Gelombang K-Pop di Indonesia dari sudut pandang ekonomi dan budaya Gelombang Hallyu atau Korean Wave didefinisikan sebagai suatu gerakan merebakanya kebudayaan Korea Selatan, dalam bidang musik maupun kesenian ke seluruh dunia. Hallyu sendiri sudah mulai merebak sejak era 2000an dan semakin mendapatkan popularitasnya di dekade 2010. Komoditi kebudayaan yang ditawarkan antara lain adalah music(K-Pop), Film dan drama televisi(K-Drama) dan K-Fashion. Gelombang Hallyu sukses memasuki pasar Dunia, termasuk Indonesia. Sebagai gambaran sudah betapa populernya K-Pop di Indonesia, Indonesia diketahui menempati perengkat ke 3 Tweet tentang K-Pop terbanyak di Dunia, berdasarkan statistik Twitter (Febriastuti, 2020). Sedangkan dari statistik Youtube dilansir BLIP, Indonesia menyumbang 9,9% total views video Youtube dengan konten K-Pop, menempati peringkat dua global (Tim WowKeren, 2019). Meninjau populernya kebudayaan Korea melalu media budaya popular, bisa dilihat melalui perspektif kebudayaan. Menurut Raymond Williams, batasan suatu budaya adalah adalah budaya sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat (Budiman, 2002). Ini berlaku bagi K-Pop dimana sekelompok masyarakat tertentu, umumnya anak muda yang lahir diatas tahun 90an dan tinggal di perkotaan, menjadikan hal hal yang berkaitan dengan Korea Selatan, khususnya kebudayaan mereka yang terpampang dari produk Hallyu sebagai kebiasaan yang terus dijalankan dari hari ke hari. Sebagai contoh mengidolakan Boyband dan Girlband umum ditemukan generasi muda saat ini,, membicarakan idola idola mereka, menonton konser dan performa idola mereka dari internet, ataupun menonton drama, meniru gaya fashion Korea dan bahkan mencoba makana makanan khas Korea. Sehingga kegiatan tersebut menjadi sutu rutinitas atau kebiasaan, hingga terbentuk menjadi suatu kebudayaan bagi yang menjalankan. Hal hal tersebut bisa juga dilihat sebagai bentuk konsumsi budaya. Hal ini berkaitan karena suatu individu ingin membentuk identitasnya tersendiri dan dapat dibangun dari pola pola gaya hidup yang berkaitan K-Pop. Merebaknya kebudayaan K-Pop di Indonesia, tidak lepas dari kencangnya arus globalisasi yang sedang terjadi. Teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dari hari ke hari, menjadi senjata utama K-Pop dapat menyebar. Gelombang Hallyu yang dapat diterima sebagian besar masyarakat di Indonesia juga karena kebudayaan korea yang masih dianggap mencerminkan kebudayaan ketimuran, sehingga ada beberapa nilai kebudayaan yang dianggap sama atau setidaknya sesuai dengan nilai nilai yang ada di Indonesia (Valentina and Istriyani, 2017). Dalam globalisasi ada kelompok yang bertahan dalam identitas asli (the self) dan ada yang ikut melebur dalam masyarakat global (the net), sehingga kelompok fans K-Pop ini menjadi kelompok yang mencari identitas di masyarakat global dan meninggalkan identitas kebudayaannya yang dianggap using (Castells, 1996). Didapatakan data dari BPS, penduduk lebih dari 250 juta dan populasi generasi millennial yang mencapai 90 juta orang, tentu Indonesia menjadi pasar empuk dari kapitalisme para produser K-Pop. Tak ayal segala yang berbau Kekoreaan akan dicari cari, Indonesia menjadi pasar yang menyenangkan untuk menjajakan produk produk korea, dari produk-produk kecantikan seperti Skincare, kemudian Album music, Merchandise. Hal ini sendiri juga dimanfaatkan bagi pelaku industri di Indonesia, sebagai contoh para promotor acara yang membawa para musisi Korea untuk konser, ataupun membawa aktris dan actor Korea sebagai bintang iklan mereka. Perilaku konsumtif dari para fans K-Pop ini menjadi tujuan yang harus dicapai para pelaku kapitalisme KPop, fans menganggapnya loyalitas dan disaat yang bersamaan loyalitas merupakan salah satu aset terpenting bagi para agensi dan produser. Disinilah eksploitasi atas loyalitas dan kecintaan terjadi. sebagai contoh agensi agensi idola K-Pop berlomba lomba mengeluarkan album fisik dan menjual dengan berbagai versi dan bonus yang berbeda, sehingga para fansnya berusaha mengoleksi berbagai jenis album. Hal ini dikuatkan dari pernyataan petinggi agensi JYP, Park Jin Young yang menyatakan bahwa untuk mengukur suatu kesuksesan dalam berindustri di bidang musik K-Pop adalah dari segi penjualan album fisik.meski begitu fans sama sekali tidak mepermasalhkan eksploitasi tersebut, terlepas mereka sadar atau tidak (Veronica and Paramita, 2019). Hal ini karena mereka menganggap dengan loyalitas tersebut mereka sudah mendapatkan identitasnya tersendiri dan merasa hal tersebut sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap idolanya. Di era globalisasi seperti ini, mustahil rasanya untuk menolak gempuran produk produk kapitalisme, termasuk produk kapitalisme melalui bentuk kesenian dan kebudayaan suatu Negara tertentu. Produk ini menawarkan suatu “identitas” yang dirasakan oleh konsumennya dengan cara memakai, menonton ataupun mendengarkan produk tersebut dan ini sangat berhasil di kelompok usia remaja yang sedang dalam tahap mencari jati diri. Sumber: Budiman, H. (2002) Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Castells, M. (1996) The Rise of the Network Society. Massachussetts: Blackwell Publishers Ltd. Febriastuti, S. (2020) Indonesia Masuk Daftar Jumlah Fans K-Pop Terbanyak di Dunia, Fandom Mana Aja Nih?, minews.id. Available at: https://www.minews.id/gaya-hidup/indonesia-masukdaftar-jumlah-fans-k-pop-terbanyak-di-dunia-fandom-mana-aja-nih#:~:text=Dirilis pula prup KPop,(3%2C5 juta). Tim WowKeren (2019) Inilah 10 Negara Dengan K-Pop Stan Terbesar Tahun 2019 Berdasarkan Data YouTube, Ada Indonesia?, wowkeren.com. Available at: https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00269788.html. Valentina, A. and Istriyani, R. (2017) ‘Gelombang Globalisasi ala Korea Selatan’, Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(2), p. 71. doi: 10.22146/jps.v2i2.30017. Veronica, M. and Paramita, S. (2019) ‘Eksploitasi Loyalitas Penggemar Dalam Pembelian Album K-Pop’, Koneksi, 2(2), p. 433. doi: 10.24912/kn.v2i2.3920.