REPRESENTASI MISTISISME DAN SEKSUALITAS: PENERJEMAHAN BUDAYA DALAM TIGA FILM EKSPLOITASI DARI INDONESIA Rido Budiman1) 1 Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Email : [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas tentang bagaimana mistisisme dan seksualitas direpresentasikan dalam proses penerjemahan budaya dan cultural borrowing dalam Lady Terminator, Queen of Black Magic dan Mystics in Bali, 3 film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan secara internasional. Dengan melakukan analisis tekstual dan kontekstual, tujuan utama penelitian ini adalah membongkar strategi-strategi pemaknaan yang digunakan dalam ketiga film tersebut sebagai bagian dari kategori film eksploitasi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan secara internasional masih setia dengan elemen-elemen yang mendefinisikan film eksploitasi (kekerasan, dan seksualitas) dan juga unsur mistisisme yang menjadi ciri khusus film eksploitasi dari Indonesia. Di satu sisi, film-film ini dengan strategis memanfaatkan unsur mistisisme sebagai daya tarik untuk penonton internasional. Akan tetapi, ada strategi-strategi yang dilakukan baik dalam tataran narasi maupun visual untuk memastikan produk budaya populer ini dapat dinikmati atau bahkan dipahami oleh penonton internasional dan salah satunya adalah dengan merasionalkan unsur mistisisme. Selain membuat penonton menikmati eksotisme yang ditawarkan dan merasa berjarak dengan narasi film (distancing), film-film ini juga menggunakan strategi intertekstualitas dengan meniru film-film Hollywood seperti Terminator untuk menciptakan kedekatan (identification). Kata Kunci: Film Eksploitasi, Penerjemahan Budaya, Cultural Borrowing Abstract This research discusses how mysticism and sexuality are represented in the process of cultural translation and cultural borrowing in Lady Terminator, Queen of Black Magic and Mystics in Bali, three internationally distributed exploitation films from Indonesia. By doing textual and contextual analysis, the main purpose of this study is to dismantle the strategies used in the meaning making process in the three films. Research finding reveals that internationally distributed exploitation films from Indonesia are still loyal to the elements that define exploitation films (violence, and sexuality) and also an element of mysticism which is a special characteristic of exploitation films from Indonesia. These films strategically utilize elements of mysticism as an appeal to an international audience. However, there are strategies apply both at the level of the narrative and the visual to ensure the products of popular culture can be enjoyed or even understood by an international audience and one of them is to rationalize the element of mysticism. In addition to making the audience enjoy the exoticism offered and felt within the narrative of the film (distancing), these films also use the strategy of inter-textuality to imitate Hollywood movies, such as Terminator, to create proximity (identification). Keywords: Exploitation Film, Cultural Translation, Cultural Borrowing Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 50 PENDAHULUAN Film horor merupakan salah satu genre yang paling populer dalam perfilman Indonesia. Sejak tahun 1970an genre film ini mencapai puncak kepopuleran lewat film-film yang dibintangi oleh Suzanna. Genre horor juga dikategorikan sebagai film eksploitasi. Film-film jenis ini pertama kali populer di Amerika Serikat dimana Eric Schaefer (2007) mendefinisikan film eksploitasi sebagai “…low-budget, sensational movies of various stripes that revel in sex, nudity, vice, and violence…” (94), yaitu film yang menggarap tema-tema kekerasan, seks, horor dalam porsi yang bisa dibilang lebih besar daripada filmfilm yang pada umumnya beredar di bioskop. Beberapa film juga menambahkan penggunaan narkotika, orang aneh, monster, kesadisan, kehancuran, pemberontakan, dan kekacauan dalam adegan-adegannya. Film-film eksploitasi cukup banyak diproduksi di Indonesia pada periode 1970an hingga 1990an karena sejak periode ini Badan Sensor Film nasional bersikap lebih longgar dalam menentukan film mana yang boleh tayang atau tidak. Hal ini terlihat lewat film Akibat Pergaulan Bebas, yang merupakan film bertemakan seks merupakan film terlaris pada 1977. Film-film jenis ini diproduksi tidak hanya karena ada permintaan penonton yang ingin mengkonsumsinya tetapi juga karena ada kebijakan pemerintah pada saat itu kepada para importir film tidak hanya mengimpor film dari Hollywood tetapi mewajibkan mereka untuk memproduksi film di Indonesia. Hingga kemudian para importir tersebut membuat film beranggaran produksi murah tetapi laku dijual ke publik. Selain karena peraturan film impor, film eksploitasi juga diproduksi karena persaingan bisnis antar importir film yang dimonopoli oleh Sudwikatmono yang merupakan orang dekat Soeharto. Karena monopoli ini produser film seperti Raam Punjabi (Parkit Films) dan Gope Samtani (Rapi Films) berkurang keuntungannya dan terpaksa mencari pasar internasional sebagai alternatif. Menurut Barker film eksploitasi pertama di Indonesia yang diekspor ke dunia internasional adalah Primitif (1978) yang dibuat oleh Sisworo. Beberapa judul jenis film ini kemudian juga beredar lewat format VHS dan Betamax yang ramai pada tahun 1980an. Format video ini begitu populer pada saat itu sehingga para produser berlomba-lomba mencari judul yang laku dijual dalam format ini. Film eksploitasi menjadi film Indonesia yang laku dijual ke produser video internasional dari Amerika Serikat dan Australia yang pada saat itu mencari judul yang dapat dibeli murah dan laku dijual. Ketika format video DVD pada tahun 2000an ramai dijual, film eksploitasi Indonesia masih mendapat perhatian dari distributor video internasional seperti Mondo Macabro dari Inggris. Judul-judul seperti Lady Terminator (Pembalasan Ratu Laut Selatan), Queen of Black Magic (Ratu Ilmu Hitam), The Devil Sword (Golok Setan), dan Virgins in Hell (Perawan Di Sarang Sindikat) menurut sang pemilik Pete Tombs bisa laku antara 2000 hingga 8000 keping. Mondo Macabro mendistribusikan film-film eksploitasi Indonesia tidak hanya di Inggris tetapi juga di Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Italia, dan Perancis. Film-film ini populer di kalangan penggemar film eksploitasi internasional/barat dan menjadi bahan diskusi dan perbincangan di internet lewat blog, website, fanzine yang berasal dari Amerika, Eropa, dan Australia seperti Weird World Cinema, Monsters at Play, DVD Drive-in, DVD Maniacs, Mitglied, Schlock Treatment, The Cinehound Database dan lain-lain. Dalam penelitian ini, tiga judul film eksploitasi yang akan menjadi korpus penelitian adalah Lady Terminator, Queen of Black Magic, dan Mystics in Bali. Ketiga film ini mengedepankan unsur mistisisme dan seksualitas didalamnya. Hal ini terlihat dari plot cerita kedua film ini misalnya Lady Terminator yang bercerita tentang pembalasan dendam salah satu tokoh mistik yang paling dikenal di Indonesia yaitu Ratu Laut Selatan yang menjelma kedalam tubuh wanita kulit putih. Sedangkan Queen of Black Magic bercerita tentang seorang perempuan yang dituduh menggunakan ilmu santet karena sakit hati ditinggal menikah oleh pacarnya yang kemudian membalas dendam kepada para penuduhnya. Lalu film Mystics in Bali yang bercerita tentang perempuan kulit putih yang ingin mempelajari ilmu Leak untuk riset bukunya yang secara tidak sadar Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 51 dimanfaatkan oleh dukun ilmu leak yang didatangi untuk menambah kekuatan ilmunya. Adapun pertanyaan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konteks distribusi film eksploitasi dari Indonesia ke dunia internasional mempengaruhi proses pemaknaan Lady Terminator, Queen of Black Magic dan Mystics in Bali? 2. Bagaimana mistisisme dan seksualitas direpresentasikan dalam proses „penerjemahan budaya‟ dan cultural borrowing dalam Lady Terminator, Queen of Black Magic dan Mystics in Bali, 3 film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan di dunia internasional? Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukkan bagaimana konteks distribusi film Eksploitasi Indonesia mempengaruhi proses pemaknaan Lady Terminator, Queen of Black Magic, Mystics in Bali dan representasi mistisisme dan seksualitas yang menjadi bagian proses penerjemahan budaya serta cultural borrowing dalam tiga film eksploitasi Indonesia, yaitu Lady Terminator, Queen of Black Magic, dan Mystics in Bali. KAJIAN LITERATUR Kata kunci representasi dari Stuart Hall digunakan untuk menganalisis masalah ini dengan melihat kode-kode mistisisme dan seksualitas apa saja yang muncul dalam film Lady Terminator dan Queen of Black Magic. Kode-kode yang dimaksud disini adalah sistem representasi ketika tanda dan pemaknaannya sudah diatur menurut kesepakatan budaya dan diterima sebagai pemaknaan yang sama oleh suatu sistem budaya. Hall memberikan definisi representasi sebagai “ the relation between „things‟, concept, and signs lies at the heart of the production of meaning in languages. The process which links these three elements together is what we call „representation‟ (19). Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa pemaknaan muncul konstruksi yang telah dibuat sebelumnya. Contoh yang paling sering digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah salib yang bagi orang kristiani memiliki pemaknaan akan pengorbanan Yesus sedangkan bagi orang non kristiani yang tidak memiliki pengetahuan tentang itu hanya menganggap sebagai benda biasa. Konsep Hall (1993) berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah encoding-decoding yang memiliki definisi “model of communication essentially states that meaning is encoded by the sender and decoded by the receiver and that these encoded meanings may be decoded to mean something else. “(91) Konsep ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pembuat produk budaya dan penikmatnya dengan melihat bagaimana penonton memberikan pemaknaan akan suatu produk budaya. Menurut Hall ada tiga posisi yang bisa diambil oleh penonton yaitu menerima (dominant-hegemonic), menegosiasi (negotiated), dan menolak (oppositional). Penonton dianggap berada dalam posisi menerima apabila penonton memberikan pemaknaan yang sama dengan pembuat kode/produk budaya. Sedangkan posisi penonton yang menegosiasi adalah penonton yang mengakui sebagian pemaknaan yang diberikan oleh pembuat produk budaya tetapi juga menentang sebagian pemaknaannya. Posisi penonton yang menolak adalah penonton yang memberikan pemaknaan berlawanan dengan pemaknaan yang dimaksud oleh pembuat kode. Selain itu konsep Cultural Borrowing yang didefinisikan oleh Iain Robert Smith sebagai “appropriating elements from prior cultural texts for use in the creation of new works” (2009) yaitu proses penciptaan produk budaya baru dengan menyesuaikan berbagai macam unsur produk budaya yang telah ada sebelumnya digunakan dalam penelitian ini. Smith menjelaskan lebih lanjut bahwa Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 52 ada hal yang dipertaruhkan ketika suatu produk budaya meniru, mengadaptasi, dan menyesuaikan/apropriasi produk budaya sebelumnya. Produk budaya tersebut bisa dianggap sebagai suatu bentuk plagiarism yang diharamkan, akan tetapi disisi lain bisa dianggap sebagai suatu bentuk kreatifitas yang diagungkan. Konsep cultural borrowing akan digunakan untuk menjelaskan salah satu strategi yang digunakan oleh film Indonesia agar bisa menembus pasar perfilman internasional. Kata kunci/konsep berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah identification dan distancing yang dikemukan oleh Chua Beng Huat ketika menjelaskan fenomena konsumsi budaya populer Asia Timur. Chua berangkat dari konsep encoding-decoding dari Stuart Hall dalam melihat bagaimana suatu produk budaya populer menghasilkan suatu reaksi dari konsumen/penonton yang menurut Chua tidak hanya berhenti dalam posisi decoding (Bagaimana pembaca/penonton memberikan pemaknaan terhadap suatu produk budaya) yang menerima, menolak, atau menegosiasi. Chua melihat ada sisi keasingan/foreigness terhadap suatu produk budaya yang menjadi daya tarik bagi penonton/konsumen produk budaya yang berasal dari lintas batas yang berbeda. Konsep identification and distancing ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana makna dikonstruksi dalam film-film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan di dunia internasional. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan digunakan adalah analisis tekstual dan analisis konteks distribusi. Untuk analisis konteks distribusi film eksploitasi akan dibahas tiga film yaitu Lady Terminator, Queen of Black Magic, dan Mystics in Bali dalam konteks perfilman internasional dengan cara: 1. Memilah data dari sumber referensi maupun website/forum diskusi film eksploitasi Indonesia. 2. Mengkategorikan film eksploitasi Indonesia dalam konteks film eksploitasi internasional. Untuk analisis tekstual akan dibahas film Lady Terminator, Queen of Black Magic, Mystics in Bali dengan cara: 1. Mengeksplorasi strategi Cultural Borrowing dalam film eksploitasi Indonesia 2. Membahas penerjemahan budaya dalam segi mistisisme dan seksualitas sebagai identification dan distancing 3. Membahas strategi oversexualizing yang direpresentasikan dalam ketiga film tersebut. 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan secara internasional masih setia dengan elemen-elemen yang mendefinisikan film eksploitasi (kekerasan, dan seksualitas) dan juga unsur mistisisme yang menjadi ciri khusus film eksploitasi dari Indonesia. Di satu sisi, film-film ini dengan strategis memanfaatkan unsur mistisisme sebagai daya tarik untuk penonton internasional. Akan tetapi, ada strategi-strategi yang dilakukan baik dalam tataran narasi maupun visual untuk memastikan produk budaya populer ini dapat dinikmati atau bahkan dipahami oleh penonton internasional dan salah satunya adalah dengan merasionalkan unsur mistisisme. Selain membuat penonton menikmati eksotisme yang ditawarkan dan merasa berjarak dengan narasi film (distancing), film-film ini juga menggunakan strategi intertekstualitas dengan meniru film-film Hollywood seperti Terminator untuk menciptakan kedekatan (identification). Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 53 Pembahasan Film eksploitasi Indonesia dalam pemasarannya tidak hanya di bioskopbioskop Indonesia saja tetapi juga dengan format Betamax/VCD di Indonesia dan VHS/DVD di negara-negara lain. Salah satu bentuk promosi film adalah poster seperti yang terlihat dalam gambar di bawah dari film Pembalasan Ratu Laut Selatan/ Misteri Pusaka Laut Selatan. oleh karena itu dalam gambar dia ditembaki dengan senapan laras panjang oleh tiga orang tokoh laki-laki. Gambar 1. Poster film Misteri Pusaka Laut Selatan Poster ditampilkan dalam bentuk gambar dan tulisan dengan fokus utama gambar perempuan berambut panjang ikal dengan wajah khas kaukasia dan siluet tubuh telanjang. Disamping kiri gambar perempuan ada gambar tiga orang lakilaki memegang senjata laras panjang dengan posisi menembaki perempuan ditengah. Di kanan atas ada gambar helikopter dengan lampu sorot mengarah ke kepala perempuan di tengah. Dari fokus gambar perempuan kulit putih dengan tubuh siluet telanjang dengan kepala bercahaya terlihat terjadi proses pemaknaan bahwa film ini menjual seksualitas dan mistik sebagai daya tariknya. Sosok perempuan ini juga dapat dimaknai sebagai seorang tokoh yang berbahaya karena dia memegang senjata atau bahkan sosok yang harus ditaklukan Gambar 2. Sampul VHS Nasty Hunter/Lady Terminator Dalam distribusinya ke luar negeri, film Misteri Pusaka Laut Selatan mengalami beberapa perubahan dalam kemasan VHS seperti terlihat dalam versi Perancis dan Jerman pada dua gambar di atas. Perubahan terlihat bukan pada gambar melainkan pada tulisan yang tertera dalam kemasan yang berubah menjadi bahasa Perancis yaitu elle est impitoyable sa puissance est surnaturelle rien ni personne ne peut l‟arreter yang Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 54 terjemahan bebasnya “dia kejam dengan kekuatan supranatural yang tak seorang pun dapat menghentikannya” dan Bahasa Jerman Diese kampfmachine kann kaine stoppen! yang terjemahan bebasnya “mesin pertempuran yang tak terhentikan” dalam slogan film ini akan tetapi judul film dibuat dalam Bahasa Inggris menjadi Nasty Hunter dalam versi Perancis dan Lady Terminator Nasty Hunter Hart, Sexy, und Erbormungdos dalam versi Jerman. Dari tampilan kemasan dan katakata yang dipakai terlihat bahwa pemaknaan yang ingin dihasilkan dari kemasan ini adalah bahwa film ini bertema tentang mistik seksualitas. Tapi kata-kata yang dipakai juga menggambarkan film laga. Gambar yang dipakai juga sama dengan poster film di Indonesia karena sepertinya para pembuat film beranggapan bahwa gambar ini sudah cukup menyimbolkan apa yang ingin dijual dari film tersebut disamping juga karena alasan anggaran yang terbatas untuk pemasaran film ini. Dari berbagai kemasan yang muncul di kemasan Indonesia dan kemasan internasional terlihat bahwa representasi dominan yang dijual adalah tiga film eksploitasi ini adalah film yang mengandung unsur mistik. Meskipun ada unsur laga dan seksualitas dalam gambar dan kata-kata seperti dalam kemasan Lady Terminator, unsur mistiknya masih tetap dimunculkan. Unsur eksotisme tampak lebih dominan direpresentasikan dalam kemasan internasional dibandingkan dengan kemasan Indonesia seperti yang tampak pada gambar dan kata-kata poster, VHS, dan DVD versi internasional tiga film tersebut. Jadi disini terlihat bahwa dalam upayanya menjual film-film ini ke luar negeri unsur mistik dikemas sebagai bagian dari eksotisme Indonesia yang membuatnya berbeda dari produk film eksploitasi dari negara lainnya. Konsumsi film eksploitasi Indonesia lewat berbagai macam format dari bioskop, Betamax, VHS,VCD, dan DVD memunculkan berbagai macam pemaknaan tidak hanya dari banyaknya konsumsi tetapi juga dari tanggapan penggemar-penggemar lewat website dan forum internet (Penelitian ini akan mengacu pada komentar-komentar yang disampaikan penggemar sebagai data walaupun adanya keterbatasan bahwa data yang diperoleh tidak dapat divalidasi). Analisis terhadap tanggapan penggemar dibutuhkan memetakan proses konsumsi eksploitasi dari Indonesia didistribusikan di luar negeri. satunya dari Standard DVD penulisnya Fusion 3600: untuk film yang Salah lewat “…so damn bad, you have to love it and at the very least, you can't manage to take your eyes off the screen. Not because of the action or great performances, but because you might miss some hilarious dialogue, cheap special effects, a shot of star Barbara Anne Constable in the nude, or worst of all, the one of the greatest mulletz in the history of motion pictures.” Dalam tulisannya terlihat ada pemaknaan yang kompleks seperti tampak dalam pilihan kata “damn bad” dan“have to love it” yang menimbulkan makna bahwa film ini tidak bagus atau jelek. Akan tetapi, konsumen ini juga menulis “can‟t manage to take your eyes off the screen” yang berarti walaupun sebelumya menyatakan film ini tidak bagus, konsumen ini tidak bisa berhenti menonton. Hal ini bisa dijelaskan sebagai guilty pleasures yang artinya konsumen menonton atau mengkonsumsi sesuatu walaupun sebenarnya menganggap produk tersebut tidak sesuai dengan selera mereka. Jennifer Szalai dalam artikelnya di The New Yorker merujuk guilty pleasures sebagai “cultural artifacts with mass appeal—genre novels, catchy pop songs, domestic action movies (foreign action “films,” no matter how awful, tend to get a pass), TV shows other than “Breaking Bad” and “The Wire”—that Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 55 bring with them an easy enjoyment without any pretense to edificatio”. (2013) Kemudian ada kata kunci yang menimbulkan pemaknaan dalam kategori kualitas produksi yang buruk yaitu kualitas skenario (hilarious dialogue dan efek khusus (cheap). Selain itu, muncul juga pemaknaan yang positif dalam kategori karakterisasi yaitu lewat kata “one of the greatest mulletz” untuk mengomentari salah satu gaya rambut karakter dalam film ini. Setelah membahas konteks distribusi dan konsumsi film eksploitasi dari Indonesia, terlihat dalam konteks distribusi ada usaha untuk membuat filmfilm ini untuk bisa diterima oleh penonton internasional lewat kemasan yang dibuat yang memasukan unsur mistisisme, seksualitas, dan laga kedalamnya. Akan tetapi dalam proses konsumsinya terlihat bahwa penonton internasional melihatnya sebagai bentuk peniruan (rip off) terhadap karya Hollywood seperti yang terlihat dalam Lady Terminator. Penonton internasional dalam proses konsumsinya mereka juga melihatnya sebagai film-film yang menyajikan tema eksploitasi yang berbeda dari negera-negara lain karena mistisisme yang ditampilkan oleh tiga film eksploitasi dari Indonesia ini. Konteks distribusi dan konsumsi ini menunjukkan suatu kontestasi antara ideologi ekonomi dengan ideologi kebudayaan dimana untuk para pembuat film Indonesia agar bisa hidup dalam persaingan dengan film barat di pasar nasional maupun internasional harus bisa membuat perbedaan kreatif yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Untuk itulah produser film Indonesia memilih tema eksploitasi karena mereka melihat pasar dari segi faktor kelas penonton ini yang dari kalangan bawah yang hanya mencari hiburan sesaat tanpa melihat kualitas artistik dari suatu produk film. Strategi Cultural Borrowing dalam Film Eksploitasi Indonesia Beberapa adegan Lady Terminator meniru dari adegan film Terminator salah satunya yaitu adegan ketika karakter utama pertama kali muncul dalam keadaan tanpa busana. Dalam Lady Terminator setting dibuat di pinggir pantai yang berombak tenang dimalam hari. Kamera menyoroti air laut yang tibatiba bergerak seakan-akan ingin mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Suara latar terdiri dari suara ombak dan suara musik dengan nuansa yang menegangkan. Kamera yang tadinya fokusnya lebar menjadi sempit ke sosok kepala perempuan karakter utama yang muncul dari dalam laut kemudian kamera melebar kembali untuk mengambil gambar penuh tubuh telanjang perempuan tersebut dari posisi depan maupun belakang. Dari posisi kamera dan bagaimana adegan ini dibuat, terlihat bagaimana pembuat film mengeksploitasi tubuh perempuan menjadi sebuah tontonan untuk menarik minat penonton. Tetapi hal ini dilakukan dengan mengacu pada teks lain yaitu film produksi Hollywood berjudul Terminator (1984). Gambar 3. Tangkapan layar Lady Terminator Dalam film Terminator, setting dibuat di kota Los Angeles pada pukul 01.52 dini hari. Kamera menyoroti sebuah truk pengangkut sampah yang sedang bekerja kemudian tiba-tiba muncul spesial efek kilat berwarna biru yang berakhir dengan efek asap didekat truk tersebut. Muncul sosok pria berotot tanpa busana dalam posisi jongkok dengan lutut kanan bertumpu ke tanah mirip dengan pose patung the thinker karya Auguste Rodin. Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 56 Kamera kemudian mengambil posisi torso depan sang pria berotot dengan posisi pencahayaan yang membuat alat vital pria tersebut terlihat gelap. Lalu sang pria berjalan ke arah pemandangan kota LA yang diterangi oleh lampu dengan posisi kamera mengambil bagian belakang pria telanjang tersebut. Dari representasi tubuh telanjang yang ditampilkan dalam dua adegan yang hampir mirip ini terlihat ada dua pemaknaan berbeda yang satu memandang tubuh perempuan sebagai sesuatu yang bisa ditampilkan seutuhnya yang satu lagi memandang tubuh laki-laki sebagai sesuatu yang tidak bisa ditampilkan seutuhnya. Sehingga disini terlihat bahwa secara kultural tubuh perempuan lebih bisa dijadikan tontonan dibandingkan dengan tubuh laki-laki. Gambar 4. Tangkapan layar Terminator Strategi Familiarizing & Rasionalisasi Mistisisme Penerjemahan Judul Film Misteri Pusaka Ratu Laut Selatan,Ratu Ilmu Hitam, dan Mistik adalah tiga film Indonesia bertemakan mistik yang berhasil diekspor ke dunia internasional. Untuk bisa bisa menembus pasar tersebut tiga film ini diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris dalam bentuk sulih suara. Namun dalam penerjemahannya terdapat banyak penyesuaian dengan konteks budaya barat terutama dalam penerjemahan mistisisme budaya Indonesia. Hal ini terlihat salah satunya dalam penerjemahan judul film Misteri Pusaka Ratu Laut Selatan menjadi Lady Terminator yang bukan merupakan penerjemahan kata per kata. Dalam penerjemahan ini terlihat ada perbandingan antara Ratu Laut Selatan dan Terminator. Ratu Laut Selatan dalam konteks budaya Indonesia adalah salah satu tokoh mistik dalam cerita rakyat Indonesia sedangkan Terminator merupakan salah satu produk budaya populer dari Hollywood/Barat yang sudah sangat dikenal dalam konteks budaya populer Barat. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi suatu strategi penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran agar penonton Barat bisa memahami apa itu Ratu Laut Selatan. Namun esensi Ratu Laut Selatan sebagai figur dalam mitos Indonesia menjadi hilang pemaknaannya bagi penonton internasional. Pola penerjemahan yang sama juga terjadi dalam penerjemahan judul film Mistik (Leak) menjadi Mystics in Bali. Leak yang merupakan salah satu jenis hantu/setan dari Bali tidak dikenal dalam konteks budaya populer barat. Orang barat lebih tahu tentang Bali daripada tentang Leak sehingga judul film Mistik (Leak) dibuat menjadi Mystics in Bali. Berbeda dengan penerjemahan judul Misteri Pusaka Ratu Laut Selatan, film Ratu Ilmu Hitam yang langsung diterjemahkan kata per kata menjadi Queen of Black Magic. Hal ini terjadi karena konsep Black Magic sudah cukup dikenal dalam budaya barat dibandingkan dengan Ratu Laut Selatan. Penerjemahan Dialog Mistik dan Seksualitas Data pertama yang ditemukan dalam penerjemaham budaya dari segi mistik adalah dari film Lady Terminator dalam adegan pemeran utama bernama Tanya yang diperankan oleh Barbara Anne Constable yang sedang melakukan riset tesis bertemu dengan seorang kakek tua penjaga perpustakaan. Tanya bertanya tentang buku tentang Ratu Laut Selatan kepada sang penjaga, tetapi sang penjaga melarang Tanya membaca buku itu karena ada unsur “yang gaib” dalam buku tersebut yang bisa membahayakan jiwa seseorang. Kata “yang gaib” dalam versi Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 57 internasionalnya diterjemahkan sebagai “the unknown”. Ketika dialog ini muncul adegan divisualisasikan dalam posisi kamera yang melebar menyoroti dua orang karakter ini. Kemudian kamera berfokus pada masing-masing setengah badan kedua karakter dengan urutan dialognya. Musik latar dibuat dengan nuansa misterius yang kemudian berubah menjadi nuansa menegangkan pas ketika kata “gaib” diucapkan. Rasionalisasi Narasi Dalam narasi film-film eksploitasi yang dibahas terlihat ada usaha untuk merasionalkan hal-hal mistik yang direpresentasikan didalamnya agar bisa dipahami penonton internasional. Seperti yang terlihat dalam film Mystics in Bali dimana ada perbedaan representasi narasi dari versi Indonesia film Mistik yaitu Kathy dinarasikan dari Amerika bukan Australia seperti dalam versi internasional. Narasi ini muncul lewat adegan percakapan antara Kathy, Mahendra, dan Setan Leak yang mereka datangi. Dalam versi Indonesia setan Leak bertanya tentang asal usul Kathy yang kemudian dijawab dari Australia. Versi internasional memberikan jawaban yang berbeda yaitu Kathy berasal dari Amerika. Para pembuat film membuat asal Kathy dari Amerika karena ingin menyesuaikan dengan logat aktor sulih suara yang beraksen Bahasa Inggris Amerika. Jadi apabila produser tetap menarasikan Kathy sebagai orang Australia tentu akan menjadi tidak rasional karena aksen yang dia gunakan bukan aksen Australia. Identification and Distancing dalam Film Eksploitasi Indonesia: Identifikasi dengan Karakter Asing Film Lady Terminator dibuat dengan dua versi yang berbeda meskipun secara garis besar plot cerita yang digunakan masih sama. Perbedaan ini terlihat dari visualisasi beberapa adegan yang dalam versi internasional muncul dan versi Indonesia tidak. Salah satunya adalah adegan pertemuan karakter Ratu Laut Selatan dengan kakek dari karakter utama. Dari screenshot dapat dilihat adegan ini memosisikan kakek dari low angle camera position yang menunjukkan fokus shot pada kaki Ratu Laut Selatan. Jadi posisi kakek diperkenalkan dengan demikian menekankan framing yang fokus pada Ratu Laut Selatan sebagai penguasa dan kakek sebagai subordinat dalam obyek kamera dengan sudut pandang penonton yang disejajarkan dengan posisi ranjang. Kedua versi memiliki unsur sinematografi yang sama yaitu low angle camera position dengan pencahayaan yang bernuansa gelap yang sama. Perbedaannya adalah di kostum yang masing-masing melambangkan konteks budaya yang berbeda. Dalam versi Indonesia karakter kakek muncul dengan baju beskap berkain sarung batik dan sang ratu muncul dengan kain tipis menunggu di atas ranjang. Baju beskap bersarung batik diidentifikasi oleh penonton Indonesia sebagai simbol lelaki Jawa. Akan tetapi dalam adegan ini tokoh lelaki adalah seorang non Jawa/Indonesia. Dalam versi internasional sang ratu masih memakai pakaian yang sama sedangkan sang kakek mengenakan baju kemeja lengan panjang bercelana pantalon. Hal ini terjadi karena produser film beranggapan bahwa penonton internasional lebih familiar dengan baju kemeja lengan panjang celana pantalon yang lebih menyimbolkan baju lelaki non Jawa/Indonesia dibandingkan dengan baju beskap sarung batik. Sehingga disini produser ingin memberikan efek identifikasi bahwa karakter kakek merupakan seorang tokoh barat. Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 58 Gambar 5. Tangkapan layar Misteri Pusaka Laut Selatan Gambar 7. Tangkapan layar Mistik Gambar 6. Tangkapan layar Lady Terminator Identifikasi dengan Eksotisme Indonesia Dalam tataran representasi, filmfilm yang „diterjemahkan‟ ini juga memiliki daya tarik dalam hal foreignness (sesuatu yang asing dan eksotis). Hal ini terlihat salah satunya lewat film Mistik Punahnya Rahasia Ilmu Iblis/ Mystics in Bali yang sengaja durasinya menjadi lebih pendek dengan adegan yang dipotong yaitu adegan perkenalan antara dua karakter utama Mahendra dan Kathy demi memunculkan adegan kedua karakter berjalan ke sebuah Pura Bali. Gambar 8. Tangkapan layar Mystics in Bali Adegan perkenalan tersebut berlatar di sebuah pesta dimana tuan rumah pesta memperkenalkan kedua karakter utama karena mereka berdua datang tanpa pasangan. Kamera pada awalnya menyorot karakter Mahendra yang sedang duduk menikmati minuman. Kemudian kamera menyorot tuan rumah pesta yang mendekati Mahendra lalu kamera menyoroti keduanya yang berbincang membahas tentang Mahendra yang belum punya pasangan. Karakter Kathy kemudian disorot oleh kamera dari sudut melebar, kemudian tuan rumah memperkenalkan Kathy dengan Mahendra. Pada versi internasional setelah opening title adegan langsung menyoroti dari sudut lebar karakter Mahendra dan Kathy yang tengah berjalan di taman kemudian berjalan menaiki tangga sebuah bangunan kuno Bali. Hilangnya narasi awal perkenalanan Hendra dan Kathy dan langsung ke adegan perjalanan keduanya di Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 59 taman kearah bangunan kuno Bali memunculkan pemaknaan bahwa pembuat film menganggap penonton internasional akan lebih tertarik akan bangunan tradisional yang eksotis dibandingkan dengan latar suasana pesta di dalam rumah. seksualitas dalam film Mystics in Bali dan Queen of Black Magic tidak sebanyak dan seterbuka film Lady Terminator. Terlihat disini kedua film ini lebih ingin mengambil posisi distancing sebagai film eksploitasi Indonesia yang eksotis dari sisi tontonan mistik. Strategi Oversexualizing dalam film Eksploitasi Indonesia Dari ketiga film yang dibahas Lady Terminator, Queen of Black Magic, dan Mystics in Bali, film Lady Terminator paling banyak dikenai pita sensor dari Badan Sensor Film (BSF) dalam versi Indonesianya. Hal ini terlihat ketika dibandingkan dengan versi internasional kedua film ini seperti di adegan awal film Lady Terminator adegan bercinta antara Ratu Laut Selatan yang diperankan Yurike Prastica dengan kakek dari karakter utama bernama Erica banyak mengalami potongan salah satunya adegan keluarnya ular dari kemaluan sang Ratu. Pada versi Indonesia adegan yang muncul hanya pada saat sang kakek ditarik sang ratu ke ranjang dengan posisi kamera lebar dari samping menyoroti tubuh keduanya. Kamera kemudian menyoroti kain tipis hijau yang terbang ditiup angin lalu gambar beralih ke paha sang ratu yang terbuka pelan-pelan dari kain yang menutupinya. Kamera kemudian mengarah ke ikat pinggang emas sang ratu yang dibukanya sendiri suatu gambar yang memberikan pemaknaan bahwa sang ratu akan bercinta dengan sang kakek yang menunggu di atas tempat tidur dengan bertelanjang dada. Musik latar dibuat dengan nuansa yang mengesankan suasana penuh ketegangan. Gambar kemudian tiba-tiba berubah menjadi sang kakek yang berdiri sambil memegang seekor ular yang kemudian berubah menjadi sebilah keris begitu sang kakek memegang ular tersebut dari atas ke bawah. Dari beberapa adegan seksualitas diketiga film eksploitasi ini terlihat bahwa strategi oversexualizing atau eksploitasi KESIMPULAN Dengan melihat konteks distribusi dan konsumsi terhadap film eksploitasi dari Indonesia, dapat disimpulkan filmfilm ini masih setia dengan ciri khas film ekspolitasi pada umumnya yang memberikan porsi kekerasan dan seksualitas yang besar pada adeganadegannya. Namun ada satu aspek yang membedakannya dari film eksploitasi negara lain yaitu tema mistik yang merupakan ciri khas film eksploitasi dari Indonesia seperti dalam film Pembalasan Ratu Laut Selatan dan juga unsur ilmu hitam dalam film Leak yang tidak dapat ditemukan di film eksploitasi internasional. Representasi mistisisme dan seksualitas dalam proses penerjemahan budaya film-film eksploitasi dari Indonesia menunjukkan strategi yang ingin dibangun para pembuat film dalam menarik perhatian penonton internasional yaitu lewat intertekstualitas dengan teks budaya populer Hollywood seperti yang disajikan dalam film Lady Terminator yang mengacu kepada film Terminator. Intertekstualitas antara Lady Terminator dengan Terminator oleh Smith (2009) diistilahkan sebagai cultural borrowing yang dapat dilihat dalam beberapa adegan dalam film Lady Terminator yang meniru dari adegan film Terminator. Strategi Cultural Borrowing ini tidak ditemukan dalam dua film lainnya, yaitu Queen of Black Magic dan Mystics in Bali. Kedua film ini lebih mengedepankan mistisisme dan seksualitas seperti yang terlihat dalam beberapa adegan film Queen of Black Magic. Mistisisme juga muncul dalam film Mystics in Bali dalam beberapa Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 60 adegan seperti yang sudah dijelaskan di subbab 3.2.3 dimana terlihat ada usaha untuk merasionalkan hal-hal mistik yang direpresentasikan didalamnya agar bisa dipahami penonton internasional dengan munculnya karakter barat yang ingin merasionalkan mistik lewat karakter Katherine Keen yang ingin membuat buku tentang ilmu hitam Leak, sama seperti karakter Tanya dalam Lady Terminator yang ingin merasionalkan legenda Ratu Laut Selatan lewat tesisnya. Jadi mistisisme dalam film-film ini dibuat sebagai tontonan rasional yang bisa dinikmati oleh penonton barat/internasional dengan penyesuaian konteks budaya barat yang memperhatikan penerjemahan judul, dialog, dan rasionalisasi narasi yang dibangunnya. Seksualitas adalah unsur dominan yang muncul dalam ketiga film ini. Dalam Lady Terminator salah satunya yaitu ketika karakter utama Tanya yang telah dirasuki oleh Ratu Laut Selatan keluar dari laut menuju pantai tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Kemudian dalam Queen of Black Magic, seksualitas muncul dalam adegan karakter Murni yang sedang mandi dengan tubuh telanjangnya yang dikaburkan di sungai. Dalam film Mystics in Bali, seksualitas tidak begitu banyak ditampilkan karena hanya muncul dalam satu adegan yaitu ketika karakter Kathy sedang berdua dengan Mahendra. Dalam penyajiannya ketiga film eksploitasi dari Indonesia ini ada strategi “identification and distancing.” Salah satunya terlihat dalam film Lady Terminator yang melakukan praktek penggunaan kostum karakter yang lebih barat dan penggunaan nama kru yang berbau barat dalam film Lady Terminator versi internasional yaitu dengan memberikan ruang untuk penonton internasional dalam mengidentifikasi kesamaan budaya dalam film yang mereka tonton. Dalam tataran representasi, film-film yang „diterjemahkan‟ ini juga memiliki daya tarik dalam hal foreignness (sesuatu yang asing dan eksotis). Film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan secara internasional masih setia dengan elemenelemen yang mendefinisikan film eksploitasi (kekerasan, mistisisme dan seksualitas.) Akan tetapi ada strategistrategi yang dilakukan baik dalam tataran narasi maupun visual untuk memastikan produk budaya populer ini dapat „dinikmati‟ oleh konsumen internasional misalnya dengan strategi meminjam narasi film Hollywood yang sudah terkenal (cultural borrowing), memperdekat jarak antara penonton dan narasi yang mereka tonton tetapi tetap mempertahankan foreigness film-film tersebut yaitu unsur-unsur eksotis dan menambahkan unsur seksualitas karena terbebas dari sensor. Semua strategi yang dibangun ini apabila dilihat dari pendekatan Marxis oleh Ien Ang terhadap konsumsi produk budaya menunjukkan suatu kontestasi antara ideologi ekonomi dengan ideologi kebudayaan dimana untuk para pembuat film Indonesia agar bisa hidup dalam persaingan dengan film barat di pasar nasional maupun internasional harus bisa membuat perbedaan kreatif yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Akibat dari kontestasi tersebut kualitas produksi dan artistik film eksploitasi Indonesia harus dikorbankan demi nilai jual keekonomian. Pengorbanan tersebut menyebabkan kelas penonton yang didapat adalah penonton yang tidak mengindahkan kualitas produksi dan artistik tetapi hanya mencari kesenangan sesaat saja. Para penonton barat sendiri dalam konsumsinya terhadap film eksploitasi apabila dilihat dari teori resepsi penonton Stuart Hall (encoding-decoding) terlihat mengambil posisi pemaknaan negosiasi dengan ironi yang mereka kenakan ketika mengomentari film-film ini. Mereka melihatnya sebagai suatu guilty pleasure dimana mereka suka sekaligus tidak suka terhadap film-film ini. Penonton barat Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 61 menyukai self orientalism yang dikonstruksi oleh pembuat film ini dengan menyajikan hal-hal asing yang belum pernah penonton barat lihat sebelumnya. Tetapi mereka tidak menyukai kualitas artistik dan produksi yang disajikan oleh film-film eksploitasi dari Indonesia ini. REFERENSI Ang, I., & Couling, D. (1985). Watching Dallas: Soap opera and the melodramatic imagination. Psychology Press. Chua, Beng Huat (2008) Structure of Identification and Distancing in Watching East Asian Television Drama. East Asian Pop Culture: Analysing the Korean Wave. Hong Kong University Press Fusion 3600. Lady Terminator http://www.blurayauthority.com/sta ndard-dvd/lady-terminator/ (diakses pada 18 Maret 2016) Hall, ---. (1980) Culture, Media, Language: Working Papers in Cultural Studies 1972-79. London: Routledge. ---. (1980) Encoding/Decoding. London: Routledge Smith, Iain Robert (2009) Cultural Borrowings: Appropriation, Reworking, Transformation. Scope: An Online Journal of Film and Television Studies Schaefer, Eric (1994) Resisting refinement: the exploitation film and self-censorship. Film History: Exploitation Film Vol 6, no 3: An International Journal Szalai, Jennifer (19 Desember 2013) Againts “Guilty Pleasure”. http://www.newyorker.com/books/p age-turner/against-guilty-pleasure (diakses pada 1 Juli 2016) Stuart (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage Publications Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016 62