktian tetap
mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus).
Demikian pula sifat terbatas ini dianut pula oleh Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999.
Apakah yang dimaksud dengan terbatas dan khusus dari sistem
pembalikan beban pembuktian, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999. Untuk itu mari kita simak makna sistem pembuktian terbalik
menurut bunyi Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
1)
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
2)
Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
3)
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
4)
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5)
Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 37 disebutkan :
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
327
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa
yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, buka terdakwa.
Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat
membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan
korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian
terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan
dakwaannya.
Dari bunyi penjelasan Pasal 37 atas dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa sistem pembuktian terbalik seperti yang dianut dalam pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di atas dinilai sebagai sistem pembuktian terbalik yang
terbatas, dimana dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi di
Indonesia sehari-hari jarang diterapkan. Hal ini menimbulkan kurang
efektifnya sistem ini.
Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana
(termasuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 beserta
penjelasannya), makna atau arti “Terbatas” atau “Khusus” dari
implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian adalah:
1.
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan
terhadap tindak pidana “gratification” (pemberian) yang berkaitan
dengan “bribery” (suap) dan bukan terhadap delik-delik lainnya
dalam tindak pidana korupsi.
2.
Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban
pembuktiannya tetap ada pada Jaksa Penuntut Umum.
3.
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan
terhadap “perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap
siapa saja sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan
pula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada
Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tetap diberikan pada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Terdakwa
berdasarkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dinilai terbukti
melakukan pelanggaran salah satu dari tindak pidana tersebut dan
dikenakan perampasan terhadap harta bendanya, Terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak
pidana korupsi.
328
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
4.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas penerapan
asas Lex Temporis-nya, yakni sistem ini tidak dapat diberlakukan
secara Retro-aktif (berlaku surut) karena potensial terjadinya
pelanggaran HAM, pelanggaran terhadap asas Legalitas, dan
menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balas
dendam).
5.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas dan tidak
diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”.6 Dari
pengertian ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak
diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari
pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem
pembalikan beban pembuktian ini sebagai kenyataan yang tidak
dapat dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hak-hak dari
“dader” yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan
“praduga tak bersalah”, namun demikian adanya suatu
minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya
eliminasi hak-hak tersebut, dan apabila terjadi, inilah yang
dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian adalah
potensial terjadinya pelanggaran HAM.
H.
Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Perampasan Harta
Benda Terdakwa
Sistem pembalikan beban pembuktian diberlakukan terhadap
perampasan harta benda Terdakwa, artinya Terdakwa yang didakwa
melakukan salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 wajib membuktikan harta benda yang
diperoleh sesudah tindak pidana korupsi (yang didakwa) bukan berasal
dari tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan harta benda tersebut
diajukan Penuntut Umum saat membacakan tuntutan pada perkara
pokok.
Ketentuan ini merupakan klarifikasi terhadap dis-opini publik yang
menyangka bahwa pembalikan beban pembuktian merupakan basis
potensial korupsi yang baru bagi aparatur penegak hukum, meskipun
tidak terlepas kemungkinan terjadinya hal tersebut. Pembalikan Beban
Pembuktian hanya diterapkan terhadap delik adopsi baru yang berkaitan
dengan “gratification”. Masalah “perampasan” berlaku untuk semua delik
6
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Cetakan Kesatu, 1996. hlm. 107-108.
329
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, artinya penerapan asas pembalikan
beban pembuktian ini haruslah ada proses hukum yang mendahuluinya
terhadap seseorang, sedangkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2
sampai dengan Pasal 16 tetap memakai pembuktian biasa (penuntut
umum yang membuktikan). Jadi, sistem pembalikan beban pembuktian
sama sekali tidak diterapkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sampai
dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, artinya
kewajiban pembuktian atau sistem pembuktian tentang ada atau
tidaknya pelanggaran terhadap Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tetap ada pada jaksa penuntut umum,
hanya saja apabila penuntut umum dengan tuntutan menilai terdakwa
terbukti melanggar salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dan harta-harta terdakwa
dikenakan perampasan, maka perampasan terhadap harta benda itulah
yang wajib dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. Itu hanyalah dilakukan
dalam proses di pengadilan, bukan pada saat penyidikan maupun
penuntutan. Hal ini bertujuan untuk mengakomodisir masukan
masyarakat yang mengkhawatirkan terjadinya korupsi lain (pemerasan
dan penyuapan) apalagi kalau sistem pembalikan beban pembuktian
diterapkan pada saat proses penyidikan dan penuntutan sifatnya tidak
terbuka.
Kewajiban untuk pembuktian yang diberikan pada penuntut umum
merupakan hak mutlak seorang tersangka/terdakwa berupa “Presumption of Innocence” yang sekaligus sebagai bentuk aktualisasi dari
penerimaan asas “Non Self-Incrimination” (hak tersangka/terdakwa untuk
tidak mempersalahkan dirinya sendiri), sebagai jiwa KUHAP (Pasal 66).
Di samping itu, menurut sistem Hukum Acara Pidana Indonesia bahwa
terdakwa mempunyai hak untuk bungkam atau tidak menjawab
pertanyaan hakim dan penuntut umum. Prinsip tersebut merupakan
asas perlindungan hak asasi manusia yang sifatnya universalitas,
sebagaimana termuat dalam Universal Declaration of Human Right 1948.
Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa sistem pembuktian
terbalik seperti dianut dalam Pasal 37 undang-undang nomor 31 tahun
1999 dalam implementasinya tidak efektif dan tidak mempunyai daya
tangkal yang tinggi untuk mencegah orang melakukan tindak pidana
korupsi.
Ada pemikiran, sebaiknya yang diterapkan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 adalah sistem pembuktian terbalik murni - rever-
330
Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi
sal borden of proof, dengan maksud supaya sistem ini mempunyai daya
gigit yang tinggi terhadap penangkalan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Pemikiran yang demikian tampaknya bisa dipahami, akan
tetapi perlu diingat bahwa pemberlakuan atas sistem ini akan melanggar
asas-asas hukum yang berlaku secara universal, termasuk di
Indonesia. Yang dimaksud adalah antara lain asas praduga tak bersalah,
asas non self-incrimination serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(human right) dan hak terdakwa untuk bungkam sebagaimana diatur dalam
Pasal 66 KUHAP. Di samping itu diberlakukannya sistem pembuktian
terbalik murni berpotensi untuk menimbulkan peluang korupsi baru
terutama korupsi oleh para aparat penegak hukum. Lebih jauh lagi
penerapan sistem ini akan mempunyai dampak politik yang berpengaruh
terhadap kehidupan bernegara, sebab dengan diberlakukannya sistem
ini dikhawatirkan akan menimbulkan chaos birokrasi.7
I.
Kesimpulan
1. Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih
tetap terjadi; malah dengan intensitas yang makin meningkat, baik dari
segi kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian bahwa UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 sebagai alat dalam memberantas
tindak pidana korupsi belum efektif.
2. Bahwa untuk mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi
di Indonesia serta untuk menghilangkan tindak pidana korupsi, paling
tidak mengurangi kualitas maupun kuantitasnya, maka tidak cukup
dilakukan pendekatan secara yuridis, tapi juga pendekatan sosiologis
dan politis. Khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi sistem
hukum acara pidana untuk penanganan dan penyelesaiannya harus
seefektif mungkin diterapkan. Tidak cukup dengan menggunakan
sistem pembuktian yang konvensional tetapi nampaknya harus
digunakan sistem pembuktian terbalik murni. Namun demikian
pemberlakuan sistem pembuktian terbalik murni – pure reversal borden
of proof akan menimbulkan pelanggaran terhadap asas hukum praduka
tak bersalah, non-self incrimination, pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, dan hak tidak untuk bungkam, juga akan menimbulkan chaos
birokrasi.
7
Istilah yang dipergunakan oleh penulis maksudnya adalah akan terjadi stagnasi di tataran birokrasi/
pemerintahan, karena para birokrat pengambil keputusan banyak yang terlibat korupsi, sehingga urusan
pemerintahan (pelayanan masyarakat) menjadi tidak terlayani.
331
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Daftar Pustaka
Adji, Oemar Seno. 1976. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta.
Erangga.
Andi Hamzah. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta. Sinar
Grafika.
Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Cetakan Kesatu. Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Bonn, E. Sosrodanukusumo. Tt.t, Tunutan Pidana. Djakarta: Penerbit
“Siliwangi”.
Prodjodikoro, Wirjono. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indo. Djakarta :
Penerbit “Sumur Bandung”.
P. Sitorus, 1998. Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan
Law Faculty. Bandung. Alumnus Press.
Roscoe Pound, 1972. Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta. Bharata.
Saleh, Roelan. 1983. Mengadili Sebagai Pergaulan Kemanusiaan. Jakarta
: Aksara Baru.
Soedjono D. 1982. Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP. Bandung:
Alumni.
Tahir, Hadari Djenawi. 1981. Pokok-Pokok Pikian dalam KUHAP. Bandung:
Alumni.
Tanusuboto. S. 1983. Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana.
Bandung : Alumni.
Tresna, R. tt.. Komentar HIR. Djakarta: Pradnya Paramita.
Undang-Undang :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
332
BIO DATA PENULIS
Rudy Hendra Pakpahan, Tempat/Tanggal Lahir di Sibolga, 27 Januari
1980. Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Tahun
2004, S2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2009. Pekerjaan PNS Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Propinsi Sumatera Utara.
Eka N.A.M. Sihombing, Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Pekerjaan: PNS Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham
Propinsi Sumatera Utara.
Ahmad Nizar Shihab, Tempat/Tanggal Lahir: 5 Desember 1950.
Pendidikan: Dokter Umum Universitas Hasanuddin Makasar, Dokter
Spesialis di Universitas Indonesia. Pekerjaan: Wakil Ketua Komisi IX
DPR RI Tahun 2009-2012, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Tahun
2009 sampai dengan sekarang.
Zaelani, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 10 Juli 1958. Pendidikan: S-1
Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta dan S-2 Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Jabatan: Perancang Pertama
merangkap Kepala Seksi Penerbitan Direktorat pengundangan, Publikasi
dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Mundiharno, Pekerjaan: Peneliti di Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia Tahun 1990-2000, Peneliti Senior dan
Pendiri Pusat Kajian Kebijakan Publik AKADEMIKA Tahun 1996 sampai
sekarang, dan Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tahun 1996
sampai sekarang.
Qomaruddin, Tempat/Tanggal Lahir: Kudus 11 Desember 1950.
Pendidikan Srata I Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Strata
II Magister Hukum Universitas Diponegoro, dan Strata III Program Doktor
Universitas Padjajaran. Pekerjaan KORMIN pada Kanwil Depkumham
Kaltim (2002 s.d. 2004), Kadivmin pada Kanwil Depkumham Jawa Tengah
(2004 s.d. 2005), Direktur Litigasi Perundang-undangan (2005 s.d. 2007),
Sekretaris Ditjen Peraturan perundang-undangan (2007) dan Direktur
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
Litigasi Perundang-undangan (2007 s.d. 2010) dan sekarang Konsultan
Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Jaminan Nasional.
Asih Eka Putri, Tempat/tanggal lahir: 24 Agustus 1967. Pendidikan:
S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Tahun 1992 dan S-2
Magister Kebijakan Publik dan Manajemem Sekolah kebijakan Publik
dan Manajemen Universitas Southern California Tahun 2001
Manajemen Pembangunan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI.
Pekerjaan: Staf Ahli Pemerintah Indonesia, Satuan Tugas Nasional
Pengembangan Sistem Jaminan Sosial, Kementerian Kesra dan
Kementerian Kesehatan Tahun 2006 sampai sekarang, Senior Advisor
PT. Jamsotek Tahun 2008 sampai sekarang dan Direktur Konsultan
Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan MARTABAT.
Bambang Purwoko, Tempat/Tanggal Lahir: Cilacap, 1 Januari 1956.
Pendidikan: S-1 Ekonomi Manajemen Universitas Nasional Jakarta
Tahun 1983, S-2 Ekonomi Perencanaan Universitas Negeri Antwerpen
Belgia Tahun 1986 dan S-3 Ekonomi Jaminan Sosial Universitas Sydney
Australia Tahun 1995. Pekerjaan: Guru-Besar Universitas Pancasila dan
Ketua Program Studi Doktor Ekonomi (S3) Universitas Pancasila.
Nurfaqih Irfani, Tempat/Tanggal Lahir: Purwokerto, 27 April 1980.
Pendidikan Sarjana Hukum Universitas Indonesia Tahun 2003 dan
Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Jurusan Hukum Internasional Tahun 2010. Pekerjaan: Pegawai Negeri
Sipil di Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan,
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Menjadi Nara Sumber dalam berbagai
kegiatan Fasilitasi Perancangan Perda di Daerah, tenaga pengajar Diklat
Jabatan Fungsional Penyusunan Perancangan Peraturan Perundangundangan, dan aktif dalam berbagai seminar dan short course of
legislative drafting (kerjamasa antara Kementerian Kehakiman Belanda
dengan Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM). Kegiatan internasional
yang pernah diikuti: Peserta International Leadership Training on Social
Security yang diselenggarakan oleh GTZ bekerja sama Pemerintah
Federal Republik Jerman di Jerman pada Tahun 2010-2011, Internship
Program di Kementerian Kehakiman Jerman pada bulan Januari – Maret
2011, Internship Program di Bundestag Negara Federal Republik Jerman
dan Kantor Negara Bagian Berlin Brandenburg pada Maret 2011,
kunjungan ke Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan Negara
Federal Republik Jerman, pelatihan software legislative drafting “E-Norm”
di Kementerian Kehakiman Jerman, dan sebagai peserta pada “International Ministerial Conference On Health Financing, Key To Universal
Coverage,” di Berlin.
Syahmardan, Tempat/Tanggal Lahir: Tembilahan Riau, 30 Agustus
1980. Pendidikan: S1 fakultas Hukum Universitas Andalas padang Tahun
2003 dan S2 Perencanaan Strategi dan Kebijakan Universitas
Indonesia Tahun 2010. Pekerjaan: Tenaga Fungsional Perancangan
Peraturan Perundang-undangan (legal drafter) pada Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM RI sejak
tahun 2006.
Wahyu Wiriadinata, Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 21 Oktober 1950.
Pekerjaan: Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
PANDUAN PENULISAN NASKAH
1.
Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasil
penelitian lapangan, survey, hipotesis, kajian teori, studi
kepustakaan, review buku, dan gagasan kritis konseptual yang
bersifat objektif, sistematis, analisis, dan deskriptif.
2.
Naskah yang dikirim karya tulis asli yang belum pernah dimuat
atau dipublikasikan di media lain.
3.
Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4
dengan font Bodoni ukuran 12, panjang naskah antara 15-20
halaman.
4.
Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku,
lugas, sederhana, dan mudah dipahami, serta tidak mengandung
makna ganda.
5.
Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yang
singkat dan jelas, dengan kata atau frasa kunci yang
mencerminkan isi tulisan.
6.
Sistematika penulisan disesuaikan dengan aturan penulisan
ilmiah, ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, yang secara
garis besar sebagai berikut: Judul dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris, nama penulis, abstrak ditulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris (ditulis dalam 1 paragraf, dengan 2
spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kunci
dicantumkan di bawah abstrak, nama instansi penulis,
pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup,
dan metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data,
dan analisis), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka.
7.
Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote).
8.
Isi, materi, dan substansi tulisan merupakan tanggung jawab
penulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional)
tanpa mengubah arti.
9.
Daftar pustaka, disusun menurut sistem pengarang dan tahun
terbit, penerbit, kota/negara, hal.
Contoh:
1.
Buku
-
Luar negeri
Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State,
Russel & Russel, New York. hlm. 45.
Vol. 9 No. 2 - Juli 2012
-
Dalam negeri
Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21.
2.
Makalah dalam jurnal
-
Luar negeri
Suzuki, S.,M. Sugiyama, Y. Mihara, K. Hashiguchi and
K. Yokezeki. 2002. Novel enzymatic method for the
production by oxydans. Japan Biochem.
-
Dalam negeri
Kurniawan, Y. dan S. Yuliatun. 2006. Perspektif gasohol
sebagai energi hijau bagi transportasi. Majalah
Penelitian Gula.
3.
Makalah dalam buku
-
Luar negeri
Zyzak, D.V., k.J. Wells-Knecht, M.X. Fu, S.R. Thorpe, M.S.
Feather and J.W. Baynes. 1994. Pathways of the
maillard reaction in vitro and in vivo. Proc. of the
5th International Symposium of the Maillard
Reaction, University of Minnesota.
-
Dalam negeri
Sukarso, G., S. Sastrowijono, Mirzawan PDN.,S. Lamadji,
Soeprijanto,E.Sugiyarta dan H. Budhisantoso. 1990.
Varietas tebu unggul lokal untuk tegalan dengan
pola keprasan. Pros.Seminar Pengembangan
Agroindustri Berbasis Tebu dan Sumber Pemanis
lain. P3GI, Pasuruan.
4.
Pustaka dari Internet
-
Jurnal
Almeida, A.C.S., L.C. Araujo, A.M. Costa, C.A.M. Abreu,
M.A.G.A. Lima and M.L.A.P.F. Palha. 2005. Sucrose
hydrolysis catalyzed by auto-immobilized invertase
into intact cells of cladosporium cladosporoides. Electrical Journal of Biotechnology 8(1): 15-18 (online)
http://www.ejbiotechnology.info/content/vol8/
issue1/full/11. pdf (diakses tanggal 8 Juni 2006).
-
Informasi lain
Fadli. 2002. Pabrik sirup gula tebu pertama di Malang
(online), http://kompas.com/kompas-cetak/034/
15/ilpeng/256044.htm (diakses tanggal 2 Mei 2006).
10.
Pengiriman naskah berupa hard copy dan soft copy serta
melampirkan curriculum vitae ditujukan kepada :
Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. HR.
Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021)
5264517/Fax (021) 52921242, e-mail : [email protected].
Download