1 Ekonomi Media: Pengantar Pengantar Media massa seringkali hanya dipandang sebagai institusi sosial, politik, dan budaya belaka. Akan tetapi, perkembangan dewasa ini memperlihatkan media tidak lagi dilihat semata-mata sebagai institusi sosial dan politik, melainkan juga sebagai institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh bukan saja sebagai alat penyampai pesan-pesan sosial, politik dan budaya, tetapi juga sebagai perusahaan yang menekankan keuntungan ekonomi. Dennis McQuail menyebut fenomena media massa modern ini sebagai dwi-karakter media atau karakter ganda media. McQuail lebih jauh menyebut media memiliki dwi karakter yang tak terpisahkan: karakter sosial-budaya- politik dan karakter ekonomi. Menurut McQuail, faktor ekonomi malah menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi seluruh perilaku media massa modern. Faktor pasar bebas dalam seluruh proses komunikasi massa memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam membentuk faktor persaingan. Tuntutan ekonomi kini menjadi pertimbangan bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan dikelola. Ekonomi Media: Definisi Perkembangan media massa menjadi institusi ekonomi melahirkan disiplin ilmu yang disebut ekonomi media (media economics). Ekonomi media memandang media sebagai industri atau institusi ekonomi yang berupaya mencari keuntungan. Sebagai suatu disiplin ilmu, ekonomi media terbilang baru. Di negaranegara Barat studi ini baru muncul pada 1990-an. Di Indonesia studi ekonomi media baru muncul pada tahun 2000-an. Studi ekonomi media umumnya baru menjadi bidang studi di dunia ilmu komunikasi. Studi ekonomi media ini semestinya juga menjadi bidang studi di jurusan ekonomi. Apa itu ekonomi media? Ekonomi media tentu terdiri dari dua kata ‘’ekonomi’’ dan ‘’media.’’ Oleh karena itu, sebelum kita membahas definisi ekonomi media, kita lihat dulu definisi ekonomi dan media. Ekonomi, menurut Samuelson dan Nordhaus, adalah studi tentang bagaimana manusia menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk memproduksi komoditas dan mendistribusikannya kepada manusia atau kelompok manusia lainnya. Dari definisi di atas ada tiga konsep pokok dalam ekonomi: sumber (segala sesuatu yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa), produksi (penciptaan barang dan jasa untuk konsumsi), serta konsumsi (penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan). Sedangkan media secara umum bisa didefinisikan sebagai sarana atau perantara atau penyebar dalam suatu proses komunikasi. Melalui media pesan terdistribusi ke khalayak. Dalam konteks ekonomi, media adalah institusi bisnis 1 atau institusi ekonomi yang memproduksi dan menyebarkan informasi, pengetahuan, pendidikan, hiburan kepada konsumen yang menjadi target. Yang termasuk media antara lain televisi, radio, surat kabar, majalah, tabloid, buku, iklan, public relations, film serta rekaman. Dalam konteks ekonomi media, televisi, radio, surat kabar dan media lainnya tentu harus dipandang sebagai industri atau institusi bisnis. Ada sejumlah definisi ekonomi media. Albarran mendefinisikan ekonomi media bisa didefinisikan sebagai studi tentang bagaimana industri media menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk menghasilkan jasa yang didistribusikan kepada konsumen dalam masyarakat untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan. Picard menyebutkan ekonomi media berkaitan dengan bagaimana industri media mengalokasikan berbagai sumber untuk menghasilkan materi informasi dan hiburan untuk memenuhi kebutuhan audiens, pengiklan, dan institusi sosial lainnya. Dengan begitu, berdasarkan definisi di atas, kita mengetahui terdapat tiga konsep pokok ekonomi media: sumber ekonomi (sumber daya manusia, kamera, video tape, dll), produksi (proses produksi media cetak, media elektronik, film, rekaman, buku, dll), konsumsi (konsumen atau pasar). Problem Ekonomi Media Problem ekonomi merupakan suatu proses yang berhubungan erat dengan masalah produksi dan konsumsi. Hal ini meliputi pertanyaan sebagai berikut: 1. Seberapa banyak barang atau jasa yang diproduksi; 2. Bagaimana barang atau jasa itu diproduksi 3. Siapa yang akan mengonsumsi barang dan jasa itu; Sebagai institusi ekonomi, media punya problem ekonomi pula. Problem ekonomi media merupakan proses yang berhubungan erat dengan masalah produksi dan konsumsi media. Terkait dengan seberapa banyak barang atau jasa yang diproduksi oleh industri media, produser televisi atau radio, misalnya, harus mempertimbangkan harus mempertimbangkan jumlah content atau program yang diproduksi serta metode produksinya. Menyangkut bagaimana barang atau jasa apa yang diproduksi oleh industri media, reporter koran, misalnya, menulis berita dengan teknik feature, hardnews atau in-depth report; sedangkan produser televisi menyampaikan program secara taping (rekaman) atau live. Berkenaan dengan siapa yang menjadi konsumen, media punya berbagai pilihan, antara lain terkait dengan positioning media. Televisi berita, seperti MetroTV dan TVOne, membidik konsumen kelas atas. Contoh lain, konsumen televisi siaran (free to air television) bisa siapa saja, namun, konsumen televisi berlangganan adalah hanya pelanggan. 2 Ekonomi Media: Antara Makroekonomi dan Mikroekonomi Ekonom membedakan studi di bidang ekonomi menjadi makroekonomi dan mikroekonomi. Makroekonomi mempelajari ekonomi sebagai sistem secara menyeluruh, terutama pada level nasional. Makroekonomi meliputi topik seperti pertumbuhan ekonomi, ekonomi politik (kebijakan publik yang berkaitan dengan ekonomi, produksi serta konsumsi nasional, tenaga kerja, inflasi). Mikroekonomi memusatkan perhatian pada aktivitas tertentu dalam sistem ekonomi, seperti individu sebagai pasar, perusahan, serta konsumen. Mikroekonomi mempelajari struktur dan perilaku pasar, aktivitas produsen dan konsumen. Ekonomi media termasuk makroekonomi atau mikroekonomi? Studi ekonomi media mencakup mikroekonomi maupun makroekonomi. Sebagai contoh, regulasi tentang keharusan televisi nasional bekerjasama dengan televisi lokal atau televisi berjaringan jika ingin bersiaran di daerah (makroekonomi) akan mempengaruhi pola investasi atau permodalan televisi nasional maupun lokal (mikroekonomi) . Pentingnya Mempelajari Ekonomi Media Mempelajari ekonomi media setidaknya membawa tiga manfaat, baik dari sisi teoretis maupun praktis. Pertama, ekonomi media berguna untuk mempelajari dimensi ekonomi media massa, untuk melengkapi subyek-subyek ‘’tradisional’’ lain dari media massa, seperti penulisan, pengambilan gambar, manajemen media massa, dampak media massa, promosi ataupun iklan, sosiologi media, komunikasi politik. Kedua, mempelajari ekonomi media menjadikan kita bisa mengembangkan karir di industri media. Dengan mempelajari ekonomi media, kita paham industri media mana yang beroperasi secara lebih efektif dan efisien. Ketiga, mempelajari ekonomi media membuat kita mampu menganalisis berbagai industri media. Kita akan mampu memahami bagaimana struktur pasar mempengaruhi berbagai industri media, bagaimana media tertentu membidik pasar tertentu, serta bagaimana regulasi pemerintah serta perkembangan teknologi mempengaruhi perilaku pasar di masa mendatang. Ruang Lingkup Ekonomi Media Ruang lingkup ekonomi media mencakup ruang lingkup teoretis dan praktis. Ruang lingkup ekonomi media juga menjadi ruang lingkup pembahasan buku ini. Ruang lingkup teoretis meliputi konsep-konsep dasar ekonomi (pasar, sistem ekonomi, dll), regulasi, kompetisi, kepemilikan, teknologi, serta riset. Ruang lingkup praktis meliputi ekonomi industri televisi siaran, radio siaran, televisi berlangganan (televisi kabel, televisi satelit), koran, majalah, buku, media online atau internet, film, rekaman, periklanan, dan public relations. [] 3 2 Media sebagai Institusi Ekonomi Pengantar Ilmuwan komunikasi Harold Laswell menyebut media massa sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Akan tetapi, kecenderungan dewasa ini memperlihatkan media telah menjadi industri atau institusi ekonomi. Perkembangan global dewasa ini tak ayal telah menjadikan media massa bukan hanya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, melainkan juga sebagai industri atau institusi ekonomi. Banyak pengusaha besar yang menanamkan modalnya dalam bisnis media massa. Para pengusaha yang terjun ke indistri media tentu berharap modal yang mereka sudah tanamkan bisa kembali, bahkan menghasilkan keuntungan. Terjunnya pengusaha besar dalam industri media memunculkan fenomena konglomerasi media. Untuk menghasilkan keuntungan, perusahaan media tentu saling berkompetisi. Kompetisi antarindustri media adalah kompetisi memperebutkan khalayak dan pengiklan. Khalayak dan pengiklan dalam ekonomi media disebut pasar. Dalam upaya memenangkan persaingan memperebutkan pasar, media kadang mengabaikan kepentingan publik. Media seringkali mengabaikan kualitas produk yang mereka hasilkan demi mengejar keuntungan. Untuk itu, media dalam perspektif ekonomi media membutuhkan regulasi. Untuk berkompetisi dan menghasilkan keuntungan, media juga harus mengetahui selera pasar dan perubahannya. Bagaimanapun, sebagai institusi ekonomi media massa harus mampu memenuhi kebutuhan pasar. Sebabnya pasarlah yang ‘’membiayai’’ kelangsungan hidup media. Untuk mengetahui selera atau kebutuhan pasar tersebut media perlu melakukan riset. Melihat fenomena media sebagai institusi ekonomi, banyak ilmuwan komunikasi yang mengembangkan pemikiran atau teori tentang media massa sebagai institusi ekonomi. Fenomena media massa telah menjadi institusi ekonomi bahkan melahirkan disiplin ilmu ekonomi media. Teori Ekonomi-Politik Media Dennis McQuail menyebut teori ini sebagai pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan (isi) ideologis media. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Menurut teori ekonomi-politik media ini, institusi media harus dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Teori ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses komunikasi yang menghasilkan komoditas (isi). Mengutip Garnhan, McQuail menyebutkan kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media, sebagian besar dapat ditentukan oleh transaksi berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, 4 dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik media. Berbagai kepentingan tadi terkait erat dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja media dan juga untuk kepentingan bidang usaha lainnya untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Jelas sekali bahwa teori ekonomi politik media memandang media sebagai institusi ekonomi. Teori ekonomi-politik media menjadi landasan teoretis dalam memandang media sebagai institusi ekonomi. Dengan begitu, memandang media sebagai institusi ekonomi mempunya landasan teori yang kuat dalam dunia ilmu komunikasi Media sebagai Institusi Ekonomi Herman dan Chomsky menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar. Menurut mereka, media massa telah menjadi industri. Jurgen Habermas dalam buku The Theory of Communicative Action menyebut media sebagai institusi sosial-politik sekaligus sebagai institusi ekonomi. Sebagai institusi sosial-politik, media berupaya menjembatani publik dalam menyampaikan aspirasi sosial-politik metreka terhadap pengauasa dan kekuasaan. Sebagai institusi ekonomi media bekerja berdasarkan rasionalitas ekonomi atau bisnis, yakni mencari keuntungan. Dennis McQuail yang dikenal sebagai ilmuwan komunikasi bahkan menempatkan media massa sebagai industri atau institusi ekonomi sebagai dalil pertama yang mendasari bukunya Mass Communication Theory. Di situ, McQuail mengatakan media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait; media massa juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan atau regulasi dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat atau institusi sosial lainnya. Dennis McQuail selanjutnya mengajukan 10 prinsip yang menunjukkan media sebagai institusi ekonomi: 1. Media berbeda atas dasar apakah media tersebut mempunyai struktur fixed dan variabel cost. 2. Pasar media mempunyai karakter ganda: dibiayai oleh konsumen dan atau oleh para pengiklan. 3. Media yang dibiayai oleh pendapatan iklan lebih rentan atas pengaruh eksternal yang tidak diinginkan. 4. Media yang didasarkan pada pendapatan konsumen rentan krisis keuangan jangka pendek. 5. Perbedaan utama dalam penghasilan media akan menuntut perbedaan ukuran kinerja media. 6. Kinerja media dalam satu pasar akan berpengaruh pada kinerja di tempat lain (pasar lain). 7. Ketergantungan pada iklan dalam media massa berpengaruh pada masalah homogenitas program media. 5 8. Iklan dalam media yang khusus akan mendorong keragaman program acara. 9. Jenis iklan tertentu akan menguntungkan pada masalah konsentrasi pasar dan khalayak. 10. Persaingan dari sumber pendapatan yang sama akan mengarah pada keseragaman. 6 3 Pasar Media Pasar Media: Definisi Sebagai institusi ekonomi, media tentu mempunyai pasar. Pasar adalah target atau sasaran dari produk, baik barang ataupun jasa, yang dihasilkan oleh media. Menurut Picard dan McQuail, industri media itu unik karena memiliki pasar ganda: khalayak (audience) dan pengiklan. Media dalam operasinya membidik khalayak dan pengiklan. Media memasarkan produk bagi khalayak dan pengiklan. Televisi menyiarkan sinetron agar ditonton oleh penonton dan agar pengiklan memasang iklan pada program sinetron tersebut. Khalayak adalah orang-orang yang mengonsumsi produk yang dihasilkan oleh media. Dalam dunia media, tingkat, besar atau jumlah khlayak suatu media bisa dilihat dari jumlah orang yang mengonsumsi media tersebut. Tingkat atau besar khalayak bisa dilihat dari rating atau share untuk televisi dan sirkulasi atau oplah untuk media cetak. Pengiklan adalah lembaga atau perorangan yang menggunakan media untuk menginformasikan atau memasarkan produk mereka. Output dari pengiklan sebagai pasar adalah revenue atau penghasilan dari iklan bagi suatu media. Secara teoretis-kuantitatif, khalayak dan pengiklan sebagai pasar mempunyai hubungan yang erat. Jika suatu produk media dikonsumsi oleh banyak khalayak, pengiklan pun akan banyak, sehingga media tersebut memperoleh keuntungan. Artinya, secara teoretis-kuantitatif, makin besar khalayak, maka akan makin besar pendapatan dari pengiklan dan makin besar keuntungan perusahaan media. Dalam konteks hubungan khalayak, iklan, dan keuntungan ekonomi media, maka klahayak adalah buruh tanpa gaji yang bekerja untuk media sehingga perusahaan media mendapat keuntungan ekonomi. Di sisi lain, bisa pula dikatakan khalayaklah yang menggaji pekerja media. Namun, hubungan antara khalayak dan iklan tidak selalu berbanding lurus secara kuantitatif. Ada media massa yang jumlah khalayaknya relatif sedikit, tetapi karena media massa tersebut punya citra tertentu (kualitatif), banyak pengiklan mengiklankan produk di media massa tersebut. Tidak semua media mempunyai pasar ganda. Pasar buku hanya khalayak atau pembaca. Film dan rekaman umumnya tergantung hanya pada khalayak, meski sejumlah film dan rekaman memperoleh penghasilan dari iklan atau sponsor. Pemasukan televisi berlangganan terutama berasal dari pelanggan. Pasar public relations juga hanya pelanggan atau pengguna jasa. Tipe Struktur Pasar Tipe struktur pasar adalah kondisi pasar tempat beroperasinya media. Tipe struktur pasar terkait erat dengan persaingan. Ada empat tipe struktur pasar: monopoli, oligopoli, kompetisi monopolistik, dan kompetisi sempurna. Monopoli adalah tipe struktur pasar ketika hanya ada satu produsen yang menguasai pasar. Struktur pasar monopoli kebanyakan terjadi di negara-negara 7 komunis atau otoriter. Di Indonesia, Televisi Republik Indonesia (TVRI) memonopoli industri televisi siaran di masa pemerintahan Orde Baru. Oligopoli adalah tipe struktur pasar ketika ada beberapa produsen yang bermain di pasar, tetapi ada satu produsen yang relatif lebih dominan dibanding lainnya. Televisi berjaringam, industri film dan industri rekaman beroperasi atau bekerja dalam struktur pasar oligopoli. Dalam industru surat kabar di Indonesia, beroperasi banyak koran. Namun, Kompas seringkali dianggap mendominasi pasar surat kabar nasional. Kompetisi monopolistik adalah tipe struktur pasar ketika banyak produsen di pasar yang memproduksi produk yang nyaris sejenis. Industri buku, majalah, dan radio merupakan contoh industri media yang beroperasi dalam pasar kompetisi monopolistik. Kompetisi sempurna adalah tipe struktur pasar ketika banyak produsen yang menghasilkan produk sejenis dan tak satu pun yang dominan. Televisi swasta di Indonesia yang cenderung menghasilkan program seragam sering dianggap beroperasi dalam pasar kompetisi sempurna. Struktur Pasar Struktur pasar pasar adalah kondisi atau karakteristik pasar tempat media beroperasi. Struktur pasar sebaiknya dipahami melalui penilaian karakteristik ekonominya. Yang termasuk dalam struktur pasar adalah jumlah pembeli atau penjual, diferensiasi produk, rintangan bagi kompetitor, struktur biaya, dan integrasi vertikal. Jumlah Produsen Jumlah produsen dalam suatu pasar menentukan konsentrasi pasar. Pasar terkonsentrasi bila ia didominasi oleh hanya beberapa perusahaan besar. Makin sedikit jumlah produsen, makin besar peluang menguasai pasar. Selama beberapa tahun, jaringan televisi ABC, CBN, NBC menguasai pasar televisi jaringan, terutama dalam perolehan iklan. Namun, ketika TV berlangganan, teknologi video dan Fox TV muncul sebagai kompetitor, kompetisi memperoleh iklan dan khalayak menjadi ketat. Diferensiasi Produk Diferensiasi produk mengacu pada upaya produsen membedakan produknya dengan produk produsen lain secara tegas (baik secara nyata maupun dalam tataran citra atau image) bagi konsumen. MetroTV memposisikan dirinya sebagai TV berita. Republika memposisikan dirinya sebagai koran muslim kelas menengah. Radio Elshinta memposisikan dirinya sebagai radio radio berita. Pass FM memposisikan diri sebagai radio bisnis. Warta Ekonomi adalah majalah ekonomi. Kontan, bisnis Indonesia, investor daily, adalah harian atau koran ekonomi. 8 Rintangan bagi Produsen Lain Ini mengacu pada rintangan bagi produsen baru ketika memasuki pasar tertentu. Rintangan itu bisa berupa terbatasnya modal atau faktor lain, misalnya regulasi. Sebagai contoh, regulasi Amerika mengharuskan pemilik media massa di sana berkewarganegaraan Amerika. Oleh karena itu, Rupert Murdoch yang sebelumnya berkewarganegaraan Australia pindah kewarganeraan Amerika sebelum membeli jaringan Fox. Modal mendirikan stasiun televisi sangat besar sehingga bisa ’’merintangi’’ orang mendirikan stasiun televisi. Struktur Biaya Struktur biaya berkaitan dengan biaya atau ongkos produksi dalam pasar tertentu. Total biaya terdiri dari biaya langsung (fixed cost/direct cost) dan biaya lain-lain (variable cost/inderect cost). Biaya langsung adalah biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit barang atau jasa. Biaya lain-lain adalah biaya tak langsung untuk memproduksi satu unit barang dan jasa. Dalam memproduksi program talkshow televisi, misalnya, ada biaya langsung seperti membayar honor narasumber dan biaya tidak langsung, seperti penggunaan kamera. Mengapa penggunaan kamera masih harus dihitung sebagai biaya? Bukankah kamera yang dipakai adalah kamera stasiun televisi itu sendiri? Kamera merupakan pengeluaran atau belanja untuk modal (capital expenditure). Tentu terjadi penyusutan nilai kamera sebagai modal. Biaya penyusutan itulah yang disebut biaya tak langsung. Integrasi Vertikal Ini merupakan integrasi, sinergi, atau kerjasama berbagai aspek dalam organisasi, seperti aspek produksi, distribusi, eksebisi. Dengan perkataan singkat, integrasi vertikal adalah perusahaan media yang menghasilkan produk dari hulu ke hilir. Film ‘’The Last Action Hero’’ (1993) mengilustrasikan bagaimana sinergi bekerja di Hollywood. Film itu dibuat oleh Columbia Pictures yang dimiliki oleh Sony. Soundtrack-nya dari CBS yang juga dimiliki oleh Sony. Film ini ditayangkan di bioskop dengan teknik suara digital yang dibuat oleh Sony. Sony kemudian membuat video games berdasarkan film tersebut. Perilaku Pasar Perilaku pasar mengacu pada kebijakan atau perilaku yang diperlihatkan oleh produsen dan konsumen dalam pasar. Yang termasuk perilaku pasar adalah perilaku harga, strategi produk/iklan, riset dan inovasi, rencana investasi, taktik legal. Perilaku Harga Picard mengidentifikasi empat orientasi harga: (a) harga berdasarkan permintaan, yaitu harga yang diatur oleh pasar; (b) harga berdasarkan target keuntungan, yaitu harga yang didasarkan pada keinginan memperoleh besar keuntungan tertentu; (c) harga bersaing, yaitu harga yang ditentukan dengan 9 melihat harga yang ditawarkan kompetitor; (d) harga normal industri, yaitu harga yang ditentukan oleh industri itu sendiri, bukan ditentukan oleh pasar. Dalam industri rekaman, pasar menentukan harga kaset pemusik atau penyanyi dalam negeri Rp 20 ribu, misalnya, sementara kaset pemusik atau penyanyi luar negeri Rp 25 ribu. Pasar menentukan harga tersebut berdasarkan pajak penjualan, royalti, dll. Di akhir tahun, perusahaan media biasanya menetapkan target pendapatan dengan margin keuntungan tertentu. Dari situ, stasiun televisi atau surat kabar, misalnya, menetapkan tarif iklan tertentu. Persaingan antarmedia bisa membentuk harga. Televisi berlangganan dewasa ini saling bersaing menetapkan biaya berlangganan yang murah demi memperebutkan konsumen. Namun, perusahaan media yang mapan akan menerapkan harga sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, meski harga yang mereka tetapkan relatif lebih mahal dibanding produk lain, orang tetap mengonsumsinua. Dia tidak terpengaruh dengan pesaingnya yang menerapkan harga yang lebih murah. Strategi Produk dan Iklan Strategi produk mengacu pada keputusan yang didasarkan pada produk aktual yang dihasilkan produsen, termasuk cara mengemas dan mendesainnya. Dalam industri media, ini berkaitan dengan, misalnya, bagaimana mengemas tayangan berita televisi yang eksklusif, cepat, dan akurat. Strategi iklan adalah aktivitas mempromosikan produk agar dikenal konsumen. Makin kompetitif pasar, makin dibutuhkan strategi dalam mempromosikan produk. Di tengah persaingan yang makin ketat, stasiun-stasiun televisi berlangganan di Indonesia makin strategis dalam mempromosikan produk, mulai promosi di mal, door to door, hingga paket-paket berlangganan dengan harga murah. Riset dan Inovasi Riset dan inovasi merupakan aktivitas perusahaan untuk mendiferensiasi dan meningkatkan produk dari waktu ke waktu. Media, misalnya, melakukan riset pasar untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan khalayak. Televisi kini mengembangkan inovasi di bidang teknologi, misalnya, dengan satellite news gathering (SNG), electronic news gathering (ENG), video streaming dll, untuk mengirim gambar secara cepat. Sejumlah koran di Indonesia, seperti Kompas dan Tempo melakukan cetak jarak jauh. Sejumlah koran, seperti Kompas, Sindo, dan Media Indonesia, pernah terbit dua edisi setiap hari. Investasi Investasi mengacu pada pengadaan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memproduksi barang atau jasa. Pembelian kamera atau pendirian pemancar atau transmisi merupakan investasi bagi industri televisi siaran. 10 Taktik Legal Taktik legal merupakan upaya yang berkaitan dengan hukum, yang dilakukan oleh perusahaan dalam suatu pasar. Taktik legal kadang dilakukan oleh perusahaan untuk ‘’memenangi’’ persaingan. Dalam industri media, hak cipta merupakan salah satu taktik legal. Kinerja Pasar Kinerja pasar mencakup analisis kemampuan perusahaan untuk mencapai tujuan berdasarkan kriteria tertentu. Kinerja pasar biasanya dilihat dari perspektif orang luar, ketimbang dari perspektif perusahaan sendiri. Artinya, orang atau institusi luar yang melihat kinerja pasar, bukan perusahaan itu sendiri. Para pengambil keputusan, misalnya, menilai efisiensi ekonomi industri tertentu melalui kriteria tertentu, dan jika perlu melakukan berbagai perbaikan untuk meningkatkan kinerja pasar. Dalam konteks ini, kinerja pasar dinilai berdasarkan orientasi makroekonomi. Kinerja pasar terdiri dari efisiensi produk, efisiensi alokasi, kemajuan, keadilan. Efisiensi Efisiensi adalah kemampuan perusahaan memaksimalkan kekayaannya. Efisiensi terdiri dari efisiensi teknis dan efisiensi alokasi. Efisiensi teknis adalah penggunaan sumber-sumber perusahaan dalam cara yang lebih efisien untuk memaksimalkan hasil. Dalam industri televisi, penggunaan teknologi video streaming yang berbasis internet berbiaya lebih murah ketimbang mengirim secara fisik dengan kargo. Dalam industri media cetak, teknologi cetak jarak jauh dalam jangka panjang akan membuat ’’ongkos kirim’’ makin murah Efisiensi alokasi terjadi jika pasar perusahaan berfungsi secara optimal, mendatangkan keuntungan bagi produsen dan konsumen. Media sebagai produsen memproduksi informasi. Jika informasi yang disajikan media dianggap berkualitas, makin banyak atau makin tersegmentasi khalayak yang mengonsumsi media tersebut. Makin banyak atau makin tersegmentasi khalayak yang mengonsumsi suatu media, pengiklan sebagai pasar atau konsumen pun makin banyak memasang iklan di media tersebut. Jika pengiklan merasakan produk yang diiklankan di media tersebut laku di pasar, pengiklan akan terus-menerus memasang iklan di media tersebut. Keuntungan media bersangkutan pun makin besar. Keadilan Ekuitas atau keadilan berkaitan dengan hasil atau kepuasan yang terdistribusi di antara produsen dan konsumen. Idealnya, sistem ekonomi pasar menyediakan distribusi yang merata sehingga tak cuma satu perusahaan yang menikmati keuntungan. Kenyataannya, keadilan lebih problematik dalam sistem pasar monopolistik dan oligopolistik karena keuntungan lebih dinikmati oleh segelintir perusahaan. Dalam industri media, tentu ada media yang menghasilkan keuntungan berlimpah, sementara media lain mendapat keuntungan ala kadarnya. Itu sangat 11 tergantung pada struktur pasar, apakah bersifat monopolistik, oligopolistik, kompetisi monopolistik, dan kompetisi sempurna. Kemajuan Kemajuan mengacu pada kemampuan perusahaan dalam suatu pasar untuk meningkatkan kualitas produk dari waktu ke waktu. Di Indonesia, teknologi digital akan meningkatkan kualitas gambar televisi siaran. Teknologi jarak jauh dalan industri media cetak menjadikan distribusi media cetak relatif lebih luas. Dalam industri rekaman, teknologi CD lebih berkualitas ketimbang teknologi kaset rekaman. Evaluasi Pasar Evaluasi pasar meliputi: Apakah suatu industri media sudah menempatkan investasinya secara tepat, termasuk mengidentifikasi pemain-pemain utama. Konsentrasi pasar: konsentrasi kepemilikan dan konsentrasi market share. Diversifikasi usaha. Pengaruh regulasi pada industri media. Pengaruh perkembangan teknologi pada industri media. Investasi dan Identifikasi Pesaing Utama Industri media harus jeli menanamkan investasinya, antara lain karena industri media terkait dengan teknologi yang begitu cepat berkembang. Namun, industri media harus menginvestasikan modalnya secara tepat. Sebagai contoh, stasiun televisi hiburan mungkin tidak harus membeli banyak SNG; tetai stasiun televisi berita harus memiliki banyak SNG. Industri media juga harus mengidentifikasi pesaing utama. CNN tentu mengidentifikasi Fox TV sebagai pesaing utama. RCTI tentu menempatkan SCTV dan TransTV yang juga stasiun televisi hiburan sebagai kompetitor utama karena . MetroTV pasti menjadikan TVOne yang juga stasiun televisi berita sebagai kompetitor utama karena sama-sama televisi berita. Dalam konteks ini, industri media bahkan harus menciptakan pesaing, jika pesaing yang produknya sejenis tidak di pasar. Ketika TVOne belum lahir, MetroTV menjadikan SCTV dengan program berita ‘’Liputan 6’’-nya sebagai kompetitor utama. Sebaliknya ‘’Liputan 6’’ SCTV juga menjadikan MetroTV sebagai pesaing utama. Konsentrasi Pasar Konsentrasi pasar terdiri dari konsentrasi kepemilikan dan konsentrasi market share. Konsentrasi pasar terkait dengan monopoli. Konsentrasi kepemilikan mengacu pada tingkat kontrol atau kepemilikan perusahaan pada sejumlah industri media. Indivisu atau perusahaan yang memiliki sejumlah media bisa disebut melakukan konsentrasi kepemilikan atau monopoli kepemilikan media. 12 Terkait dengan konsentrasi market share, berbagai metode digunakan untuk mengukurnya dalam industri tertentu. Salah satu metode yang dianggap paling baik untuk mengukur konsetrasi market share adalah rasio konsentrasi (concentration ratio). Rasio konsentrasi membandingkan rasio pendapatan total dari sejumlah pemain utama dengan rasio industri secara keseluruhan, dengan menggunakan empat besar perusahaan (CR4) atau delapan besar perusahaan (CR8). Jika rasio empat perusahaan sama dengan atau lebih besar dari 50 persen, maka konsentrasi pasar tinggi; antara 3 persen sampai 50 persen konsentrasi pasar rendah; kurang dari 33 persen konsentrasi rendah. Jika rasio delapan perusahaan sama atau lebih besar dari 75 persen, maka pasar dalam kondisi konsentrasi tinggi; 50% persen sampai 75 persen konsentrasi sedang; dan kurang dari 50 persen konsentrasi rendah. Diversifikasi Usaha Industri media seharusnya melakukan evaluasi untuk memutuskan apakah akan melakukan diversifikasi atau perluasan usaha. Jika sudah melakukan diversifikasi usaha, apakah diversifikasi usaha tersebut punya kinerja yang baik. Kelompok Kompas-Gramedia yang dikenal sebagai ‘’raja media cetak’’ melakukan diversifikasi usaha dengan mendirikan televisi siaran TV7. Namun, ketika kinerja TV7 tidak begitu baik, Kompas-Gramedia menjual sebagian besar saham TV7 kepada Trans Corps. Diversifikasi usaha juga terkait dengan perluasan pasar. Jika suatu media awalnya memproduksi content untuk kelas menengah atas dan kemudian memproduksi content untuk kelas menengah bawah, media tersebut telah melakukan diversifikasi usaha. Indovision yang merupakan televisi berlangganan untuk kelas menengah ke atas dan kemudian mendirikan TopTV yang merupakan televisi berlangganan untuk kelas menengah bawah, telah melakukan diversifikasi usaha. Pengaruh Regulasi pada Industri Media Regulasi sangat mempengaruhi industri media. Oleh karena itu, industri media senantiasa harus memperhatikan regulasi serta perkembangannya. Di Indonesia, regulasi tentang keharusan stasiun telvisi ‘’nasional’’ menjalin kerjasama atau jaringan dengan stasiun televisi daerah, tentu akan mempengaruhi kinerja ekonomi stasiun tekevisi nasional, misalnya dalam hal investasi. Pengaruh Teknologi pada Industri Media Industri media merupakan industri padat teknologi. Oleh karena itu, industri media harus senantiasa memperhatikan perkembangan teknologi yang begitu cepat. Industri media juga senantiasa harus mengevaluasi apakah teknologi yang saat ini digunakan sudah compatible dengan perkembangan zaman. Dalam industri media, peningkatan teknologi yang digunakan merupakan upaya berkesinambungan.[] 13 4 Kompetisi Media Pengantar 14 Media pasti berkompetisi dengan media lainnya. Media berkompetisi memperebutkan sumber-sumber kehidupan atau sumber-sumber ekonomi untuk kelangsungan hidup mereka. Kompetisi seringkali menjadi faktor penting untuk meningkatkan kinerja media. Kompetisi membuat media berupaya terus meningkatkan kualitas produk yang dihasilkannya. Kompetisi membuat media punya pembanding untuk mengukur apakah kinerja yang ditampilkannya sungguh-sungguh berkualitas. Tanpa kompetisi, media tidak bisa mengukur atau membandingkan secara baik kinerjanya. Ketiadaan kompetisi atau kompetitor membuat media tidak berkembang. Media selalu merasa kinerjanya sudah baik. Oleh karena itu, kendatipun tidak ada kompetitor, media semestinya ‘’menciptakan’’ kompetitor. MetroTV sebagai televisi berita, misalnya, sebelum TVOne lahir, ‘’menciptakan’’ SCTV sebagai kompetitor karena SCTV terbilang kuat dalam tayangan berita melalui program ‘’Liputan 6’’. Kompetisi pada akhirnya akan menguntungkan khalayak dan pengiklan sebagai pasar media, asalkan kompetisi berlangsung secara sehat. Sebagai contoh, kompetisi di antara stasiun televisi berlangganan membuat tarif berlangganan makin murah. Hal seperti itu baik bagi khalayak asalkan murahnya biaya berlangganan tidak lantas menurunkan kualitas program. Akan tetapi, kompetisi seringkali dikhawatirkan berlangsung secara tidak sehat sehingga merugikan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan regulasi untuk mengatur kompetisi. Kompetisi Media; Perspektif Ekologi Media Dalam ilmu komunikasi terdapat teori ekologi media. Ekologi media memandang media sebagai makhluk hidup yang berupaya mempertahankan kehidupan. Untuk mempertahankan kehidupan, media membutuhkan sumbersumber kehidupan. Dalam perspektif ekologi media, sumber-sumber kehidupan media adalah isi (content), khalayak (audiences), iklan (capital). Media saling berkompetisi dalam memperebutkan sumber-sumber kehidupan tersebut. Secara teoretis, terdapat hubungan antara isi, khalayak, dan iklan. Jika isi suatu media baik secara kualitatif, banyak penonton yang akan mengonsumsi media tersebut, sehingga banyak pemasang iklan menempatkan iklannya pada media tersebut. Namun, dalam tataran praktis, hubungan tersebut tidak selamanya berlaku. Sebagai contoh, banyak sinetron yang tidak berkualitas, namun disukai penonton, dan iklan yang terpasang pada sinetron tersebut melimpah. Generalis versus Spesialis Dalam perspektif ekologi media dikenal istilah generalis dan spesialis. Media disebut generalis jika memiliki sumber-sumber kehidupan yang beragam. Media spesialis adalah media yang sumber kehidupannya relatif seragam. Kompas, Media Indonesia, Republika, adalah media generalis karena mereka memiliki pemberitaan yang beragam, mulai politik, hukum, internasional, metropolitan, olahraga, dll. Bisnis Indonesia adalah koran spesialis karena sebagian besar pemberitaannya ekonomi dan bisnis. RCTI, SCTV, TransTV 15 adalah media generalis yang memiliki beragam isi, mulai berita, olahraga, musik, film, sinetron. MetroTV dan TVOne adalah televisi spesialis karena sebagian besar isinya berita dan informasi. Stasiun televisi terestrial (free to air television) seperti RCTI, MetroTV, Antv merupakan media generalis. Mereka menggantungkan hidupnya pada isi, klayak, dan iklan. Akan tetapi, stasiun televisi berbayar (pay television) seperti Indovision, AoraTV, Telkomvsion, merupakan media spesialis karena mereka menggantungkan hidupnya lebih kepada isi dan penonton (iuran penonton). Secara teoretis, media generalis lebih bisa bertahan hidup dibanding media spesialis. Jika satu sumber kehidupan habis, media tersebut masih bisa ‘’mengonsumsi’’ sumber kehidupan lain. Jika situasi dunia aman dan tentram dan tidak ada berita yang menarik, MetroTV dan TVOne akan kehilangan sumber kehidupan. Namun, RCTI, SCTV, dan TransTV masih memiliki sinetron, film, atau musik, meski tidak ada berita menarik. Stasiun televisi berlangganan akan mati jika penonton berhenti berlangganan, sementara stasiun televisi terestrial masih bisa mengandalkan iklan. Namun, dalam tataran praktis, media spesialis ternyata bisa juga bertahan hidup. Dulu orang meramalkan MetroTV tidak bisa bertahan lama karena pemasang iklan enggan memasang iklan akibat kecilnya jumlah penonton stasiun televisi berita itu. MetroTV ternyata bisa bertahan, bahkan Lativi yang sebelumnya televisi generalis bermetamorfosis menjadi TVOne yang lebih spesialis. Itu artinya pemasang iklan memperhatikan segmentasi. Penonton yang tersegmentasi menjadi sasaran iklan yang jitu bagi pemasang iklan. Dalam perspektif ekologi media, kompetisi sengit terjadi antara media yang karakternya sejenis. Koran tidak bersaing dengan televisi. Koran bersaing secara ketat dengan sesama koran. Televisi bersaing secara ketat dengan sesama televisi. Koran nasional tidak bersaing dengan koran lokal. Koran nasional bersaing secara ketat dengan sesama koran nasional. Televisi hiburan tidak bersaing dengan televisi berita. Televisi berita bersaing dengan sesama televisi berita. Namun, kenyataannya dewasa ini terjadi persaingan antarmedia. Koran kini berkompetisi dengan televisi dan media online. Kompetisi ini melahirkan konvergensi media. Kompas, misalnya, kini memiliki koran, mediaonline, bahkan televisi. Kompetisi: Perspektif Ekonomi Media Dalam perspektif ekonomi media, media massa berkompetisi memperebutkan pasar. Pasar media adalah khalayak dan pengiklan. Dengan begitu, dalam perspektif ekonomi media, media massa bersaing memperebutkan khalayak dan pengiklan. Dilihat dari perspektif ekonomi media, derajat kompetisi bisa dilihat dari konsentrasi pasar dan konsentrasi kepemilikan. Media yang pasarnya relatif sejenis akan berkompetisi secara ketat. MetroTV dan TVOne bersaing secara ketat karena mereka membidik penonton dan pengiklan yang relatif sama. Untuk mengurangi derajat persaingan, media biasanya memperluas pasar. Untuk 16 mengurangi derajat persaingan dengan MetroTV yang membidik penonton kelas A dan B, TVOne membidik juga penonton kelas C selain kelas A dan B. Konsentrasi kepemilikan justru akan mengurangi derajat persaingan (lihat Bab 5 tentang Kepemilikan Media). Jika, misalnya, di suatu wilayah terdapat lima koran, dan tiga koran kemudian bergabung dalam satu kelompok, sementara dua koran lainnya membangun satu kelompok lagi, maka, jika sebelumnya ada lima koran yang bersaing, kini tinggal dua kelompok koran yang berkompetisi. Puncak konsentrasi kepemilikan media adalah monopoli. Ketika media memonopoli pasar, dia tidak punya kompetitor. Ketiadaan kompetitor membuat media tidak berkembang. Ketiadaan kompetitor membuat media yang memonopoli akan berbuat sesuka hati sehingga seringkali merugikan publik Oleh karena itu, banyak negara melarang konsentrasi kepemilikan dan monopoli melalui berbagai regulasi.[] 5 Kepemilikan Media 17 Landasan Teoretis Terdapat empat teori ekonomi-politik yang terkait dengan kepemilikan media: libertarianisme, kapitalisme, sosialisme, dan liberalisme modern. Libertarianisme adalah teori ekonomi yang menganggap kebebasan manusia sekaligus peran pemerintah sangat penting keberadaannya. Kebebasan individu tetap harus dikontrol oleh pemerintah agar kebebasan tersebut tidak berlebihan. Teori ekonomi-politik ini menghalalkan kepemilikan sumber-sumber ekonomi oleh swasta sejauh diperoleh melalui kompetisi yang sehat. Media boleh dimiliki oleh swasta. Media boleh saja memiliki keuntungan sebesar-besarnya asalkan melalui persaingan yang sehat. Pemerintah mengawasi agar persaingan berlangsung sehat. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang mengijinkan individu atau korporasi bisnis (bukan pemerintah, publik, atau negara) memiliki dan mengontrol sumber-sumber kekayaan atau kapital negara. Menurut teori ini individu atau perusahaan bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, misalnya melalui harga, promosi dll. Industri media dimiliki oleh swasta. Industri media bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sosialisme adalah sistem ekonomi-politik yang berpandangan pemerintah harus memiliki dan mengontrol sumber-sumber kekayaan negara. Sistem ekonomi ini mengakui monopoli negara atas sumber-sumber ekonomi sehingga tak ada persaingan di dalamnya. Negara menguasai media sehingga tidak ada persaingan ekonomi di bidang industri media massa. Media dengan demikian akan menjunjung tinggi etika sebagaimana telah ditetapkan oleh negara. Liberalisme modern adalah sistem ekonomi yang memadukan sistem ekonomi libertarianisme, kapitalisme, dan sosialisme. Liberalisme modern mengambil hal-hal positif dari ketiga sistem ekonomi tersebut. Sebagai contoh, televisi berlangganan boleh dimiliki oleh swasta dan pemerintah mengontrol kompetisi di antara TV berlangganan itu. Namun, pemerintah juga menyediakan TV publik bagi masyarakat yang tidak mampu berlangganan TV kabel, misalnya. Bentuk Kepemilikan Media Produksi, distribusi dan keberadaan industri televisi, video rumah tangga, koran, majalah, buku, rekaman, dan film membutuhkan modal yang besar. Dalam konteks ekonomi media, tentu hanya pemodal besar yang mampu mendirikan industri media. Pada gilirannya, para pemodal ini berupaya memperoleh keuntungan dari investasi yang mereka tanamkan dalam industri media. Fenomena inilah yang disebut media komersial. Tentu saja ada media yang dimiliki oleh pemerintah, seperti di negaranegara otoriter atau di negara komunis. Namun, media milik pemerintah ini, dalam perspektif ekonomi media, tidaklah ditujukan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi. Media pemerintah bertujuan mencapai keuntungan politik bagi penguasa. Di negara-negara demokratis, kita mengenal media publik. Media publik dibiayai oleh publik lewat pajak. Sebagaimana media pemerintah, media publik 18 tidak mencari keuntungan ekonomi. Media publik berupaya mendapatkan keuntungan sosial, politik, dan budaya bagi publik. Ada pula media yang dimiliki oleh komunitas. Media komunitas juga tidak mencari keuntungan ekonomi. Media komunitas sama dengan media publik. Hanya saja target atau sasaran media komunitas tidak seluas media publik. Dennis McQuail merangkum bentuk-bentuk kepemilikan media di atas menjadi tiga bentuk kepemilikan: perusahaan komersial (media swasta), institusi nir-laba (media komunitas dan media pemerintah), serta lembaga yang dikontrol publik (media publik). Bentuk-bentuk kepemilikan media ini terkait erat dengan masalah kebebasan pers. Kebebasan pers sendiri mendukung hak kepemilikan untuk memutuskan isi media itu sendiri. Dengan demikian, bentuk-bentuk kepemilikan mempunyai pengaruh pada pembentukan dan produksi isi media. Oleh sebab itu, penggandaan dan peragaman sistem kepemilikan dan persaingan bebas adalah cara atau hal yang perlu dipakai dalam pengembangan media modern. Hal itu tentunya didasarkan pada sistem cek dan keseimbangan (check and balance) informasi dalam sistem untuk membatasi pengaruh yang tidak diinginkan dari pemilik media. Tipe Kepemilikan Media Terdapat tiga tipe kepemilikan media: monopoli, oligopoli, dan kompetisi monopolistik. Dalam monopoli, suatu industri media mendominasi pasar. Tipe kepemilikan monopoli biasanya terdapat di negara-negara otoriter atau komunis. Negara memiliki media yang memonopoli dan mendominasi pasar. Hanya saja, media pemerintah seperti ini lebih merupakan institusi sosial, politik, dan propaganda, tidak bertujuan mencari keuntungan ekonomi. TVRI di masa otoriatarianisme Orde Baru pernah menjadi stasiun televisi yang mendominasi atau memonopoli ‘’industri televisi’’ di Indonesia. Pilihan bagi khalayak adalah take it or live it. Dalam tipe oligopoli, ada beberapa industri media yang dimiliki oleh pemilik berbeda yang bermain di pasar. Mereka saling bersaing di dalam pasar. Namun, ada satu produsen atau pemilik media yang relatif lebih dominan dibanding lainnya. Kompas dalam tingkat tertentu merupakan bentuk kepemilikan oligopoli dalam industri media cetak di Indonesia. Dalam kompetisi monopolistik, banyak industri media yang memproduksi jasa sejenis yang dimiliki oleh pemilik yang berbeda-beda yang beroperasi di pasar. Kepemilikan televisi di Indonesia cenderung bersifat kompetisi monopolistik dalam hal content yang diproduksi. Content atau materi stasiun televisi di Indonesia dinilai relatif seragam. Konsentrasi Kepemilikan Proses ekonomi media menuntut maksimalisasi keuntungan. Tidak mengherankan apabila media juga memerlukan sistem persaingan dan proses konsentrasi kapital. Konsentrasi dalam istilah ekonomi media adalah seberapa 19 tingkat keberbedaan atau kesamaan (identik) sebuah produk dalam sebuah pasar dan apakah ada atau tidak adanya halangan masuk dalam pasar tersebut. Permasalahan konsentrasi kapital oleh media dibedakan dalam beberapa hal yaitu level konsentrasi, arah konsentrasi dan level pengamatan, serta derajat konsentrasi media. Konsentrasi media biasanya terjadi di antara situasi monopoli dan persaingan sempurna. Konsentrasi diperhitungkan secara eksesif ketika ada tiga atau empat perusahaan yang menguasai 50% jangkauan pasar. Konsentrasi media dipicu dengan adanya persaingan itu sendiri, untuk mendapatkan sinergi dan keuntungan maksimal. Beberapa hal atau derajat konsentrasi justru menguntungkan konsumen. Efek yang tidak diinginkan dengan masalah konsentrasi adalah hilangnya keragaman, harga yang lebih tidak ekonomis, dan keterbatasan akses kepada media. Dengan demikian penting juga untuk melakukan pengaturan tentang konsentrasi media dengan mendorong hadirnya pemain baru dalam pasar media. Kenyataannya, tidak semua industri media mampu menghadapi persaingan. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada media yang tak mampu menghadapi persaingan: bangkrut atau diakuisisi oleh media lain. Akuisisi ini akan mengurangi derajat persaingan. Ada juga konsep lain untuk mengurangi persaingan: merger. Merger adalah bergabungnya dua atau lebih media yang kedudukannya relatif seimbang dalam pasar. Merger seringkali juga dilakukan untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan media lainnya. Pada tahun 1968 di Amerika Serikat terjadi lebih dari 130 merger dan akuisisi yang melibatkan perusahaan komunikasi. Peneliti media Ben Bagdikian, pada 1980 menemukan terdapat 20 kelompok media di seluruh AS. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya menyusut menjadi hanya belasan. Pada 1997, kelompok pemilik media tinggal lima saja, yang mengasai 60 persen jumlah media. Kelima kelompok itu adalah AOL-Time Warner, Disney, Viacom, The News Corporation, dan Sony Columbia. Akuisisi dan merger memang memperluas kapital atau modal dan mengurangi persaingan. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus merger dan akuisisi di Amerika, merger dan akuisisi menyebabkan konsentrasi kepemilikan atau konglomerasi. Fenomena konglomerasi media juga terjadi di Indonesia. Trans corps. memiliki Trans TV dan Trans7. Kelompok Bakrie memliki Antv dan TVOne. Media Nusantara Citra (MNC) menguasai RCTI, TPI, Global TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia, Okezone.com. Surya Paloh mememiliki MetroTV, harian Media Indonesia, harian Lampung Post. Kelompok Kompas Gramedia merupakan konglomerasi media cetak. Jawa Pos Grup, selain merupakan konglomeasi media cetak, juga menguasai sejumlah stasiun televisi lokal. Dampak Konglomerasi Media Konglomerasi memiliki dampak positif dan dampak negatif. Paling tidak terdapat dua dampak positif konglomerasi media atau konsentrasi kepemilikan media. Pertama, konglomerasi mengurangi derajat kompetisi media. Sebagai 20 contoh, di Indonesia awalnya terdapat 10 stasiun televisi swasta di Indonesia. Kesepuluh stasiun televisi swasta itu saling bersaing memperebutkan khalayak dan pengiklan. Setelah adanya merger, akuisisi, atau kemitraan strategis, kini tinggal lima kelompok stasiun televisi yang saling bersaing. 1. RCTI 2. SCTV 3. TransTV 4. Indosiar 5. Antv 6. TV 7 7. TPI 8. GlobalTV 9. Lativi 10. MetroTV 1. MNC: RCTI, Global TV, TPI 2. Trans Corps: TransTV, Trans7 3. Surya Citra Media: SCTV, Indosiar 4. Bakrie Grup: Antv, TVOne 5. MetroTV Kedua, kinerja ekonomi media yang diakuisisi atau dimerger diharapkan lebih baik dibanding sebelumnya. Sebagai contoh, kinerja ekonomi Trans7 (dulu TV7) makin baik setelah diakuisisi oleh TransTV ke dalam Trans Corps. Trans 7, berdasarkan data Media Partners Asia menduduki posisi keempat dalam perolehan iklan pada 2008, setelah RCTI, SCTV dan Trans TV. (Lihat bab tentang Ekonomi Industri Televisi Siaran subbab Pasar) Terdapat setidaknya empat dampak konglomerasi media. Pertama, konglomerasi pada gilirannya memicu komersialisasi. Pemilik media lebih mengutamakan mencari keuntungan, ketimbang mendidik, memberi informasi, atau melakukan kontrol sosial, serta menghibur. Media, misalnya stasiun televisi, berupaya meningkatkan rating melalui program seram (mistik), saru (seks), dan sadis (kekerasan, kriminalitas), tanpa memikirkan kualitas. Ini sejalan dengan pernyataan Herman dan Chomsky tentang kepemilikan media, bahwa kebutuhan media akan keuntungan amat mempengaruhi content media secara keseluruhan. Kedua, konglomerasi juga bisa menyebabkan keseragaman content atau isi atau materi program. Keseragaman menyebabkan publik tidak memiliki banyak pilihan. Di bidang pemberitaan, misalnya, stasiun-stasiun televisi yang punya hubungan kepemilikan biasanya menerapkan sistem newsroom. Berita-berita yang diperoleh oleh newsroom akan didistribusikan ke stasiun-stasiun televisi yang berada di bawah satu payung perusahaan. Akibatnya, materi atau isi program berita cenderung seragam, hanya berbeda kemasannya. Juga, program-program yang pernah ditayangkan di satu stasiun televisi boleh jadi kemudian juga ditayangkan oleh stasiun televisi lain yang berada dalam satu grup. Keseragaman content media juga menunjukkan hanya segelintir perusahaan media yang mengendalikan content media. Empat agensi berita Barat (Associated Press/AP, United Press International/UPI, Reuters, Agence France21 Presse/AFP) menyuplai 90 persen pers, radio, dan televisi di dunia. Berita-berita televisi global disuplai oleh CNN, CNBC, BBC World Service, dan dalam beberapa kasus, TV global itu adalah cabang dari agensi berita itu. Lebih dari separo dari seluruh program TV di Asia diimpor dari Barat. Musik rekaman secara total dikendalikan oleh lima perusahaan: Polygram, Time Warner, Sony, EMI, dan Bertelsman. Produksi film global didominasi oleh studio-studio yang dipunyai oleh Disney, Time Warner, Viacom, Universal, Sony, Polygram, MGM, dan News Corporation. Ketiga, melemahnya fungsi kontrol jurnalistik, terutama yang terkait dengan kepentingan pemilik. Dampak ketiga ini terkait erat dengan kebebasan pers. Dalam konteks kebebasan pers ini, sebagaimana dikatakan Ziauddin Sardar, kebebasan menjadi milik mereka yang menguasai pers. Dalam konteks teori hegemoni Antonio Gramsci, pemilik atau konglomerat media menghegemoni, menguasai dan mendominasi media semata untuk kepentingan diri mereka. Sebagai ilustrasi, seorang konglomerat media menguasai dua televisi siaran, satu koran, dan satu radio. Ketika sang konglomerat tersangkut kasus korupsi, misalnya, semua media yang dimilikinya tidak akan memberitakan perkara korupsi tersebut. Andai dia hanya menguasai satu televisi, mungkin hanya televisi miliknya yang tidak memberitakan, tetapi media-media lainnya akan memberitakannya. Dengan perkataan lain, makin banyak media dikuasai oleh segelintir konglomerat, makin banyak pula media yang lemah kontrol jurnalistiknya terhadap kepentingan sang pemilik. Di sisi lain, pemilik media punya kekuasaan mewajibkan media yang dimilikinya itu menayangkan berita yang menguntungkan dirinya, meski berita tersebut barangkali tidak memiliki nilai jurnalistik. Jika sang pengusaha menguasai banyak media, maka makin banyak pula media yang memberitakan peristiwa atau isu yang sesungguhnya tidak memiliki nilai berita. Dampak konsentrasi kepemilikan ini juga terkait dengan kontrol pemilik terhadap media dan para profesional yang bekerja di dalamnya. Pemilik seringkali memiliki kekuatan, pengaruh, atau kontrol pada media dan para profesional media. Pemilik punya kekuatan untuk melarang memproduksi suatu berita, atau sebaliknya, memerintahkan memproduksi suatu berita, bahkan memecat para profesional media. Televisi milik Murdoch, Fox TV, misalnya, pernah menghentikan penayangan film tentang pelecehan seksual yang dituduhkan kepada Clarence Thomas pada 1998, seorang teman Murdoch yang menjabat hakim agung. Rupert Murdoch juga memaksa Harold Evans mundur dari Times dalam perselisihan tentang suatu kebijakan politik. Untuk membatasi konsentrasi kepemilikan, negara menerbitkan regulasi. Di Amerika, misalnya, terdapat aturan yang melarang konsentrasi kepemilikan. Di Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 52/2005 membatasi kepemilikan silang untuk televisi berlangganan. Di Indonesia, terdapat satu lembaga yang mengawasi monopoli dan persaingan usaha: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Keempat, menurunnya kualitas content media. Columbia Journalism Review melaporkan, untuk meningkatkan keuntungan korporasi, media membuat ‘’penyusutan anggaran yang timpang’’—mengurangi peliputan internasional, 22 mempekerjakan orang yang tak bisa menulis berita, dan memenuhi kolom yang ada dengan meteri yang tidak karuan. Kepemilikan Asing Orang atau lembaga asing bisa memiliki saham media di negara lain. Di Indonesia, StarTV pernah memiliki saham Antv dan TVOne. AstroTV milik pengusaha Malaysia pernah beroperasi di Indonesia. Namun, biasanya ada regulasi terkait kepemilikan asing di industri media. Di Amerika Serikat, terdapat regulasi yang mengharuskan orang asing yang ingin memiliki media di sana untuk menjadi warga negara Amerika terlebih dahulu. Dalam ekonomi media, ini yang disebut rintangan bagi produsen lain. Untuk memenuhi regulasi tersebut, Rupert Murdoch yang sebelumnya berkewarganegaraan Australia rela menjadi warganegara Amerika. Indonesia, seperti dalam kasus StarTV dan Astro, juga membolehkan orang atau lembaga asing memiliki saham secara terbatas di perusahaan media dalam negeri. Undang-undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 melegalkan kepemilikan 20 persen saham oleh asing di perusahaan media penyiaran. Undangundang Pokok Pers No. 40 tahun 1999 tidak mengijinkan modal asing mencapai saham mayoritas. Kepemilikan asing tentu juga punya dampak positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain masuknya modal, transfer ketrampilan serta alih teknologi di bidang media. Dampak negatifnya—meski kadang dinilai terlampau berlebihan—antara lain dominasi dan eksploitasi modal, sumber daya manusia dan budaya dalam negeri. Kekhawatiran akan dampak negatif tersebut sepertinya yang membuat adanya regulasi yang membatasi kepemilikan asing.[] 6 Teknologi Media dan Ekonomi Media Landasan Teoretis 23 Teknologi pada dasarnya merupakan cara manusia memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup. Teknologi pada gilirannya digunakan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan demikian pencapaian teknologi oleh suatu masyarakat juga merupakan pencapaian eksistensi. Media massa berawal dari teknologi. Ditemukannya teknologi mesin cetak oleh Guttenberg acap disebut sebagai awal berkembangnya media massa. Teknologi merupakan cara media memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan. Teknologi kemudian digunakan media untuk meningkatkan kualitas content yang disampaikannya. Pencapaian teknologi oleh suatu media menunjukkan eksistensi media tersebut. Dari perspektif ekonomi media, teknologi memegang peran penting dalam industri media. Industri media massa harus senantiasa mengikuti perkembangan teknologi. Jika tidak, eksistensi media massa sebagai industri akan tergilas oleh kemajuan dan perkembangan teknologi. Paling tidak ada dua pendapat atau teori tentang teknologi media. Teori pertama dikemukakan oleh kaum optimis kultural, pendapat kedua oleh kaum pesimis kultural. Kaum optimis kultural mengatakan teknologi baru mengarah kepada peningkatan akses terhadap informasi, dan oleh karena itu ada pemberdayaan baru. Beberapa pakar yang memandang optimis teknologi media adalah Bell, Toffler, Castells, Slevin, Kranzberg. Kaum pesimis kultural mengatakan perusahaan-perusahaan multimedia akan menjadi sangat kuat luar biasa, menuju eksploitasi komersial yang lebih besar dan kesenjangan yang lebih lebar antara yang kaya informasi dan yang miskin informasi. Webster, Kumar, Weizenbaum, Roszak, dan Winner termasuk yang pesimis memandang teknologi media. Kaitan Teknologi dan Ekonomi Media Teknologi terkait erat dengan ekonomi media. Kaitan teknologi dan ekonomi media bisa dirumuskan sebagai berikut: Teknologi media memerlukan investasi. Sebagai contoh, di industri televisi, teknologi satellite news gathering/SNG (teknologi untuk melaporkan berita secara live/lebih cepat) membutuhkan investasi yang besar. Pada 2008, satu SNG membutuhkan investasi sekitar Rp 4 miliar. Teknologi pada gilirannya bisa menciptakan efisiensi proses produksi sehingga memperkecil cost production. Sebagai contoh, teknologi cetak jarak jauh membuat distribusi surat kabar menjadi lebih efisien. Orang di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, bisa membaca koran Kompas, Koran Tempo, dan Republika, dalam waktu yang bersamaan dengan pembaca di Jakarta. Sebelum ada teknologi jarak jauh, orang di Jakarta membaca koran jauh lebih pagi ketimbang pembaca di daerah lain, karena koran harus diangkut secara fisik atau manual dengan menggunakan alat transportasi konvensional, seperti pesawat udara atau mobil. Efisiensi dalam cost production pada gilirannya menguntungkan konsumen: harga media menjadi lebih murah. 24 Teknologi menciptakan pasar baru. Sebagai contoh, media massa, baik media cetak maupun elektronik, telah merambah ke dunia maya (internet). Ini dapat menciptakan pasar baru di kalangan kaum muda yang lebih suka mengakses informasi maupun hiburan melalui internet. Di sisi lain, teknologi bisa mengubah pasar media yang tadinya berupa massa, menjadi komunitas, bahkan individual. Teknologi dikhawatirkan bisa ‘’meniadakan’’ bentuk media tertentu. Media elektronik akan menggantikan atau meminggirkan teknologi yang sudah ada sebelumnya. Kemunculan teknologi televisi dan internet dikhawatirkan bisa ’’meniadakan’’ surat kabar. Lokakarya kebijakan komunikasi bertajuk ‘’The Power of The individual in the information Age’’ di Aspen Institut, Colorado, AS, Agustus 1981, menyebut kemajuan teknologi di bidang komunikasi media akan memperkokoh ekonomi: Teknologi yang lebih efisien membuat pekerjaan di bidang informasi lebih produktif. Teknologi informasi/media dapat menjadi substitusi berupa energy-clean bagi proses/teknologi lain yang menimbulkan polusi dan menghabiskan energi. Informasi pasar lebih mudah diperoleh, menghasilkan transaksi yang efisien dan langkah yang lebih jitu untuk memperbaiki kegagalan. Penyampaian jasa akan lebih murah, sebab sistem baru memperluas ‘’kehadiran’’ penyedia jasa dan membantu dalam membangkitkan pasar. Dengan berkurangnya ketidakpastian, ‘’kerjasama’’ antara pasar dan pemerintah pada kondisi-kondisi baru akan makin cepat dan efisien. Sallstrom Consulting dalam surveinya menemukan ada korelasi positif antara kenaikan Gross Domestic Product (GDP) dan pembelajaan teknologi komunikasi dan informasi (TIK). Setiap kenaikan pembelajaan TIK sebasar 10 persen akan memberi kontribusi kenaikan GDP sebesar 13 persen. Laporan Global Insight (2006-2007) menunjukkan penetrasi broadband di suatu negara dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Di Brazil, penetrasi broadband sebesar 20 persen telah menaikkan GDP sebesar 800 dolar AS per kapita. Di India, penetrasi broadband sebesar 3 persen, telah menaikkan GDPsebesar 1.400 dolar AS per kapita. (Majalah Info Komputer, Agustus 2009) Teknologi Media dan Pengaruhnya pada Industri Media, Konsumen, Pemerintah, serta Industri Lainnya yang Terkait Teknologi Media akan mendatangkan pengaruh pada industri media, konsumen, pemerintah serta industri lainnya yang terkait. Sebagai contoh, 25 teknologi TV digital akan membawa pengaruh bagi stasiun televisi, industri pmbuat pesawat televisi, konsumen, serta pemerintah: Stasiun televisi berinvestasi untuk membeli teknologi digital, yaitu untuk pemancar digital. Industri pembuat pesawat televisi menghentikan produksi TV analog dan memulai produksi TV digital serta memproduksi set-top box (alat yang dipasang ke TV analog sehingga bisa menangkap siaran tv digital). Konsumen mau tidak mau membeli pesawat TV digital yang relatif lebih mahal dibanding TV analog atau membeli set-top box. Konsumen juga punya pilihan content yang melimpah. Di negara-negara maju, konsumen mendapat subsidi dari pemerintah untuk bermigrasi dari TV analog ke TV digital. Pemerintah membuat regulasi terkait alokasi kanal, tayangan, content, dan sejenisnya. Laporan Kebijakan Publik BBC memperingatkan bahwa teknologi baru menciptakan tekanan yang kuat terhadap industri penyiaran yang tidak kompetitif, tetapi juga menimbulkan khalayak yang terfragmentasi dan kepemilikan terkonsentrasi pula. Hal ini dikarenakan content media berkualitas tinggi harganya mahal untuk diproduksi, tetapi murah untuk menyunting atau mengubah dan murah pula untuk diproduksi. Oleh karena itu, industri ini memiliki biaya tetap yang tinggi dan biaya marjin yang rendah. Biaya tetap yang tinggi dan biaya marjin yang rendah menjadi penyebab alamiah munculnya monopoli. Jika kita coba rumuskan laporan BBC, kita melihat teknologi berpengaruh terhadap industri media, konsumen, dan pemerintah: Akan terjadi monopoli dan keseragaman content pada industri media. Konsumen akan makin terfragmentasi. Pemerintah harus membuat regulasi untuk mengontrol kepemilikan dan content media. Berapa Contoh Teknologi Media Teknologi yang dewasa ini berkembang dalam industri media adalah media digital serta teknologi media yang terkait dengan teknologi internet. Dalam industri televisi, teknologi yang dewasa ini sedang berkembang antara lain satellite news gathering (SNG), video streaming, podcast (Ipod broadcast), televisi digital, high definition television (HDTV), internet protocol television (IPTV). Dalam industri film juga telah berkembang teknologi digital. Untuk industri radio, teknologi yang sedang berkembang antara lain live streaming, radio internet, radio digital, radio with picture. Dalam industri buku, yang kini sedang berkembang adalah e-book atau buku elektronik. Di industri media cetak penggunaan kamera digital, teknologi jarak jauh, koran transparan atau e-paper, serta integrated newsroom telah berkembang di berbagai belahan dunia dewasa ini. Dalam industri periklanan di Indonesia, sejak akhir 2008, mulai digunakan teknologi streetboard TV. Media ini berupa layar dua layar liquid crystal display 26 (LCD) berukuran 65 inchi dan satu layar light emitting diode (LED) berukuran 3 x 2,4 meter yang dipasang di sebuah mobil. Mobil ini akan berkeliling ke lokasilokasi strategis. Keuntungannya, selain bisa mendatangi target market secara langsung, juga bisa menarik perhatian di tengah kemacetan. Teknologi Media dan Ekonomi Media: Masa Depan Dewasa ini ‘’layar’’ atau screen menjadi media utama. Ada tiga tahap layar atau screen: first screen (layar televisi), second screen (layar komputer), dan third screen (layar handphone). Awalnya, orang menonton siaran televisi hanya bisa melalui layar televisi. Namun, kini orang bisa membaca berita atau menonton program televisi melalui layar komputer bahkan handphone. Hilangnya bentuk-bentuk media massa tertentu merupakan satu hal yang paling dikhawatirkan dari kemajuan teknologi media. Ketika televisi muncul, orang meramalkan the end of radio, musnahnya radio. Ketika teknologi media elektronik berkembang, orang meramalkan the end of paper. Dengan perkataan singkat, media elektroknik akan menggantikan atau meminggirkan teknologi media yang sudah ada sebelumnya. Mungkin kekhawatiran itu terlampau berlebihan. Ketika media cetak muncul, toh orang tidak berhenti berbicara. Ketika radio dan televisi muncul, orang juga tidak berhenti membaca dan menulis. Ketika televisi muncul, ternyata radio tidak mati. Dengan kemajuan teknologi, kita hanya harus belajar mengkomunikasikan ide-ide kompleks dengan media visual atau elektronik. Di masa depan yang terjadi adalah konvergensi media. Media cetak, radio, dan stasiun televisi kini harus memiliki website sehingga content mereka bisa diakses melalui jaringan internet. Sebaliknya, media online kini punya TV, seperti Kompas tv dan detik tv. Banyak surat kabar kini mempunyai e-paper. Kompas bahkan kini juga bisa diakses melalui layar handphone melalui teknologi Quick Response code (QR code). Itu artinya di masa depan media massa harus bisa diakses melalui berbagai medium (multimedia). Dalam konteks ekonomi media, untuk mengadakan multimedia atau konvergensi media, perusahaan media harus berinvestasi untuk konvergensi media tersebut. Namun, konvergensi media pada gilirannya akan menghasilkan efisiensi ekonomi dan memperluas pasar. Jim Dator, Profesor Future Studies Universitas Hawaii, bahkan meramalkan teknologi komunikasi yang kuat di abad ke-21 bukanlah media elektronik, tetapi biologis. DNA adalah sumber informasi paling mutakhir. Dengan memanipulasi DNA, kita akan bisa menciptakan kapabilitas komunikasi yang baru, lebih efisien, dan jauh lebih kuat dari media elektronik apa pun. [] 7 Regulasi Media dan Ekonomi Media Pengantar: Kaitan Regulasi dan Ekonomi Media 27 Secara teoritis, ilmu komunikasi menyebutkan media punya pengaruh yang dahsyat pada khalayak. Media bisa membentuk opini publik. Media mungkin saja mengubah perilaku khalayak. Pengaruh media umumnya merupakan dampak dari media sebagai institusi ekonomi. Dari sisi ekonomi, media adalah institusi ekonomi yang menekankan keuntungan. Demi mendapat keuntungan atau demi memenangi persaingan, media kadang mengabaikan dampak pesan-pesan yang dibawanya bagi publik. Oleh karena itu, media memerlukan regulasi. Regulasi berguna untuk mengontrol dampak media terhadap publik. Regulasi di satu sisi bersifat preventif, mencegah dampak buruk media. Di sisi lain, regulasi bersifat represif, ‘’menghukum’’ media yang mendatangkan dampak buruk bagi publik. Di sisi lain, media sebagai institusi ekonomi harus dilindungi. Regulasi media yang berfungsi melindungi media antara lain regulasi terkait monopoli dan kepemilikan serta undang-undang hak cipta. Pelanggaran terhadap regulasi bisa mendatangkan kerugian secara ekonomi bagi media. Sebagai contoh, penyensoran film yang dianggap melanggar regulasi berupa penarikan film dari peredaran, pasti mendatangkan kerugian bagi produser yang telah mengeluarkan biaya produksi. Contoh lain, tudingan pelanggaran terhadap undang-undang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, bisa mengantarkan suatu institusi media ke persidangan. Bukan tidak mungkin peradilan memutuskan menutup perusahaan media yang melanggar undang-undang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Model Regulasi Leen d’Haenens membagi model regulasi media menjadi lima model: model otoriter, model komunis, model barat-paternalistik, model barat-liberal, dan model demokratis-partisipan. Dalam model otoriter, media merupakan alat negara yang diarahkan mendukung kebijakan negara. Lembaga sensor negara berwenang menyensor isi media. Indonesia di masa Orde Baru dan sejumlah negara berkembang seperti Malaysia menerapkan model otoriter ini. Model komunis merupakan subkategori dari model otoriter. Dalam model komunis media berfungsi sebagai alat propaganda, agitasi, dan organisasi. Swasta tak boleh memiliki media. Media juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi, edukasi, informasi, motivasi, dan mobilisasi. Prinsip ekonomi media tidak berlaku di negara-negara komunis. Model barat-paternaslitik diterapkan di banyak negara Eropa Barat, terutama Inggris. Disebut paternalistik karena sifatnya yang top down. Kebijakan media bukan apa yang diinginkan khalayak, tetapi lebih sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat. Media punya fungsi sosial. Model demokratis-partisipan menganggap media sebagai powerful medium. Oleh karena itu, model ini mensyaratkan adanya regulasi untuk mengontrol power media yang berlebihan. Model ini terinspirasi oleh mashab kritis. 28 Model barat-liberal secara umum serupa dengan model barat-paternalistik, hanya berbeda dalam fungsi komersialnya. Di samping sebagai penyedia informasi dan hiburan, media juga punya fungsi ‘’mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan.’’ Ruang Lingkup Regulasi Colin Rowat membagi regulasi penyiaran dalam dua ruang lingkup: ekonomi dan non-ekonomi. Regulasi ekonomi mencakup antara lain regulasi tentang kompetisi dan kepemilikan. Regulasi non-ekonomi antara lain regulasi tentang content, perlindungan terhadap kaum minoritas, serta dampak iklan. Akan tetapi, ruang lingkup regulasi seperti sebutkan oleh Rowat sepertinya juga berlaku untuk media secara umum. Sebagai contoh, Undangundang Pokok Pers No. 40 tahun 1999 mengatur tentang larangan kepemilikan saham mayoritas pada media cetak (regulasi ekonomj) serta tidak adanya pembredelan pada pers nasional (regulasi non-ekonomi). Tipe Regulasi Menurut Wolfgang Hoffman-Riem, paling tidak terdapat dua tipe regulasi dan kontrol: regulasi imperatif dan regulasi strukrural. Regulasi imperatif diberlakukan dengan membuat kontrol atau pedoman perilaku. Tipe ini terkait pengaturan secara langsung melalui petunjuk, kebutuhan, larangan, dan hal terkait yang dapat diberi sanksi secara langsung. Sebagai contoh, permberlakuan sanksi terhadap tayangan negatif, misalnya mengandung kekerasan, mistis yang kurang mendidik, ataupun porno. Dalam regulasi struktural pemerintah menetapkan suatu bingkai yang mengandung struktur tertentu dan dapat memengaruhi secara tidak langsung industri media dan lembaga lain yang terkait. Dalam cara ini, ditetapkan berbagai standar tertentu misalnya terkait struktur kemampuan ekonomi dasar, jenis pembiayaan, atau melalui penciptaan aturan khusus terkait organisatoris atau pendirian dan pengelolaan industri media. Regulasi Kepemilikan Media Michele Polo mengidentifikasi sejumlah model regulasi kepemilikan media. 1. Pembatasan kepemilikan Regulasi di sejumlah negara dalam hal ini membatasi kepemilikan perusahaan media. Pembatasan kepemilikan media meliputi: Kepemilikan hanya satu perusahaan media; Pembatasan kepemilikan silang; Pembatasan kepemilikan asing; Pembatasan mutlak (misalnya larangan partai politik memiliki media penyiaran). 2. Pembatasan jumlah lisensi 29 3. 4. 5. 6. Sejumlah negara membatasi jumlah lisensi media. Inggris, misalnya, hanya mengijinkan perusahaan memiliki satu lisensi televisi siaran nasional. Pembatasan market share Jerman, misalnya, memberlakukan regulasi bahwa televisi siaran tidak boleh menjangkau lebih dari 30 persen khalayak. Pembatasan iklan Di Indonesia dan di banyak negara terdapat aturan iklan tidak boleh melebihi content. Pembatasan content Regulasi seperti ini di banyak negara antara lain diberlakukan pada masa pemilihan umum. Media harus memberi porsi pemberitaan yang relatif sama pada partai politik. Media publik Dalam hal ini regulasi mengatur keharusan ‘’kehadiran’’ negara di dalam pasar media melalui media publik. Di Inggris, untuk menghindari kecenderungan industri siaran yang monopolistik, Pemerintah Inggris secara parsial menerapkan kebijakan state-monopoly. Negara memonopoli kepemilikan media penyiaran di Inggris. Kebijakan tersebut baru diubah ketika Tatcher berkuasa pada 1980-an menjadi kebijakan publicmonopoly. Media penyiaran menjadi milik publik. Regulasi Kompetisi Selain untuk menghindari dominasi pasar, regulasi kompetisi juga dimaksudkan untuk menetapkan model ekonomi untuk kepentingan publik yang produktif, dan untuk menumbuhkan persaingan yang sehat. Setidaknya terdapat dua model regulasi kompetisi: model neoklasik dan model alternatif. Model neoklasik mensyaratkan jumlah perusahaan yang berkompetisi atau paling tidak derajat kontestabilitas pasar merupakan dua hal yang harus dijaga negara dari distorsi monopoli dan oligopoli. Model alternatif menyebutkan kompetisi sehat tidak terletak pada jumlah perusahaan yang berkompetisi, tetapi lebih pada derajat persaingan berusaha dan derajat inovasi. Di Indonesia, regulasi kompetisi diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Televisi berlangganan Astro pada tahun 2007-2008 pernah diperkarakan dengan undang-undang ini dengan tuduhan memonopoli siaran Liga Inggris. Regulasi Penyiaran Regulasi Penyiaran versus Regulasi Media 30 Media penyiaran bisa disebut sebagai media yang paling banyak memiliki aturan atau regulasi dibanding media jenis lainnya. Regulasi media penyiaran relatif lebih ketat dibanding media jenis lainnya. Sebagai contoh, jika media cetak diperbolehkan berafiliasi pada kelompok politik atau kelompok kepentingan tertentu, tidak demikian halnnya media penyiaran. Oleh karena itu, regulasi tentang media penyiaran paling banyak dibahas dibanding dengan media jenis lainnya. Bisa dikatakan lebih banyak buku yang membahas tentang regulasi penyiaran dibanding regulasi media jenis lainnya. Regulasi Penyiaran: Landasan Teoretis Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan mengapa media penyiaran cenderung lebih regulatif dibanding media jenis lain. Teori-teori tersebut dikemukakan oleh Joseph R. Dominic, Dennis McQuail, dan Jankwoski. Joseph R. Dominic menggagas dua teori berkaitan dengan regulasi, yaitu the scarcity theory atau teori keterbatasan dan the pervasive presence theory. The scarcity theory mengemukakan bahwa gelombang elektromagnetik bersifat terbatas dan hanya bisa dipakai oleh stasiun penyiaran secara terbatas sehingga hanya segelintir orang yang bisa menggunakannya. Negara memilih atau menyeleksi pengguna frekuensi yang dianggap paling potensial dan mampu mengelola secara profesional. The pervasive presence theory mengasumsikan media penyiaran sangat dominan pengaruhnya bagi masyarakat. Pesan yang dibawa media penyiaran dianggap ofensif dan masuk ke wilayah pribadi sehingga perlu pengaturan atau regulasi. McQuail menyebutkan media perlu dikontrol dalam dua wilayah, yaitu wilayah isi dan wilayah infrastruktur. Wilayah isi perlu dikontrol karena alasan politik dan kultural atau moral. Dalam hal isi, regulasi mengontrol isi media agar tidak berdampak buruk secara politik, kultural maupun moral. Wilayah infrastruktur dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi. Dalam hal infrastruktur, regulasi mengatur kepemilikan media berikut teknologinya serta persaingan antarmedia agar tidak merugikan publik. Menurut Jankwoski, ada dua alasan sehingga diperlukan regulasi media penyiaran. Pertama, regulasi diperlukan karena terbatasnya jumlah frekuensi. Kedua, kuatnya efek media penyiaran dalam mempengaruhi khalayak. Regulasi juga dimaksudkan untuk memudahkan akses terhadap medium penyiaran. Dengan pengaturan yang tepat akan diperoleh informasi yang obyektif. Prinsip Regulasi Penyiaran Menurut Muhammad Mufid, regulasi mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: Menetapkan sistem tentang bagaimana dan siapa yang berhak mendapatkan lisensi penyiaran. Memupuk rasa nasionalitas. Secara ekonomis melindungi institusi media dari ‘’kekuatan’’ asing. Mencegah konsentrasi dan membatasi kepemilikan silang. Di Uni Eropa ada komisi khusus yang mengatur tata laksana merger dan pengawas kuota media. 31 Memuat apa yang disebut Head (1985) sebagai ‘’regulation fairness’’ yang mengandung prinsip obyektivitas, imparsialitas, dan akuntabilitas. Mengatur tata aliran keuangan dari sumber yang berbeda. Dana komersial, misalnya, mesti dibatasi guna melindungi konsumen dari iklan yang eksesif, paling tidak dari bentuk promosi tertentu untuk mencegah pengaruh pengiklan yang berlebihan terhadap suatu acara.[] 8 32 Riset Ekonomi Media Pentingnya Riset Dunia sosial senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Media memerlukan instrumen untuk mengidentifikasi perubahan dan perkembangan tersebut. Instrumen tersebut adalah riset. Dengan riset, media bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan tersebut. Kemampuan beradaptasi dengan perubahan akan menjadikan media sebagai institusi ekonomi mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam tataran praktis, selera pasar senantiasa berubah dan berkembang. Selera khalayak berkembang dari waktu ke waktu. Selera pengiklan juga berubah dari masa ke masa. Media sebagai institusi ekonomi harus mampu mengidentifikasi selera pasar dan perkembangannya. Dengan mengetahui selera pasar dan perubahannya, media akan mampu beradaptasi dan memenuhi keinginan pasar. Hanya media yang mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan pasar yang dapat bertahan dalam dunia ekonomi yang penuh persaingan ini. Dalam tataran teoretis, para ilmuwan komunikasi atau akademisi senantiasa mendiskusikan konsep-konsep ekonomi media, seperti pasar, konglomerasi, atau kompetisi. Di satu sisi, sejumlah ilmuwan komunikasi melontarkan kritik terhadap konglomerasi, misalnya. Akan tetapi, di sisi lain, tak sedikit ilmuwan yang menyebut konglomerasi merupakan suatu keniscayaan pasar. Oleh karena itu, para ilmuwan dituntut untuk terus mengembangkan penelitian terhadap sejumlah fenomena ekonomi media dan kaitannya dengan fenomena sosial lainnya. Selain untuk menguji, menerapkan, atau bahkan menghasilkan konsep atau teori dalam disiplin ekonomi media, penelitian seperti ini boleh jadi akan menjadi dasar pembuatan kebijakan atau regulasi di bidang media. Kebijakan atau regulasi pada akhirnya akan berpengaruh pada praktik atau kegiatan ekonomi media. Tipe Riset Ekonomi Media Secara umum terdapat dua tipe riset media. Tipe riset media ini terkait dengan kepentingan, keperluan atau tujuan riset tersebut. Kedua tipe riset tersebut adalah riset teortetis-akademis dan riset praktis. Riset Teoretis-Akedemis Riset teoretis-akademis dilakukan untuk kepentingan penerapan, pengembangan atau penemuan teori, pengembangan ilmu pengetahuan, serta memperkaya khasanah akademis di bidang ekonomi media. Penelitian untuk keperluan penyusunan skripsi, tesis, disertasi, atau buku, termasuk dalam kategori riset teoretis-akademis. Riset teoretis-akademis biasanya berupaya mencari relasi antara fenomena ekonomi media dengan fenomena sosial lain. Sejumlah topik riset yang bersifat teoretis-akademis antara lain terkait dengan kepemilikan atau konglomerasi, globalisasi atau kepemilikan asing, teknologi, regulasi, dan kompetisi. Tentu saja 33 topik-topik riset yang bersifat teoretis-akademik bisa diperluas. Riset teoretisakademis ini bisa dilakukan denganm metodologi kualitatif maupun kuantitatif. Kepemilikan atau Konglomerasi Konglomerasi atau konsentrasi kepemilikan sudah menggejala dalam dunia industri media. Fomenomena ini menarik untuk menjadi bahan penelitian. Apa pengaruh konglomerasi ini terhadap produk atau content media? Apakah konsentrasi kepemilikan ini memunculkan fenomena oligopoli? Apakah konglomerasi mempersempit ruang publik untuk memperoleh informasi? Teknologi Perkembangan teknologi senantiasa mempengaruhi industri media. Industri media mau tak mau berjuang menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi ini. Bagaimana media menyesuaikan diri secara ekonomi dengan perkembangan teknologi? Akankah audience atau konsumen mengadopsi layanan teknologi yang disediakan oleh industri media? Seberapa banyak inovasi teknologi ini yang akan bertahan? Seberapa banyak khalayak yang akan menggunakan waktu dan uangnya untuk memperoleh layanan dan produk dengan tekonologi baru ini? Apakah kemajuan teknologi baru dalam media akan meminggirkan teknologi media yang sudah ada sebelumnya? Adakah kaitan antara penggunaan teknologi dalam media dengan peningkatan perolehan keuntungan ekonomi? Kepemilikan Asing atau Globalisasi Pertumbuhan dan ekspansi ekonomi merambah banyak wilayah di dunia. Ini menyebabkan terbukanya pasar baru, termasuk di dunia industri media. Asing dimungkinkan memiliki perusahaan media di suatu negara. Masuknya Star TV ke Antv dan TVOne merupakan salah satu gejala globalisasi di bidang ekonomi media. Bagaimana globalisasi yang ditandai dengan masuknya modal asing mempengaruhi content media? Regulasi Regulasi industri media massa senantiasa berubah dan berkembang mengikuti perkembangan dan perubahan sosial. Regulasi tentu saja akan mempengaruhi kinerja industri media. Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 tentang siaran televisi berjaringan tentu akan mempengaruhi kinerja televisi nasional. Regulasi tentang penggunaan teknologi juga mempengaruhi kinerja media. Pula, regulasi berupa peraturan Menkominfo tentang penggunaan sumberdaya dalam negeri dalam produksi iklan tentu akan mempengaruhi industri periklanan. Bagaimana pengaruh regulasi tertentu di bidang media massa terhadap kinerja ekonomi media? Kompetisi 34 Kompetisi atau persaingan dalam industri media makin ketat. Untuk memenangkan kompetisi, media kadang tidak ragu menambah investasi. Bagaimana kinerja ekonomi media dalam menghadapi persaingan dengan media lain? Kompetisi pada gilirannya berakibat pada content media. Apakah kompetisi di antara media akan meningkatkan kualitas isi yang dikunsumsi audience atau justru menurunkannya? Apakah kompetisi akan meningkatkan perolehan iklan? Riset Praktis Riset praktis biasanya bertujuan meningkatkan kualitas content. Pada gilirannya, content yang berkualitas dapat meningkatkan pendapatan iklan. Dengan perkataan singkat, riset praktis bertujuan mengidentifikasi selera pasar (khalayak dan pengiklan) serta perubahannya. Oleh karena itu, riset praktis idealnya dilakukan secara berkala. Hasil riset praktis dipergunakan untuk mengevaluasi dan meningkatkan kinerja media. Riset praktis bisa bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Riset Kuantitatif Untuk media penyiaran, khususnya televisi, riset kuantitatif dilakukan untuk mengetahui share, rating, index, dan revenue atau penghasilan dari iklan. Di atas kertas atau secara teoretis, makin tinggi share, rating, dan index, makin tinggi revenue atau penghasilan dari iklan. Pengiklan biasanya memutuskan memasang iklan pada program dengan rating, share, dan index yang tinggi. Untuk media cetak, secara kuantitatif, juga berlaku hubungan seperti dalam media penyiaran. Makin besar oplah dan jumlah pembaca, makin besar pendapatan dari iklan. Sebagaimana dalam media penyiaran, pengiklan biasanya memutuskan memasang iklan di media cetak yang bertiras tinggi. Perusahaan media tidak perlu melakukan riset kuantitatif semacam ini sendiri. Perusahaan media cukup melibatkan lembaga riset. Bahkan, ada lembaga riset yang secara rutin melakukan riset khalayak. Perusahaan media tinggal ’’membeli’’ data dari lembaga riset ini. Dalam bisnis penyiaran, Nielsen merupakan lembaga riset yang secara rutin melakukan riset kepemirsaan. Nielsen antara lain melakukan riset tentang rating, share, dan index. Secara teoretis-kuantitatif, makin tinggi rating, share, dan index, makin besar revenue atau pemasukan dari iklan. Rating - Program rating adalah jumlah rata-rata audience yang menonton suatu program televisi yang merupakan persentase dari keseluruhan populasi atau orang yang potensial menonton program tersebut. Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian, yang dalam hal ini rumah tangga yang dipasangi alat pengukur rating (peoplemeter) Rumus program rating (%)= - audience yang menonton satu program x 100% 35 - total populasi Jika suatu program TV punya rating 10%, itu artinya dari seluruh populasi 2% di antaranya menonton program tersebut. Jika populasi, katakanlah, 10.000, itu berarti ada 1.000 orang yang menonton program tersebut. Share - Program share adalah jumlah orang yang menonton suatu program di suatu televisi dibagi jumlah orang yang menonton berbagai program di televisi lain pada waktu yang sama dan dikali 100 persen. - Rumus program share (%)= program rating x 100% total rating - Jika suatu program punya share 50%, itu artinya separo dari jumlah penonton pada waktu yang sama menonton program tersebut. Jika pada saat yang sama total penonton berbagai program di berbagai stasiun televisi, katakanlah, 100.000 orang, dan share program suatu program X di stasiun televisi Y adalah 50%, itu artinya penonton program X di stasiun televisi Y tersebut berjumlah 50.000 orang. Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan rating dan share serta perbedaan di antara keduanya, kita ambil sebuah contoh. Sebagai contoh, populasi berjumlah 10.000. TV A meraih 2.000 penonton, TV B 1.000 penonton, dan TV C 1.000 penonton. - Rating TV A = 2.000 : 10.000 x 100% = 20%; TV B dan C = 1.000 : 10.000 x 100% = 10% - Share TV A = 20% x 100%: 40% = 50% TV B dan C = 10% x 100 % : 40% = 25% Index - Index adalah angka untuk mengukur apakah suatu program tepat sasaran. Dengan perkataan lain, indeks adalah angka untuk mengetahui apakah penonton yang menonton suatu program sudah sesuai dengan target sehingga program tersebut efektif. - Ukuran: < 100 kurang efektif > 100 lebih efektif = 100 efektif 36 Angka rating, share, dan index, diperoleh setelah Nielsen melakukan survei di 10 kota rating. Kesepuluh kota rating itu adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Makassar, Banjarmasin. Angka rating, share, dan index diperoleh melalui alat peoplemeter yang dipasang di rumah-rumah tangga yang menjadi sampel survei. Peoplemeter dilengkapi remote control yang di tombolnya terdapat angka-angka. Angka-angka itu berguna untuk mengategorikan penonton. Sebagai contoh, jika ingin menonton suatu program, ayah harus menekan tombol 1, ibu 2, anak 3, pembantu 4. Ukuran waktu terkecil hingga sampel dianggap menonton adalah satu menit. Bila seseorang menekan satu tombol dan berhenti di suatu program selama minimal 1 menit, dia dianggap menonton program tersebut. Pengukuran rating, share, dan index seperti itu memiliki kelemahan metodologis. Pertama, definisi menonton yang tidak definitif. Ketika seseorang menonton suatu program menimal satu menit, per definisi atau secara kuantitatif dia sudah disebut menonton, meski si penonton mungkin mengeritik bahkan mungkin mencaci-maki program tersebut. Kedua, bisa saja ayah ketika hendak menonton suatu program, dia memencet tombol untuk pembantu, dan sebaliknya. Ketiga, Nielsen satu-satunya lembaga survei kepemirsaan televisi di Indonesia dan tidak pernah diaudit oleh suatu lembaga independen. Kelemahan-kelemahan itu membuat suatu program yang rating, share, dan index tinggi secara kuantitatif belum tentu merupakan program yang bagus secara kualitatif. Sebaliknya, program yang secara kualitatif bagus, belum tentu rating, share, dan indeksnya tinggi secara kuantitatif. Di sisi lain, ada program-program yang, meski rating-nya rendah, memperoleh pendapatan dari iklan secara signifikan. Program seperti ini biasanya program yang segmentasinya jelas atau program yang punya citra baik. Kenyataan ini menunjukkan, pengiklan tidak hanya melihat dari sisi kuantatif seperti rating dan share, tetapi juga sisi kualitatif, misalnya segmentasi dan citra. Riset Kualitatif Kelemahan riset kuantitatif membuat stasiun televisi atau lembaga riset melakukan riset kualitatif. Stasiun televisi bisa menggunakan hasil riset kualitatif ini untuk menjaring iklan, dengan mempresentasikannya kepada agensi iklan atau pengiklan. Sekurang-kurangnya terdapat dua metodologi riset kualitatif: focus group discussion (FGD) dan rating kualitatif. - Focus group Discussion (FGD) Diselenggarakan oleh lembaga independen yang diminta oleh suatu stasiun televisi. Lembaga independen menjaring penonton setia televisi bersangkutan dan membaginya dalam sejumlah kelompok. Lembaga riset independen menetapkan ukuran penonton setia, misalnya, mereka yang menonton suatu stasiun televisi minimal 2 jam per hari. Lembaga riset independen 37 - ini membagi para partisipan sesuai dengan latar belakang mereka ke dalam, misalnya, kelompok mahasiswa, eksekutif, ibu rumah tangga, dll. Kelompok-kelompok ini kemudian mendiskusikan dan menilai berbagai program di stasiun televisi bersangkutan. - Hasil diskusi digunakan untuk menetapkan kualitas program-program di stasiun televisi bersangkutan. Pada gilirannya hasil diskusi dijadikan pedoman untuk meningkatkan kualitas program-program stasiun televisi tersebut. - Rating Kualitatif Rating kualitatif dilakukan sebagai alternatif bagi rating kuantitatif yang memiliki banyak kelemahan. Metode yang digunakan adalah peer review assesment, yakni meminta penilaian terhadap berbagai program televisi dari responden yang merupakan sekelompok orang yang berkompeten dengan berbagai latar belakang. Kelompok responden bukanlah kalangan awam, melainkan kalangan yang paham dengan program-program televisi. Responden diminta menilai aspek kualitas suatu program, misalnya, apakah suatu program ‘’menambah pengetahuan’’, ‘’meningkatkan empati sosial,’’ ‘’meningkatkan daya kritis,’’ dan sebagainya. Penilaian responden kemudian dihitung frekuensinya dan dipersentasekan. - - 38 9 Ekonomi Industri Surat Kabar Sejarah Singkat Surat kabar bisa dikatakan merupakan media massa tertua di dunia, setelah buku. Pada zaman Romawi Kuno sudah ada surat kabar yang disebut Acta Diurna. Acta Diurna tentu saja merupakan media untuk menyampaikan informasi politik. Memang awalnya, surat kabar merupakan media untuk menyampaikan informasi politik, sosial, dan kultural. Di Amerika Serikat pun di masa-masa awal, surat kabar merupakan media penyampai informasi politik. Belum muncul kecenderungan media menjadi suatu institusi ekonomi yang mencari keuntungan sehingga bisa menghidupi diri. Koran Boston News-Letter yang berdiri pada 1704, misalnya, bisa bertahan hidup karena subsidi pemerintah. Namun, perkembangan berikutnya memperlihatkan surat kabar telah menjadi instusi bisnis yang menjual informasi. Di Amerika, menjelang abad ke19, koran the New York Sun sudah menjadi institusi ekonomi. Banyak perusahaan penerbit surat kabar yang kemudian menjadi korporasi besar. Di Indonesia, di masa-masa prakemerdekaan, banyak koran yang didirikan atau disubsidi oleh pemerintah kolonial Belanda. Koran menjadi alat propaganda pemerintah kolonial. Koran-koran kaum nasionalis menjadi media politik yang memberitakan kritik atau perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Di masa demokrasi liberal, surat kabar di Indonesia bersifat partisan. Mereka berafiliasi pada partai politik tertentu. Harian Rakjat berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Pedoman berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Abadi berafiliasi dengan Partai Masyumi, serta Kompas berafiliasi dengan Partai Katolik. Sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga awal Orde Baru, pers Indonesia pun belum menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan. Belum masuknya surat kabar ke dalam dunia industri tampaknya terkait dengan kondisi ekonomi, yang ketika itu sangat buruk. Titik awal pers Indonesia memasuki era industri ketika terbit Undangundang Penanaman Modal Dalam Negeri pada Juli 1968. Undang-undang ini memasukkan pers sebagai industri yang berhak mendapat pinjaman pemerintah, insentif pajak, dan insentif barang impor (kertas koran). Pasar Pasar surat kabar terdiri dari pembaca dan pengiklan. Surat kabar memproduksi jasa berupa informasi. Pembaca membeli dan mengonsumsi informasi yang diproduksi oleh surat kabar. Pengiklan kemudian memasang iklan atas pertimbangan kuantitatif berupa besarnya pembaca, tiras, atau sirkulasi, maupun atas pertimbangan kualitatif berupa segmentasi pembaca maupun citra surat kabar bersangkutan. Pasar suratkabar bersifat monopolistik. Picard mencoba menghitung rasio konsentrasi pasar surat kabar lokal dan nasional berdasarkan data sirkulasi, dia 39 menemukan bahwa meski pasar suratkabar sangat terkonsentrasi, konsentrasi tersebut meningkat akibat menurunnya pasar. Sirkulasi Sirkulasi atau jumlah pembaca surat kabar belakangan memang menurun. Pasar surat kabar cenderung mengerucut atau terkontrasi. Sejumlah perusahaan surat kabar kecil tidak mampu merebut pasar yang makin mengerucut itu. Perusahaan surat kabar besar kemudian membeli perusahaan surat kabar kecil sehingga terjadi konsentrasi kepemilikan dan konsentrasi pasar. Tabel I Rata-rata oplah surat kabar nasional di Amerika per hari (dalam eksemplar) Koran 1992 2002 USA Today Wall Street Journal New York Times 1,4 juta 1,8 juta 1,0 juta 2,6 juta 2,1 juta 1,7 juta Tabel II Rata-rata oplah surat kabar nasional di Amerika per hari (dalam eksemplar) Koran Los Angeles Times Washington Post Chicago Tribune Houston Cronicle 1992 1,1 juta 800 ribu 700 ribu 450 ribu 2002 1,3 juta 1,1 juta 950 ribu 700 ribu Secara umum di Amerika Serikat terdapat sekitar 1.566 surat kabar harian. Sebagian besar surat kabar ini beredar di perkotaan. Menurut asosiasi surat kabar Amerika (1994), total sirkulasi surat kabar pagi sebanyak 43.534.747 (Media Sciene, 2005). Di Indonesia, berdasarkan Laporan Penerangan, Pers dan Komunikasi Sosial Departemen Penerangan, oplah surat kabar pada tahun 1989/1998 meningkat dibandingkan dengan 1988/1989 dan sebelumnya. Pada tahun 1989/90 jumlah oplah surat kabar mencapai 4,9 juta eksemplar per hari, sedangkan pada tahun 1988/1989 baru mencapai 4,4 juta eksemplar per hari. Peningkatan oplah surat kabar di Indonesia itu menghasilkan peningkatan rasio surat kabar dan jumlah penduduk. Rasio surat kabar terhadap penduduk yang berumur 10 tahun ke atas pada tahun 1989/90 adalah 1:28, meningkat dari 1:30 pada tahun 1988/1989. Beralihnya kondisi politik Indonesia dari Orde Baru yang otoriter menuju Orde Reformasi yang relatif lebih demokratis menyebabkan meningkatnya oplah 40 surat kabar. Di awal reformasi oplah surat kabar membengkak menjadi 6 juta eksemplar per hari. Menurut perkiraan, jumlah pembaca surat kabar pada tahun 2005 mencapai 7.267.000, sangat kecil dibanding dengan jumlah penduduk yang mencapai 215.276 juta jiwa pada saat itu. Sebagian besar surat kabar atau 65 persen beredar di Jakarta, sementara 35 persen lainnya beredar di luar Jakarta. Per juni 2008, berdasarkan catatan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) jumlah koran mencapai 7,49 juta eksemplar per hari dari 290 penerbit. Menurut data Roy Morgan Single Source (Oktober 2006-September 2007), surat kabar menjangkau 39,0 persen penduduk Indonesia. Kompas merupakan koran dengan tiras terbesar, baik untuk edisi SeninSabtu maupun edisi Minggu. Tabel III Rata-rata jumlah pembaca 10 surat kabar terbesar di Indonesia 2006/2007 untuk edisi Senin-Sabtu: Koran Jumlah Pembaca Kompas 1.454.000 Jawa Pos 1.395.000 Pos Kota 1.121.000 Pikiran Rakyat 641.000 Warta Kota 553.000 Seputar Indonesia 450.000 Radar Malang 312.000 Lampu Merah 274.000 Media Indonesia 247.000 Radar Bogor 245.000 Sumber: Diolah dari Roy Morgan Single Source Juli 2006-Juni 2007 seperti dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008. Tabel IV Jumlah pembaca 10 surat kabar terbesar di indonesia tahun 2006/2007 untuk edisi Minggu Koran Kompas Jawa Pos Pikiran Rakyat Pos Kota Seputar Indonesia Warta Kota Radar Malang Suara Merdeka Top Skor Lampu Merah Jumlah Pembaca 1.143.000 1.081.000 567.000 526.000 304.000 257.000 249.000 242.000 233.000 210.000 41 Sumber: Diolah dari Roy Morgan Single Source Juli 2006-Juni 2007 seperti dikutip Media Planning Guide 2008. Oplah koran sedunia, menurut hasil survei itu disampaikan pada kongres ke-61 World Association of Newspaper (WAN) di Goteborg, Swedia, 2-4 Juni 2008, memang mencatat kenaikan penjualan 2,57 persen pada 2007, dengan total tiras mencapai 532 juta lembar per hari. Kenaikan ini sedikit di atas tahun 2006 dengan tiras 515 juta per hari. Namun, dibandingkan tahun 2002 yang tirasnya hanya 488 juta per hari, kenaikan oplah tahun 2007 cukup signifikan. (Kompas, 13 Agustus 2008) Namun, secara teoretis, diprediksikan sirkulasi surat kabar di masa-masa mendatang cenderung menurun. Elastisitas permintaan (sirkulasi) atau ‘’spiral sirkulasi’’ merupakan satu faktor yang menyebabkan menurunnya sirkulasi suratkabar. Memang, permintaan khalayak atas surat kabar sangat elastis. Berbeda dengan televisi free to air atau televisi terestrial yang bisa dikonsumsi secara gratis, khalayak harus mengeluarkan uang untuk mengonsumsi surat kabar. Di banyak negara, termasuk Indonesia, ada dua tipe permintaan pembaca atas surat kabar: berlangganan dan eceren. Permintaan eceran elastisitasnya sangat besar, tergantung pada peristiwa yang tengah terjadi di masyarakat yang diangkat oleh surat kabar. Ketika terjadi peristiwa atau isu besar di masyarakat—misalnya serangan 9/11, serangan Israel ke Gaza, atau Piala Dunia—permintaan akan meningkat, dan sebaliknya. Persaingan dengan media lain, seperti televisi dan terutama internet juga menghasilkan kecenderungan menurunnya oplah koran di masa-masa mendatang. Bahkan Rupert Murdoch, konglomerat media, meramalkan bakal datangnya ’’the end of paper’’ atau ’’matinya surat kabar’’ akibat dominasi televisi dan internet. Philip Meyer, penulis buku "The Vanishing Newspaper", meramalkan koran terakhir terbit pada April 2040. Secara praktis, data lain memperlihatkan penurunan oplah surat kabar akibat televisi dan internet. Data yang dikeluarkan Asosiasi Surat Kabar Dunia, sepanjang 1995-2003, oplah koran turun 5% di Amerika, 3% di Eropa, dan 2% di Jepang. Di negara-negara Asia yang masyarakatnya sudah akrab dengan teknologi, seperti Jepang dan Korea Selatan- mulai muncul kekhawatiran bahwa media cetak cepat atau lambat akan ditinggalkan khalayak. Di Indonesia, Survei Kementerian Komunikasi dan Informasi menunjukkan oplah koran juga cenderung menurun. Oplah koran yang semula 6 juta eksemplar di awal reformasi (1998/1999), tinggal 4,3 juta eksemplar pada 2003. Ramalan Murdoch dan Meyer, bahwa koran akan terkalahkan oleh televisi dan internet, mulai terbukti berdasaran sejumlah data. Bila pada 1960-an empat dari lima orang Amerika membaca koran, di tahun 2005 tinggal 2 dari lima orang saja yang masih membaca koran. Yang tiga orang lagi telah terbenam di dunia elektronik atau digital. Penelitian AC Nielsen pada 2008 juga menyebutkan oplah media cetak turun sementara konsumsi media digital justru naik. Oplah koran turun 4 persen, majalah 24 persen, tabloid 12 persen, sementara penonton televisi naik 2 persen dan pengakses internet naik 17 persen. 42 Untuk memperluas pasar, koran di Indonesia melakukan teknologi jarak jauh. Teknologi jarak jauh ini disertai dengan penyisipan edisi lokal. Kompas, misalnya, menyisipkan edisi Jawa Timur, untuk pasar di Jawa Timur. Jika majalah melakukan internasionalisasi, surat kabar justru melakukan lokalisasi. Satu koran Indonesia, Manado Post, koran lokal yang dimiliki oleh kelompok Jawa Pos, pada 1996 melakukan ekspansi pasar ke luar negeri. Manado Post dalam hal ini menerbitkan sisipan mingguan berbahasa Inggris dan Indonesia bernama Polygon News, yang diedarkan di sejumlah negara Asean seperti Brunei, Malaysia, dan Filipina. Iklan Suratkabar memperoleh persentase iklan terbesar dalam industri media (di Amerika Serikat dan dunia). Kenyataannya, iklan mengambil 50-60 persen space surat kabar harian, dan pada hari Minggu iklan suratkabar lebih banyak lagi. Di Amerika Serikat, pengiklan nasional mewakili kategori terkecil dari revenue dan digunakan terutama oleh perusahaan besar untuk membantu pemasaran produk dan jasa yang didistribusikan secara nasional. Total iklan di surat kabar AS diharapkan tumbuh rata-rata 5,4 persen pada 1997. Namun kenyataannya, iklan surat kabar di Amerika cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada 1980 iklan surat kabar mencapai 30% dari total belanja iklan. Namun, pada 1990 iklan di surat kabar Amerika menurun menjadi 25%, dan menurun lagi pada 2000 menjadi hanya 20%. Di negara Jepang iklan untuk surat kabar memperlihatkan penurunan. Dewasa ini, pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya menurun 10-20 persen (Kompas, 25 Maret 2009). Di Indonesia, Kompas merupakan peraih iklan terbesar dalam industri surat kabar. Berdasarkan data AC Nielsen, pada 2005 Kompas meraih iklan sebesar Rp 1,35 triliun atau 19,2 persen dari total belanja iklan nasional untuk surat kabar. Total belanja iklan nasional untuk surat kabar pada tahun 2005 sebesar Rp 7,03 triliun. Tabel V Sepuluh Surat Kabar Peraih Iklan Terbesar 2006 (dalam juta) Koran Kompas Jawa Pos Media Indonesia Sumatera Ekspres Fajar Sriwijaya Pos Manado Pos Jambi Independent Perolehan Iklan (juta rupiah) 1.340.755 500.846 286.553 271.202 201.562 199.304 195.670 193.982 43 Bali Pos Pikiran Rakyat 191.689 179.968 Tetapi, di Indonesia, surat kabar harian berada di urutan kedua dalam perolehan iklan setelah televisi. Iklan surat kabar cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada Jannuari-Marert 2006 iklan surat kabar sebesar Rp 5.916 miliar meningkat 19% pada Jan-Mar 2007 menjadi Rp 7.019 miliar, dan meningkat lagi 23% pada Jan-Mar 2008 menjadi Rp 6.661 miliar. Namun, secara keseluruhan, iklan surat kabar masih di bawah televisi. Pada Januari-Marert 2008, porsi iklan televisi 62%, surat kabar 34%, majalah dan tabloid 4%. (AC Nielsen, seperti dikutip Kompas 23 April 2008) . Biaya Produksi Konsentrasi menjadi perhatian khusus dalam industri suratkabar, karena surat kabar beroperasi tak hanya dalam pasar barang dan jasa, tetapi juga dalam pasar ide. Konsentrasi pasar surat kabar serta biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha penerbitan suratkabar menjadi penghalang bagi pengusaha yang ingin masuk ke industri ini. Untuk memproduksi ‘’terbitan pertama’’ dibutuhkan fixed cost dan biaya tak terduga. Setelah beroperasi cost production surat kabar dibedakan antara: 1) biaya peliputan (cost of gathering) dan penyiapan (preparing) produk; 2) biaya pencetakan (cost of printing) dan biaya distribusi (cost of disseminating). Tenaga kerja masih merupakan pengeluaran utama dalam industri surat kabar, menghabiskan 40 persen dari total cost. Menurut Picard, struktur biaya produksi surat kabar yang seperti ini berkontribusi membangkitkan struktur pasar yang monopolistik. Tabel VI Struktur biaya produksi dan penghasilan dari iklan serta keuntungan industri surat kabar Operating Revenue Iklan 60%-80% -lokal/retail 55%-60% -Classified 20%-35% -Nasional 10%-15% -Sirkulasi 20%-30% Biaya Operasional (Operating Expenses) -Editorial 7%-10% -Iklan 5%-6% -Sirkulasi 9%-10% -Promosi 1%-2% -Mekanik/Teknik 13%-15% -Percetakan 15%-30% 44 -Administrasi -Gedung dan tanah 8%-12% 1%-3% Margin Operasional (Operating Margin) Sebelum pajak dan bunga 15%-20% Di Indonesia, setidaknya hingga tahun 2009, harga jual surat kabar ratarata Rp 2.500 per eksemplar. Padahal biaya cetak mencapai Rp 5.000 per eksemplar. Sebagai ilustrasi, jika satu eksemplar koran dijual Rp 3.000, setelah dikurangi diskon untuk agen dan loper koran sebesar 33,3 persen, perusahaan penerbitan hanya menerima Rp 2.000. Ditambah pengenaan PPN 10 persen, pendapatan bersih dari penjualan hanya Rp 1.800 per eksemplar. Tak pelak, industri penerbitan sangat tergantung pada iklan. Market share media cetak di Indonesia hanya 30 persen. Di negara-negara maju, market share media cetak mencapai 60 persen. Ini sepertinya berkaitan dengan budaya baca dan kegagalan media cetak menarik perhatian publik. Tahun 2003, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 tirliun per tahun, sementara belanja surat kabar hanya Rp 4,9 triliun per tahun. Tetapi, rendahnya market share ini boleh jadi juga berkaitan dengan kegagalan media cetak dalam memproduksi berita yang akurat dan dapat dipercaya. Dengan perkataan lain, boleh jadi kecilnya market share surat kabar di Indonesia karena rendahnya kualitas. Satu data menyebutkan hanya 30 persen surat kabar di Indonesia yang berkualitas. Kepemilikan Sebagian besar perusahaan surat kabar di Amerika Serikat dimiliki oleh korporasi atau kelompok. Dalam industri surat kabar, terminologi jaringan digunakan untuk menggambarkan kelompok pemilik surat kabar, dan ini dimulai sejak 1880-an, ketika penerbit besar mulai memiliki sejumlah suratkabar. Tabel VII ‘’Sepuluh Besar’’ penerbitan surat kabar di Amerika Serikat: Penerbitan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Community News Holdings Gannet Co. Media News Group Knight Rider Morris Communication Freedom Newspaper Advance Publications Lee Enterprises Jumlah harian 115 harian 99 harian 46 harian 34 harian 30 harian 29 harian 27 harian 27 harian Persentase 7,8 6,7 3,1 3,2 2,0 2,0 1,8 1,8 45 9. Media General 10. E.W. Scripps Co. 25 harian 22 harian 1,7 1,5 Berdasarkan data Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) hingga Agustus 2007, terdapat 251 surat kabar harian. Akan tetapi, hanya sekitar 30 persen yang sehat secara bisnis. Kelompok Kompas-Gramedia dan Jawa Pos Grup merupakan contoh dua perusahaan pers yang sehat bahkan telah mengukuhkan diri sebagai konglomerasi surat kabar di Indonesia. Kompas-Gramedia memiliki surat kabar utama: Kompas. Sejak 1989, di bawah bendera ‘’Pers Daerah’’ atau Persda, Kompas menerbitkan koran lokal dari Aceh hingga Papua, melalui skema bisnis berupa suntikan modal serta kemitraan editorial dan manajerial. Koran lokal di bawah bendera Persda antara lain Tribun Kaltim, Surya, Tribun Manado. Jawa Pos merupakan kerajaan bisnis koran terbesar kedua setelah Kompas. Jawa Pos memiliki jaringan surat kabar di daerah, seperti Radar Bogor, Radar Kediri, Radar Malang. Sejumlah pengusaha besar terjun ke dunia pers. Surya Paloh, pemilik usaha perhotelan, katering, dan televisi swasta MetroTV, memiliki koran Media Indonesia di Jakarta, Lampung Post di lampung, dan Borneo News di Kalimantan. Hari Tanoe Soedibjo, pemilik Kelompok Media Nusantara Citra (MNC), pemilik RCTI, TPI, dan Global TV, menerbitkan koran Seputar Indonesia. MNC bahkan Indonesia, melakukan ekspansi kepemilikan media ke Singapura. MNC dalam hal ini menjalin kemitraan strategis serta keuangan dengan MediaCorp memiliki koran Today di Singapura. Harian Seputar Indonesia menyertakan satu halaman untuk berita koran Today. Halaman ini diberi nama ‘’Today Seputar Singapura.’’ Erick Tohir, pemilik kelompok Mahaka, pada 1999 membeli sebagian besar saham harian Republika,. Republika merupakan koran muslim yang sebelumnya sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Erick juga memiliki saham di TVOne. Kompetisi Kompetisi dalam industri surat kabar terjadi antar-surat kabar atau antara surat kabar dengan media lain. Secara teoretis, kompetisi sesama surat kabar lebih ketat dibanding kompetisi surat kabar dengan media lain. Kompetisi antara Kompas dan Jawa Pos sangat ketat dalam industri surat kabar di Indonesia. Untuk memenangi persaingan dengan sesama surat kabar, baik antar surat kabar nasional maupun dengan surat kabar daerah, sejumlah koran melakukan cetak jarak jauh. Kompas, Koran Tempo, dan Seputar Indonesia adalah korankoran yang melakukan cetak jarak jauh. Penerbitan edisi lokal menyertai penggunaan teknologi jarak jauh. Dengan begitu, penyisipan edisi lokal pada koran-koran nasional dilakukan untuk memenangi persaingan dengan koran daerah. Akan tetapi, kenyataannya surat kabar juga bersaing secara ketat dengan media lain, terutama televisi dan internet. Sejumlah pakar berpendapat, justru persaingan dengan televisi dan internet inilah yang mengancam kelangsungan 46 hidup industri surat kabar. .Di Amerika, misalnya, dari 528 media cetak beroplah di atas 400 ribu eksemplar, sekitar 40 di antaranya sudah tutup (Kompas, 28 Februari 2008). Oleh karena itu, surat kabar harus melakukan berbagai upaya untuk ‘’memenangi’’ persaingan dengan media lain, baik dari sisi teknis pencetakan maupun dari sisi teknik penulisan laporan. Dari sisi teknis pencetakan, terutama untuk menyaingi kecepatan televisi, sejumlah surat kabar, melakukan dua kali pencetakan, edisi pagi dan edisi sore. Di Indonesia, Kompas, misalnya, selain memiliki edisi pagi, juga memiliki edisi ’’up-date’’. Media Indonesia juga pernah melakukan hal yang sama. Namun, taktik seperti ini tidak lagi dilakukan. Dari sisi teknis pencetakan pula, terutama terkait dengan kenyamanan, koran-koran di Indonesia dan di banyak belahan dunia lainnya, memperkecil ukuran lembarannya. Koran di Indonesia umumnya mengurangi lebar halaman dari semula sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Koran Tempo bahkan memperkecil ukuran halaman menjadi seukuran tabloid. Perbaikan juga merambah ke persoalan desain demi kenyamanan membaca. Dari sisi teknis pelaporan, surat kabar menampilkan banyak grafis serta menuliskan hardnews dengan teknik feature yang lebih mendalam. Jika tidak khalayak enggan membaca koran, karena mereka sudah menontonnya di televisi. Untuk menyaingi media online, surat kabar kini memiliki website. Selain website, sejumlah koran, seperti Kompas dan Koran Tempo, memiliki e-paper atau koran versi online. Untuk menyaingi televisi yang bisa dikonsumsi secara gratis, muncul fenomena koran gratis, seperti Bisnis Jakarta, Bisnis Makassar, Bisnis Surabaya. Kabarnya, kemunculan Bisnis Jakarta membuat koran-koran lain banting harga eceran. Persaingan tentu saja membawa dampak bagi industri surat kabar. Menurut James N. Rosse, ada beberapa dampak persaingan bagi industri surat kabar: Hilangnya segmentasi pasar surat kabar. Dengan perkataan lain, surat kabar tidak mampu mencari pembaca yang berbeda dengan pembaca surat kabar lain. Segmentasi merupakan salah satu faktor yang membuat pengiklan memasang iklan di satu surat kabar. Menurunnya pendapatan iklan akibat pengiklan lebih suka memasang iklan di televisi. Penurunan jumlah pembaca di rumah tangga. Penduduk berubah, dari penduduk kota yang sangat beragam menjadi penduduk pinggiran yang homogen yang kebutuhan informasinya bisa dipenuhi oleh media komunitas. Teknologi Sebagaimana kaitan antara teknologi dan ekonomi media, teknologi dalam industri surat kabar membawa paling tidak empat konsekwensi ekonomi. 47 Keempat konsekwensi ekonomi itu adalah investasi, efisiensi, terciptanya pasar baru, dan hilangnya bentuk teknologi sebelumnya. Investasi Perusahaan surat kabar harus berinvestasi untuk membeli teknologi cetak jarak jauh, foto digital, perangkat teknologi untuk website, sistem newsroom, dll. Efisiensi Menurut Picard, surat kabar kini dapat diproduksi dengan sedikit tenaga kerja akibat adanya teknologi canggih. Surat kabar kini dapat diproduksi secara lebih cepat, sehingga memungkinkannya dicetak dengan deadline yang lebih longgar. Pasar baru Konvergensi surat kabar dengan internet memungkinkan terciptanya pembaca baru di kalangan anak muda. Dengan teknologi internet, surat kabar kini dikonsumsi secara lebih personal. Teknologi jarak jauh memungkinkan terciptanya pasar baru di daerah. Meniadakan bentuk teknologi lain Banyak orang meramalkan e-paper atau surat kabar versi online akan menghapuskan surat kabar versi cetak. Ramalan itu boleh jadi tepat jika dikaitkan dengan isu lingkungan. Untuk membuat pulp yang menjadi bahan kertas koran, orang harus menebang hutan. Inovasi—sekurang-kurangnya untuk saat ini—diharapkan bermuara pada peningkatan tiras atau oplah. Inovasi (cetak jarak jauh, koran transparan, newsroom) membuat oplah koran meningkat. Hasil survei menunjukkan, penjualan koran sedunia mencatat kenaikan 2,57 persen, dengan total tiras mencapai 532 juta lembar per hari. Kenaikan ini sedikit di atas tahun 2006 dengan tiras 515 juta per hari. Namun, dibandingkan tahun 2002 yang tirasnya hanya 488 juta per hari, kenaikan oplah tahun 2007 cukup signifikan. (Kompas, 13 Agustus 2008) Regulasi Hanya beberapa regulasi yang mengatur suratkabar. Berkaitan dengan meningkatnya jumlah konglomerasi surat kabar utama, konsentrasi pengawasan dan kepemilikan asing tetap menjadi isu penting dalam industri suratkabar. Sensor dan bredel juga menjadi tetap menjadi isu regulasi, terutama di negara berkembang. Di Malaysia, misalnya, perusahan surat kabar setiap akhir tahun harus mengurus perpanjangan izin terbit kepada pemerintah. Oleh karena itu, di akhir tahun, sangat sedikit surat kabar yang mengeritik pemerintah. Di Indonesia masa Orde Baru, untuk mendirikan pers diperlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dua regulasi terkait dengan SIUPP adalah Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN/1984 tentang SIUPP dan SK Menpen No.214A/KEP/MENPEN/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan mendapatkan SIUPP. Regulasi ini mengharuskan adanya jaminan Rp 500 juta di bank untuk mendirikan perusahaan penerbitan pers. Regulasi ini mengancam 48 kebebasan pers, karena sewaktu-waktu Menteri Penerangan berwenang mencabut SIUUP atau membredel pers, seperti yang pada 1995 terjadi pada Tempo, Editor dan Detik. Di masa reformasi, lahir Undang-undang No. 40 tahun 1999. Regulasi ini mengatur bahwa tidak tidak diperlukan SIUPP untuk mendirikan penerbitan pers, serta tidak ada pembredelan pers. Terkait dengan kepemilikan asing, Undang-undang Pokok Pers Nomor 11 tahun 1966 menyebutkan seluruh modal perusahaan pers adalah modal nasional. Akan tetapi, pada Juli 1994, terbit Aturan Pemerintah No. 20, yang mengijinkan modal asing masuk ke berbagai sektor, termasuk perusahaan pers. Namun, Undang-undang Pokok Pers melarang kepemilikan saham mayoritas oleh asing dalam industri pers. Sebagian kecil saham Republika dimiliki oleh investor asal Inggris. Masa Depan Di masa mendatang surat kabar menghadapi sejumlah tantangan yang berdampak pada kinerja ekonominya, seperti menurunnya oplah suratkabar harian, berkurangnya jumlah industri surat kabar, meningkatnya ongkos cetak, makin mahalnya harga kertas koran, perubahan dan perkembangan teknologi, krisis keuangan serta persaingan dengan jenis media lain, terutama televisi dan internet. Krisis keuangan bahkan krisis ekonomi menjadi ancaman serius pada industri surat kabar. Di Indonesia, ketika krisis ekonomi melanda pada 1997/1998, hampir seluruh surat kabar melakukan penghematan, mulai pengurangan halaman, pengurangan tenaga kerja, hingga pemotongan gaji karyawan. Di Amerika, ketika krisis keuangan global melanda dunia pada 20082009, empat perusahaan surat kabar—Philadelphia Media Holdings The Journal Register Co, Tribune Co, dan The Star Tribune—mengajukan permohonan bangkrut. Koran tertua di Amerika, Seattle Post Intelegencer (Seattle I-P) yang berusia 146 tahun dan koran The Christian Science Monitor (CSM) yang berusia 100 tahun pada Maret 2009 mengakhiri edisi cetak mereka akibat krisis ekonomi. Seattle P-I dan CSM kini hanya terbit dengan versi online. Di masa depan diprediksikan banyak koran cetak yang beralih ke media online. Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan oleh surat kabar untuk menghadapi tantangan itu adalah menciptakan integrated newsroom. Integrated newsroom merupakan ruang kerja terpadu yang disiapkan minimal bagi para jurnalis media cetak dan online. Integrated newsroom bahkan tidak hanya merupakan ruang kerja terpadu untuk media cetak dan online, tetapi juga untuk video, audio, dan mobile. Integrated newsroom—seperti hasil survei dilaporkan pada kongres ke-61 World Association of Newspaper (WAN) Juni 2008— merupakan salah satu faktor meningkatnya oplah sebesar 2,57 persen, dari 515 juta eksemplar per hari pada 2006 menjadi 532 juta lembar per hari pada 2007. [] 49 10 Ekonomi Industri Majalah Sejarah Singkat Khalayak mencari berita, laporan, atau artikel mendalam di majalah. Ada majalah yang terbit mingguan, dua mingguan, atau bulanan. Terdapat dua jenis majalah: majalah umum dan majalah khusus. Majalah berita—seperti Time, Tempo, atau Gatra—termasuk kategori majalah umum. Majalah khusus bersifat lebih segmented dan specialist, semisal majalah perempuan, majalah ekonomi, majalah film, majalah olahraga, dll. Majalah telah menjadi sumber berita, informasi dan literatur yang penting. Majalah memberi kontribusi dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya, seraya memperkenalkan pendekatan jurnalisme dan inovasi baru. Sebagai media visual, majalah memuat informasi tentang sejarah dunia. Artikel dan foto tentang Perang Teluk, hancurnya komunisme, dan Perang Sipil, kepada generasi berikutnya. Majalah telah menjadi media favorit bagi kalangan elite Inggris sejak 1700-an. Pada 1741 di Philadelphia Andrew Bradford menerbitkan American Magazine, atau Monthly View of the Political State of The British Colonies. Benjamin Franklin menyusul menerbitkan General Magazine and Historical Cronicle for All the British Plantation in America. Sejak 1800-an, majalah mulai memasuki era industri. Pada tahun 1821 terbit the Saturday Evening Post yang bertahan selama 148 tahun. Majalah lain yang sukses secara ekonomi adalah Harper’s yang terbit pada 1850 dan Atlantic Monthly yang terbit pada 1857. Ongkos cetak yang murah serta tingkat melek huruf yang membaik menjadi salah satu faktor pemicu industri majalah. Terjadi booming dalam industri majalah. Pada 1825 terdapat 100 majalah; dan pada 1850 meningkat menjadi 600 majalah. Di Indonesia, majalah yang pertama kali diterbitkan adalah Verhandelingen van Het Bataviache Genootschap van Kustenen Wetenschappen pada 1879 di Batavia. Majalah di Indonesia mulai menjadi institusi bisnis atau institusi ekonomi sejak 1980-an. Pasar Pasar majalah terdiri dari pembaca dan iklan. Majalah dapat dibagi ke dalam sejumlah subpasar, seperti pasar untuk majalah spesialis (misalnya majalah bisnis, majalah perempuan, atau jurnal profesi). Kita juga dapat membaginya dari sisi waktu terbitnya—apakah bulanan, dwibulanan, mingguan. Di kebanyakan negara, industri majalah beroperasi dalam struktur pasar monopolistik yang kompetitif. Dalam struktur pasar seperti ini, terdapat banyak produsen yang menyediakan produk yang nyaris sama, tetapi satu sama lain saling menggantikan. Khalayak Waktu yang dihabiskan untuk membaca majalah di AS serta belahan dunia lain cenderung menurun. Pada tahun 1995 orang menghabiskan waktu rata-rata 50 113 jam untuk membaca, tahun 2001 rata-rata 106 jam, tahun 2002 rata-rata 104 jam dan tahun 2005 rata-rata 100 jam. Meski sirkulasi total majalah agak datar selama 1990-an, tingkat pelanggan cenderung meningkat, sementara jumlah pembeli eceran cenderung menurun. Sejumlah masalah sukses menerbitkan edisi khusus. Ada tiga tipe sirkulasi majalah: eceran, berlangganan, dan controlled circulation. Pembeli eceran membeli majalah tergantung pada kebutuhan atau isu yang diangkat suatu majalah—atau secara teoretis sirkulasi uses and gratification. Pembeli berlangganan membeli suatu majalah dalam rentang waktu yang rutin dan cukup lama, tanpa tergantung pada isu yang ditampilkan majalah bersangkutan. Dalam controlled circulation, pembaca mengonsumsi majalah tanpa harus mengeluarkan uang karena majalah bersangkutan disediakan oleh suatu instansi atau institusi seperti perusahaan penerbangan atau hotel. Majalah spesialis dan majalah berita umum biasanya paling diminati pembaca. Di AS majalah Modern Maturity, termasuk Reader’s Digest, TV Guide, National Geography termasuk majalah yang sangat diminati. Harga majalah relatif stabil, kecuali akibat fluktuasi nilai mata uang. Di Indonesia, berdasarkan data Roy Morgan Single Source (Oktober 2006September 2007), majalah menjangkau hanya 8,8 persen penduduk Indonesia. Data yang sama menunjukkan sebanyak 48,1 persen pembaca majalah berusia 1424 tahun, 25,4 persen berusia 25-34 tahun, 18,9 persen berusia 35-49 tahun, dan 7,6 persen berusia di atas 50 tahun. Dalam jumlah pembaca, majalah Islam Hidayah menempati urutan pertama dengan oplah lebih dari 500 ribu orang, disusul majalah Gadis (lebih dari 400 ribu orang) dan Kawanku (lebih dari 200 ribu orang. Tabel VIII Sepuluh Majalah Terbesar di Indonesia dalam Jumlah Pembaca Majalah Jumlah Pembaca Hidayah 531.000 Gadis 420.000 Kawanku 213.000 Aneka Yess 185.000 Kartini 179.000 Liga Italia 176.000 Hai 144.000 Femina 130.000 Motor 128.000 Tempo 126.000 Sumber: Diolah dari Roy Morgan Single Source (Oktober 2006-September 2007) seperti dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008. 51 Iklan Di Amerika, nilai total iklan majalah mencapai lebih dari 23 miliar dolar AS pada 2005 (Magazines Publishers of America, 2005). Sepuluh kategori produk pemasang iklan terbesar di majalah Amerika adalah otomotif, perhiasan dan asesoris, furniture atau perlengkapan rumah tangga, perlengkapan mandi dan kosmetik, minuman keras, media, perusahaan jasa, retail, keuangan (keuangan asuransi dan real estate), produk makanan. Di Amerika majalah People menempati urutan pertama dalam perolehan iklan mauoun sirkulasi, disusul berturut-turut oleh Sport Ilustrated, Time, TV Guide, Better Homes & Gardens, Newsweek, oarade, Reader Digest, Good House Keepping dan Cosmolopitan. Tabel IX Sepuluh Majalah Amerika Berpenghasilan Terbesar Majalah People Sports Illustrated Time TV Guide Better Homes & Gardens Newsweek Parade Reader Digest Good Housekeeping Cosmopolitan Penghasilan (juta dolar AS) 1271,1 1031,8 1018,1 917,6 888,0 662,4 616,1 556,3 543,6 472,8 (sumber: Endicott, 2005 seperti dikutip oleh Baran, 2008) Permintaan untuk iklan pada majalah rata-rata mencapai 8-10% dari total belanja iklan di Indonesia. Iklan majalah didominasi oleh 10 kategori iklan, berdasarkan data Standard & Poor’s: otomotif, kosmetik, toiletries, direct response, layanan bisnis dan konsumen, sepatu/kaos kaki dan asesoris, makanan, komputer dan perlengkapan kantor, agen perjalanan dan hotel, minuman keras, serta media dan penerbitan. Di Indonesia, Femina merupakan majalah dengan perolehan iklan terbesar pada 2006, disusul Tempo, Cosmopolitan, dan Ayah Bunda 52 Tabel X Sepuluh Majalah di Indonesia dengan Penghasilan Iklan terbesar pada 2006 Majalah Femina Tempo Cosmopolitan Ayah Bunda Dewi Aneka Yess Swa Sembada Kartini Gatra Gadis Perolehan Iklan (juta rupiah) 66.431 56.603 39.615 22.672 22.423 22.169 21.138 20.224 19.881 19.709 Sumber: AC Nielsen sebagaimana dikutip majalah Cakram Iklan untuk majalah khusus, seperti in-flight magazines, majalah rumahtangga, cenderung meningkat. Namun, majalah minggu, majalah remaja, dan metropolitan iklannya cenderung menurun. Kepemilikan Konglomerasi telah memasuki industri majalah. Di Amerika, Rupert Murdock yang dikenal sebagai raja media pemilik News Corporation menguasai majalah Time. Perusahaan Pergamon Holding Foundation milik Robert Maxwell menguasai sejumlah majalah, antara lain People. Di Indonesia, kita mengenal kelompok penerbit majalah besar, seperti kelompok Kompas Gramedia Grup, kelompok Femina, serta kelompok Tempo. Media Nusantara Citra (MNC) yang dikenal sebagai pemilik RCTI, TPI dan Global TV, juga menguasai majalah Trust. Model kepemilikan yang dewasa ini menggejala adalah franchise. Majalah dewasa Playboy, misalnya, punya edisi franchice di sejumlah negara. Di Indonesia, majalah The Rolling Stones, Maxim, Cospolitan, National Geography, Men’s Health, merupakan beberapa contoh majalah franchice. Istilah lain untuk kepemilikan model franchise adalah internasionalisasi. Kompetisi Majalah berkompetisi dengan sesama majalah. Oplah majalah Time, misalnya, pernah turun sebesar 8 persen dalam persaingan dengan majalah US Weekly. Kompetitor terbesar majalah lainnya adalah televisi. Untuk menyiasasinya, majalah lebih terspesialisasi. Namun, ketika majalah tersepesialisasi, kompetitor lain muncul: TV kabel. TV kabel juga bersifat spesialis. Majalah juga berkompetisi dengan media online. 53 Setidaknya, ada tiga cara yang bisa diterapkan oleh majalah untuk menghadapi persaingan itu: internasionalisasi, teknologi, dan penjualan dengan cara kerjasama dengan pemasang iklan. Internasionalisasi identik dengan franchise. Majalah di satu negara merebut pasar di negara lain dengan menerbitkan edisi negara tersebut. Time dan Newsweek, misalnya, menerbitkan satu atau lebih edisi luar negerinya dalam bahasa Inggris. Time Warner dan perusahaan Prancis Hachette bekerjasama menerbitkan majalah Fortune berbahasa Prancis. Cosmopolitan menerbitkan 50 edisi di seluruh dunia dalam 28 bahasa. Di Indonesia, internasionalisasi, dalam tingkat yang terbatas dilakukan oleh majalah Tempo dengan menerbitkan edisi berbahasa Inggris. Dengan teknologi, majalah melakukan distribusi secara instan dengan memanfaatkan teknologi komputer dan satelit. Ini identik dengan cetak jarak jauh. Penggunaan teknologi ini tentu menghemat biaya distribusi. Dari sisi teknologi ini, majalah mulai beradaptasi dengan media online. Di Amerika, 13 malajah beralih ke media online (Kompas, 28 Februari 2008) Dengan cara ketiga, majalah menjual data atau daftar pelanggannya kepada pengiklan. Pengiklan membeli halaman di majalah-majalah spesialis untuk menjangkau pembaca tersegmentasi (segmented audiences) secara langsung. Teknologi Penggunaan teknologi cetak jarak jauh oleh industri majalah—seperti dijelaskan di atas—merupakan suatu keniscayaan untuk menghadapi persaingan. Teknologi cetak jarak jauh tentu saja membutuhkan investasi. Namun, pada gilirannya investasi itu bisa mendatangkan keuntungan berupa penghematan ongkos distribusi dan penciptaan pasar baru di suatu wilayah. Selain teknologi cetak jarak jauh, majalah online merupakan jenis teknologi lain yang dewasa ini digunakan oleh majalah. Majalah melakukan konvergensi ke internet. Selain versi cetak, sejumlah majalah memiliki versi online. Teknologi internet pada majalah ini, tentu juga membutuhkan investasi di satu sisi, tetapi di sisi lain menghasilkan efisiensi cost production dan menciptakan pasar baru. Versi online bahkan menyediakan sarana interaksi yang tidak didapatkan dalam edisi cetak. Majalah Time dan Mother Jones, misalnya, kini memiliki versi online yang menyediakan feature-feature interaktif yang tidak didapatkan di versi cetak. Majalah-majalah di Indonesia juga sudah memiliki versi online. Teknologi foto digital juga merupakan jenis teknologi yang digunakan oleh majalah. Teknologi ini bisa mempercantik sampul serta halaman-halaman majalah. Ini bisa menarik minat orang membeli majalah. Di sinilah letak kelebihan majalah dibanding media lain. Namun, permainan digital maupun grafik bisa mendatangkan kritik bahkan tuntutan hukum pada majalah. Wajah O.J. Simpson yang diberi kesan lebih hitam lewat teknologi grafik dan digital pada sampul majalah Time menuai kritik karena majalah terkemuka di dunia ini seolah memberi label orang negro 54 berwajah kriminal kepada Simpson. Sampul majalah Tempo yang menggambarkan mantan presiden Soeharto dan anak-anaknya seolah sedang dalam perjamuan terakhir menuai kritik dari kalangan Kristiani. Gambar Menko Kesra Abu Rizal Bakrie dengan simbol 666 (simbol iblis) di dahinya membuat majalah Tempo disomasi. Regulasi Regulasi majalah umumnya sama dengan regulasi surat kabar atau media cetak lainnya. Regulasi media cetak biasanya antara lain terkait dengan persoalan politik. Pembredelan Tempo, Editor, dan Detik pada 1994 oleh rezim Orde Baru, misalnya, terkait dengan persoalan politik. Di Indonesia di era reformasi, regulasi antara lain terkait dengn pornografi. Pemimpin Redaksi majalah Playboy Indonesia pernah diajukan ke pengadilan atas tuduhan menyebarkan pornografi. Regulasi terkait pornografi makin ketat ketika Undang-undang Pornografi disahkan oleh parlemen. Di negara-negara maju, regulasi terkait pornografi berbentuk pengelompokan berdasarkan umur. Mereka yang berusia kurang dari 18 tahun, misalnya, dilarang mengonsumsi majalah dewasa, seperti Playboy atau Penthouse. Masa Depan Penerbit majalah menghadapi tantangan untuk mempertahankan tingkat pembaca dan iklan serta mengontrol pengeluaran. Penerbit majalah juga harus mulai memasuki pasar dengan teknologi baru dan menjajaki kemungkinan mendistribusikannya secara internasional. Industri majalah bersaing dengan industri majalah lainnya serta televisi dan televisi kabel. Di masa mendatang, majalah spesialis lebih menarik perhatian pengiklan. [] 55 11 Ekonomi Industri Buku Sejarah Singkat Buku telah lama menjadi media atau sarana penting bagi kehidupan intelektual, kultural, serta ekonomi. Bisa dikatakan, buku menjadi salah satu indikator peradaban. Penyebaran media cetak secara luas di Eropa sebagai akibat ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg dimulai sejak paro terakhir abad ke-15. Namun, perkembangan teknologi sosial, kultural dan ekonomi yang menjadi prakondisi untuk menjadikan buku sebagai medium utama telah dimulai sejak tiga abad sebelumnya. Kaum pendatang datang ke Amerika untuk dua tujuan: melarikan diri dari hukuman gereja dan mencari kehidupan ekonomi lebih baik. Kebanyakan buku yang mereka bawa ke Amerika merupakan buku-buku keagamaan. Penerbitan pertama, Cambride Press, berdiri di Amerika Utara pada 1638. Awalnya, penerbitan ini hanya mencetak dokumen keagamaan dan pemerintahan. Buku pertama, Whole Booke of Psalms, dicetak pada 1644. Sebagai industri, buku berkembang lebih lamban dibanding surat kabar. Harga buku terbilang mahal, seringkali setara dengan gaji buruh sepekan. Tingkat melek huruf masyarakat ketika itu pun rendah. Namun, sejak 1900-an, tingkat pendidikan dan melek huruf di Amerika berangsur membaik, bahkan yang terbaik di dunia. Bersamaan dengan itu jumlah pembaca meningkat. Kemajuan teknologi juga membuat harga buku makin murah. Di Indonesia, sejarah industri buku berawal dengan didirikannya Penerbit Balai Pustaka oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1908. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Balai Pustaka menjadi perusahaan penerbitan negara. Pada 1996, sebagian saham Balai Pustaka diprivatisasi. Pasar Jika media lain memiliki pasar berupa khalayak dan pengiklan, buku hanya menfaatkan khalayak sebagai pasar. Dibanding dengan media massa lain, khalayak sebagai pasar buku bersifat lebih individual. Namun, menurut suatu survei, waktu yang dihabiskan manusia untuk membaca buku cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada 1995 orang menghabiskan waktu 101 jam untuk membaca buku, tahun 2001 rata-rata 89 jam, tahun 2002 tetap 89 jam, dan tahun 2006 rata-rata 84 jam. Data yang dikemukakan oleh Lindsay, setiap orang Amerika menghabiskan rata-rata hanya US$ 100 per tahun untuk membeli buku. Orang Amerika rata-rata membaca buku hanya 17 menit per hari. Frazier mengemukakan, di Amerika penjualan buku berjumlah US$ 53 miliar pada 2006. Di negara yang sama, sebagaimana diungkapkan oleh Teague, industri buku menerbitkan 195.000 judul buku pada 2004, meningkat 14% dibanding tahun 2003. Di Amerika, industri buku dibagi ke dalam sejumlah kategori. Pertama, kategori trade books (misalnya buku remaja dan dewasa) yang meraup 6,4 miliar 56 dolar AS di pasar AS (atau 26,8%). Kedua, buku profesional (buku non-textbook yang ditulis untuk kaum profesional, termasuk hakim, jaksa, bankir) yang meraup 4,7 miliar dolar AS (atau 20% atau 168 juta eksemplar). Ketiga, buku teks sekolah yang meraup 4,2 miliar dolar AS (atau 17,6% atau 349 juta eksemplar). Keempat, buku-buku universitas yang meraup 443 juta dolar AS. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menyebutkan, pada 2008, buku yang diterbitkan mencapai 10 ribu judul buku. Jumlah ini meningkat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika penerbit buku hanya menerbitkan 5.000 sampai 6.000 judul buku per tahun. Namun, jumlah terbitan 10 ribu buku pada tahun 2008, masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Jika penduduk Indonesia berjumlah 250 juta jiwa, hanya tersedia 44 judul buku untuk tiap satu juta penduduk. Standar UNESCO mematok 513 judul buku baru untuk negara maju dan 55 judul buku untuk negara berkembang per satu juta penduduk. Data statistik 1996 menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir Indonesia baru menerbitkan 2.500 judul buku. Malaysia yang berpenduduk sepersepuluh dari negara kita sudah memproduksi 9.600 judul buku. Di Indonesia, oplah buku pelajaran lebih tinggi dibanding buku umum. Menurut catatan Ikapi, oplah buku pelajaran sekitar 75 persen dan buku umum 25 persen dari keseluruhan buku yang diterbitkan oleh penerbit anggota Ikapi. Satu judul buku umum biasanya dicetak sekitar 3.000- 5.000 eksemplar, sedangkan buku pelajaran satu judul bisa dicetak mencapai 100 ribu eksemplar. Dalam dunia penerbitan buku umum di Indonesia, ada istilah ’’kutukan 3.000.’’ Oplah buku di Indonesia paling tinggi 3.000 eksemplar. Pengecualian ada pada beberapa novel, seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Ayat-ayat Cinta karangan Habiburrahman El Shirazy yang terjual lebih dari 600 ribu eksemplar. Pemasaran Toko buku menjadi ujung tombang pemasaran buku. Di Amerika terdapat sekitar 20 ribu toko buku. Jaringan toko buku terbesar di sana adalah Barnes & Noble, Borders, dan Books-A-Million. Ketiganya menguasai toko buku di mal dan trotoar padat. Barnes & Noble serta Borders menguasai 2.000 toko buku. Barnes & Noble mengklaim melayani 400 juta pembeli setiap tahun. Di Indonesia, menurut catatan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), terdapat sekitar 700 toko buku besar dan kecil. Jumlah ini masih kurang untuk melayani sekitar 100 juta pembeli buku di Indonesia. Itu artinya setiap satu toko buku melayani hampir 150.000 orang. Sebagai perbandingan, sebuah kota di Bangladesh yang ditinggali oleh 50.000 penduduk miskin memiliki 12 toko buku. Artinya, satu toko buku mampu melayani sekitar 4.200 orang. Data lain menyebutkan, ada 5.000 toko buku yang terdaftar dalam Gabungan Toko Buku Indonesia. Namun, yang dewasa ini bertahan hanya sekitar 2.000 toko buku. Toko-toko buku yang masih bertahan itu umumnya berada di ibukota provinsi. (Kompas, 23 Februari 2009) 57 Jaringan toko buku terbesar tentu saja Gramedia milik kelompok KompasGramedia. Jaringan toko buku lainnya adalah Gunung Agung. Toko buku online belakangan juga banyak berdiri di Indonesia. Pada 1998, Gramedia meluncurkan Geramedia Online Bookstore. Penerbit Mizan juga mengoperasikan toko buku online. Untuk merangsang pembeli datang, banyak toko buku yang dilengkapi dengan kafe. Untuk meningkatkan penjualan, sejumlah toko buku diskon berdiri di Indonesia, antara lain toko buku Toga Mas. Untuk merangsang penjualan buku, Pusat Buku Indonesia memperbanyak toko buku mobil. Toko buku mobil ini dioperasikan untuk merangsang penjualan di kabupaten/kota. Pada tahun 2009 ditargetkan ada 1.000 toko buku mobil di berbagai wilayah Indonesia. (Kompas, 23 Februari 2009) Toko buku online belakangan bermunculan di berbagai belahan dunia, sebagai alternatif bagi toko buku konvensional. Toko buku online yang terkenal di seluruh dunia adalah Amazon.com`Toko buku online ini mengklaim menjual lebih dari 2,5 juta judul. Toko buku online lainnya bisa ditemukan di powells.com dan books.com. Di Indonesia, hingga pertengahan Juli 2009, menurut catatan Strategic Development Google, terdapat 150 toko buku online. Kepemilikan Di Amerika Serikat terdapat setidaknya 2.684 perusahaan penerbitan buku yang mempekerjakan 89.898 orang dengan gaji mencapai 3,6 miliar dolar AS. Data lain menyebutkan terdapat 81.000 usaha bisnis yang menyebut diri sebagai penerbit buku. Di Amerika penerbitan buku dikuasai oleh sejumlah penerbit besar: Hearst Books, the Penguin Group, Bantam Doubleday Dell, Time Warner Publishing, Farrar, Straus & Giroux, Harcourt General, HarperCollins, dan Simon & Schuster. Penerbit-penerbit ini menguasai 80 persen penjualan buku di Amerika. Di Indonesia, data Ikapi memperlihatkan terdapat sekitar 472 penerbit buku. Sebesar 92,96 penerbit terkonsentrasi di Jawa, 51,6% di Jakarta. Sejumlah penerbit besar di Indonesia antara lain Gramedia dan Mizan. Kelompok Gramedia bisa disebut konglomerat penerbitan buku yang memiliki perusahaan penerbitan seperti Grasindo, Elex Media Komputindo, Kepustakaan Populer Gramedia. Gramedia memproduksi sekitar 20 persen penerbitan buku nasional. Penerbit Mizan yang bermarkas di bandung juga merupakan kelompok penerbitan besar. Mizan memiliki penerbit Mizania, Hikmah, dan Bentang. Bentang awalnya merupakan penerbitan mandiri di Yogyakarta yang kemudian menjalin kemitraan strategis dengan Mizan.. Gramedia dan Mizan bisa disebut sebagai pemain utama dalam industri buku umum. Pemain utama lainnya dalam penerbitan buku umum adalah Kanisius dan Erlangga. Di Yogyakarta juga terdapat sejumlah penerbitan besar, seperti Pustaka Pelajar dan Lkis. Sedangkan pemain utama dalam penerbitan buku pelajaran atau buku teks adalah Yudhistira, Erlangga, dan Tiga Serangkai. 58 Belakangan penerbitan buku agama menjadi fenomena di Indonesia. Ini memperlihatkan makin banyaknya penerbit yang tertarik menerbitkan buku-buku agama. Khusus untuk agama Islam pada periode 2002-2003 terdapat 20 penerbit buku agama Islam baru. Sebelumnya, pada periode 1981-1989, hanya terdapat 6 penerbit buku Islam. Kompetisi Kompetisi dalam pasar untuk memperebutkan penulis, pembeli, serta persaingan dengan media lain, terutama televisi dan internet. Di negara-negara maju, menjadi penulis merupakan pekerjaan yang bisa mendatangkan kekayaan. Dengan minat baca dan daya beli yang tinggi, penjualan buku di sana juga tinggi. Hillary Clinton, misalnya, memperoleh bayaran 8 juta dolar AS di muka, untuk otobiografinya, sementara suaminya Bill Clinton mendapat mendapat 12 juta dolar AS. Di Indonesia, penulis buku hanya memperoleh royalti 10 persen. Banyak intelektual yang lebih suka menulis untuk surat kabar daripada menulis buku. Penerbit buku kesulitan mendapatkan penulis buku. Oleh karena itu, penerbit kadang memperebutkan penulis-penulis buku ternama. Keengganan menulis buku juga terkait oplah buku yang kecil. Seperti telah disebut di atas, ada istilah ‘’kutukan 3.000’’ dalam penjualan buku di Indonesia. Pengecualian memang terjadi pada novel Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta. Penulis kedua novel tersebut mencapat royalti lebih dari Rp 1 miliar. Dalam memperebutkan pembeli, penerbit melakukan berbagai upaya, seperti desain cover, tata letak, harga bersaing, harga diskon, promosi, serta menerjemahkan buku-buku best seller dunia. Seperti disebutkan di atas, waktu yang digunakan orang membaca buku makin berkurang dari tahun ke tahun. Tampaknya, itu antara lain diakibatkan oleh televisi dan internet. Itu artinya, televisi dan internet juga menjadi pesaing buku. Teknologi Buku konvensional (printed books) telah dipublikasikan sejak era Gutenberg. Namun, berkembangnya teknologi sistem dan jaringan komputer membuat penerbit mulai berpikir ulang tentang cost buku konvensional. Namun, secara teoretis, distribusi materi (content) buku secara elektronik tidak serta merta menghapus keberadaan printed books. Buku elektronik biasa disebut e-book. Toko buku online amazon.com menyebutnya e-docs. Penerbit Penguin menyebutnya e-pub. Buku elektronik kadang juga disebut buku digital. Buku elektronik atau buku digital pertama dibuat tahun 1971 oleh Michael Hart, inisiator Gutenberg Project (proyek Gutenberg) di Universitas Illinois, Amerika Serikat. Gutenberg Project adalah proyek pembangunan perpustakaan digital untuk umum yang lebih berkonsentrasi pada digitalisasi buku-buku karya pengarang-pengarang klasik seperti William Shakespeare, dan Edgar Allan Poe. Buku elektronik komersial pertama di dunia terbit pada 1981. Penerbit Random House meluncurkan kamus berbentuk buku elektronik yang dijual di 59 pasaran dengan judul ‘’The Random House's Electronic Thesaurus. ‘’ Meski demikian, booming e-book baru terasa pada awal 2000-an, ketika pengarang fiksi misteri terkenal Stephen King menerbitkan bukunya yang berjudul ‘’Riding The Bullet’’ secara eksklusif di internet melalui penerbit buku elektronik Simon & Schuster. Di Indonesia, pencinta buku juga sudah mulai menikmati alih teknologi perbukuan dengan adanya e-book, ketika Mizan membuka akses gratis di situsnya untuk para pengunjung yang ingin membaca buku berjudul Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya, Ahmad Khomeini (Yamani) dalam bentuk elektronik. Proyek yang dikatakan sebagai proyek percobaan itu berhasil menjaring ribuan peminat yang mengunduh e-book tersebut. Keterbatasan buku yang akan dibuat dalam format e-book menyebabkan Mizan berhenti memproduksi buku-buku digital selanjutnya. Keterbatasan ini disebabkan tidak adanya pengarang yang bersedia bukunya dibuat dalam versi digital yang dapat diunduh secara gratis oleh pembaca Sejak 2002, distribusi elektronis isi atau meteri buku (lewat e-books, jaringan komputer, PDA, dll) tidak begitu diminati konsumen, meski banyak perpustakaan yang membeli e-books untuk meminimalisasi dampak model ‘’satu buku, satu penggunaan pada satu waktu.’’ Di Indonesia, sejak 2008, Departemen Pendidikan Nasional menyediakan Sekitar 400 judul buku pelajaran elektronik. Buku-buku pelajaran ini bisa diunduh melalaui situs bse.depdiknas.go.id. Google memiliki Google Book Search yang sejak 2002 melakukan digitalisasi buku. Hingga awal 2009, sekitar tujuh juta buku telah digitalisasi oleh Google. Banyak perpustakaan universitas besar dunia yang memiliki e-library atau perpustakaan digital. Namun, para analis industri percaya bahwa konsumen baru menerima buku yang didistribusikan secara elektronis pada 2010 (dan mungkin sebelum 2020) karena: Pembaca e-book terlalu sedikit dan terlalu mahal. Membaca teks panjang di layar komputer sangat tidak nyaman. Printed book murah, bisa dibawa-bawa, dan mudah dibaca (tak perlu batere atau listrik). Pada 2020 banyak penerbit besar secara sendiri-sendiri kembali mendorong penggunaan e-book. Regulasi Regulasi buku antara lain adalah penyensoran. Di Amerika, berdasarkan data The American Library Association Office for Intelectual Freedom mencatat terdapat 6.364 judul buku dilarang beredar antara tahun 1990-2000. Alasan penyensoran: seks vulgar (1.607 judul), bahasa kasar (1.427), tidak pantas dibaca kelompok umur tertentu (1.256), penistaan agama/kepercayaan (842), kekerasan (737), mempromosikan homoseksualitas (515), penyebaran agama (419), ketelanjangan (317), rasis (267), pendidikan seks (224), antikeluarga (202). 60 Serial Harry Potter karya JK Rowling dan ‘’To Kill a Mockingbird’’ karangan Harper Lee termasuk buku yang pernah dilarang beredar di Amerika. Namun, kedua buku ini kini sudah beredar luas bahkan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Di Indonesia, berdasarkan berlaku regulasi berupa Penetapan Presiden Republik Indonesia No 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barangbarang Cetakan Yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Penpres No 4/1963). Regulasi ini mengharuskan penerbit menyerahkan satu kopi buku, meski, aturan ini tidak diberlakukan secara sistematis. Akan tetapi, regulasi ini secara sistematis diberlakukan untuk melarang peredaran sejumlah judul buku yang dianggap ‘’mengganggu ketertiban umum.’’ Krishna Sen dan David T. Hill mencatat sekitar 2.000 buku dilarang beredar antara 1965-1996.Buku-buku itu dilarang karena mengandung ajaran komunis/Marxis, SARA (melecehkan agama tertentu), politis, serta seks. Namun, di masa reformasi, sejumlah judul buku, misalnya buku-buku karangan Pramodya AnantaToer yang dianggap ’’ke-kiri-kiri-an,’’ bebas beredar. Di era reformasi, Kejaksaan Agung melarang peredaran buku-buku sejarah yang mencantumkan ’’G 30 S’’, bukan ’’G 30 S PKI.’’ Kejaksaan Agung juga melarang bukuAtlas West Irian yang memuat gambar bintang Kejora dan buku Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al-Qur`an karangan M. Simanungkalit yang diterbitkan Yayasan Al Hanif. Dalam hal ini, Kejaksaan Agung menggunakan Penpres No 4/1963. Itu artinya, regulasi yang diterbitkan lebih dari 50 tahun lalu itu masih diberlakukan. Banyak kalangan menilai pelarangan peredaran buku bertentangan dengan Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002. Undang-undang Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap ciptaan atau karya-karya di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Karya-karya itu akan mencakup karya tulis, karya lisan, karya pertunjukan, karya siaran, karya film, karya seni dalam berbagai bentuk, dan karya-karya lainnya. Regulasi lain yang perlu diperhatikan oleh industri buku adalah Undangundang Pornografi. Masa Depan Sebagai indikator peradaban suatu bangsa, buku semestinya tak lekang dimakan zaman. Secara umum, tantangan industri buku adalah minat menulis buku dari para penulis, menurunnya minat baca di era digital ini, pembajakan, regulasi berupa sensor atau larangan beredar, serta perkembangan teknologi. Industri buku akan menghadapi tantangan berupa mahalnya harga kertas. Buku digital menjadi jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Buku digital di masa depan menjadi alternatif penting, apalagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan hidup karena bahan baku pembuat kertas diperoleh dengan menebang pohon. ‘’Books aren’t dead. They’re just going digital,’’ tulis majalah Newsweek, 26 November 2007. Dalam konteks Indonesia, industri buku memiliki prospek cerah. Dengan penduduk berjumlah sekitar 240 juta jiwa lebih pada 2008, Indonesia 61 sesungguhnya merupakan pasar yang besar bagi industri buku. Andai 20 persen penduduk Indonesia belanja buku Rp 100.000 per tahun, sekurang-kurangnya pasar buku di Indonesia bisa mencapai Rp 48 triliun per tahun. Dewasa ini, pasar industri buku di Indonesia hanya menghasilkan sekitar Rp 3,5 triliun per tahun. [] 62 12 Ekonomi Industri Televisi Siaran Sejarah Singkat Televisi siaran adalah televisi free to air atau televisi yang bisa dinikmati siarannya secara gratis. Televisi siaran menggunakan teknologi antena terestrial pada televisi analog atau kanal pada televisi digital. Paul Nipkow dari Jerman pada 1884 meletakkan dasar-dasar teknologi pertelevisian. Ia menemukan sebuah alat yang kemudian disebut sebagai Jantra Nipkow atau Nipkow Sheibe. Penemuan ini menghasilkan televisi elektris. Charlesh Jenkins (AS) John Logic Bairds (Inggris) melakukan eksperimen transmisi TV pertama kali pada 1925. BBC merupakan televisi siaran pertama yang mengudara pada 1936. Penyiaran regular untuk TV elektronik pertama di AS dimulai pada 1939. Pada periode 1948-1952, TV tumbuh dengan cepat. Tahun 1940-an disebut ‘’Golden Age’’ bagi televisi di AS. Pada 1950-an TV menjadi sumber utama hiburan dan informasi bagi kebanyakan rumah tangga di AS. TV begitu mempengaruhi budaya AS. Pada 1950-an, televisi kabel mulai diperkenalkan. TV kabel memiliki stasiun kecil di Oregon dan Pennsylvania. Di abad informasi ini, mulai terbit regulasi untuk TV (telecommunication Act 1999) di AS. Regulasi menandai mulai masuknya televisi ke era industri. Perusahaan penyiaran televisi kini menjadi suatu industri yang berupaya mencari keuntungan. Banyak konglomerat, seperti Rupert Murduck, terjut ke industri televisi. Di Indonesia, televisi siaran tentu berawal dari Televisi Republik Indonesia (TVRI). TVRI memulai siaran percobaan dengan acara peringatan Hari Proklamasi kemerdekaan RI XVII pada 17 Agustus 1962, dengan bantuan ahli dari Jepang dan pelatihan dari Inggris. Pada 24 Agustus TVRI menyiarkan langsung pembukaan Asean Games. Pada tahun 1988, stasiun televisi swasta pertama, RCTI, lahir. RCTI awalnya adalah stasiun televisi berbayar (pay television). Pada Agustus 1990, RCTI mendapat izin menjadi televisi siaran (free to air television). Pada tahun-tahun berikutnya menyusul lahir sejumlah stasiun televisi swasta: SCTV (1989), TPI (1990), Antv (1993), Indosiar (1995). Pasca Orde Baru televisi swasta MetroTV, Trans TV, TV 7 yang kemudian menjadi Trans 7, Lativi yang kemudian menjadi TVOne dan Global TV muncul . Televisi lokal juga bermunculan. Kehadiran televisi swasta menandai masuknya televisi siaran ke era industri. Bahwa televisi siaran telah memasuki era industri makin nyata dengan terbitnya Undang-undang Penyiaran yang mengatur kepemilikan, modal, jaringan, perizinan, serta isi siaran. Tipe Televisi Siaran Setidaknya ada tiga tipe televisi siaran: televisi swasta atau televisi komersal, televisi publik, dan televisi negara. Televisi swasta terdiri dari dua jenis: televisi swasta independen dan televisi swasta berjaringan. Televisi siaran swasta independen memperoleh revenue semata-mata dari iklan. Sumber penghasilan televisi swasta berjaringan, 63 selain iklan, juga kompensasi. Televisi induk yang biasanya televisi swasta independen harus memberi kompensasi kepada televisi berjaringan yang ikut menyiarkan atau menyebarluaskan program televisi induk tersebut. Di Amerika Serikat hanya 10 persen dari total revenue industri televisi berjaringan yang diperoleh dari konpensasi. Penghasilan televisi publik berasal dari pajak dan subsidi negara. Di negara-negara maju, seperti di Inggris dengan BBC-nya, televisi publik tidak diperkenankan menayangkan iklan komersial. Di Indonesia, televisi publik, berdasarkan Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, masih diperbolehkan menayangkan iklan. Namun, iklan tampaknya bukan untuk mendapatkan keuntungan, sekadar menambah biaya operasional. Televisi publik memang tidak mencari keuntungan. Televisi komunitas bisa dikategorikan sebagai televisi publik. Televisi komunitas dibiayai oleh komunitas atau pemerintahan lokal dan tidak mencari keuntungan. Televisi negara sepenuhnya dibiaya oleh negara. Televisi negara beroperasi di negara-negara otoriter dan negara-negara komunis. TVRI di masa Orde Baru adalah televisi negara. Kini TVRI sedang berbenah menjadi TV publik. Dari ketiga tipe televisi siaran jelas televisi swasta atau televisi komersial adalah sebuah institusi ekonomi atau institusi bisnis yang berupaya mencari keuntungan. Pembahasan tentang televisi siaran lebih terfokus pada televisi swasta atau televisi komersial. Investasi dan Cost Production Televisi siaran adalah industri mahal. Disebut mahal karena tingginya biaya investasi dan biaya operasional. TV siaran memerlukan investasi yang besar. Untuk sekadar impas, stasiun televisi kecil memerlukan dana investasi operasi sebesar 500.000 dolar AS, dan 1 juta dolar AS untuk bangunan dan peralatan. Ketika para astronot Apollo 11 mendarat di bulan, Juli 1969, biaya liputannya mencapai 11 juta dolar AS. Di Indonesia, Global TV beroperasi dengan modal Rp 500 miliar. Lativi (kini TVOne) mengalokasikan modal awal Rp 300 juta. TV7 memulai siarannya dengan modal Rp 200 miliar, setara dengan modal dasar MetroTV. Modal kerja terpakai Trans TV hingga pertengahan 2003 atau setelah beroperasi 18 bulan mencapai Rp 600 miliar. Trans TV menghabiskan biaya operasional Rp 35 juta per jam siaran, tidak termasuk biaya membeli program. Pada tahun 2001, SCTV menghabiskan biaya Rp 30 juta per jam siaran. Ongkos siaran MetroTV hingga 2009 sebesar Rp 30 juta per jam. Bagaimana dengan investasi TV lokal di Indonesia? Pendirian TV lokal kelas menengah membutuhkan investasi Rp 10-25 miliar, TV lokal kelas atas dibutuhkan investasi Rp 30-50 miliar, kendati ada TV lokal yang berinvestasi lebih dari Rp 100 miliar. Break event point 3-5 tahun. (Majalah Behind the Screen, No. 029) 64 Pasar Pasar televisi siaran adalah khalayak dan iklan. Praktik memperebutkan khalayak dan iklan dalam industri televisi suaran menghasilkan struktur pasar tertentu. Struktur Pasar Televisi Struktur pasar industri televisi adalah oligopoli. Oligopoli adalah struktur pasar ketika terdapat lebih dari satu produsen suatu produk, dan produk yang ditawarkan umumnya seragam. Dalam industri, oligopoli tampak dari seragamnya program yang diproduksi oleh sejumlah stasiun televisi. Oligopoli makin terasa terjadi pada TV jaringan. Pada TV jaringan struktur oligopolistik diperkuat oleh integrasi vertikal—kontrol berbagai aspek produksi, distribusi, dan eksebisi. TV jaringan ABC, CBS, NBC, Fox disebut sebagai ‘’The Big Four’’ dalam industri televisi siaran. Tiga yang disebut pertama menguasai 600 stasiun televisi. NBC menguasai 213, CBS 192, dan ABC 159 stasiun afiliasi primer dan 96 afiliasi sekunder. Khalayak Untuk membaca surat kabar, orang harus membeli surat kabar. Untuk menikmati siaran televisi berlangganan, khalayak harus membayar langganan. Namun, untuk menonton televisi siaran, khalayak tidak harus mengeluarkan uang. Oleh karena itu, khalayak sebagai pasar televisi siaran tidak menghasilkan keuntungan langsung kepada perusahaan penyedia jasa televisi siaran. Kelak secara teoretis, jika jumlah penonton suatu televisi siaran terbilang besar yang diukur dengan rating dan share, stasiun televisi bersangkutan akan ‘’kebanjiran’’ iklan. Berdasarkan survei Nielsen Media Research (1993-1994), 98 persen rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu pesawat TV, dengan 69 di antaranya memiliki lebih dari satu TV. Data tahun 2006 yang dipublikasipan oleh www.tvb.org menyebutkan, terdapat 111,6 juta pesawat televisi di rumah tangga Amerika Serikat. Rata-rata setiap rumah tangga memiliki lebih dari dua pesawat televisi. Data yang sama menyebutkan, televisi dihidupkan rata-rata selama 8 jam setiap hari di rumah tangga Amerika. Laki-laki Amerika rata-rata menonton siaran televisi selama empat jam 11 menit per hari. Perempuan Amerika rata-rata menonton siaran televisi selama 5 jam 17 menit per hari. Anak-anak Amerika rata-rata menonton siaran televisi selama empat jam 32 menit per hari. Berdasarkan data dari suatu proyek penelitian yang dilakukan pada 2004, sebesar 83 persen orang dewasa di Amerika memperoleh informasi atau berita dari televisi. Sebagai perbandingan, 42 persen orang dewasa Amerika mendapat informasi dari surat kabar, 19 persen dari radio, dan 15 persen dari internet. Penonton televisi siaran di Indonesia bisa dikatakan terus bertambah. Sejak 1980-an, jumlah pesawat TV bertambah enam kali lipat. Bandingkan dengan radio yang bertambah hanya tiga kali lipat. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa sejak 1980-an, lebih banyak orang Indonesia yang 65 menyaksikan televisi secara rutin dibanding membaca koran, majalah atau mendengar radio. Selama satu dekade (1995-2006) jumlah rumah tangga yang memiliki televisi di lima kota utama di Indonesia meningkat tiga kali lipat (355%). Jumlah total penonton televisi di 10 kota utama (kota rating) mencapai 42.018.788 orang. Sebagian besar tinggal di Jakarta (55%). Berdasarkan status sosial ekonomi di 10 kota rating, sekitar 29 persen penonton TV masuk kategori AB. Sebagian besar penonton TV masuk kategori C (sekitar 51%). Tingkat menonton dari kelas CDE di prime time sangat tinggi, sementara kelas AC sedikit lebih tinggi pada waktu-waktu tertentu lainnya (daypart). Sebagian besar penonton televisi di Indonesia adalah perempuan. Perbandingan penonton perempuan dan laki-laki kira-kira 55:45. Berdasarkan data Roy Morgan Single Source (Oktober 2006-September 2007), televisi menjangkau 99,3 persen penduduk Indonesia. RCTI merupakan televisi di Indonesia dengan jangkauan terluas. Tabel XI Jangkauan stasiun televisi di Indonesia Stasiun Televisi Jangkauan (persen) RCTI 94,2 SCTV 91,3 TransTV 87,8 Indonesiar 86,4 TPI 70,7 TV7 (kini Trans7) 69,4 Antv 63,9 MetroTV 50,9 Global TV 50,6 Lativi (kini TVOne) 38,3 JTV 7,9 TVRI1 5,1 RiauTV 1,6 TVRI1 1,1 Sumber: Roy Morgan Single Source (Oktobert 2006-September 2007) seperti dikutip Media Planning Guide 2008. Banyaknya penonton televisi biasanya dihitung antara lain berdasarkan rating. Berdasarkan data Media Partners Asia, pada tahun 2008, RCTI menempati posisi pertama dalam hal rating, diikuti SCTV, dan Trans TV. Ketiganya menguasai lebih dari 60 persen penonton. Memang, ada kecenderungan, dari tahun ke tahun, tiga besar dalam hal rating televisi di Indonesia, senantiasa ditempati oleh ketiga stasiun televisi. 66 Tabel XII Rating Televisi di Indonesia (2008) Sumber: Media Partners Asia Iklan Secara teoretis, makin besar jumlah penonton suatu stasiun TV, makin banyak iklan yang masuk ke TV tersebut. Meski mahal, TV menjadi media terfavorit untuk memasang iklan. Di AS, iklan di televisi merupakan industri miliaran dolar.Belanja iklan untuk TV di AS meningkat terus dari 20 ribu dolar AS pada 1985 menjadi lebih dari 28 ribu dolar AS pada 1994. Data yang dipublikasikan oleh www.tvb.org menyebutkan total belanja iklan untuk televisi siaran di Amerika pada 2006 mencapai 60 persen. Rata-rata tarif iklan di stasiun televisi Amerika per 30 detik (satu spot) di prime time sebesar 100.000 dolar Amerika. Untuk acara menarik seperti ‘’American Idol’’ tarif iklan mencapai 705.000 dolar AS per spot. Bahkan, pada 2007 tarif iklan untuk program ‘’Super Bowl Bears-Colts’’ mencapai 2,6 juta dolar AS per spot. Data yang sama juga menyebutkan 82 persen pengiklan menilai televisi sebagai medium paling berpengaruh; 67 persen menilai televisi sebagai media paling persuasif; 51 persen memandang televisi sebagai media paling otoritatif; 77 persen menilai televisi sebagai media paling menyenangkan. Di Indonesia, menurut Krishna Sen dan David T. Hill, televisi telah menjadi medium paling ekspansif. Oleh karena itu, produsen dan distributor barang-barang kunsumsi memandang televisi sebagai media yang paling efektif dalam menjangkau khalayak. Iklan TVRI meningkat dari 369 juta pada 1971 menjadi Rp 7,6 miliar pada 1980. Pada periode yang sama subsidi pemerintah turun dari 8 persen menjadi 1,4 persen dari total pendapatan TVRI. Akan tetapi, pada 5 Januari 1981, Presiden Soeharto tiba-tiba menyerukan penghentian penayangan iklan di TVRI. Penghentian iklan di TVRI disebut-sebut berawal dari adanya protes Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyebut 67 iklan dapat memicu perilaku konsumtif masyarakat. Tepat 1 Spril 1981, iklan menghilang dari layar TVRI. Sebagai kompensasinya, pemerintah menambah subsidi hampir 10 kali lipat, yakni sebesar Rp 10 triliun per tahun. Setelah lahirnya TV swasta, total belanja iklan nasional meningkat tiga kali lipat, dari Rp 639 miliar tahun 1990 (padahal TV swasta hanya ada di Jakarta dan Surabaya), menjadi Rp 1.381 triliun. Pada 1995, ketika terdapat lima TV swasta, anggaran iklan meningkat menjadi Rp 3.335 triliun. Pada tahun tersebut, RCTI menyumbang 34 persen dari pendapatan Bimantara. Akibat krisis, perolehan iklan televisi menurun menjadi hanya Rp 1,9 triliun. Dari jumlah ini, RCTI meraup 39 persen, sisanya dibagi di antara TPI, SCTV, ANTV, Indosiar. Hingga Mei 2004, Indosiar memperoleh iklan tertinggi, disusul SCTV dan RCTI yang mengantongi kisaran Rp 721 miliar, kemudian Trans TV Rp 395 miliar, lalu TV7 Rp 212 miliar. Akan tetapi, konstalasi perolehan iklan berubah pada 2006. Ini bisa dilihat dari keuntungan stasiun televisi swasta di Indonesia. Pada 2006, RCTI menempati posisi pertama dalam perolehan keuntungan, yaitu sebesar Rp 2 triliun, disusul SCTV Rp 1,4 triliun dan Trans TV Rp 1,1 triliun (majalah Swa OktoberNovember 2007). Berdasarkan data Media Partners Asia, RCTI, SCTV, dan Trans TV menempati posisi tiga besar dalam perolehan suara. Ketiga stasiun televisi ini menguasai 64 persen perolehan iklan. Tabel XIII Pendapatan Iklan Stasiun Televisi di Indonesia (2008) Sumber: Media Partners Asia 68 Tarif iklan televisi tergantung pada sejumlah faktor, antara lain sifat televisi serta waktu penayangan program, serta rating program. Dalam hal sifat televisi, makin besar nama atau makin mapan suatu stasiun televisi, makin besar tarif iklan. Dalam konteks waktu penayangan, tarif pemasangan iklan di prime time tentu lebih mahal dibanding non-primetime. Terkait rating program, makin tinggi rating program, makin mahal tarif iklan di program tersebut. Kepemilikan TV jaringan ABC, CBS, NBC, Fox disebut sebagai ‘’The Big Four’’ dalam industri televisi siaran. Tiga yang disebut pertama menguasai 600 stasiun televisi. NBC menguasai 213, CBS 192, dan ABC 159 stasiun afiliasi primer dan 96 afiliasi sekunder. Di Indonesiat, televisi swasta pada awal berdirinya dimiliki oleh anakanak Presiden Soeharto atau pengusaha yang dekat dengan Soeharto. RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmojo, anak ketiga Soeharto. TPI dimiliki oleh Siti Hardianti Rukmana, anak sulung Soeharto. SCTV dikuasai oleh Henry Pribadi, yang punya hubungan dekat dengan sepupu Soeharto, Sudwikatmono. Indosiar dikuasai oleh keluarga Salim yang punya hubungan dekat dengan Soeharto. Bersamaan dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan kepemilikan stasiun televisi swasta. Hingga 2009, terdapat lima kelompok pemilik stasiun televisi siaran nasional: Media Nusantara Citra milik Harry Tanoesoedibjo (RCTI, TPI, Global TV, televisi berjaringan Sun TV), Trans Corps milik Chaerul Tanjung (Trans TV dan TV 7), Surya Citra Media milik Sariatmadja (SCTV, Indosiar, dan TV lokal Jakarta O-Channel), kelompok Bakri-StarTV (Antv, TVOne), dan PT Media Televisi milik Surya Paloh (MetroTV). Kepemilikan asing, dalam hal ini Star TV, seperti disebut di atas, sudah masuk ke televisi siaran di Indonesia, yaitu Antv dan TVOne, melalui kelompok Bakrie. Kelompok Jawa Pos menguasai sejumlah televisi siaran lokal, antara lain Jawa Pos TV, Jak TV, Batam TV. Kompetisi Stasiun televisi siaran berkompetisi dengan sesama stasiun televisi siaran. Kompetisi antarstasiun televisi siaran adalah kompetisi memperebutkan audience dan iklan. Secara teoretis, makin besar audience, makin banyak pengiklan. Ketatnya kompetisi antarstasiun televisi menyebabkan kinerja ekonomi sejumlah stasiun televisi kurang baik. Stasiun televisi yang kinerja ekonomia kurang baik ini kemudian diakusisi oleh stasiun televisi yang baik kinerja ekonominya. Di Indonesia, TV7 diakuisisi oleh TransTV. Televisi siaran juga berkompetisi dengan televisi berlangganan. Karena untuk menonotn televisi berlangganan orang harus membayar, program-program di televisi berlangganan relatif lebih baik. Dalam kasus televisi swasta di Indonesia yang programnya seragam, monoton, dan terlalu general, televisi berlangganan menjadi alternatif. Jika televisi swasta tidak memperbaiki kualitas programnya, bukan tidak mungkin televisi berlangganan kelak menjadi pilihan utama, bukan lagi alternatif. 69 Di sisi lain, kualitas gambar televisi berlangganan, baik yang menggunakan teknologi kabel maupun satelit, jauh lebih baik ketimbang televisi siaran, sekurang-kurangnya untuk kasus Indonesia. Perbaikan kualitas stasiun transmisi bisa menjadi kualitas gambar televisi siaran menjadi lebih baik. Teknologi televisi digital juga menjadikan kualitas gambar televisi siaran lebih baik. Sebagai ilustrasi, di Amerika jumlah penonton televisi berlangganan terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara televisi siaran menurun. Share penonton TB kabel di seluruh rumah tangga AS meningkat dari 7,2% pada 1982 menjadi 31% pada 1996. Sebaliknya, tingkat penonton untuk TV jaringan, termasuk fox, menurun dari 69,3% pada 1984 menjadi 58,9 pada 1994, dan penonton televisi terestrial menurun dari 86,3% pada 1984 menjadi 69,9 pada 1994. Televisi juga bersaing dengan media online atau internet. Anak-anak muda Amerika, misalnya, lebih suka menonton siaran televisi melalui layar komputer melalui jaringan internet, ketimbang melalui pesawat televisi konvensional. Teknologi Televisi kini mulai memasuki era digital. Beberapa negara maju sudah bermigrasi dari televisi analog ke televisi digital. Indonesia telah melakukan berbagai persiapan untuk memasuki era TV digital. Pada 2018, televisi siaran di Indonesia sudah menggunakan teknologi digital. Dengan tekonologi digital, siaran televisi hanya bisa ditangkap oleh pesawat televisi digital, bukan pesawat televisi analog. Televisi analog menghilang karena tidak diproduksi lagi. Selain televisi digital, siaran televisi dapat ditangkap melalui layar komputer bahkan layar telepon genggam. Televisi juga mulai melakukan konvergensi dengan media internet. Banyak stasiun televisi yang memiliki website. Khalayak bisa mengakses bahkan men-download siaran televisi melalui internet. Konvergensi ke media internet bisa menciptakan pasar baru di kalangan remaja dan anak muda, yang menurut banyak survei menyukai internet. Regulasi Amerika Serikat memiliki The Federal Communication Commission (FCC), lembaga pemerintah yang mengatur bisnis televisi. FCC mengatur lisensi dan perpanjangannya, larangan konsentrasi kepemilikan, kesempatan yang sama untuk menjadi karyawan media, TV digital, distribusi, dll. Pada 1996, Kongres mengesahkan Telecommunication Act of 1996 (UU telekomunikasi 1996). UU ini lebih liberal: mengijinkan kepemilikan silang, mengijinkan konsentrasi kepemilikan media, kompetisi pasar bebas. Dengan perkataan singkat, Undangundang Telekomunikasi 1996 merupakan sebuah deregulasi. Indonesia memiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), organisasi independen yang mengatur segala hal tentang media penyiaran, termasuk televisi siaran. KPI, selain Departen Komunikasi dan Informasi, adalah regulator industri penyiaran di Indonesia, termasuk industri televisi siaran. KPI menerbitkan regulasi berupa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. 70 Indonesia memiliki Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 49, 50, 51, 52 tahun 2005 kemudian terbit sebagai ketentuan pelaksana Undang-undang Penyiaran tersebut. Peraturan Pemerintah ini mengatur kepemilikan, saham atau modal, televisi berjaringan, materi atau isi siaran, dll. Peraturan Pemerintah ini mengukuhkan televisi siaran sebagai industri yang komersial. Masa Depan Televisi merupakan media paling populer bagi khalayak. Dari sisi teknologi, televisi harus mengikuti perkembangan teknologi dengan menggunakan teknologi televisi digital dan konvergensi ke media internet. Teknologi televisi digital akan memperbaiki kualitas gambar televisi siaran sehingga mampu bersaing dengan televisi berlangganan. Konvergensi ke media internet akan menciptakan pasar baru bagi industri televisi siaran. Di masa depan, televisi siaran harus memperbaiki kualitas programnya untuk bersaing dengan televisi berlangganan. Kreativitas program harus terus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas program, sehingga program televisi siaran tidak lagi seragam dan monoton. Di masa depan, program satu stasiun televisi siaran semestinya tidak monoton dan seragam dibanding stasiun televisi siaran lainnya. Spesialisasi program—sekurang-kurangnya di tingkat positioning—pada industri televisi siaran niscaya diperlukan di masa mendatang. Di Indonesia, televisi siaran masa depan adalah siaran televisi berjaringan, sebagaimana yang telah berlangsung di negara maju seperti Amerika. Televisi berjaringan akan menumbuhkan local content dan local ownership.[] 71 13 Ekonomi Industri Televisi Berlangganan Sejarah Singkat Televisi berlangganan terdiri dari televisi kabel dan satelit. Belakangan berkembang televisi berlangganan yang disebut internet protocol television (IPTV). Sebenarnya TV kabel pertama dibangun untuk mengatasi kesulitan menerima siaran televisi yang dialami oleh daerah dengan penerimaan sinyal buruk. Biasanya sebuah antena dipasang di menara yang terletak di puncak gunung atau tempat-tempat tinggi lain di daerah itu. Kemudian, kabel digunakan untuk menghubungkan antena dengan pesawat TV di beberapa rumah sekitarnya. Ternyata kesulitan penerimaan siaran televisi tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil, tetapi juga di kota-kota yang penuh dengan gedunggedung tinggi. Karena itu, TV kabel juga berkembang di daerah perkotaan. Televisi kabel di Amerika Serikat berawal ketika pada tahun 1948, Ed Parson yang tinggal di Astoria, Oregon, membuat sistem community antenna television (CATV) dengan media kabel twin-lead dan dipasang dari satu atap rumah ke atap rumah lain. Tahun 1950, Bob Tarlton membangun sistemnya di Lansford, Pennsylvania, dengan menggunakan kabel coaxial yang dipasang pada tiang. Ia mendapat hak monopoli di kotanya dan menyiarkan tiga saluran bagi pelanggannya. Di Amerika belakangan juga berkembang televisi berlangganan dengan menggunakan satelit serta IPTV. TV satelit di Amerika mulai tersedia pada 1994 dengan teknologi direct broadcast satelite (DBS). Di Amerika, salah satu penyedia IPTV adalah Verizon yang menawarkan FiOS dan telah memiliki 500 ribu pelanggan hingga akhir 2008. Di Indonesia sendiri TV berlangganan muncul pada awal tahun 1990-an. TV berlangganan di Indonesia umumnya menggunakan satelit, meski ada pula yang menggunakan teknologi kabel. IPTV di Indonesia hingga akhir 2008 masih dirintis keberadaannya. Teknologi/Jenis Televisi Berlangganan Seperti telah disinggung di awal bab ini, setidaknya dewasa ini terdapat tiga jenis televisi berlangganan. Jenis televisi berlangganan ini terkait erat dengan teknologi yang digunakan. Ketiga jenis atau teknologi televisi berlangganan adalah televisi kabel, televisi satelit dan Internet Protocol Television (IPTV) Televisi Kabel Televisi kabel di Indonesia kebanyakan menggunakan teknologi hybrid fiber-coaxial (HFC). Secara sederhana, teknologi ini menggabungkan dua tipe kabel, yaitu kabel serat optik dan kabel metal biasa. Kabel serat optik membawa sinyal dari stasiun pusat hingga ke stasiun-stasiun penghubung atau hub. Dari hub sinyal disalurkan ke rumah-rumah dengan kabel coaxial biasa. Teknologi kabel 72 punya kelebihan pada kapasitas pengantaran data yang sangat besar serta tahan terhadap cuaca. Karena kelebihan teknologi kabel membuat sebagian besar televisi berlangganan di Amerika menggunakan teknologi ini. Di Indonesia, setidaknya dua operator televisi berlangganan yang menggunakan teknologi kabel, yakni First Media dan IndosatM2 (IM2). Televisi Satelit TV satelit mengantarkan siaran kanal-kanal televisi langsung ke satelit (direct broadcast satellite/DBS atau direct-to-home signals/DTHS) ke antena berbentuk parabola kecil di rumah-rumah pelanggan. Operator televisi satelit di Indonesia menggunakan satelit berbeda-beda sehingga memiliki jaungkauan frekuensi dengan karakter masing-masing. Di Indonesia televisi berlangganan yang menggunakan teknologi satelit adalah Indovision dan AoraTV. Telkomvision menggunakan teknologi kabel maupun satelit. Indovisian menggunakan satelit Indostar-1 atau dikenal juga sebagai Cakrawala-1 yang beroperasi di zona S-Band. Telkomvision menggunakan satelit yang beroperasi di zona C-Band. Di Amerika operator televisi berlangganan yang menggunakan satelit adalah Direct TV dan Dish Network. Keduanya menggunakan satelit VOOM yang dimiliki oleh MSO Cablevision. Secara teknis, satelit S-Band berada paling dekat ke permukaan bumi sehingga kekuatan sinyalnya lebih baik daripada satelit C-Band atau Q-Band dan lebih tahan dengan perubahan cuaca. Dari sisi cuaca, teknologi kabel lebih tahan terhadap perubahan cuaca ketimbang teknologi satelit. Teknologi satelit kurang praktis dibanding kabel, karena jika ingin menambah kapasitas operator harus menambah satelit. Namun, jangkauan TV satelit lebih luas dibanding TV kabel. IPTV IPTV adalah televisi berlangganan berbasis internet. IPTV ditransmisikan lewat infrastruktur jaringan internet dan ditonton di rumah melalui peralatan penerima TV dengan tambahan suatu set top box (STB) khusus untuk IPTV. IPTV memungkinkan khalayak memesan program kepada operator (on demand) serta bersifat interaktif. (Broadcast Media, Desember 2008). Ada sejumlah layanan on demand: true video on demand (TVOD), near video on demand (NVOD), Subcription (VOD), Free VOD (FVOD), Everything on demand (EOD). Ada juga layanan rekaman: personal video recorder (PVR), Network PVR (NPVR), pay per view (PPV). Pasar Pasar televisi berlangganan adalah khalayak dan iklan. Namun, industri televisi berlangganan sepertinya lebih menggantungkan hidupnya pada pelanggan atau khalayak ketimbang kepada iklan. 73 Khalayak Seperti diungkapkan sebelumnya, share penonton TV kabel di seluruh rumah tangga AS meningkat dari 7,2% pada 1982 menjadi 31% pada 1996. Sebaliknya, tingkat penonton untuk TV jaringan, termasuk Fox, menurun dari 69,3% pada 1984 menjadi 58,9 pada 1994, dan penonton televisi terestrial menurun dari 86,3% pada 1984 menjadi 69,9 pada 1994. Selain Amerika, Cina merupakan negara dengan pelanggan televisi kabel tersebesar di dunia. Namun, terdapat kecenderungan penurunan jumlah pelanggan 10 televisi kabel terbesar di Amerika. Tabel XIV Penurunan jumlah pelanggan 10 televisi kabel terbesar di Amerika (dalam juta): Urutan Operator 2003 1 Comcast 21,9 2 Time Warner 12,9 3 Cox 6,3 4 Charter 7,0 5 Adelphia 5,8 6 Cablevision 3,0 7 Bright House 8 Mediacom 1,6 9 Insight 1,3 10 CableOne 0,8 Sumber: NCTA, 2005, seperti dikutip Baran, 2008 2005 21,5 10,9 6,3 5,9 5,2 2,9 1,5 1,4 1,2 0,6 Jika jumlah pelanggan televisi kabel di Amerika cenderung menurun, jumlah pelanggan televisi satelit justru meningkat. Dua operator TV, satelit Direct TV mempunyai 14,5 juta pelanggan, dan Dish Network 11,2 juta pelanggan. Jika dimasukkan dalam daftar di atas, kedua televisi satelit ini akan menempati posisi kedua dan ketiga sebagai televisi berlangganan dengan jumlah pelanggan terbesar di Amerika. Di Indonesia, pertumbuhan pelanggan televisi berlangganan terbilang pesat. Ini antara laian karena biaya berlangganan makin murah. Hingga tahun 2008 biaya berlangganan antara Rp 30 ribu hingga Rp 300 ribu. Menurut satu data, pelanggan TV berlangganan di Indonesia tumbuh ratarata 36 persen per tahun. Hingga 2006, jumlah pelanggan TV berlangganan 0,7 persen dari total 54 juta rumah tangga. 74 Tabel XV Jumlah pelanggan televisi berlangganan di Indonesia Tahun Kabel Satelit 2001 70.000 60.000 2001 80.000 59.000 2003 105.000 51.000 2004 130.000 85.000 2005 164.000 190.000 2006 190.000 300.000 Sumber: Media Planning Guide Indonesia 2008 Total 130.000 139.000 156.000 215.000 354.000 490.000 Data lain memperlihatkan pertumbuhan pelanggan televisi berlangganan pada akhir 2008 meningkat 65 persen dibanding akhir 2007. Pada 2007 jumlah pelanggan hanya 450 ribu orang. Pada 2008 jumlah pelanggan meningkat menjadi 700 ribu orang. Jumlah pelanggan sebanyak 700 ribu orang hanya 7 persen dari potensi pelanggan yang mencapai 10 juta penonton dari kalangan kelas A dan B (menengah atas) (Kompas, 8 Februari 2009). Hingga akhir 2008, pelanggan Indovision sebanyak 480 ribu pelanggan, Telkomvision 220 ribu pelanggan, dan First Media 125 ribu pelanggan. Pada 2010, jumlah pelanggan televisi berlangganan diperkirakan mencapai 1,2 juta orang. Berikut data market share televisi berlangganan di Indonesia Tabel XVI MARKET SHARE TV BERLANGGANAN (2007) OPERATOR MULAI BEROPERASI MARKET SHARE (%) Indovision 1996 47 First Media 1996 21 Astro 2006 20 Telkom Vision 1997 11 Indosat M2 2000 1 Sumber: Asia Pacific Pay-TV & Broadband Markets 2007 Dengan iuran pelanggan rata-rata Rp 300 ribu per bulan, IPTV juga mulai memperlihatkan pertumbuhan pasar pelanggan. Pertumbuhan pelanggan IPTV sangat signifikan dibanding TV kabel atau TV satelit. Menurut Multimedia 75 Research Group kenaikan pelanggan IPTV kira-kira 45 persen per tahun (Sumber: Broadcast Media, Desember 2008) Di Indonesia, Telkom tengah menjajaki kerjasama dengan PCCW Hongkong. Kerjasama itu meliputi aspek bisnis, konsultasi teknis, desain, solusi pembangunan dan teknologi, dan manajemen. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan untuk IPTV (Broadcast Media, Desember 2008) Iklan Belanja iklan untuk TV berlangganan di Amerika meningkat rata-rata 11,9% per tahun sejak 1998. Di 12 negara Asia Pacifik antara Oktober 2003 hingga Oktober 2004, menurut Nielsen Media, iklan televisi berlangganan mencapai sekitar 14 persen. Kedua belas negara tersebut adalah Korea Selatan, Cina, Hongkong, Taiwan, Filipina, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Australia dan Selandia Baru. Iklan pada televisi berlangganan memang relatif kecil dibanding pada televisi siaran atau bahkan surat kabar sekalipun. Itu karena televisi berlangganan terutama menggantungkan sumber pemasukannya dari pelanggan ketimbang dari iklan. Kepemilikan Perusahaan televisi berlangganan di Amerika dikuasai oleh korporasi besar. DirectTV dikuasai oleh korporasi News Corporation milik Rupert Murdoch. Dish Netwok dimiliki oleh EchoStar. Tabel XVII Sepuluh pemain utama dalam televisi industri televisi kabel di Amerika Tele-Communication, Inc. Time Warner Cable Continental cablevision, Inc. Comsat Corporation Fox Cable Communication Cablevision System Corp. Adelphia Communication Jines Intercable, Inc. Falcon Cable TV Sammons Communication Di Indonesia, perusahan atau korporasi besar menguasai televisi berlangganan. Media Nusantara Citra (MNC) menguasai Indovision. Kelompok Lippo menguasai First Media. 76 Tabel XVIII Kepemilikan sejumlah televisi berlangganan di Indonesia PT Adiwarta Perdana PT Broadband Multimedia Tbk/Kabelvision PT Fasiondo Jaya Kabel TV PT Gemilang Putri Nusantara/Bali Interaktif PT Global Wisata Mandiri Internasional/Global Vision PT Indonesia Broadband Communication/Mega Vision PT Indonusa Telemedia/Telkomvision PT Indosat Mega Media/IM2 PT Matahari Lintas Cakrawala/Indovision PT Mentari Multimedia PT Media Multi Nusantara/Smart PT Triutama Komunikom/Visicom PT Karya Megah Adijaya/AoraTV Kepemilikan asing pernah terjadi dalam industri televisi berlangganan di Indonesia. Astro TV milik konglomerat Malaysia pernah berinvestasi di Indonesia melalui PT Direct Vision milik Kelompok Lippo. Namun, Astro dan Direct Vision pecah kongsi sehingga Astro hengkang dari Indonesia. Kompetisi Televisi berlangganan berkompetisi dengan sesama televisi berlangganan. Sesama televisi berlangganan bersaing dalam hal teknologi, audience, serta content. Dalam hal teknologi, televisi berlangganan bersaing dalam pilihan teknologi, apakah teknologi kabel, teknologi satelit, atau IPTV. Seperti telah disebutkan di atas, televisi satelit menyebabkan jumlah pelanggan televisi kabel menurun. Di Indonesia Telkomvision menggunakan kedua jenis teknologi. Sejumlah televisi berlangganan di Amerika telah melakukan konvergensi ke IPTV. Untuk menjaring audience sebanyak-banyaknya, televisi berlangganan bersaing dalam harga berlangganan. Di Indonesia, televisi berlangganan berlomba menawarkan paket murah. Telkomvision menyediakan voucher prabayar antara Rp 30 ribu sampai Rp 300 ribu. Indovision meluncurkan Top TV yang harga berlangganannya lebih murah dari Indovision sendiri, yaitu Rp 85 ribu. Persaingan dalam memperebutkan content di Indonesia terlihat dalam kasus hak siar Liga Inggris. Ketika Astro TV mendapat hak siar Liga Utama Inggris, TV berlangganan lainnya—Telkomvision dan Indovision—memprotes hal ini dan membawa kasus ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU memutuskan ESPN Star Sports dan All Asia Multimedia Network sebagai penyedia siaran Liga Inggris bersalah telah melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam kasus ini. 77 Dalam hitung-hitungan ekonomi, keuntungan yang didapat dengan menayangkan Liga Inggris sangat menggiurkan. Nilai transaksi Liga Utama Inggris sendiri, menurut, mencapai Rp 50 miliar per tahun. Astro memiliki 85 ribu pelanggan diasumsikan bisa meraup Rp 17 miliar per bulan. Jika diasumsikan tak ada pelanggan baru, Astro bakal mengantongi Rp 204 miliar setahun, yang berasal dari pembayatan paket awal Rp 150 ribu dan paket olahraga Rp 50 ribu. (Tempo 26 Agustus 2007) Regulasi Di Amerika, Federal Communication Commision (FCC) membuat batasan bagi TV kabel untuk menerima siaran televisi jarak jauh. Pada awal tahun 1970, FCC memperkuat kebijakan tadi dengan membuat undang-undang yang membatasi kemampuan operator TV kabel dalam menyiarkan: film, sekilas peristiwa, dan lain-lain. Tahun 1972 dikeluarkan kebijakan deregulasi bertahap untuk TV kabel. Akibatnya, aturan-aturan semakin diperlonggar. Pada 1984 terbit Cable Act yang membebaskan operator TV kabel menentukan harga langganan. Pada 1992, Kongres menunjuk FCC untuk mengatur harga dasar berlangganan. Pada tahun yang sama, FCC mengatur kepemilikan TV kabel. Pada 1992, Kongres mengesahkan Cable Television Consumer Protection and Competition Act. Pada 1994, FCC memberlakukan serangkaian regulasi yang memungkinkan operator TV kabel menambah saluran. Pada 1996, Telekomunication Act membuat sejumlah perubahan bagi industri TV kabel, seperti harga langganan. Di Indonesia TV berlangganan diatur Dalam Undang-undang Penyiaran No. 32/2002 Pasal 25, 26, 27, 28, dan 29. Undang-undang Penyiaran antara lain mengatur bentuk badan hukum lembaga penyiaran berlangganan, sensor, penggunaan satelit dan kabel, dan sumber penghasilan. Masa Depan Televisi berlangganan menghadapi tantangan berupa perkembangan teknologi. Konvergensi antara berbagai jenis teknologi, seperti kabel, satelit, dan internet menjadi suatu keniscayaan. Di Indonesia, masa depan industri televisi berlangganan bisa dikatakan punya prospek cerah dilihat dari potensi jumlah pelanggan. Televisi berlangganan punya potensi mengalihkan perhatian penonton televisi terestrial atau free to air television ke televisi berlangganan tersebutyang cenderung menoton dan seragam. Satu data menyebutkan, hingga akhir 2008, televisi berlangganan baru mampu menggarap 7 persen dari potensi pelanggan yang mencapai 10 juta orang. Data lain menyebutkan, hingga tahun 2006 televisi berlangganan baru mampu menggarap 0,7 persen dari potensi pelanggan yang mencapai 4,5 juta rumah tangga. Televisi berlangganan juga relatif lebih independen dari pengiklan, karena dia lebih mengandalkan pelanggan dalam memperoleh revenue. Televisi terestrial yang tergantung pada iklan seringkali dipengaruhi bahkan diatur oleh pengiklan. 78 Namun, televisi berlangganan relatif lebih rentan pada krisis keuangan. Jika keuangan mengalami krisis, pelanggan pertama-tama akan berhenti berlangganan TV berlangganan-[] 79 14 Ekonomi Industri Radio Sejarah Singkat The ‘’Father of Radio’’ Guglielmo Marconi pada 1896 berhasil mengirim sinyal tanpa kabel sejauh dua mil. Tiga tahun kemudian Marconi berhasil mengirim sinyal tanpa kabel melintasi Terusan Inggris. Pada 1906, Fessenden pertama kali menyiarkan suara dan musik kepada publik. Kemunculan radio sebagai unit usaha besar yang penuh oersaingan mulai terjadi pada 1920 dengan berdirinya radio KDKA. Awalnya radio ini hanya meliput pemilihan presiden. Sumber keuntungannya bukan dari iklan, namun dari pengjualan radio-radio di masyarakat. Program radio yang disponsori mulai diudarakan oleh stasiun WEAF pada 1922. Sejak itulah, radio mulai menayangkan iklan dan menjadikan iklan sebagai sumber pendapatan. Di Indonesia, cikal bakal radio siaran sudah ada sejak masa Prakemerdekaan. Pada 1911, fasilitas radio siaran milik angkatan laut mengudara di Sabang. Hingga akhir Perang Dunia Pertama, pemerintah kolonial Belanda melarang individu mendengar siaran radio. Bersamaan dengan mengendurnya pembatasan selama masa perang, para radio amatir mendirikan Masyarakat Radio Batavia yang sejak 1925 mengudara secara regular. Pada 1937, pemerintah Belanda memberikan izin terbatas bagi Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran untuk menyiarkan materi sosial budaya. Di masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang menempatkan seluruh stasiun radio di bawah pengawasan Departemen propadanda dan Informasi, Sendenbu. Pada 11 September 1945, delapan stasiun radio lokal yang sebelumnya berada dalam pengawasan Jepang, mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI). Sejak April 1946, RRI berada dalam naungan Departemen Penerangan. Tipe Radio Sebagaimana televisi siaran, terdapat tiga tipe radio siaran: radio negara, radio publik, dan radio komersial. Radio negara seluruh biasa operasionalnya berasal dari negara. Radio negara tidak mencari keuntungan. Radio negara bertujuan politik dan propaganda. Radio tipe ini terdapat di negara-negara komunis dan otoriter. Radio Republik Indonesia (RRI) di masa Orde Baru termasuk radio negara. Biaya operasional radio publik berasal dari pajak warganegara dan subsidi pemerintah. Radio publik juga tidak mencari keuntungan. Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan publik akan informasi, pendidikan, hiburan. BBC merupakan salah sayu radio publik. RRI sejak tahun 2005 mencanangkan diri sebagai radio publik. Radio komersial adalah radio swasta. Modal awal radio komersial berasal dari pengusaha swasta. Radio komersial berupaya mendatangkan keuntungan melalui iklan. Ekonomi industri radio terfokus pada radio komersial atau radio swasta ini. Pasar 80 Pasar radio adalah khalayak atau pendengar dan iklan. Radio beroperasi dalam pasar duopoli. Dalam duaopoli satu orang atau satu perusahaan menguasai banyak stasiun radio dalam suatu pasar. Dari sisi pasar ini, di Amerika, radio mencapai masa keemasan (golden age) pada 1940-an. Di Indonesia, masa keemasan radio berlangsung sekitar tahun 1980-an, ketika pemerintah melarang TVRI menayangkan iklan, sehingga iklan beralih ke radio. Khalayak Berdasarkan data Project for Exellence in Journalism tahun 2007, 94 persen orang Amerika mendengarkan radio, 39 persen di antaranta mendengarkan radio di rumah, 37 persen di mobil, dan 23 persen di tempat kerja. Di Amerika, pada 1924, sudah ada tiga juta pesawat radio. Jumlah rumah tangga di Amerika yang memiliki radio meningkat dari 12 juta pada 1930 menjadi 30 juta pada 1940, dan separonya memiliki dua radio. Dewasa ini terdapat lebih dari dua radio untuk setiap orang di Amerika. Setiap pekan, rata-rata lebih dari 225 juta atau 94 persen orang Amerika berusia 12 tahun ke atas mendengarkan radio. Pada hari-hari kerja antara pukul 06.00-10.00, 81 persen orang Amerika berusia 12 tahun ke atas mendengarkan radio. Sebagian besar orang Amerika pertama kali mendengar suatu berita melalui radio, terutama di dalam mobil. Namun, berdasarkan sejumlah data, jumlah pendengar radio di Amerika tidak bertambah, bahkan cenderung menurun. Data di atas bahwa 94 persen orang Amerika yang secara rutin mendengarkan radio sesungguhnya merupakan penurunan 1,6 persen dari 95,6 persen pada 1998. Data Edision Research (2007) menunjukkan antara tahun 2002 dan 2007, jumlah orang Amerika yang menganggap radio sebagai media utama menurun dari 26 persen menjadi 17 persen. Kecenderungan menurunnya jumlah pendengar radio di Amerika, menurut kalangan industri radio sendiri, diakibatkan oleh meluasnya musik online, ketidakpuasan pendengar dengan program yang tidak imajinatif (unimaginative programming), dan hiperkomersialisme. Hiperkomersialisme ditunjukkan dengan panjangnya durasi iklan yang mencapai 12 menit per jam pada sejumlah stasiun radio. Di Indonesia, antara 1970 dan 1980, jumlah pesawat radio yang digunakan meningkat enam kali lipat. Pada 1970 terdapat 2,5 juta pesawat radio, tahun 1980 ada 15 juta, dan tahun 1994 menjadi 28,8 juta. Lebih dari 3,1 juta radio portable terjual pada 1995 saja, menjadikan Indonesia salah satu pasar terbesar radio. Hingga pertengahan 1990-an, lebih dari setengah juta orang di Jakarta mendengar radio setiap hari. Pada 1994, terdapat sekitar 15 radio untuk 100 orang di Indonesia. Menurut data Roy Morgan Single Source (Oktober 2006-September 2007), radio menjangkau 39,3 persen penduduk Indonesia. 81 Iklan Di AS Pada 1929 perolehan iklan radio sebesar 40 juta dolar AS. Antara tahun 19930-1940, revenue dari iklan meningkat dari 40 juta dolar AS menjadi 155 juta dolar AS. Pada 1955 perolehan iklan radio mencapai 500 juta dolar AS. Pada 1969, perolehan iklan radio mencapai 1,2 miliar dolar AS. Menurut data Television Bureau Advertising 2006, dewasa ini iklan radio mencapai 20 miliar dolar AS. Di Indonesia, iklan radio mengalami booming pada 1980-an ketika pemerintah melarang penayangan iklan di TVRI. Belanja iklan media radio selama kurun waktu 1986-2002 meningkat secara meyakinkan. Berdasarkan data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), pada 1986 belanja iklan radio menjadi Rp 23 miliar, tahun 1996 Rp 230 miliar, tahun 1997 Rp 206 miliar, tahun 1998 Rp 136 miliar, tahun 1999 Rp 187 miliar, tahun 2000 Rp 257 miliar, 2001 Rp 341 miliar, dan tahun 2002 menjadi Rp 658 miliar. Kepemilikan Di AS Jumlah stasiun radio melonjak dari 605 pada tahun 1935 menjadi lebih dari 2.500 di tahun 1955, dan meningkat lagi menjadi lebih dari 5.000 pada 1969. Dewasa ini terdapat 13.837 stasiun radio siaran yang beroperasi di seluruh Amerika: 4.754 stasiun komersial yang beroperasi di gelolmbang AM, 6,266 radio komersial FM, dan 2.817 radio nonkomersial FM. Di Amerika terdapat sejumlah korporasi pemilik stasiun radio siaran. Clear Channel memiliki 1.207 stasiun, Cumulus 268 stasiun radio, dan Citadel 243 stasiun radio. Ketiga korporasi mengklaim menguasai 80 persen pendengar Amerika. Konsentrasi kepemilikan ini mengundang kritik dari para pekerja radio maupun para intelektual. Aktivis dan intelektual media Robert McChesney menyebut konsentrasi kepemilikan sudah merusak radio. McChesney menyatakan radio telah menjadi mesin pencari keuntungan semata. Di Indonesia, hingga pertengahan 1990-an terdapat sekitar 700 stasiun radio. Bbanyak pengusaha yang mendirikan stasiun radio. Sejumlah korporasi atau konglomerasi besar menguasai banyak stasiun radio. Tabel XIX Kepemilikan Stasiun Radio di Indonesia Kelompok Kompas-Gramedia memiliki jaringan radio Sonora (Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Palembang, Pangkalpinang, Pontianak). Media Nusantara Citra (MNC) memiliki jaringan radio Trijaya (Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan). MRA Group menguasai MTV Sky, Hard Rock FM, I-Radio (Jakarta), Hardrock Bali. CPP Group memiliki lebih dari 50 stasiun radio di Jawa Tengah. Jaringan Delta FM: Jakarta, Bandung, Medan, Makassar, Manado. Jaringan Pass FM: Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Surakarta. Smart FM: Jakarta, Manado, Makassar, Banjarmasin, dan Palembang. 82 MRA Group: MTV Sky, Hard Rock FM, 1-Radio (Jakarta), Hardrock Bali. Jaringan Elshinta: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Jambi, Riau, Ternate, Tidore, Ambon, Sorong, Biak. Ramaco Group: Lite FM, Kiss FM, Mustang, Zoo, Batam FM. Kompetisi Stasiun radio tentu berkompetisi dengan sesama stasiun radio. Stasiun radio saling berkompetisi memperebutkan pendengar dan iklan. Di Indonesia, karena begitu banyaknya stasiun radio—yang hingga pertengahan 1990-an mencapai 700 stasiun radio—kompetisi di antara stasiun radio dalam memperebutkan pendengar dan pengiklan sangatlah ketat. Untuk mengurangi derajat kompetisi, stasiun radio mengukuhkan positioning tersendiri agar berbeda dengan stasiun radio lain. Dengan media lain, stasiun radio terutama berkompetisi dengan televise, sejak pesawat televisii diciptakan. Kehadiran televisi mengakhiri masa keemasan radio. Di Amerika, kehadiran televisi menurunkan penghasilan radio dari iklan hingga 50 persen antara tahun 1945 hingga pertengahan 1950-an. Oleh karena itu, kehadiran televisi membuat orang meramalkan kematian radio (the end of radio). Pesaing radio lainnya datang dari musik online. Di Amerika, musik online menjadi salah satu penyebab turunnya pendapatan iklan radio dari 26 persen menjadi 17 persen antara tahun 2002-2007. Teknologi Teknologi yang dewasa ini merambah industri radio adalah radio digital, live streaming atau radio internet. Teknologi yang tengah dikembangkan adalah radio bergambar (radio with picture). Terkait dengan radio internet di Indonesia, Djwirya dikenal sebagai radio internet komersial pertama yang berdiri pada Oktober 2005. Radio ini diakses rata-rata 1.500 orang per hari. Ada pula radio internet bernama Kaskusradio yang lahir dari forum komunitas anak Indonesia yang kebanyakan tinggal di luar negeri. Biaya membuat radio internet sekitar Rp 10 juta. Biaya ini meliputi komputer, lisensi piranti lunak, sewa hosting, hingga biaya operasional. Peluang bisnis radio internet dibidik oleh sejumlah radio konvensional. Radio yang berada di jalur FM seperti Prambors, Elshinta, Ramako, Delta FM pun merambah ke ranah maya. Regulasi Di Amerika, telah terjadi deregulasi dalam industri radio. Federal Communication Commision (FCC) awalnya membatasi kepemilikan: satu orang atau perusahaan hanya boleh memiliki satu stasiun radio AM dan satu radio FM lokal, serta 7 radio AM dan & radio FM nasional. Telecommunication Act 1996 tidak membatasi kepemilikan stasiun radio. Telecommunication Act 1996 makin mengukuhkan radio sebagai industri. Lebih jauh, telecommunication Act 83 menciptakan sistem duopoli: satu orang atau perusahaan memiliki dan mengatur banyak stasiun radio dalam ssuatu pasar. Di Indonesia, pada 1970, keberadaan radio swasta disahkan, tetapi dengan kewajiban merelai berita RRI. Pada 1976 terbit Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1976 tentang Radio Siaran Non-pemerintah yang mengatur kriteria kepemilikan (pemilik warganegara Indonesia, tak terlibat PKI, bukan penguus partai), melaksanakan fungsi sosial, tak boleh untuk politik). Pada 1971 lahir Keputusan Menhub tahun 1971 yang memberi kewenangan atas stasiun radio nonpemerintah kepada gubernur dan kopkamtib. Pada tahun yang sama lahir Keputusan Menteri Penerangan tahun 1971 tentang muatan lokal. Undang-undang Penyiaran tahun 1997 menghilangkan pembatasan kepemilikan dan manajemen stasiun radio. Tidak ada larangan eksplisit terhadap mereka yang terlibat komunisme untuk memiliki radio. Tidak ada pula larangan bagi partai politik atau organisasi massa untuk berinvestasi di stasiun radio. Akan tetapi, kepemilikan asing tetap dilarang oleh undang-undang ini. Pasca Orde Baru lahir Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang mengatur kepemilikan radio, modal, materi atau sisi siaran, frekuensi, dll. Undang-undang Penyiaran menegaskan radio sebagai industri, institusi ekonomi atau institusi komersial. Terkait dengan izin frekuensi masih terjadi sentralisasi regulasi. Izin frekuansi dikeluarkan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika selaku regulator. Akibat sentralisasi regulasi ini, di Jawa Barat, misalnya, hingga awal 2009, 366 lembaga penyiaran selama empat tahun menanti izin frekuensi tersebut. (Kompas, 7 januari 2009). Regulasi lain yang mengatur industri radio siarran adalah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator independen. Masa Depan Radio Sebagai media elektronik tertua, industri radio telah beradaptasi terhadap berbagai kekuatan yang mempengaruhi potensi ekonominya. Radio bukan hanya bertahan, tetapi juga makin kuat. Orang, ketika televisi muncul, meramalkan ‘’the end of radio.’’ Tetapi, nyatanya radio tetap bertahan. Kelebihan radio membuatnya tak lekang di makan zaman. Radio bersifat personal, lokal, terfragmentasi, terspesialisasi (minimal dalam tataran positioning), serta bersifat mobile. Positioning atau spesialisasi akan mengurangi derajat kompetisi dalam industri radio siaran. Saat ini industri radio merupakan industri yang mapan, dan punya masa depan yang menjanjikan. Apalagi, ongkos membangun radio siaran relatif murah. Di masa depan mungkin radio tak berbentuk konvensional berupa radio dengan gelombang frekuensi, tetapi berupa radio internet.[] 84 15 Ekonomi Industri Film Sejarah Singkat Film atau gambar bergerak yang kita kenal berawal ketika Niepce mengembangkan fotografi pada 1816. Pada 1839 diperkenalkan kertas film. Pada 1877 Muybridge mengambil sejumlah gambar diam (still picture) balapan kuda dalam sekuens, sehingga ketika sekuens tersebut diputar seolah gambar menjadi bergerak. Pada 1887, Goodwins mengembangkan pita seluloid. Setahun kemudian atau tahun 1888, Dickson memproduksi kinetograph. Pada 1889, Eastmen mengembangkan kamera film praktis. Pada 1891, Thomas Edison menciptakan kinetoskop. Pada 1895, kakak-beradik Lumiere memulai debut sinematografi mereka. Sinematograf adalah alat yang memadukan fotografi dan proyektor. Bersama Thomas Armat, Edison mematenkan proyektor pada 23 April. Pada April 1896, Edison meluncurkan Edison Vitascope di New York yang menandai kelahiran industri atau bisnis film. Film Edison dan Lumiere durasinya hanya beberapa menit. Film awal tersebut tanpa editing dan tanpa narasi. Pembuat film asal Prancis George Melies kemudian membuat film yang diserta narasi dengn judul ‘’A Trip to the Moon. ‘’ Pada 1926, film mulai menampilkan suara. Dari perkembangan sejarah itu, film berkembang ke seluruh dunia sebagai industri. Industri film di AS menjadi sumber hiburan utama selama beberapa dekade. Hollywood menjadi pusat industri film di AS. Di Indonesia, film sudah ada sejak 1920-an. Film bisu pertama ‘’Loetoeng Kasaroeng’’ diproduksi di Bandung pada 1926. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan lembaga sensor pada 1925. Pada 1936, pemerintah kolonial mendirikan perusahaan film negara Algemeen Nederlandsch Indisch Film (ANIF) yang memproduksi features dan dokumenter. Di masa pendudukan Jepang (19421945), peran pemerintah makin kuat. Pemerintah melatih orang Indonesia memproduksi berita dan film propaganda. Di era Demokrasi Terpimpin (19571965), Perusahaan Film Negara (PFN) menayangkan gambar-gambar Soekarno dan Badan Sensor Film bertugas menjaga kebudayaan Indonesia serta mencegah pengaruh politik dan seks film-film Hollywood. Film di Indonesia mulai memasuki era industri pada 1940. Saat itu terdapat enam perusahaan film. Keenam perusahaan film itu adalah Java Industrial Film, Tan’s Film Coy, Populair’s Film Coy, Oriental Film Coy, Union Film, dan Star Film Coy. Industri film Indonesia surut pada masa kemerdekaan, pada masa pendudukan Jepang, serta masa Demokrasi terpimpin. Industri film Indonesia bangkit kembali pada pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1980-an, masa yang sering disebut paling produktif dalam industri film Indonesia. Tahun 1980an bisa disebut puncak industri film Indonesia. Tahun 1990-an, industri film Indonesia seolah mati suri. Industri film Indonesia menggeliat kembali pada tahun 2000-an 85 Biaya Produksi dan Penghasilan Biaya produksi film di AS terus meningkat sejak dekade lalu. Pada 1983, rata-rata biaya produksi film sekitar 11,3 juta dolar AS. Pada 1993, rata-rata biaya produksi film menjadi 44 juta dolar AS, dan pada 1994 melonjak menjadi 50,4 juta dolar AS. Lembaga analis keuangan Wedbush Morgan Securities melaporkan sejak tahun 2003 pendapatan film-film Hollywood terus meningkat. Tahun 2006 pendapatan Hollywood naik 5,5% atau setara 9,5 miliar dolar AS. Tahun 2007 pendapatan Hollywood diperkirakan mencapai 10 miliar dolar AS atau hampir Rp 100 triliun. Peningkatan pendapatan Hollywood meningkat antara lain akibat naiknya harga tiket sebesar 50% dibanding tahun sebelumnya. Industri film Hollywood antara lain berasal dari film-film box office. Titanik menjadi salah satu film Hollywood dengan penghasilan terbesar sepanjang masa. Tabel XX Penghasilan 10 film box office Amerika sepanjang masa untuk penayangan di seluruh Amerika Film Titanic (1997) Star wars (1977) Shrek 2 (2004) E.T. (1982) Star Wars: The Panthom Manace (1999) Pirates of The Caribbean: Dead Man Chest (2006) Sprider Man (2002) Star Wars: Revenge of The Sith (2005) Lord of the Ring: Return of the King (2003) Spider Man 2 (2004) Penghasilan (juta dolar) 601 461 437 435 431 423 408 380 377 373 Sumber: Internet Movies Database 2007 seperti dikutip baran, 2008 Biaya produksi film Indonesia berkisar antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar (tahun 1997). Film-film istimewa dibuat dengan biaya produksi Rp 4-5 miliar. Biaya produksi film Opera Jawa garapan Garin Nugroho mencapai Rp 3,5 miliar. Biaya film horor terbilang murah, bisa di bawah Rp 1,5 miliar, karena pemain utama tidak harus bintang ternama, cukup pendatang baru dengan honor relatif murah. Biaya termahal yang pernah dikeluarkan dalam memproduksi film Indonesia sebesar Rp 11 miliar, karena pengambilan gambar dilakukan di luar negeri. Film ‘’Merah Putih’’ yang dirilis untuk memperingati Proklamasi 17 Agustus 2009, dengan melibatkan profesional Hollywood menelan biaya produksi 60 miliar dolar AS. 86 Biaya produksi film di Indonesia, selain dari kocek produser, bisa berasal dari sponsor (rokok, operator ponsel) atau sponsor dari negara lain. Opera Jawa, misalnya, biaya pembuatannya berasal dari Austria, Belanda, Belgia. (Behind The Scene, Vol 2#11, September 2006). Jika penonton 300.000 orang, dengan modal Rp 2 miliar, keuntungan Rp 250 juta. Asumsinya harga tiket rata-rata Rp 25.000 per lembar, seteah dipotong pajak untuk negara dan dibagi dua dengan pemilik bioskop dan distributor, maka pemilik film atau produser menerima Rp 7.500 per lembar tiket. Jika penonton 300.000 orang, produser memperoleh 300.00 x Rp 7.500 = Rp 2.250.000.000. Jika biaya produksi 2 miliar, maka keuntungan Rp 250.000. Pasar Struktur pasar industri film di AS adalah oligopoli. Hingga 1994 terdapat setidaknya delapan pemain utama di dalamnya: Disney dengan market share 18,6%, Warner Brothers 15,9%, Paramount 14,2%, Universal 13,5%, Fox 10,1%, TriStar 5,2%, Columbia 4,7%, MGM 2,5% Khalayak Industri film memperoleh revenue dari audience melalui berbagai teknologi atau cara, seperti penjualan tiket (bioskop), home video, distribusi internasional, pay-per-view. Berdasarkan riset Nielsen, penggemar film rata-rata mengonsumsi 10,5 judul film di layar bioskop. Sebanyak 46% di antaranya adalah pelanggan Netflix dan 68% pemilik home theatre. Sebanyak 63 persen penonton lebi suka menonton film di bioskop ketimbang di rumah. Tahun 2007, penonton diperkirakan tumbuh sebesar 6,4%. Di Amerika, penjualan tiket mencapat rekor pada 1946, yaitu sebanyak lebih dari 4 miliar tiket. Dewasa ini, 1,3 miliar tiket terjual setiap tahun di Amerika Serikat. Di Indonesia, dari tahun 1926-2005 diproduksi 2.261 judul film (Katalgog Film Indonesia 1926-2005). Berdasarkan data Departemen Penerangan, 112 judul film diproduksi pada 1990/1991, 41 di tahun 1991/1992, 28 di tahun 1992/1993. Pada 1997/1998 hanya tujuh film Indonesia yang diproduksi. Pada 2006, jumlah film Indonesia yang diproduksi mencapai 40 judul. Pada 2007, beredar 53 judul film di bioskop-bioskop Indonesia. Film Indonesia umumnya mengandalkan penonton sebagai pasar. Untuk meraih penonton, film Indonesia hanya memanfaatkan beberapa teknologi: penjualan tiket bioskop, DVD/VCD. Diperkirakan saat ini hanya 20 persen rakyat Indonesia yang bisa mengonsumsi film. Pada tahun 2006 dengan jumlah produksi sebanyak 40 judul, film Indonesia mampu meraih 12 juta penonton. Dengan produksi dan jumlah penonton sebanyak itu, film Indonesia meraih 34 persen dari total film. Pada tahun 2007 dengan jumlah produksi 53 judul film, 17 film di antaranya meraih lebih dari 500 ribu penonton, bahkan empat lainnya meraih sejuta penonton. 87 Tabel XXI Film-film Indonesia dengan Jumlah Penonton Terbesar (2007) Judul Film 1. Get Married 2. Nagabonar Jadi 2 3. Terowongan Casablanca 4. Quicky Express 5. Film Horor 6. Suster Ngesot 7. Pulau Hantu 8. Pocong 3 9. Lantai 13 10. Kuntilanak 2 Jumlah Penonton 1,4 juta 1,3 juta 1,2 juta >1,0 juta 900 ribu 800 ribu 650 ribu 600 ribu 550 ribu 550 ribu Sumber: Indonesian Film Catalogue 2008 Pada tahun 2008, film Indonesia yang diproduksi mencapai 87 judul. Film yang paling banyak ditonton adalah Laskar Pelangi dengan jumlah penonton 4,5 juta orang, dan Ayat-ayat Cinta dengan jumlah penonton 3,5 juta orang. Hingga Maret 2009, film yang diproduksi mencapai 16 judul. Iklan: Product Placement dan Sponsor Industri film kadang memperoleh pendapatan lain dari apa yang disebut penempatan produk (product placement) atau build in product dalam istilah industri televisi siaran. Dalam industri film Hollywood, mainan bermerek Tranformer tampil dalam film Transformer (2007); Mobil Audi berulangkali muncul dalam film Transporter 2 (2005); Calvin Klein tampak dalam film The Island. Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film. Dalam film The African Queen, bintang film Khatarine Hepburn membuang botol minuman bermerek Gordon ke sungai. Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam film Father of the Bride (1950). Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh perusahaan atau lembaga tertentu. Perusahaan yang acap mensponsori film Indonesia adalah perusahaan telepon seluler atau perusahaan rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung sebelumnya, biaya pembuatannya berasal dari Austria, Belanda, Belgia. Bioskop 88 Bioskop merupakan sarana eksibisi dalam industri film. Jumlah penonton film antara lain ditentukan oleh jumlah bioskop. Di Amerika terdapat sekitar 36.485 layar bioskop. Lebih dari 80 peresn bioskop punya dua atau lebih layar dengan rata-rata 340 tempat duduk. Pada 1980-an, berdasarkan Paramount Decision, bioskop dimiliki oleh studio. Somy/Loews Theaters, Sony-IMAX Theaters, Magic Johnson Theaters, dan Loews-Star Theaters menguasai 3.000 layar biskop. Warner Brothers International Theaters memiliki 1.000 layar bioskop di 12 negara bagian. Pemerintahan Reagen membuat deregulasi kepemilikan bioskop. Sejak 1990-an, studio tak memiliki layar bioskop lagi. Biskop dimiliki oleh jaringan besar. Century Theaters memiliki 800 layar dan berencana menambah 400 layar lagi di 11 negara bagian. Regal Entertainment Group (Regal Cinemas, United Artist Theaters, Edwards Theaters) memiliki 6.061 layar di 26 negara bagian. Tujuh jaringan biskop serta jaringan studio menguasai 80 persen penjualan tiket bioskop di Amerika. Di Indonesia, jumlah bioskop belum sebanding dengan jumlah penduduk. Hingga Juni 2009, di Indonesia terdapat 554 layar bioskop untuk 220 juta penduduk. Sebagai perbandingan, di Korea dengan jumlah penduduk jauh lebih sedikit dibanding Indonesia, terdapat 360 layar bioskop. Dewasa ini bioskop di Indonesia dikuasai oleh jaringan 21 dan Blitz. Sejak 1986 hingga 2008 sekitar 107 bioskop tutup akibat tidak bisa mengikuti irama permainan dalam peredaran film di Indonesi. Kematian biskokp dipercepat oleh maraknya peredaran VCD dan DVD. (Kompas, 23 mei 2008). Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan (April 2006-Maret 2007) terhadap penduduk di 20 kota utama di Indonesia menunjukkan lebih dari 2 juta orang mengunjungi bioskop lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir, sekitar 1,7 juta orang mengunjungi bioskop satu kali dalam tiga bulan terakhir, dan sekitar 500 ribu orang mengunjungi bioskop antara 3 sampai 12 bulan terakhir. Bioskop juga menjadi sarana beriklan. Di tingkat global, iklan bioskop meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Zenith Optimedia seperti dikutip Me dia Planning Guide Indonesia 2008, pada 2006, iklan bioskop global mencapai 1,9 miliar dolar AS. Diperkirakan iklan bioskop meningkat menjadi hampir 3 miliar dolar AS pada 2010. Di Indonesia, pendapatan bioskop dari iklan meningkat dari tahun ke tahun. Tabel XXII Pendapatan Bioskop di Indonesia dari iklan Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 (perkiraan) 2008 (perkiraan) 2009 (perkiraan) Pendapatan Iklan (miliar rupiah) 11 13 14 15 16 19 22 89 Sumber: Zenith Optimedia seperti dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008 Kepemilikan Di Amerika, hingga 1994 terdapat setidaknya delapan pemain utama di dalamnya: Disney dengan market share 18,6%, Warner Brothers 15,9%, Paramount 14,2%, Universal 13,5%, Fox 10,1%, TriStar 5,2%, Columbia 4,7%, MGM 2,5% . Konglomerasi dalam industri film dunia merupakan kepemilikan internasional. Columbia dimiliki oleh perusahaan Jepang Sony. Fox dimiliki oleh perusahaan Australia. Di Indonesia, pengusaha yang terjun ke industri film cenderung meningkat. Menurut catatan Kementerian Kebudayaan dan pariwisata, pada 2007 terdapat penguasaha, dan hingga Juli 2009 tercatat 1.163 penguasa. (Kompas, 9 September 2009). Beberapa perusaahan film di Indonesia merupakan perusahaan besar. Produsen utama dalam industri film di Indonesia antara lain Rexinema, Kharisma Starvision, SinemArt Pictures, Maxima, dan Multivision Plus. Multivision Plus dimiliki oleh raja sinetron Raam Punjabi. Dalam hal kepemilikan bioskop, jaringan bioskop 21 merupakan kepemilikan yang bersifat monopolistik, hingga munculnya jaringan biskop Blitz. Jaringan bioskop 21 dituding sebagai penyebab tutupnya bioskop-bioskop non-21. Kompetisi Di Amerika, kompetisi terjadi di antara delapan pemain utama dalam industri fil di sana. Kompetisi ini melahirkan apa yang disebut blockbuster mentality—pembuatan film lebih didasarkan pada upaya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di Amerika, industri film berkompetisi dengan televisi berlangganan, terutama yang memutar film, seperti Home Box Office (HBO). Di Indonesia, film bersaing dengan sinetron di televisi. Film Indonesia juga berkompetisi dengan film Hollywood dan sinetron di televisi atau film televisi. Pada tahun 1990-an, untuk mempertahankan eksistensi film Indonesia dalam persaingan dengan film Hollywood, sineas Indonesia membuat film-film bernuansa seks. Di Indonesia, persaingan juga terjadi antarbioskop. Pada 1990-an, bioskop jaringan 21 berkompetisi dengan bioskop non-21. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, bioskop-bioskop non-21 memutar film-film Indonesia bernuansa seks. Namun, bioskop non-21 tak mampu bersaing dengan bioskop 21 sehingga banyak yang bangkrut. Dewasa ini, kompetisi terjadi antara jaringan bioskop 21 dan jaringan jaringan bioskop Blitz. Kompetisi terjadi dalam hal harga tiket, film-film yang diputar, serta kenyamanan menonton. 90 Teknologi Terdapat dua jenis teknologi yang mempengaruhi industri film. Pertama, penggunaan secara lebih luas teknologi produksi film, seperti penggunaan kamera digital, special effects, komputer, dll. Kedua, berkaitan dengan teknologi konsumsi film, seperti video on demand, gambar digital, home video, private theatre, internet, dll. Dalam hal konsumsi film, dewasa ini mulai berlangsung konvergensi teknologi. Film kini tidak hanya diproduksi untuk bioskop, tetapi juga DVD, televisi jaringan dan televisi kabel. Untuk keperluan perawatan atau pengarsipan, dalam industri film telah berkembang teknologi digital. Namun, biaya mendigitalisasi film terbilang mahal. Untuk mendigitalisasi satu film dibutuhkan biaya Rp 15 juta (tahun 2008). Regulasi Di Amerika, regulasi awalnya berhubungan dengan kompetisi. Belakangan regulasi dalam industri film umumnya berkaitan dengan sensor. Selama lebih dari setengah abad, banyak negara bagian dan kota yang memiliki lembaga sensor film. Sensor umumnya berkaitan dengan masalah politik dan moral. Namun, pada 1950-an, Mahkamah Agung melarang pemerintah negara bagian menyensor atau melarang peredaran film-film tertentu. Namun, Hollywood kemudian melakukan sensor mandiri dengan menciptakan sistem rating. Rating berupa penggolongan film berdasarkan materi atau isi film. Rating terdiri dari: G : general audiences PG : parental guidence; for mature audiences) PG-13 : parental guidence (advised for children under 13 years old) R : restricted; no one under 17 years old admitted unless accompanied by an adult NC-17 : no children under 17; replaces the old X rating Regulasi lainnya di Amerika adalah copy right atau hak cipta. Penerapan hak cipta di sana relatif baik sehingga industri terkait hak cipta, seperti film, berkembang pesat. Industri hak cipta di Amerika, menurut laporan International Intellectual Property Alliance(IIPA), menyumbang $1,38 triliun atau 11,12% DGP AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta orang. Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah Ordonansi Film No. 507. Pemerintah Orde Lama memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Pnps tahun 1964. Di masa Orde Baru berlaku Undang-undang Perfilman No. 8 Tahun 1992. Pada 2009, DPR mengesahkan berlakunya Undang-undang Perfilman baru untuk menggantikan Undang-undang [perfilman No. 8 tahun 1992. Di Indonesia regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa Orde Baru memiliki lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF). Di masa reformasi, ia berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). 91 Di Indonesia, antara 1970 hingga 2005 setidaknya 40 film Indonesia terkena sensor. Pada 2007, LSM menyensor 53 judul film Indonesia dan 2007 judul film impor. (Koran Tempo, 25 Mei 2008) Film-film tersebut disensor kebanyakan karena menampilkan seks, kekerasan, dan SARA. Berdasarkan data LSF, sepanjang 2007, adegan seks yang disensor sepanjang 2.383,5 meter (18 rol film), sadistis 539,3 meter (4 roll film), dan SARA atau ketertiban umum 260,5 meter (2 rol film) Regulasi lainnya adalah berkaitan dengan perlindungan film dari pembajakan (UU Hak Cipta). Pelaku pembajakan umumnya membajak film-film Indonesia ke dalam DVD. Untuk mengurangi pembajakan, di masa awal distribusi, film-film Indonesia hanya dibuat untuk bioskop. Setelah film tidak diputar di bioskop, baru dibuatkan DVD-nya. Sebagaimana di Amerika, LSF menetapkan rating film. Rating film terdiri dari semua umur, 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas. Rating seperti ini penerapannya tidak begitu ketat. Bioskop seringkali meloloskan anak-anak menonton film 17 tahun ke atas. Masa Depan Dilihat dari kemampuannya beradaptasi dengan berbagai teknologi untuk meraih penonton, masa depan industri film bisa dikatakan cerah. Namun, dilihat dari sisi cost production yang cenderung makin mahal, selera penonton yang berubah-ubah, pembajakan, serta munculnya industri film di negara lain, membuat masa depan industri film masih merupakan tantangan. Di masa depan, industri televisi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi konsumsi. Konvergensi teknologi diperlukan untuk mempertahankan kelangsung hidup industri film. Film Indonesia kini mulai bergerak ke era industri. Mulai banyak produser film yang membuat film untuk tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan tenaga profesional, dan metode profesional. Penyediaan tenaga profesional harus didukung oleh ketersediaan sekolah film. Untuk penduduk yang berjumlah 225 juta jiwa, Indonesia hanya punya satu sekolah film. Bandingkan dengan India yang punya 30 sekolah film, Korea 7, Filipina 5, dan Iran 2. Tantangan lain industri film di Indonesia adalah pembajakan. Pemerintah juga harus menerapkan regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk mengurangi pembajakan demi kelangsungan industri film. Kampanye antipembajakan serta strategi distribusi—misalnya dengan hanya membuat film untuk bioskop di masa awal distribusi—merupakan langkah lain untuk mengurangi pembajakan.[] 92 17 Ekonomi Industri Rekaman Sejarah Singkat Industri rekaman merupakan salah satu industri hiburan. Meski mengalami pasang surut, tetapi secara umum industri rekaman sangat menjanjikan. Di Amerika Industri rekaman mengalami tingkat penjualan yang tinggi pada 1920-an, namun menurun drastis di masa depresi, dan meningkat kembali pada 1940-an. Revenue (disesuaikan dengan tingkat inflasi) mengalami pasang surut pada awal 1950-an. Penjualan cenderung datar dari 1978-1982, dan pada 1980-an serta awal 1990-an perkembangan industri rekaman tersendat akibat inflasi. Sejarah industri rekaman di Indonesia berawal ketika fonograf buatan Amerika diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an. Pada masa pra Perang Kemerdekaan terdapat tiga perusahaan rekaman—dua di Batavia dan satu di Surabaya—yang dimiliki oleh orang Cina. Pada 1951 perusahaan rekaman yang dimiliki oleh orang pribumi berdiri. Perusahaan bernama Irama itu memproduksi rekaman berbentuk fonogram. Pada 1954, berdiri perusahaan rekaman Remaco dan Dimita. Setahun kemudian di Solo, Jawa Tengah, lahir Lokananta, perusahaan rekaman milik pemerintah, yang terutama memproduksi musik atau lagu Jawa. Perusahaan rekaman Irama di Menteng, Jakarta, kemudian melahirkan lagu-lagu pop hiburan yang dinyanyikan oleh Rachmat Kartolo, Nien lesmana, Patty Sister . Pasar Pasar industri rekaman di AS bersifat oligopoli. Industri musik di AS juga melakukan intergrasi vertikal. Industri musik umumnya merupakan industri hulu ke hilir. Industri rekaman umumnya juga memiliki industri publikasi, fasilitas rekaman, manufaktur, distribusi, serta promosi. Pasar industri musik rekaman umumnya adalah khalayak. Namun, belakangan ini, industri rekaman memperoleh ongkos produksi dari sponsor. Khalayak Tingkat konsumsi musik publik AS merupakan yang terbesar kedua setelah konsumsi TV. Pada 1995, setiap orang di AS rata-rata mendengar musik selama 185 jam. Pada tahun 2001 konsumsi musik di AS meningkat menjadi 238 jam per orang. Pada 1985 setiap orang di AS rata-rata menghabiskan 25,1 dolar untuk mengonsumsi musik. Pada 2001, setiap orang AS rata-rata menghabiskan 60,6 dolar untuk mendengar atau mengonsumsi musik. Produksi industri musik atau rekaman bisa dikatakan relatif berkembang dari tahun ke tahun. Pada 1973, produksi industri rekaman mencapai 600 juta unit lebih. Sepuluh tahun kemudian meningkat menjadi sekitar 900 juta unit. Puncak produksi industri rekaman di AS mencapai puncaknya pada tahun 2000, yakni 1,2 miliar unit lebih, namun menurun pada 2001 menjadi 1 miliar unit. The Beatles merupakan grup musik dengan jumlah penjualan rekaman tertinggi. 93 Tabel XXIII Penjualan rekaman grup atau artis penyanyi di Amerika sepanjang masa: Musisi Rekaman Terjual (juta kopi) 169 118,5 116 109,5 91 79,5 73,5 71 69 68 The Beatles Elvis Presley Garth Brooks Led Zepelin Eagles Billy Joel Pink Floyd Barbra Streisand Elton John AC/DC Sumber: Asosiasi Industri Rekaman Amerika seperti dikutip Baran (2008). Dalam hal finansial, industri rekaman di Indonesia terbilang jauh dari standar dunia, tetapi yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 1995, total penjualan musik rekaman di Indonesia hanya sekitar 290 juta dolar AS, kurang 3 persen dari penjualan musik rekaman di Amerika yang mencapai 12.880 juta dolar AS atau Jepang yang mencapai 10.019 juta dolar AS. Akan tetapi, nilai penjualan di Filipina hanya 16 persen dari nilai penjualan di Indonesia, Singapura 31 persen, Malaysia 50 persen, dan Thailand 65 persen. Akan tetapi, tren penjualan rekaman di Indonesia antara 2001 hingga 2006 cenderung menurun. Penyebabnya adalah maraknya pembajakan. Padahal, tahun 1996, sebelum krisis, industri rekaman di Indonesia mampu menjual 8-10 juta keping rekaman per bulan atau sekitar 120 juta keping setahun. Tabel XXVI Penjualan Kaset Rekaman Legal (unit) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Lokal 28.073.540 20.925.844 17.005.570 20.175.310 14.485.860 11.659.137 Etnik Regional 4.964.059 4.778.285 4.372.360 2.970.719 1.533.384 1.350.510 300.046 111.636 Internasional 12.700.220 11.102.710 8.689.176 7.652.890 5.700.884 2.121.084 Sumber: Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) seperti dikutip majalah SWA Oktober-November 2007. 94 Tabel XXVII Penjualan CD Rekaman Legal (unit) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Lokal 659.070 720.860 1.297.196 2.401.150 2.415.530 2.377.344 Etnik Regional 60.742 109.319 97.701 94.810 Internasional 2.057.400 1.063.740 1.154.098 2.077.061 1.856.319 1.801.395 Sumber: Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) seperti dikutip majalah SWA Oktober-November 2007. Tabel XXVIII Penjualan VCD Rekaman Legal (unit) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Ekonomis 279.190 245.200 1.904.360 Lokal 297.748 383.240 1.076.290 889.470 442.450 685.790 Internasional 243.720 77.580 55.350 43.290 16.110 10.080 Sumber: Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) seperti dikutip majalah SWA Oktober-November 2007. Kecenderungan menurunnya jumlah penjualan rekaman antara 2001-2006 praktis menyebabkan menurunnya nilai penjualan rekaman. Dibanding tahun 2001, nilai penjualan rekaman turun hingga sekitar 50 persen pada 2006. Tabel XXIX Total Nilai Penjualan Rekaman (Rupiah) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Nilai Penjualan 1.063.237.960.000 798.246.100.000 705.502.487.000 837.541.722.000 703.655.781.000 567.959.497.000 Sumber: Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) seperti dikutip majalah SWA Oktober-November 2007. 95 Sepanjang 2006 tak satu pun label rekaman yang penjualan albumnya mencapai 1 juta keping. Rekaman ‘’Naluri Lelaki’’ dari Samson hanya terjual 700 ribu keping, album ‘’Melayang’’ dari Ungu hanya terjual 800 ribu keping, dan album rohani ‘’Surgamu’’ juga dari Ungu hanya terjual 600 ribu keping. Album Nidji ‘’Breakthru’’ dengan kampanye promosi masif hanya terjual 350 ribu keping. Sponsor Namun, belakangan banyak rekaman yang memanfaatkan sponsor. Produksi kaset dan CD grup musik Letto, misalnya, disponsori oleh Indosat. Sejumlah stasiun televsi swasta di Indonesia juga mensponsori produksi kaset atau CD kompilasi. Kepemilikan Industri musik kadang merupakan sebuah konglomerasi. Ada empat pemain utama dalam industri musik di Amerika Serikat, yang disebut ‘’The Big Four.’’ Keempat pemain utama ini mengontrol 88 pertsen pasar rekaman di Amerika. Dua di antaranya, Sony BMG dan Universal, bahkan menguasai lebih dari 60 persen dari total pasar rekaman dunia yang mencapai 28 miliar dolar AS. Keempat pemain utama dalam industri musik di Amerika Serikat itu adalah: Sony BMG menguasai 28 persen pasar musik Amerika, dimiliki oleh dua konglomerat media global, Sony Jepang dan Bertlesmann Jerman. Labep rekamannya meliputi Columbia, Epic, RCA, dan Arista. Warner Music Group menguasai 16 persen pasar musik Amerika, dimiliki oleh Edgar Brontman dan beberapa investor swasta. Labal rekamannya menliputi Atlantic, Electra, dan warner Brothers. Universal Music Group menguasai 35 persen pasar kaset di Amerika, dimiliki oleh konglomerat Prancis Vivendi Universal dan mengusai label seperti MCA. EMI Record, menguasai 9 persen pasar kaset Amerika, dimiliki oleh EMI Group Inggris, serta mengusai lebal seperti BMI, capitol, dan Def Jam Records. Di Indonesia, tidak tidak ada pembatasan kepemilikan asing dalam industri rekaman. Sejumlah produsen musik rekaman di Indonesia punya kaitan dengan konglomerasi industri rekaman Amerika/dunia, sebagaimana bisa dilihat dari 10 produsen musik rekaman papan atas dilihat dari sisi penjualan. Konglomerasi industri rekaman Amerika/dunia yang masuk ke Indonesia adalah Sony BMG, EMI, Universal Music, dan warner Music, serta Blackboard. 96 Tabel XXX ‘’Top Ten’’ Label Rekaman berdasarkan Penjualan 2006 Musica Studio Sony BMG Music Entertainment Indonesia EMI Music Indonesia Universal Music Indonesia Virgo Ramayana Record Aquarius Musikindo Swara Sapta Gita Warner Music Indonesia Dian Pramudita Kusuma Arga Swara Kencana Musik (Blackboard) Konglomerasi dan internasionalisasi dalam kepemilikan industri rekaman Mengakibatkan terjadinya homogenisasi kultural (keseragaman budaya), dominasi keuntungan atas kreasi, serta promosi berlebihan untuk menutupi kekurangan pada musik. Teknologi, Inovasi, dan Kompetisi Ringtone merupakan teknologi baru untuk menjaring pasar (audience) musik Indonesia. Para musisi atau mencipta lagu memperoleh pendapatan dari royalti ringtone. Pada tahun 2002, ringtone atau nada dering menghasilkan royalti bagi pencipta lagu sebesar Rp 178.450.000. Jumlah ini meningkat menjadi 1.017.826.472 di tahun 2003 dan mencapai Rp 2.268.342.966 pada tahun 2004. Tahun 2005, royalti dari ringtone meningkat sekitar 30 persen. Musisi juga menjual lagu mereka melalui internet. Konsumen makin bebas memperoleh rekaman musik tanpa harus membeli CD atau kaset, cukup mengunduh secara gratis di internet. Grup musik Radio Head Juni 2007 melelang album ‘In Rainbows’’ lewat situs resmi mereka. Pengguna internet bisa mengunduh 10 lagu dengan membayar 0-100 poundsterling, meski kebanyakan yang membayar 0 poundsterling. Di Indonesia, Grup Indie The Upstairs Agustus 2008 menggratiskan mini albumnya ‘’Kunobatkan Jadi Fantasi’’ yang berisi enam lagu lewat situs www.yesnowave.com. Juli 2008, The Upstairs melepas single di situs myspace dan diunduh oleh 250 ribu orang secara gratis. Belakangan memang banyak musisi yang melakukan inovasi distribusi musik mereka dengan membagikan secara gratis album atau lagu mereka (Sumber: Kompas 31 Agustus 2008). Grup rock alternatif Inggris ‘’radio head’’ disebut sebagai pelopor album gratis. Grup Rock Mettalica menggratiskan beberapa lagu dalam album ‘’Death Magnetic’’, Juli2008. Cold Play menggratiskan dua lagu dalam album keempat mereka melalui sebuah majalah di Inggris, Juli 2008. 97 Di indonesia, grup cadas asal Bandung Koil mencetak 50 ribu CD berisi album ketiga mereka ‘’Black Light Shines On’’ dan dibagikan gratis kepada para penggemar. Grup musik Naif membagikan gratis album rekaman mereka ‘’Let’s Go’’ April 2008. Fenomena musik, lagu atau album gratis, baik dengan membagikan kaset atau CD kepada konsumen maupun dengan mengijinkan kounsumen mengunduh melalui internet, merupakan protes atas pembajakan. Di sisi lain, album gratis ini membuat lesu industri rekaman, sementara musisi makin independen. Dengan demikian, dalam fenomena album gratis ini, industri rekaman berkompetisi dengan musisi. Apalagi, pendapatan dari penjualan kaset atau CD bukanlah satu-satunya penghasilan musisi. Musisi bisa memperoleh penghasilan dari konser atau merchandise, yang kadang jumlahnya lebih besar dibanding penjual kaset atau CD. Album gratis sekadar menjadi sarana promosi konser dan merchandise. Sebagai contoh, royalti Merchandise Koil dibanding royalti CD 60:40. Untuk grup Naif, royaltinya setara dengan seperempat kali manggung. Koil ratarata manggung dua kali sepekan dengan tarif Rp 35 juta-45 juta. Regulasi Regulasi industri rekaman terkait dengan hak cipta. Industri hak cipta AS yang antara lain terdiri dari bisnis musik, film, TV, DVD, buku software dan sebagainya, menurut laporan International Intellectual Property Alliance(IIPA) menyumbang $1,38 triliun atau 11,12% DGP AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta orang. Untuk melindungi industri rekaman terutama dari pembajakan, banyak negara memberlakukan Undang-undang Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual. Australia memiliki dua undang-undang, yakni Undang-undang Hak Cipta 1968 dan Undang-undang Undang-undanf Hak Cipta Digital tahun 2000. Indonesia memiliki Undang-undang Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual Nomor 19 tahun 2002. Akan tetapi, penegakan regulasi tentang hak cipta ini belum dilakukan secara ketat di dunia, termasuk Indonesia. Di seluruh dunia, menurut catatan International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), organisasi yang mewakili 1.500 perusahaan rekaman di 70 negara, diperkirakan nilai rekaman bajakan mencapai 4,6 miliar dolar AS pada 2002, meningkat 7 persen dibanding tahun 2001. Menurut organisasi yang sama, pada 2002, 90 persen musik online diperoleh secara ilegal. Peredaran musik bajakan di Indonesia dewasa ini mencapai 90 persen. Itu berarti produk asli yang beredar di pasaran hanya 10 persen. Data terbaru seperti dirilis majalah Rollin Stone Indonesia (Maret 2008), produk bajakan telah menguasai 95,7 persen sementara musik legal kini penjualannya hanya 4,3 persen. Akibatnya, 117 label rekaman lokal bangkrut. Saat in hanya terdapat 70 label rekaman anggota Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri). 98 Di Indonesia regulasi lain dalam industri rekaman terkait dengan kepemilikan. Pada Juni 1994 Kementerian Ekonomi menyetujui paket deregulasi yang membuka peluang investasi asing dalam industri musik. Pada Juni 1996, Hemagita Record menjual sahamnya kepada Warner Music Internasional. Pemilik Hemagita, Sanjaya Wihaya, hanya menguasai 5 persen saham, sedangkan Warner Music Indonesia dan Warner International menguasai 95 persen saham. Masa Depan Industri rekaman di masa depan menghadapi sejumlah tantangan . Tantangan itu adalah i teknologi (ringtone, internet), musisi yang makin independen, serta pembajakan.[] 99 17 Ekonomi Industri Media Online Sejarah Singkat Carveth dan Metz mencatat ada argumentasi bahwa pertumbuhan internet melalui tiga tahap. Pertama, tahap pionir. Tahap ini diawali oleh para pioner— kebanyakan ilmuwan dan insinyur yang peduli dengan keamanan nasional. Internet dalam hal ini dikembangkan oleh US Defence Advance Research Project Agency (DARPA) pada 1973. Mereka mengupayakan agar orang bisa berkomunikasi dengan sistem komputer yang bisa terhubung satu sama lain. Para ilmuwan dan programer awalnya bekerja untuk mengeksplorasi teknologi baru yang memungkinkan orang bekerja bersama meski mereka berada di tempat berbeda. Kedua tahap penetap (settler). Tahap kedua ini diawali dengan munculnya para akademisi dan ilmuwan yang menggunakan mesin untuk saling berbagi dan berkomunikasi. Mulai terbentuk komunitas di antara mereka yang terus menerus menggunakan sistem tersebut untuk saling berbagai dan berkomunikasi. Mereka berkeyakinan bahwa jaringan komputer itu tidak terbatas. Para settler ini melihat internet sebagai sarana publik, yang bisa digunakan oleh semua orang. Ketiga, tahap pemilik modal. Tahap ini mulai pada awal 1980-an, dan muncul kembali pada 1990-an. Para pemilik modal melihat peluang dari dunia informasi mutakhir ini. Pada tahap ketiga inilah, media online menjadi institusi ekonomi atau bisnis. Di Indonesia, Khrisna Sen dan dan David T. Hill mencatat perkembangan internet berawal pada 1986. Dewan Riset Nasional merekomendasi pengembangan sains dan dan layanan teknologi informasi. Pada 1989 Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) merancang jaringan informasi yang disebut IPTEKnet. Sejumlah perguruan tinggi, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Indonesia (UI) menjadi tempat eksperimen internet. Mereka berkolaborasi sejak 1986 dalam mengembangkan jaringan antaruniversitas UniNet). Internet di Indonesia mulai menggeliat menjadi industri pada 1990-an ketika sejumlah orang mendirikan RADNET. RADNET adalah perusahaan internet komersial pertama. Pada akhir 1995, diperkirakan terdapat 15 ribu pengguna internet di Indonesia. Sejak saat itu dapat dikatakan internet telah menjadi tren di setiap organisasi di Indonesia, baik institusi profit, nonprofit, pemerintah, LSM, serta media. Republika bisa disebut sebagai media pertama yang memiliki situs di internet, diikuti Kompas, dan kemudian semua media cetak dan televisi, serta radio. Detik.com menjadi situs berita pertama di Indonesia, diikuti astaga.com, satunet.com, dll. Namun, untuk media situs berita yang masih bertahan adalah detik.com. Sejumlah stasiun televisi, seperti Metro TV, SCTV, kini bisa ditonton secara online serta melalui layar handphone. Radio kini bisa diakses juga melalui internet. 100 Sen dan Hill melihat perkembangan internet Indonesia tak terlepas dari berakhirnya era pemerintahan Soeharto, yang mereka sebut sebagai ‘’Indonesia media in the end of an authoritarian order.’’ Media online adalah satu-satunya media yang tidak bisa dijangkau oleh otoritarian Soeharto. Pasar Pasar atau pendapatan media online secara umum adalah pembaca atau khalayak dan iklan. Media online memperoleh penghasilan dari pembaca melalui sistem berlangganan atau pembelian per content. Oleh karena itu, ada yang menyebutkan media online memperoleh pendatapannya melalui tiga cara: berlangganan (service subscribership), iklan online, dan pembelian/pembayaran per content. Fokus pembahasan ekonomi media online umumnya terhadap internet service provider (ISP) yang menerima nilai ekonomis dari ketiga cara tersebut. Khalayak Menurut data www.internetworldstats.com, dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia pada 2008, sudah hampir 1,5 miliar menggunakan internet. Pembaca atau khalayak media online memang terus tumbuh. Sebaliknya, pembaca media cetak terus menurun. Oleh karena itu, hampir semua media cetak kini memiliki situs untuk mengimbangi perilaku pembaca. Edelman Asia Pasifik meneliti 1.050 pelaku usaha di Jepang, Korea, China, Hong Kong, Taiwan, India, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Australia. Penelitian itu menemukan surat kabar menduduki posisi pertama selama dua tahun ini sebagai media yang bisa dipercaya dalam memberikan informasi. Posisi surat kabar meningkat dari 40 persen pada 2006 menjadi 43 persen pada 2007. Pada televisi justru terjadi penurunan dari 31 persen pada 2006 menjadi 25 persen pada 2007. Sedangkan untuk memperoleh berita ekonomi bisnis di kalangan pelaku usaha, media online atau internet melampaui televisi. (Kompas online) . Di Amerika Serikat perempuan merupakan pengguna internet terbesar. Tabel XXXI Persentase pengguna internet di Amerika Pengguna Rumah Tangga Perempuan 35-54 tahun Laki-laki 35-54 tahun Perempuan 25-34 tahun Laki-laki 25-34 tahun Anak-anak 2-17 tahun Remaja 18-24 tahun Senior 55 tahun ke atas Persentase 74,0 81,7 80,2 77,0 75,6 75,6 75,0 63,4 (Sumber: Kim, 2004, seperti dikutip Baran, 2008) 101 Pengguna internet di Asia Tenggara memperlihatkan peningkatan. Pada tahun 2000, pengguna internet di sejumlah negara Asia Tenggara kurang dari 5 juta orang. Indonesia merupakan negara dengan pengguna internet terbesar di Asia Tenggara. Tabel XXXII Pengguna Internet di Asia Tenggara Negara Jumlah Pengguna (dalam juta orang) Indonesia 25 Malaysia 10 Thailand 1,8 Filipina 2,8 Vietnam 5,8 Singapura 2,4 Sumber: Asosiasi Pengguna Jasa Internet di Indonesia seperti dikutip Kompas 25 Maret 2009 Pengguna internet di Indonesia sendiri terus meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula, jumlah pelanggan internet di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Tabel XXXIII Pengguna dan pelanggan internet di Indonesia Tahun Jumlah pengguna Jumlah Pelanggan 1998 500.000 134.000 1999 1.000.000 256.000 2000 1.900.000 400.000 2001 4.200.000 581.000 2002 4.500.000 667.000 2003 8.100.000 865.700 2004 11.200.000 1.087.400 2005 16.000.000 1.500.000 2006 21.000.000 2.000.000 Sumber: Diolah dari Media Planning Guide Indonesia 2008 Menurut situs www.internetworldstats.com dari jumlah total 230 juta lebih penduduk Indonesia pada 2008, pengguna internet 25 juta orang lebih. Padahal pada tahun 2000 yang lalu, pemakai internet di Indonesia baru mencapai 2 jutaan orang. Itu artinya ada peningkatan sekitar 900% dalam waktu hanya 8 tahun. Asia Pacifik Telecom Research memperkirakan pengguna internet Indonesia pada 2009 sebesar 48,7 juta dan pada 2010 sebanyak 58,60 juta. 102 Iklan Iklan media online terus meningkat, meski menurut catatan International Advertising Association baru mencapai 2-3 persen. Tahun 2011, seperti diperkirakan Chief Executive The Internet Advertising Bureau (IAB), belanja iklan internet akan melampauai belanja iklan televisi ( Cakram 08/2007). Di Amerika, pengiklan menghabiskan 19,5 miliar dolar AS pada 2007 untuk menjangkau para pengguna internet. Tabel XXXIV Pendapatan iklan media online di AS Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Iklan (miliar dolar AS) 8.1 7.1 6.0 7.3 9.1 11.2 13.5 19,5 20,1 22,3 (perkiraan) Sumber: Big Battle, 2005 seperti dikutip Baran, 2008 Iklan juga kini menjadikan blog sebagai media. Di Indonesia, seorang blogger bisa mendapat penghasilan Rp 1,5 juta per bulan dari iklan. Namun, pemasukan iklan bagi blog baru sekitar 1 persen dari Rp 60 miliar dalam setahun. Kebanyakan iklan masuk ke media online seperti detik.com, kompas. co.id, dan tempointeraktif.com. Menurut data Virtual Consulting, pada tahun 2007, perusahaanperusahaan di Indonesia membelanjakan Rp 80 miliar untuk iklan di media online, seperti Detik-com, Kompas-com, Bisnis-com, dan media online lain (Majalah Warta Ekonomi). Kepemilikan Pelaku bisnis online atau internet antara lain adalah Microsoft, Google, Yahoo!, American On Line (AOL). Microsoft melakukan investasi global dengan menyuntikkan dana sebesar 13 juta dolar Amerika Serikat ke sebuah perusahaan teknologi informasi di Cina. Dana itu digunakan untuk mengembangkan software. Sebelumnya, pada Agustus 103 2005, Microsoft juga pernah menyuntikkan dana di Cina. Microsoft mengadakan perjanjian dengan Langchao Grup senilai US$ 25 juta untuk memproduksi software yang akan digunakan konsumen Cina. Melalui perjanjian tersebut, Microsoft mengembangkan software Enterprise Resources Planning (ERP), egovernment serta layanan pendukung lainnya. Kapitalisme global seperti microsoft jelas memiliki agenda atau visi besar dalam menginvestasikan modalnya di negara-negara komunitas yang telah menerapkan sistem ekonomi liberal. Google merupakan satu perusahaan media komunikasi online yang fenomenal di abad ini. Google menjelma menjadi perusahaan media raksasa dunia dengan nilai pasar saham yang tak terdandingi. Setelah listing di bursa efek New York, nilai sahamnya terus melambung dan hingga 2006 memiliki kekayaan US$80 miliar. Sebagai pembanding, perusahaan media lain seperti Time Warner, hanya pernah mencapai nilai kekayaan US$78 miliar dalam jangka waktu yang sangat panjang. Sedangkan Google hanya butuh waktu 10 bulan sejak tercatat di bursa saham untuk mencapai aset yang demikian besar itu. Sedangkan kapitalis media lainnya yang telah puluhan tahun menemukini bisnis media, film misalnya, seperti Viacom dan walt Disney, hanya memperoleh nilai kapital antara US$54 miliar hingga U$55 miliar. Struktur persaingan pasar mesin pencari saat ini, Google memimpin industri mesin pencari di AS dengan pasar 48,8 persen, menyusul Yahoo 21,4 persen dan MSN 10,9 persen. Pada 2008, pendapatan Google, menurut New York Times, mencapai 19,6 miliar dolar AS. Portal internet asal AS Yahoo! Menyebutkan keuntungan portalnya pada kuartal keempat 2005 naik 34 persen dari tahun sebelumnya menjadi US$ 928 juta. Pendapatan operasional Yahoo! Pada 2005 naik 61 persen dari tahun sebelumnya menjadi US$1,108 miliar. Begitu pula dengan keuntungannya. Pada 2005 keuntungan kotor Yahoo! Meningkat 42 persen menjadi US$ 3,325 miliar. Ditilik secara total, pendapatan Yahoo! Pada 2005 mencapai US$ 5,258 miliar, naik 47 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan pendapatan bersih pada 2005 mencapai dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi US$ 1,896 miliar. Yahoo! Meraih pendapatan bersih US$ 247 juta pada kuartal akhir 2005. Ditilik secara internasional, pendapatan Yahoo! meningkat 73 persen menjadi US$ 1,59 miliar. Perusahaan internet America Online (AOL) merupakan salah satu perusahaan yang awalnya bersinar namun kemudian meredup. Amazon.com dikenal sebagai situs e-commerce selain e-Bay sebagai situs lelang terkenal. AOL bernaung di bawah Time Warner dan kemudian bermitra dengan Microsoft di bawah MSN Online Business dengan menawarkan concert, news, sports dan email—hingga the World Wide Web gratis. Menurut situs ini, pengunjungnya mencapai 107 juta pada September 2005 dengan menawarkan merek-merek top pada situsnya. Sedangkan situs Yahoo! Hanya meraih 99,3 pengunjung. Kondisi keuangan yang merosot memaksa AOL menjual sahamnya kepada Google senilai US$ 1 miliar dan Google berkepentingan meraup iklan melalui AOL. Di Indonesia, sejumlah konglomerasi media menguasai media online. Grup Kompas-Gramedia memiliki kompas.co.id. Kelompok Media Nusantara Citra (MNC) memiliki okezone.com. Kelompok Bakrie memiliki KanalOne Indonesia (www.vivanews.com). Kelompok Tempo memiliki tempointeraktif 104 Detik.com sebagai situs berita pertama di Indonesia telah tumbuh menjadi perusahaan media online yang sehat. Kompetisi Derajat persaingan bervariasi antara perusahaan-perusahaan di dalam industri. Para ekonom mengukur derajat persaingan melalui indikator konsentrasi (jumlah pemain) dalam industri, yang disebut sebagai concentration ratio (CR). CR yang tinggi menunjukkan bahwa inudtsri tersebut dikuasai oleh bebarapa pemain saja. Sebaliknya, CR yang rendah menunjukkan pemain dalam industri tersebut banyak sehingga lebih kompetitif. Intensitas persaingan dapat dilihat dalam beberapa perilaku pemain di dalamnya: Perubahan harga: ketika MSN memperkenalkan strategi harga flat pada 1996 berdasarkan jumlah hitungan jam, menyebabkan terjadinya perubahan harga dan menjadi patokan bagi semua pemain. Diferensiasi produk: Setiap Internet Service Provider kemudian memperkaya fiturnya dan melakukan inovasi. Penggunaan jaringan kanal yang lebih kreatif: AOL menjadi pioner dalam mengembangkan kanal distribusinya melalui jalur perdagangan video dan konten audio. Langkah AOL ini memicu persaingan dengan TV dan TV berlangganan. Di Indonesia, media online juga mulai bersaing menyajikan berbagai layanan dan content. Detik.com, misalnya, kini memiliki detik.tv. Kompas.com juga memiliki layanan kompas.tv. Kedua media online juga menyediakan layanan berlangganan informasi melalui handphone. Media online di Indonesia juga bersaing memperebutkan pembaca. Dibanding dengan media lain seperti media cetak atau televisi yang bisa dimanipulasi, jumlah khalayak media online relatif lebih akurat. Kompas.com, misalnya, berdasarkan data Februari 2009, setiap bulan situs kompas.com dikunjungi 66 juta kali, sementara page per view mencapai hampir 200 juta kali. (Kompas, 25 Maret 2009) Media online di Indonesia juga berkompetisi memperebutkan iklan. Pendirian banyak perusahaan media online di Indonesia tidak terlepas dari alokasi belanja iklan untuk media online yang makin prospektif. Fenomena Blog Bisnis media online kini telah memasuki wilayah pribadi melalui blog. Blog adalah situs pribadi yang berisi berbagai informasi, tulisan, foto, yang diupload oleh pemilik situs. Pemilik situs pribadi atau blog ini disebut blogger. Hingga tahun 2007 terdapat sekitar 62,66 juta blog di dunia, 24,5 juta di antaranya ada di Asia, 15 juta di Korea Selatan, 3,35 juta di Jepang, 4 juta di Cina, dan baru 130 ribu di Indonesia. Blog kini menjadi sarana iklan bagi banyak pemasang iklan. (blogherald, internetworldstats seperti dikutip Tempo 18 Nov. 2007) 105 Di Indonesia, hingga tahun 2007, terdapat lebih dari 130 ribu blog. Blog di Indonesia juga menjadi sasaran bagi pemasang iklan lokal. Seorang blogger bisa mendapat Rp 1,5 juta per bulan dari pemasangan iklan. Namun, pemasukan iklan bagi blog baru sekitar 1 persen dari Rp 60 miliar dalam setahun. (Tempo, 18 Nov. 2007) Teknologi Perkembangan teknologi media online antara lain ditandai oleh makin nyamannya perangkat teknologi online, pertumbuhan telepon internet, pertumbuhan radio internet, perpindahan dari pembaca media cetak ke pembaca media online, video online, teknologi iPod, pencarian content TV di internet. Microsoft dan kantor Associated Press (AP) beraliansi untuk meningkatkan penerimaan mereka melalui advertising-supported online video news network sejak April 2006. Microsoft menyuplai teknologi, video player dan dukungan perlengkapannya, sementara divisi penyiaran AP menyiapkan video dengan 50 fitur berbeda setiap hari. Online video membuat pengguna internet di seluruh dunia makin mudah menonton film kesukaan mereka. Kalangan muda di AS kini menonton TV bukan lagi di layar TV konvensional, tetapi di layar komputer melalui internet. Google mempunyai layanan pencarian acara-acara TV dari para penyuplai acara TV. Di tingkat Asia, ada jump.tv yang merupakan provider untuk mengakses acara-acara TV dari sejumlah stasiun televisi di Asia Tenggara. Radio internet dipelopori oleh Carl Malaud, profesor dari Massachusetts Institute of Technology pada 1993, yang dikenal dengan Internet Talk Radio. Setelah itu muncul radio tradisional pertama yang menayangkan iklannya melalui internet pada 1994. Radio online murni pertama kali muncul pada 31 Desember 1995, yakni HardRadio yang memutar musik hardrock dan heavy metal. Radio ini menggunakan teknologi Xing Streamworks lalu Realaudio, Microsoft netshow, dan QuickTime. Raksasa perusahaan komputer Asus memperkenalkan Asus Internet Radio. Pada April 2008, muncul The Grace Wireless InternetRadio dan Revo Blik Wi-Fi Internet Radio. Jumlah pendengar radio internet atau radio online di dunia hingga April 2008 mencapai 26 juta orang. Sejumlah perusahaan membuat pesawat radio khusus internet. (Tempo, 27 April 2008) Google Inc. memperluas cakupan program iklannya. Tidak hanya sebatas internet, kini Google merambah radio. Google membeli perusahaan dMarc Broadcasting Inc., sebuah perusahaan penyedia teknologi untuk memudahkan penjadwalan, pemantauan dan penempatan iklan di radio. Hingga kini terdapat sekitar 120 perusahaan yang mengaplikasikan ‘’Voice over internet protocol (VoIP)’’. Kini makin banyak teknologi online yang diciptakan manusia. Salah satunya adalah iPod. Teknologi ini makin memudahkan orang mengakses informasi dan hiburan. 106 Regulasi Media online atau internet sering disebut sebagai media bebas sensor. Informasi apa pun bisa tampil di media online. Pornografi, berita bohong, atau gosip bisa menyusup ke internet atau media online dengan leluasa. Oleh karena itu, banyak negara yang memberlakukan regulasi bagi media online atau internt. Untuk mencegah pornografi anak di internet, Amerika memiliki The Child Pornography Prevention Act 1996. Untuk menjaga privasi atau wilayah pribadi, Amerika menerapkan Electronic Communication Privacy Act 1986. Amerika juga memiliki Digital Millennium Copyright Act 1998 untuk melindungi hak cipta. Indonesia memiliki sejumlah regulasi terkait media online. Undangundang tersebut antara lain Undang-undang Pornografi, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Undang-undang Hak Cipta. Terkait hak cipta, Google pernah digugat dan harus berurusan dengan pengadilan. Pada 2002, Google memulai proyek Google Search Book. Google memindai buku secara rahasia. Hingga awal 2008, Google telah memindai tujuh juta buku. Penerbit dan pengarang menggugat Google sehingga google harus berurusan dengan pengadilan. Namun, pada 28 Oktober 2008, Google, pengarang, dan penerbit sepakat menyelesaikan kasus ini diluar pengadilan. Google bersedia membayar 125 juta dolar AS untuk hak cipta buku-buku yang telah dipindai, biaya pengadilan, dan mendirikan entitas bernama Book Rights Registrasi. Masa Depan Media online atau internet bisa disebut sebagai media yang paling cerah masa depannya. Semua jenis media melakukan konvergensi dengan media online atau internet untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Regulasi sangat diperlukan untuk menjamin masa depan internet atau media online dari informasi bohong, gosip, pelanggaran hak cipta, pornografi, dan pelanggaran hak-hak pribadi.[] 107 18 Ekonomi Industri Periklanan Sejarah Singkat Iklan dalam berbagai bentuknya sudah ada sejak berabad-abad silam. Para pedagang di Babiloniapada 3.000 tahun sebelum masehi mengiklankan barang dagangan mereka dengan membayar orang untuk meneriakkannya. Orang Romawi mengiklankan pertunjukan gladiator melawan binatang buas dengan menempelkan semacam pamplet di dinding kota. Pada tahun 1625, terbit buku berita (newsbook), The Weekly News, yang berisi iklan. Iklan mulai dikenal di Amerika melalui Inggris. Ben Franklin menjual ruang untuk iklan di koran Pennsylvania Gazett. Iklan sebagai industri mulai terbentuk secara formal pada akhir abad ke19, ketika banyak agensi iklan berdiri. Sejak itu, iklan memainkan peran yang amat penting dalam industri media. Banyak industri media yang tergantung pada iklan. Di Indonesia sejarah periklanan bisa dibagi menjadi sejumlah tahap: awal periklanan Indonesia (1744-1930-an), melewati masa depresi ekonomi (19301942), iklan propadanda (1942-1945), masa kemerdekaan (1945-1949), uang dan iklan memburu barang (1950-1972), periklanan Indonesia modern (1966-1972), dan masa ketika Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia terbentuk (setelah 1972). Pasar Iklan merupakan industri pendukung dalam ekonomi media. Industri periklanan bekerja dalam pasar dengan struktur kompetisi monopolistik. Ada banyak perusahaan atau agensi iklan tetapi mereka berbeda dalam hal reputasi, tingkat pelayanan, lokasi, kapabilitas, dan ukuran. Ada perbedaan tarif atau harga, meski struktur tarif atau harga itu relatif sama dengan industri lain ketika dibandingkan antara industri sejenis. Tak seperti bisnis lain, struktur harga yang berlaku dalam industri periklanan didasarkan pada sistem komisi. Klien biasanya membayar komisi 15% untuk setiap media yang dipasangi iklan produk mereka. Jadi, makin besar klien dan makin ambisius rencana dan penempatan iklan, makin besar uang yang harus dibayar. Iklan punya dua terget mendasar. Pertama, adalah khalayak konsumen (consumer audience) yang menjadi sasaran iklan melalui berbagai tipe media. Kedua, perusahaan barang dan jasa yang menggunakan iklan untuk menjalin komunikasi dengan konsumen yang mengunsumsi barang dan jasa mereka serta konsumen yang potensial akan mengonsumsi barang dan jasa mereka. Pengiklan Di Amerika, pada 2006, pengiklan menghabiskan lebih dari 292 miliar dolar AS untuk menjangkau publik Amerika dan 604 miliar dolar AS untuk publik dunia. Jumlah tersebut tidak termasuk miliaran dolar untuk perencanaan, produksi, dan distribusi iklan tersebut. 108 Tabel XXXV Belanja iklan 10 agensi iklan di Amerika tahun 2005 Agensi Belanja Iklan (juta dolar AS) 469,4 435,6 352,2 281,0 278,0 267,2 250,5 200,8 195,7 193,9 J. Walter Thomson (WWP), New York McCann Erickson (interpublic), New York Leo Burnett (Publicis), Chicago BBDO Worldwide (Omnicom), New York Ogilvy & Mather (WPP), New York DDB Worldwide (Omnicom), New York Grey Worldwide (WWP), New York Foote, Cone & Belding (Interpublic), New York Publicis (Publicis), New York Saatchi & Saatchi (Publicis), New York Sumber: Ad Age Special Report (2006) seperti dikutip Baran (2008) Tabel XXXVI Belanja Iklan 10 perusahaan global tahun 2006 Perusahaan Proter and Gamble Unilever General Motors Toyota L’oreal Ford Motors Time Warner DaimlerChrysler Nestle Johnson & Johnson Belanja Iklan (miliar dolar AS) 8,190 4,272 4,173 2,800 2,773 2,645 2,479 2,104 2,033 1,968 Sumber: Advertising Age, Januari 1, 2007 seperti dikutip Baran (2008) Di Indonesia, belanja iklan pada januari sampai September 2008 mencapai hampir Rp 31,5 miliar, atau naik 22 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 25,8 miliar. 109 Iklan dipasang di berbagai media di Indonesia terdiri dari berbagai kategori produk, mulai lotion pembersih wajah hingga pemerintah dan partai politik. Perlengkapan komunikasi atau layanan komunikasi menempati uritan pertama dalam belanja iklan, disusul rokok. Tabel XXXVII Belanja Iklan Berbagai Kategori Produk untuk Seluruh Jenis Media (dalam miliar rupiah) : Kategori Jan-Sept 2007 1,972,154 Jan-Sept 2008 Kenaikan Perlengkapan dan 3,446,124 75% layanan komunikasi Pemerintah, parpol 799,312 1,389,036 74% Sepeda motor, skuter, 1,117,896 1,306,705 17% sepeda Rokok 1,134,911 1,046,126 34% Perawatan rambut 1,095,052 1,024,129 -8% Hotline service, party 442,275 908,756 -6% line, horoskop Bank, keuangan, 785,486 838,763 105% peminjaman Media, Agensi Iklan, 727,932 811,714 12% PH Lotion pembersih 816,882 811,510 -1% Wajah Sumber: Nielsen Media Research seperti dikutip Majalah Marketing 12/VIII/Des 2008 Dari sisi merek produk, iklan sampo Clear Antiketombe menempati urutan pertama dalam belanja iklan pada tahun 2006, disusun rokok Djarum Super dan minuman isotonik Extra Joss. Tabel XXXVIII Belanja iklan Berdasarkan Merek Produk Januari-September 2006 (dalam juta rupiah) Produk 1. 2. 3. 4. Clear anti ketombe (sampo) Djarum Super (rokok) Extra Joss (isotonik) Sedaap (mi instan) Belanja Iklan (juta rupiah) 212.339 178.128 165.341 161.380 110 5. Nokia (ponsel) 6. Gudang Garam Intl (rokok) 7. Pond’s (perawatan wajah) 8. Honda Supra (motor) 9. Rinso (deterjen) 10. Indomie (mi instan) 11. Telkomsel (SIM card) 12. Pond’s (pemutih) 13. Suzuki Smash (motor) 14. Vaseline 15. Surf (deterjen) 16. Telkomsel Simpati (SIM card) 17. Telkom 18. Sony Erricson (ponsel) 19. Sampoerna A Mild (rokok kretek filter) 20. Sampoerna A Mild (seluruh rokok kretek-filter) 155.152 141.647 133.401 132.061 125.499 117.972 110.946 81.790 72.398 76.254 75.322 75.214 74.451 72.705 71.228 65.716 (Sumber: majalah Cakram) Khalayak Apakah khalayak mengonsumsi iklan. Di televisi, misalnya, ketika break iklan, rating merosot. Apalagi, khalayak acap memandang iklan sebagai pemicu perilaku konsumtif. Khalayak lain menganggap iklan tidak menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang suatu produk. Suatu penelitian menyebutkan 54 persen orang Amerika tidak mempedulikan iklan; 56 persen mengatakan mereka menghindari membeli produk yang mengiklankan diri secara masif; 69 persen mengatakan mereka tertarik pada produk yang tidak mengiklankan diri (Yankelovich Marketing Receptivity Studi 2006 seperti dikutip Baran, 2008). Di Indonesia, suatu penelitian menyebutkan efektivitas iklan di media hanya 20 persen. Martin Lindstrom, konsultan merek kelas dunia, dalam buku Brand Sense (2005), memaparkan, di Amerika selama lima tahun pertama abad ini biaya iklan naik 8 persen tiap tahun, rata-rata tiap konsumen terpapar iklan lebih banyak 9 persen tiap tahun di televisi, tetapi yang bisa mereka ingat sangat sedikit. Menurut Lindstrom, bila pada 1965 rata-rata konsumen bisa mengingat 34 persen iklan yang ditayangkan televisi, pada tahun 1990, rata-rata konsumen hanya bisa mengingat 8 persen. (Kompas, 15 Februari 2009) Namun, pengiklan berpendapat iklan penting sebagai informasi bagi khalayak Khalayak menggunakan iklan untuk mengumpulkan informasi sebelum memutuskan membeli produk, barang, atau jasa. Oleh karena itu, biro iklan dituntut membuat iklan semenarik mungkin untuk memancing khalayak menonton, membaca, atau melihat iklan sehingga pada gilirannya khalayak membeli produk yang diiklankan. Khalayak mengonsumsi iklan melalui media. Hubungan khalayak, media dan iklan bisa dilihat secara teoretis-kuantitatif dan praktis-kualitatif. 111 Secara teoretis-kuantitatif, hubungan khalayak, media, dan iklan bisa dirumuskan sebagai berikut: Makin besar khalayak suatu media, makin banyak iklan dipasang di media itu. Makin murah harga berlangganan media, makin banyak khalayak, dan makin banyak iklan. Jika suatu media bisa dikonsumsi secara gratis, TV siaran misalnya, maka makin besar khalayak, dan makin besar pula iklan. Untuk media cetak, penurunan harga langganan, membuat tarif iklan makin mahal. Sebagai contoh The Times: penurunan harga berlangganan dari 45p menjadi 30p menyebabkan kenaikan 10% tarif iklan untuk media tersebut. Secara praktis-kualitatif, hubungan khalayak, media, dan iklan bisa dirumuskan sebagai berikut: Pemasang iklan mulai memperhitungkan image media. Pemasang iklan mulai mempertimbangkan kualitas khalayak: tingkat pendidikan, pendapatan, status sosial-ekonomi. Iklan dan Media Tidak semua industri media tergantung pada iklan. Film, musik, dan buku merupakan industri media yang tak tergantung pada iklan. Koran bisa hidup tanpa iklan selama dua hingga tiga abad, demikian pula majalah. Majalah Reader’s Digest sejak pertama terbit tahun 1922 hingga 1955 hidup tanpa iklan, dan hanya mengandalkan pelanggan. TV publik, seperti BBC, tidak menayangkan iklan. Di sisi lain, pengiklan seringkali mempengaruhi isi media. Pengiklan tak jarang mengancam akan menarik iklan dari satu media jika media tersebut memberitakan hal-hal buruk tentang pengiklan. Survey yang dilakukan oleh Soley dan Craig (1992) terhadap para editor suratkabar AS menemukan bahwa 90% mengalami tekanan dari pengiklan untuk mengubah laporan atau editorial mereka. Tetapi kenyataannya, banyak media yang tidak bisa hidup tanpa iklan. Televisi siaran di Indonesia, misalnya, sepenuhnya dibiayai iklan. Di Indonesia, 60 persen penghasilan suratkabar diperoleh dari iklan. Pengiklan menganggap media punya pengaruh yang berneda-beda terhadap efektivitas iklan. Suatu survei di Amerika menunjukkan 82 persen pengiklan menganggap televisi sebagai media paling berpengaruh, 67 persen menyebut surat kabar sebagai media paling persuasif, 49 persen menilai majalah sebagai media paling otoritatif, dan 80 persen menilai internet sebagai media paling menyenangkan (Baran, 2008). 112 Tabel XXXIX Alokasi belanja iklan di Amerika berdasarkan Media(persen) Media Koran Televisi Direct mail Radio Bussiness paper Out door Yellow pages Lain-lain 1980 30 23 15 7 3 1 15 1990 25 22 18 7 2 1 7 13 2000 20 18 18 8 2 5 - Di kawasan Asia Pasifik, pengiklan lebih mempercayai televisi dalam menempatkan iklan mereka. Demikian pula yang terjadi dalam tataran global. Namun, dalam konteks global, dibanding tahun 2001, alokasi belanja iklan pada 2005 untuk televisi cenderung menurun. Peningkatan siginifikan justru terjadi pada internet. Tabel XL Alokasi belanja iklan dunia berdasarkan Media 59th World Paper Congress di Moskwa pertengahan tahun 2006 (dalam persen) Media 2001 2005 Televisi Koran Radio Outdorr Internet Cinema 36,2 32,1 8,7 5,5 2,6 0,3 32,1 30,3 8,6 5,5 4,5 0,4 Tabel LI Perolehan/Alokasi Iklan berdasarkan Media di Asia Pasifik 2006 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Media Televisi Suratkabar Majalah: Media luar ruang Radio: Internet Bioskop Persentase 55% 24% 5% 5% 4% 3% 2% (sumber: AFAA Nov 2006 seperti dikutip Cakram 12/2006) 113 Di Indonesia, televisi juga menjadi media favorit beriklan. Bahkan alokasi belanja iklan untuk televisi meningkat dari tahun ke tahun. Tabel LII Total Belanja Iklan all media di Indonesia (dalam miliar rupiah) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Koran 1,075 1,202 1,540 958 1,415 1,882 2,693 3,502 4,378 5,711 5,524 8,165 9,760 11,712 13,938 Majalah 211 270 311 191 194 308 422 521 667 1,097 1,212 1,247 1,561 1,874 2,230 TV 1,638 2,203 2,678 2,213 3,449 4,933 6,007 8,383 10,311 15,298 17,792 20,648 24,683 29,619 35,247 Radio 170 189 206 136 187 267 329 413 516 595 781 850 950 1,140 1,387 Sinema 11 10 9 4 6 8 9 9 11 13 14 15 16 19 22 Outdoor 230 266 350 261 269 269 202 232 279 719 884 1,150 1,437 1,727 2,052 Internet 0 0 0 1 1 1 1 2 3 3 4 5 6 8 9 Total 3,335 4,140 5,094 3,762 5,521 7,768 9,613 13,062 16,165 23,434 27,311 32,077 38,413 46,096 54,854 Sumber: Zenith Optimedia seperti dikutip Media Planning Guide 2008 Catatan: data tahun 2007, 2008, dan 2009 merupakan perkiraan Tabel LIII Belanja Iklan pada Berbagai Media di Indonesia Jan-Sept 2007 (miliar rupiah) Jan-Sept 2008 (miliar rupiah) Kenaikan TV 16,964 19,658 16% Koran 7,860 10,547 34% 1,242 26% Majalah, tabloid 986 Sumber: Nielsen Media Research seperti dikutip Majalah Marketing 12/VIII/Des 2008 114 Agensi Iklan Dunia periklanan melahirkan agensi atau biro iklan. Pengiklan memasang iklan di media melalui agensi atau biro iklan profesional. Di Amerika terdapat sekitar 6.000 agensi iklan yang mempekerjakan sekitar 500 ribu orang. Sejumlah agensi memperoleh keuntungan 1 juta dolar AS setiap tahun. Banyak agensi yang memproduksi iklan serta membeli ruang atau slot iklan di berbagai media. Agensi memperoleh ongkos produksi iklan dari pengiklan. Agensi biasanya memperoleh konpensasi berupa komisi, biasanya sebesar 15 persen, dari media tempat agensi membeli ruang atau slot iklan. Di Indonesia terdapat sejumlah pemain utama atau agensi iklan dalam industri periklanan. Tiga pemain utama dalam industri periklanan adalah Matari Advertising, Lowe Indonesia, dan Dwi Sapta Advertising. Matari Advertising didirikan oleh (almarhum) Ken t. Sudarto dan Paul Karmadi. Perusahaan periklanan ini diakui sebagai pemain lokal terbesar dan merupakan biro iklan papan atas dalam industri periklanan di Indonesia. Klien yang pernah bekerjasama dengan Matari Advertising antara lain Bogasasi, Honda, Konimex, teh Botol Sosro, Garuda dan Telkom. Lowe Indonesia merupakan perusahaan periklanan multinasional dengan 90 kantor perwakilan yang tersebar di seluruh dunia. Lowe menjadi salah satu dari 10 perusahaan periklanan terbesar di dunia. Kliennya antara lain Unilever, Mead Johnson, Hyundai, Johnson & Johnson, Sampoerna, ProXL, dan Bank Niaga. Dwi Sapta Adveritsing yang berdiri pada 1981 merupakan perusahaan periklanan yang berciri integrated advertising. Dwi Sapta menempati urutan ke13 top agency Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) serta termasuk 10 top agency di stasiun televisi. Kliennya antara lain Adem Sari, Soffek, Djarum 76, Tolak Angin, dan Vegeta. Teknologi Industri periklanan di masa mendatang harus mampu mengemas materi iklan sesuai dengan perkembangan teknologi. Di negara-negara Asia lain seperti di Malaysia, Singapura, dan Hong Kong berkembang media iklan dengan memanfaatkan dinding gedung-gedung tinggi. Sebuah lampu sorot yang mengambarkan produk tertentu mengarah ke gedung-gedung tinggi yang flat dindingnya. Di Indonesia, pada 2008, PT Lomaro Media Digital memperkenalkan media iklan yang disebut streetboard TV. Media ini berupa layar dua layar liquid crystal display (LCD) berukuran 65 inchi dan satu layar light emitting diode (LED) berukuran 3 x 2,4 meter yang dipasang di sebuah mobil. Mobil ini akan berkeliling ke lokasi-lokasi strategis. Keuntungannya, selain bisa secara langsung mendatangi target market secara langsung, juga bisa menarik perhatian di tengah kemacetan. Dewasa ini berkembang pula apa yang disebut cyberadvertising— konvergensi iklan media cetak dan media penyiaran dengan internet. Pada 2005, perusahaaan-perusahaan di Amerika menghabiskan 12,9 miliar dolar untuk 115 beriklan di media online. Diperkirakan pada tahun 2009, belanja iklan media online mencapai 22,3 juta dolar AS. Regulasi Regulasi dalam industri periklanan antara lain diberlakukan untuk menghindari dampak negatif iklan. Di Indonesia, misalnya, ada regulasi yang membolehkan penayangan iklan rokok di televisi mulai pukul 21.30 untuk menghindari pengaruh iklan rokok tersebut pada anak-anak. Regulasi seperti ini diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sensor juga berlaku pada iklan yang akan ditayangkan di televisi Di Amerika regulator yang mengatur periklanan adalah federal Trade Commission (FTC). FTC memutuskan apakah suatu iklan menipu, berbohong, atau curang. Pada gerakan deregulasi tahun 1980, FTC mengubah peran dari lembaga yang memutuskan apakah suatu iklan menipu atau tidak menjadi lembaga yang mengatur dan menindak keluhan terhadap iklan yang menipu. Masa Depan Di masa mendatang masyarakat makin kritis terhadap iklan. Industri periklanan dituntut makin kreatif dalam mengemas iklan. Industri periklanan harus menjalin hubungan dengan konsumen secara intensif. Industri periklanan juga tak boleh lagi hanya mempertimbangkan sisi kuantitatif (jumlah penonton atau pembaca) dalam memasang iklan di media, melainkan juga sisi kualitatif (citra media, karakteristik khalayak). Regulasi di masa depan kadang menganggu kreativitas orang iklan. Di Indonesia, misalnya, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 yang mengharuskan penggunaan sumber daya dalam negeri untuk produk iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran. Industri periklanan juga harus mengantisipasi perkembangan teknologi. Internet atau media online serta konvergensinya menjadi saranan yang ampuh ntuk beriklan. Belanja iklan dunia memang cenderung meningkat. Namun, krisis keuangan bisa menghambat peningkatan belanja iklan. Tetapi, di masa krisis, perusahaan semestinya tidak berhenti beriklan, melainkan hanya selektif beriklan. Media online bisa menjadi sarana yang murah namun efektif untuk beriklan di masa krisis.[] 116 19 Ekonomi Industri Public Relations Sejarah Singkat Para arkeolog di Irak telah mengungkap artefak dari tahun 1800 sebelum masehi, yang pada masa sekarang dikenal sebagai buletin informasi. Artefak itu menyediakan informasi bagi petani tentang vara bercocok tanam, dari penanaman benih, irigasi, hingga panen. Julius Caesar mempropaganda rakyat Romawi dengan laporan rutin yang berisi keberhasilannya untuk mempertahankan moralitas dan soliditas reputasi dan posisinya dalam kekuasaan. Gengis Khan senatiasa mengirim ’’tim pendahulu’’ untuk menyampaikan kisah-kisah heroismenya untuk menakut-nakuti musuhnya atau membuat musuhnya menyerah. Kampanye PR dilakukan di tanah jajahan Amerika dan sangat membantu menciptakan koloni-koloni baru. Pedagang, petani, dan lain-lain dipengaruhi untuk bermigrasi ke tanah jajahan (Dunia baru) lewat informasi berlebihan, informasi yang setengahnya benar, bahkan informasi bohong. A Brief and True Report of The New Found Land of Virginia, oleh John White, dipublikasikan pada 1588, guna menarik )rang Eropa bermigrasi ke Amerika. The Boston Tea Party yang diselenggarakan pada 1773 merupakan media event yang diorganisasi secara terencana untuk menarik perhatian publik terhadap persoalan-persoalan penting. Benjamin Franklin mengorganisasi kampanye canggih untuk menggagalkan Stamp Act, usaha Ratu untuk membatasi kebebasan pers di tanah kolonial Amerika. Benjamin Franklin mengorganisasi kampanye itu melalui serangkaian publikasi dan orasi. John Jay, James Madison, dan Alexander Hamilton menerbitkan the Federalist Paper yang awalnya merupakan 85 edisi surat yang diterbitkan antara 1787 dan 1789. the Federalist Paper dirancang untuk mempengaruhi opini publik dalam Negara Smerika yang baru saja merdeka dan ditujukan sebagai dukungan dan jalan menuju konstitusi baru. Pada 1883, Andrew Jackson merekut Amos Kendall sebagai sekretaris pers presiden. Pada 1889, Westinghouse mendirikan departemen PR pertama dalam suatu korporasi. Pada 1986, William Jennings Bryan and William McKinley meluncurkan kampanye politik nasional pertama. Pada 1906 perusahaan publisitas pertama, The Publicity Bureau, berdiri. Pada 1946 Federal regulation of Lobying Act diberlakukan. Pada 1946, Public Relations Society of America (PRSA) berdiri. Pada 1956, PRSA memberlakukan Kode Etik PRSA. Di Inggris, pada 1809, Departemen Keuangan Kerajaan Inggris menunjuk seorang juru bicara resmi. Pemerintah Inggris mulai menerapkan praktik kehumasan yang terarah pada 1912 ketika Llyod George, Chancellor of Exchequer atau Bendahara Negara, mengorganisasi tim yang bertugas menjelaskan rancangan pensiun bagi kaum lanjut usia. Antara 1926-1933, Sir Stephen Tallents, atas nama Dewan Pemasaran Kerjaan membelanjakan satu juta poundsterling (jumlah sangat besar ketika itu) untuk menjadikan buah-buahan dan produk Inggris lainnya dikenal oleh rakyat 117 Inggris sendiri. Sir Stephen Tallents menjalankan praktik PR ini melalui serangkaian film, poster, dan pameran. Sir Stephen Talents kemudian menjadi presiden lembaga formal pertama yang bertujuan mengembangkan PR, yaitu Institute of Public relations (IPR) pada 1948. Public Relations (PR) secara konsepsional dalam pengertian “State of Being “ di Indonesia baru dikenal pada tahun 1950-an, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Pemerintah menganggap penting akan adanya badan atau lembaga yang menjadi pedoman dalam mengetahui “who we are, and what should we dof irst?’’ Pemerintah membentuk Departemen Penerangan. Pada 1962, Presidium Kabinet Perdana Menteri Juanda menginstruksikan setiap instansi pemerintah membentuk bagian atau divisi humas. Periode ini disebut periode pertama cikal bakal PR di Indonesia. Pada periode kedua, 19671971, terbentuklah Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas). Pada periode ketiga, 1972-1987, tepatnya tanggal 15 Desember 1972, berdiri Perhumas yang mewadahi PR profesional pada lembaga swasta umum. Konvensi Humas di Bandung tahun 1993, telah menetapkan Kode Etik Kehumasan Indonesia ( KEKI ). Perhumas tercatat sebagai anggota International Public Relations Associations (IPRA) dan Forum Asean Public Relations Organizations ( FAPRO ). Pada tanggal 10 April 1987 di Jakarta dibentuk suatu wadah profesi PR lainnya yang disebut Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia ( APPRI ), yang bergerak dalam konsultan jasa kehumasan. Di periode keempat, tahun 1995 hingga sekarang, perkembangan PR sangat pesat. Ternyata perkembangan PR tumbuh dikalangan swasta bidang professional khusus (spesialisasi) Humas bidang industri pelayanan jasa. Ini ditandai dengan terbentuknya Himpunan Humas Hotel Berbintang pada tanggal 27 November 1995, disusul berdirinya Forum Humas Perbankan pada tanggal 13 September 1996. Sejarah mencatat sejumlah kasus yang melibatkan PR dalam upaya penyelesaiannya. Salah satu yang paling fenomenal adalah kasus likuidasi Bank Summa, pada 1992. Pemilik Bank Summa, keluarga William Soeryajaya merasa perlu menunjuk juru bicara sekaligus konsultan PR Ken Sudarto untuk menangani krisis manajemen yang mengancam kelangsungan bisnis perbankan mereka. Definisi Banyak definisi tentang public relations. Semua definisi bisa dikatakan memiliki substansi sama: public relations adalah komunikasi timbal balik. Dalam perspektif ilmu komunikasi, komunikasi timbal balik itu terjadi antara institusi dengan khalayak. Dalam perspektif ekonomi media, komunikasi timbal balik itu terjadi antara institusi public relations dengan pasar. Itulah sebabnya kita menyebutnya public relations (dengan huruf s), bukan public relation (tanpa huruf s). Berikut beberapa definisi public relations: • Praktik humas atau public relations adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka 118 • • menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya. (Institute of Public Relations) Humas adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian. (Frank Jefkins) Praktik kehumasan adalah suatu seni sekaligus suatu disiplin ilmu sosial yang menganalisis berbagai kecenderungan, memperkirakan setiap kemungkinan konsekuensi darinya, memberi masukan dan saran-saran kepada para pemimpin organisasi, serta menerapkan program-program tindakan yang terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan atau kepentingan khalayak. (The Mexican Statement) Dua Tipe Public Relations Ada dua tipe PR: Departemen PR dan Perusahaan PR. Perusahaanperusahaan besar biasanya memiliki Departemen PR sendiri untuk menjalankan fungsi PR. Namun, tak sedikit perusahaan yang menggunakan perusahaan atau konsultan untuk menjalankan kegiatan PR di perusahaan mereka. Dalam konteks ekonomi media, PR sebagai instutusi ekonomi atau industri, pembahasan terfokus pada perusahaan atau konsultan PR. Praktik perusahaan atau konsultan PR adalah penyelenggaraan jasa-jasa teknis dan kreatif tertentu oleh seorang atau sekelompok orang yang memiliki keahlian berdasarkan pengalaman dan latihan yang telah mereka dapatkan sebelumnya, serta di dalam menjalankan fungsi-fungsi itu mereka memiliki suatu identitas badan hukum. Perusahaan PR memperoleh revenue dari klien. Klien PR biasanya suatu organisasi, perusahaan, individu atau sekelompok individu yang meminta atau yang membutuhkan jasa profesional di bidang kehumasan, baik itu dalam bentuk paket program maupun sekadar saran-saran dan kegiatan tertentu yang terbatas, selama periode tertentu yang ditetapkan oleh kedua belah pihak. Klien inilah yang dalam konteks ekonomi media disebut pasar. Industri Public Relations: Perkembangan, Pasar, dan Kepemilikan Public relations sering disebut sebagai industri pendukung bagi industri media pada umumnya. Kehadiran The Publicity Bureau sebagai perusahaan publisitas pertama pada 1906, yang kemudian diikuti oleh pendirian konsultan PR oleh Ivy Ledbetter Lee, bisa disebut sebagai tonggak bahwa PR telah menjadi institusi ekonomi atau industri. Globalisasi turut mendorong perkembangan PR sebagai industri. Secara lebih spesifik, Baran (2008) mengidentifikasi lima hal yang menjadi simbol perkembangan PR sebagai institusi ekonomi, baik dalam dunia bisnis maupun politik. Kelima hal tersebut adalah kemajuan teknologi, pertumbuhan kelas menengah, perkembangan organisasi, riset yang makin maju, dan profesionalisme. Di Amerika dewasa ini (2008), terdapat 200 ribu orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang bekerja dalam dunia PR. Hampir 119 semua perusahaan besar di Amerika memiliki departemen PR, yang beberapa di antaranya mempekerjakan sampai sekitar 400 pegawai. Terdapat lebih dari 4.000 perusahaan PR di Amerika. Perusahaan PR besar mempekerjakan 2.000 orang, tetapi ada perusahaan PR yang hanya mempekerjakan empat pegawai. Perusahaan PR Amerika menghasilkan revenue 3,7 miliar dolar AS pada 2005. Diharapkan revenue perusahaan PR meningkat 9 persen pada menjadi 5,3 miliar dolar AS pada 2009. Revenue ini mereka peroleh dari klien atau pasar yang menggunakan jasa perusahaan PR tersebut. Tabel LIV Pendapatan 10 perusahaan PR terbesar di Amerika (2005) Perusahaan PR Edelmen Public Relations Worldwide, New York Ruder Finn Group, New York Waggener Edstrim, Bellevue, WA APCO Worldwide, Washington DC Schwartz Communication, Waltham, MA Zeno Group, New York Dan Klores Communications, New York Qorvis Communication, Washington DC Gibbs & Soell, New York A&R Partners, San Mateo, CA Pendapatan (juta dolar AS) 261,9 92,1 84,9 73,3 22,1 19,9 19,5 18,2 17,2 14,1 Sumber: O’Dwyer’s Public Relations seperti dikutip Baran (2008) Ada perusahaan PR yang memberikan layanan menyeluruh, tetapi ada pula perusahaan PR yang hanya memberi pelayanan tertentu. Tarif perusahaan PR tergantung pada layanan yang diberikan. Ada perusahaan PR yang dibayar per jam, atau ada perusahaan PR yang siap diminta layanannya kapan pun dan dibayar bulanan. Hill and Knowlton, misalnya, menerapkan tarif minimal 5.000 dolar AS per bulan. Ada pula perusahaan PR yang menerapkan tarif berdasarkan persetujuan dengan klien. Banyak pula perusahaan PR yang menerapkan tarif tambahan paling tinggi 17,65 persen untuk menangani pencetakan, riset, dan fotografi. Banyak perusahaan PR yang merupakan korporasi global. Sebagai contoh, tiga dari 10 perusahaan PR dengan revenue terbesar, dimiliki oleh perusahaan yang berbasis di Londong, yaitu WPP Group. Ketiga perusahaan itu adalah Hill and Knowlton, Burson-Marsteller, dan Ogilvy PR Worldwide. Hill and Knowlton mempekerjakan 2.000 pegawai yang bekerja di 71 kantor di 37 negara. Rowland Company Worldwide dimiliki oleh agensi iklan Inggris Sastchi & Saatchi. Weber Shandwick, perusahaan dengan perolehan revenue terbesar di Amerika, berbasis di London. 120 Sejumlah perusahaan PR asing beroperasi di Indonesia atau menjalin kerjasama dengan perusahaan PR lokal. Indo Pacific Reputation Management dan Ogilvy PR merupakan contoh perusahaan PR asing yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan PR lokal juga bertumbuhan di Indonesia. Bamboedoea Communication, Afa Com, dan Inke Maris & Association, dan Fortune PR Management merupakan beberapa contoh PR lokal Indonesia. Fortune PR pernah menangani kasus lemak babi Dancow, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2004, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Bamboedoea ditunjuk oleh UNDP untuk mengelola program PR Pemilu 1999 dan 2004. Kecenderungan lain yang berkembang dalam industri PR adalah spesialisasi. PR lingkungan hidup menarik banyak orang, baik industriawan maupun para penggiat lingkungan hidup. E. Bruce Harrison Consulting menarik perhatian perusahaan-perusahaan yang menjadi kliennya antara lain karena reputasinya sebagai perusahaan PR dengan keterampilan di bidang lingkungan hidup. Kesehatan dan pengobatan kini juga muncul sebagai bidang spesialisasi industri PR. Teknologi Industri PR memanfaatkan hampir seluruh teknologi media yang berkembang dewasa ini. PR menggabungkan teknologi media tradisional (surat kabar, televisi, radio, dll) dengan media modern (internet). Internet, informasi online dan periklanan menjadi teknologi yang tumbuh pesat dalam total public relations media mix. PR juga menggunakan teknologi video news release, videoconferencing, satellite-delivered media tour, integrated marketing communication, serta viral marketing. Regulasi Praktik PR biasanya lebih banyak diatur oleh kode etik. Pelanggaran kode etik menyebabkan perusahaan PR mendapat sanksi sosial atau administratif dari organisasi profesi PR tempat perusahaan PR menjadi anggota. Namun, bukan berarti tidak ada regulasi yang berlaku bagi praktisi dan industri PR. Karena PR dalam praktiknya menggunakan hampir seluruh jenis media, regulasi yang berlaku pada media berlaku juga bagi PR. Perusahaan PR harus memperhatikan Undang-undang Penyiaran, Undang-undang Pokok Pers, Undang-undang Hak Cipta, dll. Pelanggaran terhadap regulasi-regulasi tadi bisa mendatangkan sanksi hukum. Masa Depan Sebagaimana telah disebutkan di atas, perkembangan PR tidak terlepas dari perkembangan lima hal: kemajuan teknologi, pertumbuhan kelas menengah, pertumbuhan organisasi/perusahaan, riset yang makin maju, dan profesionalisme. Di masa depan kelima hal tersebut tentu makin tumbuh, sehingga industri PR juga makin berkembang. 121 Perkembangan media massa yang sangat pesat, makin kritisnya masyarakat terhadap berbagai persoalan, juga bisa membuat industri PR akan berkembang di masa mendatang. Di masa depan, perusahaan PR dalam praktiknya setidaknya harus memperhatikan dua hal: konvergensi teknologi dan spesialisasi. Lewat konvergensi teknologi, perusahaan PR harus menggabungkan teknologi media tradisional (pamflet, radio, televisi, surat kabar) dan media modern (internet, media online) secara profesional. Bidang lingkungan hidup dan politik bisa menjadi spesialisasi pilihan suatu perusahaan PR.[] 122 Daftar Pustaka Albarian Alan B, Media Economics: Understanding Markets, Industries, and Concept, Iowa: Iowa State University Press, 1996. Alexander, Alison et.al (ed), Media Economics: Theories and Practice, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1998. Alexander, Alison (et.al), Media Economics: Theory and Practice, New Jersey: Lawrence Erlbaum associate Publisher, 2004. Baran, J. Stanley, Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture, New York: McGraw Hill, 2008. Biran, Misbach Yusa, Sejarah Film 1900-1950, Depok: Komunitas Bambu, 2009. Burton, Graeme, Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar kepada Kajian Media, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2008. Burton, Graeme, Membincangkan Televisi, Jogjakarta: Jalasutra, 2007. Blumenthal Howard J & Goodenough Oliver R, This Business of Television, New York: Billboard Books, 1991. Dimmick, J & Rothenbuhler, E.W, The Theory of Niche: Quantifying Competition among Media Industries, Journal of Communication (1984). Habermas, Jurgen, The Theory of Communicative Action, Boston; Beacon Press, 1989. Hardiman, Ima, Karir Public Relations: the Most Wanted Job, Jakarta: gagas Ulung Publisher, 2007. Herman, Edward S dan Chomsky, Noam, Manufacturing Consent: The Political Economy of Massa Media, New York: Pantheon, 1988. Hoskins, Colin, Media Economics, London: Sage Publication, 2004. Jefkins, Frank, Public Relations, Jakarta: Erlangga, 1995. Junaedhi, Kurniawan, Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991. Kristanto, JB, Katalog Film Indonesia 1926-2005, Jakarta: Nalar & fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta Sinematek Indonesia, 2005. 123 Kristanto, JB dan Rahman, Lisabona, Indonesia Film Catalogue 2008, Jakarta: Nalar, 2008. Kurnia, Novi, Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM, 2008. Masduki, Regulasi Penyiaran: dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta, LKis, 2007. McQuail, Dennis, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991. Mufid, Muhammad, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: Prenada Media dan UIN, 2005. Nasution, Zulkarimein, Teknologi Komunikasi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1980. Outhwaite (ed), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008. Rivers, William, et. al., Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta: Prenada Media, 2004. Samuelson, Paul A & Nordhaus William D, Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1992. Sardar, Ziauddin, Membongkar Kuasa Media, Yogyakarta: Resist Book, 2008. Seabright, Paul & von Hagen, Jurgen (editors), The Economic Regulation of Broadcasting Market: Evolving Technology and Challenge for Policy, Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Selva James, et, al, Media Planning Guide Indonesia 2008, Jakarta: Perception Media Internasional, 2008. Sen, Krishna & Hill, David, T, Media, Culture, and Politics in Indonesia, Singapore: Equinox Publishing (Asia) PTE LTD, 2007. Severin, Warner J. & Tankard, James W, Teori Komunikasi; Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa, Jakarta: Kencana, 2008. Subagya, P.D, dan Putra, Masri Sareb, Promosi dan Pemasaran Buku di di Indonesia, Jakarta: Ikapi Jakarta, 2005. Sudibyo, Agus, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta & Yogyakarta, ISAI dan LkiS, 2004. 124 Wahyuni, Hermin Indah, Broadcasting Media Regulation, Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM, 2008. Biodata Penulis Usman Kansong lahir di Jakarta, 13 April 1970. Suami Sunting Demiasih dan ayah Alif Hanifin Usman dan Haifa Ilmi Usman ini menyelesaikan pendidikan tinggi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip USU, Medan, tahun 1994. Pada 2005, Usman menamatkan pendidikan pascasarjana pada jurusan Sosisologi Fisip, UI. Usman pernah mendapat beasiswa mengikuti short course bertajuk ‘’Transition to Democracy’’ di Inggris pada 2003. Selesai menempuh pendidikan sarjana, Usman selama sekitar satu tahun mengajar di almamaternya dan sejumlah universitas swasta di Medan. Pada 1994, dia hijrah ke Jakarta menjadi wartawan harian Republika. Sekitar 5 tahun bekerja di Republika, pada tahun 2000 Usman pindah ke MetroTV ketika televisi berita itu baru berdiri. Di MetroTV, Usman kini menjabat Kepala Departemen atau Manajer Current Affairs, departemen yang menangani program-program talkshow. Selesai menempuh pendidikan pascasarjana, Usman mengajar di jurusan Broadcasting Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) dan program pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercua Buana. Di kedua universitas, dia antara lain mengajar mata kuliah Ekonomi Media. 125