representasi mistisisme dan seksualitas

advertisement
REPRESENTASI MISTISISME DAN SEKSUALITAS:
PENERJEMAHAN BUDAYA DALAM TIGA FILM EKSPLOITASI
DARI INDONESIA
Rido Budiman1)
1
Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang bagaimana mistisisme dan seksualitas
direpresentasikan dalam proses penerjemahan budaya dan cultural borrowing dalam Lady
Terminator, Queen of Black Magic dan Mystics in Bali, 3 film eksploitasi dari Indonesia
yang didistribusikan secara internasional. Dengan melakukan analisis tekstual dan
kontekstual, tujuan utama penelitian ini adalah membongkar strategi-strategi pemaknaan
yang digunakan dalam ketiga film tersebut sebagai bagian dari kategori film eksploitasi. Hal
ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan film eksploitasi dari Indonesia yang
didistribusikan secara internasional masih setia dengan elemen-elemen yang mendefinisikan
film eksploitasi (kekerasan, dan seksualitas) dan juga unsur mistisisme yang menjadi ciri
khusus film eksploitasi dari Indonesia. Di satu sisi, film-film ini dengan strategis
memanfaatkan unsur mistisisme sebagai daya tarik untuk penonton internasional. Akan
tetapi, ada strategi-strategi yang dilakukan baik dalam tataran narasi maupun visual untuk
memastikan produk budaya populer ini dapat dinikmati atau bahkan dipahami oleh
penonton internasional dan salah satunya adalah dengan merasionalkan unsur mistisisme.
Selain membuat penonton menikmati eksotisme yang ditawarkan dan merasa berjarak
dengan narasi film (distancing), film-film ini juga menggunakan strategi intertekstualitas
dengan meniru film-film Hollywood seperti Terminator untuk menciptakan kedekatan
(identification).
Kata Kunci: Film Eksploitasi, Penerjemahan Budaya, Cultural Borrowing
Abstract
This research discusses how mysticism and sexuality are represented in the process of
cultural translation and cultural borrowing in Lady Terminator, Queen of Black Magic and
Mystics in Bali, three internationally distributed exploitation films from Indonesia. By doing
textual and contextual analysis, the main purpose of this study is to dismantle the strategies
used in the meaning making process in the three films. Research finding reveals that
internationally distributed exploitation films from Indonesia are still loyal to the elements
that define exploitation films (violence, and sexuality) and also an element of mysticism
which is a special characteristic of exploitation films from Indonesia. These films
strategically utilize elements of mysticism as an appeal to an international audience.
However, there are strategies apply both at the level of the narrative and the visual to
ensure the products of popular culture can be enjoyed or even understood by an
international audience and one of them is to rationalize the element of mysticism. In
addition to making the audience enjoy the exoticism offered and felt within the narrative of
the film (distancing), these films also use the strategy of inter-textuality to imitate
Hollywood movies, such as Terminator, to create proximity (identification).
Keywords: Exploitation Film, Cultural Translation, Cultural Borrowing
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
50
PENDAHULUAN
Film horor merupakan salah satu genre
yang paling populer dalam perfilman
Indonesia. Sejak tahun 1970an genre film ini
mencapai puncak kepopuleran lewat film-film
yang dibintangi oleh Suzanna. Genre horor
juga dikategorikan sebagai film eksploitasi.
Film-film jenis ini pertama kali populer di
Amerika Serikat dimana Eric Schaefer (2007)
mendefinisikan film eksploitasi sebagai
“…low-budget, sensational movies of various
stripes that revel in sex, nudity, vice, and
violence…” (94), yaitu film yang menggarap
tema-tema kekerasan, seks, horor dalam porsi
yang bisa dibilang lebih besar daripada filmfilm yang pada umumnya beredar di bioskop.
Beberapa
film
juga
menambahkan
penggunaan narkotika, orang aneh, monster,
kesadisan, kehancuran, pemberontakan, dan
kekacauan dalam adegan-adegannya.
Film-film eksploitasi cukup banyak
diproduksi di Indonesia pada periode 1970an
hingga 1990an karena sejak periode ini Badan
Sensor Film nasional bersikap lebih longgar
dalam menentukan film mana yang boleh
tayang atau tidak. Hal ini terlihat lewat film
Akibat Pergaulan Bebas, yang merupakan
film bertemakan seks merupakan film terlaris
pada 1977. Film-film jenis ini diproduksi
tidak hanya karena ada permintaan penonton
yang ingin mengkonsumsinya tetapi juga
karena ada kebijakan pemerintah pada saat itu
kepada para importir film tidak hanya
mengimpor film dari Hollywood tetapi
mewajibkan mereka untuk memproduksi film
di Indonesia. Hingga kemudian para importir
tersebut membuat film beranggaran produksi
murah tetapi laku dijual ke publik. Selain
karena peraturan film impor, film eksploitasi
juga diproduksi karena persaingan bisnis
antar importir film yang dimonopoli oleh
Sudwikatmono yang merupakan orang dekat
Soeharto. Karena monopoli ini produser film
seperti Raam Punjabi (Parkit Films) dan Gope
Samtani
(Rapi
Films)
berkurang
keuntungannya dan terpaksa mencari pasar
internasional sebagai alternatif. Menurut
Barker film eksploitasi pertama di Indonesia
yang diekspor ke dunia internasional adalah
Primitif (1978) yang dibuat oleh Sisworo.
Beberapa judul jenis film ini kemudian
juga beredar lewat format VHS dan Betamax
yang ramai pada tahun 1980an. Format video
ini begitu populer pada saat itu sehingga para
produser berlomba-lomba mencari judul yang
laku dijual dalam format ini. Film eksploitasi
menjadi film Indonesia yang laku dijual ke
produser video internasional dari Amerika
Serikat dan Australia yang pada saat itu
mencari judul yang dapat dibeli murah dan
laku dijual. Ketika format video DVD pada
tahun 2000an ramai dijual, film eksploitasi
Indonesia masih mendapat perhatian dari
distributor video internasional seperti Mondo
Macabro dari Inggris. Judul-judul seperti
Lady Terminator (Pembalasan Ratu Laut
Selatan), Queen of Black Magic (Ratu Ilmu
Hitam), The Devil Sword (Golok Setan), dan
Virgins in Hell (Perawan Di Sarang Sindikat)
menurut sang pemilik Pete Tombs bisa laku
antara 2000 hingga 8000 keping. Mondo
Macabro
mendistribusikan
film-film
eksploitasi Indonesia tidak hanya di Inggris
tetapi juga di Amerika Serikat, Belanda,
Jerman, Italia, dan Perancis. Film-film ini
populer di kalangan penggemar film
eksploitasi internasional/barat dan menjadi
bahan diskusi dan perbincangan di internet
lewat blog, website, fanzine yang berasal dari
Amerika, Eropa, dan Australia seperti Weird
World Cinema, Monsters at Play, DVD
Drive-in, DVD Maniacs, Mitglied, Schlock
Treatment, The Cinehound Database dan
lain-lain.
Dalam penelitian ini, tiga judul film
eksploitasi yang akan menjadi korpus
penelitian adalah Lady Terminator, Queen of
Black Magic, dan Mystics in Bali. Ketiga film
ini mengedepankan unsur mistisisme dan
seksualitas didalamnya. Hal ini terlihat dari
plot cerita kedua film ini misalnya Lady
Terminator
yang
bercerita
tentang
pembalasan dendam salah satu tokoh mistik
yang paling dikenal di Indonesia yaitu Ratu
Laut Selatan yang menjelma kedalam tubuh
wanita kulit putih. Sedangkan Queen of Black
Magic bercerita tentang seorang perempuan
yang dituduh menggunakan ilmu santet
karena sakit hati ditinggal menikah oleh
pacarnya yang kemudian membalas dendam
kepada para penuduhnya. Lalu film Mystics in
Bali yang bercerita tentang perempuan kulit
putih yang ingin mempelajari ilmu Leak
untuk riset bukunya yang secara tidak sadar
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
51
dimanfaatkan oleh dukun ilmu leak yang
didatangi untuk menambah kekuatan ilmunya.
Adapun pertanyaan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konteks distribusi film
eksploitasi dari Indonesia ke dunia
internasional mempengaruhi proses
pemaknaan Lady Terminator, Queen of
Black Magic dan Mystics in Bali?
2. Bagaimana mistisisme dan seksualitas
direpresentasikan dalam
proses
„penerjemahan budaya‟ dan cultural
borrowing dalam Lady Terminator,
Queen of Black Magic dan Mystics in
Bali, 3 film eksploitasi dari Indonesia
yang
didistribusikan
di
dunia
internasional?
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menunjukkan
bagaimana
konteks
distribusi film Eksploitasi Indonesia
mempengaruhi proses pemaknaan Lady
Terminator, Queen of Black Magic,
Mystics in Bali dan representasi
mistisisme dan seksualitas yang menjadi
bagian proses penerjemahan budaya serta
cultural borrowing dalam tiga film
eksploitasi
Indonesia,
yaitu
Lady
Terminator, Queen of Black Magic, dan
Mystics in Bali.
KAJIAN LITERATUR
Kata kunci representasi dari Stuart
Hall digunakan untuk menganalisis
masalah ini dengan melihat kode-kode
mistisisme dan seksualitas apa saja yang
muncul dalam film Lady Terminator dan
Queen of Black Magic. Kode-kode yang
dimaksud
disini
adalah
sistem
representasi
ketika
tanda
dan
pemaknaannya sudah diatur menurut
kesepakatan budaya dan diterima sebagai
pemaknaan yang sama oleh suatu sistem
budaya. Hall memberikan definisi
representasi sebagai “ the relation
between „things‟, concept, and signs lies
at the heart of the production of meaning
in languages. The process which links
these three elements together is what we
call
„representation‟
(19).
Dia
menjelaskan
lebih
lanjut
bahwa
pemaknaan muncul konstruksi yang telah
dibuat sebelumnya. Contoh yang paling
sering digunakan untuk menjelaskan hal
ini adalah salib yang bagi orang kristiani
memiliki pemaknaan akan pengorbanan
Yesus sedangkan bagi orang non kristiani
yang tidak memiliki pengetahuan tentang
itu hanya menganggap sebagai benda
biasa.
Konsep Hall (1993) berikutnya
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah encoding-decoding yang memiliki
definisi “model of communication
essentially states that meaning is encoded
by the sender and decoded by the receiver
and that these encoded meanings may be
decoded to mean something else. “(91)
Konsep ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara pembuat produk budaya
dan
penikmatnya
dengan
melihat
bagaimana
penonton
memberikan
pemaknaan akan suatu produk budaya.
Menurut Hall ada tiga posisi yang bisa
diambil oleh penonton yaitu menerima
(dominant-hegemonic),
menegosiasi
(negotiated), dan menolak (oppositional).
Penonton dianggap berada dalam
posisi menerima apabila penonton
memberikan pemaknaan yang sama
dengan pembuat kode/produk budaya.
Sedangkan
posisi
penonton
yang
menegosiasi adalah penonton yang
mengakui sebagian pemaknaan yang
diberikan oleh pembuat produk budaya
tetapi
juga
menentang
sebagian
pemaknaannya. Posisi penonton yang
menolak
adalah
penonton
yang
memberikan pemaknaan berlawanan
dengan pemaknaan yang dimaksud oleh
pembuat kode.
Selain itu
konsep Cultural
Borrowing yang didefinisikan oleh Iain
Robert Smith sebagai “appropriating
elements from prior cultural texts for use
in the creation of new works” (2009) yaitu
proses penciptaan produk budaya baru
dengan menyesuaikan berbagai macam
unsur produk budaya yang telah ada
sebelumnya digunakan dalam penelitian
ini. Smith menjelaskan lebih lanjut bahwa
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
52
ada hal yang dipertaruhkan ketika suatu
produk budaya meniru, mengadaptasi, dan
menyesuaikan/apropriasi produk budaya
sebelumnya. Produk budaya tersebut bisa
dianggap sebagai suatu bentuk plagiarism
yang diharamkan, akan tetapi disisi lain
bisa dianggap sebagai suatu bentuk
kreatifitas yang diagungkan. Konsep
cultural borrowing akan digunakan untuk
menjelaskan salah satu strategi yang
digunakan oleh film Indonesia agar bisa
menembus pasar perfilman internasional.
Kata kunci/konsep berikutnya yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
identification dan distancing yang
dikemukan oleh Chua Beng Huat ketika
menjelaskan fenomena konsumsi budaya
populer Asia Timur. Chua berangkat dari
konsep encoding-decoding dari Stuart
Hall dalam melihat bagaimana suatu
produk budaya populer menghasilkan
suatu reaksi dari konsumen/penonton
yang menurut Chua tidak hanya berhenti
dalam posisi decoding (Bagaimana
pembaca/penonton
memberikan
pemaknaan terhadap suatu produk
budaya) yang menerima, menolak, atau
menegosiasi. Chua melihat
ada sisi
keasingan/foreigness
terhadap
suatu
produk budaya yang menjadi daya tarik
bagi penonton/konsumen produk budaya
yang berasal dari lintas batas yang
berbeda. Konsep identification and
distancing ini akan digunakan untuk
menjelaskan
bagaimana
makna
dikonstruksi dalam film-film eksploitasi
dari Indonesia yang didistribusikan di
dunia internasional.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang akan
digunakan adalah analisis tekstual dan
analisis konteks distribusi. Untuk analisis
konteks distribusi film eksploitasi akan
dibahas tiga film yaitu Lady Terminator,
Queen of Black Magic, dan Mystics in
Bali
dalam
konteks
perfilman
internasional dengan cara:
1. Memilah data dari sumber referensi
maupun website/forum diskusi film
eksploitasi Indonesia.
2. Mengkategorikan film eksploitasi
Indonesia dalam konteks film
eksploitasi internasional.
Untuk analisis tekstual akan dibahas
film Lady Terminator, Queen of Black
Magic, Mystics in Bali dengan cara:
1. Mengeksplorasi
strategi
Cultural
Borrowing dalam film eksploitasi
Indonesia
2. Membahas penerjemahan budaya
dalam segi mistisisme dan seksualitas
sebagai identification dan distancing
3. Membahas strategi oversexualizing
yang direpresentasikan dalam ketiga
film tersebut.
1. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan film
eksploitasi
dari
Indonesia
yang
didistribusikan secara internasional masih
setia dengan elemen-elemen yang
mendefinisikan
film
eksploitasi
(kekerasan, dan seksualitas) dan juga
unsur mistisisme yang menjadi ciri
khusus film eksploitasi dari Indonesia. Di
satu sisi, film-film ini dengan strategis
memanfaatkan unsur mistisisme sebagai
daya tarik untuk penonton internasional.
Akan tetapi, ada strategi-strategi yang
dilakukan baik dalam tataran narasi
maupun visual untuk memastikan produk
budaya populer ini dapat dinikmati atau
bahkan
dipahami
oleh
penonton
internasional dan salah satunya adalah
dengan merasionalkan unsur mistisisme.
Selain membuat penonton menikmati
eksotisme yang ditawarkan dan merasa
berjarak dengan narasi film (distancing),
film-film ini juga menggunakan strategi
intertekstualitas dengan meniru film-film
Hollywood seperti Terminator untuk
menciptakan kedekatan (identification).
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
53
Pembahasan
Film eksploitasi Indonesia dalam
pemasarannya tidak hanya di bioskopbioskop Indonesia saja tetapi juga dengan
format Betamax/VCD di Indonesia dan
VHS/DVD di negara-negara lain. Salah
satu bentuk promosi film adalah poster
seperti yang terlihat dalam gambar di
bawah dari film Pembalasan Ratu Laut
Selatan/ Misteri Pusaka Laut Selatan.
oleh karena itu dalam gambar dia
ditembaki dengan senapan laras panjang
oleh tiga orang tokoh laki-laki.
Gambar 1. Poster film Misteri Pusaka Laut
Selatan
Poster ditampilkan dalam bentuk
gambar dan tulisan dengan fokus utama
gambar perempuan berambut panjang ikal
dengan wajah khas kaukasia dan siluet
tubuh telanjang. Disamping kiri gambar
perempuan ada gambar tiga orang lakilaki memegang senjata laras panjang
dengan posisi menembaki perempuan
ditengah. Di kanan atas ada gambar
helikopter dengan lampu sorot mengarah
ke kepala perempuan di tengah. Dari
fokus gambar perempuan kulit putih
dengan tubuh siluet telanjang dengan
kepala bercahaya terlihat terjadi proses
pemaknaan bahwa film ini menjual
seksualitas dan mistik sebagai daya
tariknya. Sosok perempuan ini juga dapat
dimaknai sebagai seorang tokoh yang
berbahaya karena dia memegang senjata
atau bahkan sosok yang harus ditaklukan
Gambar 2. Sampul VHS Nasty Hunter/Lady
Terminator
Dalam distribusinya ke luar negeri,
film Misteri Pusaka Laut Selatan
mengalami beberapa perubahan dalam
kemasan VHS seperti terlihat dalam versi
Perancis dan Jerman pada dua gambar di
atas. Perubahan terlihat bukan pada
gambar melainkan pada tulisan yang
tertera dalam kemasan yang berubah
menjadi bahasa Perancis yaitu elle est
impitoyable sa puissance est surnaturelle
rien ni personne ne peut l‟arreter yang
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
54
terjemahan bebasnya “dia kejam dengan
kekuatan supranatural yang tak seorang
pun dapat menghentikannya” dan Bahasa
Jerman Diese kampfmachine kann kaine
stoppen! yang
terjemahan bebasnya
“mesin pertempuran yang tak terhentikan”
dalam slogan film ini akan tetapi judul
film dibuat dalam Bahasa Inggris menjadi
Nasty Hunter dalam versi Perancis dan
Lady Terminator Nasty Hunter Hart,
Sexy, und Erbormungdos dalam versi
Jerman. Dari tampilan kemasan dan katakata yang dipakai terlihat bahwa
pemaknaan yang ingin dihasilkan dari
kemasan ini adalah bahwa film ini
bertema tentang mistik seksualitas. Tapi
kata-kata
yang
dipakai
juga
menggambarkan film laga. Gambar yang
dipakai juga sama dengan poster film di
Indonesia karena sepertinya para pembuat
film beranggapan bahwa gambar ini
sudah cukup menyimbolkan apa yang
ingin dijual dari film tersebut disamping
juga karena alasan anggaran yang terbatas
untuk pemasaran film ini.
Dari berbagai kemasan yang
muncul di kemasan Indonesia dan
kemasan internasional terlihat bahwa
representasi dominan yang dijual adalah
tiga film eksploitasi ini adalah film yang
mengandung unsur mistik. Meskipun ada
unsur laga dan seksualitas dalam gambar
dan kata-kata seperti dalam kemasan Lady
Terminator, unsur mistiknya masih tetap
dimunculkan. Unsur eksotisme tampak
lebih dominan direpresentasikan dalam
kemasan internasional dibandingkan
dengan kemasan Indonesia seperti yang
tampak pada gambar dan kata-kata poster,
VHS, dan DVD versi internasional tiga
film tersebut. Jadi disini terlihat bahwa
dalam upayanya menjual film-film ini ke
luar negeri unsur mistik dikemas sebagai
bagian dari eksotisme Indonesia yang
membuatnya berbeda dari produk film
eksploitasi dari negara lainnya.
Konsumsi film eksploitasi Indonesia
lewat berbagai macam format dari
bioskop, Betamax, VHS,VCD, dan DVD
memunculkan
berbagai
macam
pemaknaan tidak hanya dari banyaknya
konsumsi tetapi juga dari tanggapan
penggemar-penggemar lewat website dan
forum internet (Penelitian ini akan mengacu
pada komentar-komentar yang disampaikan
penggemar sebagai data walaupun adanya
keterbatasan bahwa data yang diperoleh tidak
dapat
divalidasi).
Analisis terhadap
tanggapan penggemar dibutuhkan
memetakan proses konsumsi
eksploitasi
dari
Indonesia
didistribusikan di luar negeri.
satunya dari Standard DVD
penulisnya Fusion 3600:
untuk
film
yang
Salah
lewat
“…so damn bad, you have to love it
and at the very least, you can't
manage to take your eyes off the
screen. Not because of the action or
great performances, but because
you might miss some hilarious
dialogue, cheap special effects, a
shot of star Barbara Anne
Constable in the nude, or worst of
all, the one of the greatest mulletz in
the history of motion pictures.”
Dalam tulisannya terlihat ada
pemaknaan yang kompleks seperti tampak
dalam pilihan kata “damn bad” dan“have
to love it” yang menimbulkan makna
bahwa film ini tidak bagus atau jelek.
Akan tetapi, konsumen ini juga menulis
“can‟t manage to take your eyes off the
screen” yang berarti walaupun sebelumya
menyatakan film ini tidak bagus,
konsumen ini tidak bisa berhenti
menonton. Hal ini bisa dijelaskan sebagai
guilty pleasures yang artinya konsumen
menonton atau mengkonsumsi sesuatu
walaupun
sebenarnya
menganggap
produk tersebut tidak sesuai dengan selera
mereka. Jennifer Szalai dalam artikelnya
di The New Yorker merujuk guilty
pleasures sebagai “cultural artifacts with
mass appeal—genre novels, catchy pop
songs, domestic action movies (foreign
action “films,” no matter how awful, tend
to get a pass), TV shows other than
“Breaking Bad” and “The Wire”—that
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
55
bring with them an easy enjoyment
without any pretense to edificatio”.
(2013)
Kemudian ada kata kunci yang
menimbulkan pemaknaan dalam kategori
kualitas produksi yang buruk yaitu
kualitas skenario (hilarious dialogue dan
efek khusus (cheap). Selain itu, muncul
juga pemaknaan yang positif dalam
kategori karakterisasi yaitu lewat kata
“one of the greatest mulletz” untuk
mengomentari salah satu gaya rambut
karakter dalam film ini.
Setelah
membahas
konteks
distribusi dan konsumsi film eksploitasi
dari Indonesia, terlihat dalam konteks
distribusi ada usaha untuk membuat filmfilm ini untuk bisa diterima oleh penonton
internasional lewat kemasan yang dibuat
yang memasukan unsur mistisisme,
seksualitas, dan laga kedalamnya. Akan
tetapi dalam proses konsumsinya terlihat
bahwa penonton internasional melihatnya
sebagai bentuk peniruan (rip off) terhadap
karya Hollywood seperti yang terlihat
dalam Lady Terminator. Penonton
internasional dalam proses konsumsinya
mereka juga melihatnya sebagai film-film
yang menyajikan tema eksploitasi yang
berbeda dari negera-negara lain karena
mistisisme yang ditampilkan oleh tiga
film eksploitasi dari Indonesia ini.
Konteks distribusi dan konsumsi ini
menunjukkan suatu kontestasi antara
ideologi ekonomi dengan ideologi
kebudayaan dimana untuk para pembuat
film Indonesia agar bisa hidup dalam
persaingan dengan film barat di pasar
nasional maupun internasional harus bisa
membuat
perbedaan
kreatif
yang
memberikan keuntungan secara ekonomi.
Untuk itulah produser film Indonesia
memilih tema eksploitasi karena mereka
melihat pasar dari segi faktor kelas
penonton ini yang dari kalangan bawah
yang hanya mencari hiburan sesaat tanpa
melihat kualitas artistik dari suatu produk
film.
Strategi Cultural Borrowing dalam Film
Eksploitasi Indonesia
Beberapa adegan Lady Terminator
meniru dari adegan film Terminator salah
satunya yaitu adegan ketika karakter
utama pertama kali muncul dalam
keadaan tanpa busana. Dalam Lady
Terminator setting dibuat di pinggir
pantai yang berombak tenang dimalam
hari. Kamera menyoroti air laut yang tibatiba
bergerak
seakan-akan
ingin
mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
Suara latar terdiri dari suara ombak dan
suara musik dengan nuansa yang
menegangkan. Kamera yang tadinya
fokusnya lebar menjadi sempit ke sosok
kepala perempuan karakter utama yang
muncul dari dalam laut kemudian kamera
melebar kembali untuk mengambil
gambar penuh tubuh telanjang perempuan
tersebut dari posisi depan maupun
belakang. Dari posisi kamera dan
bagaimana adegan ini dibuat, terlihat
bagaimana pembuat film mengeksploitasi
tubuh perempuan menjadi sebuah
tontonan untuk menarik minat penonton.
Tetapi hal ini dilakukan dengan mengacu
pada teks lain yaitu film produksi
Hollywood berjudul Terminator (1984).
Gambar 3. Tangkapan layar Lady Terminator
Dalam film Terminator, setting
dibuat di kota Los Angeles pada pukul
01.52 dini hari. Kamera menyoroti sebuah
truk pengangkut sampah yang sedang
bekerja kemudian tiba-tiba muncul spesial
efek kilat berwarna biru yang berakhir
dengan efek asap didekat truk tersebut.
Muncul sosok pria berotot tanpa busana
dalam posisi jongkok dengan lutut kanan
bertumpu ke tanah mirip dengan pose
patung the thinker karya Auguste Rodin.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
56
Kamera kemudian mengambil posisi torso
depan sang pria berotot dengan posisi
pencahayaan yang membuat alat vital pria
tersebut terlihat gelap. Lalu sang pria
berjalan ke arah pemandangan kota LA
yang diterangi oleh lampu dengan posisi
kamera mengambil bagian belakang pria
telanjang tersebut. Dari representasi tubuh
telanjang yang ditampilkan dalam dua
adegan yang hampir mirip ini terlihat ada
dua pemaknaan berbeda yang satu
memandang tubuh perempuan sebagai
sesuatu yang bisa ditampilkan seutuhnya
yang satu lagi memandang tubuh laki-laki
sebagai sesuatu yang tidak bisa
ditampilkan seutuhnya. Sehingga disini
terlihat bahwa secara kultural tubuh
perempuan lebih bisa dijadikan tontonan
dibandingkan dengan tubuh laki-laki.
Gambar 4. Tangkapan layar Terminator
Strategi Familiarizing & Rasionalisasi
Mistisisme
Penerjemahan Judul
Film Misteri Pusaka Ratu Laut
Selatan,Ratu Ilmu Hitam, dan Mistik
adalah tiga film Indonesia bertemakan
mistik yang berhasil diekspor ke dunia
internasional. Untuk bisa bisa menembus
pasar tersebut tiga film ini diterjemahkan
kedalam Bahasa Inggris dalam bentuk
sulih
suara.
Namun
dalam
penerjemahannya
terdapat
banyak
penyesuaian dengan konteks budaya barat
terutama dalam penerjemahan mistisisme
budaya Indonesia. Hal ini terlihat salah
satunya dalam penerjemahan judul film
Misteri Pusaka Ratu Laut Selatan
menjadi Lady Terminator yang bukan
merupakan penerjemahan kata per kata.
Dalam penerjemahan ini terlihat ada
perbandingan antara Ratu Laut Selatan
dan Terminator. Ratu Laut Selatan dalam
konteks budaya Indonesia adalah salah
satu tokoh mistik dalam cerita rakyat
Indonesia
sedangkan
Terminator
merupakan salah satu produk budaya
populer dari Hollywood/Barat yang sudah
sangat dikenal dalam konteks budaya
populer Barat. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi suatu strategi penerjemahan
dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
agar penonton Barat bisa memahami apa
itu Ratu Laut Selatan. Namun esensi Ratu
Laut Selatan sebagai figur dalam mitos
Indonesia menjadi hilang pemaknaannya
bagi penonton internasional.
Pola penerjemahan yang sama juga
terjadi dalam penerjemahan judul film
Mistik (Leak) menjadi Mystics in Bali.
Leak yang merupakan salah satu jenis
hantu/setan dari Bali tidak dikenal dalam
konteks budaya populer barat. Orang
barat lebih tahu tentang Bali daripada
tentang Leak sehingga judul film Mistik
(Leak) dibuat menjadi Mystics in Bali.
Berbeda dengan penerjemahan
judul Misteri Pusaka Ratu Laut Selatan,
film Ratu Ilmu Hitam yang langsung
diterjemahkan kata per kata menjadi
Queen of Black Magic. Hal ini terjadi
karena konsep Black Magic sudah cukup
dikenal dalam budaya barat dibandingkan
dengan Ratu Laut Selatan.
Penerjemahan Dialog Mistik dan
Seksualitas
Data pertama yang ditemukan
dalam penerjemaham budaya dari segi
mistik adalah dari film Lady Terminator
dalam adegan pemeran utama bernama
Tanya yang diperankan oleh Barbara
Anne Constable yang sedang melakukan
riset tesis bertemu dengan seorang kakek
tua penjaga perpustakaan. Tanya bertanya
tentang buku tentang Ratu Laut Selatan
kepada sang penjaga, tetapi sang penjaga
melarang Tanya membaca buku itu
karena ada unsur “yang gaib” dalam buku
tersebut yang bisa membahayakan jiwa
seseorang. Kata “yang gaib” dalam versi
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
57
internasionalnya diterjemahkan sebagai
“the unknown”. Ketika dialog ini muncul
adegan divisualisasikan dalam posisi
kamera yang melebar menyoroti dua
orang karakter ini. Kemudian kamera
berfokus pada masing-masing setengah
badan kedua karakter dengan urutan
dialognya. Musik latar dibuat dengan
nuansa misterius yang kemudian berubah
menjadi nuansa menegangkan pas ketika
kata “gaib” diucapkan.
Rasionalisasi Narasi
Dalam narasi film-film eksploitasi
yang dibahas terlihat ada usaha untuk
merasionalkan hal-hal mistik yang
direpresentasikan didalamnya agar bisa
dipahami penonton internasional. Seperti
yang terlihat dalam film Mystics in Bali
dimana ada perbedaan representasi narasi
dari versi Indonesia film Mistik yaitu
Kathy dinarasikan dari Amerika bukan
Australia
seperti
dalam
versi
internasional. Narasi ini muncul lewat
adegan percakapan antara Kathy,
Mahendra, dan Setan Leak yang mereka
datangi. Dalam versi Indonesia setan Leak
bertanya tentang asal usul Kathy yang
kemudian dijawab dari Australia. Versi
internasional memberikan jawaban yang
berbeda yaitu Kathy berasal dari Amerika.
Para pembuat film membuat asal Kathy
dari Amerika karena ingin menyesuaikan
dengan logat aktor sulih suara yang
beraksen Bahasa Inggris Amerika. Jadi
apabila produser tetap menarasikan Kathy
sebagai orang Australia tentu akan
menjadi tidak rasional karena aksen yang
dia gunakan bukan aksen Australia.
Identification and Distancing dalam
Film Eksploitasi Indonesia: Identifikasi
dengan Karakter Asing
Film Lady Terminator dibuat dengan dua
versi yang berbeda meskipun secara garis
besar plot cerita yang digunakan masih
sama. Perbedaan ini terlihat dari
visualisasi beberapa adegan yang dalam
versi internasional muncul dan versi
Indonesia tidak. Salah satunya adalah
adegan pertemuan karakter Ratu Laut
Selatan dengan kakek dari karakter utama.
Dari screenshot dapat dilihat adegan ini
memosisikan kakek dari low angle
camera position yang menunjukkan fokus
shot pada kaki Ratu Laut Selatan. Jadi
posisi kakek diperkenalkan dengan
demikian menekankan framing yang
fokus pada Ratu Laut Selatan sebagai
penguasa dan kakek sebagai subordinat
dalam obyek kamera dengan sudut
pandang penonton yang disejajarkan
dengan posisi ranjang. Kedua versi
memiliki unsur sinematografi yang sama
yaitu low angle camera position dengan
pencahayaan yang bernuansa gelap yang
sama. Perbedaannya adalah di kostum
yang masing-masing melambangkan
konteks budaya yang berbeda. Dalam
versi Indonesia karakter kakek muncul
dengan baju beskap berkain sarung batik
dan sang ratu muncul dengan kain tipis
menunggu di atas ranjang. Baju beskap
bersarung batik diidentifikasi oleh
penonton Indonesia sebagai simbol lelaki
Jawa. Akan tetapi dalam adegan ini tokoh
lelaki adalah seorang non Jawa/Indonesia.
Dalam versi internasional sang ratu masih
memakai pakaian yang sama sedangkan
sang kakek mengenakan baju kemeja
lengan panjang bercelana pantalon. Hal
ini terjadi karena produser film
beranggapan
bahwa
penonton
internasional lebih familiar dengan baju
kemeja lengan panjang celana pantalon
yang lebih menyimbolkan baju lelaki non
Jawa/Indonesia dibandingkan dengan baju
beskap sarung batik. Sehingga disini
produser
ingin
memberikan
efek
identifikasi bahwa karakter kakek
merupakan seorang tokoh barat.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
58
Gambar 5. Tangkapan layar Misteri Pusaka
Laut Selatan
Gambar 7. Tangkapan layar Mistik
Gambar 6. Tangkapan layar Lady
Terminator
Identifikasi
dengan
Eksotisme
Indonesia
Dalam tataran representasi, filmfilm yang „diterjemahkan‟ ini juga
memiliki daya tarik dalam hal foreignness
(sesuatu yang asing dan eksotis). Hal ini
terlihat salah satunya lewat film Mistik
Punahnya Rahasia Ilmu Iblis/ Mystics in
Bali yang sengaja durasinya menjadi lebih
pendek dengan adegan yang dipotong
yaitu adegan perkenalan antara dua
karakter utama Mahendra dan Kathy demi
memunculkan adegan kedua karakter
berjalan ke sebuah Pura Bali.
Gambar 8. Tangkapan layar Mystics in Bali
Adegan perkenalan tersebut berlatar
di sebuah pesta dimana tuan rumah pesta
memperkenalkan kedua karakter utama
karena mereka berdua datang tanpa
pasangan.
Kamera
pada
awalnya
menyorot karakter Mahendra yang sedang
duduk menikmati minuman. Kemudian
kamera menyorot tuan rumah pesta yang
mendekati Mahendra lalu kamera
menyoroti keduanya yang berbincang
membahas tentang Mahendra yang belum
punya
pasangan.
Karakter
Kathy
kemudian disorot oleh kamera dari sudut
melebar,
kemudian
tuan
rumah
memperkenalkan
Kathy
dengan
Mahendra.
Pada versi internasional setelah
opening title adegan langsung menyoroti
dari sudut lebar karakter Mahendra dan
Kathy yang tengah berjalan di taman
kemudian berjalan menaiki tangga sebuah
bangunan kuno Bali. Hilangnya narasi
awal perkenalanan Hendra dan Kathy dan
langsung ke adegan perjalanan keduanya di
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
59
taman kearah bangunan kuno Bali
memunculkan
pemaknaan
bahwa
pembuat film menganggap penonton
internasional akan lebih tertarik akan
bangunan tradisional yang eksotis
dibandingkan dengan latar suasana pesta
di dalam rumah.
seksualitas dalam film Mystics in Bali dan
Queen of Black Magic tidak sebanyak dan
seterbuka film Lady Terminator. Terlihat
disini kedua film ini lebih ingin
mengambil posisi distancing sebagai film
eksploitasi Indonesia yang eksotis dari
sisi tontonan mistik.
Strategi Oversexualizing dalam film
Eksploitasi Indonesia
Dari ketiga film yang dibahas Lady
Terminator, Queen of Black Magic, dan
Mystics in Bali, film Lady Terminator
paling banyak dikenai pita sensor dari
Badan Sensor Film (BSF) dalam versi
Indonesianya. Hal ini terlihat ketika
dibandingkan dengan versi internasional
kedua film ini seperti di adegan awal film
Lady Terminator adegan bercinta antara
Ratu Laut Selatan yang diperankan
Yurike Prastica dengan kakek dari
karakter utama bernama Erica banyak
mengalami potongan salah satunya
adegan keluarnya ular dari kemaluan sang
Ratu. Pada versi Indonesia adegan yang
muncul hanya pada saat sang kakek
ditarik sang ratu ke ranjang dengan posisi
kamera lebar dari samping menyoroti
tubuh keduanya. Kamera kemudian
menyoroti kain tipis hijau yang terbang
ditiup angin lalu gambar beralih ke paha
sang ratu yang terbuka pelan-pelan dari
kain
yang
menutupinya.
Kamera
kemudian mengarah ke ikat pinggang
emas sang ratu yang dibukanya sendiri
suatu
gambar
yang
memberikan
pemaknaan bahwa sang ratu akan bercinta
dengan sang kakek yang menunggu di
atas tempat tidur dengan bertelanjang
dada. Musik latar dibuat dengan nuansa
yang mengesankan suasana penuh
ketegangan. Gambar kemudian tiba-tiba
berubah menjadi sang kakek yang berdiri
sambil memegang seekor ular yang
kemudian berubah menjadi sebilah keris
begitu sang kakek memegang ular
tersebut dari atas ke bawah.
Dari beberapa adegan seksualitas
diketiga film eksploitasi ini terlihat bahwa
strategi oversexualizing atau eksploitasi
KESIMPULAN
Dengan melihat konteks distribusi
dan konsumsi terhadap film eksploitasi
dari Indonesia, dapat disimpulkan filmfilm ini masih setia dengan ciri khas film
ekspolitasi
pada
umumnya
yang
memberikan
porsi
kekerasan
dan
seksualitas yang besar pada adeganadegannya. Namun ada satu aspek yang
membedakannya dari film eksploitasi
negara lain yaitu tema mistik yang
merupakan ciri khas film eksploitasi dari
Indonesia seperti dalam film Pembalasan
Ratu Laut Selatan dan juga unsur ilmu
hitam dalam film Leak yang tidak dapat
ditemukan
di
film
eksploitasi
internasional. Representasi mistisisme dan
seksualitas dalam proses penerjemahan
budaya
film-film
eksploitasi
dari
Indonesia menunjukkan strategi yang
ingin dibangun para pembuat film dalam
menarik perhatian penonton internasional
yaitu lewat intertekstualitas dengan teks
budaya populer Hollywood seperti yang
disajikan dalam film Lady Terminator
yang mengacu kepada film Terminator.
Intertekstualitas
antara
Lady
Terminator dengan Terminator oleh
Smith (2009) diistilahkan sebagai cultural
borrowing yang dapat dilihat dalam
beberapa adegan dalam film Lady
Terminator yang meniru dari adegan film
Terminator. Strategi Cultural Borrowing
ini tidak ditemukan dalam dua film
lainnya, yaitu Queen of Black Magic dan
Mystics in Bali. Kedua film ini lebih
mengedepankan
mistisisme
dan
seksualitas seperti yang terlihat dalam
beberapa adegan film Queen of Black
Magic. Mistisisme juga muncul dalam
film Mystics in Bali dalam beberapa
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
60
adegan seperti yang sudah dijelaskan di
subbab 3.2.3 dimana terlihat ada usaha
untuk merasionalkan hal-hal mistik yang
direpresentasikan didalamnya agar bisa
dipahami penonton internasional dengan
munculnya karakter barat yang ingin
merasionalkan mistik lewat karakter
Katherine Keen yang ingin membuat
buku tentang ilmu hitam Leak, sama
seperti karakter Tanya dalam Lady
Terminator yang ingin merasionalkan
legenda Ratu Laut Selatan lewat tesisnya.
Jadi mistisisme dalam film-film ini dibuat
sebagai tontonan rasional yang bisa
dinikmati
oleh
penonton
barat/internasional dengan penyesuaian
konteks
budaya
barat
yang
memperhatikan penerjemahan judul,
dialog, dan rasionalisasi narasi yang
dibangunnya.
Seksualitas adalah unsur dominan
yang muncul dalam ketiga film ini. Dalam
Lady Terminator salah satunya yaitu
ketika karakter utama Tanya yang telah
dirasuki oleh Ratu Laut Selatan keluar
dari laut menuju pantai tanpa mengenakan
pakaian sehelai pun. Kemudian dalam
Queen of Black Magic, seksualitas
muncul dalam adegan karakter Murni
yang sedang mandi dengan tubuh
telanjangnya yang dikaburkan di sungai.
Dalam film Mystics in Bali, seksualitas
tidak begitu banyak ditampilkan karena
hanya muncul dalam satu adegan yaitu
ketika karakter Kathy sedang berdua
dengan Mahendra.
Dalam penyajiannya ketiga film
eksploitasi dari Indonesia ini ada strategi
“identification and distancing.” Salah
satunya terlihat dalam film Lady
Terminator yang melakukan praktek
penggunaan kostum karakter yang lebih
barat dan penggunaan nama kru yang
berbau barat dalam film Lady Terminator
versi internasional
yaitu dengan
memberikan ruang untuk penonton
internasional dalam mengidentifikasi
kesamaan budaya dalam film yang
mereka
tonton.
Dalam
tataran
representasi,
film-film
yang
„diterjemahkan‟ ini juga memiliki daya
tarik dalam hal foreignness (sesuatu yang
asing dan eksotis). Film eksploitasi dari
Indonesia yang didistribusikan secara
internasional masih setia dengan elemenelemen yang mendefinisikan film
eksploitasi (kekerasan, mistisisme dan
seksualitas.) Akan tetapi ada strategistrategi yang dilakukan baik dalam tataran
narasi maupun visual untuk memastikan
produk budaya populer ini dapat
„dinikmati‟ oleh konsumen internasional
misalnya dengan strategi meminjam
narasi film Hollywood yang sudah
terkenal
(cultural
borrowing),
memperdekat jarak antara penonton dan
narasi yang mereka tonton tetapi tetap
mempertahankan foreigness film-film
tersebut yaitu unsur-unsur eksotis dan
menambahkan unsur seksualitas karena
terbebas dari sensor. Semua strategi yang
dibangun ini apabila dilihat dari
pendekatan Marxis oleh Ien Ang terhadap
konsumsi produk budaya menunjukkan
suatu kontestasi antara ideologi ekonomi
dengan ideologi kebudayaan dimana
untuk para pembuat film Indonesia agar
bisa hidup dalam persaingan dengan film
barat di pasar nasional maupun
internasional harus bisa membuat
perbedaan kreatif yang memberikan
keuntungan secara ekonomi. Akibat dari
kontestasi tersebut kualitas produksi dan
artistik film eksploitasi Indonesia harus
dikorbankan demi nilai jual keekonomian.
Pengorbanan tersebut menyebabkan kelas
penonton yang didapat adalah penonton
yang tidak mengindahkan kualitas
produksi dan artistik tetapi hanya mencari
kesenangan sesaat saja.
Para penonton barat sendiri dalam
konsumsinya terhadap film eksploitasi
apabila dilihat dari teori resepsi penonton
Stuart Hall (encoding-decoding) terlihat
mengambil posisi pemaknaan negosiasi
dengan ironi yang mereka kenakan ketika
mengomentari film-film ini. Mereka
melihatnya sebagai suatu guilty pleasure
dimana mereka suka sekaligus tidak suka
terhadap film-film ini. Penonton barat
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
61
menyukai
self
orientalism
yang
dikonstruksi oleh pembuat film ini dengan
menyajikan hal-hal asing yang belum
pernah penonton barat lihat sebelumnya.
Tetapi mereka tidak menyukai kualitas
artistik dan produksi yang disajikan oleh
film-film eksploitasi dari Indonesia ini.
REFERENSI
Ang, I., & Couling, D. (1985). Watching
Dallas: Soap opera and the
melodramatic
imagination.
Psychology Press.
Chua, Beng Huat (2008) Structure of
Identification and Distancing in
Watching East Asian Television
Drama. East Asian Pop Culture:
Analysing the Korean Wave. Hong
Kong University Press
Fusion
3600.
Lady
Terminator
http://www.blurayauthority.com/sta
ndard-dvd/lady-terminator/ (diakses
pada 18 Maret 2016)
Hall,
---. (1980) Culture, Media, Language:
Working Papers in Cultural Studies
1972-79. London: Routledge.
---. (1980) Encoding/Decoding. London:
Routledge
Smith, Iain Robert (2009) Cultural
Borrowings:
Appropriation,
Reworking, Transformation. Scope:
An Online Journal of Film and
Television Studies
Schaefer,
Eric
(1994)
Resisting
refinement: the exploitation film
and self-censorship. Film History:
Exploitation Film Vol 6, no 3: An
International Journal
Szalai, Jennifer (19 Desember 2013)
Againts
“Guilty
Pleasure”.
http://www.newyorker.com/books/p
age-turner/against-guilty-pleasure
(diakses pada 1 Juli 2016)
Stuart (1997). Representation:
Cultural
Representations
and
Signifying
Practices.
Sage
Publications
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
62
Download