PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging broiler merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan dan sangat diminati oleh konsumen karena merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler dilihat dari aspek ekonomi sangat menguntungkan karena diperoleh dari pertumbuhan broiler yang cepat, mempunyai serat lunak sehingga mudah dicerna, mudah didapat, dan harganya pun relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Selain mempunyai keunggulan, daging broiler juga mempunyai kelemahan. Daging broiler merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroba, karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Kontaminasi mikroba dapat berasal dari berbagai tahapan yang dilewati selama proses produksi. Sebagian mikroba dapat berasal dari pakan dan lingkungan ketika broiler masih hidup. Selama penyembelihan, penyimpanan, dan pengangkutan karkas sampai ke konsumen juga dapat terjadi kontaminasi mikroba. Menurut Soeparno (1998), kontaminasi mikroba daging pada awalnya berasal dari mikroba yang masuk ke peredaran darah pada saat penyembelihan, jika peralatan yang digunakan untuk pengeluaran darah tidak steril. Kontaminasi mikroba pada atau dalam daging broiler mengakibatkan rusaknya struktur fisik, kimia, dan mikrobiologis daging tersebut. Hal ini berdampak terhadap penurunan kualitas dan daya simpan daging. Rumah Potong Ayam (RPA) dan Tempat Pemotongan Ayam (TPA) merupakan produsen yang menunjang ketersediaan daging broiler saat ini. TPA diduga menghasilkan daging atau karkas broiler yang berkualitas rendah karena pada proses pemotongan, penyimpanan, dan pendistribusian ke konsumen kurang memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi. Hal ini berbeda dengan daging broiler yang dihasilkan RPA, daging tersebut pada umumnya telah memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan oleh peraturan perundangan Kesehatan Masyarakat Veteriner ataupun standar yang ada. Daging yang dihasilkan TPA dengan proses pemotongan secara sederhana dan menggunakan peralatan seadanya sangat rentan terkontaminasi oleh mikroba sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pada suhu kamar (28°C °C--35°C) daging hanya bertahan 11 jam. Akan tetapi, daging yang mengalami penanganan baik akan bertahan hingga 16 jam penyimpanan pada suhu kamar Triyanti, 2000). Upaya untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang daya simpan daging broiler perlu dilakukan, diantaranya dengan metode penyimpanan yang aman dan tidak mengakibatkan gangguan kesehatan bagi yang mengonsumsinya. Penyimpanan daging menggunakan es batu merupakan cara yang telah lama dilakukan, akan tetapi konsumen cenderung tidak menyukainya karena menganggap daging yang didinginkan merupakan daging yang telah rusak atau berkualitas rendah. Untuk mengatasi hal ini perlu diupayakan cara lain. Salah satunya adalah penggunaan bahan pengawet (sanitizer) yang aman bagi konsumen, seperti klorin. Menurut Cunningham dan Cox (1987), klorin adalah salah satu bahan yang dapat digunakan untuk mengontrol mikroba dan memperpanjang daya simpan karkas. Penambahan klorin pada air pencuci terakhir dengan konsentrasi yang berbeda diharapkan dapat memperpanjang daya simpan dan mengurangi mikroba penyebab kerusakan daging broiler. Selain itu, klorinasi juga diharapkan dapat mempertahankan pH daging pada kondisi normal dimana mikroba tidak dapat berkembang sehingga kualitas daging broiler dapat dipertahankan. Oleh sebab itu, penulis tertarik melalukan penelitian ini karena pada saat ini belum ada data mengenai tingkat penggunaan klorin pada broiler yang dipotong di TPA dan di pasar tradisional. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. mengetahui pengaruh tingkat penggunaan klorin terhadap total mikroba dan pH daging broiler; 2. mengetahui tingkat terbaik penggunaan klorin terhadap total mikroba dan pH daging broiler dibandingkan dengan kontrol C. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi produsen tentang tingkat penggunaan klorin sebagai bahan pengawet daging broiler yang dapat mempertahankan kualitas dan memperpanjang daya simpan dengan mengurangi pertumbuhan mikroba dan mempertahankan pH dalam kondisi normal. Bagi konsumen berguna sebagai acuan untuk mendapatkan jaminan kualitas, gizi, dan keamanan karkas broiler yang dikonsumsinya. D. Kerangka Pemikiran Pertumbuhan mikroba pada daging broiler dipengaruhi oleh faktor dalam (intrinsik) termasuk nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat serta faktor luar (ekstrinsik) termasuk temperatur, kelembaban relatif, dan bentuk atau kondisi daging (Soeparno, 1998). Kontaminasi mikroba pada daging broiler mengakibatkan kerusakan dan memperpendek daya simpan. Kerusakan daging broiler yang disebabkan oleh mikroba dipengaruhi oleh pH daging yang cenderung mengalami perubahan setelah penyembelihan. Hal ini ditentukan oleh kandungan asam laktat, kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan (Buckle, et al.,1985). Pada kondisi pH daging yang normal atau rendah maka pertumbuhan mikroba dapat dihambat, tetapi apabila kondisi pH daging tinggi maka mikroba dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Menurut Soeparno (1998), mikroba dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi pH 7. Klorin merupakan bahan alternatif pengganti formalin yang dapat digunakan untuk pengawetan daging. Klorin adalah bahan kimia yang cukup aman, bersifat sanitizer, relatif murah, mudah didapat dan mudah dideteksi bila penggunaannya dalam konsentrasi besar karena zat kimia ini mempunyai sifat mengendap. Sebagai bahan pengawet klorin digunakan dalam bentuk larutan sehingga dapat berfungsi sebagai senyawa aktif yang bekerja membunuh dan menghancurkan bakteri (Winarno, 1994). North dan Bell (1995), mengemukakan bahwa klorin merupakan desinfektan yang baik, ketika ditambahkan dalam air akan menghasilkan asam hipochlorus yang bekerja aktif sebagai zat antimikroba. Asam hipochlorus paling aktif mematikan sel mikroba dengan cara penghambatan oksidasi glukosa oleh gugus sulfida pengoksidasi klorin dari enzimenzim tertentu yang penting dalam metabolisme karbohidrat (Jenie, 1988). Klorin efektif terhadap bakteri dan fungi yang bekerja lebih efektif pada suasana asam daripada suasana alkali dan dalam keadaan hangat daripada dingin. Menurut Cunningham dan Cox (1987), penggunaan klorin sebagai bahan kimia penghambat pertumbuhan mikroba dengan cara menghambat metabolisme dari mikroba sehingga tidak dapat berkembang atau bahkan mati. Penambahan klorin dalam air akan merusak struktur sel organisme sehingga mikroba dalam air akan mati. Akan tetapi, proses tersebut akan berlangsung bila klorin mengalami kontak langsung dengan mikroba tersebut. Jika air mengandung lumpur, mikroba dapat bersembunyi didalamnya dan tidak dapat dicapai oleh klorin, sehingga kerja klorin kurang efisien. Penelitian ini menggunakan larutan klorin dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm. Hal ini sesuai dengan penelitian Patterson (1968), bahwa daya simpan daging ayam dapat diperpanjang (20%) ketika karkas dicelupkan pada larutan klorin 200--400 ppm selama 4 jam. Menurut Mead dan Thomas (1973), klorinasi dapat digunakan untuk mengurangi bakteri fecal dan bakteri pembusuk pada air rendaman terakhir. Smith (1970), melaporkan bahwa 40--60 ppm klorin yang ditambahkan ke dalam air pencuci dengan pH 6,5--7,5 terbukti dapat mengurangi total mikroba sekitar log 0,7 dibandingkan dengan air pencuci kontrol. Sanders dan Blacksear (1971), menemukan bahwa larutan hipoklorit dalam 40-60 ppm klorin yang ditambahkan dalam air pencucian juga efektif mengurangi total mikroba. Lillard (1980), menambahkan bahwa 20 ppm Cl2 dan 3 ppm ClO2 nyata mengurangi total bakteri dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan klorin. Tiessen, et al. (1985), melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi ClO2 dari 0,0 sampai 1,39 mg/liter nyata dapat mengurangi total bakteri terutama salmonella. Pada kondisi normal, daging memiliki pH 5,5--5,7. Saat daging terkontaminasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik pH daging mengalami peningkatan. Daging pada kondisi pH tinggi antara 6,2--7,2 merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Penambahan klorin sebagai bahan pengawet dapat menurunkan pH daging karena klorin merupakan senyawa asam. Efektivitas klorin dipengaruhi oleh pH (keasaman) air. Pada kondisi pH air lebih dari 7,2 atau kurang dari 6,8 klorinasi tidak akan efektif. Kondisi pH daging yang rendah (di bawah 6) akan menghambat pertumbuhan mikroba (Buckle, et al.,1985). Menurut Jenie (1988), klorin pada pH lebih dari 10 akan kehilangan efektifitas. E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1. adanya pengaruh berbagai tingkat penggunaan klorin terhadap total mikroba dan pH daging broiler 2. terdapat level terbaik dari penggunaan berbagai tingkat klorin dibandingkan dengan kontrol terhadap total mikroba dan pH daging broiler