Pengantar Ilmu Komunikasi “Informasi, Pesan, dan Makna” INFORMASI, PESAN, dan MAKNA PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari sering kali orang menggunakan kata informasi. Surat kabar, majalah, radio, televisi, dan juga orang lain sering disebut sebagai “sumber informasi”. Mungkin karena itu, ketika seseorang ditanya mengenai manfaat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, atau bercakap-cakap dengan orang lain, dengan mudah mereka menjawab “untuk menambah informasi”. Seseorang yang mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya, sebut saja Pak Forman, ia sering pula dijuluki “sumber informasi”, dan banyak orang yang datang kepadanya untuk “mencari atau meminta informasi”. Tentu saja keberadaan Pak Forman menjadi penting karena dianggap mempunyai “banyak informasi”, meskipun sekali waktu ia mengaku hanya mempunyai “sedikit informasi” atau lain kali ia menjawab “tidak mempunyai informasi sama sekali”. Pada saat yang lain, orang yang datang kepada Pak Forman mungkin menyebut informasi yang diterimanya sebagai “informasi yang sudah basi” karena informasi yang diberikan Pak Forman itu sudah lama beredar di masyarakat, sedangkan yang dibutuhkan adalah “informasi baru” atau “informasi yang masih hangat”. Untuk mendapatkan sebuah informasi, tak jarang orang berani membeli informasi, sekalipun dengan harga yang mahal. Informasi menjadi barang dagangan. Kalau memang hanya bermaksud menambah informasi, bukankah orang yang berlangganan surat kabar atau majalah, itu berarti membeli informasi. Jika isi surat kabar atau majalah semuanya dianggap informasi, tiada lain yang dilakukan oleh para pembuat surat kabar atau majalah adalah menjual informasi. Jika informasi bisa dicari, bisa diminta, bisa berkurang, bisa bertambah, dan dapat diperjualbelikan, lalu apakah informasi itu?. Bagaimana bentuk informasi itu?. Apakah informasi sama dengan berita-berita yang disajikan dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi?. Apakah informasi harus disampaikan melalui tulisan saja, ataukah dapat pula melalui kata-kata dan bahasa isyarat?. Hanya melalui media massa sajakah, atau bisa melalui segala macam media massa?. Apakah yang diambil orang informasi tersebut?. Apa pesan atau makna yang dikandungnya?. Jika yang diambil pengertiannya, lantas apakah makna itu?. Apakah pesan itu?. Itulah serentetan pertanyaan yang hendak kami jawab pada modul ini. Pertama, kami akan membahas pengertian-pengertian informasi, pesan, dan makna. Karena penyampaian informasi, pesan, dan makna erat kaitannya dengan pemakaian bahasa, baik verbal maupun nonverbal, pada modul ini pula akan dikupas peranan bahasa dalam komunikasi. Konsep dan Teori Informasi A. Pandangan Tentang Informasi Kendati pun semua orang setuju bahwa informasi merupakan unsur dasar dalam komunikasi, tidak seluruhnya sepakat mengenai pengertian informasi itu sendiri. ada yang mengaitkannya dengan hal-hal yang baru, misalnya seseorang yang membaca beritaberita di surat kabar atau majalah. Ada pula yang menyamakan dengan ilmu pengetahuan, misalnya informasi yang dikandung dalam sebuah buku ilmiah. Ada yang mengidentikkan dengan data dan angka-angka hasil penelitian. Bahkan ada pula yang menyebut isu yang tidak diketahui kebenarannya sebagai informasi. Untuk memperjelas pemahaman mengenai konsep informasi, Fisher (1986) mengelompokkan berbagai pandangan mengenai konsep informasi ke dalam tiga buah variasi, yaitu : Pertama, penggunaan istilah informasi untuk menunjukkan fakta atau data yang dapat diperoleh selama tindakan komunikasi berlangsung. Manakala kita berbincangbincang dengan lawan bicara kita, pada saat membaca surat kaba, majalah, buku, selebaran, spanduk, papan reklame atau pada saat kita mendengarkan radio atau menonton televisi, ketika itulah sejumlah data dan fakta kita serap dan kita simpan dalam ingatan. Pengumpulan data dan fakta seperti yang dilakukan wartawan dalam menghimpun keterangan dan penjelasan dari sumber peristiwa berita, atau seorang detektif mengumpulkan bukti tentang kejahatan, adalah contoh-contoh lainnya tentang pencarian informasi. Dalam pandangan yang pertama ini, informasi dikonseptualisasikan sebagai kuantitas fisik yang dapat dipindahkan dari satu titik ke titik lain, dari suatu medium ke medium lain, dari satu orang ke orang lain. Dengan demikian informasi identik dengan wujud material yang dapat dikirimkan dan diterima melalui berbagai saluran, baik melalui media massa seperti surat kabar, radio dan televisi, media komunikasi lainnya seperti telepon, faksimile, surat, telegram, kartu, gambar, buku maupun komunikasi tatap muka, dan bahasa isyarat. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, kuantitas informasi dapat “dihitung”, dalam arti semakin banyak usaha seseorang mengumpulkan data dan fakta, makin banyak informasi yang dimilikinya. Pelajar dan mahasiswa yang rajin mengikuti perkembangan berbagai informasi melalui segala bentuk media komunikasi, tentu akan mempunyai lebih banyak informasi dibandingkan dengan pelajar atau mahasiswa yang tidak mempunyai minat mengetahui perkembangan yang terjadi disekitarnya. Kedua, penggunaan informasi untuk menunjukkan makna data. Jadi, menurut pandangan ini, informasi berbeda dari data. Informasi adalah arti, maksud dan makna yang dikandung data. Dalam hal ini peran seseorang untuk memberikan maksud pada data memegang posisi yang sangat penting. Suatu data baru dikatakan mempunyai nilai informasi jika dianggap memiliki arti oleh penafsirnya. Misalnya, ketika Anda memasuki gunung, lalu menemui tanda panah putih di suatu tempat. Pada tempat yang lain, tanda panah itu ditulis secara ganda. Bagi Anda yang naik gunung secara bebas, tanda panah itu mungkin ditafsirkan sebagai petunjuk jalan saja. Tetapi bagi rekan Anda yang mendaki dengan mengikuti tanda-tanda, boleh jadi tanda panah satu artinya jalan biasa, sedangkan dua tanda panah maksudnya berlari. Perbedaan kemampuan memberikan makna juga bisa membuat orang hanya memperoleh banyak data, tetapi sedikit informasi. Sebagai contoh, misalkan Anda membaca sebuah tulisan dalam bahasa asing yang belum anda kuasai dengan baik. Di sana Anda akan memperoleh banyak data, tetapi belum tentu memperoleh informasi yang banyak. Kenapa? Karena mungkin kata atau ungkapan dalam tulisan itu yang kurang Anda pahami dengan sempurna. Coba, jika tulisan itu disusun dalam bahasa yang anda kuasai dengan baik, tentunya akan banyak informasi yang akan anda dapatkan, bahkan boleh jadi lebih dari sekedar yang disajikan melalui tulisan itu karena mungkin Anda mampu mengembangkan lebih jauh makna data yang ada dan menghubungkannya dengan makna data yang pernah Anda peroleh sebelumnya di tempat lain. Oleh karena konsep informasi yang satu ini berkaitan dengan soal penafsiran, akan bisa jadi makna suatu data dapat berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Umumnya masalah penafsiran erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan seseorang dengan objek yang hendak ditafsirkannya. Semakin banyak pengetahuan seseorang terhadap sesuatu objek, semakin besar kemungkinannya memperoleh informasi dari objek (data) tersebut. Bagi yang tidak mengerti statistik, tabel-tabel angka dalam sebuah buku mungkin hany dianggap sebagai penghias halaman dan memusingkan. Tetapi bagi ahli statistik, tabel itu mengandung banyak sekali informasi, bahkan termasuk informasi yang belum ditulis dalam bentuk kalimat-kalimat di dalam buku tersebut. Latar belakang disiplin ilmu seseorang juga turut andil dalam pemberian makna. Umpamanya makna air. Bagi ahli biologi atau pertanian, air merupakan zat yang sangat diperlukan oleh setiap makhluk hidup. Sedangkan bagi ahli kimia, air berarti senyawa H2O, dan bagi penduduk yang sering terkena banjir, bisa jadi air diartikan sebagai ancaman yang membahayakan. Pemahaman akan makna atau arti data juga berkaitan dengan nilai budaya. Dalam khasanah budaya Indonesia banyak sekali perbedaan makna akibat faktor budaya ini. Misalnya kata “cokot” dalam bahasa Sunda artinya ambil, tetapi dalam bahasa Jawa artinya gigit. Dalam hubungan antarbangsa, hal demikian juga banyak ditemukan. Contoh, acungan jempol bagi kebanyakan bangsa artinya baik atau bagus, tetapi hati-hati Anda jangan mengacungkan jempol kepda orang India, kemungkinan Anda dikira menantang berkelahi. Mengenai kaitan makna dan data ini, lebih lanjut dapat Anda baca pada bagian pembahasan tentang konsep makna. Ketiga, istilah informasi menurut teori informasi, yang menganggap informasi sebagai jumlah ketidakpastian yang dapat diukur dengan cara mereduksikan sejumlah alternatif pilihan yang tersedia. Menurut teori ini, informasi berkaitan erat dengan situasi yang tidak pasti. Semakin tidak pasti suatu situasi, dan semakin banyak pula alternatif pilihan (baca: informasi) yang dapat digunakan secara berturut-turut dan bertumpang tindih (reduktif) untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Dengan kata lain, informasi adalah sesuatu yang mengurangi ketidakpastian. Untuk mengurangi ketidakpastian, dibutuhkan paling sedikit dua alternatif pilihan informasi, sebab jika hanya satu informasi namanya sudah pasti. Karena itu menurut teori ini, informasi bersifat memilih (selektif). Contoh sederhana, Anda sedang bermain dengan mata uang logam, Anda ingin mengetahui apakah hasil setiap lemparan selalu menunjukkan gambar? Anda dalam situasi yang tidak pasti, sebab boleh jadi yang selalu muncul adalah angka. Tanda “gambar” dan “angka” tidak lain adalah alternatif pilihan untuk mengurangi ketidakpastian Anda, karena setiap muncul salah satu alternatif berarti ketidakpastian Anda sudah berkurang (hilang). Contoh lain, sewaktu Anda berjalan-jalan di taman, Anda menemukan sebuah dompet berwarna cokelat, bermotif bunga melati, bermerek “Wang”, dan berisi uang. Sebagai orang yang jujur Anda bermaksud mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya. Tetapi Anda tidak menemukan keterangan apa pun di sana, kecuali sebuah pas foto yang diperkirakan adalah pemilik dari dompet tersebut. Dalam kasusu ini sejumlah informasi telah Anda miliki, yakni berupa ciri-ciri dompet dan pas foto. Semua informasi yang Anda miliki dapat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian Anda mengenai pamilik dompet tersebut.jika ada seseorang yang mengaku sebagai pemilik dompet datang kepada Anda, dan sebagai orang yang suka berhati-hati tentu Anda akan menyesuaikan informasi yang Anda miliki dengan keterangan yang disampaikan orang itu. Pada saat menyesuaikan sejumlah informasi yang Anda miliki, Anda reduksi hingga mencapai kepastian siapa pemilik dompet tersebut. B. Teori Informasi Mengapa teori informasi memandang informasi sebagai ukuran kebebasan kita memilih alternatif guna mengurangi ketidakpastian?. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menelusuri asal mula timbulnya teori informasi. Teori informasi muncul setelah Claude Shannon dan Werren Weaver membuat model yang dipublikasikan pada tahun 1949 melalui bukunya yang berjudul The Mathematical Theory of Communication. Model yang dibuat mereka terkenal dengan nama model Shannon-Weaver. Tentu Anda masih ingat dengan model tersebut. Salah satu ciri khas model ShannonWeaver adalah adanya unsur noise. Adanya faktor gangguan (noise) pada komunikasi, memungkinkan lahirnya entrophy, situasi yang tidak pasti atau tidak teratur. Entrophy inilah yang kemudian melahirkan konsep informasi. Menurut teori informasi, pengertian informasi sangat dekat dengan entrophy dalam ilmu pasti, yaitu ukuran tingkat “keacakan” (Severin-Tankard, 1982). Oleh sebab itulah, informasi menurut teori informasi adalah jumlah ketidakpastian yang dapat diukur dengan mengurangkannya melalui pemakaian sejumlah alternatif pilihan yang tersedia. Mengapa Severin-Tarkand menyinggung ilmu pasti? Karena kelahiran teori informasi memang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pencetusnya. ShannonWeaver adalah dua ahli matematika dan bekerja di laboraturium Telepon Bell. Pada awal pembentukannya, teori informasi ini dipakai secara sistematis. Setiap penggunaan alternatif pilihan guna mengurangi ketidakpastian dihitung dengan angka-angka yang rumit. Dari segi matematis ini, informasi diukur dengan satuan pokok informasi yang disebut binary digit, yang populer disingkat bit. Pemakaian satu bit informasi setara dengan pengurangan 5% dari keseluruhan alternatif yang tersedia. Misalnya, Anda diminta menebak dengan menjawab ya atau tidak, kedua alternatif menjawab tersebut bernilai satu bit. Sehingga bila misalnya Anda menjawab tidak, berarti alternatif yang tersedia telah berkurang sebanyak 50%. Demikianlah awal mula penerapan teori informasi, bersifat teknik sekali. Dalam perkembangan selanjutnya, teori informasi lebih mengacu pada soal komunikasi antarmanusia. Oleh karena itu, pengertian konsep-konsepnya juga bergeser, terutama konsep entrophy dan noise. Jika pada awalnya entrophy dikaitkan dengan ketidakpastian yang diakibatkan oleh noise terhadap mesin, maka sekarang kedua konsep itu dihubungkan dengan tersedia atau tidaknya sejumlah alternatif pilihan guna mengurangi ketidakpastian tersebut. Perkembangan lebih lanjut adalah diberlakukannya ciri informasi yang harus bersifat memilih (selektif), karena jika tidak ada alternatif atau hanya satu alternatif, berarti semuanya mengacu pada situasi yang tidak pasti. C. Sifat Informasi: Ketidakpastian Dan Memilih Seperti yang telah disebutkan, salah satu ciri khas model Shannon-Weaver adalah adanya komponen noise menurut model ini, sumber noise ketika kita berkomunikasi itu bermacam-macam, bisa terjadi pada pembicaraan, saluran, situasi maupun pesan. Pada pembicara (sumber), mungkin tidak jelas siapa yang berbicara sehingga si penerima bertanya-tanya. Pada saluran, kemungkinan adanya kerusakan pada kabel telepon, gelombang radio, gambar televisi, atau cetakan huruf yang kurang jelas. Pada situasi, mungkin adanya suara berisik ketika pesan diterima. Pada pesan kemungkinan terikutsertakannya tambahan pesan yang tidak mendukung pkok pembicaraan. Suatu hal yang dapat dirasakan, jika kita sedang berkomunikasi lalu muncul gangguan seperti komunkasi kita menjadi kurang lancar, pesan yang diterima tidak jelas. Ketidakjelasan inilah yang menimbulkan tanda tanya mengenai pesan yang kita terima, kita menjadi merasa serba tidak pasti. Dalam keadaan tidak pasti itu kita hanya mendugaduga, dan sejumlah alternatif jawaban pun kita susun. Dengan kata lain, faktor noise dapat menimbulkan ketidakpastian, sedangkan ketidakpastian mendorong tersediannya alternatif pilihan, yang tiada lain adalah informasi itu sendiri. Jadi, sesuai dengan teori informasi, makin banyak ganguan makin besar ketidakpastian dan makin melimpah informasi. Sebaliknya kita dapat merasakan suatu pesan yang disusun secara baik, dikirimkan dalam suatu situasi yang tanpa gangguan, ketidakpastian pun menjadi tidak ada atau menjadi serba pasti. Dalam keadaan demikian, informasi juga tidak ada, misalnya ketika Anda dipersilakan boleh datang dan boleh tidak, Anda punya pilihan untuk mengurangi ketidakpastian yang ada pada diri Anda, tetapi jika Anda diminta secara tegas harus datang, Anda hanya punya satu pilihan, yaitu harus datang (kecuali Anda membantah atau Tuhan menghendaki lain), dan itu berarti semuanya telah serba pasti. Jadi, faktor gangguan (noise) telah melahirkan sifat-sifat informasi: ketidakpastian dan memilih. Ini logis saja. Jika banyak gangguan, timbul ketidakpastian maka lahir sejumlah pilihan. Jika tidak ada gangguan, keadaan pun menjadi serba pasti, alternatif pilihan juga tidak ada. Hanya perlu ditegaskan bahwa dalam hal alternatif, seseorang tidak bertindak secara serampangan, melainkan dengan cara tertentu untuk mengurangi jumlah alternatif yang tersedia sampai mendapatkan alternatif yang benar-benar dapat menghilangkan ketidakpastian. Umpamanya, Anda sedang tidak enak badan. Mungkin Anda bertanya, penyakit apa yang menyerang. flu, stress, atau kelelahan. Dalam contoh ini Anda telah mengurut-urutkan informasi yang Anda miliki (dalam ingatan Anda secara cepat) sampai pada alternatif yang benar-benar menghilangkan ketidakpastian, dalam hal ini alternatif terserang flu. Dalam memilih alternatif tersebut, pengalaman masa lalu, motif, nilai, kebutuhan, dan tujuan masing-masing individu ikut menentukan pilihan (Schramm dan Kincaid, 1987). Sedangkan jika berbicara latar belakang, maka setiap orang mempunyai pengalaman, motif, nilai, kebutuhan, tujuan yang relatif berbeda antara satu individu dengan individu yang lainnya. Dalam contoh Anda terserang flu, itu buktinya adanya pengalaman masa lalu (pengetahuan) yang Anda miliki tentang gejala flu sehingga Anda menjatuhkan pilihan padanya. Jika kita melanjutkan contoh mengenai flu ini, kalau memang Anda terserang flu, Anda harus meminum tablet obat flu. Di sini latar belakang kebutuhan yang berbicara. Tetapi merek apa? Karena banyak ragam obat flu yang beredar, menurut iklannya semua mengaku pcepat menyembuhkan flu. Anda dalam keadaan tidak pasti, obat flu mana yang harus diminum. Jadi, ketidakpastian baru menyusul timbul setelah Anda merasa pasti bahwa Anda terserang flu. Untuk cepat menyembuhkan flu yang Anda derita, Anda memutuskan untuk meminum tablet bermerek “manjur” misalnya, karena merek tersebut Anda anggap mempunyai khasiat mujarab. Penilaian Anda yang positif terhadap obat tersebut menyebabkan Anda memilih obat tersebut sebagai alternatif yang benar-benar mengurangi ketidakpastian Anda. Tentu saja, Anda meminum obat merek tersebut karena Anda mempunyai motivasi dan tujuan ingin lekas sembuh. D. Mengatasi Ketidakpastian Dengan “REDUDANCY” Tentunya Anda tidak merasa nyaman kalau selalu berada dalam ketidakpastian (entrophy). Dengan demikian dibutuhkan cara untuk mengatasinya. Shannon-Weaver mengeluarkan konsep redudancy sebagai lawan dari entrophy. Redudancy artinya pengulangan, baik dengan kata yang sama ataupun kata yang artinya sama, dengan tujuan agar pesan yang dikirimkan dipahami maksudnya oleh komunikan. Misalnya, di tengahtengah hiruk pikuknya pesta yang ditingkahi pula oleh berisiknya suara musik, Anda bermaksud meminta secangkir teh hangat pada pelayan yang berdiri agak jauh dari Anda. Ditambah dengan perhatian si pelayan yang lebih terpusat pada alunan lagu, suasana ramai itu membuat permintaan Anda akan secangkir teh hangat dibalas dengan pertanyaan: Angkat? Agar permintaan anda terkabul, mungkin Anda mengulangi kata hangat itu, atau menggantinya dengan kata panas. Itulah redundancy. Ketidakpastian (entrophy) juga dapat diatasi dengan menambah tenaga (power) penyampaian pesan. Dalam contoh di atas, Anda dapat menambah tenaga (power) dengan memperkeras volume suara Anda, misalnya dengan cara berteriak. Tenaga (power) dapat pula diperoleh dengan cara memberi pesan tambahan pada pesan utama. Umpamanya, sambil menyebut teh hangat, Anda memperagakan orang minum dan menggerakgerakkan tangan agar pelayan menghampiri Anda. Selain itu, tenaga tambahan juga dapat diperoleh dengan cara memberikan pesan secara langsung ke pesan utama, dan dikirimkan secara jelas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (seolah-olah) mengeja katakata pesan, misalnya teh hangat. E. Jenis dan Kualitas Informasi Dari fungsi informasi untuk mengurangi ketidakpastian, secara tersirat dapat dilihat bahwa informasi sangat penting dalam proses pengambilan keputusan. Bukankah dalam ketidakpastian berarti tiada atau belum adanya keputusan? Adapun sebuah keputusan dapat menimbulkan ketidakpastian baru, itu akan menuntut diambilnya keputusan lain, begitu seterusnya hingga diperoleh keputusan yang benar-benar mengurangi (menghilangkan) ketidakpastian. Jika demikian, jenis informasi apa yang kita butuhkan untuk mengurangi ketidakpastian? Jawabannya kembali ke tingkat ketidakpastian itu sendiri. Ada tiga bentuk ketidakpastian, yaitu : 1) Tidak pasti kepada objek tertentu (nama benda, musim, masa) atau lingkungan sekitar lainnya. Misalnya, ketika melihat sebuah jejak kaki di tanah lumpur, kita mendugaduga jejak kaki apa itu? Jejak kaki manusia atau binatang? Jika binatang, jenis binatang apa? Ketidakpastian di sini sebatas sadar tahu (awareness). 2) Ketidakpastian pada hubungan antara satu alternatif pilihan dengan alternatif lainnya. Dalam kasus jejak kaki itu, misalnya telah menetapkan bahwa jejak itu adalah jejak orang yang berlari dan terjadi tadi malam. Kita juga mengambil kesimpulan bahwa jejak itu adalah jejak orang asing, sebab tak mungkin warga kampung lewat melalui jalan berlumpur itu, mereka sudah kenal betul medan kampungnya sendiri. 3) Ketidakpastian pada penilaian, baik nilai objek maupun nilai hubungan. Jika kita sudah menyimpulkan bahwa jejak kaki itu adalah jejak kaki orang asing, lalu mengapa ia melewati jalan itu? Penilaian pun timbul, disimpulkan bahwa kemungkinan besar ada orang yang bermaksud jahat (penilaian negatif) kepada warga kampong. Tiga jenis informasi yang terdapat dalam contoh tersebut merupakan rangkaian informasi dari sebuah peristiwa. Akan tetapi masing-masing jenis dapat berdiri sendiri. Siulan seseorang, berarti menunjuk ada seseorang yang sedang bergembira (bentuk informasi objek dan lingkungannya), teriakan awas mengingatkan adanya bahaya yang mengacam (bentuk informasi hubungan), pernyataan bersedia dari seseorang, berarti seseorang itu menilai positif sebuah ajakan atau perintah (bentuk informasi menilai). Terutama dalam bentuk menilai, setiap orang cenderung mempunyai informasi yang berbeda-beda, tergantung si individu menafsirkan pesan yang diterimanya. Bagi konglomerat, apalah artinya uang sebesar satu juta rupiah (bernilai rendah). Tapi untuk si miskin uang sebesar itu menjadi dambaan (bernilai tinggi), karena dalam benak si miskin sudah tersedia sejumlah alternatif pilihan, misalnya berangan-angan menjadikannya sebagai uang muka kredit rumah sederhana. Disamping dilihat dari jenisnya, kebutuhan seseorang akan informasi juga ditinjau dari segi kualitasnya. Tinggi rendahnya kualitas informasi dapat dilihat dari tingkat kegunaannya (usefull), nilainya (valuable), faktualitasnya (factual), keterandalannya (reliable), ketepatannya (precision), dan kebenarannya (truth). Tentu saja makin tinggi tingkat masing-masing ciri tersebut, makin tinggi kualitas informasi. Ciri-ciri kualitas ini bisa terdapat dalam serangkaian informasi, misalnya dalam pidato atau ceramah, maupun melekat pada satu objek atau peristiwa. Hal yang disebut terakhir ini contohnya informasi mengenai alat kontrasepsi. Dari berbagai macam jenis alat, Nyonya Banna memutuskan untuk menggunakan pil KB. Sepengetahuannya, pil KB mempunyai tingkat kegunaan (usefull) yang lebih besar dari pada alat-alat yang lain, sehingga nilai positif (valuable) pada kontrasepsi pil. Fakta-fakta (factual) yang lebih menunjukan keberhasilan pemakian pil sehingga dapat diandalkan (reliable) karena dosis obatnya juga tepat (precise). Sebab itu bagi Nyonya Banna informasi mengenai pil KB dapat dipercaya karena dinilai mengandung banyak kebenaran (true). Hanya perlu diingat, seperti telah kita singgung, oleh karena informasi berkaitan dengan proses kemaknaan yang dapat berbeda dari satu orang ke orang lain, maka tingkat kualitas informasi pun bisa berbeda untuk masing-masing individu. Akan tetapi keenam ciri itu akan selalu melekat pada setiap pilihan informasi, hanya tingkatannya berbeda. Seperti dalam kasus nyonya Banna, mungkin pilihan informasi pil tak memenuhi kebutuhan Nyonya Tina. Bagi Nyonya Tina boleh jadi yang lebih memenuhi pilihannya adalah informasi mengenai alat kontrasepsi jenis suntikan. Pesan dan Makna: Antara Wadah dan Isi Dari uraian pada bagian sebelumnya, secara implisit tampak bahwa pembahasan informasi tidak dilepaskan dari pembicaraan mengenai makna. Data, makna, kata dan isyarat bukanlah informasi jika tidak diberi makna oleh orang-orang yang mengindrainya. Jadi, informasi tiada lain adalah makna dari simbol-simbol komunikasi, sedangkan jika kita ingat, baik dalam model Shannon-Weaver maupun dalam model-model lainnya, yang tiada lain data, makna, kata, simbol dan isyarat. Dengan kata lain, informasi adalah makna pesan. Dikatakan bahwa makna, kata dan isyarat tidak mengandung informasi jika tidak ditafsirkan oleh penerimanya, maka dapatlah dikemukakan bahwa tidaklah mempunyai arti apa pun jika tidak diberi makna oleh komunikasi. Sebaliknya pesanlah yang mengandung makna apabila pesan tersebut ditafsirkan. Maka dengan rumusan sederhana, dapat kita katakan bahwa hubungan pesan dan makna ibarat wadah dengan isinya. Seperti sebuah wadah kosong, suatu istilah dapat diisi (diberi makna) apa pun menurut selera pemakainya. Hanya perlu diingat, tentu suatu istilah tidak dapat diberi makna seenaknya oleh si pemakainya, karena kita mengenal makna yang disepakati umum. Misalnya kata makan tentu saja maknanya berbeda dengan kata minum. Demikian pula halnya setiap wadah (secara fisik) tidak dapat diisi secara sembarangan, melainkan diisi dengan hal-hal yang pantas mengisinya. Kecuali terjadi situasi khusus dan situasi itu menyebabkan patut, maka gelas selalu diisi air, piring diisi nasi, dan sebagainya. Dari pengertian pesan tersebut, dapat pula diketahui bahwa wujud (bentu) informasi adalah berupa pesan-pesan yang dikirimkan dan tentu diterima baik dalam bentuk kata, simbol, atau isyarat. Tentu saja baru bisa disebut informasi jika diberi makna. Maka, jika Anda menemukan stiker bertuliskan “Belajar Pangkal pandai”, itu adalah pesan. Makna atau informasi yang Anda peroleh dari kalimat tersebut antara lain perlunya rajin belajar bila ingin pandai. Belajar itu sendiri dapat berarti membaca, membuat ringkasan, mencari contoh, mengerjakan soal latihan, dan membandingkan dengan sumber-sumber lainnya. Jika ada seseorang berteriak, “Tolooong .….” pesan ini bermakna adanya orang yang terkena musibah dan butuh bantuan. “Lampu merah menyala” adalah pesan. Maknanya, kendaraan harus berhenti. Jika ada seseorang yang mengedipkan sebelah matanya kepada Anda, itu isyarat yang artinya orang itu ingin dekat dengan Anda. Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui, bahwa pesan tidak selalu berbentuk katakata (pesan verbal) seperti kita titip pesan secara lisan ke tetangga sebelah rumah atau titip pesan melalui telepon, melainkan pesan juga bisa berupa simbol dan isyarat (pesan non verbal). Mengenai hal ini akan kita bahas lebih lanjut pada saat kita mengupas tentang peran bahasa dalam komunikasi. Yang perlu disadari adalah suatu pesan bisa mempunyai makna yang berbeda dari satu individu lain, karena makna pesan berkaitan erat dengan masalah penafsiran yang menerimanya. Mendung di langit merupakan pesan yang senangtiasa menggembirakan bagi petani yang hendak memasuki musim tanam, tetapi bagi pegawai kantor kesan tersebut boleh jadi merupakan pesan yang membebani karena berarti harus menyiapkan alat bantu yang agak ekstra, misalnya payung, jas hujan. Dalam kehidupan sosial, rupanya masih ada anggapan banyak anak banyak rezeki, sementara pandangan lainnya melihat banyak anak itu membebani. Yang menjadi pertanyaan, mengapa terjadi perbedaan pemberian makna? Ini akan dijelaskan pada pasal makna. Tetapi sebelumnya perlu ditambahkan bahwa terdapat pandangan yang mengatakan, media adalah pesan (medium is message). Jadi, media sendiri adalah pesan. Misalnya, kemana pun Anda pergi, Anda selalu membawa buku-buku tebal, majalah berbahasa asing, dan surat kabar hari itu, maka semua media tersebut menunjukkan (bermakna) bahwa Anda ingin tampil sebagai sosok pelajar (intelek). Jika Anda selalu tampil rapi dengan memakai merek baju-baju terkenal, itu maknanya Anda ingin masuk pada kalangan masyarakat kelas atas. A. Makna Tentang Makna Apa makna dari istilah makna? Studi tentang makna bukanlah khas disiplin komunikasi, tetapi jika kita membicarakan komunikasi, kita harus membahas makna. Persoalan makna kelak menarik perhatian para filsuf, ahli bahasa, psikologi, sosiologi, dan antropologi, sejak 2000 tahun yang lalu. Sayangnya, setiap usaha untuk memberikan jawaban apa arti makna secara langsung telah gagal (Fisher, 1986). Upaya untuk menjelaskan makna misalnya terlihat dari diterbitkannya dua buku Meaning of Meaning dan Understanding-Understanding, tetapi isinya menurut Fisher lebih sedikit dari apa yang ditawarkan judulnya. Uraian panjang lebar yang diberikan lebih sering membingungkan daripada menjelaskan. Masalah makna memang persoalan yang pelik. Untunglah Brodback (1963) seperti dikutip Fisher membantu merumuskan tiga macam makna. Pertama, makna referensial, yakni makna suatu istilah mengenai objek, pikiran, ideal, atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu. Makna itu lahir dari pikiran seseorang ketika suatu istilah menunjuk pada suatu objek. Misalnya istilah “kendaraan” merujuk pada mobil, motor, sepeda, bahkan kuda, artinya sesuatu yang dapat ditumpangi dan membawa penumpangnya pada jarak tertentu. Istilah “baik” mengacu kepada penilaian (pikiran) seseorang mengenai suatu hal, “keadilan” adalah istilah untuk sebuah konsep mengenai kesesuaian antara sebab dan akibat. Kedua, makna yang menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain. Misalnya, istilah Phlogiston yang dicontohkan Fisher. Kata itu dulu digunakan untuk menjelaskan proses pembakaran. Suatu benda bisa terbakar jika ada Phlogiston. Tetapi sejak ditemukannya istilah oksigen, Phlogiston tidak digunakan lagi untuk menjelaskan proses pembakaran. Istilah perang dingin kini tidak dipakai lagi setelah blok timur runtuh. Banyak istilah menjadi tidak berarti lagi setelah ditemukan kesalahan pada konsep yang lama. Ketiga, makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada apa yang dimaksudkan oleh si pemakai dengan arti lambang itu. Makna inilah yang melahirkan makna individual, dari segi ini maka tak akan ada dua buah makna yang dimaksudkan identik, walaupun makna-makna itu boleh saja sangat mirip. Ini merupakan makna yang disebabkan oleh tindakan mental individu tanpa dipengaruhi orang lain. Anda boleh menyebut jeruk Garut itu manis, mungkin manis yang dimaksud tanpa campuran asam, tetapi untuk kawan Anda boleh jadi yang diartikan manis mengandung sedikit rasa pahit. Manis bagi Anda adalah khas dari Anda, begitu pula dengan kawan Anda, maka janganlah Anda langsung menafsirkan demokrasi menurut barat sama maknanya dengan demokrasi di tempat lain. Masing-masing mempunyai pengalaman yang khas dengan istilah itu, sehingga makna yang muncul pun berbeda-beda pula. B. Teori Makna Dari tiga corak makna tersebut, yang menarik adalah proses terjadinya pemaknaan. Kapankah makna itu muncul? Fiske (1980) menyatakan makna muncul ketika sebuah sign yang mengacu pada suatu objek, dipakai oleh pengguna sign, saat itulah terjadi proses pembentukkan makna di dalam benak si pemakai. Yang dimaksud sign di sini dapat berupa kata, tulisan, simbol maupun isyarat. Sedangkan objek bisa mengacu pada benda, ide atau konsep. Beberapa ahli merumuskan ketiga hubungan antara sign, objek dan pemakai itu dalam hubungan segitiga. Maka teori segitiga makna (triangle meaning theory) pun dibuat untuk menjelaskan proses terjadinya makna. Salah seorang ahli yang menyusun teori segitiga makna adalah Chales S. Pierce. Menurut Pierce, sebuah sign yang mengacu kepada sesuatu di luar dirinya, yaitu objek akan mempunyai pengaruh pada pikiran pemakainya karena adanya hubungan timbal balik antara ketiga elemen tersebut. Hasil hubungan timbal balik itulah yang menghasilkan makna suatu objek, dan dilambangkan oleh pemakainya dengan suatu symbol, antara lain kata-kata, gambar atau isyarat. Misalnya, Anda mendengar orang menyebut kata permata. Di dalam benak Anda terpikirkan bahwa permata adalah batu mulia untuk perhiasan yang mahal harganya. Kata “permata” adalah sign (simbol), batu permata adalah objek rujukan, sedangkan sebagai pemakainya adalah Anda sendiri. Makna yang muncul dari ketiga hubungan elemen tersebut adalah kesimpulan Anda yang menyebut permata adalah batu mulia untuk perhiasan yang mahal harganya. Pikiran atau Referensi Simbol Objek Sasaran Teori segitiga makna juga dikembangkan oleh Ogden dan I.A. Richard, yang menyatakan bahwa makna muncul tatkala suatu simbol yang mengacu pada suatu objek mengenai pikiran seseorang. Sebetulnya mekanisme berpikirnya sama dengan Pierce. Bedanya hanya terletak pada hubungan antara objek dengan simbol. Menurut model Ogden dan Richard, hubungan antara simbol dan objek bersifat tidak langsung karena simbol hanya mewakili objek, tanpa objek itu harus hadir. Jadi, ketika kita menyebut istulah “hutan”, objek hutan yang dirujuk oleh istilah itu tidak selalu hadir di depan mata pemakai istilah itu. Dari beberapa studi tentang makna dan teori makna, kemudian Littlejhon menyimpulkan bahwa makna itu mempunyai tiga dimensi. 1) Dimensi Referential. Yang berarti bahwa secara jelas kata-kata dan simbol yang lain dipakai untuk menunjukkan objek situasi, kondisi atau pernyataan. Kata “buku” untuk menunjukkan objek benda semacam yang sedang Anda baca. Simbol “huruf S disilang” menunjukkan larangan berhenti. Kata “gembira” untuk menunjukkan situasi dan suasana hati yang riang. Kata “panas” untuk menunjukkan kondisi suatu benda atau tempat yang panas. 2) Dimensi Eksperential. Artinya makna adalah bagian terbesar dari suatu pengalaman objek. Tanpa kita mengenal objeknya, kita tidak dapat memberinya makna. Semakin kita tahu tentang suatu objek, semakin banyak makna yang dapat kita peroleh. Bagi yang belum pernah mendengar kata diktator, tentu saja tidak akan mengerti makna dari kata itu. 3) Dimensi Purpossive. Yang maksudnya tujuannya seseorang bertatap muka atau berkomunikasi (mengirim dan menerima simbol) adalah aspek penting dari makna. Dengan kata lain, dipakainya suatu simbol karena ada tujuan yang hendak dicapai oleh simbol itu. Hati-hatilah dengan kawan dekat Anda yang selalu mengucapkan “sayang”, itu berarti ia mempunyai maksud tertentu kepada Anda, mungkin ingin dekat. Kata “bagus” dipakai untuk menunjukkan maksud bahwa kita mempunyai penilaian yang baik pada sebuah lukisan, misalnya. Sebaliknya, kita katakan “jelek” pada suatu lukisan untuk menunjukkan maksud kita mengenai lukisan yang buruk. Jika dihubungkan secara segitiga makna, maka hubungan antara ketiga dimensi itu dapat memperlihatkan bahwa pemakaian suatu simbol (referential) itu didasarkan pengalaman atau pengetahuan, (experiential) pada objek yang dirujuk oleh simbol tersebut, adalah untuk menunjukkan tujuan (purpossive) si pemakai. Misalnya, jika seseorang mengatakan suka kepada temannya, ini didasarkan pada pengalamannya mengenai objek yang dirujuk istilah duka, untuk memperlihatkan bahwa maksud si orang tersebut adalah senang kepada temannya itu. Karena itu, hati-hatilah menggunakan istilah. Orang bisa senang kepada kita karena istilah yang kita gunakan, orang juga bisa marah besar pada kita karena pengunaan istilah juga. Masalah Bahasa dalam Komunikasi Bahasa merupakan faktor yang paling penting dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa, kita tidak dapat berkomunikasi. Dua jenis bahasa dalam berkomunikasi, yaitu bahasa verbal (lisan) dan bahasa nonverbal (tulisan, simbol, isyarat). Fungsi bahasa dalam berkomunikasi adalah untuk mengirimkan pesan. Bila pesan itu dikirim dengan bahasa verbal, itu berarti kita mengirimkan pesan secara verbal. Apabila pesan kita kirim melaluli bahasa nonverbal, maka yang kita gunakan adalah bahasa-bahasa nonverbal. Mengenai bahasa verbal, umumnya kita tidak pernah merasa kesulitan menggunakan kata-kata. Setiap hari kita berbicara, baik secara tatap muka maupun melalui media. Kita semua merasa telah terlatih sejak bayi untuk berbicara. Sejak kecil kita menggunakan kosakata dan maknanya dari memori kita. Mula-mula seorang bayi belajar mengucapkan kata “ma-ma” dengan sangat berat, dan begitu dewasa dengan cepat mengucapkan kata “sesdalopbang” (singkatan dari kata Sekertaris Pengendalian Operasional Pembangunan). Tetapi jarang kita menyadari bagaimana kita belajar berbahasa. Bahkan, mungkin kita tidak pernah bertanya: Apakah bahasa itu?. Jalaludin Rakhmat (1988) menjelaskan, ada dua cara untuk mendefinisikan bahasa. Definisi fungsional yang melihat bahasa sebagai alat yang dimiliki bersama (socially shared means) untuk mengungkapkan gagasan. Artinya bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan antara anggota-anggota kelompok sosial untuk memakainya. Karena seperti kita ketahui, kata-kata diberi arti secara arbitrer (semaunya) oleh kelompok-kelompok. Kita tidak pernah memusingkan mengapa bagian tubuh organisme mulai batas leher ke atas disebut kepala, sedangkan dalam bahasa seharihari kita mengenal pohon dan buah kelapa. Tentunya jauh sekali kaitan antara makna dari kitab dan batik. Kalau itu muncul dan dipakai berdasarkan kesepakatan masyarakatnya saja, tidak bisa dicarikan alasan logisnya. Definisi formal yang menyatakan bahwa bahasa merupakan semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut perarturan tata bahasa. Misalnya kita menemukan kata-kata: saya, harus, belajar, supaya, pandai. Agar ada maknanya, katakata itu kita susun menurut tata bahasa yang berlaku, menjadi: Saya harus belajar supaya pandai. Setiap bahasa memiliki peraturan penyusunan bahasa (grammar) masing-masing. Bahasa Indonesia mempunyai tata bahasa yang berbeda dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol dan sebagainya. Jika kita ingin bisa menghasilkan kalimat yang bermakna menurut suatu bahasa, maka kita harus menguasai tata bahasa yang bersangkutan Yang mengherankan adalah kemampuan orang berbahasa, terutama bahasa ibunya. Kapankah Anda belajar bahasa ibu Anda sehingga bisa berbicara seperti sekarang ini?. Tentunya Anda tidak pernah menghafal satu persatu kata dalam bahasa itu untuk mengetahui maknanya. Psikologi menjelaskan kemampuan orang berbahasa dan teori belajar dari aliran behaviorisme dan teori nativisme dari Noam, Chomsky. Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses, yaitu: Asosiasi, Imitasi, dan Peneguhan. Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan objek tertentu. Imitasi berarti menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarkannya. Peneguhan berarti ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata dengan benar. Misalnya, ketika anak kecil mengucapkan kata u-u (asosiasi), ibunya menganggap anak itu ingin minum, dan sang ibu memberinya minuman segar sambil mengatakan “minum”. Sejak itu bila si anak ingin minum selalu mengatakan u-u sebagai tiruan dari kata minum (imitasi). Si ibu gembira mendengar anaknya mampu berbicara sehingga ia merangkul dan memeluknya (peneguhan). Demikianlah secara perlahan-lahan si anak melafalkan kata demi kata dan memahami maknanya sehingga ribuan kata dipahaminya. Tetapi menurut Chomsky, jika seorang anak belajar bahasa seperti itu, maka diperlukan waktu 30 tahun untuk menguasai 1.000 kata saja. Untuk itu Chomsky mengeluarkan teori nativisme, bahwa setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan yang telah diprogram secara genetik dalam otak kita. Ia menyebutkan pengetahuan ini sebagai Language Asqusisition Device (LAD). LAD tidak mengandung kata, arti, atau gagasan, tetapi hanyalah suatu sistem yang memungkinkan manusia manggabungkan komponen-komponen bahasa. Sistem inilah yang memungkinkan si anak mengenal hubungan bentuk-bentuk yang terdapat dalam bahasa ibunya dengan bentukbentuk terdapat dalam tata bahasa struktur yang sudah terdapat pada kepalanya. A. Keterbatasan Pemakaian Bahasa Verbal Selain peliknya masalah pemaknaan, kita juga mengenal keterbatasan bahasa itu sendiri. Bahasa sangat terbatas dalam menggambarkan realita. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu: Bahasa itu statis, sedangkan realita dinamis. Sejak balita hingga tua, seseorang cenderung mempunyai nama tetap. Sedangkan dalam realita, nama Ana, Ani, Ina yang berumur tujuh tahun pastilah berbeda dengan ketika mereka sudah berumur tujuh belas tahun atau tujuh puluh tahun. Bahasa itu terbatas, sedangkan realita relatif tidak terbatas. Dari segi jumlahnya saja, bahasa sudah terbatas. Untuk menyebut kata padi, gabah, beras dan nasi pada kosakata bahasa Inggris hanya ada satu kata, yaitu rice. Dari kemampuan menggambarkan realita, bahasa pun terbatas. Misalnya, Anda menyebut dengan sebuah istilah untuk angkat bahu, atau gelengan kepala. Bahasa itu abstrak, sedangkan realita adalah sesuatu yang nyata. Abstrak yang dimaksud adalah proses memilih beberapa detail lainnya. Kata kursi sebenarnya hanyalah abstraksi dari benda yang mempunyai kaki, mempunyai tempat duduk, dan memiliki sandaran; tiga ciri inilah yang dipilih. Sedangkan ciri lainnya, misalnya terbuat dari kayu, plastik, bambu atau besi kita pilih, ketika kita hendak mengabstraksikan sebuah benda sebagai kursi. Oleh karena itu, supaya komunikasi kita berhasil, terdapat empat hal yang perlu dihindari dalam pemakaian bahasa, yaitu: 1. Abstraksi Kaku Orang cenderung memakai istilah-istilah dengan abstraksi yang tinggi, atau rendah sekali. Abstraksi yang tinggi cenderung mengaburkan makna yang sebenarnya. Misalnya kita tidak pernah mengerti dengan baik apa arti dari kata demokrasi, nasionalisme, kebijaksanaan atau wewenang, tapi kita menggunakan istilah-istilah itu untuk berkomunikasi dengan orang lain. 2. Identifikasi yang Tidak Layak Identifikasi yang tidak layak umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam menempatakan berbagai macam objek ke dalam satu kategori, atau disebut pula overgeneralization (generalisasi yang berlebihan). Misalnya, kata-kata “semua laki-laki itu jahat”, “semua orang bule itu maju”, atau “barat itu demokrasi” 3. Penilaian dengan hanya Memakai Dua Nilai Penggunaan dengan hanya menggunakan dua nilai, biasanya dilakukan untuk mencari mudahnya saja dalam melukiskan keadaan. Misalnya, hitam-putih, baikburuk, benar-salah, pandai-bodoh, jauh-dekat, cantik-jelek. Padahal di antara dua kategori itu, masih ada istilah-istilah atau kategori-kategori lain, misalnya dengan kata sangat, agak, atau hampir. 4. Mengacaukan Kata dengan Rujukan Hal ini umumnya disebabkan oleh kecenderungan seseorang memakai ukuran menurut penilaiannya sendiri. Misalnya, Anda mengatakan “jeruk ini manis’. Sebetulnya bukan jeruknya yang manis, tetapi perasaan Andalah yang menilai bahwa jeruk itu manis. Bisa jadi bagi teman Anda, jeruk yang sama mungkin berasa asam, dan bagi teman Anda yang lain mungkin rasanya asam-manis-pahit.