dr. Anna P. Bani, SpM Modul Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Mata

advertisement
Diskusi Topik
Oftalmopati Graves
Oleh:
Dwi Wicaksono – 0906487764
Jody Felizio – 0906508213
Rombongan E
Narasumber:
dr. Anna P. Bani, SpM
Modul Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Tirotoksikosis adalah keadaan hormon tiroid berlebih, berbeda dengan
hipertiroidisme yang merupakan hasil dari fungsi sekresi berlebih dari tiroid.
Tirotoksikosis disebabkan oleh hipertiroidisme, baik primer, sekunder, atau tanpa
hipertiroidisme. Hipertiroidisme primer dapat disebabkan oleh Graves disease, toksik
multinodular goiter, toksik adenoma, metastasis karsinoma tiroid fungsional,
pengaktifan mutasi reseptor TSH, pengaktifan mutasi Gsα (sindrom McCune-Albright),
struma ovarii, dan kelebihan yodium (fenomena Jod-Basedow).
Namun, penyebab
utama dari tirotoksikosis adalah hipertiroidisme primer yang disebabkan oleh Graves
disease, MNG toksik, dan adenoma toksik.1
Graves disease adalah salah satu contoh hipertiroidisme yang cukup sering
diantara kejadian tirotoksikosis. Penyakit ini disebabkan oleh kombinasi dari faktor
genetik dan lingkungan. Manifestasi dari penyakit ini antara lain pembesaran kelenjar
tiroid, takikardia, tremor, miksedema pretibial, dan kelainan pada mata. Kelainan pada
mata (oftalmopati) ini meliputi keterlibatan jaringan lunak, retraksi kelopak mata,
proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.1,2 Secara umum, mata pasien dengan
hipertiroidisme terlihat melotot.
Gejala pada mata tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kelas dengan singkatan “NOSPECS”. Oftalmopati Graves terjadi
akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi
akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot
ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot
bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila
pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus
yang akan menimbulkan kebutaan.1,3
Hal tersebut merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam nyawa dan
penglihatan pasien, sehingga dokter umum pun harus mengerti dan dapat memberikan
tatalaksana lini pertama sebelum merujuk ke dokter spesialis mata.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Graves Disease
Epidemiologi
Graves disease memiliki prevalensi sekitar 60-80% dari kejadian tirotoksikosis.
Prevalensinya bervariasi pada tiap populasi, terutama bergantung pada asupan yodium.
Penyakit ini timbul pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya saja pada pria.
Penyakit ini jarang timbul sebelum adolesens dan biasanya muncul antara usia 20
sampai 50 tahun, namun pada usia lebih tua juga dapat terjadi.1,2
Morfologi
Pada kasus Graves disease yang tipikal, kelenjar tiroid membesar secara difus
akibat adanya hipertrofi dan hiperplasia difus sel epitel folikel tiroid. Kelenjar biasanya
lunak dan licin, dan kapsulnya utuh.1,2 Secara mikroskopis, sel epitel folikel pada kasus
yang tidak diobati tampak tinggi dan kolumnar serta lebih ramai daripada biasa.
Meningkatnya jumlah sel ini menyebabkan terbentuknya papila kecil, yang menonjol ke
dalam lumen folikular. Papila ini tidak memiliki inti fibrovaskular, berbeda dengan
yang ditemukan pada karsinoma papilar. Koloid di dalam lumen folikel tampak pucat,
dengan tepi berlekuk-lekuk. Infiltrat limfoid, terutama terdiri atas sel T dengan sedikit
sel B dan sel plasma matang, terdapat di seluruh intersisium, pusat germinativum sering
ditemukan. Terapi praoperasi mengubah morfologi tiroid, sebagai contoh pemberian
yodium pascaoperasi menyebabkan involusi epitel dan akumulasi koloid akibat
terhambatnya sekresi tiroglobulin. Jika terapi dilanjutkan, kelenjar mengalami fibrosis.2
Kelainan di jaringan ekstratiroid adalah hiperplasia limfoid generalisata. Pada
pasien dengan oftalmopati, jaringan orbita tampak edematosa akibat adanya
glikosaminoglikan hidrofilik. Selain itu, terjadi infiltrasi oleh limfosit, terutama sel T.
Otot orbita mengalami edema pada awalnya tetapi kemudian mengalami fibrosis pada
perjalanan penyakit tahap lanjut. Dermopati, jika ada, ditandai dengan menebalnya
dermis akibat pengendapan glikosaminoglikan dan infiltrasi limfosit.2,3
2
Patogenesis
Sama halnya dengan hipotiroidisme autoimun, kombinasi dari faktor lingkungan
dan genetik, misalnya polimorfisme gen HLA-DR, CTLA-4, dan PTPN22 (regulator sel
T) berkontribusi terhadap Graves disease.
Kejadian penyakit ini pada kembar
monozigotik adalah 20-30%, sedangkan pada kembar dizigotik <5%.
Bukti tak
langsung menunjukkan bahwa stress merupakan faktor penting yang memengaruhi
sistem neuroendokrin dan sistem imun. Merokok hanya menimbulkan risiko minor
terhadap Graves disease dan risiko mayor untuk pembentukan opthalmopati.
Peningkatan asupan yodium secara cepat akan memperburuk penyakit ini, dan peluang
meningkat tiga kali lipat pada periode post-partum.1,3
3
Hipertiroidisme pada Graves disease disebabkan oleh thyroid-stimulating
immunoglobulin (TSI) yang disintesis di kelenjar tiroid, seperti di nodus limpa dan
sumsum tulang. Antibodi tersebut dapat dideteksi dengan bioassay atau TSH-binding
inhibitor immunoglobulins (TBII) assay.
Keberadaan TBII pada pasien dengan
tirotoksikosis mengaburkan keberadaan TSI, assay tersebut berguna untuk memantau
wanita hamil dengan Graves disease karena kadar TSI yang tinggi dapat melewati
plasenta dan menyebabkan tirotoksikosis neonatal. Antibodi TPO tampak pada 80%
kasus dan merupakan penanda siap ukur dari autoimunitas. Untuk jangka panjang,
hipotiroidisme autoimun spontan terjadi pada 15% kasus.1,4
Sitokin memegang peranan penting dalam opthalmopati terkait tiroid. Terdapat
infiltrasi otot ekstraokuler akibat aktivasi sel T, pelepasan sitokin (IFN-γ, TNF, dan IL1) menghasilkan aktivasi fibroblas dan peningkatan sintesis glikosaminoglikan yang
menangkap air, sehingga menuju pada bengkak otot. Pada kasus yang berkepanjangan,
dapat terbentuk fibrosis ireversibel pada otot. Fibroblas orbital cukup sensitif terhadap
sitokin. Patogenesis dari opthalmopati terkait tiroid sebenarnya masih belum jelas,
namun terdapat bukti TSH-R yang merupakan autoantigen yang diekspresikan pada
orbital dan dapat dikaitkan dengan penyakit tiroid autoimun. Peningkatan lemak adalah
penyebab tambahan dari ekspansi jaringan retrobulbar. Peningkatan tekanan intraorbital
dapat menuju pada proptosis, diplopia, dan neuropati optik.1
Manifestasi Klinis dan Patofisiologi
Gejala dan tanda pada Graves disease sangat mirip dengan tirotoksikosis.
Manifestasi klinis yang muncul bergantung pada keparahan tirotokskosis, lamanya
penyakit, toleransi individu terhadap kelebihan hormon tiroid, dan usia pasien. Pada
usia tua, ciri-ciri tirotoksikosis dapat tersembunyi, namun yang khas adalah kelelahan
dan penurunan berat badan, disebut tirotoksikosis apatetik.1,3,5
Tirotoksikosis dapat menyebabkan penurunan berat badan meskipun selera
makan meningkat akibat kenaikan laju metabolik. Kenaikan berat badan terjadi pada
5% pasien, karena peningkatan asupan makanan.
Manifestasi lainnya adalah
hiperaktivitas, gelisah, takut, dan iritabilitas, menyebabkan mudah lelah pada beberapa
pasien. Insomnia dan gangguan konsentrasi sering terjadi, apatetik tirotoksikosis dapat
menjadi rancu pada depresi lansia.
Tremor halus merupakan temuan yang sering
4
ditemukan, mudahnya dengan menarik jari sambil merasakan ujung jari pada telapak
tangan. Gangguan neurologis lainnya meliputi hiperrefleksia, lemah otot, dan myopati
proksimal tanpa fasikulasi. Chorea merupakan ciri yang sangat jarang. Tirotoksikosis
terkadang dikaitkan dengan paralisis periodik akibat hipokalemia, sering terjadi pada
pria Asia.1,4
Tirotoksikosis biasanya dikaitkan dengan kejadian:
-
Peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor di urin dan feses.
-
Demineralisasi tulang, dipantau dengan densitometri tulang.
-
Fraktur patologis pada wanita usia tua.
-
Osteitis fibrosa, osteomalasia, dan osteoporosis.5
Hiperkalsemia dapat terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis. Konsentrasi total
kalsium serum meningkat pada 27% pasien, dan terjadi kenaikan kalsium serum
terionisasi sekitar 47% pasien. Konsentrasi dari alkalin fosfatase serum yang tidak
tahan
panas
dan
osteokalsin
juga
meningkat.
Temuan
ini
menunjukkan
hiperparatiroidisme primer, namun konsentrasi dari PTH imunoreaktif di serum
menurun pada pasien tirotksik dengan hiperkalsemia.5
Fungsi kardiovaskular berubah akibat peningkatan kebutuhan sirkulasi yang
disebabkan oleh hipermetabolisme dan perlu mendisipasi panas yang terbentuk. Pada
saat istirahat, resistensi perifer vaskular menurun dan curah jantung meningkat sebagai
akibat peningkatan isi sekuncup dan denyut jantung. Hormon tiroid yang berlebih dapat
memberikan efek inotropik langsung.
Keluhan kardiovaskular yang paling sering
terjadi adalah sinus takikardia, sering berkaitan dengan palpitasi, terkadang disebabkan
oleh takikardia supraventrikular.
Curah jantung yang tinggi menyebabkan pulsasi
bounding, tekanan pulsasi melebar, dan murmur sistolik aorta yang dapat memperburuk
angina pada gagal jantung di usia tua atau usia muda dengan kelainan jantung. Fibrilasi
atrial sering terjadi pada pasien >50 tahun.5
Kulit biasanya hangat dan lembab, biasanya pasien mengeluh berkeringat dan
tidak tahan panas terutama pada cuaca panas/hangat. Selain itu dapat pula terjadi
eritema palmar, onikolisis, pruritus, urtikaria, dan hiperpigmentasi difus.
Tekstur
rambut tetap baik, namun pada 40% pasien terjadi alopesia difus, yang menetap
meskipun telah dikembalikan ke eutiroid. Waktu transit gastrointestinal berkurang,
5
menyebabkan peningkatan frekuensi feses, seringkali diare atau steatorea ringan. Efek
langsung dari hormon tiroid pada resorpsi tulang menyebabkan osteopenia pada
tirotoksikosis lama. Hiperkalsemia ringan timbul pada 20% kasus, namun lebih sering
hiperkalsiuria. Terdapat peningkatan kejadian fraktur pada penderita dengan riwayat
tirotoksikosis.5,6
Laju konfersi androstenedion menjadi testosteron, estron, dan estradiol dan
testosteron menjadi DHT meningkat. Peningkatan konversi androgen menjadi estrogen
dapat diperkirakan sebagai mekanisme ginekomastia dan disfungsi seksual pada 10%
pria dengan tirotoksikosis dan mekanisme amenorrhea pada wanita. Mekanisme lain
yang menyebabkan perubahan menstruasi adalah disrupsi dari amplitudo dan frekuensi
dari pulsasi LH/FSH akibat pengaruh hormon tiroid pada pensinyalan GnRH. Selain itu
ada pula yang mengatakan sebagai akibat peningkatan prolaktin yang menekan hormon
seks.1,5
Tiroid akan membesar hingga dua sampai tiga kali normal, konsistensinya padat,
dan terdapat thrill atau bruit akibat peningkatan vaskularisasi kelenjar dan sirkulasi
hiperdinamik.1,3
Manifestasi Klinis pada Mata
Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan lunak,
retraksi kelopak, proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.
Fase dari
perkembangan penyakit ini adalah fase kongestif dan fibrosis. Pada fase kongestif
(inflamasi), mata merah dan nyeri, dapat berulang selama 3 tahun dan hanya 10%
pasien yang mengalami masalah penglihatan jangka panjang yang serius. Pada fase
fibrosis, mata tenang, meskipun ada defek motilitas yang tidak nyeri.7
1. Keterlibatan Jaringan Lunak
Gejala meliputi grittiness (merasa seperti ada benda asing), fotofobia, lakrimasi, dan
rasa tidak nyaman di retrobulbar.7
Tanda yang dapat dilihat pada pasien antara lain:
-
Hiperemia epibulbar.
6
-
Periorbital swelling, disebabkan oleh edema dan infiltrasi dibalik septum
orbital, dapat disebabkan oleh kemosis dan prolaps lemak retroseptal ke
kelopak mata.
-
Keratokonjungtivitis limbus superior.
2. Retraksi Kelopak
Retraksi kelopak mata atas dan bawah terjadi pada kurang lebih 50% pasien dengan
Graves disease dengan mekanisme:
-
Kontraktur fibrosis dari levator yang berkaitan dengan perlekatan dengan
jaringan orbital. Fibrosis pada otot rektus inferior dapat menyebabkan retraksi
kelopak mata bawah.
-
Reaksi berlebih terhadap levator rektus superior sebagai respons terhadap
hipotrofi akibat fibrosis dan kekakuan otot rektus inferior. Reaksi ini dapat pula
disebabkan secara tidak langsung oleh fibrosis otot rektus superior.
7
-
Reaksi berlebih dari otot Muller sebagai akibat dari overstimulasi simpatis
karena kondisi hipertiroid.7
Tanda yang muncul yaitu ketika sklera terlihat di bawah limbus. Tanda lain yang
dapat ditemukan antara lain:
-
Tanda Dalrymple
-
Tanda Kocher
-
Tanda Von Graefe
3. Proptosis
Propotosis dapat terjadi unilateral, bilateral, aksial, simetris, atau asimetris, dan
seringkali permanen. Proptosis berat dapat menyebabkan keratopati eksposur, ulkus
kornea, dan infeksi.7
8
4. Myopati Restriktif
Sebagian pasien (30-50%) dengan penyakit mata tiroid mengalami oftalmoplegia
dan dapat menjadi permanen. Motilitas okular dibatasi oleh edema inflamasi dan
fibrosis. Tekanan intraokular dapat meningkat karena adanya penekanan okular
oleh otot rektus inferior yang fibrosis.7 Bentuk kelainan motilitas okular antara lain:
-
Defek elevasi akibat kontraktur fibrosis pada otot rektus inferior, yang
menyerupai kelumpuhan otot rektus superior.
-
Defek abduksi akibat fibrosis otot rektus medialis, yang mencetuskan
kelumpuhan nervus VI.
9
-
Defek depresi sebagai akibat tidak langsung dari fibrosis otot rektus superior.
-
Defek aduksi akibat fibrosis otot rektus lateralis.7
5. Neuropati Optik
Neuropati optik jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang serius akibat
penekanan nervus optikus atau pembuluh darah pada apeks orbital akibat kongesti
dan pembesaran otot rektus. Penekanan tersebut dapat terjadi tanpa proptosis yang
signifikan, tetapi dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat yang dapat
dicegah. Gangguan yang terjadi biasanya pada penglihatan sentral.7
Tanda-tanda yang dapat dilihat dari pasien antara lain:
-
Penurunan visus, berkaitan dengan RAPD, desaturasi warna, dan penurunan
kemampuan membedakan terang.
-
Gangguan lapang pandang dapat berupa sentral atau parasentral dan dapat pula
terjadi bersamaan dengan defek bundel serat saraf. Jika terdapat peningkatan
tekanan intraokular, sulit dibedakan dengan glaukoma sudut terbuka primer.
-
Diskus optik biasanya normal, namun terkadang bengkak atau atrofi.7
10
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
Kelas Uraian:
0 : No signs and symptoms. Tidak ada gejala dan tanda.
1 : Only signs no symptoms. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,
stare, lid lag)
2 : Soft tissue involvement with signs and symptoms. Perubahan jaringan lunak orbita,
dengan tanda dan gejala seperti lakrimasi, fotofobia, dan pembengkakan palpebra atau
konjungtiva.
3 : Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer).
4 : Extraocular muscles involvement. Keterlibatan otot-otot ekstra okular.
5 : Corneal involvement. Perubahan pada kornea (keratitis).
6 : Sight loss due to optic nerve involvement. Kebutaan (kerusakan nervus optikus)8
-
Kelas
1,
terjadinya
spasme
otot
palpebra superior dapat menyertai keadaan
awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh
spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat.
Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otototot dan jaringan orbita.
-
Kelas 2 ditandai dengan keradangan
jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva
(khemosis).
-
Kelas
3
ditandai
dengan
adanya
proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
-
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama
pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan
11
bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi
kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.
-
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
-
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus optikus, yang akan menyebabkan
kebutaan.1
Patofisiologi Oftalmopati Graves
-
Inflamasi otot ekstraokular, yaitu adanya infiltrasi selular yang pleomorfik,
berhubungan dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi osmotik
air.
Otot-otot tersebut membesar hingga dapat mencapai 8 kali normal, lalu
menekan nervus optikus. Degenerasi dari serat otot menyebabkan fibrosis, sehingga
terjadi myopati restriktif dan diplopia.7
-
Infiltrasi sel inflamasi, yaitu limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast dari
jaringan intersisial, lemak orbital, dan kelenjar lakrimal dengan penumpukan
glikosaminoglikan dan retensi cairan.
Hal ini menyebabkan volume orbital
meningkat dan secara tidak langsung meningkatkan tekanan intraorbital yang
menyebabkan retensi cairan berlebih.7
Diagnosis Banding
Diagnosis dari Graves disease langsung dilihat dari konfirmasi biokimia
tirotoksikosis, goiter difus pada palpasi, opthalmopati, TPO dan antibodi TSH-R positif,
dan sering dengan riwayat individu dan keluarga dengan penyakit autoimun. Untuk
pasien dengan tirotoksikosis yang tidak menunjukkan mayoritas gejala tersebut, maka
diagnostik yang paling penting adalah scan radionuklida (99mTc,
123
I, atau
131
I) pada
tiroid, yang membedakan difusnya dengan penyakit nodul tiroid, tiroiditis destruktif,
jaringan tiroid ektopik, dan tirotoksikosis tiruan. Pada hipertiroidisme sekunder akibat
tumor TSH penyekresi pituitari, terdapat pula goiter difus. Manifestasi klinis dari
tirotoksikosis dapat menyerupai kelainan lain, misalnya serangan panik, mania,
feokromositoma, dan penurunan berat badan yang disertai keganasan.1
12
Tatalaksana Oftalmopati Graves
Berdasarkan konsensus yang disepakati oleh European Group on Graves
Orbitopathy, penatalaksanaan dari oftalmopati Graves memiliki prinsip antara lain:
1. Merujuk pasien dengan oftalmopati Graves ke rumah sakit dengan spesialis mata
Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala yang bersifat sight
threatening seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas warna,
corneal opacity, atau edema makula.
2. Manajemen masalah oleh kalangan nonspesialis
Faktor risiko yang dapat mengakibatkan oftalmopati Graves adalah merokok dan
disfungsi tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan efektivitas dari terapi, dan
meningkatkan progresi oftalmopati Graves setelah pemberian terapi radioiodin
untuk hipertiroid.
Sebagai prevensi, faktor risiko dapat diminimalisasi melalui
edukasi.
3. Manajemen masalah oleh spesialis mata
Hal yang dapat dilakukan antara lain penilaian derajat keparahan dan progresivitas
dari oftalmopati Graves, manajemen oftalmopati yang mengancam penglihatan, dan
manajemen oftalmopati derajat sedang-berat.
4. Manajemen oftalmopati ringan
Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya perburukan
penyakit.
5. Keadaan khusus
Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila tindakan
pembedahan dilakukan.9
Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul dapat
disingkat menjadi TEAR:
-
T : Tobacco abstinence
-
E : Euthyroidism must be achieved
-
A : Artificial tears
-
R : Referral to a specialist centre with experience10
Penatalaksanaan terhadap oftalmopati Graves yang timbul dapat dibagi
berdasarkan gejala yang dialami pasien antara lain:
13
1. Keterlibatan jaringan lunak
Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari adanya
proses inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis limbic superior.
a. Epibulbar hiperemis
Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/steroid topikal maupun oral.
b. Keratokonjungtivitis limbus
Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terpajan menjadi kering.
Lateral tarsorrhaphy dapat dilakkan untuk mengurangi keratopati eksposur bila
tidak berespon dengan lubrikan.7,11
2. Retraksi kelopak
Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena dapat
membaik dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi untuk
memperbaiki retraksi yang terjadi.
a. Mullerotomy
Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan disinsersi
otot Muller.
b. Reseksi retraktor kelopak bawah.
c. Injeksi Botox
Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat digunakan sebagai
tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana definitif.
d. Guanethidine 5% eyedrops
Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi akibat
reaksi berlebih dari otot Muller.
3. Proptosis
Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana
medikamentosa dan pembedahan.
a. Terapi medikamentosa
-
Steroid sistemik
Orbitopati fase akut akibat neuropati optik kompresif biasanya ditangani
dengan kortikosteroid oral. Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison.
14
Dosis ini dipertahankan selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis
terlihat.
Dosis kemudian dikurangi sesuai dengan kondisi pasien,
berdasarkan respon klinis dari fungsi saraf optik. Injeksi metilprednisolon
dengan dosis 500 mg dalam 200-500 ml cairan isotonis (normal saline) dapat
diberikan pada kompresi optik akut.
-
Radioterapi
Radiasi dapat diberikan sebagai ajuvan dari penggunaan steroid, atau ketika
steroid menjadi kontraindikasi.
Secara keseluruhan 60% hinggan 70%
pasien memiliki respon yang baik dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi
lebih dari 25% pasien. Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan
perbaikan maksimal dalam 4 bulan.
-
Terapi kombinasi
Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan prednisolon
dosis rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.7,11
b. Dekompresi pembedahan
Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi ketika
terapi non invasif tidak efektif lagi. Dekompresi bertujuan untuk meningkatkan
volume orbit dengan membuang tulang dan lemak disekitar rongga orbital.
4. Miopati Restriktif
Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan. Tujuan pembedahan
adalah untuk memperoleh pandangan binokuler dan kemampuan stereoskopik.
Pembedahan dilakukan dengan indikasi bila diplopia menetap dengan sudut deviasi
yang tidak berubah selama 6 bulan.7
5. Neuropati Optik
Penatalaksanaan neuropati optik adalah dengan steroid sistemik, jika tidak berhasil
atau steroid menjadi kontraindikasi, dapat dilakukan dekompresi orbital.7
15
Komplikasi
Krisis Tiroid (Thyroid Storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat
sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis
tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
-
Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
-
Terapi yodium radioaktif.
-
Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
adekuat.
-
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.1,5
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme
berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
-
Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai
dengan flushing dan hiperhidrosis.
-
Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
-
Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
-
Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare, dan ikterus.1
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan
hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga
tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid
terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.1,5
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh
kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis
tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme
dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan
16
jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal.1,5
17
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan tinjauan pustaka dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:
-
Kondisi hipertiroid dapat menimbulkan tirotoksikosis primer, dengan prevalensi
terbanyak adalah Graves disease.
-
Graves disease memiliki manifestasi klinis pada berbagai sistem seperti metabolik,
kardiovaskular, dan mata.
-
Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan lunak, retraksi
kelopak, proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.
-
Derajat dari gejala oftalmopati Graves adalah “NOSPECS”.
-
Mekanisme utama terjadinya oftalmopati Graves adalah inflamasi otot ekstraokular
dan infiltrasi sel inflamasi.
-
Penatalaksanaan utama pada kasus oftalmopati Graves adalah menentukan
derajatnya dan kapan waktu merujuk.
-
Prinsip penatalaksanaan pada kasus oftalmopati Graves adalah kendalikan pajanan,
turunkan kadar hormon tiroid, pemberian antiinflamasi, dan pembedahan.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw
Hill Medical. 2008; 2233-37.
2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL.
Buku ajar patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007; 813-15.
3. Moeljanto RD. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia. 2009; 2009-15.
4. Matfin G, Kuenzi JA, Guven S. Disorders of endocrine control of growth and
metabolism. In: Porth CM. Pathophysiology-concepts of altered health states. 7th ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2005; 975.
5. Thyrotoxicosis. In: Larsen, Kronenberg, Melmed, Polonsky. Williams textbook of
endocrinology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2003.
6. The thyroid gland. In: Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical
endocrinology. 8th ed. McGraw Hill. 2007.
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systematic approach. 7th ed. China:
Elsevier. 2011. [ebook]
8. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. New Delhi: New Age International.
2007; 390-2.
9. Bartalena L, Baldeschi L, Dickinson A et al. Consensus statement of the European
Group on Graves’ Orbitopathy (EUGOGO) on management of GO. Eur J
Endocrinol. 2008; 158: 273-285.
10. Bartalena L, Marcocci C, Tanda L, et al. Management of thyroid eye disease. Eur J
Med Mol Imaging. 2002;29:S458-65.
11. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th ed. USA:
Mc Graw-Hill. 2007. [ebook]
19
Download