Nasionalisme Ekonomi dan Globalisasi: Ideologi

advertisement
TR 2014-1
Nasionalisme Ekonomi dan Globalisasi:
Ideologi Politik Lama dan Pola-Pola Baru Perdagangan Dunia
membangun sebuah masyarakat yang adil, makmur, adil, dan
hidup harmonis. Bahkan ketika para pendiri negara dan perumus
UUD 1945 berdebat sengit tentang peran agama dalam negara,
mereka secara umum bersepakat akan buruknya liberalisme
ekonomi, serta perlunya peran sentral dan kepemilikan negara
dalam pembangunan ekonomi nasional. UUD 1945 menerangkan
bahwa ekonomi harus berdasarkan “azas-azas kekeluargaan”,
yang diartikan sebagai ekonomi di mana kewajiban bersama dan
pemerataaan pendapatan menggantikan kompetisi dan eksploitasi.
Liberalisme, ketika itu dan sampai saat ini, adalah sebuah
istilah yang ‘disalahartikan’ di dalam retorika politik Indonesia.
K
Sumber http://jntcarticles.blogspot.com
etahanan ekonomi nasional mencuat menjadi tema pokok
pada pemilu legislatif dan presiden 2014 di Indonesia. Ada
kesepakatan diantara banyak partai politik untuk mendukung
adanya pembatasan baru investasi asing di sektor pertambangan,
migas dan industri-industri strategis lainnya. Retorika kampanye
yang dikemukakan di tengah ketakutan masyarakat adalah merajalelanya barang-barang impor dengan harga murah di pasar
Indonesia, dan perusahaan multi-nasional akan memeras tenaga
kerja Indonesia, serta memberikan upah yang rendah. Para politisi
menekankan pentingnya mengembangkan “ekonomi kreatif” dan
mengembangkan “rantai nilai”. Umumnya mereka menentang ide
bahwa Indonesia harus mampu bersaing dengan Cina dan Vietnam
di pasar ekspor industri pengolahan yang menyerap bayak tenaga
kerja. Kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh banyak pihak untuk
mencapai tujuan ini sangatlah konsisten, seperti: pembatasan
investasi asing dan penggunaan tenaga kerja asing, perundingan
ulang terhadap perjanjian perdagangan internasional, perlindungan
bagi industri dalam negeri, dan investasi oleh negara pada industri
berteknologi tinggi, seperti galangan kapal dan perakitan mobil.
Akar dari nasionalisme ekonomi sudah tertanam jauh di dalam
pemikiran politik Indonesia. Para-pemimpin Indonesia sejak
zaman perjuangan kemerdekaan-layaknya pemimpin nasionalis
di seluruh Asia-melihat imperialisme sebagai akibat yang pasti
terjadi dari berkembangnya kapitalisme di Eropa. Kekejaman
yang terjadi, sebagai akibat dari eksploitasi pihak penjajah, telah
meningkatkan nasionalisme dengan semangat anti kapitalisme
yang sangat kuat. Hal itu terjadi di negara-negara, seperti
Indonesia, meskipun partai komunis (PKI) telah gagal menjadi
bagian dari pergerakan nasional. Gagasan membentuk negara baru
secara alami bersandar pada optimisme bahwa pemerintah akan
membagikan kemakmuran ekonomi dan menjaga harmoni sosial.
Pemerintah kolonial telah menggunakan dana dan kekuasaan
yang otoriter untuk mengekploitasi sumber daya alam dan pekerja
Indonesia bagi keuntungan mereka. Negara Indonesia yang
baru dibentuk ingin menggunakan sumber daya tersebut untuk
Indonesia mengalami perubahan mendasar dalam kebijakan
ekonominya: dari serba kekurangan saat masa Ekonomi Terpimpin
menjadi proyek-proyek besar yang didukung oleh tingginya
harga minyak; dari hancurnya ekonomi akibat krisis finansial
Asia Timur ke krisis global tahun 2008. Bahkan setelah melalui
berbagai kondisi tersebut, nasionalisme tetap menjadi kebijakan
standar di dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Hanya, di saat
periode krisis dan kelangkaan, pembuat kebijakan mengeluarkan
kebijakan meringankan kontrol negara untuk perangsang
investasi dan perdagangan, baik atas inisiatif sendiri atau
karena pemerintah mendapat tekanan dari lembaga pemberi
kredit internasional (Winters 1996). Hal ini ditunjukkan ketika
pemerintah membebaskan perdagangan dan mempermudah
investasi untuk masuk, saat harga minyak dunia terjun bebas
di tahun 1980-an, dan kembali melaksanakan hal serupa
pada saat krisis ekonomi 1998. Pembatasan perdagangan
dan investasi cenderung hadir kembali pada masa keemasan,
seperti pada saat melambungnya harga komoditas baru-baru ini.
Revolusi Bisnis Global
Meskipun selama ini pemikiran ekonomi Indonesia tetap
konsisten, ekonomi global telah mengalami perubahan besar.
Ketika baru merdeka, negara-negara berkembang banyak
menjual sumber daya alam dan komoditas pertanian ke pasar
global dan sebaliknya mengimpor barang-barang hasil industri
dari negara-negara maju. Industrialisasi untuk mengganti
barang-barang impor banyak diadopsi sebagai mekanisme
mengubah permin taan produk manufaktur dari produsen asing
ke produsen lokal. Tarif dan kuota untuk barang manufaktur impor
memberikan ruang bernapas kepada pabrik-pabrik lokal untuk
belajar teknologi baru dan mengembangkan kemampuan yang
mereka butuhkan. Beberapa negara di Asia, dipimpin oleh Korea
Selatan dan Taiwan, merupakan negara-negara yang pertama
mengadopsi industrialisasi produk-produk ekspor,
bahkan
negara-negara ini bergantung sekali terhadap pembatasan impor
untuk mendukung usaha-usaha manufaktur lokal (Wade 1990).
Ada yang berubah pada akhir dekade 1980-an sebagai tanggapan
terhadap penyesuaian mata uang, turunnya biaya transportasi
1
dan komunikasi, pengurangan hambatan perdagangan karena
perjanjian dalam General Agreements on Tariffs and Trade
(GATT), serta reformasi ekonomi di Tiongkok dan India. Seperti
ditunjukkan pada gambar 1, pada umumnya perdagangan sebagai
bagian dari output ekonomi meningkat tajam di dunia, dan terutama
tumbuh lebih cepat di antara negara-negara berkembang di
Asia. Pemindahan lokasi produksi oleh perusahaan-perusahaan
Jepang, yang bermula karena meningkatnya nilai Yen terhadap
Dolar Amerika, terus terjadi dari 1990-an sampai 2000an ketika revolusi bisnis global terjadi. Investor dari Amerika
Serikat, Eropa, Korea, dan Taiwan kemudian mengikutinya.
Meningkatnya ekspor barang-barang manufaktur di Asia Timur
adalah cerminan dari restrukturisasi sistem produksi global. Prosesproses produksi barang-barang manufaktur dipecah-pecah menjadi
beberapa tahap dan dibagikan ke produsen-produsen dengan biaya
terendah. Perusahaan-perusahaan ‘integrator sistem’ bersaing satu
dengan lainnya dalam inovasi teknologi dan pembaruan disain.
Mereka harus mengeluarkan investasi yang besar untuk riset agar
mereka mampu mengikuti perkembangan terbaru dan selera dari
konsumen. Kekuatan yang mereka miliki di pasar membuat mereka
mampu menekan para pemasok komponen untuk mengurangi
biaya, memperbaiki kualitas, dan mengadaptasi teknologiteknologi baru. Pemasok menjawab dengan memindahkan lokasi
produksi barang mereka ke tempat dengan biaya terendah dan
ikut mendorong kompetisi antara pemasok dan subkontraktor yang
ada, sebisa mereka mampu. Jadi, produksi barang terfragmentasi
secara geografis dan antar beberapa perusahaan, namun di saat
bersamaan, kontrol terhadap disain, kualitas, dan harga semakin
tersentralisasi di tangan integrator sistem yang kuat (Nolan 2014).
Posisi kebijakan Indonesia telah menghambat pertumbuhan
produksi barang-barang manufaktur untuk ekspor, melalui kebijakan
yang menghambat investasi asing secara langsung (FDI),
perizinan impor, dan nilai tukar rupiah yang terlalu tinggi. Alih-alih
mendukung penanaman modal asing dalam industri komponen dan
perakitan, Indonesia lebih memilih untuk bergantung kepada ekspor
sumber daya alam. Pengecualian dari pola dominan ini muncul saat
masalah-masalah terjadi dengan sumber daya alam. Pada tahun
1980-an dan awal 1990-an, pemerintahan Soeharto menanggapi
kondisi turunnya harga minyak dalam waktu yang lama dengan
melaksanakan beberapa kali devaluasi besar terhadap rupiah.
Kebijakan lain yang mendukung ekspor barang-barang manufaktur
adalah larangan ekspor kayu mentah gelondongan, yang mendorong
perkembangan usaha-usaha kayu lapis lokal. Setelah krisis 1998,
ekspor manufaktur sebagai bagian dari PDB telah menurun, yang
merupakan kombinasi dari meningkatnya nilai tukar, peraturan
perburuhan yang semakin ketat, meningkatnya upah nominal, dan
ketidakpastian peraturan dan kebijakan sebagai akibat dari kacaunya
kebijakan desentralisasi (Aswicahyono, Hill, dan Narjoko 2013).
Figur 1. Ekspor produk manufaktur sebagai bagian dari PDB: Global, Negara
Berkembang Asia Timur dan Pasifik, dan Indonesia
Sumber: World Development Indicators
Salah satu hasil dari kecenderungan global terhadap out-sourcing
dan off-shoring adalah meningkatnya barang modal dan barang
setengah jadi sebagai bagian dari perdagangan internasional.
Barang modal adalah aset fisik yang digunakan dalam proses
produksi, seperti mesin dan peralatan. Barang setengah jadi adalah
barang-barang yang digunakan untuk produksi barang-barang lain.
Kain katun yang diimpor untuk produksi kemeja dan celana adalah
barang setengah jadi, begitu juga barang-barang semikonduktor
yang digunakan untuk perakitan komputer dan produk-produk
otomotif. Di tahun 2012, barang modal menyumbang sekitar 18
persen dari perdagangan barang dunia, sementara 53 persen
perdagangan tersebut terdiri dari barang setengah jadi. Perdagangan
untuk barang jadi menyumbang 29 persen dari perdagangan total.
Kemudian, semakin besar bagian dari perdagangan internasional
dilaksanakan di dalam perusahaan-perusahaan. Dengan kata
lain, semakin banyak perusahaan yang mengimpor barang
setengah jadi dari perusahaan yang masih berhubungan yang
berada di negara lain. Meskipun perdagangan intra-perusahaan,
antar-negara ini sulit untuk diukur, banyak yang memperkirakan
bahwa perdagangan intra-perusahaan ini menyumbang 30
persen dari total perdagangan barang. Perdagangan intraperusahaan menyumbang sekitar setengah dari impor Amerika
Serikat dan 30 persen dari ekspor (Miroudot dan Lanz 2011).
Revolusi Perdagangan dan Bisnis Global
Revolusi yang terjadi pada bisnis global telah mentransformasi
hubungan perdagangan secara radikal. Pada tahun 1995, Tiongkok
sangat bergantung pada impor barang barang modal (mesin dan
peralatan) dan barang setengah jadi, dan mengekspor barang jadi,
seperti garmen dan sepatu. Meskipun Tiongkok pada tahun 2012
masih menjadi eksportir besar untuk barang-barang jadi, pada
tahun-tahun berikutnya ekspornya untuk barang-barang modal
telah meningkat 3 kali lipat sebagai penyumbang dari PDBnya.
Ekspor Tiongkok untuk barang setengah jadi juga meningkat
tajam. Jadi, posisi Tiongkok dalam penyebaran produksi dan
perdagangan internasional berevolusi cepat dengan masuknya
negara ini ke dalam industri manufaktur barang teknologi tinggi,
2
seperti komputer, peralatan telekomunikasi, dan barang-barang
optik, serta alat-alat berat seperti mesin konstruksi dan peralatan
pembangkit listrik. Impor Tiongkok untuk komponen elektronik
meningkat bersamaan dengan ekspor barang-barang jadi.
Figur 2. Impor dan Ekspor Tiongkok untuk barang-barang selain minyak, 1995 dan
2012
dalam barang setengah jadi di industri elektronik dan obatobatan. Foxconn, sebuah perusahaan elektronik dari Taiwan,
telah merakit produk-produk Apple di Brazil sejak tahun 2005.
Aktivitas dari Foxconn dan eksportir-eksportir elektronik lain ikut
menyumbang ke peningkatan impor barang-barang setengah jadi
dan ekspor produk jadi. Barang mentah yang sudah diproses,
seperti serbuk alumina, pulp dan kertas, minyak nabati, dan
produk kulit, juga ikut meningkat didorong oleh naiknya nilai
ekspor barang-barang setengah jadi. Di lain pihak, Brazil telah
meninggalkan beberapa produk ekspor tradisional, seperti sepatu.
Figur 4. Impor dan Ekspor Brazil untuk barang-barang selain minyak, 1995 dan 2012
Sumber: Dihitung oleh penulis dari data UNComtrade
Partisipasi India dalam jaringan produksi global meningkat
secara dramatis pada awal dekade 1990-an. Hal penting yang
dapat terlihat dalam Gambar 3 adalah meningkatnya impor dan
ekspor untuk barang setengah jadi, sebuah kecenderungan yang
muncul di berbagai sektor, namun sangat nyata terlihat adalah di
industri kimia dan obat-obatan. Perubahan besar lainnya dalam
pola perdagangan India adalah peningkatan yang besar dalam
impor minyak nabati untuk keperluan industri dan digunakan untuk
makanan olahan. Tren penting dalam produksi barang-barang
manufaktur India adalah meningkatnya ekspor suku cadang mobil
dan motor. Penting juga untuk menggarisbawahi bahwa beberapa
perubahan penting dalam pola perdagangan India muncul dari
sektor jasa, yang tidak ditampilkan dalam gambar di bawah.
Ekspor untuk jasa yang terkait komputer melebihi angka US$
67 milyar pada tahun 2012, atau mencapai 3 persen dari PDB.
Figur 5. Impor dan Ekspor Thailand untuk barang-barang selain minyak, 1995 dan
2012
Figur 3. Impor dan Ekspor India untuk barang-barang selain minyak, 1995 dan 2012
Sumber: Dihitung oleh penulis dari data UNComtrade
Sumber: Dihitung oleh penulis dari data UNComtrade
Brazil juga
menampilkan meningkatnya nilai perdagangan
Thailand adalah negara yang kecil populasinya jika dibandingkan
dengan Indonesia dan negara-negara yang sudah disebutkan
sebelumnya. Namun sebagai negara dengan pendapatan menengah
di wilayah Asia Tenggara, menarik untuk membandingkan apa
yang terjadi di Thailand dengan tren yang dominan terjadi di
Indonesia. Perbedaan yang terjadi sangat mencolok. Thailand
mengalami peningkatan nilai ekspor sebagai bagian dari
pendapatan nasional dalam tiga kategori barang. Dengan kata lain,
dalam 2 dekade terakhir Thailand telah secara dalam terintegrasi
dalam sistem produksi regional dan global. Hal ini sangat nyata
terjadi di dua industri di mana Thailand telah menjadi pemimpin
3
regional: produksi cakram penggerak (disk drive) dan suku
cadang
kendaraan. Thailand sekarang menyumbang sekitar
40 persen dari produksi cakram penggerak global, sebuah tren
yang menyebabkan peningkatan baik impor dan ekspor barang
setengah jadi. Status Thailand sebagai penghubung produksi bagi
pabrik perakitan mobil Jepang berhasil menjadi perangsang untuk
perkembangan industri suku cadang, yang kemudian berkontribusi
ke ekspor barang setengah jadi. Produk-produk bahan kimia
adalah subsektor lain yang tumbuh pesat dalam dua puluh tahun
terakhir. Sementara itu, ekspor tradisional seperti sepatu dan
pakaian jadi telah menurun seiring dengan peningkatan upah riil.
Dan bagaimana dengan Indonesia? Fakta yang sangat mengejutkan
dari Gambar 6 adalah sedikitnya perubahan yang terjadi di Indonesia
sejak tahun 1990-an. Industri manufaktur Indonesia masih sangat
berorientasi ke pasar domestik, bergantung sangat dalam ke impor
barang setengah jadi, serta ekspor komoditas pertanian dan sumber
daya alam. Terjadi beberapa pergeseran dalam kategori ini: ekspor
kayu lapis menurun, tapi telah digantikan oleh ekspor minyak kelapa
sawit dan karet. Di kategori barang jadi, ekspor sepatu dan pakaian
jadi telah menurun, baik secara nyata atau sebagai bagian dari PDB.
Indonesia tidak mampu menarik investasi besar di sektor
industri komponen elektronik dan perakitan, dua dari subsektor
manufaktur yang terus berkembang cepat. Perusahaan asing
besar, seperti Foxconn dari Taiwan melaporkan bahwa rezim
investasi Indonesia membingungkan dan kurang transparan
(Fery 2014). Saat Indonesia menciptakan hambatan kepada
investasi yang ingin masuk, beberapa negara di kawasan
seperti Malaysia, Taiwan, dan Filipina secara aktif berupaya
menarik investor-investor di industri-industri penting tersebut.
harga murah, seperti baju dan mainan, tetapi yang tercatat adalah
barang-barang yang masa gunanya cukup lama, yang biasanya
dibeli oleh rumah tangga yang sudah berkecukupan. Jumlah impor
mobil penumpang meningkat paling banyak dibandingkan impor
barang konsumsi lain, diikuti oleh pendingin udara dan televisi.
Figur 6. Impor dan ekspor Indonesia untuk barang-barang selain minyak, 1995 dan
2012
Sumber: Dihitung oleh penulis dari data UNComtrade
Hanya saja, kesimpulan utama yang dapat diambil dari perbandingan
ini adalah Indonesia telah mengambil keputusan untuk tidak
berpartisipasi dalam revolusi bisnis global. Tidak seperti Tiongkok,
Brazil, Thailand, dan India, Indonesia bukanlah sebuah lokasi penting
untuk perakitan produk jadi barang konsumsi, dan bukan juga tempat
industri manufaktur komponen-komponen yang penting. (untupNm.6(ra
Ada beberapa hal menggembirakan yang terjadi. Ekspor produk
otomotif ke kawasan dan negara Timur Tengah (baik sebagai suku
cadang atau produk jadi) meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Keunggulan komparatif Indonesia dalam perakitan produk otomotif
terjadi karena besarnya pasar domestik. Dengan memiliki skala
ekonomi minimum yang tinggi dalam industri perakitan, produsen
produk otomotif cenderung menempatkan pabrik-pabriknya di
tempat, di mana mereka bisa yakin mampu menjual mobil dalam
jumlah yang besar. Ketika skala minimum telah tercapai, ekspor yang
menguntungkan dapat dilaksanakan ke pasar-pasar yang lebih kecil
di kawasan tersebut. Hanya saja, industri otomotif Indonesia masih
sangat bergantung pada impor-impor komponen, yang merupakan
70 persen dari isi sebuah kendaraan. Upaya lanjutan untuk menarik
perusahaan pemasok komponen-komponen sangat bergantung
dari pertumbuhan pasar domestik, dan bukan dari prospek ekspor.
Berita baik lainnya adalah gambar di bawah tidak mengakomodasi
argumentasi bahwa pasar Indonesia sudah dibanjiri oleh impor
barang-barang konsumsi yang murah. Impor barang-barang
konsumsi hanya mencapai 1,5 persen dari PDB pada tahun 2012,
meningkat setengah persen dari tahun 1995. Peningkatan terbesar
justru tidak terhitung untuk barang-barang konsumsi dengan
4
Sementara itu, negara-negara yang mencoba untuk mengurung
diri mereka sendiri dari globalisasi dengan membuat hambatan
bagi perdagangan dan investasi, serta dengan menaikkan nilai
mata uangnya, negara-negara tersebut ekonominya menurun.
Perubahan kebijakan sangat dibutuhkan untuk merangsang
integrasi industri manufaktur Indonesia ke dalam sistem
produksi global. Kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan ini mudah diidentifikasi, termasuk di antaranya:
•
•
•
•
•
Kebijakan nilai tukar uang yang realistis untuk meningkatkan nilai kompetitif dari produk ekspor Indonesia;
Kebijakan meringankan hambatan investasi asing langsung
bagi industri manufaktur komponen dan perakitan barang;
Transparansi
dan
jakan
pemerintah
konsistensi
dalam
kebiuntuk
perizinan
investasi;
Investasi negara di jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, dan
rel kereta untuk mengurangi biaya logistik bagi industri, terutama di wilayah dengan tingkat pengangguran yang tinggi;
Mengurangi
biaya
masuk
biaya
buruh
non
upah,
terpesangon
yang
tinggi;
Kami merasa bahwa perkembangan dan kemajuan dalam mencapai
tujuan-tujuan di atas akan sulit dicapai, hingga akhirnya pemimpinpemimpin politik menyadari perubahan-perubahan mendasar yang
terjadi di sistem produksi global dalam tiga dekade terakhir, dan
dengan pengetahuan tersebut mereka mencoba mengevaluasi
kembali kepercayaan yang telah dipercaya sejak lama tentang peran
pemerintah yang tepat dalam proses industrialisasi. Karena buruh di
Indonesia adalah salah satu yang paling dirugikan dari kebijakan
proteksionis yang tengah berjalan, maka pimpinan dari organisasi
buruh dapat menjalankan peran yang penting untuk mendidik politisi
tentang pentingnya industri manufaktur yang berorientasi ke ekspor
untuk penciptaan lapangan pekerjaan yang stabil. Para peneliti harus
melakukan studi tentang akibat yang terjadi dari hambatan investasi
dan perdagangan kepada neraca pembayaran, distribusi pendapatan,
dan pertumbuhan lapangan kerja agar para pembuat kebijakan publik
dan masyarakat dapat mengetahui keuntungan dan kerugian yang
nyata dari kebijakan untuk terpisah dari industri manufaktur global.
Referensi
Aswicahyono, Haryo, Hal Hill, and Dionisius Narjoko. 2013.
“Indonesian Industrialization: A Latecomer Adjusting to Crises.” In Pathways to industrialization in the
Twenty-First Century, edited by Adam Szirmai, Wim
Naudé, and Ludovico Alcorta, 193–222. Oxford University
Press.
http://www.oxfordscholarship.com/
view/10.1093/acprof:oso/9780199667857.001.0001/
acprof-9780199667857-chapter-7.
Fery, Firmansyah. 2014. “Foxconn Bewildered by Confusing Investment Procedures.” Koran Tempo, April 27. http://en.
tempo.co/read/news/2014/04/27/056573512/Foxconn-Bewildered-by-Confusing-Investment-Procedures.
Miroudot, Sébastien, and Rainer Lanz. 2011. Inra-Firm Trade.
OECD Trade Policy Papers 114. http://www.oecd-ilibrary.org/trade/intra-firm-trade_5kg9p39lrwnn-en.
Nolan, Peter. 2014. Chinese Firms, Global Firms: Industrial Policy in the Age of Globalization. Routledge Studies on
the Chinese Economy 51. Abingdon, Oxon: Routledge.
Wade, Robert. 1990. Governing the Market: Economic Theory and the Role of Government in East Asian Industrialization. Princeton, N.J: Princeton University Press.
Winters, Jeffrey A. 1996. Power in Motion: Capital Mobility and the
Indonesian State. Ithaca, N.Y: Cornell University Press.
5
Download