UNIVERSITAS INDONESIA PARADIGMA REALISME, LIBERALISME DAN KONSTRUKTIVISME MENJELASKAN TINDAKAN AS DALAM MENGHADAPI TERORISME AL QAEDA PASCA SERANGAN 9/11 (2001-2011) TUGAS KARYA AKHIR LADIA FITRAH 0906553766 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013 Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA PARADIGMA REALISME, LIBERALISME DAN KONSTRUKTIVISME MENJELASKAN TINDAKAN AS DALAM MENGHADAPI TERORISME AL QAEDA PASCA SERANGAN 9/11 (2001-2011) TUGAS KARYA AKHIR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional LADIA FITRAH 0906553766 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013 ii Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 iii Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 iv Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan Tugas Karya Akhir ini. Penulisan Tugas Karya Akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosiaal dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tugas Karya Akhir yang membahas mengenai fenomena terorisme dan kebijakan War on Terror AS ini mencoba untuk mengupas fenomena ini dalam jalur ilmu Hubungan Internasional. Pembahasan tersebut dilakukan dengan membaginya berdasarkan tiga paradigma besar dalam ilmu Hubungan Internasional. Penulis berharap karya akhir ini akan mampu memberikan kontribusi bagi dunia Hubungan Internasional dan masyarakat luas. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dalam penulisan tugas karya akhir ini sehingga penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk memperkaya hasil karya ini. Akhir kata, penulis berharap bahwa tugas karya akhir ini dapat membawa manfaat bagi pihak yang bersangkutan. Depok, Juli 2013 Ladia Fitrah v Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan rezeki dan kemudahan dalam melaksanakan tugas penulis sebagai mahasiswa di masa perkuliahan ini serta memberikan kekuatan di kala penulis lemah. Lahirnya tugas karya akhir ini tidak lepas dari bantuan segenap pihak yang telah membantu untuk mewujudkan karya ini dengan segal keikhlasannya, yaitu: 1. Andi Widjajanto, M. Sos, M.A., PhD., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan, memberikan masukan dan komentar, serta menjawab semua masalah Saya temukan dalam menulis Tugas Karya Akhir ini. 2. Dra. Evi Fitriani M.A., M.IA., PhD., selaku Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Penguji Ahli yang telah memberikan banyak masukan yang konstruktif dalam penulisan dan penyelesaian Tugas Karya Akhir ini. 3. Dra. Nurul Isnaeni, M.A., selaku Ketua Program Sarjana Reguler Ilmu Hubungan Internasional dan Ketua Sidang yang telah memberikan banyak dukungan, bantuan, serta masukan yang konstruktif dalam penyelesaian Tugas Karya Akhir ini. 4. Andrew W. Mantong S.Sos., M.Sc., selaku Sekretaris sidang yang telah membantu dan memberikan informasi dalam penyelesaian Tugas Karya Akhir ini. 5. Seluruh dosen HI yang selama ini memberikan perkuliahan dan pembelajaran yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan akademis Saya, serta staf di program studi Ilmu Hubungan Internasional yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu mengurus kelengkapan administrasi Tugas Karya Akhir sebagai syarat kelulusan. 6. Kedua orang tua, Iskandar Idman dan Elmil Pranita, yang selalu mendukung, mendoakan, mengajarkan Saya untuk lebih dewasa dalam menghadapi segala sesuatu dan memberikan nasihat-nasihat yang memotivasi Saya ketika dalam masa-masa sulit dalam perkuliahan vi Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 terutama selama mengerjakan Tugas Karya Akhir ini. Saudara-saudara Saya Veni, Rindah, dan Elita yang selalu mendukung dan memberikan semangat serta kebersamaan sebagai saudara. 7. Hindun Harahap dan Zein Septian Hidayat sebagai sahabat yang berjuang bersama-sama dalam mengerjakan Tugas Karya Akhir dan Skripsi dan saling membantu, mengingatkan, memberikan semangat, motivasi dan hiburan. Serta Pettisa Rustadi yang juga sebagai sahabat yang selalu membantu dan memberikan dukungan dari awal penulisan hingga pengumpulan Tugas Karya Akhir ini. 8. Novryansyah, sebagai sahabat sekaligus orang yang spesial yang selalu dengan sabar mendengarkan segala keluhan, masalah, beban pikiran, memahami Saya, memberikan semangat dan dukungan, mengingatkan segala hal hingga hal kecil sekalipun, mengubah Saya menjadi lebih baik, serta selalu ada ketika Saya butuhkan. 9. Keluarga HMHI UI, khususnya angkatan 2009, Afu, Alin, Arlina, Arif, Aswin, Bagus, Candini, Catur, Darang, Dikki, Diku, Doni, Dwinta, Gery, Gesa, Fahmi, Hanna, Husni, Iman, Imung, Indaah, Indi, Ipeh, Iqbal, Jeklin, Kiki, Lya, Mikha, Natalia, Pandu, Ponda, Richard, Ryan, Sandi, Tama, Uwi, Vale dan Widy, yang belajar bersama, membuat Saya nyaman berada dilingkungan HI. Semoga kita sukses ke depannya dan dilancarkan semua urusannya. 10. Ticul, Viny, mbak Evi, Tia, Nabila dan Sapta teman-teman dari Muara Enim yang sama-sama berjuang dari jaman maba hingga saat ini, yang selalu berusaha meluangkan waktu untuk bisa berkumpul bersama walau hanya makan sejenak. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir dan masa studinya di jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Depok, Juli 2013 Ladia Fitrah vii Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 viii Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 ABSTRAK Nama : Ladia Fitrah Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : PARADIGMA REALISME, LIBERALISME DAN KONSTRUKTIVISME MENJELASKAN TINDAKAN AS DALAM MENGHADAPI TERORISME AL QAEDA PASCA SERANGAN 9/11 (2001-2011) Tugas karya akhir ini membahas mengenai tindakan AS dalam menghadapi terorisme al Qaeda pasca serangn 9/11 dengan menggunakan paradigma realisme yang melihat tindakan tersebut sebagai bentuk perang asimetris, paradigma liberalisme yang melihat tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap rezim internasional, dan paradigma konstruktivisme yang melihat tindakan tersebut sebagai bentuk sekuritisasi. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena terorisme yang direspon oleh AS dari tiga paradigma berbeda dalam hubungan internasional. Hasil yang didapatkan dari analisis menunjukkan bahwa tindakan AS menghadapi terorisme al Qaeda pasca serangan 9/11 tersebut sebagai sebuah interaksi antar aktor dalam hubungan internasional yaitu dengan melakukan perang, membentuk undang-undang baru dan menginternasionalisasikannya, dan melakukan sekuritisasi. Kata kunci: terorisme, perang asimetris, rezim, sekuritisasi ix Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 ABSTRACT Name : Ladia Fitrah Study Program : International Relations Title : REALISM, LIBERALISM AND CONSTRUCITIVSM PARADIGM EXPLAIN U.S. ACTION TOWARDS AL QAEDA TERRORISM SINCE 9/11 ATTACK (2001-2011) This final paper discusses the U.S. actions in facing terrorism after the attacks of al Qaeda 9/11 by using the paradigm of realism as a form of asymmetric warfare, paradigm liberalisme as a international regime violation, and constructivist as forms of securitization. This discussion is intended to provide an overview of the phenomenon of terrorism by the U.S. responded in three different paradigms in international relations. The results from analysis shows that the U.S.action in facing terrorism al Qaeda after the 9/11 attacks as an interaction between actors in international relations is to make war, form and practice a new act and internationalize it, and securitize it. Key words: terrorism, asymmetric war, regime, securitizaion x Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i HALAMAN JUDUL.......................................................................................................ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................iii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................iv KATA PENGANTAR......................................................................................................v UCAPAN TERIMA KASIH..........................................................................................vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..............................vii ABSTRAK........................................................................................................................ix ABSTRACT......................................................................................................................x DAFTAR ISI.....................................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR, GRAFIK DAN TABEL.........................................................xii 1. PENDAHULUAN.............................................................................................1 1.1 Latar Belakang........................................................................................1 1.2 Pertanyaan Masalah................................................................................2 1.3 Kerangka Pemikiran...............................................................................3 1.3.1 Perang Asimetris...........................................................................3 1.3.2 Rezim Internasional......................................................................6 1.3.3 Sekuritisasi.....................................................................................8 1.4 Tujuan Penulisan................................................................................11 2. PERANG ASIMETRIS AS DAN AL QAEDA...........................................12 2.1 AS dan Al Qaeda Sebagai Aktor dalam Perang Asimetris.............12 2.2 Interaksi Strategis AS dan Al Qaeda Pasca Serangan 9/11 hingga Kematian Osama.....................................................................16 3. PELANGGARAN PATRIOT ACT TERHADAP REZIM INTERNASIONAL DAN UPAYA INTERNASIONALISASINYA.......22 3.1 Rezim Internasional yang Berkaitan dengan Terorisme..................22 3.2 Patriot Act sebagai Undang-Undang Khusus Anti Terorisme AS dan Pelanggarannya........................................................................26 3.3 Upaya Internasionalisasi Patriot Act Melalui Global War on Terror...........................................................................30 4. SEKURITISASI TERORISME OLEH AS DALAM MENGHADAPI AL QAEDA......................................................................................................35 4.1 Terorisme sebagai Isu Ancaman dan Prioritas Keamanan Nasional AS..........................................................................................35 4.2 Proses Sekuritisasi Terorisme oleh AS..............................................37 5. KESIMPULAN................................................................................................45 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................48 xi Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 1.1 Pendekatan Interaksi Strategis.......................................................................5 Tabel 2.1 Kekuatan Militer Global...............................................................................13 Gambar 2.1 Persebaran Jaringan Kelompok Gabungan Al Qaeda...........................15 Gambar 2.2 Jaringan dan Kapabilitas al Qaeda..........................................................17 Gambar 2.3 Target Strategi Melawan al Qaeda..........................................................18 xii Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Isu terorisme bukanlah suatu hal yang baru dan merupakan hal yang penting dalam kajian hubungan internasional karena fenomena ini dapat mempengaruhi sistem internasional. Adanya konflik antar aktor dalam hubungan internasional dapat membuat suatu pihak atau kelompok tertentu menyerang aktor lain melalui serangan teror. Tindakan teror ini tidak hanya menimbulkan efek gentar bagi aktor yang diserang, tetapi juga memakan korban jiwa dan mempengaruhi sistem internasional. Oleh karena itu, menjadi hal yang penting untuk membahas terorisme ini dari kerangka pemikiran hubungan internasional. Salah satu kelompok terorisme yang paling sering disorot dalam dunia internasional adalah Al Qaeda. Al Qaeda didirikan oleh Osama bin Laden pada akhir tahun 1980an, untuk membawa kebersamaan bangsa Arab yang bertempur di Afghanistan melawan soviet, membantu finansial, rekrutmen, transportasi, dan melatih ekstrimis Islam Sunni untuk perlawanan Afghanistan. 1 Tujuannya adalah untuk membentuk pan-Islamic Caliphate seluruh dunia dengan bekerja sama sesama Muslim, menggulingkan rezim pemerintahan non-Muslim, dan menyingkirkan “Barat” dan “non Muslim” dari negara Muslim, khususnya Saudi Arabia.2 Jadi, secara umum, target mereka adalah Barat dan non Muslim yang sebagian besar terlibat di negara Muslim adalah Amerika Serikat dan sekutunya. Al Qaeda menjadi sorotan dunia internasional sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang menghancurkan gedung World Trade Center di New York dan Pentagon, AS. Serangan tersebut menimbulkan korban jiwa hingga kurang lebih 3000 jiwa serta kerusakan materiil lain yang diakibatkan ledakan bom tersebut.3 Kejadian ini menimbulkan trauma dan pandangan negatif masyarakat AS yang ketakutan terhadap tindakan teroris yang banyak diasosiasikan dengan kelompok Islam radikal. 1 Adjie. S., Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 281. Ibid., 282. 3 Ibid., 283. 2 1 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 2 Osama bin Laden termasuk ke dalam daftar 10 orang paling dicari oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) AS sejak masa pemerintahan George W. Bush mendeklarasikan perang global melawan terorisme.4 Serangan 9/11 ini merupakan serangan pertama bagi AS di dalam negerinya. Karena selama ini, serangan teror terhadap AS dilakukan oleh kelompok teroris di pusat pemerintahan, kamp militer, dan unsur ekonomi AS lainnya di luar negara. Seperti serangan di Kedutaan besar AS di Narobi, Kenya dan Tanzania pada Agustus 1998, peledakan bom terhadap pasukan AS di Yaman pada tahun 1992, serangan ke USS Coe, Port Aden, Yaman pada Oktober 2000, serta berbagai serangan lain dimana terdapat keterlibatan AS di dalamnya.5 Melihat keseriusan al Qaeda dalam menyerang AS tidak hanya untuk mengancam tetapi juga melawan untuk berperang, AS merespon terorisme beserta organisasinya Al Qaeda dengan agresif dan konfrontatif dan mengajak negaranegara lainnya seluruh dunia untuk melawan terorisme ini secara global yang dikenal sebagai Global War on Terror. Selain itu, dengan pertimbangan stabilitas keamanan nasional dan juga peran AS sebagai negara hegemon dalam dunia hubungan internasional, terorisme dan al Qaeda mendorong AS dalam mengubah pandangan terhadap terorisme itu sendiri. Tindakan AS dalam menghadapi terorisme al Qaeda inilah yang nantinya akan menjadi fokus analisis dalam tugas akhir ini. I.2 Pertanyaan Masalah Dengan melihat adanya peningkatan serangan terorisme terhadap AS terutama di negaranya secara langsung yang membuat AS meresponnya dengan agresif dan konfrontatif, maka tulisan ini akan menjawab pertanyaan, “Bagaimana paradigma realisme, liberalisme, dan konstruktivisme menjelaskan tindakan AS dalam menghadapi terorisme pasca serangan 9/11 oleh al Qaeda (2001-2011)?” 4 Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 40. 5 Ibid., 41. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 3 1.3 Kerangka Pemikiran Dengan berdasarkan masalah yang dirumuskan di atas, penulis akan menganalisis menggunakan konsep dari masing-masing paradigma sebagai berikut. 1.3.1 Perang Asimetris Dalam paradigma realisme, perang adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam hal mencapai, meningkatkan maupun mempertahankan power demi kelangsungan hidup. kekuasaan dan Oleh karena itu, perang bertujuan untuk melestarikan kelangsungan hidup dari pihak yang berusaha untuk menghancurkannya. Perang merupakan ancaman yang besar terhadap eksistensi suatu negara sehingga untuk dapat mempertahankannya negara harus menghadapi perang dan mengalahkan lawan atau akan dikalahkan lawan. 6 Perang asimetris merupakan perang generasi keempat melihat adanya pergeseran beberapa aspek dari perang generasi sebelumnya (William S. Lind, 2004). Hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti taktik, strategi, tujuan, sistem persenjataan, dan sebagainya. Lind menjelaskan bahwa pada Perang Generasi Pertama sifatnya konvensional dan teratur dalam hal medan perang, pasukan perang dan senjata yang digunakan. Contohnya perang-perang yang terjadi sejak perjanjian Westphalia 1648 hingga 1860. Pada perang Generasi Kedua terdapat peningkatan teknologi persenjataan yang digunakan seperti artileri dan tank, namun masih bersifat konvensional. Contohnya Perang Dunia I. Pada perang generasi ketiga, terdapat perubahan senjata yang digunakan yaitu penggunaan nuklir. Contohnya, bom nuklir yang digunakan oleh Jerman terhadap Jepang di Hirosima dan Nagasaki pada Perang Dunia II. Sedangkan Perang Generasi Keempat cenderung tidak teratur karena medan perangnya tidak ditentukan, tidak adanya penentuan kombatan dan non-kombatan, serta munculnya aktor non negara sebagai aktor perang.7 6 “Terrorism and the Philosophy of History: Liberalism, Realism, and the Supreme Emergency Exemption “, Andrew Fiala, diakses pada tanggal 20 November 2012, http://commons.pacificu.edu/eip/vol3/iss3/2. 7 “Understanding Fourth Generation of War”, Wiiliam S. Lind, diakses pada tanggal 12 Februari 2013, http://www.antiwar.com/lind/index.php?articleid=1702. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 4 Jadi, sebagai perang generasi keempat, perang asimetris merupakan perang yang terjadi antara kedua aktor kuat dengan aktor lemah, dimana strategi dan taktik yang digunakan dalam perang tidak lagi konvensional seperti perang generasi sebelumnya.8 Menurut Collin S. Gray, perang asimetris juga merupakan bagian dari perang tidak teratur, contohnya terorisme.9 Perang ini tidak selalu dimenangkan oleh aktor yang kuat, karena terdapat pola interaksi yang berbeda dengan perang-perang generasi sebelumnya. Jadi, terdapat kemungkinan aktor yang lemah untuk dapat memenangkan perang. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ivan Arreguin Toft bahwa dalam konflik asimetris kemenangan ditentukan dari interaksi strategis.10 Hasil konflik asimetris tersebut dapat dijelaskan melalui tipologi strategi perang sebagai titik awal yang berguna untuk analisis.11 Tipologi berikut menggunakan perbandingan pendekatan yang digunakan yaitu strategi langsung dan strategi tidak langsung. Strategi langsung, yang merupakan pendekatan serangan maupun pertahanan secara langsung yaitu dengan memanfaatkan kekuatan militer untuk membentuk pertahanan dan juga menyerang musuh. Adapaun target dari strategi ini adalah pasukan militer musuh dengan tujuan untuk mengambil alih kontrol dan melumpuhkan kekuatan militer musuh.12 Misalnya serangan Jepang ke Pearl Harbor tahun 1941 atau serangan Mesir ke Israel tahun 1973. Strategi tidak langsung, yang merupakan pendekatan serangan maupun pertahanan secara tidak langsung yaitu dengan tujuan yang sama untuk menghancurkan kapasitas musuh namun dengan memanfaatkan sumber kekuatan tidak hanya militer seperti teknologi, kampanye, ideologi, budaya, dan sebagainya. Misalnya dengan menggunakan teror terhadap publik untuk 8 Ivan Arreguin Toft menjustifikasi kekuatan aktor untuk menentukan aktor kuat dan aktor lemah dengan melihat kekautan materi yang dapat dihitung (kuantitatif), yang dapat dijabarkan dalam John Jacob Nutter,Unpacking Threat: AConceptual and Formal Analysis,” dalam Norman A. Graham, ed., Seeking Security and Development: The Impact of Military Spending and Arms Transfers, (Boulder, Colo.: LynneRienner, 1994), 29–49. Sedangkan strategi dan taktik yang dimaksud adalah dengan menggunakan teror, insurgensi, doktrin, dan lain sebagainya. 9 Collin S. Gray, Another Bloody Century: Future Warfare, (London: Weidenfeld&Nicolson, 2005), 223-226 10 Ivan Arreguin Toft, How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict, (UK: Cambridge University Press, 2005), 96-100 11 Ibid., 101 12 Ibid., 103 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 5 menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan dalam pemerintahan demi mencapai tujuan. Selain itu, objek dalam pendekatan ini tidak hanya militer (kombatan) tetapi juga sipil (non-kombatan) yang mengabaikan hukum perang.13 Misalnya barbarisme dan perang gerliya.14 Dari kedua pedekatan tersebut, jika interaksi yang terjadi adalah sama (direct-direct atau indirect-indirect) mengimplikasikan kekalahan terjadi pada pihak lemah karena tidak ada yang dapat menengahi atau mengelakkan kekuatan aktor kuat. Sebaliknya, jika interaksi berlawanan (direct-indirect atau idirectdirect) mengimplikasikan kemenangan bagi aktor lemah karena kekuatan aktor kuat dapat ditengahi atau dielakkan. Arreguin Toft menjelaskan menjelaskan hubungan pendekatan interaksi strategis dengan hasil dari konflik asimetris seperti dalam tabel berikut. Tabel 1.1 Pendekatan Interaksi Strategis Weak-Actor Strategic Approach StrongActor Strategic Approach Direct Indirect Direct Strong actor Weak actor Indirect Weak actor Strong actor Sumber: Ivan Arreguin Toft, How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict, 102 Hipotesis 1: ketika aktor kuat menyerang menggunakan strategi langsung dan aktor lemah melawan dengan strategi langsung, semua hal dianggap sama, aktor kuat dapat menang dengan cepat dan meyakinkan (direct attack vs direct defense). Dalam interaksi ini, kedua aktor memiliki asumsi yang sama mengenai 13 Hukum perang mengalami perkembangan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam Andre Corvisier and Barry Paskins, Laws of War, dalam Corvisier and Childs, A Dictionary of Military History and the Art of War, 443-453. Namun pada umumnya, yang ditekankan dalam hukum perang adalah larangan penggunaan senajata pemusnah masal, adanya pembedaan antara kombatan dan non-kombatan, adanya aturan dalam pelaksanaan hukuman penjahat perang dan sebagainya. 14 Toft, How the Weak Win Wars, 102. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 6 prioritas dalam pertarungan. Keduanya mengakui adanya kekalahan dalam pertempuran, aturan perang, atau pengusaan ibukota. Karena dalam interaksi ini tidak ada yang memediasi antara relative material power dan akibat, aktor kuat dapat menang dengan cepat dan meyakinkan. Hipotesis 2: ketika aktor kuat menyerang dengan strategi langsung, dan aktor lemah melawan dengan strategi tidak langsung, aktor lemah akan menang (direct attack vs indirect defense). Tidak seperti dalam strategi langsung yang melibatkan penggunaan kekuatan yang terlatih dan bersenjata untuk melawan musuh yang juga sama terlatihnya, strategi pertahanan tidak langsung mengandalkan pasukan bersenjata tidak teratur dimana pasukan sulit membedakan antara kombatan dan non kombatan. Hasilnya, pasukan penyerang cenderung untuk membunuh atau menyerang non kombatan selama operasi, yang cenderung menstimulasi kekebalan aktor lemah. Hipotesis 3: ketika aktor kuat menyerang menggunakan strategi tidak langsung dan aktor lemah melawan dengan menggunakan strategi langsung, aktor kuat dapat kalah (indirect attack vs direct defense). Karena kekuatan besar yang tersedia untuk aktor yang kuat menyiratkan kesuksesan melawan musuh yang lemah yang mencoba strategi pertahanan langsung, aktor kuat menggunakan strategi tidak langsung dengan cara menargetkan kehendak pihak yang membela diri untuk melawan. Aktor yang kuat akan kehilangan interaksi ini karena memakan banyak waktu dan cenderung ke arah barbarisme. Hipotesis 4: ketika aktor kuat menggunakan barbarisme untuk menyerang aktor lemah yang melawan dengan strategi gerilya, aktor kuat dapat menang (indirect attack vs indirect defense). Dari keempat hipotesis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam perang asimetris, aktor kuat cenderung akan menang dalam pendekatan interaksi yang sama dan kalah dalam interaksi pendekatan berlawanan. 3.2 Rezim Pendekatan kedua yang digunakan dalam karya tulis ini adalah liberalisme. Dalam paradigma liberalisme, sifat manusia (human nature) pada dasarnya Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 7 rasional.15 Perilaku buruk manusia, seperti ketidakadilan dan perang adalah hasil lembaga (institusi) sosial yang tidak memadai atau rusak dan karena kesalahpahaman di antara pemimpin. Liberal percaya bahwa ketidakadilan, perang, dan agresi bukanlah merupakan hal yang tidak dapat dihindari tetapi dapat dilunakkan atau bahkan dihilangkan melalui reformasi institusi atau tindakan kolektif. Dalam pandangan liberalisme, negara dianggap bukan satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Selain negara terdapat juga aktor non negara yang mempunyai pengaruh dan legitimasi yang independen dari negara. Sifat dasar sistem internasional adalah anarki yang tertib dan hirarki yang didukung oleh aaturan-aturan dan hukum internasional. Sifat dasar interaksi antar negara yakni kompetitif dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama dalam bidang ekonomi dan isu lainnya.16 Rezim internasional yang merupakan salah satu alternatif dari tipe institusi internasional untuk menyelesaikan konflik antar aktor dalam hubungan internasional, didefinisikan oleh Stephen Krasner sebagai “principles, norms, rules and decision-making procedures around which actor expectations converge in a given issue area.”17 Artinya terdapat aturan, prinsip, norma dan prosedur dalam sebuah rezim. Rezim dapat bersifat formal dalam bentuk institusi maupun informal dalam bentuk hukum adat, norma budaya, dan juga norma sosial. Dengan kata lain, rezim mengatur tindakan dan perilaku aktor negara maupun non negara dalam hubungan internasional terutama dalam konflik. Robert O. Keohane menambahkan bahwa dalam sebuah rezim tidak hanya terdiri dari norma, prinsip, dan aturan tetapi juga ada prosedur atau mekanisme yang mengatur bagaimana rezim tersebut diimplementasikan.18 Rezim dapat berupa konvensi, perjanjian internasional, perjanjian, atau lembaga-lembaga internasional. Rezim dapat ditemukan dalam berbagai bidang masalah, termasuk 15 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mohamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 23. 16 Perwita dan Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, 25. 17 Trevor C. Salmon dan Mark E. Imber (ed), Issues in International Relations: 2nd Edition, (New York: Routledge, 2008), 123. 18 Robert O. Keohane, The Demand for International Regimes, Vol.36, No.2, International Regimes (spring, 1982), 2. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 8 ekonomi, lingkungan, kepolisian, transportasi, keamanan, komunikasi, hak asasi manusia, kontrol senjata, bahkan hak cipta dan paten, dimana terdapat kepentingan yang sama antar aktor yang terlibat dalam rezim. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan Konvensi Senjata Kimia (KSK) merupakan contoh rezim yang mapan. 19 Robert Keohane juga menambahkan bahwa rezim digunakan untuk memfasilitasi aktoraktor internasional dalam membuat perjanjian dan kerjasama internasional. 20 Rezim bisa bilateral, multilateral, regional, maupun dalam lingkup global, yang sifatnya bisa dalam bentuk formal maupun informal. WTO adalah contoh yang baik dari sebuah rezim formal dan dilembagakan, sedangkan UNCLOS dan KSK memiliki struktur kelembagaan yang lebih sedikit yang mendukung mereka. Negara yang telah menerima ketentuan yang ditetapkan oleh rezim berada di bawah kewajiban untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Rezim mengandaikan bahwa negara memiliki kepentingan yang sama dalam berbagai isu dan bahwa kepentingan tersebut dapat dikoordinasikan dengan adanya aturan. Dengan kata lain, rezim menyediakan kerangka peraturan bagi negara-negara yang memfasilitasi kemiripan pemerintahan global.21 3.3 Sekuritisasi Pendekatan ketiga yang digunakan dalam karya tulis ini adalah konstruktivisme. Dalam paradigma konstruktivisme, perilaku negara dipengaruhi dan dikonstruksikan oleh struktur sosial. 22 Jadi, politik internasional diarahkan secara intersubjektif oleh norma, nilai, dan prinsip yang yang dilakukan oleh aktor internasional sehingga menjadi sebuah konstruksi sosial. Konstruktivis melihat terdapat hubungan antara struktur dan agen. Struktur dapat mendorong aktor atau agen untuk mendefinisikan kepentingan dan identitas mereka dalam proses sosialisasi. Negara dan kepentingan nasional adalah hasil dari identitas sosial 19 Keohane, The Demand for International Regimes, 3. Ibid, 332. 21 Martin Griffiths, Terry O’Callaghan, dan Steven C. Roach, International Relations: The Key Concepts Second Edition, (New York: Routledge, 2008), 27-62. 22 Viotti, Paul R. and Mark Kauppi, International Relations Theory, Fourth Edition. (London: Person Education Inc., 2010), 276-290. 20 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 9 aktor-aktor tersebut yang dilakukan berdasakan norma sosial.23 Sama halnya dengan hubungan internasional, keamanan dalam hubungan internasional juga dikonstruksikan secara sosial. Isu yang berkaitan dengan keamanan konstruktivisme tidak hanya berasal dari militer dan ancaman dari negara saja, tetapi lebih luas daripada hanya sekedar isu keamanan tradisional, seperti bidang politik, ekonomi, ekologi, dan sosial. Buzan melihat keamanan sebagai “freedom mempengaruhi self determination dan kedaulatan unit. from 24 threat”,yang Menurut Buzan dan Waever, sekuritisasi merupakan bagian dari proses politik yaang memperluas cakupan keamanan nasional konstruktivisme dari berbagai mendefinisikan keamanan bidang.25 Paradigma sebagai suatu hal dalam yang dikonstruksikan sehingga pergeseran sebuah isu menjadi isu keamanan juga dianggap sebagai ancaman. Sekuritisasi juga merupakan perluasan makna keamanan tradisional yang mana sumber ancaman nasional adalah ancaman militer, yaitu ancaman non tradisional yang bersifat non-militer seperti terorisme, kejahatan transnasional, isu lingkungan, migrasi ilegal, keamanan energi dan human security. Barry Buzan, Waever, dan den Wilde mendefinisikan sekuritisasi sebagai proses sekuritisasi dari militer ke isu/bidang lain seperti keamanan energi, lingkungan, proliferasi senjata ringan, kejahatan transnasional, termasuk terorisme. Dengan kata lain, sekuritisasi merupakan proses memaknai isu selain isu militer sebagai isu keamanan. Menurut Buzan dan Hansen, dalam sekuritisasi terdapat unsur-unsur penting yaitu (1) speech act, pernyataan disertai dengan tindakan yang mendeklarasikan sebuah kondisi darurat yang mengklaim hak unutk menggunakan cara apapun demi mengatasi ancaman (2) referent object, objek yang menjadi acuan sejauh mana keamanan itu dimaknai terhadap negara, individu, masyarakat, kolektif dan lingkungan; (3) securitizing actor, didefinisikan sebagai aktor yang 23 Karen A. Mingst, Essential of International Relations, (New york: W.W Norton Company, 2003), 76-79. 24 Ole Weaver, Securitization and Desucuritization, (New York: Columbia University Press, 1995), 46-86 25 Alan collins, Securitization, Contemporary Security Studies, (New York: Oxford University Press, 2007), 109-124 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 10 mensekuritisasi sebuah isu/masalah dengan mendeklarasikan sesuatu, pada umumnya aktor ini adalah pemimpin politik, birokrasi, pemerintah, lobbyists, dan pressure groups; (4) audience, publik yang menerima dan menyaksikan proses sekuritisasi terhadap suatu isu yang dianggap mengancam dan mentolerir atau menyalahkan tindakan yang dilakukan oleh aktor sekuritisasi dengan pertimbagan ancaman tersebut terhadap keamanan mereka; (5) existential threat, hal-hal yang kehadirannya bersifat mengancam dan dianggap perlu untuk disekuritisasi.26 Jadi prosesnya adalah keamanan melingkupi sebuah isu menjadi sebuah jenis politik khusus atau di atasnya dan spektrumnya beragam dari berbagai isu publik mulai dari yang tidak dipolitisasi (non-politicised - dimana negara tidak berurusan dengan hal tersebut) menjadi dipolitisasi (politicised – dimana masalah tersebut menjadi bagian dari kebijakan publik, membutuhkan keputusan dan alokasi perhatian dari negara) yang kemudian menjadi sekuritisasi karena masalah tidak lagi diperdebatkan sebagai pertanyaan politik tetapi langsung ditangani melalui fase yang dipercepat dan terdapat kemungkinan terjadi pelanggaran hukum dan sosial yang secara normal harus ditaati. 27 Sebagaimana yang dinyatakan Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde bahwa: “If by means of an argument about the priority and urgency of an existential threat the securitizing actor has managed to break free of procedures or rules he or she would otherwise be bound by, we are witnessing a case of securitization.” 28 Artinya, ketika aktor sekuritisasi melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang seharusnya ditaati demi meningkatkan prioritas dan urgensi dari sebuah existential threat yang ditolerir oleh audience, maka telah terjadi sekuritisasi. Jadi, sekuritisasi adalah proses meningkatkan level urgensi dan prioritas terhadap suatu isu yang mengancam dengan alasan kelangsungan hidup sehingga tindakan khusus selain penggunaan hukum dan politik dibenarkan untuk dilakukan sama halnya dengan menindak ancaman militer dalam keamanan tradisional. 26 Barry Buzan dan Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies, (New York: Cambrigde Univeristy Press, 2009), 214-217 27 Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis (London: Lynne Rienner, 1998), 23 28 Ibid., 25 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 11 I.4 Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis masing-masing paradigma, sehingga mendapatkan kesimpulan bahwa satu fenomena dapat dijelaskan melalui perspektif yang berbeda dalam hubungan internasional dan masing-masing memiliki kontribusi dalam ilmu hubungan internasional. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 BAB 2 PERANG ASIMETRIS AS DAN AL QAEDA Realisme melihat tindakan yang dilakukan AS dalam menghadapi terorisme al Qaeda sebagai bentuk perang asimetris. Bab ini menjelaskan interaksi strategis antara AS dan al Qaeda sebagai aktor dalam perang asimetris. Sehingga dapat menghasilkan satu kesimpulan yaitu kemenangan aktor dapat ditentukan dengan menganalisis interaksi strategis keduanya. 2.1 AS dan Al Qaeda Sebagai Aktor dalam Perang Asimetris Konflik yang mencuat antara AS dengan al Qaeda yang merupakan kelompok organisasi Islam radikal telah terjadi sejak lama. Perang melawan AS telah dinyatakan oleh Osama sejak tahun 1992 secara resmi sebagai fatwa yang berisi seruan untuk jihad kepada seluruh umat muslim seluruh dunia untuk melawan AS yang menentang dan menghambat pelaksanaan perintah Tuhan (dalam Islam).29 Sejak deklarasi tersebut al Qaeda melancarkan serangan ke wilayah-wilayah yang di dalamnya terdapat keterlibatan AS sebagai bentuk aancaman jika AS tidak menghentikan keterlibatan mereka. Dalam pernyataan resminya yang dipublikasikan melalui media massa, Osama mendeklarasikan mengapa mereka menyerang dan apa yang diinginkan mereka untuk AS lakukan.30 Dalam hal ini, AS dan al Qaeda merupakan aktor dalam perang asimetris. Sebagaimana dalam penjelasan teori bahwa dalam perang asimetris terdapat dua aktor yang kekuatan dan kapabilitasnya berbeda atau tidak seimbang, maka penulis akan memberikan perbandingan kapabilitas antara AS dan Al Qaeda. Terdapat perbedaan kapabilitas antara AS dan al Qaeda yang mengindikasikan kekuatan keduanya. Sebagai sebuah negara, AS memiliki 29 The 9/11 Commission Report: Final Report of the National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States, (USA: W.W. Norton & Company, Inc., ----), 59. 30 David Sobek, The Causes of War, (UK: Polity Press, 2009), 188. 12 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 13 kapasitas yang unggul kekuatan militernya di dunia.31 Hingga 2011, anggaran militer AS merupakan anggaran milter terbesar pertama di dunia yaitu 739,3 milyar dolar AS dengan angkatan bersenjata sebanyak 1,569 juta personil serta dilengkapi dengan 6.302 tank perang, 3.252 pesawat tempur, 71 kapal selam dan 450 misil.32 Tabel 2.1 Kekuatan Militer Global Ranking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 Negara USA Russia China India United Kingdom France Germany South Korea Italy Brazil Turkey Pakistan Israel Egypt Indonesia Iran Japan Taiwan Canada Thailand Mexico Ukraine Australia Poland Vietnam Sweden Saudi Arabia Ethiopia North Korea Spain Philippines Switzerland Malaysia South Africa Power Index 0,2475 0,2618 0,3351 04346 0,5185 0,6163 0,6491 0,6547 0,6838 0,6912 0,7059 0,7331 0,7559 0,7569 0,7614 0,7794 0,7918 0,8632 0,8638 0,8979 0,9144 0,9167 0,9386 0,9518 1,0676 10841 11038 11725 11754 11847 11871 12275 12475 12582 Ranking 35 36 37 3 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 Negara Argentina Nigeria Austria Algeria Syria Venezuela Colombia Norway Yemen Denmark Finland Kenya Singapore Afghanistan Greece Romania Serbia Chile Belgium Croatia Portugal Jordan Unated Arab Emirates Iraq Libya Georgia Mongolia Paraguay Kuawait Nepal Qatar Lebanon Uruguay Panama Power Index 1,2961 1,3441 1,3695 1,4107 1,4706 1,4905 1,5049 1,5138 1,5863 1,6116 1,6121 1,6237 1,6284 1,6381 1,6527 1,6555 1,6847 1,7081 1,7258 1,7405 1,7627 1,7775 1,8131 1,8133 1,8428 18539 2,0267 2,1201 2,1239 2,1578 2,4842 2,5049 2,5453 3,0508 Sumber: http://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp (telah diolah kembali) 31 AS merupakan negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia berdasarkan SDM, SDA, logistik, serta sistem persenjataann Data peringkat kekuatan militer negara-negara di dunia dapat dilihat secara lengkap di http://www.globalfirepower.com. 32 “Military Balance: The US and Other Key Countries”, BBC News, 5 Januari 2012, http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16428133, Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 14 Dengan melihat besarnya anggaran militer AS sebagai terbesar pertama tersebut maka dapat dikatakan bahwa AS sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia. Hal tersebut didukung dengan perhitungan data dalam Global Fire Power yang terdapat dalam tabel 2.1 di atas. Tabel tersebut menunjukkan kekuatan militer dari 68 negara yang mewakili kekuatan militer seluruh dunia.33 Perhitungan tersebut kemudianmenghasilkan power index dimana semakin kecil power index, maka semakin besar kekuatan militer negara tersebut. Dalam tabel 2 di atas, AS berada pada urutan pertama dengan power index paling kecil yaitu 0,2475. Artinya, AS memimpin kekuatan militer seluruh dunia yang berjumlah 68 negara. Hal tersebut mengindikasikan ketersediaan dan kesiapan kekuatan militer AS sebagai negara terkuat di dunia serta menunjukkan besaran pertahanan nasional AS dalam menghadapi isu yang mengancam negara. Dengan unggulnya posisi, tentu saja AS memiliki angkatan bersenjata dan sistem persenjataan yang tangguh. Selain itu, sebagai negara yang mendominasi dunia, AS juga beraliansi dengan negara-negara di dunia yang tergabung dalam berbagai organisasi atau asosiasi internasional seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO). Aliansi tersebut merupakan jaringan AS yang juga memperkuat dan memperluas dominasi AS di dunia. Sedangkan kapabilitas al Qaeda yang merupakan aktor non-negara berbeda dengan kapabilitas yang dimiliki oleh AS sebagai sebuah negara. Karena pada dasarnya sebagai kelompok teror yang sifatnya terselubung kegiatan penyediaan senjata, pelatihan, hingga pendanaan kegiatan al Qaaeda dilakukan secara terselubung agar tidak mudah dideteksi dan disadari oleh AS. Sehingga sulit untuk mendapatkan data yang konkrit mengenai besaran anggaran militer yang dimiliki al Qaeda untuk dapat dibandingkan dengan AS. Namun, kapabilitas selain anggaran militer yang dapat disajikan penulis yaitu jaringan dan pasukan militannya. Keterbatasan al Qaeda sebagai organisasi militan dan bukan aktor 33 Data dalam http://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp dihitung berdasarkan 40 faktor yang menetukanperingkat yaitu terdiri dari kekuatan SDM, kekuatan darat, kekuatan udara, kekuatan laut, sumber daya alam, logistik, finansial, serta faktor geografis. Data-data tersebut merupakan gabungan dari sumber resmi US Library of Congress, CIA World Factbook, EIA, energy.eu, Sipri.org, dan beberapa sumber data resmi lainnya. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 15 negara juga mempengaruhi ketersediaan sistem persenjataan yang dimiliki. Sehingga, al Qaeda lebih memanfaatkan sumber daya alam, teknologi, ideologi, media massa, dan lain sebagainya yang bersumber dari afiliasi. Al Qaeda memiliki jaringan yang tersebar di seluruh dunia yang membuat organisasi ini kuat secara internasional. Jaringan yang tergabung merupakan kelompok Islam radikal seperti kelompok ekstrimis Islam Sunni, al-Gamma’a Islamiya, Islamic Movement, Harakat ul-Mujahideen, Jama’a Islamiya, dan berbagai kelompok lainnya.34 Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa jaringan al Qaeda telah meluas ke banyak negara di dunia seperti Inggris, Belgia, Jerman, Prancis, Spanyol, Italia, Moroko, Maouritania, Mali, Pakistan, Saudi Arabia, Yemen, Uganda, Somalia, Kenya, Tanzania, Filipina, termasuk Indonesia.35 Jaringan organisasi yang luas tersebut berpusat di Afghanistan sampai menggulingkan Taliban tahun 2001 dan memecahkan diri menjadi kelompokkelompok kecil yang aktif di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara dan Timur Tengah.36 Gambar 2.1 Peta Persebaran Jaringan Al Qaeda di Dunia Sumber: http://www.bbc.co.uk/ 34 Untuk lebih jelasnya, jaringan global organisasi al Qaeda termasuk organisasi yang berafiliasi dengan organisasi teroris ini dapat diakses pada http://www.unitedstatesaction.com/al-qaedacells.htm. 35 “Al Qaeda Around The World”, BBC News, 5 Mei 2011, http://www.bbc.co.uk/news/world13296443. 36 Adjie. S., Terorisme, 283-284. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 16 Kekuatan militer al Qaeda di Afghanistan terdiri dari lebih 10 ribu tentara terlatih, termasuk hampir 3000 orang Arab yang berasal dari Afghanistan, yang disebut dengan Gerakan Tentara Islam (GTI).37 Batalion pasukan bunuh diri terdiri atas bom manusia telah dilatih untuk melaksanakan operasi-operasi teroris. Sebagian besar dari sumber daya manusia yang direkrut dari jaringan tersebut adalah orang-orang dengan pendidikan tinggi dan ahli dalam bidangnya seperti arsitektur, dokter, teknisi, dan sebagainya yang dapat mengoperasikan teknologi informasi canggih dan dapat merangkai perencanaan hingga pelaksanaan operasi. Dari data di atas, secara kuantitif AS lebih unggul dibandingkan al Qaeda. Kemudian, perbandingan kapasitas keduanya berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai aktor dalam perang asimetris, AS merupakan aktor yang kuat dan al Qaeda sebagai aktor yang lemah. Penentuan kekuatan kapabilitas yang dimiliki oleh kedua aktor tersebut digunakan oleh penulis untuk menganalisis interaksi strategis keduanya pada sub bab selanjutnya. 2.2 Interaksi Strategis AS dan Al Qaeda Pasca Serangan 9/11 hingga Kematian Osama bin Laden Sebagai aspek kualitatif, strategi merupakan unsur penting dalam perang asimetri. Hal ini dikarenakan dari interaksi strategis antara aktor kuat dan aktor lemah dapat menentukan pihak mana yang akan menang sesuai dengan strategi serangan yang digunakan oleh aktor yang terlibat. Strategi yang digunakan oleh AS dan al Qaeda yang menjadi unit analisa dalam sub bab ini. Berdasarkan dokumen nasional AS yang disahkan pada Februari 2003, strategi yang digunakan AS untuk melawan terorisme adalah dengan cara mengurangi jaringan dan kapabilitas al Qaeda melalui 4D Strategy (Defeat, Deny, Diminish, and Defend).38 4D Strategy termasuk di dalamnya peningkatan 37 Djelantik, Terorisme: tinjauan Psiko Politis, 42. 4D Strategy terdiri dari (1) defeat: menyerang kepemimpinan, pusat kontrol dan komunikasi serta keuangan. Tujuannya untuk menghancurkan koordinasi jaringan; (2) deny: memastikan negara-negara lain untuk menolak dan menentang untuk mendukung segala tindak terorisme dengan tujuan untuk melemahkan perlindungan dan sponsorship kelompok teroris; (3) diminish: mengurangi peluang teroris memperluas jaringan dengan memperkuat negara lemah dan merangkul komunitas internasional; dan (4) defend: memperluas pertahanan dalam dan luar negeri untuk memastikan perlindungan dan menetralisir ancaman sedini mungkin. Secara lengkap dapat 38 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 17 kapabilitas militer, memperketat sistem keamanan dan menyelidiki jaringan teror al Qaeda melalui agen intelejen nasional AS yaitu FBI (Federal Bureau of Investigation) dan CIA (Central Intellegence Agency), dan bekerja sama dengan kelompok anti-Taliban Afghanistan (anti-Taliban Afghan Northern Alliance) untuk menyerang kamp-kamp al Qaeda di Afghanistan.39 Gambar 2.2 Jaringan dan Kapabilitas al Qaeda Sumber: U.S. National Security Strategy Dapat dilihat dalam Gambar 2.2 bahwa al Qaeda saat ini merupakan jaringan global dan sebagai ancaman tingkat tinggi.40 Hal ini berdasarkan ideologi, sumber daya, kesamaan musuh, dukungan dan sponsor, dimana al Qaeda memiliki jaringan yang meluas secara global. Hal tersebut membuat ancaman terhadap keberadaan al Qaeda meningkat dan dikategorikan tinggi. Gambar 2.3 yang merupakan menunjukkan strategi AS untuk mengurangi jaringan dan kapabilitas al Qaeda hingga tingkat ancaman menurun dan jaringannya hanya dalam lingkup negara.41 Selain itu, AS juga membantu meningkatkan kapasitas dilihat dalam dokumen nasional AS “National Strategy For Combating Terrorism”, 9, http://www.whitehouse.gov/sites/default/files/rss_viewer/national_security_strategy.pdf. 39 Thomas J. Biersteker, Peter J. Spiro, Chandra Leha Sriram, dan Veronica Raffo (ed), International Law and International Relations: Bridging Theory and International Practice,(New York: Routledge, 2007), 115-116. 40 Berdasarkan dokumen nasional AS “National Strategy For Combating Terrorism”, Februari 2003, 10-13, http://www.whitehouse.gov/sites/default/files/counterterrorism_strategy.pdf. 41 National Strategy For Combating Terrorism, 13. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 18 pasukan keamanan Afghanistan (Afghan National Security Forces) yang dapat mendukung usaha AS dalam menyelidiki, mengintai, dan menyerang al Qaeda yang bermarkas di negara tersebut.42 Tindakan AS melawan terorisme juga tidak hanya pada Afghanistan, tetapi juga di Iraq, Pakistan, dan beberapa negara lainnya, didukung oleh pasukan NATO untuk menjalankan operasi militernya.43 Gambar 2.3 Target Strategi Melawan al Qaeda Sumber: U.S. National Security Strategy Berdasarkan Arreguin Toft, strategi yang dilakukan AS dalam menghadapi al Qaeda adalah bentuk dari barbarisme. Dalam pelaksanaannya, AS melakukan serangan terhadap al Qaeda di Afghanistan menggunakan kekuatan militer. Naumn, AS juga harus memiliki informasi atau data mengenai lokasi dan aktivitas target serangan untuk mendukung pelaksanaan operasi serangan yang didapatkan secara tidak langsung dengan menggunaakan intelijen (mata-mata), deteksi jarak jauh (teknologi), dan lain sebagainya. Sehingga, walaupun dalam kurun waktu sepuluh tahun upaya AS memerangi al Qaeda pasca serangan 9/11 hingga kematian Osama dengan mengkombinasikan strategi langsung dan tidak langsung, 42 “The 9/11 Terrorist Attacks”, diakses pada tanggal 19 November http://www.bbc.co.uk/history/events/the_september_11th_terrorist_attacks. 43 “Operation Active Endeavour”, diakses pada tanggal 2 Maret http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_7932.htm. 2012, 2013, Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 19 penulis mengidentifikasikan strategi yang digunakan AS sebagai strategi tidak langsung yaitu dalam bentuk barbarisme. Banyaknya masyarakat sipil yang tewas akibat invasi AS di Afghanistan dan Iraq, peningkatan kapasitas pasukan keamanan Afghanistan, serta penyiksaan dalam penjara Abu Ghraib dan Teluk Guantanamo menjadi karakter barbar AS.44 Selain itu, pernyataan AS untuk melawan terorisme secara global (Global War on Terror) yang membentuk opini publik internasional untuk memerangi ideologi radikal Islam juga menjadi karakter strategi tidak langsung karena strategi tidak ditargetkan langsung kepada al Qaeda namun melalui penciptaan persepsi ancaman terorisme dan Islam Radikal yang mampu menekan eksistensi al Qaeda. Setelah AS menyerukan perang global melawan terorisme, negara-negara di dunia turut mengecam tindak terorisme khususnya al Qaeda serta membentuk pasukan khusus dan undang-undang yang mengatur terorisme. Misalnya, Israel yang mendukung untuk menyerang PLO dan Hamas sebagai respon terhadap perang gblobal melawan terorisme, negara-negara Eropa Barat yang mendukung pernyataan GWOT AS, serta Inggris yang mengoperasikan pasukan khususnya di perbatasan Afghanistan.45 Sedangkan strategi serangan yang digunakan al Qaeda adalah dengan mengecohkan yang bertujuan untuk membuat AS mempertimbangkan kepentingan al Qaeda. Sama halnya dengan strategi yang digunakan oleh AS, strategi yang digunakan oleh al Qaeda merupakan bentuk dari barbarisme (indirect). Dalam pelaksanaannya, al Qaeda menyerang secara tidak langsung, artinya penyerangan tidak terhadap militer AS namun kepada titik-titik publik dan sipil. Serangan seperti ini yang merupakan tindakan barbarisme karena penyerangan dilakukan terhadap warga sipil yang merupakan non-kombatan. Hal ini dilakukan karena al Qaeda menyadari bahwa kekuatan pasukannya tidak sepadan dengan kekuatan militer yang dimiliki AS. Sehingga cara yang digunakan adalah dengan cara pengalihan target yaitu masyarakat sipil dan area publik. 44 Nick Turse, Kill everything that moves: the American way of war from Vietnam to Iraq to Afghanistan, diakses pada tanggal 2 Maret 2013, http://www.stopwar.org.uk/index.php/killeverything-that-moves-the-american-way-of-war-from-vietnam-to-iraq-to-afghanistan. 45 Jeremy Lewis, “International Terrorism and Response: Notes”, diakses pada tanggal 30 Juni 2013, http://fs.huntingdon.edu/jlewis/Outlines/TerrorismNotes.htm#examples. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 20 Beberapa taktik yang digunakan oleh al Qaeda yaitu (1) meningkatkan pesan video berisi ancaman serangan terhadap AS yang dikirim melalui media masa dan meningkatkan penggunaan internet untuk mengkoordinasi kegiatan jaringan global al Qaeda; (2) menciptakan keretakan antara AS dan sekutunya dengan cara menyerang Israel, Spanyol, Inggris, Jerman, dan kekuatan aliansi lainnya dalam upaya untuk melemahkan dukungan invasi AS ke Afghanistan, Iraq dan negara-negara target perang AS lainnya; (3) serta menyerang fasilitas penyediaan energi minyak di Timur Tengah dan sekitarnya yang merupakan jantung ekonomi AS dan negara-negara Barat lainnya. Dengan menargetkan sumber tersebut, maka dapat melemahkan dan menghambat kegiatan ekonomi AS sehingga pertahanannya juga akan ikut melemah.46 Al Qaeda juga memanfaatkan pandangan AS terhadap mereka bahwa kekuatan al Qaeda rentan (lemah) dari angka yang kecil, senjata mentah, dan pelatihan yang terbatas.47 Serangan September 2001 menjadi awal interaksi strategis antara AS dan Al Qaeda dan kematian Osama bin Laden pada tahun 2011 sebagai hasil akhirnya. Keberhasilan serangan al Qaeda pada tahun 2001 dikarenakan al Qaeda melakukannya secara diam-diam (gerilya). Sedangkan AS yang tidak menyadari aktivitas al Qaeda dan juga tidak memprediksi serangan terhadap homeland AS, menggunakan pertahanan langsung. Strateginya adalah dengan menggunakan pasukan militer untuk mempertahankan homeland security dan mencegah serangan terhadap wilayah militer AS dilakukan tanpa ada identifikasi terhadap aktor-aktor lain yang berpotensi mengancam dan mencegahnya. Strategi tidak langsung al Qaeda sebagai aktor lemah dan strategi langsung AS sebagai aktor kuat menghasilkan kemenangan bagi al Qaeda sebagaimana dalam hipotesis logika interaksi strategis Arreguin Toft. Kemudian dalam kurun waktu tersebut (2001-2011) AS dan al Qaeda saling menyerang satu sama lain dengan pendekatan strategi masing-masing. 46 Braniff, B. dan Moghadam, A, “Towards Global Jihadism: Al-Qaeda's Strategic, Ideological and Structural Adaptations since 9/11. Perspectives on Terrorism, North America”, diakses pada tanggal 5 Mei 2011, http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/branifftowards-global-jihadism. 47 Michael Breen dan Joshua A. Geltzer, “Asymmetric Strategies as Strategies of the Strong, 44”, diakses pada tanggal 29 November 2012, http://www.carlisle.army.mil/USAWC/parameters/Articles/2011spring/Breen-Geltzer.pdf. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 21 Kemudian pada 2011 menjadi titik puncak interaksi keduanya yang dimenangkan oleh AS. Kemenangan AS yang ditandai dengan penyerangan markas al Qaeda yang dikenal dengan operasi Geronimo yang dilakukan oleh pasukan NAVY SEALS AS pada Mei 2011.48 Pada operasi tersebut, pasukan AS dibantu dengan informasi intelejen termasuk dukungan pemerintah Afghanistan, berhasil menangkap Osama dan pasukan AS mendapatkan legitimasi untuk membunuh Osama. Dari interaksi strategis yang terjadi antara AS dan al Qaeda, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hasil perang asimetris tersebut adalah kemenangan bagi AS. Hal ini sesuai dengan hipotesis akhir interaksi strategis Arreguin Toft bahwa penggunaan strategi yang sama menghasilkan kemenangan bagi aktor kuat dan penggunaan strategi yang berbeda menghasilkan kekalahan bagi aktor kuat. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa AS menggunakan barbarisme walaupun tidak secara konstan, sedangkan al Qaeda juga menggunakan barbarisme. Artinya, strategi yang digunakan oleh keduanya merupakan strategi tidak langsung yang pada akhirnya AS (aktor kuat) berhasil mengalahkan al Qaeda (aktor lemah). 48 “Osama Bin Laden Operation Ended with Coded Message ‘Geronimo-E KIA’”, 2 Mei 2011, http://abcnews.go.com/Politics/osama-bin-laden-operation-code-geronimo/story?id=13507836. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 BAB 3 PELANGGARAN PATRIOT ACT TERHADAP REZIM INTERNASIONAL DAN UPAYA INTERNASIONALISASINYA Bab ini akan menjabarkan bagaimana paradigma liberalisme melihat tindakan AS dalam menghadapi terorisme al Qaeda dengan menggunakan teori rezim internasional. Dengan menjelaskan rezim internasional terkait dengan perang global melawan terorisme (global war on terror), karya tulis ini menganalisis bagaimana upaya AS untuk menginternasionalisasikan PATRIOT ACT terhadap sekutunya sehingga mendukung global war on terror dengan PATRIOT ACT sebagai landasan hukumnya. 3.1 Rezim Internasional yang Berkaitan Dengan Terorisme Paradigma liberalisme melihat bahwa dalam hubungan internasional dengan sistem yang anarki, sebuah rezim internasional penting untuk dapat mengatur dan membatasi perilaku aktor-aktor untuk menciptakan dan menjaga kestabilan sistem. Sehingga konflik dapat diminimalisir atau dapat diselesaikan dengan adanya rezim tersebut. Perang merupakan sebuah aktivitas yang lazim dalam dunia internasional. Untuk itu, rezim internasional yang mengatur perang (hukum perang) diperlukan terkait pelaksanaan perang, senjata yang digunakan, tindakan terhadap korban perang, penghukuman tahanan, dan sebagainya. Merespon serangan terorisme 9/11, PBB kemudian memperkuat peranannya dalam menangani terorisme. Dengan menciptakan 13 konvensi dan 16 instrumen legal universal berkaitan terorisme, PBB mewajibkan aturan-aturan yang terdapat di dalamnya ke negara-negara anggota.49 Berikut beberapa konvensi/perjanjian 49 PBB melaporkan bahwa 13 instrumen dan tiga amandemen telah dikembangkan dan diadopsi di bawah naungan PBB dan organisasi antar pemerintah terkait. Sebagian besar instrumen ini berlaku dan memberikan kerangka hukum bagi tindakan internasional melawan terorisme dan mengkriminalkan tindakan spesifik terorisme, termasuk pembajakan, penyanderaan, teror bom, pembiayaan terorisme dan terorisme nuklir. Intrumen-instrumen tersebut dilengkapi dengan resolusi Majelis Umum (49/60, 51/210 dan 60/288) dan Dewan Keamanan 1267 (1999), 1373 (2001), 1540 (2004), 1566 (2004) dan 1624 (2005), dapat dilihat secara lengkap dalam http://www.un.org/terrorism/instruments.shtml. 22 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 23 yang menjadi bagian dari rezim internasional berkaitan dengan terorisme tersebut yaitu:50 1. Universal Declaration of Human Right 1948 2. Konvensi-konvensi den Haag 1907 (Hukum den Haag) 3. Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Hukum Jenewa) 4. Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft tahun 1963 (Konvensi Aircraft) 5. Convention for Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft tahun 1970 (Unlawful Seizure Convention) 6. Convention for Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation tahun 1971 (Civil Aviation Convention) 7. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons tahun 1973 (Diplomatic Agents Convention) 8. International Convention against the Taking of Hostages tahun 1979 (Hostages Convention) 9. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material tahun 1979 10. Convention for the Suppression of Unlawful Act against the Safety Maritime Navigation tahun 1988 (Maritime Convention) 11. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, melengkapi the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation tahun 1988 (Airport Protocol) 12. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf tahun 1988 (Fixed Platform Protocol) 13. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection tahun 1991 (Plastic Explosives Convention) 50 Konvensi den Haag dan Konvensi Jenewa sebagai sumber hukum perang dapat dilihat dalam KGPH, Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 6-7 dan Konvensi lainnya dapat dilihat dalam situs resmi PBB, http://www.un.org/terrorism/instruments.shtml. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 24 14. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings tahun 1997 15. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism tahun 1999 16. International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism tahun 2005 (Nuclear Terrorism Convention) 17. Convention on the Suppression of Unlawful Acts Relating to International Civil Aviation tahun 2010 (New civil aviation convention) Konvensi-konvensi di atas dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian. Pertama, rezim yang berkaitan dengan HAM seperti Universal Declaration of Human Right 1948, Konvensi-konvensi den Haag 1907 (Hukum den Haag), dan Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Hukum Jenewa). Kedua, rezim yang berkaitan dengan pengamanan dan perlindungan transportasi seperti Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft tahun 1963 (Konvensi Aircraft), Convention for Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft tahun 1970 (Unlawful Seizure Convention), dan Convention for Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation tahun 1971 (Civil Aviation Convention). Ketiga, rezim yang berkaitan dengan penyebaran dan penggunaan bahan berbahaya dan senjata pemusnah masal seperti Plastic Explosives Convention, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material tahun 1979 dan International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism tahun 2005 (Nuclear Terrorism Convention). Keempat, rezim yang berkaitan dengan aksi terorisme seperti International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings tahun 1997 dan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism tahun 1999. Sebagai rezim internasional, hukum-hukum tersebut memiliki aturan, prosedur dan mekanisme serta norma/prinsip terkait perang melawan terorisme. Aturan dalam rezim tercakup pada definisi terorisme, kegiatan terorisme, kerangka obligasi bagi negara-negara, termasuk langkah untuk mencegah dan bekerja sama dalam pengadilan (prosecution).51 Mekanisme dan prosedur yang 51 Helen Duffy, The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law, (New York: Cambridge University Press, 2005), 23. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 25 disediakan juga diatur dalam pasal-pasal konvensi. Mekanisme dan prosedur ini terkait perlindungan korban perang, perlakuan terhadap tahanan perang, pembedaan kombatan dan non kombatan, serta bagaimana proses penahanan dan pengadilan dilakukan. Konvensi-konvensi tersebut mengharuskan masing-masing negara untuk mengimplementasikan rezim internasional ke dalam hukum domestik.52 Dalam rezim-rezim tersebut juga terdapat prinsip-prinsip yang mendasari tindakan untuk melawan terorisme. Pertama, prinsip legalitas yang berkaitan dengan yuridiksi dan pengadilan. Artinya, tindakan perang melawan terorisme harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku baik secara domestik maupun internasional.53 Prinsip ini terkait bagaimana mengadili teroris secara sah dalam hukum nasional maupun internasional. Jika secara nasional permasalahan phukum pengadilan tidak dapat diselesaikan, maka yurisdiksi internasional harus ikut andil, seperti International Criminal Court (ICC) dan International Court Justice (ICJ).54 Kedua, prinsip universalitas atau yuridiksi universal yang melegalkan atau memungkinkan negara mengadili tindak kejahatan terlepas dari tempat tinggal dan kewarganegaraan pelaku.55 Hal tersebut didasarkan pada gagasan bahwa kejahatan tertentu seperti terorisme berbahaya bagi kepentingan internasional sehingga proses pidana dapat menggunakan hukum nasional tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku.56 Prinsip tersebut tercantum dalam Konvensi Jenewa 1949.57 Ketiga, asas kedaulatan negara dan non-intervensi, artinya penegakan hukum tidak boleh melampaui legitimasi dan supremasi suatu negara yang berdaulat.58 Jadi, penindakan terhadap suatu tindak kriminal tidak 52 Helen Duffy, The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law, 24. Ibid., 76-77. 54 Ibid., 93. 55 Kenneth C. Randall, Universal jurisdiction under international law, (Texas Law Review, No. 66 (1988), 785–788. 56 Mary Robinson, ‘Foreword’, The Princeton Principles on Universal Jurisdiction, (Princeton University Press, Princeton, 2001), 16. 57 Dasar asas universalitas rezim internasional dalam Konvensi Jenewa 1949 seperti Konvensi Jenewa I pasal 1 dan 49, Konvesi Jenewa II pasal 50, Konvensi Jenewa III pasal 129, dan Konvensi Jenewa IV pasal 146. 58 Kedaulatan suatu negara terkait membuat hukum, bertindak secara independen dalam hubungan internasional, mengontrol teritori dan warga negaranya, serta memanfaatkan sumber daya yang ada. 53 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 26 boleh menabrak aspek kedaulatan suatu negara, misalnya intervensi. Keempat, prinsip integritas teritorial yang berkaitan dengan kesatuan dan batas wilayah. Jadi, tindakan melawan terorisme harus tetap menjaga agar integritas teritorial suatu negara tetap utuh.59 Kelima, sas perlakuan hukum yang adil dimana penegakan hukum sesuai dengan tindakan pelanggaran yang dilakukan. Keenam, asas nasional aktif yang artinya udang-undang suatu negara dapat berlaku terhadap pelaku pidana yang tindak pidananya dilakukan di luar negara asalnya.60 Ketujuh, prinsip humaniter yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti HAM, pembedaan antara kombatan dan non kombatan, perlindungan terhadap korban perang, serta pencegahan serangan demi meminimalisasi korban.61 Konvensi-konvensi tersebut beserta unsur-unsurnya sebagai rezim internasional disepakati bersama oleh partisipan konvensi. Walaupun demikian, AS membentuk undang-undang baru khusus untuk menghadapi isu terorisme. Namun, undang-undang tersebut bertentangan dengan prinsip dalam rezim internasional yang berkaitan dengan terorisme. Selain itu, unsur-unsur dalam rezim internasional tersebut juga menjadi analisis dalam sub bab selanjutnya. 3.2 Patriot Act sebagai Undang-Undang Khusus Anti Terorisme AS dan Pelanggarannya Sejak terjadinya serangan 9/11, AS memberlakukan undang-undang nasional baru yang disebut Patriot Act 2001, yang melarang keras tindak terorisme dan melawan secara preemptif termasuk peamberlakuan sanksi terhadap segala bentuk dukungan terhadap terorisme.62 USA PATRIOT ACT atau Patriot Act merupakan singkatan dari Uniting an Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001, 59 Sharon Korman, The Right of Conquest: The Acquisition of Territory by Force in International Law and Practice.( Oxford: Clarendon, 1996), 132-136. 60 Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Criminal Law, (London: Cavendish Publishing, 2003), 151. 61 Chaloka Beyani, International Law and the “War on Terror”’, dalam Joanna Macrae and Adele Harmer (eds), Humanitarian Action and the ‘Global War on Terror’: A Review of Trends and Issues, HPG Report 14 (London: ODI, 2003), 3, diakses pada tanggal 10 Maret 2013, .http://www.odi.org.uk/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinion-files/353.pdf 62 Ibid., 166. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 27 yang ditandatangani oleh Presiden Bush pada tanggal 26 Oktober 2001. Patriot Act yang merupakan respon dari serangan 9/11, bertujuan untuk menangani terorisme melalui penegakan hukum disertai prioritas terhadap isu terorisme juga peningkatan otoritas pihak berwenang yang melaksanakan dan menindak. Patriot Act terdiri dari 10 pasal yang masing-masing terdapat beberapa ayat yang lebih spesifik mengenai penanganan terorisme. Pasal-pasalnya adalah: (1) meningkatkan keamanan nasional melawan terorisme; (2) meningkatkan prosedur pengawasan; (3) pengurangan pencucian uang internasional dan UU pendanaan anti-teroris 2001; (4) melindungi perbatasan; (5) menghapuskan hambatan dalam penyelidikan terorisme; (6) menyediakan perlindungan bagi korban terorisme, petugas keselamatan publik, dan keluarga mereka; (7) meningkatkan information sharing untuk perlindungan infrastruktur; (8) memperkuat hukum meningkatkan intelijen; dan (10) lain-lain. 63 pidana terhadap terorisme; (9) Dalam pasal-pasal tersebut terdapat aturan, norma, dan prinsip serta mekanisme/prosedur yang digunakan AS untuk menangani dan menindak terorisme. Terdapat aturan dan norma yang dibentuk AS melalui Patriot Act yang cenderung memprioritaskan peningkatan otoritas dan hak pemerintah untuk menyelidiki, menindak, dan mengawasi aktivitas dan segala hal yang berpotensi terorisme. Sedangkan prinsip yang mendasari Patriot Act adalah perlindungan keamanan dan penegakan hukum. Selain itu, dalam Patriot Act juga terdapat mekanisme mengenai bagaimana tindakan peningkatan keamanan, perlindungan, pengawasan, dan penyelidikan itu dilakukan dan dibatasi. Patriot Act ini bersifat represif, artinya tindakan yang dilakukan cenderung agresif dan koersif serta bersifat menekan/menindas. Hal ini dilakukan sebagai langkah yang tepat untuk melawan dan menghadapi terorisme yang sifatnya juga radikal. Secara nasional aktif, AS menindak pihak yang berpotensi teroris dalam domestik negaranya. AS juga membelakukan prinsip universalitas melihat pelaku teroris yang berasal dari 63 “USA PATRIOT ACT 2001” dapat dilihat lebih lengkap dan dijelaskan secara rinci dalam dokumen resmi AS, diakses pada tanggal 20 Desember 2012, http://www.gpo.gov/fdsys/pkg/PLAW-107publ56/pdf/PLAW-107publ56.pdf. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 28 neara lain seperti Afghanistan dan Iraq untuk kemudian ditahan dan diadili secara internasional. Dalam pelaksanaannya, hingga kematian Osama bin Laden sebagai pemimpin kelompok teroris al Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan 9/11, tindakan AS berlandaskan pada beberapa prinsip seperti prinsip legalitas yang tercantum dalam pasal 8 Patriot Act, dan prinsip integritas wilayah dalam pasal 4 Patriot Act. Hal ini dapat dilihat dari tindakan AS yang secara tegas dan konsisten menegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh paratersangka teroris dan upaya keras AS untuk menjaga dan menjaga kesatuan wilayah dari ancaman terorisme. Namun, selain itu juga terdapat berbagai pelanggaran yang menjadi kontroversi dari keberadaan undang-undang ini baik dalam lingkungan domestik maupun internasional. Di lingkungan nasional, pelaksanaan Patriot Act ini pada awalnya sangat didukung oleh masyarakat AS yang mengalami dan menyaksikan aksi teror di tanah air. Namun, pada akhirnya, masyarakat AS kemudian menyadari bahwa pelaksanaan Patriot Act yang memberikan hak khusus kepada pihak-pihak tertentu seperti pemerintah, FBI, CIA, pasukan bersenjata, kepolisian dan lainnya dianggap berlebihan dan melanggar kebebasan masyarakat sipil AS. Hal ini dikarenakan hak interogasi, penyelidikan, investigasi, kegiatan intelijen dalam mendapatkan informasi melalui penyadapan informasi, data dan lain sebagainya dianggap mengganggu privasi dari masyarakat sipil. Otoritas tersebut diatur dalam pasal 2 Patriot Act mengenai upaya memperbanyak prosedur pengawasan. Pasal tersebut membuat kerahasiaan dan keleluasan masing-masing pribadi individu menjadi terbatas dan menjadi terbuka.64 Pasal yang mengatur imigrasi yaitu pasal 4 Patriot Act mengenai perlindungan perbatasan juga dianggap diskriminatif dan tidak adil. Hal tersebut dikarenakan syarat dan prosedur yang ketat mempersulit kegiatan masyarakat sipil lintas batas wilayah. Selain itu, generalisasi terhadap imigran-imigran yang dicurigai sebagai teroris tidak berdasarkan bukti-bukti yang kuat misalnya penolakan kedatangan imigran hanya karena nama imigran tersebut mengandung unsur Islam yang telah 64 “Surveillance Under the US PATRIOT Act”, 10 Desember 2010, http://www.aclu.org/nationalsecurity/surveillance-under-usa-patriot-act. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 29 ditentukan AS dalam 9/11 Commission Report.65 Diskriminasi masyarakat sipil tersebut melanggar prinsip humaniter dalam rezim internasional yaitu dalam Deklarasi Universal HAM pasal 7 yang menyatakan bahwa, “All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination”. Artinya, semua orang sama dan tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun serta terdapat perlindungan hukum dari tindak diskriminasi. Dalam lingkup internasional, penanganan terorisme dengan menggunakan Patriot Act juga memunculkan komentar negatif dari masyarakat internasional. Tindakan serangan langsung terhadap kamp-kamp al Qaeda termasuk yang dicurigai merupakan aktivitas teroris dianggap melanggar nilai-nilai hukum humaniter seperti yang tertera dalam Konvensi Jenewa dimana terdapat pembedaan antara kombatan dan non-kombatan dalam perang serta larangan dan perlindungan untuk tidak menyerang non kombatan musuh.66 Serangan AS ke wilayah negara Afghanistan tersbeut melanggar prinsip kedaulatannegara yang dimiliki Afghanistan. Selain itu, berdasarkan laporan International Court of Justice (ICJ), AS merupakan salah satu negara yang memanfaatkan ketakutan pada terorisme untuk menerapkan langkah-langkah ilegal seperti penyiksaan, penahanan tanpa pengadilan, termasuk penculikan.67 Misalnya kehadiran kamp tahanan militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba yang menimbulkan pertanyaan mengenai kelangsungan hidup tahanan perang tanpa pengadilan. Dalam kasus tersebut, tahanan perang yang berada di Teluk Guantanamo tidak diadili sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Hukum Jenewa.68 65 The 9/11 Commission Report: Final Report of the National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States, (USA: W.W. Norton & Company, Inc., ----). 66 Pembedaan antara kombatan dan non kombatan tersebut diatur dalam Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang berkaitan dengan Perlindungan Masyarakat Sipil dalam Perang yang diatur dan dijabarkan secara rinci dalam dokumen resmi The International Committee of the Red Cross. 67 ICJ Kecam Taktik Anti-Teror, 17 Februari 2009, http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/internasional/09/02/17/31933-icj-kecam-taktik-anti-teror. 68 Pasal-pasal dalam Hukum Jenewa 12 Agustus 1949 yang mengatur tentang perlakuan terhadap tawanan perang terkait bagaimana menentukan tahanan perang, menindak, mengadili serta menjatuhkan hukum kepada mereka. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 30 Pembentukan undang-undang anti teror – Patriot Act ini memunculkan pertanyaan mengapa AS tidak menggunakan Konvensi Jenewa atau perjanjian/konvensi internasional terorisme lainnya sebagai dasar tindakannya. AS malah membentuk norma baru yang legalitasnya nasional namun diimplementasikan juga secara internasional (di luar nasional AS). Menurut penulis, hal ini dilakukan karena AS memasukkan terorisme sebagai isu yang urgen dan menjadikannya prioritas sehingga dibutuhkan aturan yang sesuai dengan kepentingan nasional dimana pembentukan norma baru ini tidak membatasi AS dalam memerangi terorisme. AS juga menyadari adanya batasan dalam bertindak jika menggunakan Konvensi Jenewa dan perjanjian internasional anti terorisme lainnya, sehingga AS memilih untuk membentuk undang-undang baru yang legal secara nasional yang merupakan tindakan cepat untu menangani terorisme pasca serangan 9/11. Hal tersebut memungkinkan kepentingan AS untuk mengalahkan terorisme dapat tercapai tanpa adanya hambatan hukum internasional. Namun, pada prakteknya, Patriot Act ini bertabrakan dengan rezim internasional yang sudah ada, dimana terdapat pelanggaran prinsip dan ketidaksesuaian pelaksanaannya dengan rezim internasional sebagai hukum legal internasional. Jadi, pada dasarnya Patriot Act yang dibentuk AS ini tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip dalam rezim internasional yang sudah ada. Walaupun dalam pelaksanaannya konsisten terhadap beberapa prinsip rezim internasional, namun AS cenderung menggunakan prinsip dalam Patriot Act yang sebenarnya bertolak belakang dengan rezim internasional tersebut. Sehingga secara hukum legal, Patriot Act tidak menggantikan ataupun memperkuat rezim internasional yang sudah ada, melainkan undang-undang khusus berdiri sendiri untuk menangani terorisme. 3.3 Upaya Internasionalisasi Patriot Act melalui Global War on Terror AS menyadari bahwa Patriot Act tidak dapat dipraktekkan dalam internasional karena Patriot Act yang merupakan hukum domestik (nasional). Sedangkan masalah terorisme yang diperangi AS berada di luar teritori nasional AS. Hal ini membuat AS berupaya untuk melakukan internasionalisasi terhadap Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 31 Patriot Act. Setelah serangan 9/11, status kontra-terorisme sebagai kebijakan keamanan nasional negara meningkat dan dari dimensi internasional kontraterorisme menjadi lebih menonjol.69 Kondisi ini dimanfaatkan oleh AS untuk menginternasionalisasikan Patriot Act agar dapat menjadi salah satu hukum legal internasional untuk menghadapi terorisme. Global war on terror atau perang global melawan terorisme merupakan kampanye yang digunakan AS pasca serangan 9/11 oleh pemerintahan Bush. Dalam pidatonya pasca 9/11, Bush menyatakan "Our war on terror will not end until every terrorist group of global reach has been found, stopped and defeated."70 Artinya, perang melawan terorisme harus dilakukan secara global agar jaringan terorisme yang menyebar secara global ini juga dapat dikalahkan dan dihentikan. Dengan menyerukan perang global melawan terorisme tersebut, maka negara-negara di dunia juga harus berpartisipasi dan mendukung pengecaman terhadap tindak terorisme. Dengan dalil “global” yang dikampanyekan dapat memudahkan AS untuk dapat menginternasionalisasikan Patriot Act. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan AS untuk dapat menginternasionalisasikan Patriot Act terhadap sekutu-sekutunya. Salah satu upaya tersebut adalah melalui PBB. Dengan memobilisasi Dewan Keamanan PBB, AS mewajibkan semua negara anggota PBB untuk memberlakukan Patriot Act dalam hukum domestik masing-masing negara.71 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1373 (2001) dan 1624 (2005).72 Kemudian dibentuk Counter-Terrorism Commitee (CTC) dengan kedua resolusi tersebut sebagai panduannya. CTC bertujuan untuk meningkatkan kemampuan negara anggota 69 Dimitros Anagnostakis, “Regime Theory and Global Counter-Terrorism: Some Starting Points”, 19 Oktober 2012, http://www.e-ir.nfo/2012/10/19/regime-theory-and-global-counter-terrorismsome-starting-points/. 70 Scott Wilson dan Al Kamen, “Global War on Terror is Given New Name”, 25 Maret 2009, http://articles.washingtonpost.com/2009-03-25/politics/36918330_1_congressional-testimonyobama-administration-memo. 71 Kim Schepelle, “The Global Patriot Act”, diakses pada tanggal 15 Mei 2013, http://prospect.org/article/global-patriot-act. 72 Resolusi 1373 menyerukan negara anggota untuk mengimplementasikan langkah-langkah yang disediakan untuk meningkatkan kemampuan hukum dan kelembagaan dalam menghadapi terorisme serta mewajibkan pemerintah untuk bergabung dengan kampanye anti-terorisme baru yang ambisius. Sedangkan Resolusi 1624 menyerukan negara anggora untuk melarang dan mencegah segala tindakan terorisme secara hukum. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 32 untuk mencegah tindakan teroris baik di dalam perbatasan maupun antar wilayah.73 Uni Eropa, Uni Afrika, Organisasi Negara-negara Amerika, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa, Asosiasi Negara Asia Tenggara, Liga Arab, dan organisasi lainnya mendukung rencana Dewan Keamanan dan diperlukan negara-negara anggota mereka untuk memenuhi kewajiban tersebut.74 AS sebagai anggota G7 juga menambahkan standar dan beberapa rekomendasi dalam memerangi finansial teroris melalui Financial Action Task Force on Money Laundering (FTAF) pasca serangan 9/11. FATF merupakan badan antar-pemerintah yang didirikan pada tahun 1989 oleh negara-negara anggota G-7 yang bertujuan untuk menetapkan standar dan mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari langkah-langkah hukum, peraturan dan operasional untuk memerangi pencucian uang, pendanaan teroris dan ancaman terkait lainnya untuk integritas sistem keuangan internasional. Saat ini FATF telah memiliki standar internasional dan rekomendasi dalam melawan tindak pencucian uang yang telah disetujui internasional.75 Selain itu, pemerintah AS juga membentuk beberapa program untuk melawan terorisme seperti CSI, PSI dan MDA. Pertama, CSI (Containter Security Initiative) yang dibuat oleh US Custom yang bertujuan untuk memastikan semua containers yang berpotensi terorisme dapat dideteksi dan diidentifikasi di pelabuhan asing sebelum masuk ke AS.76 Kedua, The Proliferation Security Initiative (PSI) sebagai upaya global untuk menghentikan perdagangan senjata pemusnah masal, sistem pengirimannya, dan hal terkait proliferasi lainnya jatuh ke tangan teroris.77 Ketiga, Maritime Domain Awareness (MDA) yang merupakan pemahaman efektif mengenai segala hal terkait wilayah maritim global yang dapat berdampak pada keamanan, perlindungan, ekonomi atau lingkungan AS bertujuan 73 “Counter-Terrorism Committee”, diakses pada tanggal 15 http://www.un.org/en/sc/ctc/. 74 Kim Schepelle, “The Global Patriot Act”. 75 “History of the FTAF”, diakses pada tanggal 20 Mei 2013, gafi.org/pages/aboutus/historyofthefatf/. 76 “CSI in Brief”, diakses pada tanggal 20 http://www.cbp.gov/xp/cgov/trad.e/cargo_security/csi/csi_in_brief.xml. 77 “Proliferation Security Initiative”, diakses pada tanggal 20 http://www.state.gov/t/isn/c10390.htm April 2013, http://www.fatfMei Mei 2013, 2013 , Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 33 untuk mengurangi potensi ancaman teroris melalui wilayah maritim di dunia yang dapat membahayakan AS.78 Walaupun sebagian besar negara sekutu AS mematuhi dan mengimplementasikan regulasi dan memasukkan Patriot Act dalam hukum nasional masing-masing negara, namun masih ada beberapa negara yang tidak patuh dan bahkan beberapa tergolong sebagai negara sponsor terorisme. Negara tersebut seperti Syria, Kuba, Iran dan Sudan (masih hingga saat ini) dan beberapa negara seperti Korea Utara dan Israel juga pernah masuk daftar tersebut.79 Adapun sanksi yang dikenakan AS terhadap negara yang masuk daftar blacklist adalah pembatasan bantuan luar negeri AS, larangan ekspor, kontrol ekspor, pembatasan keuangan dan pembatasan lainnya.80 FATF juga mendaftar negara yang tidak mematuhi dan berpotensi dapat mengganggu sistem keuangan internasional yaitu Iran, Ekuador, Ethipia, Indonesia, Kenya, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Syria, Tanzania, Turki, Vietnam dan Yemen.81 Penulis menganalisis bahwa AS melakukan upaya internasionalisasi Patriot Act karena aturan dan ketentuan yang terdapat dalam Patriot Act disusun dengan menyesuaikan kepentingan AS untuk memerangi terorisme tanpa adanya hambatan. Jadi, karena Patriot Act sesuai dengan kepentingan nasional AS, maka pemerintah Bush mengupayakan internasionalisasi hukum tersebut dengan menyerukan global war on terror. Sehingga tindakan AS untuk memerangi terorisme menggunakan undang-undang tersebut dapat didukung internasional. Internasionalisasi dilakukan oleh AS karena Patriot Act menabrak prinsipprinsip yang terdapat dalam rezim internasional. Selain itu, tindakan AS menyerang dan mengadili kelompok teroris juga menuai kritik dari internasional. Hal tersebut membuat AS berupaya untuk membuat Patriot Act agar disetujui oleh koalisinya dan mendukung tindakan represif terhadap terorisme serta secara 78 Dokumen Nasional AS, diakses pada tanggal pada tanggal 20 Mei 2013 http://www.navy.mil/navydata/cno/Navy_Maritime_Domain_Awareness_Concept_FINAL_2007. pdf. 79 “State Sponsors of Terrorism”, diakses pada tanggal 6 Mei 2013, http://www.state.gov/j/ct/list/c14151.htm 80 Ibid. 81 FTAF Public Statement 22 February 2013, diakses pada tanggal 6 Mei 2013, http://www.fatfgafi.org/topics/high-riskandnoncooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatement22february2013.html. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 34 bersama-sama memerangi terorisme melalui undang-undang anti terorisme tersebut. Selain itu, terorisme muncul sebagai isu keamanan transnasional yang cukup menekan terutama sejak serangan 9/11. Sehingga dibutuhkan kerjasama internasional dan aturan baru yang memadai.82 Artinya, sebagai isu keamanan transnasional, negara-negara internasional harus bekerja sama untuk melawan terorisme. Dengan adanya kerjasama internasional dengan Patriot Act sebagai dasar tindakan dalam memerangi terorisme secara global, maka AS dapat berhasil mengalahkan terorisme al Qaeda berikut jaringan globalnya. Jadi, upaya internasionalisasi Patriot Act dilakuka AS untuk mendapatkan dukungan internasional dalam memerangi terorisme mealui kampanye perang global melawan terorisme. Selain itu, AS juga menginginkan negara sekutunya untuk menyetujui undang-undang tersebut sebagai hukum legal untuk menghadapi terorisme internasional terutama mengalahkan al Qaeda. adapun persetujuan tersebut adalah dengan mendukung dan mengimplementasikan nilai dan unsur dalam Patriot Act ke dalam undang-undang nasional negara masing-masing. Setujunya negara-negara anggota PBB terhadap resolusi 1373, dibentuknya CTC dengan dasar hukum Patriot Act dan mengimplementasikannya dalam undangundang domestik masing-masing negara serta patuhnya sebagian besar negara sekutu terhadap program-program yang dibentuk AS menjadi bukti upaya internasionalisasi undang-undang tersebut. Namun, Patriot Act belum dianggap menggantikan rezim yang sudah ada karena keberadaan rezim internasional yang sudah ada tersebut berlaku secara universal dan masih relevan dengan lingkungan internasional saat ini. Setidaknya, AS berhasil menginternasionalisasikan Patriot Act kepada koalisinya untuk bersama memerangi terorisme dan menyetujui tindakan global war on terror melalui Patriot Act yang diaplikasikan secara domestik juga. 82 Eriksson Johan, dan Mark Rhinard, “The Internal-External Security Nexus: Notes on an Emerging Research Agenda”, Cooperation and Conflict 44, no. 3 (September 2009), 247. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 BAB 4 SEKURITISASI TERORISME OLEH AS DALAM MENGHADAPI AL QAEDA Bab ini memaparkan pandangan konstruktivisme terhadap tindakan AS dalam menghadapi terorisme pasca serangan 9/11 oleh al Qaeda yaitu sebagai bentuk sekuritisasi terhadap isu terorisme dengan mengidentifikasi unsur-unsur dalam proses sekuritisasi dan menjelaskan bagaimana proses sekuritisasi terorisme berlangsung hingga toleransi dan protes dari audiens terhadap pelanggaran yang dilakukan demi memerangi terorisme. Hingga kemudian dapat dipahami bagaimana AS mengkonstruksikan terorisme bukan lagi sebagai tindak kriminal tetapi merupakan ancaman keamanan serta ancaman tersebut tidak hanya sebagai ancaman nasional tetapi juga sebagai ancaman internasional. 4.1 Terorisme sebagai Isu Ancaman dan Prioritas Keamanan Nasional AS Dari segi keamanan tradisional, suatu negara mengidenfikasikan sebuah ancaman ketika ancaman tersebut berasal dari luar negara dan merupakan ancaman yang bersifat militer. Seiring berjalannya waktu, ancaman tidak hanya muncul sebagai ancaman dari militer saja, melainkan isu non militer lainya yang dikenal sebagai isu non tradisional. Isu-isu non tradisional seperti perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, perdagangan manusia, termasuk terorisme diantaranya juga merupakan isu yang dipertimbangkan sebagai ancaman bagi suatu negara. Sejak masa pemerintahan Reagan tahun 1980an, AS memperluas makna keamanan nasional dalam hal melindungi rakyat Amerika, teritori, dan nilai dari unwanted depredation but thugs or drugs. Namun, yang menjadi prioritas AS adalah perdagangan obat-obat terlarang.83 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa serangan teror 9/11 al Qaeda bukan merupakan serangan teror 83 Michael Kenney, Drug Traffickers,Terrorist Networks, and Ill-Fated Government Strategies, 70, dalam Elke Krahmann, New Threats and New Actors in International Security, (New York: Macmillan, 2005), 70. 35 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 36 pertama bagi AS, namun merupakan serangan pertama di homeland AS secara langsung. Serangan 9/11 juga menjadi turning point bagi AS dalam meningkatkan prioritas dan urgensi isu terorisme. Terorisme menjadi prioritas bagi AS dalam hal keamanan nasional, kestabilan nasional termasuk kebijakan dalam bidang ekonomi, politik, hukum, pertahanan, juga kebijakan luar negeri. Terorisme merupakan isu yang menghambat pelaksanaan kegiatan dalam negeri AS khususnya pencapaian kepentingan nasional. Serangan 9/11 di pusat kegiatan AS terutama ekonomi telah menghambat kegiatan rutin yang berlangsung. Dari sisi ekonomi, serangan ini merusak sistem teknologi komuniasi AS serta menyebabkan ketidakstabilan sistem ekonomi dan keuangan AS. 84 Dalam bidang sosial budaya, serangan teror al Qaeda 9/11 menimbulkan sentimen terhadap masyarakat Muslim di AS karena serangan ini mengatasnamakan jihad dalam Islam.85 Hal tersebut menimbulkan ketegangan, kecurigaan, serta diskriminasi antara masyarakat AS Muslim dan non Muslim. Dengan kata lain, terorisme terutama sejak serangan 9/11 mengganggu kestabilan nasional AS. Masyarakat AS merasa tidak aman dan trauma akibat serangan yang memakan banyak korban jiwa dan kerugian materiil. Pengamanan nasional di berbagai tempat umum juga merasakan kecemasan akan kemungkinan terjadinya serangan teror selanjutnya. Tewasnya banyak korban dari masyarakat sipil AS juga menimbulkan trauma mendalam sehingga mereka menuntut kepada pemerintah untuk dapat lebih waspada dan meningkatkan perlindungan terutama di area publik yang sering menjadi wilayah target serangan teror. Pada level yang lebih luas lagi, hubungan kerjasama AS dengan negara lain juga menjadi tidak stabil karena negara yang memiliki hubungan kerjasama merasa ragu dan tidak aman terhadap sistem pengawasan dan perlindungan keamanan nasional AS. Hal ini menyebabkan posisi AS sebagai kekuatan hegemoni menjadi menurun di mata internasional karena dianggap masih 84 “How 9/11 Changed Investing”, 8 September 2011, http://money.msn.com/stock-brokerguided/how-9-11-changed-investing-marketwatch.aspx. 85 “Ten Years After 9/11, U.S. Muslims still Battling Stereotypes”, 9 September 2011, http://www.northjersey.com/news/state/090911_Ten_years_after_911_US_Muslims_still_battling _stereotypes.html. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 37 “kecolongan” dari suatu ancaman keamanan yang berakibat fatal terhadap keamanan nasional. Serangan 9/11 telah menyadarkan AS bahwa terorisme bukan hanya sebagai tindak kriminal lagi, melainkan telah menjadi ancaman bagi nasional AS. Untuk itu, dibutuhkan tindakan dalam merespon serangan terorisme yang harus melalui proses yang legal sesuai dengan kebijakan dan UU nasional. Dengan pertimbangan pada pergeseran makna ancaman keamanan sebelumnya yang bersifat militer dan state-centris, maka AS menyadari bahwa perlu untuk dilakukan sekuritisasi terhadap isu terorisme terutama pasca serangan 9/11 oleh al Qaeda yang mempengaruhi stabilitas nasional AS. Sehingga pada saat melakukan tindakan kontra terhadap terorisme strategi dan langkah yang diambil dapat dibenarkan. 4.2 Proses Sekuritisasi Terorisme oleh AS Pasca Serangan 9/11 Sebagai sebuah proses, sekuritisasi memiliki elemen yang menjadi variabel penanda bagaimana proses tersebut terjadi. Untuk itu dalam sub bab ini penulis akan mengidentifikasikan elemen-elemen penting dalam sekuritisasi yang terdiri dari aktor sekuritisasi, speech act, referenct object serta audiens. Setelah mengidentifikasi elemen-elemen tersebut, maka dapat dijelaskan bagaimana proses sekuritisasi terorisme oleh AS itu berlangsung hingga adanya tindakan khusus untuk mengadapi ancaman terorisme tersebut. Menurut paradigma konstruktivisme keamanan merupakan hal yang dikonstruksikan oleh aktor sekuritisasi. Dalam hal ini, aktor sekuritisasi merupakan negara yaitu AS dengan presiden sebagai kepala negara dan pengambil keputusan. Sejak serangan 9/11 terjadi (2001) hingga kematian Osama (2011), terdapat dua masa kepemimpinan yaitu Bush (2001-2008) dan Obama (2008-2011). Dari dua pemerintahan tersebut terdapat perubahan pendekatan yang digunakan oleh Bush dan Obama dalam menghadapi terorisme. Serangan 9/11 telah memberikan dampak yang besar bagi AS sehingga Bush sebagai presiden AS saat itu memberikan prioritas dan urgensi terhadap terorisme untuk dengan segera ditangani dan ditindak. Terdapat banyak speech act yang dilakukan oleh Bush dan Obama dalam merespon terorisme. Sebagai Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 38 respon pasca serangan 9/11, Bush sebagai presiden AS pada masa itu berpidato pada malam hari setelah serangan terjadi menyatakan bahwa: “today, our nation saw evil, the very worst of human nature, and ..... Immediately following the first attack, I implemented our government's emergency response plans. Our military is powerful, and it's prepared. Our emergency teams are working in New York City and Washington, D.C., to help with local rescue efforts. Our first priority is to get help to those who have been injured and to take every precaution to protect our citizens at home and around the world from further attacks”86 Dalam pidato tersebut, Bush mengungkapkan belasungkawa terhadap korban serangan tersebut dan menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan tindakan teror yang sangat terhin dan dilakukan tindakan darurat sebagai respon yaitu membentuk tim darurat untuk membantu penyelamatan korban dan melindungi warga AS juga masyaakat internasional dari serangan lebih lanjut. Serangan 9/11 telah membuat AS untuk bertindak lebih agresif dan konfrontatif dalam menghadapi terorisme, terutama al Qaeda sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Untuk itu, AS kemudian juga mendeklarasikan bahwa AS menyatakan perang terhadap terorisme dan segala macam unsurnya terutama terhadap al Qaeda dan menyerukan kepada dunia internasional untuk ikut memerangi terorisme dan membantu pelaksanaan kontraterorisme secara global karena terorisme merupakan sebuah kejahatan transnasional yang mengancam keamanan internasional sehingga harus ditangani secara global pula. Hal tersebut dinyatakan oleh Bush pada tanggal 20 September 2001 sebagai speech act yang terdapat dalam kutipan berikut.87 “Al Qaeda was responsible for bombing the USS Cole; The enemy of America is not our many Muslim friends; it its not our many Arab friends. Our enemy is a radical network of terrorists, and every government that supports them; every nation, in every region, now has decision to make: Either you are with us, or you are with terrorists.” 86 “Text of Bush's address”, diakses pada tanggal 19 November 2012, http://articles.cnn.com/2001-09-11/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicableacts?_s=PM:US. 87 “Text: President Bush Addresses the Nation”, diakses pada tanggal 30 Juni 2013, http://www.washingtonpost.com/wpsrv/nation/specials/attacked/transcripts/bushaddress_092001.html. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 39 Dalam pidato tersebut, AS mendeklarasikan perang terhadap kelompok teroris al Qaeda dan menyerukan kepada dunia untuk mendukung dan turut andil dalam memerangi terorisme. Secara implisit, pernyataan Bush tersebut menyerukan kepada dunia untuk berpihak pada AS memerangi teroris atau dianggap sebagai musuh dan merupakan bagian dari teroris. Selain itu, pada tanggal 21 September 2001, Bush kembali memberikan speech act sebagai berikut.88 “And tonight, the United States of America makes the following demands on the Taliban: Deliver to United States authorities all the leaders of al Qaeda who hide in your land. Release all foreign nationals, including American citizens, you have unjustly imprisoned. Protect foreign journalists, diplomats and aid workers in your country. Close immediately and permanently every terrorist training camp in Afghanistan, and hand over every terrorist, and every person in their support structure, to appropriate authorities. Give the United States full access to terrorist training camps, so we can make sure they are no longer operating. These demands are not open to negotiation or discussion. The Taliban must act, and act immediately. They will hand over the terrorists, or they will share in their fate......... Our war on terror begins with al Qaeda, but it does not end there. It will not end until every terrorist group of global reach has been found, stopped and defeated.” Dalam pernyatan tersebut AS mewajibkan Taliban untuk dengan segera melakukan permintaan yang diwajibkan oleh AS dalam rangka memerangi terorisme serta perang berawal dari al Qaeda dan tidak akan berhenti ingga seluruh kelompok teroris global ditemukan, dihentikan dan dikalahkan. Pernyataan tersebut merupakan kecaman keras dari AS terhadap pihak yang mendukung terorisme juga seluruh dunia. Terdapat juga dalam Laporan Komisi Nasional Terhadap Serangan Teroris AS atau yang dikenal dengan Komisi 9/11 bahwa Presiden Bush menganggap al Qaeda sebagai musuh dan bertanggung jawab atas serangan 9/11.89 Pernyataan-pernyataan resmi AS oleh Presiden Bush 88 “Text of George Bush's speech”, 21 September 2001, Guardian, http://www.guardian.co.uk/world/2001/sep/21/september11.usa13. 89 The 9/11 Commission Report, 337. Pernyataan dalam Laporan tersebut dikutip dari White House Transcript, Pidato Bush dalam Joint Session of Congress and the American People pada tanggal 20 September 2001 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 40 inilah yang disebut sebagai speech act yang menjadi awal tindakan dalam menghadapi terorisme. Dalam pidato Bush pasca serangan juga menyatakan kepada dunia untuk ikut memerangi terorisme. Pidato tersebut membentuk persepsi terhadap masyarakat AS maupun masyarakat internasional akan ancaman terhadap terorisme. Publik nasional maupun internasional yang menyaksikan tragedi 9/11 disertai pernyataan ancaman dan perang oleh AS tidak hanya menimbulkan dukungan tetapi juga kecaman. Bush menggunakan istilah “crusade” dalam mengkampanyekan perang melawan terorisme, “this crusade, this war on terrorism, is going to take a while."90 Istilah tersebut mengingatkan pada Perang Salib yang terjadi pada abad pertengahan antara tentara Kristen ke Palestina untuk menyerang tentara Muslim yang mengendalikan Yerusalem.91 Penggunaan istilah tersebut merupakan kesalahan Bush dalam mengkampanyekan perang melawan terorisme karena menimbulkan ketegangan antara umat Kristen dan Islam. Walaupun terdapat pergantian presiden pada periode tersebut, upaya sekuritisasi terhadap terorisme terus dilakukan namun dengan perubahan pendekatan. Obama memfokuskan ada pertempuran terhadap al Qaeda dan cabang-cabangnya dan menekankan paa pencegahan proses radikalisasi dalam masyarakat Islam serta menetralkan basis dukungan al Qaeda.92 Penggunaan istiliah ”crusade” dan “global war on terrror” dalam pemerintahan Bush tidak digunakan dalam pemerintahan Obama. Obama berusaha untuk menghapuskan “anti islam” dan mengganti istilah “global war on terror” yang digunakan dalam pemerintahan Bush menjadi ”overseas contingency operations”.93 Dalam pidatonya, Obama menyatakan bahwa, “I think you've already seen a commitment, in terms of closing Guantánamo, and making clear that even as we are decisive in going after terrorist organizations that would kill innocent 90 Peter Ford, “Europe cringes at Bush “crusade” against terrrorists”, diakses pada tanggal 15 Maret 2013, http://www.csmonitor.com/2001/0919/p12s2-woeu.html 91 Sally Buzbee, “Bush’s Use of Word ‘Crusade’ A Red Flag”, diakses pada tanggal 15 Mei 2013, http://www.seattlepi.com/news/article/Bush-s-use-of-word-crusade-a-red-flag-1066045.php 92 Boaz Ganor, “The U.S. Counter Terrorism Policy – The Calm before the Storm”, diakses pada tanggal 15 Mei 2013, http://rslissak.com/content/us-counter-terrorism-policy-boaz-ganor 93 Olive Burkeman, “Obama Administration says Goodbye to “War on Terror”, Guardian, 25 Maret 2009, http://www.guardian.co.uk/world/2009/mar/25/obama-war-terror-overseascontingency-operations. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 41 civilians, that we're going to do so on our terms, and we're going to do so respecting the rule of law that I think makes America great.”94 Dalam pernyataan tersebut, Obama berupaya untuk menghapuskan penjara Guantanamo karena inkonstitusional dan tidak sesuai dengan standar keadilan.95 Obama juga menyatakan bahwa perang melawan terorisme tetap berlanjut namun harus dihentinkan seiring dengan upaya melucuti kekuatan teroris global.96Jadi, pendekatan yang digunakan Obama sedikit lebih soft dan fokus pada al Qaeda dibandingkan Bush yang ofensif dan menggeneralisasikan segala bentuk tindak terorisme di dunia. Penulis melihat bahwa terorisme merupakan existential threat bagi AS yang dapat mengancam negara, masyarakat dan teritori AS sebagai referent object dan mendeklarasikan hal tersebut melalui pernyataan resmi Presiden Bush dan Obama yang merupakan speech act dalam sekuritisasi. Setelah mengidentifikasi elemenelemen penting tersebut dalam sekuritisasi, selanjutnya bab ini memaparkan bagaimana respon dari audiens yang merupakan pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi dari adanya tindakan sekuritisasi tersebut yaitu masyarakat AS dan masyarakat internasional. Dampak dari serangan dan goyahnya stabilitas keamanan nasional menjadi pertimbangan AS untuk melakukan sekuritisasi tersebut dengan menyerukan global war on terror. Masyarakat AS merupakan pihak yang terkena dampak secara langsung dari serangan teror tersebut, yang juga menimbulkan trauma dan ketakutan. Serangan 9/11 juga mempengaruhi masyarakat internasional yang juga menyaksikan dan merespon tindakan tersebut. Audiens dalam hal ini menyaksikan tindakan AS mensekuritisasi isu terorisme sebagai salah satu isu keamanan dan merupakan ancaman bagi masyarakat dan teritori AS yang membutuhkan tindakan urgensi. Speech act Bush maupun Obama pada akhirnya membentuk opini masyarakat AS untuk mendukung apapun bentuk tindakan yang diambil AS 94 “President Obama's interview with Al-Arabiya Arab TV Network”, 27 Januari 2009, http://www.alarabiya.net/articles/2009/01/27/65087.html. 95 Matthew Evangelista, A “War on Terror” by Any Other Name, What did Obama Change?, (New York: Mario Einaudi Center for International Studies of Cornell University, 2012), 5. 96 “Pivoting From a War Footing, Obama Acts to Curtail Drones”, 23 Mei 2013, New York Times, http://www.nytimes.com/2013/05/24/us/politics/pivoting-from-a-war-footing-obama-acts-tocurtail-drones.html?pagewanted=all&_r=0. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 42 untuk menggunakan kekuatan militer dalam menghadapi terorisme seperti yang dinyatakan Bush dalam pidatonya. Sama halnya dengan masyarakat internasional yang mendukung tindakan AS dalam memerangi terorisme dan al Qaeda karena terorisme juga menghantui mereka dan negara dituntut untuk bersama-sama mendukung respon tersebut. Dari pernyataan-pernyataan Bush dan Obama tersebut menunjukkan bahwa AS mengkonstruksikan terorisme sebagai ancaman keamanan. Ancaman tersebut tidak hanya merupakan ancaman bagi nasional AS tetapi juga sebagai ancaman bagi dunia internasional. Walaupun masyarakat AS dan dunia mendukung tindakan agresif dan konfrontatif AS untuk memerangi terorisme secara global, namun juga muncul respon negatif dari publik akan hal ini. Artinya, audiens memang mendukung tindakan urgen yang sifatnya melanggar hukum dan aturan, namun pada akhirnya tidak sedikit dari mereka yang juga mengecam tindakan AS karena dianggap terlalu berlebihan. Berlebihan dalam hal ini adalah karena tindakan AS yang terlalu fokus pada penindakan dan memerangi terorisme tanpa mengindahkan nilai-nilai demokrasi dan HAM yang seharusnya dijunjung tinggi oleh AS sendiri sebagai negara penggerak demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam memerangi terorisme, AS melakukan intervensi secara langsung ke unsur-unsur teroris di beberapa negara yang dicurigai terutama Afghanistan dengan rezim Taliban yang dianggap sebagai pendukung teroris al Qaeda. Tindakan keras AS ini juga muncul di media nasional dan internasional terhadap perkembangan melawan terorisme yang mempublikasikan pemikiranpemikiran para ahli, analis, dan pemerintah terkait tindakan perang melawan terorisme AS pasca serangan 9/11 yang pada akhirnya juga membentuk opini publik.97 Respon media internasional tersebut mencerminkan opini yang terbentuk dari speech act yang dilakukan. Sejak serangan 9/11 hingga kematian Osama menunjukkan bahwa AS melakukan sekuritisasi terhadap terorisme ini dengan 97 Respon terhadap tindakan intervensi AS ke Afghanistan, menggulingkan rezim Taliban sebagai negara sponsor al Qaeda, dan analisis para pemikir HI dapat dilihat dalam website media online resmi nasional (seperti BBC, NYTimes, dan Telegraph) yang pada akhirnya membentuk opini publik terhadap tindakan tersebut. Karena media tidak hanya mempublikasikan tulisan/fakta/berita dari satu persektif saja, yang mana terdapat pihak-pihak yang merasa adanya tindakan berlebihana dalam menindak terorisme dan al Qaeda oleh AS tersebut. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 43 serius dan melihat terorisme merupakan ancaman yang harus ditindak dengan agresif dan konfrontatif. Dari penjabaran elemen-elemen dalam sekuritisasi di atas, dapat dilihat bahwa proses sekuritisasi terorisme ini sampai pada pelaksanaan tindakan memerangi terorisme sebagai ancaman keamanan nasional AS pada khususnya dan keamanan internasional pada umumnya. Terorisme telah berskalasi dari tindak kriminal menjadi ancaman nasional, sehingga terdapat tindakan khusus untuk menanganinya. Sekuritisasi terhadap terorisme inilah yang menjadi bentuk konstruksi sosial yang dilakukan AS terhadap masyarakat AS pada khususnya dan masyarakat global pada umumnya. Dalam prosesnya, AS sebagai aktor sekuritisasi telah berhasil meyakinkan masyarakat AS akan terorisme sebagai ancaman yang membutuhkan tindakan urgensi dan harus diprioritaskan melalui speech act. Masyarakat AS dan masyarakat internasional sebagai audiens merespon tindakan tersebut dengan mentolerir dan mendukung langkah-langkah yang diambil AS yang bersifat melanggar aturan demi memberantas terorisme dan melindungi keamanan masyarakat AS. Walaupun pada akhirnya juga menimbulkan respon negatif atas tindakan AS yang dianggap berlebihan. Hasilnya, pembentukan undang-undang anti terorisme yaitu Patriot Act yang disahkan dalam kurun waktu waktu kurang lebih dua bulan setelah peristiwa 9/11 terjadi. Pembentukan undang-undang yang terbilang cepat tersebut menunjukkan peningkatan urgensi terorisme sebagai ancaman bagi AS.98 Sebagaimana dalam konstruktivisme bahwa keamanan dikonstruksikan, tindakan AS dalam menghadapi terorisme pasca serangan al Qaeda 9/11 termasuk mengalahkan al Qaeda sebagai jaringan teroris global menjelaskan apa yang dalam konstruktivisme sebut sebagai sekuritisasi. Pemahaman tindakan AS sebagai sekuritisasi terorisme ini merupakan hal yang penting dalam kajian ilmu hubungan internasional seiring perkembangan studi keamanan yang mengalami pendalaman dan perluasan makna keamanan. Tindakan AS menghadapi terorisme dan al Qaeda dijelaskan sebagai proses sekuritisasi isu terorisme yang tadinya 98 “USA Patriot Act”, diakses http://epic.org/privacy/terrorism/hr3162.html. pada tanggal 20 Mei 2013 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 44 bukan menjadi prioritas dalam memahami keamanan nasional AS hingga pada akhirnya dengan pernyataan dan tindakan AS yang disertai respon audiens merupakan isu keamanan yang membutuhkan prioritas dan tindakan urgensi dalam menghadapinya. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 BAB 5 KESIMPULAN Isu terorisme merupakan isu yang membutuhkan prioritas dan urgensi yang cepat untuk ditangani karena terorisme saat ini bukan hanya sebagai sebuah tindak kriminal tetapi meningkat menjadi ancaman nasional bahkan ancaman global. Kekuatan jaringan global yang dimiliki al Qaeda membuat AS bertindak dengan cepat secara agresif dan konfrontatif terhadap terorisme dan mengalahkan al Qaeda. Pemikiran dalam hubungan internasional kemudian juga mengkaji tindak terorisme ini termasuk respon suatu negara dalam menghadapi isu tersebut. Ketiga paradigma telah menjelaskan tindakan AS dalam menghadapi terorisme dan al Qaeda berdasarkan masing-masing pendekatan. Paradigma realisme melihat tindakan AS dalam menghadapi terorisme sebagai bentuk perang asimetris karena adanya ketidakseimbangan kekuatan yang dimilliki antara AS dan al Qaeda. Selain itu, perbedaan strategi serangan antara keduanya juga mewarnai interaksi strategis perang yang terjadi. Sebagaimana dalam teori perang asimetris mengenai hasil interaksi strategis, AS mampu mengalahkan al Qaeda dalam kurun waktu satu dekade yang ditandai dengan kematian Osama melalui Operasi Geronimo oleh pasukan AS. Analisis interaksi strategis dalam perang asimetris telah membuktikan penggunaan strategi yang sama antara AS dan al Qaeda menghasilkan kemenangan bagi AS sebagai aktor kuat. Penjelasan realisme mengenai perang asimetris suatu negara memerangi sebuah ancaman yang berasal dari aktor yang lemah masih relevan dalam kajian hubungan internasional. Namun, selalu terdapat kemungkinan akan terjadi perubahan dalam hal teori, konsep, ataupun analisis seiring berjalannya waktu dan perkembangan yang terjadi dalam ilmu hubungan intenasional. Paradigma liberalis melihat tindakan AS dalam menghadapi terorisme al Qaeda adalah sebagai sebuah bentuk pelanggaran terhadap rezim internasional. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi AS karena tindakan tersebut tidak hanya menimbulkan dukungan tetapi juga protes keras dari masyarakat AS yang merasa hak-hak mereka diabaikan demi pelaksanaan Patriot Act. Selain itu, AS juga 45 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 46 membentuk Patriot Act dan membedakannya dengan Konvensi Jenewa dan konvensi terorisme lainya dengan tujuan agar tindakan AS tidak terbatas pada hukum tersebut baik dari penyelidikan, penindakan, hingga penghukuman terhadap tindak teroris, demi tercapainya tujuan AS untuk mengalahkan al Qaeda dan terorisme. Tindakan AS dengan menginternasionalisasikan Patriot Act berlaku pada sekutu-sekutunya yang dilakukan melalui PBB, pembentukan program nasional dan kerjasama multilateral lainnya. Pemahaman dalam langkah internasionalisasi Patriot Act tersebut memberikan kelonggaran bagi AS dalam melawaan terorisme dengan dasar Patriot Act. Paradigma konstruktivisme melihat tindakan AS dalam menghadapi terorisme al Qaeda pasca serangan 9/11 sebagai bentuk sekuritisasi yang meningkatkan prioritas dan urgensi terhadap terorisme. Dampak dari serangan teror 9/11 telah menyadarkan AS bahwa aktor non negara seperti al Qaeda dan tindakan terorisme yang dilakukan terhadap AS merupakan ancaman serius bagi keamanan nasional AS sehingga membutuhkan tindakan cepat untuk menanganinya. Tindakan yang dilakukan AS dengan mensekuritisasi terorisme diiringi dengan pembenaran pelanggaran hukum dan prinsip yang berlaku yang tidak hanya memunculkan dukungan tetapi juga protes dari masyarakat AS dan masyarakat internasional pada umumnya sebagai audiens. Berdasarkan paradigma konstruktivisme, tindakan AS tersebut telah menjelaskan bahwa keamanan adalah suatu hal yang dikonstruksikan dan melalui proses sekuritisasi untuk menciptakan keamanan yang diinginkan. Selain itu, dibentuknya undang-undang anti teror – Patriot Act dengan segera menjadi hasil dari sekuritisasi yang dikonstruksikan AS terhadap terorisme. Dengan melihat ketiga paradigma dalam menjelaskan tindakan AS menghadapi terorisme al Qaeda dapat disimpulkan bahwa ketiga paradigma dengan masing-masing perspektif melihat tindakan AS tersebut merupakan proses perang, pembentukan rezim, dan sekuritisasi. Dalam masing-masing perspektif, paradigma menjelaskan interaksi antara AS dan al Qaeda sebagai kelompok teroris yang ingin dikalahkan AS. Dari masing-masing penjelasan penulis menemukan keterkaitan diantara ketiganya yaitu tindakan AS sebagai sebuah respon terhadap al Qaeda dan terorismenya yang mengancam AS merupakan Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 47 interaksi antar aktor dalam hubungan internasional yaitu dengan melakukan perang, membentuk rezim dan melakukan sekuritisasi. Hingga pada akhirnya, melalui proses yang dijelaskan melalui masing-masing paradigma menunjukkan keberhasilan AS mengurangi kapablitas dan jaringan al Qaeda sebagai kelompok teroris global ditandai dengan kematian Osama sebagai pemimpin sekaligus pendiri al Qaeda, walaupun pada akhirnya al Qaeda masih tetap eksis dan beraktivitas hingga saat ini. Penjelasan fenomena ini melalui tiga paradigma dalam ilmu hubungan internasional menghasilkan analisa yang dapat berguna baik bagi penulis maupun pembaca yang nantinya dapat digunakan sebagai referensi atau kajian ulang terhaap analisis yang didalamnya masih banyak terdapat kekurangan sehingga memungkinkan untuk dikembangkan dan diperbaiki lebih lanjut. Dari pemahaman dan analisa penulis dalam tugas karya akhir ini telah menunjukkan bahwa paradigma dalam hubungan internasional dapat menjelaskan satu isu melalui perspektif masing-masing paradigma. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 DAFTAR PUSTAKA “Al Qaeda Around The World”. http://www.bbc.co.uk/news/world-13296443. 5 Mei 2011. BBC. Anagnostakis, Dimitros. “Regime Theory and Global Counter-Terrorism: Some Starting Points”, 19 Oktober 2012, http://www.e-ir.nfo/2012/10/19/regimetheory-and-global-counter-terrorism-some-starting-points/. Bantekas, Ilias dan Susan Nash. International Criminal Law. London: Cavendish Publishing, 2003. Biersteker, Thomas J., Peter J. Spiro, Chandra Leha Sriram, dan Veronica Raffo (ed), International Law and International Relations: Bridging Theory and International Practice. New York: Routledge, 2007. Braniff, B. dan Moghadam, A. “Towards Global Jihadism: Al-Qaeda's Strategic, Ideological and Structural Adaptations since 9/11. Perspectives on Terrorism, North America.” http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/branifftowards-global-jihadism. Burkeman, Olive. “Obama Administration says Goodbye to “War on Terror”. The Guardian. 25 Maret 2009. http://www.guardian.co.uk/world/2009/mar/25/obama-war-terror-overseascontingency-operations. Buzan, Barry dan Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies. New York: Cambrigde Univeristy Press, 2009. Buzan, Barry., Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis. London: Lynne Rienner, 1998. Chaloka Beyani, “International Law and the “War on Terror”, dalam Joanna Macrae and Adele Harmer (eds). “Humanitarian Action and the ‘Global War on Terror’: A Review of Trends and Issues”, HPG Report 14. London: http://www.odi.org.uk/sites/odi.org.uk/files/odiODI, 2003. assets/publications-opinion-files/353.pdf. Collin S. Gray. Another Bloody Century: Future Warfare. London: Weidenfeld&Nicolson, 2005. _____”CSI in Brief”. 6 Mei 2013. http://www.cbp.gov/xp/cgov/trade/cargo_security/csi/csi_in_brief.xml. 48 Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 49 Djelantik, Sukawarsini. Terorisme: Tinjauan Psiko Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. Duffy, Helen. The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law. New York: Cambridge University Press, 2005. Emmers, Ralf. Securitization, dalam Alan collins, Contemporary Security Studies. New York: Oxford University Press, 2007. Eriksson, Johan, dan Mark Rhinard. The Internal-External Security Nexus: Notes on an Emerging Research Agenda. Cooperation and Conflict 44. No.3. September 2009. Evangelista, Matthew. A “War on Terror” by Any Other Name, What did Obama Change?. New York: Mario Einaudi Center for International Studies of Cornell University, 2012. Fiala, Andrew. “Terrorism aand the Philosophy of History: Liberalism, Realism, the Supreme Emergency Exemption”. and http://commons.pacificu.edu/eip/vol3/iss3/2 Ford, Peter. “Europe cringes at Bush “crusade” against terrrorists”. 15 Maret 2013. http://www.csmonitor.com/2001/0919/p12s2-woeu.html. _____”FTAF Public Statement 22 February 2013”. 6 Mei 2013. http://www.fatfgafi.org/topics/high-riskandnoncooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatement22february2013.html Ganor, Boaz. “The U.S. Counter Terrorism Policy – The Calm before the Storm”. 15 Mei 2013. http://rslissak.com/content/us-counter-terrorism-policy-boazganor. _____”Global Fire Power: Strength http://www.globalfirepower.com. in Number”, 20 Mei 2013. Griffiths, Martin., Terry O’Callaghan, dan Steven C. Roach. International Relations: The Key Concepts Second Edition. New York: Routledge, 2008. Haryomataram, KGP. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005. _____”History of the FTAF”. 20 gafi.org/pages/aboutus/historyofthefatf/. Mei 2013. http://www.fatf- Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 50 _____”How 9/11 Changed Investing”. 8 September 2011. http://money.msn.com/stock-broker-guided/how-9-11-changed-investingmarketwatch.aspx. ____ “Global listing.asp. Fire Power”, _http://www.globalfirepower.com/countries- _____ “Counter-Terrorism Committee”, http://www.un.org/en/sc/ctc/. _____ http://www.un.org/terrorism/instruments.shtml. _____ http://www.unitedstatesaction.com/al-qaeda-cells.htm. _____”ICJ Kecam Taktik Anti-Teror”. 17 Februari http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/internasional/09/02/17/31933-icj-kecam-taktik-anti-teror. 2009. Kenney, Michael. Drug Traffickers,Terrorist Networks, and Ill-Fated Government Strategies, 70, dalam Elke Krahmann, New Threats and New Actors in International Security. New York: Macmillan, 2005. Keohane, Robert O. The Demand for International Regimes, Vol.36, No.2, International Regimes. Spring, 1982. Korman, Sharon. The Right of Conquest: The Acquisition of Territory by Force in International Law and Practice. Oxford: Clarendon, 1996. Lewis, Jeremy. “International Terrorism and Response: Notes”, diakses pada tanggal 30 Juni 2013. http://fs.huntingdon.edu/jlewis/Outlines/TerrorismNotes.htm#examples. Lind, Wiiliam S. “Understanding Fourth Generation http://www.antiwar.com/lind/index.php?articleid=1702. of War”. Michael Breen and Joshua A. Geltzer, “Asymmetric Strategies as Strategies of the Strong”, 44, diakses pada tanggal 29 November 2012, http://www.carlisle.army.mil/USAWC/parameters/Articles/2011spring/Bree n-Geltzer.pdf. “Military Balance: The US and Other Key Countries”, diakses pada tanggal 30 Juni 2013, http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16428133. Mingst, Karen A. Essential of International Relations. New york: W.W Norton Company, 2003. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 51 _____”National Strategy For Combating Terrorism”. Februari 2003. http://www.whitehouse.gov/sites/default/files/rss_viewer/national_security_ strategy.pdf. _____”Navy Maritime Domain Awareness”. 6 Mei 2013. http://www.navy.mil/navydata/cno/Navy_Maritime_Domain_Awareness_C oncept_FINAL_2007.pdf. _____Nick Turse. “Kill everything that moves: the American way of war from Vietnam to Iraq to Afghanistan”. http://www.stopwar.org.uk/index.php/killeverything-that-moves-the-american-way-of-war-from-vietnam-to-iraq-toafghanistan. Nutter, John Jacob. Unpacking Threat: AConceptual and Formal Analysis,” dalam Norman A. Graham, ed., Seeking Security and Development: The Impact of Military Spending and Arms Transfers. Colo: LynneRienner, 1994. _____”Operation Active Endeavour”. diakses pada tanngal 2 Maret 2013. http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_7932.htm. _____”Osama Bin Laden Operation Ended with Coded Message ‘Geronimo-E KIA’”. 2 Mei 2011. http://abcnews.go.com/Politics/osama-bin-ladenoperation-code-geronimo/story?id=13507836. Parthiana, Wayan. Hukum Pidana Internasional. Bandung: Yrama Widya, 2006. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mohamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. _____”President Obama's interview with Al-Arabiya Arab TV Network”. 27 Januari 2009. http://www.alarabiya.net/articles/2009/01/27/65087.html. _____”Pivoting From a War Footing, Obama Acts to Curtail Drones”. 23 Mei 2013. http://www.nytimes.com/2013/05/24/us/politics/pivoting-from-awar-footing-obama-acts-to-curtail-drones.html?pagewanted=all&_r=0. _____”Proliferation Security Initiative”. http://www.state.gov/t/isn/c10390.htm. Randall, Kenneth C. Universal jurisdiction under international law. Texas Law Review, No. 66. 1988. Robinson, Mary. Foreword: The Princeton Principles on Universal Jurisdiction. Princeton University Press, Princeton, 2001. Salmon, Trevor C. dan Mark E. Imber (ed), Issues in International Relations: 2nd Edition, New York: Routledge, 2008. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 52 Sally Buzbee. “Bush’s Use of Word ‘Crusade’ A Red Fla”. 15 Mei 2013. http://www.seattlepi.com/news/article/Bush-s-use-of-word-crusade-a-redflag-1066045.php. S., Adjie. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2005. Schepelle, Kim. “The Global Patriot http://prospect.org/article/global-patriot-act. Act”. 15 Mei 2013. Sobek, David. The Causes of War. UK: Polity Press, 2009. _____”State Sponsors of Terrorism.” http://www.state.gov/j/ct/list/c14151.htm. 6 Mei 2013. _____”Surveillance Under the US PATRIOT Act”. 10 Desember 2010. http://www.aclu.org/national-security/surveillance-under-usa-patriot-act. The 9/11 Commission Report: Final Report of the National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States. USA: W.W. Norton & Company, Inc. _____”Ten Years After 9/11 U.S. Muslims still Battling Stereotypes”, 9 September 2011. http://www.northjersey.com/news/state/090911_Ten_years_after_911_US_ Muslims_still_battling_stereotypes.html. _____”Text: President Bush Addresses the Nation”. 30 Juni http://www.washingtonpost.com/wpsrv/nation/specials/attacked/transcripts/bushaddress_092001.html. 2013. _____”Text of George Bush's speech”. 21 September http://www.guardian.co.uk/world/2001/sep/21/september11.usa13. 2001. _____”Text of Bush's address”. 19 November 2012. http://articles.cnn.com/200109-11/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicableacts?_s=PM:US. _____”The 9/11 Terrorist Attacks”, diakses pada tanggal 19 November 2012, http://www.bbc.co.uk/history/events/the_september_11th_terrorist_attacks. Toft, Ivan Arreguin. How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict. UK: Cambridge University Press, 2005. _____”USA PATRIOT ACT 2001”. http://www.gpo.gov/fdsys/pkg/PLAW107publ56/pdf/PLAW-107publ56.pdf. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013 53 _____ “USA Patriot Ac”t. 2013.http://epic.org/privacy/terrorism/hr3162.html. 20 Mei Viotti, Paul R. and Mark Kauppi, International Relations Theory, Fourth Edition. London: Person Education Inc., 2010. Weaver, Ole. Securitization and Desucuritization. New York: Columbia University Press, 1995. Wilson, Scott dan Al Kamen. “Global War on Terror is Given New Name”. 25 Maret 2009. http://articles.washingtonpost.com/2009-0325/politics/36918330_1_congressional-testimony-obama-administrationmemo. Universitas Indonesia Paradigma realisme ..., Ladia Fitrah, FISIP UI, 2013