BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Teori Komunikasi dan Komunikasi Antarbudaya II.1.1 Teori Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Dalam komunikasi yang melibatkan dua orang, komunikasi berlangsung apabila adanya kesamaan makna. (Effendy, 2004 : 9). Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini, atau pandangan/prilaku orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada kesalahan maksud dalam penerimaan pesan tersebut, untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang efektif. Para ahli komunikasi mendefinisikan proses komunikasi sebagai “Knowing what he wants to communicate and knowing how he should deliver his message to give it the deepest penetration possible into the minds of his audience.” Definisi tersebut mengindikasikan, bahwa karakter komunikator selalu berusaha meraih keberhasilan semaksimal mungkin dalam menyampaikan pesan “deepest penetration possible.” Artinya, pengertian komunikasi bersumber dari gagasan komunikator yang ingin disampaikan kepada pihak penerima, dengan segala daya dan usaha bahkan tipu daya agar pihak penerima tersebut Universitas Sumatera Utara (komunikan) mengenal, mengerti , memahami dan menerima “ideologinya” lewat pesan–pesan yang disampaikan (Purwasito, 2003 :195). Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai hubungan atau kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan, ada pula yang mengartikan saling tukar-menukar pikiran dan pendapat. Gode (dalam Wiryanto, 2004: 6) memberikan pengertian mengenai komunikasi sebagai suatu proses yang membuat kebersamaan bagi dua atau lebih yang semula dimonopoli oleh satu atau beberapa orang. Raymond S. Ross (dalam Wiryanto, 2004: 6) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih dan mengirim simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respon dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksud oleh sang komunikator. Everet M. Rogers dan Lawrence Kincaid (dalam Wiryanto, 2004: 6) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang ada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam. Definisi-definisi diatas belum bisa mewakili semua definisi yang telah dibuat oleh para ahli. Namun, paling tidak kita memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan komunikasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Shannon & Weaver (dalam Wiryanto, 2004: 7), bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi. Universitas Sumatera Utara Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini atau pandangan/perilaku orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada kesalahan dalam penerimaan pesan tersebut, untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang efektif. Menurut Effendy (1992) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh si penyampai. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklarifikasikan pada : 1. Efek Kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, diperpsepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/ratio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikasi. 2. Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya. 3. Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola–pola tindakan, kegiatan kebiasaan atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berprilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah). Komunikasi memang menyentuh semua aspek kehidupan bermasyarakat, atau sebaliknya semua aspek kehidupan bermasyarakat menyentuh komunikasi. Justru itu orang melukiskan komunikasi sebagai ubiquitos atau serba hadir. Artinya komunikasi berada di manapun dan kapan pun juga. Universitas Sumatera Utara Teori komunikasi digunakan karena merupakan dasar dari adanya komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Komunikasi antarbudaya sebagai objek formal yang telah dijadikan bidang kajian sebuah ilmu tentu mempunyai teori. Pembentukan teoriteori dalam Komunikasi Antarbudaya sudah tentu mempunyai daya guna untuk membahas komunikasi masalah-masalah antarbudaya kemanusiaan merupakan antarbudaya. teori-teori yang Jadi, secara teori-teori khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi (Liliweri: 2001: 29). II.1.2 Teori Komunikasi Antarbudaya Kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak antara buddhi, yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah ‘culture’ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani. Kata ‘colere’, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188). Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainny, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Universitas Sumatera Utara E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (dalam Soekamto, 1996: 189). Definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambahkan kata budaya dalam kedalam pernyataan “komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan” dalam beberapa definisi komunikasi diatas. Kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang paling sederhana, yakni komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Ada beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang dikutip oleh Alo Liliweri yaitu: 1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976: 25). 2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda (Samover dan Porter, 1976: 4). Universitas Sumatera Utara 3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991: 5). 4. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual, yang dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk prilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig dan Koester, Intercultural Communication Competence, 1993). 5. Intercultural Comunication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan. 6. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan: 1) Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya Universitas Sumatera Utara mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan; 2) Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama; 3) Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; 4) Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya dengan pelbagai cara. Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Gambar II.1 Model Komunikasi Antarbudaya Budaya A Budaya B Budaya C Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998: 21 Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B. Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini Universitas Sumatera Utara menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan sesuatu kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda. Penyandian dan penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini menunjukkan pengiriman pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dikehendaki oleh penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik, pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik (decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah selama fase penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki decoder tidak mengandung makna–makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder. Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara orang–orang yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur dan subkelompok yang berbeda (Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20). Universitas Sumatera Utara Menurut Gundyskunt (1983), kita mengenal beberapa pendekatan teoritis dalam tradisi Ilmu Komunikasi. Lima pendekatan yang diasumsikan dapat menerangkan komunikasi antarbudaya adalah: 1. Teori komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit Pendekatan kebudayaan menarik perhatian para ahli sosio-linguisitik yang mendorong mereka mengajukan suatu argumentasi, bahwa pembentukan skema kognitif individu berhubungan resiprokal dengan pengembangan simbol–simbol verbal menentukan perkembangan skema kognitif. Para ahli sosio-linguistik juga berasumsi bahwa pengembangan linguistik atau bahasa sebagai alat komunikasi antar manusia dimulai pada tingkat semantik dan paragmatis. Manusia menggunakan bahasa sebagai cara terbaik untuk berkomunikasi demi mempertahankan hubungan antara pribadi dengan organisasi sosial dalam masyarakat. Dan bahasa dalam tataran komunikasi antarmanusia selalu memakai simbol–simbol verbal dengan regularitas tertentu yang diorganisasikan dalam “kode–kode sosio-linguistik”. Kode–kode sosio-linguistik melalu bahasa itu justru menjadi karakteristik utama setiap masyarakat dengan budaya lisan. Kebudayaan implisit adalah kebudayaan immaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia ‘tercantum” atau “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahwa setiap manusia telah menjadikan bahasa sebagai kebudayaan implisit tersebut untuk mengungkapkan skema kognitifnya, yaitu skema pikiran, gagasan, pandangan dan pengalaman manusia tentang dunia. Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu : Universitas Sumatera Utara 1) Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif Frake (1968) mengemukakan bahwa setiap manusia mempunyai domain atau wilayah skema kognitif tersendiri. Manusia dan skema kognitif yang dimiliki itu, selalu menentukan strategi berpikir dan berindak. Dia menyimpulkan bahwa setiap kata pasti mewakili konsep tertentu dengan konsep itu merupakan skema kognitif individu. Dia juga menerangkan bahwa struktur sistem kognitif individu berasal berasal dari latar belakang budaya tertentu. Bahwa latar belakang kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan implisit, sangat mempengaruhi skema kognitif yang dikomunikasikan dalam bahasa. Kesimpulannya adalah kebudayaan implisit (dalam hal ini bahasa) sangat menentukan skema kognitif manusia. 2) Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan Halliday (1978) berpendapat, bahasa merupakan suatu alat yang terbaik untuk mengkonseptualisasikan semua ikhwal tentang dunia secara objektif. Halliday telah melakukan penelitian lalu membentuk taksonomi fungsi–fungsi utama bahasa yang berkaitan dengan pilihan strategi tindakan manusia. 3) Kebudayaan dan Pengorganisasian Skema Interaksi Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan juga mempengaruhi skema–skema kognitif individu anggota kebudayaan tersebut. Skema kognitif itu antara lain berisi skema interaksi antarmanusia apakah interaksi intrabudaya atau antarbudaya. Meskipun harus diakui bahwa tidak semua interaksi akan menghasilkan proses komunikasi, paling tidak interaksi menggunakan awal komunikasi antarmanusia. Dan tugas skema kognitif interkasi itu membentangkan kepada kita semacam peta tentang prinsip yang mengarahkan cara–cara interaksi antarmanusia termasuk yang berbeda kebudayaannya. Universitas Sumatera Utara 4) Kebudayaan dan Proses Komunikasi Berbagai analisis menunjukkan bahwa kualitas kebudayaan sangat menentukan skema kognitif dan strategi pengorganisasian skema. Padahal kualitas dua faktor itu sangat menentukan komunikasi antarpribadi dan antarbudaya. Skema kognitif membantu individu yang berkomunikasi untuk mengetahui bentuk dan fungsi isi kognitif tertentu dalam kebudayaan terhadap komunikasi, dia harus menguji kualitas skema kognitif, memahami skema kognitif, daya guna dan tepat guna skema kognitif itu dalam hubungan antarmanusia yang bersifat umum dan khusus (Liliweri, 2001: 43). 2. Teori Komunikasi berdasarkan Analisis “Regularitas Peran” Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya: 1) Sifat dasar masyarakat Donohue, Cushman dkk. dalam Gundykunst (1983), menggambarkan bahwa: a) Perbedaan-perbedaan tatanan sosial suatu masyarakat selalu bergerak dari arah yang homogen ke yang heterogen. Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat makin homogen, jumlah dan tingkat kerumitan tatanan sosial makin sedikit. Sebaliknya, manakala masyarakat makin heterogen, jumlah dan tingkat kerumitan tatanan sosial semakin banyak. Keadaan ini berdampak terhadap komunikasi antar budaya. b) Manakala jumlah dan tingkat heterogenitasnya makin banyak dan tingkat kerumitan makin tinggi, maka setiap komunikasi senantiasa Universitas Sumatera Utara melakukan manajemen koordinasi atas tindakan-tindakannya melalui “kaidah peran.” Jadi, harus ada semacam standar perilaku dan tindakan. 2) Sifat dasar kaidah peran dan tindakan Berikut adalah tiga perspektif dalam ‘kaidah peran,” yaitu: a) Kaidah peran menghasilkan perilaku Perspektif ini menerangkan bahwa setiap kaidah peran menghasilkan perilaku, dan setiap perilaku merupakan bagian dari perilaku lain. Persepktif ini diperkenalkan oleh Rom Harre dalam Pearce (1976) yang mengemukakan bahwa setiap peran manusia mempunyai “kaidah peran” tertentu sehingga satu peran akan diikuti oleh peran lain, satu perilaku akan diikuti oleh perilaku lain. b) Kaidah peran membentuk perilaku Perspektif ini diajukan oleh Cushman dan Pearce dalam Pierce (1976), bahwa mereka telah melakukan penelitian tentang relasi dalam komunikasi. Perspektif tersebut nampak konsisten dengan “teori tindakan” yang pernah dikemukakan para ahli terdahulu bahwa semua perilaku manusia dilakukan secara sadar, dapat dimaknakan dan dilakukan secara purposif. c) Kaidah peran menentukan perilaku Perspektif ini berasumsi bahwa manusia sadar akan tindakannya sehingga dia mampu membagi manakah tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 3. Teori Analisis Interaksi Antarbudaya Universitas Sumatera Utara Ada beberapa pendekatan yang selalu digunakan dalam tradisi komunikasi, yakni: a) Pendekatan Jaringan Metateoritikal Bohcner (1967) pernah meneliti tingkat persaingan individu dalam sebuah organisasi. Dia menemukan bahwa ketegangan individu dapat dijelaskan dengan melihat sifat hubungan antarpribadi “tertutup”, maka setiap karyawan akan merasa tegang. Sebaliknya, semakin “terbuka", maka ketegangan mereka akan berkurang. Menurut Bochner ketegangan yang terjadi dalam perspektif antarbudaya; (1) Ketegangan terjadi kalau individu terlalu banyak larangan di masa kecil mengakibatkan individu setelah dewasa tidak otonom dan juga tidak bergantung pada orang lain. (2) Kita senantiasa menganalisis setiap tindakan komunikasi dengan memperhatikan pada tingkat mana individu memiliki otonomi dan pada tingkat mana individu masih tergantung pada orang lain. Dua faktor ini mempengaruhi hubungan antarpribadi termasuk komunikasi antarbudaya. b) Teori Pertukaran Teori perspektif pertukaran dikembangkan oleh Thilbaut dan Kelley (Liliweri, 1991). Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Hal ini disebabkan karena dalam perkembangan hubungan antarpribadi, setiap orang mempunyai pengalaman tertentu sehingga dia dapat membandingkan faktor-faktor motivasi dan sasaran hubungan antarpribadi yang dilakukan di antara Universitas Sumatera Utara beberapa orang. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, maka besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya, makin kecil keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan. c) Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpastian Berger (1982) mengemukakan bahwa salah satu dari beberapa fungsi utama komunikasi-komunikasi, fungsi informasi untuk mengurangi ketidakpastian merekomendasikan komunikator strategi dan mencari komunikan. informasi agar Berger individu mengurangi tingkat ketidakpastian antarpribadi, yakni: (1)mengamati pihak lain secara pasif; (2)menyelidiki atau menelusuri pihak lain; (3)menanyakan informasi melalui pihak ketiga; (4)penanganan lingkungan kehidupan pihak lain; (5)interogasi dan; (6)membuka diri. d) Pendekatan Psikologi Humanistik, Self Disclosure, dan Koorientasi Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Walter Kaufmann (1980), McNamee (1980), demikian pula Cissna dan Sieberg, Haris dkk. dalam Gundykunst (1983) menunjukkan bahwa pada umumnya setiap individu selalu berusaha membuka diri, derajat keterbukaan pribadi itu sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi, waktu dan kesempatan, siapa yang dijadikan objek relasi, jenis media yang dipilih dan lainlain. Universitas Sumatera Utara e) Pendekatan Peran berdasarkan Deskripsi Etnografi Wallace (1961) berpendapat bahwa komunikasi antarpribadi ditentukan oleh pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnografi. Pertanyaan inti adalah, apakah setiap norma kelompok etnik memberikan peluang terbentuknya otonomi individu dan ketergantungan antarpribadi. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, apabila tingkat otonomi pada masyarakat arkais sangat kecil maka jelas bahwa deskripsi etnografi masyarakat arkais selalu digambarkan memiliki sikap kolektif. Dan ketika masyarakat arkais telah berkurang atau memudarnya nilai-nilai kolektivitas pada masyarakat arkais (kalau masih ada) maka kecenderungan meningkatnya tingkat otonomi individu. Faktor terakhir ini sangat mempengaruhi hubungan antarbudaya, karena kita memerlukan deskripsi etnografi yang mendalam terhadap individu. f) Pendekatan Adaptasi Pendekatan ini diperkenalkan oleh Ellingsworth dalam Gundykunst (1983), dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dilakukan. Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi ini selalu digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara-negara berkembang. Universitas Sumatera Utara g) Pendekatan yang Berpusat pada Nilai/Values Centered ApproachVal/Com Kluckhohn dan Strodbeck (1961) mengindentifikasi lima orientasi nilai dari berbagai kebudayaan yang diteliti: (1) Nilai yang berkaitan dengan sifat dasar manusia, yakni orientasi nilai tentang: kejahatan-kebaikan dan kejahatan-kebaikan. (2) Nilai yang berkaitan dengan relasi manusia dengan alam., sering disebut orientasi manusia terhadap alam. Ada tiga orientasi nilai: manusia tunduk pada alam-harmoni dengan alam-manusia menguasai alam. (3) Nilai yang berhubungan dengan waktu kehidupan manusia yakni orientasi nilai: waktu masa lalu-kini-yang akan datang. (4) Nilai rata-rata aktivitas manusia, sering disebut orientasi aktivitas, yakni orientasi nilai: mengubah yang ada- menjadikan yang ada semakin bermutu-membuat sesuatu yang baru. (5) Nilai rata-rata relasi individu dengan manusia, sering disebut orientasi relasional. Ada tiga nilai orientasi relasional: mengubah relasi yang sedang berlangsung-menjamin relasi yang sedang berlangsungtetap bersikap individual. Kelima nilai diatas disebut juga ‘iklim perilaku” dari sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap “iklim perilaku”, “iklim perilaku” mempengaruhi orientasi nilai termasuk komunikasi antarbudaya. Universitas Sumatera Utara Penulis menggunakan teori komunikasi antarbudaya karena berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Teori ini hanya menjelaskan pengertian dan asumsi komunikasi antarbudaya , sementara faktor pendukung dan faktor penghambat dalam menciptakan hubungan yang harmonis akan dijelaskan lebih lanjut. II.2 Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Hubungan Antarbudaya di dalam Masyarakat Majemuk II.2.1 Faktor Pendukung Faktor – faktor yang mendukung terjadinya hubungan antarbudaya yang harmonis di dalam masyarakat majemuk adalah sebagai berikut: 1. Imitasi Faktor ini diuraikan oleh Gabriel Trade yang beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya bedasarkan faktor imitasi saja. Walaupun pendapat ini yang berat sebelah, namun imitasi dalam interaksi sosial tidak kecil. Imitasi atau meniru adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik (http://id.wikipedia.org). Orang sukar untuk belajar bahasa tanpa mengimitasi orang lain. Bahkan tidak hanya berbahasa saja, tetapi juga tingkah laku tertentu, seperti cara member hormat, cara berterima kasih, cara memberi isyarat dan sebagainya yang kita pelajari mula–mula mengimitasinya. Demikian juga cara berpakaian, adat–istiadat, dan konvensi– konvensi lainnya, faktor imitasilah yang memegang peranan penting. Universitas Sumatera Utara Imitasi sosial dapat berdampak positif maupun negatif. Berdampak positif jika hasil peniruan itu berupa perilaku yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Mencontoh cara berbusana rapi dari orang-orang barat merupakan suatu sikap yang penting dan bermanfaat. Mencontoh etos kerja orang-orang Barat perlu dilakukan karena bermanfaat bagi kemajuan hidup. Berdampak negatif jika hasil peniruan itu bertentangan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Berpakaian minim dan urakan sebagai hasil meniru budaya Barat merupakan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Segi-segi negatif faktor imitasi, yaitu: a. Kemungkinan yang diimitasi itu salah, sehingga menimbulkan kesalahan kolektif yang meliputi jumlah manusia yang besar. b. Kadang-kadang orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, sehingga dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis (Ahmadi, 1991:57). Sebelum mengimitasi suatu hal, seseorang terlebih dahulu memenuhi beberapa syarat, yaitu: a. Minat perhatian yang besar akan hal tersebut, b. Sikap menjunjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang diimitasi, c. Dapat juga orang-orang mengimitasi suatu pandangan atau tingkah laku, karena hal itu mempunyai penghargaan sosial yang tinggi. Jadi, seseorang mungkin mengimitasi sesuatu karena ia ingin memperoleh penghargaan sosial dalam lingkungannya. Seorang sosiolog Prancis, Gabriel Tarde menyebutkan bahwa semua peniru merupakan hasil langsung dari berbagai bentuk imitasi, antara lain imitasi Universitas Sumatera Utara gaya, imitasi pendidikan, imitasi kepatuhan, dan imitasi kebudayaan. Dengan cara imitasi, pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap-sikap, ide-ide, dan adat istiadat dari suatu keseluruhan kelompok masyarakat, dan dengan demikian pula seseorang dapat melebarkan dan meluaskan hubungan- hubungannya dengan orang lain (Gerungan, 2002). 2. Sugesti Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain atau kelompok lain mengenai pandangan hidup, sikap, dan perilaku tertentu yang diterima tanpa dipikirkan secara kritis akibatnya-akibatnya. Pengaruh sugesti ini sangat kuat jika berasal dari orang-orang yang berwibawa atau berpengaruh dalam masyarakat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan emosi, stress, sedih, atau tertekan biasanya akan mudah terpengaruh oleh sugesti. Remaja umumnya mudah sekali terpengaruh oleh reklame atau promosi barang-baarang produk terbaru. Promosi melalui radio, televisi, surat kabar, atau majalah mudah sekali memberi sugesti kepada para remaja. Namun, bagi orangorang dewasa yang selalu berpikir kritis tidak mudah terpengaruh oleh sugesti. Faktor pendorong proses sugesti, antara lain sebagai berikut. 1) Kelompok idola atau kaum selebritis (artis film, penyanyi tenar, atau orangorang terkenal). 2) Reklame atau propaganda melalui media massa: radio, televisi, surat kabar, majalah, dan selebaran. 3) Orang-orang dewasa yang memiliki pengaruh, kharisma, atau wibawa. Misalnya : orang tua, guru, tokoh ulama, elit politik, pemimpin Negara, dan orang-orang pandai. Universitas Sumatera Utara 4) Orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat dan pemerintahan. Misalnya: presiden, menteri, tokoh politik, pejabat Negara, dan para pemimpin yang kharismatik. Beberapa faktor penyebab orang mudah tersugesti, antara lain sebagai berikut. 1) Tidak mampu berpikir kritis atau tidak menggunakan akal sehat. Orangorang yang tidak mampu berpikir kritis, biasanya mudah terpengaruh sugesti. 2) Pikiran yang kacau, stress, tertekan, atau bercabang. Orang yang berpikirannya kacau atau tertekan akan mudah tersugesti. Misalnya, orang yang banyak utang akan mudah menerima saran pergi ke dukun agar mudah mendapatkan uang. 3) Kuatnya pengaruh pihak pemberi sugesti. Orang-orang yang berpengaruh, seperti guru, dokter, ulama, atau orang-orang pintar nasihatnya akan diterima oleh orang-orang yang mengaguminya. 4) Adanya dukungan dari kelompok mayoritas. Seseorang akan mudah menerima nasihat, saran, atau pandangan bila ada dukungan dari banyak orang. 5) Adanya pengaruh yang berulang-ulang. Iklan atau reklame yang ditayangkan berulang-ulang di televisi atau radio, akan mempengaruhi seseorang untuk membeli barang yang dipromosikan tersebut. 3. Identifikasi Identifikasi merupakan usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada yang dilakukan dalam imitasi. Atau bisa juga diartikan sebagai dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang Universitas Sumatera Utara lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Proses identifikasi mula–mula berlangsung secara tidak sadar (dengan sendirinya), kemudian irrasional, yaitu berdasarkan kecenderungan–kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan berguna untuk melengkapi sistem–sistem norma, cita–cita dan pedoman–pedoman tingkah laku orang yang mengindentifikasi itu (Ahmadi, 1991 : 63). Dalam proses identifikasi, proses peniruan dilakukan secara keseluruhan. Identifikasi ini dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Prosesnya dapat berlangsung secara sadar atau tidak. Ini terjadi karena orang memerlukan tipe-tipe atau model-model ideal untuk dicontohkan dalam kehidupannya. Identifikasi dilakukan kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam suatu segi, untuk memperoleh sistem norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal, dan masih kurang pada dirinya. Objek penelitian dipilih berdasarkan penelitian subjektif, berperasaan. Ikatan yang terjadi antara orang yang mengidentifikasi dan orang tempat identifikasi merupakan kaitan batin yang lebih mendalam daripada orang yang saling mengimitasi tingkah lakunya (Gerungan, 2002:68). 4. Simpati Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaaan sebagaimana proses identifikasi. Orang tiba–tiba merasa dirinya tertarik kepada orang lain seakan–akan dengan sendirinya, dan tertariknya itu bukan karena salah satu cirri tertentu melainkan karena keseluruhan cara bertingkah laku orang tersebut.Timbulnya simpati itu merupakan proses yang Universitas Sumatera Utara sadar bagi diri manusia yang merasa simpati terhadap orang lain. Simpati menghubungkan seseorang dengan orang lain (Gerungan, 2004 : 74). Simpati adalah perasaan suka dan tertarik pada suatu sikap dan pola prilaku seseorang atau kelompok. Simpati merupakan proses yang seolah-olah terlarut dalam perasaan, pikiran, kebahagiaan, atau kesedihan orang lain. Misalnya, seseorang ikut merasakan sakit dan sedih atas musibah yang dialami oleh temannya. Orang itu mungkin akan menhibur temannya.Simpati sangat penting dalam menjalin hubungan dan komunikasi sosial. Theodore Ribot dalam bukunya yang diberi judul “Pschology of Emotion,” menekankan pada peranan simpati yang dikatakan sebagai “adalah foundation for all social science.” Ribot membagi simpati menjadi tiga, yaitu: a. Tipe Primitif atau otomatis, yang dapat diterangkan dengan respon bersyarat. b. Refleksif, yang mana seseorang sadar dalam dirinya terhadap keadaan jiwanya. Ia tahu bahwa ia merasa apa yang dirasakan orang lain, walaupun ia tidak mengalaminya. c. Tipe yang intelektual, yaitu rasa setia, rasa toleran dan philantropi: bentuk ini tidak diarahkan pada orang tertentu, tetapi mempunyai corak-corak yang lebih umum dan abstrak (Ahmadi, 1991:66). 5. Empati Empati adalah perasaan ketertarikan yang mendalam terhadap orang lain atau kelompok lain. Empati lebih tinggi derajat pengaruhnya disbanding simpati. Empati mempengaruhi kejiwaan seseorang. Contohnya, seorang ayah ikut merasakan penderitaan anaknya yang sedang sakit keras dan dirawat di rumah Universitas Sumatera Utara sakit. Ayah itu sangat sedih, sehingga jatuh sakit. Contoh lain, Putri merasa kasihan kepada pengemis yang tua renta. Perasaan itu mendorongnya untuk memberikan sedekah kepada pengemis tersebut. Empati diidefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan (wikipedia.org). Menurut KBBI, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati sebagai kajian multikultural meruapakan suatu penyelidikan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan hambatan kultural dapat diatasi dengan cara menempatkan diri pada posisi lawan bicara (Puwasito, 2003: 182). II.2.2 Faktor Penghambat 1. Etnosentrisme Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Seperti yang dikutip oleh LeVine, dkk (1972), teori etnosentrisme Sumner mempunyai tiga segi, yaitu: (1) sejumlah masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan sebagai sindrom, (2) sindrom-sindrom etnosentrisme secara fungsional berhubungan dengan susunan dan keberadaan kelompok serta persaingan antarkelompok, dan Universitas Sumatera Utara (3) adanya generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut. Ia menyebutkan sindrom itu seperti: kelompok intra yang aman (ingroups) sementara kelompok lain (outgroups) diremehkan atau malah tidak aman. Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu. Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan, menjadi adat istiadat (customs), kemudian menjadi norma-norma susila (mores), akhirnya menjadi hukum (laws). Kerjasama antarindividu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang berlawanan dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentris. Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variable yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme , pandangan hidup , nilai-nilai yang absolut, prasangka, dan streotip. Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme Universitas Sumatera Utara merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain. 2. Prasangka Sosial Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang – orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude– attitude sosial yang negatif terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap–sikap perasaan negatif itu lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan–tindakan yang diskrimintaif terhadap orangorang yang termasuk golongan–golongan yang diprasangkai itu tanpa terdapat alasan–alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenai tindakan–tindakan diskriminatif (Gerungan, 2004 : 179). Prasangka menjadi fokus kajian berangkat dari adanya pandangan negatif dengan adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan kelompok lain (out group feeling). Prasangka adalah cara pandang atau perilaku seseorang terhadap orang lain secara negatif yang membawa kepada kenyataan bahwa prasangka sangat potensial menimbulkan kesalahpahaman dalam tindak berkomunikasi (Purwasito, 2003:178). Poortinga (dalam Liliweri, 2001 :173) menyatakan bahwa ada 3 faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi antarbudaya, yaitu : Universitas Sumatera Utara d. Stereotip Streotip berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi citra yang telah ada dan terbentuk secara turun–temurun. Ia tidak hanya mengacu pada citra negatif tetapi juga positif. Menurut Gerungan (2002), streotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat – sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang–orang lain yang dikenai prasangka itu. Dapat disimpulkan, jika komunikasi diantara mereka yang berbeda etnik didahului oleh stereotip negatif antaretnik akan mempengaruhi efektivitas komunikasi (Liliweri, 2001: 177). Jenis-jenis stereotipe mudah kita jumpai dalam masyarakat majemuk. Berdasarkan sumbernya, stereotipe negatif memiliki tingkatan: dari sebab pengamatan yang dangkal hingga stereotipe yang bersumber dari kebencian terhadap orang atau kelompok. Stereotipe yang rendah hanya bisa menyebabkan kesalahpahaman, namun stereotipe yang disengaja dibangun untuk kepentingan tertentu—kekuasaan umpamanya—bisa menyebabkan benturan hingga kekerasan. Stereotipe biasanya merupakan refrensi pertama (penilaian umum) ketika seseorang atau kelompok melihat orang atau kelompok lain. Stereotipe akhirnya merupakan penghambat potensial dalam komunikasi antarbudaya. Universitas Sumatera Utara e. Jarak sosial Jarak Sosial adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang berbeda tingkat peradabannya dengan orang lain atau masyarakat lain meskipun itu berada dalam zaman atau masa yang sama. Jarak sosial membedakan kelompokkelompok masyarakat secara horizontal berdasarkan jarak peradabannya. Jarak sosial memasukkan faktor pemisah nonfisik, misalnya perbedaan pendidikan, penghasilan, kekayaan, pekerjaan, kebangsaan, atau agama. Dalam komunikasi antarbudaya kadang faktor sosial tersebut lebih berperan daripada pemisahan secara geografis (fisik). Keluarga kaya yang bertetangga dengan keluarga miskin, misalnya, meskipun secara fisik dekat, tetapi jarak sosialnya jauh. Edward Hall (1959, 1966) membedakan empat macam jarak yang menurutnya menggambarkan macam hubungan yang dibolehkan. Masing-masing dari keempat jarak ini mempunyai fasa dekat dan fasa jauh, sehingga ada delapan macam jarak vang dapat diidentifikasi. a. Jarak Intim. Dalam jarak intim, mulai dari fasa dekat (bersentuhan) sampai ke fasa jauh sekitar 15 sampai 45 cm., kehadiran seseorang sangat jelas. Masing-masing pihak dapat mendengar, mencium dan merasakan napas yang lain. Manusia menggunakan fasa dekat bila sedang bercumbu dan bergulat, untuk rnenenangkan dan melindungi. Dalam fasa dekat otot-otot dan kulit berkominikasi, sedangkan verbalisasi aktual hanya sedikit saja perannya. Dalam fasa dekat ini bahkan suara bisikan mempunyai efek memperbesar jarak psikologis antara kedua orang yang terlibat. Fasa jauh memungkinkan untuk saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. Jarak ini masih terlalu dekat sehingga dipandang Universitas Sumatera Utara tidak patut di muka umum. Karena perasaan ketidak-patutan dan ketidak-nyamanan (setidak-tidaknya bagi orang Amerika), mata jarang sekali saling menatap. Mata terpaku pada obyek lain yang berjarak cukup jauh. b. Jarak Pribadi (Personal Distance). Setiap manusia memiliki daerah yang disebut jarak pribadi. Daerah ini melindungi dari sentuhan orang lain. Dalam fasa dekti jarak pribadi ini (antara 45 sampai 75 cm.), masih dapat saling menyentuh atau memegang tetapi hanya dengan mengulurkan tangan. Kemudian dapat melindungi orang-orang tertentu - misalnya, kekasih. Dalam fasa jauh (dari 75 sampai 120 cm.), dua orang dapat saling menyentuh hanya jika mereka keduanya mengulurkan tangan. Fasa jauh ini menggambarkan sejauh mana secara fisik menjangkaukan tangan untuk meraih sesuatu. Jadi, fasa ini menentukan, dalam artian tertentu, batas kendali fisik atas orang lain. Pada jarak ini manusia masih dapat melihat banyak detil dari seseorang - rambut yang beruban, gigi yang kuning, pakaian yang kusut, dan sebagainya. Tetapi, kita tidak lagi dapat mendeteksi hangat tubuh. Kadang-kadang masih dapat mencium bau napas, tetapi pada jarak ini etiket mengharuskan untuk mengarahkan napas ke bagian netral sehingga tidak mengganggu lawan bicara (seperti yang sering kita lihat dalam Man televisi). Bila ruang pribadi diganggu, manusia sering merasa tidak nyaman dan tegang. Bila orang berdiri terlalu dekat, pembicaraan dapat terganggu, tidak mantap, terguncang, dan terputus-putus. Kita mungkin sukar memelihara kontak mata dan mungkin Universitas Sumatera Utara sering menghindari tatapan langsung. Ketidak-nyamanan ini mungkin juga terungkap dalam bentuk gerakan tubuh yang berlebihan. c. Jarak Sosial. Dalam jarak sosial umumnya manusia kehilangan detil visual yang diperoleh dalam jarak pribadi. Fasa dekat (dari 120 sampai 2 10 cm) adalah jarak yang digunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi pada pertemuan-pertemuan yang bersifat sosial. Fasa jauh (dari 210 sampai 360cm.) adalah jarak yang dipelihara Pada jarak ini, transaksi bisnis mempunyai nada yang lebih resmi. Di kantor pejabat-pejabat tinggi meja-meja ditempatkan sedemikian hingga si pejabat memastikan jarak ini bila sedang berunding dengan klien. Tidak seperti jarak intim, di mana kontak mata terasa janggal, fasa jauh dari jarak sosial membuat kontak mata sangat penting; jika tidak, komunikasi akan hilang. Suara pada umumnya lebih keras dari biasa pada jarak ini. Tetapi berteriak atau menaikkan suara, akan mempunyai efek mengurangi jarak sosial ini ke jarak pribadi. d. Jarak Publik. Padafasa dekat dari jarak publik (dari 360 sampai 450 cm.) orang terlindung oleh jarak. Pada jarak ini seseorang dapat mengambil tindakan defensif bila terancam. Dalam bis kota atau kereta, misalnya mengambil jarak ini dari orang yang sedang mabuk. Pada fasa jauh (lebih clari 750 cm), manusia melihat orang-orang tidak sebagai individu yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari suatu kesatuan yang lengkap. Kita secara otomatis mengambil jarak sekitar 9 meter dari seorang tokoh penting. Fasa jauh ini merupakan jarak yang diambil Universitas Sumatera Utara seorang aktor untuk beraksi di panggung. Pada jarak ini, gerak-gerik maupun suara harus sedikit berlebihan agar tertangkap secara detil. f. Diskriminasi Diskriminasi adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur atau karakteristik yang lain. Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya Universitas Sumatera Utara 3. Dimensi Variasi Kebudayaan Samovar dan Porter dalam bukunya yang berjudul Intercultural Communication menjelaskan bahwa ada beberapa dimensi variasi kebudayaan karena besarnya potensi terjadinya kesalahpahaman yang begitu besar. Dimensi variasi kebudayaan itu antara lain: a. Immediacy dan Expressiveness Perilaku Immediacy adalah tindakan secara bersamaan dengan keramahan dalam berkomunikasi; dengan menggunakan sinyal pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak (Andersen, 1985). Contoh dari perilaku immediacy adalah senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi vokal. Beberapa sarjana telah menamakan prilaku ini sebagai “ekspresif” (Patterson, 1983). Kebudayaan menampilkan kedekatan antar peseorangan atau immediacy disebut “hubungan budaya” karena orang-orang dinegara ini posisinya berdekatan dan sering bersentuhan (Hall, 1996). Orang–orang yang hubungan budayanya rendah cenderung menjaga jarak dan tidak mau bersentuhan dengan orang lain. Hal yang menarik adalah bahwa hubungan budaya terjadi di negara yang beriklim panas dan hubungan budaya yang rendah di negara yang beriklim dingin. b. Individualisme Yang menjadi dimensi yang paling pokok adalah dimana perbedaan kebudayaan adalah tingkatan dari individualism melawan kolektivisme. Dimensi Universitas Sumatera Utara ini menentukan bagaimana orang hidup bersama (sendirian, didalam keluarga, dalam suku; lihat Hofstede,1982), nilainya, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Individualisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri sebagai lawan dari kepentingan bersama, dan kecenderungan mengutamakan kegiatan sendiri dari pada kegiatan bersama. Kecenderungan demikian itu muncul dari naluri manusia yang paling mendasar yaitu cinta-diri. Cinta-diri dirumuskan oleh Jeremy Bentham —filsuf Inggris yang sezaman dengan Adam Smith— dalam aturan pokok sederhana yang mengatur kehidupan manusia: memaksimalkan kenikmatan untuk dirinya dan meminimasi penderitaan. Atas dasar cinta-diri yang demikian demokrasi Barat dibangun di atas empat jenis kebebasan: Kebebasan ekonomi; Kebebasan politik; Kebebasan membentuk dan menganut ide; Serta kebebasan individu. Secara singkat individualisme dapatlah diartikan sebagai kebebasan penuh individu. c. Masculinity/Maskulin Masculinity/Maskulin adalah dimensi kebudayaan yang diabaikan. Ciriciri maskulin adalah tanda khusus seperti kekuatan, ketegasan, daya saing, dan ambisius, sebaliknya ciri-ciri feminin adalah tanda khusus seperti kasih sayang, perasaan terharu, pemelihara, dan emosional (Bem, 1974; Hofstede, 1982). Kebudayaan maskulin mengangggap kompetisi dan ketegasan itu penting, sedangkan kebudayaan feminin meletakan kesopanan dan perhatian sebagai hal yang penting. Tidak mengejutkan, sifat kejantanan pada kebudayaan adalah berkorelasi negatif dengan presentasi wanita secara teknis dan pekerjaan Universitas Sumatera Utara profesional dan berkorelasi positif dengan pemisahan gender pada pendidikan yang lebih tinggi (Hofstede, 1982). d. Jarak Kekuasaan Dimensi komunikasi antarbudaya yang keempat adalah jarak kekuasaan. Power Distance/Jarak Kekuasaan menyangkut tingkat kesetaraan masyarakat dalam kekuasaan. Jarak kekuasaan yang kecil menunjukkan masyarakat yang setara. Semua pihak kekuataannya relatif sama. Jarak kekuasaan dimana kekuasaan, martabat, dan kekayaan tidak sama dibagikan didalam budaya – telah diatur dalam nomor dari kebudayaan menggunakan Power Distance Index (PDI) atau Indeks Jarak Kekuasaan (Hofstede, 1982). Condon dan Yousef (1983) membedakan antara tiga pola kebudayaan yaitu: demokratis, kekuasaan pusat, dan otoriter. Indeks Jarak Kekuasaan sangat berhubungan dengan sifat otoriter (Hofstede, 1982). e. Konteks Tinggi dan Konteks Rendah Dimensi terakhir yang dibutuhkan dalam komunikasi antarbudaya adalah konteks. Menurut Edward T. Hall, budaya dapat diklarifikasi ke dalam gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Dalam budaya konteks tinggi, makna terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan. Kebanyakan masyarakat homogen berbudaya konteks tinggi. Hall berpendapat bahwa komunikasi konteks tinggi merupakan kekuatan kohesif bersama yang memiliki sejarah yang panjang, lamban, berubah dan berrfungsi untuk menyatukan kelompok. Sebalikanya komunikasi konteks rendah cepat dan mudah berubah, karenanya tidak mengikat kelompok. Oleh karena perbedaan ini, orang – orang Universitas Sumatera Utara dalam budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang dan orang asing. Kelima dimensi variasi kebudayaan ini merupakan sebagai bagian dari faktor – faktor penghambat komunikasi anatarbudaya. Penulis menjelaskan faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor penghambat dalam komunikasi antarbudaya dengan maksud agar dapat memahami apa yang menjadi faktor munculnya dan menghambat hubungan yang harmonis didalam suatu masyarakat yang majemuk. II.3 Hubungan Antaretnis di Medan Potret kemajemukan budaya karena adanya perpindahan penduduk secara massif tersebut dapat kita temukan salah satunya di kota Medan. Kota Medan adalah ibukota dan merupakan pusat pemerintahan Propinsi Sumatera Utara yang juga merupakan kota terbesar nomor tiga di Indonesia, adalah sebuah kota yang tumbuh pesat sejak pertengahan abad ke-19 sebagai sebuah kota berpenduduk majemuk baik dari kalangan penduduk pribumi maupun imigran dari kawasan Asia seperti Cina, India, Arab dan imigran dari kawasan Asia Tenggara. Gerak perpindahan kaum migran ke kota Medan tidak lepas dari tarikan magnit pertumbuhan kota ini sebagai sentral kemajuan ekonomi sehingga dijadikan sebagai tempat tujuan baru yang menjanjikan harapan untuk perbaikan hidup. Sudah luas diketahui bahwa kota Medan dan Tanah Deli (Sumatera Timur) pada umumnya yang pernah dijuluki sebagai “Het Dollar Land” berkembang sangat cepat sejak pertengahan abad ke-19 seiring dengan perkembangan industri perkebunan (mulanya perkebunan tembakau) yang dirintis oleh Jacobus Nienhys sejak 1863. Buruh-buruh dari Cina, India dan Pulau Jawa ketika itu didatangkan Universitas Sumatera Utara dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Selain mereka yang didatangkan sebagai kuli, migran lain pun terus berdatangan ke kota ini untuk tujuan berdagang dan mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang tersedia. Kota Medan dalam masa-masa perkembangannya mengalami pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, akibat terjadinya proses urbanisasi dari berbagai daerah yang ada disekitarnya. Bahkan ada juga etnis-etnis pendatang pada masa penjajahan seperti keturunan Cina dan India. Yang hadir di kota medan pada masa penjajahan di Indonesia pada masa pemerintahan Kolonia Belanda. Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama menetap di Indonesia. Salah satunya adalah kelompok suku masyarakat Tamil dari India Selatan banyak terdapat di daerah Sumatera Utara (Medan, Pematang Siantar, dll). Banyak dari mereka yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Suku Tamil adalah sebuah kelompok etnis yang berasal dari Asia Selatan. Komunitas Tamil yang paling tua berasal dari India bagian selatan dan Sri Lanka bagian timur laut. Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah. Malah nama Indonesia sendiri berasal dari bahasa Latin Indus "India" dan bahasa Yunani nêsos "pulau" yang secara harafiah berarti 'Kepulauan India'. Suku Tamil di Indonesia dianggap sebagai Keturunan asing pada masa orde baru dan kini telah disahkan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia atau disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Saat ini diperkirakan ada sekitar 70.000 warga keturunan Tamil India Universitas Sumatera Utara yang bermukim di Medan. Suku Tamil sendiri memiliki bahasa daerahnya yang berasala dari India Selatan yang disebut Bahasa Tamil. Pada masa kolonial orang-orang Tamil bermukim di sekitar lokasi-lokasi perkebunan yang ada di sekitar kota Medan dan Sumatera Timur. Setelah masa kemerdekaan, mereka pada umumnya berdiam di sekitar kota, yang terbanyak di kota Medan, juga di Binjai, Lubuk Pakam dan Tebing Tinggi. Pemukiman mereka yang tertua di kota Medan terdapat di suatu tempat yang dulu dikenal dengan nama Kampung Madras, yaitu di kawasan bisnis Jl. Zainul Arifin (dulu bernama Jalan Calcutta). Kawasan ini lazim juga dikenal dengan sebutan Kampung Keling, dan sekarang sudah dikembalikan namanya menjadi Kampung Madras. Lokasi perkampungan mereka terletak di pinggiran Sungai Babura, sebuah sungai yang membelah kota Medan dan menjadi jalur utama transportasi di masa lampau. Di kawasan ini hingga sekarang masih mudah ditemukan situssitus yang menandakan keberadaan orang Tamil, misalnya tempat ibadah umat Hindu Shri Mariamman Kuil (sebagai kuil terbesar) yang dibangun tahun 1884 dan sejumlah kuil lainnya; juga pemukiman dan mesjid yang dibangun oleh orang Tamil Muslim sejak tahun 1887. Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Kota Medan saat ini telah memperlihatkan suatu gambaran keadaan yang terjadi proses penguatan rasa kesatuan kelompok etnis sebagai komunitas baru. Seperti yang telah dikemukakan dalam perkampungan etnis tersebut, ternyata setiap kelompok etnis mempergunakan norma dan aturan serta ideologi tradisional Universitas Sumatera Utara daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnis. Masyarakat di kota Medan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama merupakan daerah yang rawan akan terjadinya konflik sosial. Namun sampai saat ini, konflik sosial yang terjadi di Medan masih berada pada batasbatas kewajaran. Perkelahian antar kelompok pemuda yang pernah terjadi di Medan, dengan segera dapat diatasi pihak keamanan. Terjadinya berbagai peristiwa peledakan bom di Gereja dan tempat-tempat lain di kota Medan, ternyata tidak menyebabkan terjadinya konflik sosial yang bersifat terbuka pada masyarakat. Kondisi yang tampak dipermukaan, menunjukkan bahwa masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun, dengan pengertian tidak terjadi pertentangan atau konflik secara terbuka. Konflik sosial, tidak selamanya bersifat terbuka. Pertentangan yang terjadi dalam masyarakat, ungkapan-ungkapan rasa benci antara satu kelompok dengan kelompok lain, ungkapan-ungkapan yang sifatnya memojokkan kelompok lain, dapat dipandang sebagai suatu konflik sosial. Pertentangan-pertentangan seperti itu, bisa jadi merupakan awal terjadinya konflik sosial yang lebih besar dan bersifat terbuka, dalam bentuk perkelahian dan tindak kekerasan. Peristiwa konflik sosial, adakalanya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Bahkan ada kemungkinan, sebagian besar konflik sosial yang terjadi di masyarakat merupakan proses yang panjang; mungkin diawali dengan terjadinya salah faham antar individu, berkembang menjadi sikap antipati antar kelompok, dan dalam perkembangan selanjutnya meningkat menjadi konflik sosial. Kondisi tersebut Universitas Sumatera Utara bisa diperburuk ketika masyarakat yang berkonflik dipengaruhi oleh sikap “etnosentrisme”, dimana menurut Chang satu etnis atau kelompok tertentu merasa lebih superior dari kelompok lain. Oleh karena itu, ada kemungkinan terjadinya konflik sosial yang dapat merusak ketentraman didalam sebuah masyarakat. Hal ini menunjukkan perlu adanya suatu komunikasi antarbudaya yang efektif sehingga memunculkan suatu harmonisasi dalam sebuah masyarakat majemuk guna mengantisipasi terjadinya konflik sosial terutama konflik etnis dan agama pada masyarakat di kota Medan. Dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti peranan komunikasi antarbudaya dalam membina hubungan yang harmonis. Universitas Sumatera Utara