Hasil Diskusi Panel

advertisement
Diskusi Panel
Quo Vadis Tata Kelola Sumberdaya Alam Indonesia:
Mengkaji Kasus Pembelian Saham PT NNT
(IESR, Jakarta) Pemerintah harus mengedepankan kepentingan nasional dan
optimalisasi manfaat ekstraksi sumberdaya mineral untuk kesejahteraan rakyat
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan sebagai konsekuensi
pasal 33 UUD 1945. Dalam konteks sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat itulah, pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara
(NNT) oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang merupakan langkah yang tepat.
Sikap DPR dan BPK yang mempersoalkan aspek prosedural dalam pembelian
saham tersebut oleh pemerintah (c.q. Departemen Keuangan) dinilai sebagai
tindakan yang lebih bermotifkan kepentingan kelompok tertentu, dan mengeliminasi
pertimbangan yang lebih besar, bahwa pemerintah dapat dan harus bersikap aktif
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan sehingga negara
mendapatkan manfaat ekonomi lebih besar, selain dari royalty dan pajak, sekaligus
melindungi kepentingan nasional yang lebih luas.
Kesimpulan tersebut keluar dari diskusi panel bertema: “Quo Vadis Tata Kelola
Sumberdaya Alam Indonesia: Mengkaji Kasus Pembelian Saham PT NNT,” yang
diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 26 April
2012 di Jakarta.
Diskusi panel ini menghadirkan Andrinof Chaniago dari FISIP Universitas Indonesia,
Marwan Batubara, Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS), dan Fabby
Tumiwa dari IESR, dengan moderator Ridaya Laode Ngkowe dari PWYP Indonesia.
Pada saat ini, Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan sengketa antara
Pemerintah dan DPR terkait pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT.
Persoalan bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian
Keuangan memutuskan untuk membeli saham hasil divestasi PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT) tersebut pada tahun 2011 lalu. Langkah pemerintah ini
dipermasalahkan oleh DPR, yang kemudian meminta BPK melakukan audit terhadap
pembelian saham tersebut, dan menyimpulkan bahwa pemerintah telah melanggar
aturan perundangan maupun menyalahi fungsi Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
yang dipakai sebagai kendaraan untuk membeli saham divestasi tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, Marwan Batubara melihat bahwa proses divestasi
saham PT NNT selama ini dipersulit dan dilakukan secara berlarut-larut oleh PT NNT
sendiri. Marwan Batubara melihat perdebatan yang terjadi di MK antara Pemerintah,
DPR dan BPK hanya akan menyita lebih banyak energi, dana dan waktu. Sementara
jika proses divestasi dipercepat, maka keuntungan dari PT NNT akan segera bisa
dinikmati oleh rakyat Indonesia. Marwan Batubara mendukung pembelian saham
divestasi oleh pemerintah pusat dan menepiskan pandangan pembelian saham
divestasi oleh BUMN seperti ANTAM. Pasalnya ANTAM sendiri tidak seluruh
sahamnya dimiliki oleh negara.
Namun demikian, Marwan Batubara menilai bahwa dalam proses pembelian saham
divestasi tersebut pemerintah harus memperhatikan sejumlah hal: Pertama, tujuan
divestasi tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan finansial, melainkan
untuk memperoleh kontrol yang lebih besar di PT NNT. Kedua, penting untuk dilihat
bahwa saham 7% terlalu kecil bagi pemerintah untuk bisa memainkan peran yang
signifikan di NNT. Berkaca dari pengalaman pemilikan saham sebesar 9,36% di PT
Freeport, Marwan Batubara menilai bahwa pemerintah masih kesulitan untuk
memainkan peran di sana, apalagi dengan jumlah saham yang hanya 7%. Oleh
karena itu Marwan Batubara menekankan pentingnya langkah yang harus diambil
pemerintah untuk membentuk suatu konsorsium saham nasional di PT NNT yang
menggabungkan saham-saham yang dimiliki oleh PT Pukuafu Indah, MDB, serta
IMI, yang keseluruhan berjumlah 51%, sehingga kepentingan nasional dapat
diprioritaskan dalam pengambilan keputusan di PT NNT.
Marwan Batubara tengah memberikan pemaparan terkait pembelian saham divestasi PT NNT oleh
Pemerintah 1
Sementara itu Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyoroti kasus ini dari
konteks perkembangan Sovereign Weath Fund (SWF). Fabby menyampaikan bahwa
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang energi, mineral dan sumber daya
alam lainnya menjadi target dari SWF, yang merupakan kendaraan investasi milik
pemerintah negara tertentu. Jumlah SWF meledak sejak 2004, seiring dengan
booming harga komiditas energi dan pertembambangan. Saat ini terdapat kurang
lebih 60 SWF di seluruh dunia yang menguasai asset senilai 3-4 triliun dollar.
Menurut Fabby Tumiwa, SWF membeli kepemilikan langsung perusahan energi dan
pertambangan dan sekaligus membeli kepemilikan perusahaan-perusahaan yang
memberikan jasa (service) kepada perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut,
misalnya ekspolarsi, alat berat, transportasi, survey, dsb. Tujuan SWF secara umum
ada dua: mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung dari investasi yang
dilakukannya, dan mendapatkan akses terhadap sumberdaya alam sebuah negara
untuk menjamin pasokan sumberdaya bahan mentah tersebut ke negara-negaranya
masing-masing.
Negara-negara seperti China, Singapura dan Malaysia selama ini cukup aktif
enggunakan SWF tersebut untuk menggarap dan mengendalikan pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia. Bentuk pergerakan tersebut dapat dilihat dalam
persentasi saham SWF negara-negara seperti China dan Singapura dalam sejumlah
perusahaan energi dan tambang di Indonesia. GIC milik Singapura misalnya, telah
memiliki kepemilikan di PT ANTAM. CIC, SWF milik pemerintah China memberikan
injeksi pinjaman 1.9 milyar dollar kepada Bumi Resources, milik Bakrie pada tahun
2009. Seiring dengan kebutuhan energi dan mineral yang meningkat, serta harga
komoditas yang tinggi, sangat mungkin arus investasi SWF ke sektor sumberdaya
alam Indonesia akan lebih tinggi di kemudian hari.
Lantas pertanyaannya, jika perusahaan asing selama ini secara leluasa memiliki
bagian dalam perusahaan Indonesia, mengapa pemerintah harus dibatasi atau
dilarang untuk memiliki kepemilikan di perusahaan-perusahaan energi dan
pertambangan yang saat ini dikuasai oleh swasta nasional maupun asing?
Menurut Fabby, pandangan tradisional yang menganggap bahwa negara hanya
perlu menggantungkan penerimaannya dari royalti dan pajak harus dirubah. Negara
melalui pemerintah yang legitimate seharusnya didorong untuk berinvestasi di
sektor-sektor sumberdaya alam untuk mengoptimalkan manfaat sumberdaya untuk
kemakmuran rakyat. Untuk itu pemerintah dapat memakai Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) yang dapat dinyatakan sebagai Sovereign Wealth Fund untuk
melaksanakan tugas tersebut.
Jika dirancang secara baik, pemerintah dapat menggunakan institusi SWF untuk
memaksimalkan pendapatan negara dengan cara membeli asset produktif, termasuk
saham perusahaan pertambangan dan energi milik swasta untuk membentung
saving fund (dana tabungan) yang bersumber dari pendapatan dari hasil
pengelolaan sumberdaya alam. Namun Fabby Tumiwa memberi catatan bahwa
pemerintah harus memiliki strategi dan arah yang lebih terencana terkait dengan
penggunaan PIP untuk tujuan tersebut.
“Pemerintah Indonesia sebenarnya dapat menggunakan PIP untuk menciptakan
saving fund (dana tabungan) bagi generasi mendatang, yang dapat dilakukan
dengan jalan mengkonversi sumber daya yang tak terbarukan ke dalam asset-aset
produktif atau yang terbarukan untuk memberikan pendapatan bagi generasi
mendatang setelah sumberdaya alam terkuras habis.
Dalam konteks pembelian saham PT NNT, sumber daya timah dan emas yang
dihasilkan adalah sumber yang tidak terbarukan. Sejauh produksi kedua mineral
tersebut berlangsung, pemerintah bisa mendapatkan manfaat ekonomi, tetapi hal
tersebut tidak terjadi seterusnya karena sifat sumberdayanya yang tidak terbarukan
(non renewable), Oleh karena itu, untuk kepentingan jangka panjang pemerintah
diharapkan bisa mengkonversi non renewable asset tersbut kedalam satu portfolio
investasi sehingga bisa menghindari efek dutch dissease,” ujar Fabby.
Dia juga menekankan bahwa sekalipun dalam minority stakeholder, tetapi
keberadaan saham pemerintah dalam tubuh PT NNT memungkinkan pemerintah
mendapatkan hasil investasi. Sehingga selain mendapat masukan lebih dari royalti
dan pajak, pemerintah pun mendapat hasil tambahan dari dari dividen atau imbal
hasil usaha. Tetapi dana tambahan tersebut tersebut sebaliknya tidak boleh dipakai
atau dihabiskan di APBN. Karena seperti yang telah dikemukakan tadi, dana
tersebut harus diinvestasikan untuk sesuatu yang lebih berkesinambungan.
Dalam perspektif mineral untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Fabby
berpendapat langkah pemerintah untuk membeli saham divestasi PT Newmont
melalui PIP secara esensi adalah langkah yang tepat.
Sementara itu Andrinof Chaniago menekankan pentingnya pemerintah Indonesia
melihat konteks yang lebih besar terkait pengelolaan sumber daya alam. Andrinoff
menyoroti besaran ekspor Indonesia yang komposisinya masih didominasi oleh
sektor sumber daya alam. Padahal menurut Andrinoff, proses pertumbuhan ekonomi
yang ideal adalah naiknya peran industri yang secara perlahan menggeser peran
sumber daya alam sebagai penopang ekonomi. Namun di Indonesia, yang terjadi
justru sebaliknya. Sektor industri terlihat mengalami penurunan sementara ekspor
sumber daya alam, seperti ekspor batubara, senantiasa memperlihatkan kenaikan.
Pemerintah didorong untuk memperhatikan China. “Di China, investornya disuruh
memburu lahan batubara dan ladang minyak. Padahal cadangan China jauh berlipatlipat dibandingkan dengan Indonesia,” papar Andrioff. Untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, Andrinoff menilik perlu bagi pemerintah agar menyasar
persoalan yang lebih besar: yakni sistem pemanfaatan sumber daya alam. Andrinoff
menilai bahwa keributan antar elit yang terjadi sekarang ini tidak menyentuh
persoalan mendasar tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya alam untuk
kepentingan Indonesia.
Terkait dengan isu pembelian divestasi PT Newmont, Andrinoff mempertanyakan
sikap DPR terhadap pemerintah. “Mengapa DPR tidak ingin memberikan kepada
pemerintah pusat? Apakah karena ini kepentingan partai politik? Apakah karena
partai punya dana tersebut?” tukas Andrinoff. Andrinoff kemudian menyimpulkan jika
tata kelola yang buruk dipertahankan, maka perlu dipertanyakan kepentingan sempit
yang ada di sana.
Materi para panelis dapat diunduh di link berikut ini:
1.
Download