Kontradiksi Budaya K-pop dan Budaya Barat Judul : Memahami Budaya Populer Judul asli : Understanding Popular Culture Pengarang : John Fiske Penerjemah : Asma Bey Mahyuddin Penerbit : Jalasutra Cetakan : Cetakan I, Oktober 2011 Tebal : 240 hlm Ukuran : 15x23 ISBN : 978-602-8252-48-5 Nomor Panggil : 306.4 FIS ut Belakangan ini dunia seakan dikejutkan oleh sebuah budaya dari Timur Asia. Sebagian besar anak muda di dunia khususnya di Indonesia berbondong-bondong mengagumi bahkan cenderung terhipnotis oleh serial drama dan grup musik dari negara tersebut. “Korean Populer” atau biasa disebut “K-pop”, tidak hanya memberikan sekedar hiburan bagi pengikutnya, K-pop juga menyajikan gaya hidup, seperti cara berbusana, merias wajah, berbahasa atau yang lebih mengerikan, seperti oprasi plastik dalam memperindah bentuk tubuh. K-pop telah membangun sebuah tren baru ditengah masyarakat. Jika kita perhatikan lebih jauh meskipun K-pop berasal dari wilayah yang masih Termasuk Asia yaitu Korea Selatan, tetap saja tidak bisa meninggalkan sebuah efek budaya barat yang lebih dulu mendunia. Pakaian yang dikenakan oleh artis Korea di sana, bukanlah sebuah bentuk budaya asli dari Korea. Budaya K-pop sepertinya belum mampu menggeser Budaya Barat yang lebih dulu mendunia, misalnya sebut saja “jeans” mendengar kata itu sebagian besar dari kita akan dengan cepat mengarahkan pikirannya kepada sebuah bahan busana yang umum dikenakan semua kalangan yang berasal dari negeri barat, bukan dari Korea selatan. Meskipun sekarang ini korea Selatan sedang naik daun banyak menggunakannya. Begitu terkenalnya, jeans mendunia sehingga hampir semua orang memiliki baju atau celana berbahan ini. Selain karena bahannya yang tahan lama atau karena jeans dapat dengan mudah dipadukan dengan beragam bahan dan model busana lainnya alasan orang-orang memilihnya karena jeans merupakan bagian dari budaya yang sering dianggap sebagai “Budaya populer”. K-pop dan jeans hanyalah contoh kecil dari sebuah bentuk budaya yang melekat dan banyak dipakai oleh sebaian besar masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang mengikuti budaya atau objek tertentu seperti contohcontoh tersebut, sering kali tidak didasari oleh keinginannya sendiri. Sebagian besar orang memilih mengikuti Sebuah Budaya hanya karena adanya tokoh-tokoh terkenal yang menganut atau berada pada budaya tersebut kembali lagi ke awal yaitu kerena budaya tersebut sedang “tren”. “Tren” adalah sebuah kata yang sering kita gunakan, tren sering kita analogikan sebagai segala sesuatu yang sedang diikuti oleh sebagian besar masyarakat yang sering kita anggap sebagai “Budaya populer”, tetapi apakah semua budaya-budaya massal yang sedang tren, lantas mampu kita golongkan sebagai “Budaya Populer”? John Fiske dalam bukunya “Memahami Budaya populer” mampu menjawab pertanyaan tersebut. John menjelaskan bahwa budaya massa dan budaya populer adalah dua hal yang berbeda. Menurutya “Budaya populer bukanlah konsumsi, hal tersebut merupakan proses-proses aktif memuncukan dan menyirkulasi pelbagai makna dan kepuasan dalam suatu sistem sosial: budaya, meskipun diindustrialisasi, tidak pernah dapat dideskripsikan secara memadai dalam kaitannya dengan jual beli komoditas” dari kutipan tersebut bisa dikatakan bahwa John ingin menyampaikan bahwa tidak semua tren bisa dikatakan sebagai budaya populer, karena budaya populer merupakan proses aktif yang terdapat penyeleksian di dalamnya. Tren hanyalah budaya rakyat atau budaya massa bersifat singkat dan sementara. “…budaya rakyat diproduksi oleh masyarakat-masyarakat industri yang kehidupannya dialami dengan cara yang rumit dan sering kali kontradiktif.” (hlm.199) Hal tersebut berarti, budaya massa atau budaya rakyat hanya memiliki kaitan dengan unsur jual beli komoditas yang ada keuntungan materi bagi pembuatnya. Dalam buku tersebut John juga menjelaskan bagaimana awal mula Westernisasi, melalui jeans-isasi, sebagai jalan lahirnya budaya populer. Budaya Populer lahir dan berkembang dari hal kecil di masyarakat contohnya “Pakaian” begitulah menurutnya budaya populer bermula, hal ini terlihat dari kutipan “Pakaian umumnya dikenakan untuk menyampaikan makna-makna sosial daripada untuk mengekspresikan emosi pribadi ataupun suasana hati”(hlm. 3). Hal menarik lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah, John tidak hanya menjelaskan bagaimana kontradiksi antara budaya massa dan budaya populer, tetapi bagaimana kontradiksi di dalam budaya populer itu sendiri. Buku ini menjelaskan bahwa budaya populer adalah salah satu jalan supaya masyarakat boleh mendapatkan hak yang sama dalam melakukan atau mengenakan sesuatu dan masyarakat melebur di dalamnya, tanpa harus membawa identitas strata sosial tertentu. Dalam hal ini Jhon mengambil contoh yaitu, semua kalangan boleh memakai jeans yang pada awalnya hanyalah pakaian petani Amerika, adanya Rock ‘N’ Wrestling yang merupakan pertandingan gulat, meskipun terdapat keganjilan sebagai tontonan televisi tetapi bisa melebur dan hidup di mayarakat. Jika dilihat dari contoh tersebut sebenarnya tidak secara telak bahwa Budaya populer memutuskan kesenjangan sosial, karena John juga mengatakan adanya diskriminasi populer. Diskriminasi populer tersebutlah yang merupakan kontradiksi dalam budaya populer itu sendiri. Diskriminasi populer dapat dapat ditentukan dari kekerasan populer, hedonisme realistis, dan materialisme skeptis. Dalam diskriminasi populer ini John juga menyinggung tentang politik populer dalam pluralisme. Pada akhirnya John seakan menjelaskan bahwa budaya populer ternyata kehilangan tujuan awalnya. Budaya populer bersifat progesif, bukan revosioner yang menolak bentuk seni radikal sehingga budaya populer pada akhirnya hanya menjangkau golongan atas karena dijadikan dasar eksistensi mereka. Jika kita sambungkan pengertian budaya populer yang disampaikan John dengan K-pop maka tidak seperti “jeans”yang merupakan bagian dari budaya populer karena telah menyatu dan melebur juga hasil seleksi yang keluar sebagai bagian penting di masyarakat, masih terlalu dini mengatakan K-pop sebagai budaya populer. John menggabungkan teori-teori menjadi sebuah penjelasan singkat tentang budaya populer. Buku ini bisa dijadikan sumber panduan dan pengetahuan bahwa hal yang dekat dengan kita, yang sering kali kita namai budaya populer bisa jadi hanya tren belaka. Jika buku ini menggunakan cara penyampaian yang lebih sederhana dan diterjemahkan dengan lebih baik, buku ini boleh jadi akan menjadi sumber bacaan populer.