2.2 Norma Sosial

advertisement
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Perilaku Tidak Etis
Menurut Grifin, dan Ebert (2007), etika merupakan ukuran keyakinan seseorang
mengenai suatu tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik dan yang
buruk, yang mempengaruhi hal lainnya. Nilai-nilai dan moral pribadi yang dimiliki
perorangan dan konteks sosial menentukan apakah suatu perilaku tertentu dianggap
sebagai perilaku yang etis atau tidak etis. Perilaku etis merupakan wujud keyakinan
seseorang yang mengacu pada norma-norma sosial mengenai perilaku yang dapat
diterima dan tidak dapat diterima oleh masyarakat atau lingkungan. Perilaku tidak etis
adalah keyakinan seseorang yang mengacu pada norma-norma sosial mengenai perilaku
yang dianggap salah atau tidak sesuai dengan keyakinan dan norma-norma sosial yang
diyakini.
Taylor dalam Kaptein (2008) mengartikan etika sebagai penyelidikan atas sifat
dasar dari moralitas dimana moralitas adalah penilai, standar, dan aturan mengenai
perilaku. Menurut Beauchamp dan Bowie (dalam Kaptein, 2008), etika berkaitan
dengan baik dan buruk, benar dan salah, dengan demikian apa yang harus individu
lakukan dan apa yang tidak seharusnya individu tersebut lakukan. Perilaku etis
menyiratkan kepatuhan terhadap norma-norma moral, sedangkan perilaku tidak etis
menyiratkan pelanggaran terhadap norma-norma moral (Kaptein Muel, 2008).
Menurut Jones (dalam Kaptein, 2008) perilaku tidak etis dalam lingkungan sosial
atau organisasi bisnis adalah perilaku yang secara moral tidak dapat diterima dalam
sebuah organisasi, tempat kerja, dan lain-lain. Menurut Kaptein Muel (2008) perilaku
tidak etis berbeda dengan melanggar aturan, perilaku kriminal dan ketidakpatuhan.
Perilaku tidak etis tidak terbatas pada pelanggaran terhadap peraturan umum, peraturan
yang tertulis, dan hukum, tetapi
mencakup pelanggaran yang tidak tertulis dalam
peraturan umum. Begitupun pada tempat kerja perilaku tidak etis tidak hanya terbatas
pada pelanggaran yang tertulis dalam perturan dari organisasi/lembaga terkait. Bennett
and Robinson (dalam Kaptein Muel, 2008) mendefinisikannya sebagai pelanggaran di
tempat kerja, termasuk sabotase, dan perilaku yang signifikan melanggar norma
organisasi.
7
8
Ada tiga alasan untuk memahami dan mencegah perilaku tidak etis. Pertama,
perilaku tidak etis yang dilakukan dalam sebuah kelompok akan memberikan
konsekuensi yang sama untuk semua anggota kelompok. Contoh penggelapan dana atau
penyalahgunaan aset organisasi berdampak rusaknya reputasi pada bagian keuangan.
Perilaku etis yang dilakukan oleh individu tidak akan memberikan konsekuensi yang
sama untuk individu lainnya. Kedua, perilaku tidak etis yang dilakukan dalam sebuah
kelompok dapat memiliki penyebab yang sama. Perilaku tidak etis yang dilakukan
individu memiliki penyebab yang berbeda-beda. Ketiga, perbedaan kelompok dari
setiap perilaku yang ada dengan sebab dan akibat yang berbeda, itu bisa menunjukkan
bahwa langkah-langkah serupa dapat digunakan untuk mencegah perilaku yang tidak
etis dalam kelompok
tertentu, sedangkan untuk kelompok yang berbeda, dapat
menyesuaikan.
Perilaku dapat dikatakan etis apabila sudah sesuai dengan norma-norma sosial yang
telah diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan yang benar dan baik
(Grifin dan Ebert, 2007). Perilaku etis ini dapat menentukan kualitas individu
(karyawan) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diperoleh dari luar yang menjadi
prinsip kemudian dijalani dalam bentuk perilaku (Arifyani, & Sukimo, 2012). Dengan
demikin dapat disimpulkan bahwa perilaku bermoral adalah ketika seseorang sudah
dapat megikuti peraturan (norma sosial) yang berhubungan dengan perilaku yang baik
dan benar sehingga perilakunya dapat dikatakan etis.
2.1.1 Moral
Perkembangan moral adalah perubahan terhadap pemikiran, perasaan, dan perilaku
yang mengacu pada standar mengenai benar atau salah (Santrock, 2011). Moral berasal
dari kata Mores yang artinya kebiasaan atau cara hidup. Menurut Kamus Besar Bahas
Indonesia (2002), moral adalah :
Baik buruk yg diterima secara umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Kondisi
mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan
sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan.
Menurut Prawiro, (2010) moral membicarakan baik-buruk berdasar tradisi (adatistiadat) dan agama.
9
Pada kehidupan sehari-hari, ada orang yang dikatakan imoral. Imoral tindakan yang
buruk. Menurut Bertnes, K.. (1997). Moral dibagi menjadi tiga yaitu, bermoral, imoral,
dan amoral. Imoral adalah : bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral
buruk, tidak etis, tidak bermoral, atau tidak berakhlak. Amoral adalah tidak memiliki
relevansi dengan moral, tidak ada kaitannya dengan konteks moral atau dapat dikatan
sebagai suatu yang netral dari moral. Pengertian mengenai perilaku baik atau buruk
merupakan suatu yang umum, karena dapat terjadi disegala situasi dan segala zama. Jadi
dapat dikatakan moralitas merupakan fenomena yang universal atau umum. Berkaitan
dengan perilaku moral, saat ini perilaku imoral lebih mengarah pada corporate crime
dan politic scandal, yang sebelumnya mengarah pada tindakan dan perilaku hanya
untuk meningkatkan keuntungan dan kekuasaan (Simon dan Eitzen, dalam Koentjoro
dan Ananta, Z., 2013).
2.2 Norma Sosial
Menurut Hafiyah dalam Sarwono (2009) norma sosial adalah aturan-aturan yang
mengatur tentang bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku, dan aturan-aturan
tersebut memberikan efek yang kuat pada tingkah laku kita (Baron & Bryen, 2005).
Definisi lainnya megenai norma sosial adalah aturan dari sebuah kelompok mengenai
perilaku, nilai-nilai, dan keyakinan untuk menentukan apakah seseornag dapat diterima
atau tidak diterima dalam sebuah kelompok. Aturan tersebut dapat berupa implisit atau
eksplisit (Aronson, 2010). Baron & Byrne (2005) mengartikan norma sosial sebagai
aturan-aturan yang mengarahkan bagaimana individu seharusnya bertingkah laku pada
suatu situasi yang spesifik. Norma sosial adalah aturan dan standar yang dipahami oleh
anggota kelompok dan mengarahkan perilaku yang tidak dibarengi dengan kekuatan
hukum (Cialdini & Trost, dalam Schultz, Nolan, Cialdini, Goldstein, dan Griskevicius,
2007). Norma-norma sosial dilihat sebagai hasil interaksi sosial, yang umumnya bersifat
adaptif, dan sesuatu yang menyimpang dari norma dapat mengakibatkan sanksi dan
ketidak setujuan sosial (Schultz, Tabanico, & Rendon, dalam Schultz, dkk, 2008).
Norma sosial, dapat bersifat formal atau informal sebagaimana perbedaan aturan yang
tertulis pada rambu-rambu dan petunjuk informal. Contohnya, “jangan meninggalkan
tas atau barang berharga di kereta belanja”. Perbedaan penting lainnya adalah antara
norma injungtif dan norma deskriptif (Cialdini, Kallgren, & Reno, 1991; Reno, Cialdini,
10
& Kallgren, 1993, dalam Baron & Byrne, 2000). Menurut Hafiyah dalam Sarwono
(2009) bagaimana cara manusia mengaktifkan norma sosial, tidak terlepas dari adanya
tekanan-tekanan untuk bertingkah laku dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.
Tekanan tersebut biasanya dinyatakan secara eksplisit atau implisit. Norma injungtif
adalah hal apa yang seharusnya kita lakukan.
2.2.1 Norma Injungtif
Menurut Cialdini dan kawan-kawan dalam Smith, dkk (2008) norma injungtif
merupakan definisi umum dari norma-norma yang mencerminkan konsepsi dari apa
yang signifikan orang lain pikirikan mengenai seseorang harus lakukan. Norma
injungtif menggambarkan persepsi mengenai perilaku yang dapat diteima atau tidak
dapat diterima. Norma injungtif
memotivasi perilaku dengan menekankan social
rewards dan punishments yang didapatkan dari orang lain. Baron & Byrne (2008)
memberikan contoh mengenai kuatnya norma injungtif pada perilaku mencontek saat
ujian, yang mana perilaku tersebut benar-benar tidak etis. Faktanya ada beberapa murid
yang masih saja tidak mematuhi norma. Situasi dalam contoh tersebut menggambarkan
bahwa, beberapa murid yang melakukan perilaku mencontek mempunyai persepsi
mengenai mencontek adalah hal yang wajar dilakukan murid saat ujian (norma
injungtif). Tidak adanya ketegasan terhadap hukuman yang diberikan untuk murid yang
mencontek, membuat murid mengabaikan hukuman yang diberikan oleh guru atau
sekolah, dan berpikir reward yang didapat dari mencontek seperti mendapatkan nilai
bagus, lebih menguntungkan bagi murid tersebut dan melihat teman-temanya juga
mencotek (norma deskriptif) sehingga menguatkan perilakunya (norma injungtif).
Baron dan Byrne (2000) memberikan contoh lain dari perilaku tidak etis seperti,
keyakinan remaja mengenai sejauh mana persepsinya saat melihat teman-temannya
ketika berkendara dibawah pengaruh alkohol dimana perilaku dari teman-temannya
tersebut berkaitan dengan resiko dan perilaku ilegal. Contoh kedua ini terlihat bahwa
persepsi yang dimiliki remaja dalam kondisi tersebut adalah harus melakukan perilaku
yang sama untuk medapatkan penerimaan diri dikelompok tersbut, dan terlihat bahwa
norma deskriptifnya mendukung karena teman-temanya juga melakukan hal yang sama.
Seperti contoh diatas, Cialdini dan Kawan-kawan (dalam Baron & Byrne, 2000)
mempercayai bahwa pada situasi tertentu terutama pada perilaku anti sosial (perilaku
11
yang tidak bisa diterima oleh lingkungan atau kelompok tertentu) norma injungtif
cenderung memberikan pengaruh yang kuat. Hal ini benar karena ada dua alasan yaitu :
pertama, norma semacam itu cenderung mengalihkan perhatian dari bagaimana orangorang bertindak pada situasi tertentu (contoh, membuang sampah sembarangan)
menjadi bagaimana mereka seharusnya berperilaku (contoh, membuang sampah pada
tempatnya). Kedua, norma semacam itu dapat mengaktifkan motif sosial untuk
berperilaku dalam situasi tertentu tanpa mengindahkan apa yang orang lain lakukan.
Menurut Hafiyah (dalam Sarwono, 2009) norma injungtif biasanya dinyatakan secara
eksplisit. Contohnya, peraturan pemerintah mewajibkan bahwa setiap penduduk
Indonesia harus memiliki kartu tanda penduduk (KTP).
2.2.2 Norma Deskriptif
Menurut Cialdini dan kawan-kawan dalam Smith, dkk (2008) norma deskriptif
merupakan definisi umum dari norma-norma yang mencerminkan konsepsi dari apa
yang signifikan orang lain pikirikan mengenai apa yang biasanya seseorang lakuan
dalam situasi tertentu. Norma deskriptif memotivasi perilaku dengan menginformasikan
seseorang mengenai perilaku apa efektif, atau perilaku apa yang adaptif dalam konteks
tertentu dan memberikan keputusan mengenai bagaimana berperilaku dalam situasi
tertentu. Menurut Baron dan Byrne (2005) norma deskriptif biasanya bersifat implisit,
tidak dinyatakan secara tegas atau tertulis. Contoh, menghormati tuan rumah dengan
berpakaian rapih saat berkunjung, dan menghormati orang tua dengan berperilaku
sopan.
Menurut Elek, Day-Miller, dan Hechit (2006), norma deskriptif juga
meningkatkan frekuensi informasi mengenai perilaku yang penting dari seseorang atau
kelompok yang dianggap penting dan memotivasi perilaku dari banyaknya informasi
mengenai perilaku apa yang paling memberikan pengaruh dan dapat diterima dalam
situasi tertentu. Schultz, dkk. (2008) memberikan contoh, seseorang percaya bahwa
orang lain akan mematikan lampu saat meninggalkan kamar (norma injungtif), tetapi
diwaktu yang sama, seseorang percaya bahwa banyak orang yang tidak mematikan
lampu saat meninggalkan kamar (norma deskriptif). Contoh lain yang diberikan oleh
Lange
(2012,
dalam
The
Network
Addressing
Collegiate
Alcohol
and
Other Drug Issues California Membership Site) jika banyak orang yang menggunakan
12
topi (norma deskriptif), makan dia akan menggunakan topi, jika banyak orang merasa
menggunakan topi itu bagus (norma injungtif) maka dia akan menggunakan topi.
Norma deskriptif sering diasosiasikan dengan “boomerang effect” hal ini
dikarenakan seringnya kampanye norma sosial dimaksudkan untuk mengurangi
permasalahan perilaku (meningkatkan perilaku prososial) dengan menyampaikan pesan
bahwa perilaku merugikan lebih sering terjadi dari pada kebanyak orang berpikir. Tetapi
untuk individu yang sudah mejauhkan diri dari perilaku yang tidak diharapkan,
informasi normatif dapat menghasilkan efek bomerang dari perilaku yang tidak
diinginkan atau diharapkan (Schultz, dkk., 2007). Boomerang effect mengacu pada
bentuk komunikasi persuasif yang dikirim ke penerima pesan, namun dikembalikan lagi
dengan reaksi yang berlawanan. Dengan demikian, konsekuensi yang dihasilkan dari
pesan komunikasi persuasi tidak sama dari awal pemenerimaan pesan atau dapat dikatan
sudah tidak asli. Efek ini sering dihasilkan ketika counter-argumen yang lebih kuat dari
pernyataan asli (Psychology Dictionary.org).
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mengenai kemenonjolan
norma injungtif dan deskriptif
Faktor pertama, Schultz, dkk. (2007) menemukan dalam percobaan lapangan
bahwa dukungan yang dikombinasikan antara norma injungtif dan norma deskriptif
memberikan pesan lebih efektif dibandingan memberi dukungan hanya pada norma
injungtif atau norma deskriptif. Faktor kedua, perbedaan antara norma deskriptif, norma
injungtif dan prediksi dari setiap tipe yang mana yang relatif kuat belum selesai diuji
dalam domain perilaku. Namun penting untuk menyelidiki masalah ini untuk kedua
alasan teoritis dan praktis yaitu : Pertama, peneliti terus mengembangkan fokus literatur
mengenai peluasan teori dari peranan norma berhubungan dengan sikap dan perilaku.
Kedua, kesadaran mengenai relatif pentingnya norma injungtif dan norma deskriptif
dapat sangat berguna dalam konteks terapan, dan peluang yang berbeda-beda.
2.4 Definisi Tenaga Kerja
Menurut undang-undang No. 13 tahun 2013 pasal 1 ayat 2 tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
13
2.4.1 Definisi Pegawai Negeri Sipil
Menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 43 tahun 1999 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian
pasal l nomer 1 : Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang
telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan
diserahi tugas dalam suatu jabatan negara atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (batan.go.id).
Pasal 2 menyebutkan jenis serta kedudukan pegawai negri yaitu :
1.
Pegawai Negeri terdiri dari :
a.
Pegawai Negeri Sipil
b.
Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf, a terdiri dari
:
a.
Pegawai Negeri Sipil Pusat, dan
b.
Pegawai Negeri Sipil Daerah.
2.5 Kerangka Berpikir
Menurut Afiff (2013, dalam MM Unpad) perilaku tidak etis di tempat kerja dapat
merugikan organisasi dengan risiko yang besar, dan dapat merusak hubungan baik yang
telah terjalin di antara rekan bisnis atau hubungan baik yang telah terjalin di dalam
organisasi tersebut. Pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa dampak yang akan terjadi
ketika seseorang yang berperilaku tidak etis, dapat merugikan negara, perusahaan dan
masyarakat luas. Menurut Jones dalam Kaptein, (2008) perilaku tidak etis dalam
lingkungan sosial atau organisasi bisnis adalah perilaku yang secara moral tidak dapat
diterima dalam sebuah organisasi, tempat kerja, dan lain-lain.
Perilaku tidak etis berkaitan dengan norma sosial. Norma sosial merupakan aturanaturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku (Hafiyah
dalam Sarwono & Meinarno 2009). Norma sosial dibagi menjadi dua yaitu : norma
injungtif dan norma deskriptif. Menurut Cialdini dan kawan-kawan, dalam Aronson,
Wilson, & Akert (2010), norma injungtif adalah persepsi seseorang mengenai perilaku
apa yang diterima dan tidak diterima oleh orang lain dalam situasi tertentu. Norma
14
injungtif memotivasi perilaku dengan menekankan social rewards dan punishments
yang didapatkan dari orang lain. Norma deskriptif adalah persepsi seseorang mengenai
apa yang biasanya akan orang lain lakukan jika berada dalam situasi tertentu,
bagaimana perilaku itu diterima atau tidak oleh orang lain. Norma deskriptif
memotivasi perilaku dengan menginformasikan seseorang mengenai perilaku apa yang
efektif, atau perilaku apa yang adaptif dalam konteks tertentu dan memberikan
keputusan mengenai bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas mengenai norma deskriptif, dimana kebiasaan
yang dibayangkan dimiliki oleh orang lain dalam situasi yang sama yaitu tidak
mendukung moral (imoral) dapat menghasilkan perilaku yang tidak etis. Contoh lain
dari perilaku tidak etis yang memperlihatkan perilaku yang biasa dilakukan (norma
deskriptif) dalam sebuah situasi yang mendukung moral tetapi pada kenyataannya
perilaku yang mucul adalah tidak etis.
Gambar 2.1 Peran Sifat Moral dari Norma Deskriptif dan Kelekatan terhadap
Norma Sosial dalam Memprediksikan Perilaku Tidak Etis
Sifat Imoral dari
Norma Deskriptif
Perilaku Tidak Etis
Kelekatan
Terhadap Norma
Injungtif
15
Download