NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BANTEN 2015 1 KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan inayahnya, penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor..... Tahun.... Tentang Pemberdayaan Koperasi Dan UMKM, dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan pedoman secara akademis dan sebagai landasan pemikiran atas Rancangan Peraturan Daerah dimaksud, didasarkan pada hasil kajian dan diskusi terhadap substansi materi muatan yang terdapat di dalam Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor.... Tahun... Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Adapun penyusunannya dilakukan berdasarkan pengolahan dari hasil eksplorasi peraturan studi kepustakaan, perundang-undangan pendalaman terkait di berupa bidang analisis pemberdayaan koperasi dan UMKM. Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini tentunya tidak terlepas dari keterlibatan dan peran seluruh pihak yang terkait, yang telah dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan tanggung jawab meyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Untuk itu, terimakasih atas ketekunan dan kerjasamanya. Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat bagi pembacanya. Serang, Mei 2015 Penyusun 2 DAFTAR ISI JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. BAB II Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan dan Kegunaan Lingkup Pekerjaan Metode KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis B. Praktik Empiris BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG_UNDANGAN TERKAIT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis B. Landasan Sosiologis C. Landasan Yuridis BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH BAB VI PENUTUP LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN DAERAH 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Sesungguhnya kekuatan ekonominasional terletak pada ekonomi rakyat (people’s kehidupannya economy). dalam suatu Puluhan juta pertarungan orang mempertahankan mempertahankan hidup. Dalam proses pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut koperasi hadir sebagai pembawa harapan bagi rakyat akan datangnya kemakmuran dengan mengembangkan potensi ekonomi rakyat kecil, koperasi ikut berperan dalam menopang tegaknya daya saing perekonomian nasional dalam kancah globalisasi.1 Pemberdayaan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun pengembangan manusia kemampuan atau masyarakat, masyarakat perubahan melalui perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Ada 3 tujuan mengembangkan masyarakat, dan utama dalam kemampuan pemberdayaan masyarakat, mengorganisir diri masyarakat mengubah masyarakat. yaitu perilaku Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian 1 Y.Harsoyo, dkk, Ideologi Koperasi; Menatap Masa Depan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2006, h.116 4 dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Sistem ekonomi kerakyatan yang mengandung makna sebuah sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, maupun dalam suatu mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan. Maksud seperti itu juga terkandung dalam pemikiran dasar sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana yang secara inheren termaktub dalam filosofi dasar negara kita.2 2 Ginandjar Kartasasmita, Membangun Ekonomi Kerakyatan untuk Mewujudkan Indonesia Baru yang Kita Cita- Citakan, Makalah disampaikan di depan Gerakan Mahasiswa Pasundan, Bandung, 27 September 2001, www.ginandjar.com 5 Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya.Pemberdayaan masyarakat sebagaimana telah disinggung diatas, salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Salah satu sektor yang dapat diberdayakan sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat yaitu dengan adanya pemberdayaan Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro dan Kecil Menengah). Berbicara masalah menggerakkan ekonomi rakyat sesungguhnya tidak terlepas dari pembicaraan terhadap usaha memberdayakan Koperasi dan UMKM.Saat sosialisasi UU No.17 tahun 2012 tentang koperasi, Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten pada akhir tahun 2012 mencatat bahwa ada sekitar 5.950 jumlah unit koperasi, sementara yang aktif sekitar 3.787 unit, jadi yang tidak aktif sekitar 2.163 unit. Koperasi yang aktif mempunyai anggota sebanyak 928.873 orang dan tenaga kerja yang terserap sebanyak 9.183 orang, dengan volume usaha 6 Rp. 2,2 Triliun dan asset sebesar Rp.2,1 Triliun. Jumlah koperasi 5.950 tersebut tersebar di delapan kabupaten/kota yakni di Kota Serang 431 koperasi, yang aktif 366 dan yang tidak aktif 65 koperasi, di Kabupaten Serang yang aktif 318 koperasi yang tidak aktif 640 unit dari total 958 unit koperasi, di Kabupaten Pandeglang aktif 530 dan tidak aktif 308 koperasi dari 838 unit koperasi, di Kabupaten Tangerang koperasi aktif 759 unit dan tidak aktif 186 unit dari total 945 unit koperasi, di Kota tangerang yang aktif 520 unit koperasi, tidak aktif 529 dari 1.049 unit koperasi. Di Kabupaten Lebak koperasi aktif 657 unit dan tidak aktif 108 dari 765 unit koperasi. Kemudian di Kota Cilegon aktif 296 unit, tidak aktif 225 dari total 521 koperasi, serta di Kota Tangerang Selatan koperasi aktif 294 unit, tidak aktif 77 unit dari total 371 unit koperasi.3 Pada tahun 2012 jumlah koperasi di Provinsi banten sekitar 5.950 unit, menjadi sekitar 6.550 unit pada awal 2014. Pertumbuhan koperasi di Provinsi Banten setiap tahun terus meningkat, meskipun ada koperasi yang aktif dan tidak aktif. Hasil pendataan akhir 2013 ada sekitar 6.550 koperasi di provinsi Banten dengan beragam jenis koperasi, dari jumlah total koperasi tersebut ada sekitar 2.000 unit koperasi yang tidak aktif. Sementara pada akhir 2014 jumlah UMKM di Provinsi banten yang aktif yaitu sebanyak 984.000 unit, namun hanya sekitar 104.000 unit yang mendapatkan akses permodalan. Ada beberapa faktor yang menghambat pelaku Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM) untuk 3 Asmudji HW, Sosialisasi UU No.17 Tahun 2012 Tentang Koperasi, Serang, 14 Maret 2013, www.antarabanten.com 7 mendapatkan suntikan modal dari lembaga keuangan. Diantaranya adalah keterbatasan legalitas, sulitnya memenuhi persyaratan bank, tingginya suku bunga kredit, dan keterbatasan agunan. Dengan banyaknya koperasi dan UMKM yang terfasilitasi pengajuan kreditnya kepada PT Jamkrida, diharapkan akan berdampak meningkatnya produktivitas usaha serta dapat menciptakan peluang penyerapan tenaga kerja yang sekaligus akan meningkatkan pendapatan masyarakat.4 Hal tersebut akan mengurangi tingkat pengangguran, baik pada tingkat lokal maupun nasional, produk-produk UMKM setidaknya telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional karena tidak sedikit produk-produk UMKM itu mampu menembus pasar internasional. Konkretnya, kehadiran UMKM telah membantu program pemerintah untuk menyerap tenaga kerja sebanyakbanyaknya dan mampu meningkatkan PDB secara signifikan. Selain berpotensi meciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan PDB, UMKM juga dapat memiliki sumbangan kepada devisa nagara dengan nilai ekspor yang cukup tinggi. Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. 4 Kesimpulan Dari Artikel dan Seminar Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten,www.dinkop dan umkm banten.com 8 Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga k5erja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56%tenaga kerja. Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKM seharusnya mendapat pengambil kebijakan. perhatian yang Khususnya semakin lembaga besar dari pemerintahan para yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM.4 Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso dan mikro yang meliputi: (1) penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan kewirausahaan dan 5 Sri Adiningsih, Regulasi dalam Revitalisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, www.ifip.org 9 keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4) pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil. Koperasi merupakan potensi dalam mengembangkan ekonomi nasional yang relatif besar, berdasarkan data tahun 2012, dinilai dari keragaan koperasi yang berjumlah 192.443 unit dengan dukungan anggota koperasi berjumlah 33.687.417 orang. Pada tahun 2012 pencapaian volume usaha koperasi adalah Rp. 96.062 Triyun. Kemampuan permodalan koperasi Indonesia baik yang bersumber dari modal internal dan modal eksternal adalah Rp.89.639 Trilyun. Koperasi Indonesia telah mampu menghimpun modal internal sebesar Rp. 43.309 Trilyun , sementara modal eksternal yang mampu diperoleh adalah Rp. 46.339 Trilyun. Berdasarkan angka modal internal dan eksternal maka struktur permodalan koperasi relatif menunjukkan keseimbangan antara modal eksternal dengan modal internal. Setoran anggota koperasi di Indonesia 48,3% bersumber dari modal internal dan 51,7% bersumber dari modal eksternal. Angka struktur permodalan Koperasi Indonesia tersebut menunjukkan resiko finansial yang rendah hingga moderat karena mampu menjamin hampir keseluruhan pinjaman 10 dengan modal internal bila mampu mengelola kekayaannya yang bernilai hampir 200% dari modal eksternal. Selama kurun waktu 70 tahun sejak Koperasi dilahirkan di Bumi Pertiwi, upaya dilakukan. membangun Koperasi dan diharapkan mengembangkan mampu secara koperasi telah berkelanjutan dikembangkan dan diberdayakan agar tumbuh dan menjadi sehat, tangguh dan mandiri sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Data yang disajikan diatas mengungkapkan bahwa terdapat beberapa logika ekonomi yang memberikan peluang kepada Koperasi untuk mencapai kondisi tersebut, antara lain : (i) Koperasi sungguh memiliki potensi untuk berkembang, menjadi kuat dan mampu bertahan hidup menghadapi berbagai tantangan, hambatan dan ancaman ; (ii) Koperasi yang berkembang dan kuat akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi serta memperlancar upaya perbaikan kondisi kerja dan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya; (iii) Koperasi yang berkembang dan kuat akan mampu merangsang dan mendorong tumbuhnya kegiatan swadaya yang dinamis dan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan;(iv) Koperasi yang berkembang dan kuat akan memiliki kemampuan untuk mengoreksi ketaksempurnaan pasar yang pada gilirannya akan dapat 11 memberikan pengembalian yang cukup memadai kepada para anggota untuk mengimbangi biaya partisipasi. Khusus untuk aspek manajemen Koperasi memerlukan dukungan dalam peningkatan kelembagaan koperasi dan kualifikasi sumber daya manusia. Peningkatan kualitas kelembagaan Koperasi di Indonesia berhubungan dengan piranti regulasi yang terkait dengan Perkoperasian yang mampu memberikan peluang bagi koperasi untuk meningkatkan kinerja operasionalnya. B. Identifikasi Masalah Faktor Regulasi sangat mempengaruhi kualitas kegiatan Perkoperasian dan UMKM. Sebagian regulasi memberikan peluang pengembangan kegiatan Perkoperasian dan UMKM namun sebagian menghambat kemajuan Koperasi dan UMKM, sehingga pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dan UMKM menuju terwujudnya Koperasi yang kuat dan mandiri yang mampu mengembangkan dan meningkatkan kerja sama, potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya sulit diwujudkan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, selanjutnya disingkat UU KOP No. 17/2012dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM cukup memadai sebagai suatu sistem untuk dijadikan landasan hukum bagi pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dan UMKM, lebih-lebih tatkala dihadapkan 12 kepada perkembangan ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan hanya saja perlu ada upaya pengembangan dan pemberdayaan yang lebih serius dari pemerintah daerah Provinsi Banten. Oleh karena itu perlu disusunnya rancangan peraturan daerah tentang pemberdayaan koperasi dan UMKM sebagai jawaban dari permasalahan pemberdayaan Koperasi dan UMKM dan sebagai implementasi dari rujukan atau literatur hukum terkait, antara lain : 1. Merujuk pada Undang-undang No 17 tahun 2012 tentang koperasi, dan Undang-undang No 20 Tahun 2008 Tentang UMKM menjadi pijakan sebagai alat untuk memberdayakan Koperasi dan UMKM di Di Provini Banten. 2. Dalam UU KOP No. 17/2012, ketentuan tentang hak anggota, hak badan hukum Koperasi sebagai koperasi, dan hak pihak ketiga dan masyarakat harus mendapat perlindungan dari Pemerintah secara memadai dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Banten. 3. Peraturan Daerah Provinsi Banten melalui rujukan UU KOP No. 17/2012 dan UU No 20/2008 Tentang UMKM harus memberikan perlindungan kepada anggota Koperasi dan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM) dalam menjalankan usahanya sehingga Koperasi dan UMKM cukup terjamin keberadaan dan kesinambungannya, jika terjadi penyimpangan dalam Koperasi dan UMKM . 13 4. Kedudukan Koperasi sebagai lembaga otonom yang berbasis pada anggota perlu lebih diperkuat melalui kelengkapan undangundang atau peraturan daerah yang mengatur pemberdayaan koperasi sehingga Koperasi dapat berkembang sesuai dengan jati dirinya. 5. Peraturan Daerah Provinsi Banten melalui rujukan UU KOP No. 17/2012 dan UU UMKM No.20/2008harus memadai sebagai alat untuk mengembangkan permodalan dan kredibilitas badan hukum Koperasi dan UMKM . 6. Di dalam UU KOP No. 17/2012, peran Pemerintah cukup menonjol dan dominan dalam menentukan arah perkembangan Koperasi. Hal itu menimbulkan persepsi bahwa Pemerintahlah yang memikul tanggung jawab utama dalam membangun Koperasi . Hal ini harus diluruskan. 7. Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan. 8. Kurangnya pengetahuan akan pemasaran, yang disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UMKM mengenai pasar, selain karena keterbatasan kemampuan UMKM untuk menyediakan produk/ jasa yang sesuai dengan keinginan pasar. 14 9. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) sehinggga kesulitan dalam mengakses permodalan dan mengembangkan Koperasi dan UMKM. Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas belum diimbangi oleh Permasalahan meratanya klasik peningkatan yang dihadapi kualitas adalah UMKM. rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; lemahnya terbatasnya kewirausahaan akses dari UMKM para terhadap pelaku UMKM; permodalan, dan informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Perolehan legalitas formal hingga saat ini juga masih merupakan persoalan mendasar bagi UMKM, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan dan insentif yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah menyebabkan rendahnya 15 kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Bersamaan dengan masalah tersebut, koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka dianggap perlu merencanakan peraturan daerah tentang pemberdayaan koperasi dan UMKM yang dapat berperan sebagai alat untuk mendorong dan memajukan Koperasi dan UMKM sehingga dapat tumbuh dan berkembang sebagai badan usaha yang kuat dan mandiri. C. Tujuan Dan Kegunaan 1. Tujuan a. Memberikan landasan komprehensif terkait pemikiran pokok-pokok yang objektif pikiran dan tentang Perkoperasian dan UMKM di Provinsi Banten. b. Memberikan arah dan ruang lingkup kebijakan dalam peningkatan kelembagaan dan kegiatan Perkoperasian dan UMKM di Provinsi Banten. c. Memberikan landasan pemikiran tentang Koperasi dan UMKM sebagai pelaku usaha yang sehat, kredibel, mandiri, dan tangguh melalui penyelenggaraan perkoperasian dan UMKM secara efektif dan efisien. 16 kegiatan 2. Kegunaan a. Memberikan landasan pemikiran tentang Koperasi dan UMKM sebagai pelaku usaha yang sehat, kredibel, mandiri, dan tangguh melalui penyelenggaraan kegiatan perkoperasian dan UMKM secara efektif dan efisien. b. Sebagai dasar konseptual dalam penyusunan pasal-pasal dan penjelasan Raperda PemberdayaanKoperasi dan UMKM. c. Sebagai Landasan pemikiran bagi anggota DPRD dan Pemerintah Provinsi Banten dalam pembahasan Raperda Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. d. Sebagai rujukan bagi semua pihak, DPRD, Pemerintah serta pihak terkait dalam meningkatkan kapasitas dan penguatan kelembagaan Koperasi dan UMKM. D. Metodologi Naskah Akademik ini dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut: 1. Yuridis normatif: yaitu melalui studi pustaka untuk menelaah sistem regulasi untuk mendorong pemberdayaan usaha koperasi dan UMKM sebagai pelaku ekonomi produktif dari sumber referensi, laporan penelitian dan pengkajian pengembangan usaha dan penguatan kelembagaan koperasi dan UMKM. 17 2. Yuridis empiris: yaitu melalui analisa data primer maupun data sekunder yang dikumpulkan dari lembaga koperasi dan UMKM dan dari pengelola/pengurus koperasi dan UMKM baik pada tingkat daerah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi. 3. Metode analisis data dilakukan berdasarkan perspektif analisis manajemen strategi dan kebijakan publik. 18 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis Pemberdayaan adalah upaya yang membangun daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untukmengembangkannya. Pemberdayaan diarahkan guna meningkatkan ekonomi masyarakat secara produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan pendapatan yang lebih besar. Upaya peningkatan kemampuan untukmenghasilkan nilai tambah paling tidak harus ada perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu akses terhadap sumber daya, akses terhadap teknologi,aksesterhadappasardanaksesterhadappermintaan. Ekonomi masyarakat adalah segala kegiatan ekonomi dan upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (basic need) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat (koperasi dan UMKM) merupakan satu upaya untuk meningkatkan kemampuan atau potensi koperasi dan UMKM dalam kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan mereka dan dapat berpotensi dalam proses pembangunan nasional. 19 Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep inidibangundarikerangkalogiksebagaiberikut: a. Bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan Faktor produksi. b. Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran. c. Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi. d. Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi,secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitumasyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalahdikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untukmembebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukanpembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai. Dalam upaya peningkatan pemberdayaan yang tepat sasaran taraf hidup masyarakat, pola sangat diperlukan, bentuk yang tepatadalah dengan memberikan kesempatan kepada koperasi dan UMKM untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah mereka tentukan. Disamping itu koperasi dan UMKM juga diberikan kekuasaanuntuk mengelola dananya sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak penyalur , dan inilah yang membedakan antara partisipasi koperasi dan UMKMdengan pemberdayaan koperasi 20 dan UMKM. Perlu difikirkan siapa sesungguhnya yang menjadi sasaran pemberdayaan koperasi dan UMKM, sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun, dengan ini good governance yang telah dielu-elukan sebagai suatu pendekatan yang dipandang paling relevan, baik dalam tatanan pemerintahan secara luas maupun dalam menjalankan fungsi pembangunan. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjalin adanya proses kesejahteraan, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan komponen pemerintah, koperasi dan UMKM. Salah satu bentuk kerja sama dalam lapangan perekonomian adalah koperasi kerja sama dan dalam koperasi ini dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip saling membutuhkan dan kesamaan diantara kebutuhan diantara beberapa orang-orang secara bersama mengupayakan pemenuhan kebutuhan sehari-hari baik, yang terkait dengan keperluan pribadi maupun perusahaan untuk mencapai tujuan itu suatu kerja sama yang berlangsung secara terus-menerus diperlukan.Secara umum yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian beranggotakan yang mereka pada umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela atas dasar persamaan hak berkewajiban melakukan sesuatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya. Bila kita melihat daya saing koperasi di Indonesia untuk menjadi salah satu koperasi terbaik dunia, kita perlu membandingkan kinerja ratarata koperasi Indonesia dengan kinerja koperasi negara lain. Mengacu pada data publikasi Direktori Indeks 100 Koperasi Terbaik Malaysia 21 tahun 2013, koperasi di Malaysia dilaporkan berjumlah 10.087 unit dengan jumlah anggota 7,030.000 orang. Dari data ini kita dapat melihat bahwa setiap koperasi di Malaysia rata-rata memiliki anggota 697 orang. Pencapaian nilai aset total adalah RM. 100,41 milyar atau Rp.371.5 trilyun dan Modal total sebesar RM 11.71 milyar atau Rp. 43.3 trilyun. Kinerja koperasi koperasi di Malaysia secara rata rata menunjukkan capaian yang lebih positif dibandingkan dengan capaian Koperasi di Indonesia dengan dukungan jumlah anggota 39 kali lebih besar yaitu 697 orang dibandingkan dengan 18 orang di Indonesia untuk setiap koperasi. Bila kita mengevaluasi kualitas praktek pengelolaaan koperasi di Indonesia, peristiwa penyimpangan penyelenggaraan kegiatan perkoperasian oleh pengurus dari ketentuan regulasi koperasi yang terjadi pada Koperasi Angkutan Cipaganti dan Koperasi Langit Biru di Jawa Barat, Koperasi Karangasem Membangun di Bali, adalah sebagian kecil bukti bahwa kualitas pengelolaaan koperasi masih sangat rendah. Resiko yang dihadapi anggota koperasi sebagai akibat tindakan pengelola koperasi yang tidak bertanggungjawab relatif tinggi dinilai dari nilai kerugian harta yang ditanggung lebiih dari 110.000 anggotanya pasti sangat besar karena terdapat anggota yang menginvestasikan uangnya hingga bernilai ratusan juta rupiah. Kegagalan pengelolaaan koperasi tidak saja disebabkan oleh keterbatasan kompetensi teknis para pengelola koperasi namun juga disebabkan oleh karakter individu pengelola koperasi. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan para pengurus koperasi pemerintah perlu meningkatkan 22 piranti regulasi koperasi yang mengakomodasikan kebijakan disinsentif perilaku negatif yang berpotensi merugikan masyarakat anggota koperasi di masa yang akan datang. Penyimpangan dilakukan perilaku karena pengelola pengaturan koperasi kegiatan memungkinkan perkoperasian belum mengakomodasikan konsekuensi yang harus ditanggung oleh pelaku pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan oleh para pengurus koperasi. elemen Regulasi koperasi perlu ditingkatkan pengendalian perilaku pengurus dengan memasukkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat calon anggota koperasi guna meningkatkan keanggotaan koperasi secara komprehensif. Kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan pengelola koperasi bukan saja disebabkan oleh faktor individu manusianya namun dapat diperkuat pula oleh kondisi lingkungan baik sosial maupun regulasi yang tidak mengantisipasi perilaku oportunis pengelola atau pengurus koperasi. Penetapan regulasi perkoperasian yang memadai dalam suatu mekanisme sistem tata kelola yang baik diperlukan untuk memberikan perlindungan pada anggota koperasi dan masyarakat. Provinsi Banten dianggap tidak mampu menyerap dana bergulir dari Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB). Bahkan Provinsi Banten masuk dalam kategori sepuluh besar paling rendah dalam pengelolaan dana bergulir koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (KUMKM) di Indonesia. 23 Menurut Direktur Umum LPDB Seharusnya dana ini dapat dimanfaatkan dalam upaya peningkatan taraf hidup dari usaha kecil menengah. Ironisnya, pelaku ekonomi dan UMKM di provinsi Banten begitu banyak namun selama bertahun-tahun Koperasi dan UMKM sangat rendah dalam menyerap dana bergulir tersebut. Mengacu pada pengertian International Cooperative Standard (ICA) koperasi adalah kumpulan orang yang secara sukarela bergabung untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial dan budaya serta cita-cita bersama melalui usaha yang dikendalikan dan dimiliki bersama. Pengertian ini menyiratkan bahwa koperasi adalah kumpulan orang dan bukan kumpulan modal yang memiliki kebutuhan serupa dan tujuan serupa. Pengertian Usaha Mikro menurut Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 :Usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun.Usaha Mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp.50.000.000,-. Diperbarui dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang UMKM :Usaha produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 24 Pengertian Usaha Kecil Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995, Usaha Kecil adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).Pengertian Usaha Kecil Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, Usaha Kecil adalah : Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 , tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00. Pengertian Usaha MenengahPengertian usaha menengah menurut Inpres No.10 tahun 1998 : Usaha Menengah adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp200.000.000,00 Rp10.000.000.000,00, sampai dengan paling banyak sebesar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,00 25 sampai dengan Rp.5.000.000.000,00. Pengertian usaha menengah Menurut UU No.20 Tahun 2008, Usaha Menengah yaitu :Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar.Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00B. B. Praktik Empiris Praktik empiris yang mencerminkan kondisi umum pemberdayaan Koperasimemiliki sendi nilai-nilai yang menjadi identitas koperasi dan anggota koperasi. Nilai-nilai individu yang menjadi jati diri koperasi adalah: 1. Mandiri. 2. Bertanggungjawab. 3. Demokrasi. 4. Persamaan. 5. Keadilan. 6. Solidaritas. 7. Kejujuran. 8. Keterbukaan 26 9. Tanggung jawab social. 10. Kepedulian. Dalam menyelenggarakan fungsinya koperasi menjunjung tinggi nilai –nilai sebagai berikut yaitu : 1. Keanggotaan individu dalam koperasi bersifat sukarela, dan terbuka. 2. Demokratis dalam pengawasan 3. Partisipasi anggota 4. Otonomi 5. Bebas 6. Pelatihan dan pendidikan 7. Keterbukaan informasi 8. Jaringan kerja sama koperas 9. Kepedulian pada lingkungan Jati diri seorang anggota koperasi adalah sebagai pemilik usaha yang berbagi kewenangan dalam pengawasan dan pengelolaan di satu sisi dan dilain sisi sebagai pelaku kegiatan ekonomi seperti pelanggan/pengguna produk/jasa koperasi atau produsen. Undang-Undang tentang Koperasi di Indonesia yang secara memadai mengatur penyelenggaraan kegiatan perkoperasian merupakan sarana yang sangat penting bagi pengembangan dan pemberdayaan Koperasi, sedangkan Undang-Undang tentang Koperasi yang kurang baik dapat menghadirkan hambatan dan rintangan bagi upaya tersebut. Perkembangan dan keberdayaan Koperasi adalah fenomena yang erat berkaitan dengan masyarakat. Undang-Undang tentang 27 Koperasi yang merupakan salah satu sumber penting bagi penciptaan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang menjadi anggota Koperasi, dapat juga berperan sebagai instrumen perubahan yang sangat ampuh. Rancangan peraturan daerah tentang pemberdayaan koperasi merupakan suatu prasyarat, suatu perantara dan suatu instrumen pengembangan dan pemberdayaan Koperasi. perkembangan dan pemberdayaan Koperasi Sebaliknya merupakan prasyarat penting bagi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Koperasi. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang menjadi anggota Koperasi, dan dinamikanya mempengaruhi perumusan dan pendekatan yang diterapkan dalam pengaturan industri/gerakan koperasi, prasyarat yang mendasari pembentukan peraturan daerah pemberdayaan Koperasi dan bagaimana caranya peraturan daerah tersebut bekerja. Perkembangan dan pemberdayaan Koperasi merupakan visi penting penyempurnaan Undang-Undang tentang perkoperasian. Sementara tekad dan kehendak politik dari Pemerintah serta Gerakan Koperasi bagi terwujudnya perkembangan dan keberdayaan Koperasi menjadi semangat dan kekuatan untuk lahirnya peraturan daerah tentang pemberdayaankoperasi yang sesuai dengan dinamika lingkungan bisnis dan ekonomi, sosial , budaya dan politik serta teknologi yang mampu memberikan warna, makna dan peluang baru dan justifikasi sistem pengelolaaan yang sama sekali baru pula. 28 Pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dapat diselenggarakan dengan tidak mungkin berhasil tanpa peraturan daerah tentang pemberdayaan Koperasi. Upaya harus diselenggarakan sesuai dengan Undang-Undang tentang Koperasi , melalui Undang-Undang, dan melalui saluran-saluran Undang-Undang tentang Koperasi. Undang-undang tentang Koperasi dan peraturan daerah tentang pengembangan dan pemberdayaan Koperasi secara produktif harus saling melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakan untuk mendorong tata kelola koperasi yang semakin baik di masa depan. Perumusan peraturan daerah pemberdayaan Koperasi baru didasari oleh asumsi dan dipandang dari beberapa perspektif yang berkaitan dengan pengelolaan, kinerja dan keberlanjutan penyelenggaraan usaha ekonomi produktif yang digunakan sebagai pendekatan penilaian dan pengembilan keputusan selama ini. Teori stakeholder (teori pemangku kepentingan), teori keagenan, teori tanggung jawab social dan teori kontrak sosial digunakan sebagai dasar penjelasan terhadap sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan koperasi di masa depan. 1. Teori Stakeholder atau Teori Pemangku Kepentingan. Teori stakeholder mengatakan bahwa koperasi bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan pemilik koperasi yaitu para anggota koperasi memberikan itu sendiri namun diharapkan juga mampu manfaat bagi para pemangku kepentingan lain disekelilingnya (stakeholders). Makna ini dilandasi oleh kesadaran 29 bahwa untuk mencapai tujuannya koperasi tidak saja memerlukan dukungan anggota koperasi namun juga memerlukan dukungan pemasok, karyawan, pemerintah, kelompok masyarakat tertentu yang terkait sektor ekonomi yang dimasukinya dll. Pertukaran masukan/input produksi dan pertukaran keluaran hasil produksi koperasi dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, keberadaan suatu koperasi sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) koperasi tersebut, sehingga mampu melaksanakan kegiatan perkoperasian secara berkelanjutan dan mewujudkan tujuan koperasi. Pemangku kepentingan (stakeholder) pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan koperasi. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur koperasi, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan koperasi. Oleh karena pemangku kepentingan/stakeholder mempengaruhi pencapaian koperasi melalui pengendalian sumber daya operasi yang penting bagi koperasi, maka koperasi akan bereaksi dengan cara-cara memuaskan keinginan stakeholder agar dapat melanjutkan kegiatannya secara berkelanjutan. Para pemangku kepentingan koperasiantara lain adalah karyawan, anggota dan pemasokStakeholder dapat berasal dari lingkungan internal maupun eksternal yang berpotensi memiliki 30 hubungan transaksi baik bersifat langsung maupun tidak langsung dengan koperasi. Dengan demikian, secara rinci stakeholdermefupakan pihak internal maupun eksternal, seperti: pemerintah, koperasi pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan intemasional, lembaga di luar koperasi (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja koperasi, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi koperasi. Batasan pemangku kepentingannya/stakeholder tersebut di atas mengisyaratkan bahwa koperasi hendaknya memperhatikan stakeholder, karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung mapun tidak langsung atas aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan koperasi. Jika koperasi tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi legitimasikoperasi untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien. Berdasar pada asumsi dasar stakeholder theory tersebut, koperasi tidak dapat melepaskan diri dengan lingkungan sosial Koperasi perlu menjaga legitimasikoperasi melalui sekitarnya. pemenuhan kebutuhan secara memadai, serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan koperasi, untuk dapat mendukung dalam pencapaian tujuan koperasi, melalui stabilitas usaha dan jaminan. Esensi teori stakeholder tersebut di atas dapat dihubungkan dengan/ interkoneksi dengan teori legitimasi yang mengisyaratkan bahwa koperasi hendaknya mengurangi 31 kesenjangan harapan dengan masyarakat (publik) sekitar guna meningkatkan legitimasi (pengakuan) masyarakat. Pengakuan menumbuhkan masyarakat kepercayaan akan masyarakat bermanfaat yang untuk penting bagi perkembangan koperasi di kemudian hari. Untuk itu, koperasi hendaknya menjaga reputasinya yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula semata-mata diukur denganindikator keuangan dan ekonomi dan yang cenderung berorientasi hanya pada kebutuhan serta kepentingan anggota yang berperan sebagai pemilik koperasi dan pengguna layanan memperhitungkan keberpihakan koperasi faktor terhadap (shareholdersorientation) sosial masalah sebagai sosial wujud ke arah kepedulian kemasyarakatan dan (social orientation). 2. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory) J. J Rousseau (1762) dalam Nor Hadi (2011: 96) berpendapat bahwa alam bukanlah wujud dari konflik, melainkan memberikan hak kebebasan bagi individu-individu untuk berbuat secara kreatif. Kontrak sosial (social contract) di buat sebagai media untuk mengatur tatanan (pranata) sosial kehidupan masyarakat. Berdasarkan teori ini, Kontrak sosial (Social contract) dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk menjelaskan hubungan antara koperasi terhadap masyarakat (society). Koperasi (ataupun organisasi bentuk lainnya) memiliki kewajiban kepada masyarakat untuk memberi kemanfaatan bagi masyarakat setempat. Interaksi koperasi memberikan kewajiban bagi koperasi 32 dengan masyarakat untuk selalu berusaha memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat (community norm), sehingga kegiatan koperasi dapat dipandang legitimat oleh masyarakat. 3. Teori Persinyalan (Signalling Theory) Teori sinyal membahas mengenai pentingnya Koperasi untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal. Dorongan tersebut disebabkan karena terjadinya asimetri informasi antara pihak manajemen koperasi dan pihak eksternal yang tidak terlibat dalam pengelolaaan kegiatan perkoperasian koperasi. Untuk mengurangi asimetri informasi maka koperasi harus mengungkapkan informasi terkait kegiatan yang dilakukan dan kelembagaan secara akurat dan sahih baik informasi keuangan maupun non keuangan untuk mendukung pengambilan keputusan terkait lembaga koperasi tersebut. Salah satu informasi yang wajib untuk diungkapkan oleh koperasi adalah informasi tentang penyelenggaraan fungsi perkoperasian dan informasi pelaksanan tanggung jawab sosial koperasi (social responsibility). Informasi ini dapat dimuat dalam laporan tahunan dan atau laporan sosial koperasi pengungkapan pelaksanaan responsibility) dengan kredibilitas masyarakat terpisah. tanggung harapan dapat Koperasi jawab melakukan sosial meningkatkan (social reputasi, dan nilai koperasi di mata anggota, calon anggota dan luas. Reputasi koperasi 33 yang positif berpotensi meningkatkan daya tarik koperasi di mata calon anggota untuk berpartisipasi aktif sebagai anggota dan memperkuat kapasitas koperasi dalam melaksnakan fungsi dan perannya. Nilai koperasi sangat penting karena dengan nilai koperasi yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran anggota koperasi. Semakin tinggi akumulasi nilai kekayaan koperasi semakin tinggi pula nilai koperasi. Nilai koperasi yang tinggi menjadi keinginan para anggota koperasi, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemilik koperasi juga tinggi. Kemanfaatan partisipasi anggota koperasi sebagai pemilik koperasi dipresentasikan oleh nilai promosi ekonomi yang dinikmati anggota koperasi yang merupakan cerminan efektivitas dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen kekayaan koperasi oleh para pengurus koperasi nilai koperasi adalah nilai jual koperasi atau nilai tumbuh bagi anggota anggota koperasi yang tidak saja dibentuk oleh nilai total kekayaan fisik koperasi namun juga oleh reputasi dan kredibilitas koperasi yang terakumulasi. 4. Teori Keagenan (Agency Theory). Pemisahan fungsi pengelolaan dari fungsi kepemilikan pemisahan tugas pengelolaaan berdasarkan perspektif teori agensi berpotensi menimbulkan beberapa kondisi perilaku yaitu : agen yangcenderung mementingkan dirinya sendiri dan akan mengalihkan resources (berinvestasi) dari investasi yang meningkatkan nilai koperasi ke 34 alternatif investasi yang lebih menguntungkan bagi dirinya sendiri. Permasalahan agensi mengindikasikan bahwa nilai koperasi akan dapat meningkat secara umun apabila anggota koperasi bisa mengendalikan perilaku manajemen agar tidak menghamburkan resources koperasi, baik dalam bentuk investasi yang tidak layak maupun dalam bentuk investasi yang nilainya menurun dari tahun ke tahun. Good governance yang selanjutnya disebut sebagai Tata Kelola merupakan suatu sistem dan mekanisme untuk mengelola perilaku agen pengelola entitas koperasi, yang mengatur dan mengendalikan perilaku manajer pengelola koperasi yang diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan nilai koperasi kepada para anggota koperasi. Dengan demikian, penerapan good governance dipercaya dapat meningkatkan nilai koperasi. Koperasi yang mengungkapkan secara terbuka dan memadai kualitas penerapan tata kelola, kelembagaan atau pencapaian kinerja operasionalnya dapat meningkatkan persepsi positif kelembagaan koperasi. Koperasi dapat menggunakan informasi tanggung jawab sosial sebagai keunggulan kompetitif koperasi. Koperasi yang memiliki kinerja lingkungan dan sosial yang baik akan direspon positif oleh anggota dan calon kreditur melalui peningkatan dukungan terhadap kebutuhan sumber daya koperasi. Apabila koperasi memiliki kinerja lingkungan dan sosial yang buruk maka akan muncul keraguan dari calon anggota dan calon kreditor sehingga direspon negatif melalui 35 penurunan partisipasi anggota dan dukungan sumber daya yang diberikan pada koperasi. Pengungkapan CSR berpengaruh pada reputasi koperasi. Hal ini sejalan dengan paradigma enlightened self-interest yang menyatakan bahwa stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya dapat dicapai jika koperasi melakukan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Beberapa hal yang dapat menyebabkan CSR berpengaruh pada reputasi dan kredibilitas koperasi yaitu: (1) manajemen menyadari arti penting CSR sebagai investasi sosial jangka panjang, (2) manajemen memahami bahwa tanggung jawab koperasi tidak hanya untuk pemegang saham tetapi juga pihak-pihak lain yang berkepentingan, (3) pengungkapan CSR merupakan sinyal positif bahwa koperasi telah menerapkan good governance, (4) informasi tanggung jawab sosial koperasi telah direspon baik oleh investor, (5) koperasi telah melakukan pengkomunikasian pesan CSR secara tepat sehingga makna CSR dapat diterima dengan baik oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. 5. Sistem Tata Kelola (Corporate Governance). Beberapa studi tentang Good Corporate Governance telah menggunakan teori agensi sebagai dasar dalam menjelaskan manfaat praktik Good Governance atau Tata Kelola yang Baik.Hubungan agensi ada ketika salah satu pihak (prinsipal) menyewa pihak lain (agen) untuk melaksanakan suatu jasa dan, dalam melakukan hal itu, 36 mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan kepada agen tersebut. Dalam suatu kondisi pengelolaan koperasi, bila anggota mendelegasikan peran pengelolaan kegiatan operasional koperasi kepada pihak ketiga (agen), anggota koperasi/anggota koperasi merupakan prinsipal dan manajer profesional adalah agen mereka. Anggota koperasi menyewa manajer profesional dan mengharapkan mereka bertindak maksimal atas nama kepentingan mereka. untuk bertindak bagi kepentingan mereka. Di tingkat yang lebih rendah, Manajer koperasi adalah prinsipal dan karyawan pelaksana koperasi adalah agennya. Salah satu elemen kunci dari teori agensi adalah bahwa prinsipal dan agen memiliki preferensi atau tujuan yang berbeda. Kebijakan remunerasi yang tepat dapat menetralkan perbedaan kepentingan ini. Selain gaji/upah yang diterima sebagai imbalan, para manajer koperasi dapat menerima/diberikan kontrak insentif akan mengurangi dorongan memaksimal kepentingan pribadi dalam pengelolaan koperasi dan mempertimbangkan kepentingan koperasi dalam panjang seperti keberlanjutan usaha koperasi dari pada memaksimalkan surplus hasil usaha pada periode operasional tertentu. Dalam UU PT No.40 Tahun 2007, disebutkan bahwa entitas bisnis yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). 37 Kusus bagi Perusahaan yang menggunakan masukan sumber daya tak terbarukan wajib melakukan upaya pelestarian lingkungan sebagai bagian dari aktivitas sosialnya. Berdasarkan ketentuan UU koperasi nomor 17 tahun 2012 kita juga dapat melihat ketentuan terkait alokasi dana sisa hasil usaha untuk pembangunan wilayah kerja Koperasi sebesar 1,5%. Prinsip Dan Implementasi Tata Kelola Yang Baik. Pedoman Umum Tata Kelola Koperasi dalam rangka: 1. Mendorong tercapainya kesinambungan koperasi melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. 2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ koperasi, yaitu Badan pengawas, Pengurus dan Rapat Anggota Koperasi. 3. Mendorong anggota koperasi, anggota badan pengawas, pengurus agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. 4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial koperasi terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar koperasi. 5. Mengoptimalkan kemanfaatan koperasi bagi anggota koperasi dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. 38 6. Meningkatkan daya saing koperasi secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong volume kegiatan koperasi dan peningkatan peran koperasi dalam ekonomi nasional yang berkesinambungan. 7. Pedoman tata kelola ini dapat diserap dalam rancangan peraturan daerah tentang pemberdayaan Koperasi, merupakan standar minimal yang akan ditindaklanjuti. Setiap koperasi harus memastikan bahwa asas tata kelola yang baik diterapkan pada setiap aspek kegiatan perkoperasian di semua jajaran koperasi. Asas tersebut yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) koperasi dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). 1. Transparansi (Transparency).Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, koperasi harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Koperasi harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan pemangku keputusan kepentingan oleh anggota koperasi, lainnya.Koperasi harus kreditur dan menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan 39 sesuai dengan haknya; Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi koperasi, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, anggota koperasi. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh koperasi tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi;Kebijakan koperasi harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan. 2. Akuntabilitas (Accountability) adalah Koperasi harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wcijar. Untuk itu koperasi harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan koperasi dengan tetap memperhitungkan kepentingan anggota koperasi dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Koperasi harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ koperasi dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai koperasidan strategi koperasi;Koperasi harus meyakini bahwa semua organ koperasi dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab. Koperasi harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan koperasi; Koperasi harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran koperasi yang konsisten dengan sasaran usaha koperasi, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system) ; Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap 40 organ koperasi dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati. 3. Responsibilitas mematuhi (Responsibility) peraturan adalah bahwa perundang-undangan Koperasi serta harus melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Koperasi harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan koperasi (by-laws); Koperasi harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar koperasi dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. 4. Independensi .Koperasi harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ koperasi tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Masing-masing organ koperasi harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif; Masing-masing organ koperasi harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain. 41 5. Kewajaran dan Kesetaraan melaksanakan memperhatikan (Fairness) kegiatannya, kepentingan adalah koperasi pemegang bahwa harus saham dan Dalam senantiasa pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Koperasi harus kepentingan memberikan untuk kesempatan memberikan masukan kepada dan pemangku menyampaikan pendapat bagi kepentingan koperasi serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing; Koperasi harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada koperasi; Koperasi harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan gender, ras, agama, kelompok dan kondisi fisik. Secara umum pembagian macam koperasi di Indonesia telah diatur dalam perundang-undangan, namun tidak ada salahnya apabila kita berusaha memahaminya berdasarkan landasan, baik yang bersifat teoritis maupun kenyataan yang terjadi sesudahnya. Sesuai dengan sejarah timbulnya koperasi, pembagian koperasi didasarkan pada kebutuhan masyarakat itu. Secara mendasar koperasi dibedakan atas koperasi konsumsi, koperasi produksi dan koperasi kredit, namun setelah peradaban semakin maju aktifitas masyarakat bertambah komplek timbulah berbagai macam bentuk dasar koperasi itu misalnya saja koperasi produksi dapat dibagi menjadi koperasi 42 pertanian, pertemakan, koperasi perikanan maupun koperasi pengkrajin. Untuk konteks ke Indonesiaan pembagian koperasi didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat secara umura di Indonesia ada lima kualifikasi koperasi diantaranya adalah : 1.Koperasi Konsumsi Sesuai dengan namanya koperasi konsumsi adalah koperasi yang menangani pengadaan berbagai barang-barang untuk memenuhi kebutuhan anggotanya misalnya saja, beras, gula, sabun, minyak goreng, perkakas rumah tangga dan barang elektronika. Tujuan koperasi konsumsi ialah agar anggota-anggotanya dapat membebani pengadaan berbagai barang-barang konsumsi dengan kualitas yang baik dan harga yang layak untuk melayani kebutuhan anggota-anggotanya maka suatu koperasi konsumsi akan melakukan beberapa para anggota : a. Membeli dan menghimpun barang-barang konsumsi daiam jumlah sesuai kebutuhan para anggota. b. Menyalurkan barang konsumsi itu membuat sendiri barang-barang konsumsi dengan harta yang layak. c. Mungkin juga koperasi itu membuat sendiri barang-barang konsumsi yang butuhkan untuk kemudian dijual kepada para anggota sehingga mereka tidak terlalu bergantung kepada pihak luar. Koperasi konsumsi ialah koperasi-koperasi yang anggota- anggotanya39 terdiri dari tiaptiap orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam lapangan konsumsi. Koperasi konsumsi mempunyai fungsi: 43 1) Sebagai penyalur tunggal barang-barang kebutuhan rakyat seharihari yang mempendek jarak antara konsumen dan produsen. 2) Harga barang sampai dengan pemakai menjadi murah. 3) Ongkos-ongkos penjualan maupun pembelian dapat dihemat. 2.Koperasi Kredit atau Koperasi Simpan Pinjam Koperasi kredit didirikan untuk memberikan kesempatan kepada anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dan dengan mudah dan dengan ongkos (satu bunga) yang ringan itulah sebabnya disebut koperasi kredit. Koperasi kredit atau koperasi simpan pinjam ialah koperasi yang bergerak dalam lapangan usaha pembentukan modal melalui tabungan-tabungan para anggota secara teratur dan terus-menerus untuk kemudian dipinjamkan kepada anggota dengan cara mudah, murah, cepat dan tepat untuk tujuan produktif dan kesejahteraan. Contohnya adalah unit-unit simpan pinjam dalam KUD KSU, Credit Union, Bukopin, Bank Koperasi Pasar dan lain-lain. 1. Karakteristik Usaha Mikro a. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti. b. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat. c. Belum melakukan administrasi keuangan yg sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha. 44 d. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai. e. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah. f. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian sudah akses ke lembaga keuangan non bank. g. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP. Contoh Usaha Mikro a. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya. b. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan rotan,industri pandai besi pembuat alat-alat. c. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dll. d. Peternakan ayam, itik dan perikanan. e. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit (konveksi). 2. Karakteristik Usaha Kecil a. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah. b. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindahpindah. 45 c. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha. d. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP. e. Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira usaha. f. Sebagian sdh akses ke perbankan dlm keperluan modal. g. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business planning. Contoh Usaha Kecil a. Usaha tani sebagai pemilik tanah perorangan yang memiliki tenaga kerja b. Pedagang dipasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya. c. Pengrajin industri makanan dan minuman, industri meubelair, kayu dan rotan, industri alat-alat rumah tangga, industri pakaian jadi dan industri kerajinan tangan. d. Peternakan ayam, itik dan perikanan. e. Koperasi berskala kecil. 3. Karakteristik Usaha Menengah a. Umumnya memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi. 46 b. Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan. c. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll. d. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll. e. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan. f. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik. 4. Permasalahn Yang Dihadapi UMKM a. Belum dimilikinya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. b. Sulitnya menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman bank maupun modal ventura, berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan bank, dan terlalu tingginya tingkat bunga. c. Kendala dalam menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat. d. Kendala dalam mengakses teknologi terutama karena pasar dikuasai oleh perusahaan/kelompok bisnis tertentu, serta selera konsumen yang cepat berubah. 47 e. Kendala dalam memperoleh bahan baku karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkualitas rendah, dan harga bahan baku yang tinggi. f. Kendala dalam perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama untuk tujuan ekspor karena selera konsumen berubah dengan cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti. g. Kendala dalam hal tenaga kerja, karena sulit memperoleh tenaga kerja yang terampil. 48 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Analisis Peraturan Perundang – Undangan Terkait. 1. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan UU No. 10 tahun 1998 merupakan UU perubahan pertama atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU yang disahkan pada 10 November 1998 ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR untuk menyempurnakan system perbankan nasional. Penyempurnaan yang dilakukan ini tidak saja sebagai upaya yang dilakukan untuk menyehatkan bank secara individual namun juga untuk menyehatkan system perbankan secara menyeluruh. Di dalam UU ini terdapat 43 perubahan atau penyempurnaan materi pengaturan dari UU No. 7 tahun 1992. Penyempurnaan yang dilakukan ini terkait dengan sejumlah materi pengaturan antara lain meliputi penggunaan istilah beserta pengertiannya; pemberlakuan prinsip syariah dalam system perbankan; ketentuan mengenai pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah oleh perbankan; ketentuan mengenai pembelian agunan dan pencairannya; ketentuan mengenai izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat; ketentuan mengenai pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan Bank Umum dan Bank 49 Perkreditan Rakyat; ketentuan mengenai bentuk hukum Bank Umum; ketentuan mengenai pendirian Bank Umum; ketentuan mengenai emisi saham melalui bursa efek yang dilakukan Bank Umum; ketentuan mengenai perubahan kepemilikan bank; ketentuan mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank; ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan bank; ketentuan mengenai pemeriksaan terhadap bank oleh Bank Indonesia; ketentuan mengenai tindakan yang dapat dilakukan Bank Indonesia dalam mengatasi kesulitan bank terhadap kelangsungan usahanya dan melakukan penyehatan perbankan secara umum; ketentuan mengenai kewajiban bank menjamin dana masyarakat; ketentuan mengenai perlindungan rahasia nasabah; serta perubahan ketentuan pidana perbankan. Di dalam UU N0.10 tahun 1998 dijelaskan sejumlah istilah yang perlu diketahui, karena memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung terhadap koperasi. Dalam ketentuan pasal 1 butir 2, 3, dan 4, dijelaskan mengenai definisi Bank, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, yaitu: Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak; 50 Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip .6 Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; Disebutkan pula pada butir 11, 12, dan 13 mengenai definisi kredit, pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dan penjelasan mengenai Prinsip Syariah, yaitu: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil 6 Pasal 1 Ayat 1-4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 51 (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahankepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Pada materi pengaturan dalam UU No. 10 tahun 1998, diatur pula sejumlah materi ketentuan yang keterkaitan dengan aktivitas koperasi, meliputi: a. Prinsip dalam pemberian kredit atau pembiayaan Di dalam pasal 8 disebutkan dalam ayat (1)-nya bahwa: “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa “Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." b. Kewenangan dalam Menetapkan Batas Maksimum Pemberian Kredit atau Pembiayaan Di dalam perubahan pasal 11, disebutkan kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan, meliputi: 52 1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 2. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada: a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank; b. anggota Dewan Komisaris; c. anggota Direksi; d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a, huruf b, dan huruf c; e. pejabat bank lainnya; dan f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. 3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian 53 kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)." c. Dukungan Perbankan Dalam Program Peningkatan Taraf Hidup Rakyat Banyak Di dalam perubahan ketentuan pasal 12, diatur mengenai dukungan yang diberikan oleh perbankan melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil, dan menengah, dimana disebutkan: 1. Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum. 2. Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." d. Perubahan Lingkup Usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UU No. 10 tahun 1998 juga mengamanatkan adanya penyempurnaan terhadap lingkup usaha dari BPR. Dimana pada butir c pasal 13 materi ketentuan disempurnakan menjadi: “menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." e. Bentuk Hukum Bank Umum UU N0. 10 tahun 1998 dalam perubahan pasal 21 tetap mencantumkan Koperasi menjadi salah satu bentuk hukum dari Bank Umum. f. Pembinaan dan Pengawasan Bank 54 Ketentuan pasal 29 melalui UU No. 10 tahun 1998 dilakukan sejumlah penyempurnaan redaksional. Dalam kaitan dengan aktivitas koperasi terdapat beberapa ketentuan yang saling berhubungan dengan ketentuan pasal 29 ini, khususnya dalam hal pemberian kredit atau pembiayaan dan penyediaan informasi mengenai resiko kepada nasabah. Materi pengaturan dalam pasal 29 selengkapnya yaitu: 1. Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. 2. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. 3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. 4. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. 5. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 55 Dari UU No. 10 tahun 1998 kemudian muncul UU lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas perbankan. UU tersebut antara lain ialah: 1. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 2. UU No. 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana 3. UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 10 tahun 1998 dalam perjalanannya telah mengalami 2 (dua) kali uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Di mana pada uji materi yang pertama, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan No. 82/PUU-IX/2011 telah menolak permohonan uji materil yang diajukan oleh pemohon Sdr. Fara Novia Manoppo terhadap ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU No. 10 tahun 1998 mengenai pidana maksimal dan minimum serta denda maksimal dan minimum yang tertera pada pasal tersebut. Kemudian pada tahun 2012, UU No. 10 tahun 1998 kembali diuji secara materi ke Mahkamah Konsitusi oleh pemohon Sdr. Magda Safrina, yang mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 40 ayat (1) mengenai kewajiban Bank merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konsitusi berdasarkan Putusan No. 64/PUU-X/2012 telah mengabulkan permohonan pemohonan untuk sebagian, dimana dengan Putusan ini, MK memberikan penafsiran lain mengenai perlindungan data nasabah dengan memperbolehkan suami atau istri mengakses informasi perbankan terhadap keberadaan harta bersama selama menikah untuk kepentingan peradilan dalam perkara perceraian. 56 Ketentuan terkait bentuk Badan Hukum pada UU NO. 10 tahun 1998 dalam perubahan pasal 21 tetap mencantumkan Koperasi menjadi salah satu bentuk hukurn dari Bank Umum. Sementara untuk pembinaan dan pengawasan Bank ketentuan pasal 29 melalui UU No. 10 tahun 1998 dilakukan sejumlah penyempurnaan redaksional. Dalam kaitan dengan aktivitas koperasi terdapat beberapa ketentuan yang saling berhubungan dengan ketentuan pasal 29 ini, khususnya dalam hal pemberian kredit atau pembiayaan dan penyediaan informasi mengenai resiko kepada nasabah. 2.. UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat UU No. 5 tahun 1999 merupakan salah satu produk Undang-Undang yang dihasilkan di awal masa reformasi. Kondisi persaingan usaha yang tumbuh secara tidak sehat melalui prilaku monopoli, pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, dan berbagai prilaku usaha lainnya yang mencederai semangat kewirausahaan sejati pada masa orde baru, telah mendorong pembuat Undang-Undang di negeri ini, untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha melalui UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini. Di harapkan melalui Undang-undang ini jaminan kepastian hukum dapat diberikan untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa, Undang-Undang Dasar 1945. 57 Secara umum, materi dari Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan. Keenam bagian pengaturan tersebut meliputi: (1) perjanjian yang dilarang; (2) kegiatan yang dilarang; (3) posisi dominan; (4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha; (5) penegakan hukum; dan (6) ketentuan lain-lain. Di dalam perjanjian yang dilarang terdapat 10 jenis perjanjian yang dilarang oleh UU ini. Kesepuluh perjanjian tersebut meliputi oligopoly, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel trust oligopsoni; integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri. UU kemudian mengatur pula adanya 4 (empat) jenis kegiatan yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha. Keempat jenis kegiatan yang dilarang tersebut meliputi: monopoli; monopsony; penguasaan pasar; dan persekongkolan. Selain perjanjian dan kegiatan yang dilarang, UU juga mengatur mengenai larangan pelaku usaha untuk melakukan posisi dominan. Disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) jenis perilaku posisi dominan yang dilarang meliputi: prilaku umum posisi dominan; jabatan rangkap; pemilikan saham; serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Dalam hal daya ikat dan lingkup keberlakuan, Koperasi secara umum merupakan entitas badan usaha yang berstatus badan hukum yang terikat secara umum dengan UU No. 5 tahun 1999. Disebutkan di dalam pasal 1 butir 5 bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan 58 hukum yang didirikan dan bekedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Atas dasar definisi tersebut maka secara umum koperasi dapat dikatagorikan sebagai badan usaha yang berbentuk badan hukum yang terikat dengan materi pengaturan mengenai pelaku usaha yang ada di dalam ketentuan UU No. 5 tahun 1999 ini. Namun demikian, masuknya koperasi sebagai bagian dari pelaku usaha ini tidak serta merta membuat kegiatan usaha yang dilakukan koperasi terikat secara hukum dengan keberadaan UU No. 5 tahun 1999. Di dalam pasal 50 UU ini, kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya, dikecualikan dari ketentuan UU No. 5 tahun 1999. Yang dimaksud dengan melayani anggotanya disini adalah memberi pelayanan hanya kepada anggotanya dan bukan kepada masyarakat umum untuk pengadaan kebutuhan pokok, kebutuhan sarana produksi termasuk kredit dan bahan baku, serta pelayanan untuk memasarkan dan mendistribusikan hasil produksi anggota yang tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Karena itu ketentuan ini dapat diartikan bahwa seluruh kegiatan usaha koperasi, sepanjang secara khusus diperuntukkan untuk melayani anggota, tidak terkena atau terikat dengan ketentuan atau batasan yang ada di dalam UU No. 5 tahun 1999 ini. Sebaliknya bila kegiatan usaha yang dilakukan koperasi diperuntukkan untuk melayani masyarakat umum dengan lingkup aktivitas yang disebutkan oleh UU ini 59 maka kegiatan usaha koperasi tetap terikat dengan pengaturan dari UU No. 5 tahun 1999. Penggunaan kata Koperasi secara khusus yang ada di dalam UU No. 5 tahun 1999, selain dapat dilihat pada ketentuan pasal 50, juga dapat ditemukan pada penjelasan pasal 32 huruf i. Di mana disebutkan bahwa anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak boleh terafiliasi dengan suatu badan usaha, yang salah satunya tidak menjadi anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi. 3. UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 tahun 2004 merupakan UU yang menjadi dasar dari pelaksanaan otonomi daerah. Keberlakukan UU ini menggantikan sekaligus menyempurnaan ketentuan dari UU No. 22 tahun 1999 yang telah membangun pondasi dasar dan mengubah tata kelola pemerintahan di daerah. Perubahan atau amandemen konstitusi RI sedikitnya juga telah mengubah landasan konstitusional pemerintahan pada tingkat daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing 60 dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip otonomi seluas-luasnya ini di artikan daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama penyelenggaraan dari tujuan otonomi nasional. daerah Seiring harus selalu dengan prinsip berorientasi itu pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. 61 Karena itu di dalam penyelenggaraan otonomi daerah atau desentralisasi ini salah satu aspek yang memiliki kedudukan yang demikian penting dan strategis ialah mengenai pembagian urusan pemerintahan. Hal ini di dasari pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat selain urusan yang diserahkan secara otonom ke daerah. Urusan pemerintahan yang harus tetap dipegang oleh pemerintah pusat ini tentunya di dasari atas pertimbangan bahwa urusan-urusan ini menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. UU N0.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 tahun 2004 ini mengatur adanya 6 (enam) urusan utama yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi urusan: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama dan Hukum. Mengacu pada ketentuan tersebut maka pemberian Badan Hukum Koperasi dimana pada hakekatnya adalah proses berkaitan dengan Hukum perlu dipertimbangkan kembali apakah akan didelegasikan kewenangannya pada Pemerintah Daerah sebagaimana berlangsung selama ini atau pada Pemerintah Pusat, mengingat Urusan Hukum adalah kewenangan Pemerintah Pusat yang tidak didesentralisasikan. Di samping keenam urusan di atas, terdapat pula bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang 62 menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Berkaitan dengan perkoperasian dan UMKM, UU.No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 tahun 2004 ini telah memasukkan urusan pengembangan koperasi sebagai bagian dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi maupun pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hal ini dalam di lihat dalam pasal 13 ayat (1) huruf i, yang menyebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota. Ketentuan serupa juga disebutkan dalam pasa 14 ayat (1) huruf I, dimana urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan 63 daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah. UU No. 32 tahun 2004 dalam perjalanannya telah mengalami 2 (dua) kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan UU No. 32 tahun 2004, yang selanjutnya ditetapkan dalam UU No. 8 tahun 2005. Kemudian pada perubahan kedua dilakukan dengan menetapkan UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. 4. UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah UU No. 20 tahun 2008 yang telah berlaku sejak 4 Juli 2008 ini merupakan upaya bersama DPR dan Pemerintah dalam membangun landasan hukum yang kuat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan, Menengah. Diharapkan melalui UU, berbagai upaya dalam meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan usaha mikro, kecil, dan menengah dalam perekonomian nasional dapat terbangun secara menyeluruh, sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik itu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, maupun masyarakat. Terdapat 3 (tiga) tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang dituju dengan adanya UU ini. Tujuan pertama ialah mewujudkan struktur perekonomian berkeadilan. Pada nasional tujuan yang kedua ialah seimbang, ingin berkembang, dan menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi 64 usaha yang tangguh dan mandiri; dan tujuan ketiga ingin meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Atas tujuan yang ingin dicapai oleh UU tersebut, maka terdapat 3 (tiga) entitas usaha yang menjadi subjek sekaligus fokus pengaturan, yaitu usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Usaha Mikro menurut UU ini diartikan sebagai usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro. Kriteria yang dimaksud ini meliputi: (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Usaha Kecil yang dimaksud dalam UU ini diartikan sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Kriteria dimaksud ini meliputi: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 65 Sedangkan pengertian dari Usaha Menengah menurut UU ini adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: (1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Di dalam UU ini terdapat 2 (dua) pasal yang menyebutkan kata Koperasi sebagai bagian dari materi pengaturan. Pada pasal 1 butir 11, disebutkan bahwa Koperasi merupakan salah satu institusi yang menyediakan pembiayaan bagi upaya memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal tersebut yang menyebutkan bahwa Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di dalam konteks yang kedua, Koperasi dalam UU No, 20 tahun 2008 diletakkan sebagai subjek dari kebijakan yang dimanatkan oleh UU kepada Pemerintah dalam lingkup upaya meningkatkan sumber pembiayaan Usaha 66 Mikro dan Usaha Kecil. Dimana disebutkan dalam pasal 22, bahwa dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya, salah satunya dalam huruf d disebutkan melalui, peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah. 5. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah UU No. 21 tahun 2008 sejatinya merupakan upaya untuk memperkuat landasan hukum sekaligus kepastian hukum serta keyakinan bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam menggembangkan dan menggunakan produk serta jasa Bank Syariah. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah sebenarnya telah diatur dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No, 10 tahun 1998. Namun pengaturan di dalam kedua UU tersebut dirasakah belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah serta kurang dapat merespon pertumbuhan dan volume usaha Bank Syaraiah yang berkembang demikian cepat. Di dalam UU Perbankan Syariah ini diatur mengenai jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak 67 mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Prinsip syariah yang dimaksud dalam UU ini diartikan sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. Materi pengaturan UU ini tidak menyebutkan secara spesifik kaitan atau hubungan yang terkait erat dengan Koperasi baik sebagai entitas badan hukum maupun aktivitas/kegiatan usaha yang dilakukan. Namun secara umum terdapat sejumlah materi pengaturan yang memiliki hubungan atau relasi yang berkaitan dengan aktivitas usaha dari Koperasi, khususnya di dalam lingkup penyediaan pembiayaan/kredit. Hal ini dapat dilihat dari definisi nasabah dan jenis-jenis nasabah dari perbankan syariah yang menjelaskan ruang lingkup penggunaan istilah tersebut dalam perbankan syariah. Nasabah diartikan sebagai pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS. Sedangkan Nasabah Penyimpan adalah 68 Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. Dan Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. Sedangkan Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah. Hal lain yang terkait erat dengan aktivitas koperasi ialah mengenai pembiayaan yang disediakan oleh perbankan syariah. Pembiayaan diartikan sebagai penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Koperasi sebagai salah satu entitas badan hukum Indonesia, disebutkan pula termasuk dalam pihak-pihak yang dapat mendirikan Bank Umum Syariah maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dimana disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) bahwa Bank Umum Syarah hanya dapat didirikan 69 dan/atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia secara individu maupun bermitra dengan warga Negara asing atau badan hukum asing secara kemitraan. Sedangkan dalam pasal 9 ayat (2), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki salah satunya oleh badan hukum Indonesia yang seluruh pemilknya warga Negara Indonesia. Koperasi selaku badan hukum Indonesia menurut ketentuan pasal 14 juga dapat memiliki atau membeli saha Bank Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek. Ketentuan lainnya dalam UU Perbankan Syariah yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan Koperasi ialah mengenai kegiatan usaha dan kelayakan penyaluran dana. Kegiatan usaha Bank Umum Syariah berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (1) meliputi: a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 70 e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah; m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; 71 o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah; p. memberikanfasilitasletterofcreditataubankgaransi berdasarkan Prinsip Syariah; dan q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan usaha UUS berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (2) meliputi: a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli 72 dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 73 Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana tersebut di atas, Bank Umum Syariah dapat pula: a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya; d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah; e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik; g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah. Selain melakukan kegiatan usaha, UUS dapat pula: 74 a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya; d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik; e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah. Sedangkan terkait dengan kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi: a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk: 1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan 2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk: 75 1 Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah; 2 Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’; 3 Pembiayaan berdasarkan Akad qardh; 4 Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan 5 pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah; c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. Di dalam mengakses fasilitas pembiayaan/pendanaan dari Bank Syariah dan/atau UUS, Koperasi selaku nasabah juga harus memahami ketentuan atau batasan yang diberikan UU kepada Bank Syariah/UUS dalam menyalurkan dana yang dikelolanya kepada nasabah. Ketentuan pasal 23 menyebutkan bahwa Bank Syariah dan/atau UUS harus 76 mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan dimaksud, Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas. Dengan ditetapkan kebijakan Moratorium pendirian Bank Perkreditan rakyat, maka untuk usaha/penyelenggaraan kegiatan berdasarkan prinsip Syariah terbuka peluang untuk Simpan Pinjam diakomodasikan pengaturannya dalam Badan Hukum Koperasi yang berdasarkan prinsip Syariah. 6. UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 8 tahun 2010 disahkan pada 22 Oktober 2010 merupakan instrument hukum yang dibuat untuk mencegah dan pemberantas tindak pidana pencucian uang. Seperti diketahui bahwa pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana 77 tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya. Oleh karena itu, di dalam materi pengaturan UU ini terdapat sejumlah materi yang memiliki kaitan secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas koperasi dan UMKM, khususnya koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam. Jenis koperasi simpan pinjam ini dalam ketentuan pasal 17 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 dimasukkan sebagai pihak pelapor yaitu intitusi yang merupakan penyedia jasa keuangan. 78 Pihak pelapor sebagaimana menerapkan prinsip mengenali dimaksud pengguna pada jasa pasal 18 wajib sebagaimana yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan pengatur. Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dilakukan pada saat melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa. UU juga mewajibkan pihak pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain. Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut. Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut. Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur. UU juga mewajibkan Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa tersebut. 79 Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban ini dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Penyedia jasa keuangan wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa jika: 1. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau 2. Penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa. Penyedia jasa keuangan wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Penyedia jasa keuangan juga diwajibkan oleh UU untuk menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi: Transaksi Keuangan Mencurigakan; Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri. Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan Tunai dan Besarnya jumlah Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunai dikecualikan terhadap: Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank sentral; Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan penyedia jasa 80 keuangan yang disetujui oleh PPATK. Kewajiban pelaporan tidak berlaku untuk Transaksi yang dikecualikan. UU juga mewajibkan Penyedia jasa keuangan untuk membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan. Penyedia jasa keuangan yang tidak membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan dikenai sanksi administratif. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan. Penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dikenai sanksi administratif. UU juga mengatur bahwa Penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penundaan Transaksi dilakukan.Penundaan Transaksi ini dilakukan dalam hal Pengguna Jasa: melakukan Transaksi yang patut diduga menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana; memiliki rekening untuk menampung Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana atau diketahui dan/atau patut diduga menggunakan Dokumen palsu. Pelaksanaan penundaan Transaksi dicatat dalam berita acara penundaan Transaksi. Penyedia jasa keuangan memberikan salinan berita acara penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa. Penyedia jasa keuangan 81 wajib melaporkan penundaan Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita acara penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu penundaan Transaksi dilakukan. Setelah menerima laporan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan Transaksi dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini. Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut. Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan.Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut UndangUndang ini. Mengakomodasikan ketentuan tersebut dalam UU Koperasi yang baru akan ditetapkan mekanisme prinsip mengenal nasabah pelaksanaan kewajiban menerapkan dan melaporkan transaksi mencurigakan kepada PPATK secara periodik oleh Koperasi penyelenggara kegiatan Simpan Pinjam sesuai mekanisme yang ditetapkan oleh Undang-Undang terkait. 7. UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini merupakan landasan hukum dalam melakukan penataan kembali struktur 82 pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dalam Undang-Undang ini disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, UMKM, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, 83 OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur- unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan informasi internasional, dalam rangka kebutuhan menjaga dan koordinasi, dan pertukaran memelihara stabilitas sistem keuangan. Terkait dengan aktivitas Koperasi, khususnya yang bergerak di dalam jasa keuangan, terdapat sejumlah materi pengaturan terkait yang perlu diketahui dari UU ini. Ketentuan pasal 1 butir 4 menjabarkan secara jelas mengenai apa itu Lembaga Jasa Keuangan. Dimana di jelaskan bahwa 84 Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Yang dimaksud Perbankan disini adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah. Sedangkan Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal. Sedangkan yang dimaksud dengan Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. Dan yang dimaksud dengan Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun. 85 Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan. Sedangkan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara kesejahteraan, program sebagaimana jaminan dimaksud sosial, dalam pensiun, peraturan dan perundang- undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundangundangan. OJK berdasarkan pasal 6 UU ini melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sector perbankan, OJK mempunyai wewenang meliputi: a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya 86 manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur 4. pengujian kredit (credit testing) 5. standar akuntansi bank c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati- hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko 2. tata kelola bank 3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan d. pemeriksaan bank. Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK 87 f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan. Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu e. melakukan penunjukan pengelola statuter f. menetapkan penggunaan pengelola statuter 88 g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha 2. izin orang perseorangan 3. efektifnya pernyataan pendaftaran 4. surat tanda terdaftar 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha 6. pengesahan 7. persetujuan atau penetapan pembubaran 8. penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan. Dengan berlakunya UU No. 21 tahun 2011 ini, maka berdasarkan ketentuan pasal 70, UU lain yang berkaitan dengan jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. UU yang terkait dengan jasa keuangan ini meliputi: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dan peraturan pelaksanaannya 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran 89 Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) dan peraturan pelaksanaannya 3. Undang-Undang (Lembaran Nomor Negara 11 Republik Tahun 1992 Indonesia tentang Tahun Dana 1992 Pensiun Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dan peraturan pelaksanaannya 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) dan peraturan pelaksanaannya 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dan peraturan pelaksanaannya. 6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) dan peraturan pelaksanaannya. 90 7. peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa keuangan, Menyelaraskan dengan ketentuan tersebut terkait kewenangan OJK dalam pengawasan kegiatan penyelenggaraan Jasa Keuangan maka dalam Undang-Undang Perkoperasian yang baru akan diatur bahwa sepanjang cakupan pelayanan jasa simpan pinjam untuk anggota Koperasi maka oleh Koperasi hanya dilakukan Koperasi penyelenggara jasa layanan Simpan Pinjam dikecualikan dari pengawasan dan pemeriksaan yang dilaksanakan oleh OJK, dan sebagai alternatif akan diatur bahwa pengawasan dan pemeriksaan dilaksanakan oleh pembina Koperasi dan Akuntan Publik yang independen untuk menjamin kesahihan dan akurasi penyajian informasi keuangannya kepada publik. 8. UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro UU No. 1 tahun 2013 yang disahkan pada 8 Januari 2013 in merupakan upaya yang dilakukan DPR bersama Pemerintah dalam memberikan landasan hukum dan kepastian hukum dalam memperkuat dan mengembangkan lembaga keuangan mikro yang menyediakan dana atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala kecil. Lembaga Keuangan Mikro pada dasarnya dibentuk berdasarkan semangat yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Keberadaan LKM pada prinsipnya sebagai lembaga keuangan yang menyediakan jasa Simpanan dan Pembiayaan skala mikro, kepada masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan dapat berperan sebagai instrumen pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta 91 meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Melalui penyusunan UU ini diharapkan dapat mempermudah akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh Pinjaman/Pembiayaan mikro; memberdayakan ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah; dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Di dalam Undang-Undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup LKM, konsep Simpanan dan Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM, asas dan tujuan. UndangUndang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan. Bentuk badan hukum LKM menurut Undang-Undang ini adalah Koperasi dan Perseroan Terbatas. LKM kepemilikan yang sahamnya berbentuk badan mayoritas hukum dimiliki oleh Perseroan Pemerintah Terbatas, Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multiticensing). Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah 92 Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM. Dalam hal diperlukan, Pemerintah dapat Pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama Pemerintah Daerah dan LKM. Undang-Undang ini mengatur pula ketentuan mengenai tukarmenukar informasi antar-LKM. Undang- Undang ini juga mengatur mengenai penggabungan, peleburan, dan pembubaran. Di dalam UndangUndang ini, perlindungan kepada pengguna jasa LKM, pembinaan dan pengawasan LKM, diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. Agar implementasi UndangUndang ini dapat terlaksana dengan baik, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, termasuk Pemerintah Daerah, kementerian yang membidangi urusan perkoperasian, dan kementerian yang membidangi fiskal, perlu bekerja sama untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang ini. Terkait dengan koperasi, terdapat sejumlah materi pengaturan yang secara spesifik berhubungan dengan Koperasi selaku entitas badan hukum maupun dengan kegiatan usaha yang dilakukan. Sejumlah materi pengaturan tersebut meliputi: 1. Bentuk Badan hukum LKM Di mana disebutkan bahwa salah satu bentuk badan hukum dari LKM ialah Koperasi, khususnya koperasi jasa. 2. Kepemilikan Koperasi dapat memiliki sisa kepemilikan saham LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas. Dimana kepemilikan saham lainnya ialah 93 Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Selain saham, ketentuan pasal 8 juga menyatakan secara jelas bahwa LKM hanya dapat dimiliki salah satunya oleh Koperasi. 3. Kesulitan Likuiditas dan Solvabilitas Dalam upaya menangani LKM yang mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan usaha LKM, OJK dapat melakukan tindakan salah satunya menurut pasal 23 ayat (1) butir a, berupa pemegang saham atau anggota koperasi menambah modal. 4. Pembinaan, Pengaturan dan Pengawasan LKM Kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dimiliki oleh OJK. Dalam melaksanakan pembinaan, OJK melakukan koordinasi salah satunya dengan Kementerian Koperasi dan UKM. Dalam melakukan inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum, pasal 40 UU No. 1 tahun 2013 mengatur bahwa OJK bersama dengan Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan inventarisasi tersebut. 5. Sanksi Administratrif Bagi LKM yang melanggar ketentuan dalam UU, berdasarkan pasal 33 ayat (1), dapat dikenai sanksi administrative berupa, salah satunya di butir d, yaitu pemberhentian direksi atau pengurus LKM dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham 94 atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 6. Ketentuan Pidana Berdasarkan ketentuan pasal 34, setiap orang yang menjalankan LKM tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara. Dalam hal kegiatan yang dimaksud ini dilakukan oleh badan hukum yang salah satunya berbentuk koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Selain ketentuan pasal di atas, pada pasal 38 juga diatur mengenai tindak pidana yang dikenakan bagi Pemegang saham atau pemilik LKM yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus, anggota koperasi, atau pegawai LKM untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan LKM tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi LKM. Dalam kondisi tertentu bila Pemerintah Daerah atau masyarakat menyelenggarakan jasa pembiayaan untuk kepentingan masyarakat miskin dengan bentuk kelembagaan koperasi maka akan diatur dan dikelompokkan sebagai koperasi jasa. 95 Koperasi tersebut 9. UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian UU ini merupakan penyempurnaan dari UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian yang dinilai sudah tidak memadai lagi sehingga perlu untuk diganti dengan UU yang baru. Dalam upaya menciptakan struktur ekonomi yang mandiri, sehat dan kukuh dalam menopang Pembangunan nasional diperlukan pembangunan industry yang kuat sebagai penggerak utamanya. Globalisasi dan liberalisasi telah membawa dinamika perubahan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Di satu sisi pengaruh yang paling dirasakan adalah terjadi persaingan yang semakin ketat dan di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa konsekuensi pergeseran peran dan misi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pembangunan Industri. Perubahan eksternal yang berpengaruh terhadap pembangunan Industri ditandai dengan telah diratifikasi perjanjian internasional yang bersifat bilateral, regional, dan multilateral yang mempengaruhi kebijakan nasional di bidang Industri, investasi, dan perdagangan. Penyempurnaan Undang-Undang tentang Perindustrian bertujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus mampu menjadi 96 landasan hukum bagi tumbuh, berkembang, dan kemajuan Industri nasional. Undang-Undang tentang Perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrumen pengaturan yang efektif dalam pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pokok- pokok pengaturan dalam undang-undang yang baru meliputi penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, perwilayahan Industri, pembangunan sumber daya Industri, pembangunan sarana dan prasarana Industri, pemberdayaan Industri, tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri, perizinan, penanaman modal bidang Industri dan fasilitas, Komite Industri Nasional, peran serta masyarakat, serta pengawasan dan pengendalian. Terkait dengan koperasi, secara khusus UU No. 3 tahun 2014 ini menyebutkan Koperasi sebagai salah satu entitas yang dapat membangun kawasan industry yang ada di suatu wilayah. Berdasarkan ketentuan pasal 63 disebutlkan bahwa untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien dan efektif di wilayah pusat pertumbuhan Industri dibangun Kawasan Industri sebagai infrastruktur Industri. Kawasan Industri ini harus berada pada kawasan peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Pembangunan kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau koperasi. Dan bila koperasi dibentuk untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi 97 masyarakat berpenghasilan rendah akan diatur dan dikelompokkan sebagai koperasi produksi. 10. UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa UU No. 6 tahun 2014 ini merupakan upaya bersama DPR dan Pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan desa agar dapat menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU yang mengatur desa sebelumnya yaitu UU No. 32 tahun 2004, khususnya pada pasal 200 sampai dengan pasal 216, dianggap belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa yang ada saat ini. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini, sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah: 1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia 98 2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia 3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa 4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama 5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab 6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum 7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional 8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional 9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Undang-Undang ini secara umum mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang 99 ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat. Terkait dengan Koperasi, UU Desa hanya menyebutkan kata koperasi di dalam satu pasal. Dimana pada penjelasan pasal 87 ayat (1) menyebutkan bahwa koperasi sebagai salah satu bentuk badan hukum yang tidak dapat disamakan dengan badan usaha milik desa. Di mana dalam penjelasan tersebut diuraikan bahwa BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat 100 berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan UU No. 7 tahun 2014 merupakan salah satu langkah terobosan yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam menyediakan landasan hukum yang jelas dan terintegrasi dalam bentuk UU mengenai segala aktivitas yang berkaitan dengan perdagangan. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, belum ada undang-undang yang mengatur tentang Perdagangan secara menyeluruh. Produk hukum yang setara undangundang di bidang Perdagangan adalah hukum kolonial Belanda Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 yang lebih banyak mengatur perizinan usaha. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun dan mengganti Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 berupa peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan yang bersifat parsial, seperti Undang-Undang tentang Barang, Undang-Undang tentang Pergudangan, Undang-Undang tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan, Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang, dan Undang-Undang tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Oleh karena itu, keberadaan UU ini begitu diperlukan untuk menyinkronkan seluruh peraturan perundangundangan di bidang Perdagangan dalam upaya mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur serta dalam menyikapi perkembangan situasi Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan. 101 Pengaturan dalam Undang-Undang ini secara khusus ditujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan. Berdasarkan tujuan dan asas tersebut, Undang-Undang ini memuat materi pokok sesuai dengan lingkup pengaturan yang meliputi Perdagangan Dalam Negeri, Perdagangan Luar Negeri, Perdagangan Perbatasan, Standardisasi, Perdagangan melalui Sistem Elektronik, pelindungan dan pengamanan Perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah, pengembangan Ekspor, Kerja Sama Perdagangan Internasional, Sistem Informasi Perdagangan, tugas dan wewenang pemerintah di bidang Perdagangan, Komite Perdagangan Nasional, pengawasan, serta penyidikan. Pengaturan dalam UU ini yang terkait dengan Koperasi dan UMKM dapat ditemukan dalam beberapa bagian, meliputi: 1. Asas dalam Penyusunan Kebijakan Perdagangan Disebutkan pada penjelasan pasal 2 butir g mengenai kemitraan, bahwa “asas kemitraan” adalah adanya kerja sama dalam keterkaitan usaha di bidang Perdagangan, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar dan antara Pemerintah dan swasta. 2. Tujuan Pengaturan 102 Disebutkan dalam pasal 3 UU No. 7 tahun 2014 bahwa pengaturan kegiatan perdagangan bertujuan salah satunya pada butir f yaitu meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta Pemerintah dan swasta. 3. Lingkup Pengaturan Di dalam lingkup pengaturan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa lingkup pengaturan perdagangan, salah satunya pada butir g ialah terkait dengan pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah 4. Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Kebijakan perdagangan dalam negeri yang diatur dalam ketentuan pasal 5 ayat (3), paling sedikit mengatur salah satunya pada butir d ialah mengenai pengembangan dan penguatan usaha di bidang Perdagangan Dalam Negeri, termasuk koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. 5. Pengaturan tentang Pengembangan, Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat Ketentuan yang terkait dengan koperasi ini masuk pula dalam penjelasan pasal 12 dalam menjelaskan pasar rakyat. Dimana Pasar rakyat yang dimaksud ini adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil, 103 dan menengah dengan proses jual beli Barang melalui tawar-menawar. Kemudian istilah koperasi dapat ditemukan pula pada pasal 14 ayat (1). Di mana disebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengaturan tentang pengembangan, penataan dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. 104 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 1. Landasan Filosofis. Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, pada Alinea keempat bahwa Negara Republik Indonesia dibangun tidak saja untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia namun juga untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan berkeadilan sosial. Dalam bagian batang tubuh, Bab XIV, pasal 33 yang mengatur Perekonomian dan kesejahteraan sosial ditegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengasai hajat hidup orang banyak dikuasa oleh negara; Bumi, air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan sebesar besarnya digunakan diselenggarakan kebersamaan, untuk kemakmuran dasar demokrasi atas efisiensi berkeadilan, rakyat.; ekonomi perekonomian dengan berkelanjutan, prinsip berwawasan lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dasar hukum utama dari demokrasi ekonomi di Indonesia adalah Pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan pasal 33 disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diartikan sebagai: 105 produksi dikerjakan oleh semua, (dan) untuk anggota-anggota adalah semua, di masyarakat. demokrasi bawah Dalam ekonomi, pimpinan atau penilikan perekonomian yang dasarnya kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan. Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokasi ekonomi maka tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dinyatakan pada pasal 27. Hak atas pekerjaan tidaklah melulu keistimewaaan suatu kelompok atau golongan tertentu. Semua berhak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan peluang yang sama. Akan tetapi manakala seseorang mengalami ketidakberuntungan dengan kemampuan yang terbatas dan terlantar menjadi fakir miskin, maka sesuai jiwa Pancasila, undang-undang menugaskan kepada negara untuk memelihara mereka yang terlantar sebagaimana dinyatakan pada pasal 34. Prinsip demokrasi ekonomi juga menjelma dalam pasal 33 "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluaragaan". Penjelasan terkait demokrasi ekonomi ditonjolkan pada peran masyarakat. Produksi dikerjakan di bawah pimpinan atau pemilikan anggota anggota masyarakat.Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Masyarakat tidak sama dengan negara. Sehingga jelaslah bahwa sistem ekonomi Pancasila tidak saja menolak free fight liberalismakan tetapi juga etatisme /ekonomi komando, di mana negara beserta aparatur ekonomi negara dominan penuh dan mematikan inisiatif masyarakat. 106 Pasal 33 juga menekankan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. terkandung Sedangkan dalam bumi kemakmuran rakyat. Negara bumi, dikuasai air, dan negara kekayaan untuk alam yang digunakan bagi diamanatkan menguasai sektor-sektor yang strategis, akan tetapi dalam kebebasan itu terkandung pertanggungjawaban untuk mengutamakan kepentingan umum. 1. Landasan Sosiologis Faktor manusia memegang peran signifikan dalam mengendalikan kondisi sosial masyarakat dan mencegah keterpurukan masyarakat. Sumber daya manusia adalah kunci sukses sehingga perlu dipersiapkan secara terstruktur dan terencana. Pengembangan kompetensi dan karakter manusia Indonesia selama ini belum memperoleh perhatian yang memadai meskipun komitmen dalam peningkatan kualifikasi sumber daya manusia telah dicerminkan dalam alokasi dana pendidikan dalam anggaran negara yang ditetapkan sebesar 20%. Namun dilihat dari dimensi kesejahteraan yang belum memenuhi harapan dapat dilihat sebagiannasib rakyatnya yang kesusahan. Mochtar Lubis menggambarkan sisi negatif manusia Indonesia yang masih belum sesuaidengan cita cita pembangunan Indonesia, Muchtar Lubis secara lisan pada tahun 1977, menyebut enam ciri manusia Indonesia. Meliputi hipokrit alias munafik (1), enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya (2), berjiwa feodal (3), percaya takhayul (4), artistik (5), dan beratak lemah(6). 107 Berdasarkan pengungkapan Koentjaraningrat menyatakan, manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah, yaitu konsepsi atau pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran masyarakat, karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya (culture value ystem) sejak beberapa generasi yang lalu, dan yang baru timbul sejak zaman revolusi yang tidak bersumber dari sistem nilai budaya pribumi. Artinya, kelemahan mentalitas manusia Indonesia diakibatkan budaya negatif dari bangsa sendiri dan dari sebagai akibat bangsa lain. Pendekatan perubahan sifat mental dan nilai budaya mengacu pada teori sibernatik Talcott Parson dan sistem nilai budaya(Culture Value System) terkait kerangka lima dasar nilai budaya manusia Kluckhohn. Pada dasarnya sosiologi melihat manusia dalam serba keterhubungannya dengan manusia atau orang lain. Manusia adalah manusia dalam masyarakat. Dengan berdasar pada paradigma manusia-masyarakat tersebut dapatlah selanjutnya diketahui aspek-aspek apa saja yang muncul manakala kita membicarakan manusia itu, yaitu: sistem kepribadian yang menyangkut diri manusia itu sendiri, sistem sosial, dan sistem kebudayaan (Talcott Parson, 1951: 6). Dengan demikian, manusia mampu didisiplinkan oleh struktur di luar dirinya. apakah itu berupa sistem sosial ataukah kebudayaan atau sistem hukum dan regulasi yang mengubah cara pandang, sikap dan perilakunya. Satjipto Raharjdo memperjelas keterangan tersebut di atas. bahwa sejak manusia (belajar) menggunakan bahasa sudah tampak fenomena keterikatannya dalam jaringan struktur yang demikian itu. Berbahasa, atau 108 berkomunikasi dengan menggunakan bahasa (bahkan juga dengan menggunakan isyarat lain) menunjukkan keterikatan manusia belaka. Dalam menggunakan serta mengucapkan suatu perkataan kita memperhitungkan kemampuan orang lain untuk menangkap maksud yang kita kirimkan melalui perkataan tersebut. Penilaian negatif manusia Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari perubahan pola kehidupan masyarakat Indonesia yang komunitarian ke arah individualistik. Hal ini mempengaruhi nilai-nilai kepentingan bersama menjadi kepentingan pribadi. Munculnya para koruptor yang menilep uang rakyat demi kemakmuran pribadi, kehidupan permisif di kalangan pemuda demi meraih kenikmatan pribadi, mentalitas menerabas demi mendapatkan keuntungan pribadi dan sebagainya telah menghancurkan sendi-sendi kebersamaan. Nilai-nilai kejujuran. taat pada aturan, menghargai prestasi kerja. dan sebagainya berawal dari rasa empati kepada kepentingan bersama dan kemajuan masyarakat sebagai rasa kepemilikan bersama. Talcott Parson dengan teori struktural fungsionalismenya, menyusun ide tentang teori sibernetika mencoba untuk memberikan jawaban, bahwa sistem sosial merupakan suatu sinergi antara tiga subsistem sosial—sistem sosial, personalitas, dan sistem budaya—yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Ketiga subsistem (pranata) tersebut akan bekerja secara mandiri tetapi saling bergantung satu sama lain untuk mewujudkan keutuhan & kelestarian sistem sosial secara keseluruhan. Contohnya keterkaitan antara Hukum, agama, pendidikan, budaya, ekonomi, politik, sosial yang tak dapat terpisahkan dan saling berinteraksi. 109 Menurut Talcott Parson terdapat 4 subsistem yang menjalankan fungsi utama dalam kehidupan masyarakat yaitu : 1. Fungsi adaptasi (Adaptation) dilaksanakan oleh subsistem ekonomi contoh: melaksanakan produksi & distribusi barang-jasa, dimana jalur produksi dan distribusi barang -jasa untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteran masyarakat dengan seadil-adilnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 2. Fungsi pencapaian tujuan (Goal attainment) dilaksanakan oleh subsistem politik contoh: melaksanakn distribusi-distribusi kekuasaan & memonopoli unsur paksaan yg sah (negara). Dalam pembagian kekuasaan ini harus didasarkan kepada etika dan moral politik (moral excellen) untuk menghindari kekuasaan absolut dan tindakan korupsi yang dilakukan elit. 3. Fungsi integrasi (Integration) dilaksanakan oleh subsistem hukum dengan cara mempertahankan keterpaduan antara komponen yg beda pendapat/ konflik untuk mendorong terbentuknya solidaritas sosial. 4. Fungsi mempertahankan pola & struktur masyarakat (Lattent pattern maintenance) dilaksanakan oleh subsistem budaya menangani urusan pemeliharaan nilai - nilai & norma-norma budaya yg berlaku dengan tujuan kelestarian struktur masyarakat dibagi menjadi subsistem keluarga, agama.dan pendidikan. 110 Di masa depan diharapkan masyarakat Banten mampu untuk menghargai dan menggunakan ruang waktunya untuk kemajuan hidupnya melalui : a) Membangun hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya, agar terjalin secara harmonis, maka masyarakat harus mampu mensikapi alam dengan bijaksana. Melakukan eksploitasi alam tanpa melupakan upaya-upaya pemeliharaan dan pelestariannya. b) Pembangunan hubungan manusia dengan sesamanya dapat tetap terpelihara melalui kerja sarna dan saling pengertian.Pengembangan nilai positif yang dimiliki masyarakat Banten yang masih hidup ditengah masyarakat Indonesia meskipun makin memudar dari waktu ke waktu seperti seperti budaya gotong royong, menghormati orang tua, anak mencintai orang tua dan sebaliknya, damai/ lembut, sabar, dan mau belajar. 2. Landasan Yuridis Dalam kenyataan yang berkembang, struktur dan kondisi perekonomian daerah Banten masih jauh dari cita-cita yang diamanatkan UUD 1945 tersebut. Selama ini akses dan distribusi terhadap sumber daya tidak merata secara berkeadilan, sehingga menimbulkan permasalahan mengganggu daerah dan yang mengancam kompleks dan keberlanjutan multi berbagai dimensi, pembangunan Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut di atas, yang daerah. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Ketetapan MPR Nomor 111 XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Ekonomi yang menghendaki terlaksananya Rangka Demokrasi sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan yang menjamin tidak adanya perlakuan diskriminatif diantara usaha kecil, menengah, koperasi dan usaha berskala besar. Dengan demikian diantara berbagai skala usaha tersebut tidak ada yang dirugikan bahka n efe kti f da n dap at ber mi tra us ah a le bi h sa lin g menguntungkan. Secara lebih rinci ketetapan tersebut mengamanatkan: 1. Penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seorang, sekelompok orang atau koperasi yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan harus ditiadakan. 2. Politik ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya. 3. Terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha saling kecil, menengah dan koperasi, usaha besar swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 4. Pengusaha ekonomi lemah harus diberi prioritas, dan dibantu dalam mengembangkan usaha serta segala kepentingan ekonominya, agar dapat mandiri terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan akses kepada sumber dana. 5. Keberpihakan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN. 112 6. Perbankan dan Lembaga Keuangan wajib dalam batas-batas prinsip dan pengelolaan usaha yang sehat membuka peluang sebesarbesarnya, seadil-adilnya dan transparan bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi. 7. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil. Tanah sebagai basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat yang mampu melibatkan serta memberi sebesarbesar kemakmuran bagi usaha tani kecil, menengah dan koperasi. Seluruh kegiatan dan upaya serta sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia diabdikan pada terwujudnya kesejahteraan seluruh masyarakat berdasarkan keadilan sosial. Untuk membuka kesempatan yang luas dalam pembentukan koperasi sesuai dengan kelayakan usaha dan kepentingan ekonomi anggota masyarakat diterbitkan Instruksi Presiden No. 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian. Sejalan dengan peningkatan otonomi pelimpahan kewenangan pembentukan daerah, dilakukan koperasi kepada kantor pemerintah di tingkat kabupaten/kotamadya. Dan Interuksi Presiden No. 10 Tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah. Tinjauan Umum Tentang Koperasi, Dasar hukum koperasi adalah Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD RI 1945) dan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Dasar-dasar hukum koperasi, perkoperasiaa di Indonesia bersumber pada: 113 1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian 2. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. 3. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah 4. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam oleh Koperasi 5. Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi. 6. Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan PPK No. 36/Kep/MII/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan dan Peleburan Koperasi 7. Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan PKM No. 19/KEP/Meneg/III/2000 tentang Pedoman kelembagaan dan Usaha Koperasi 8. Peraturan Menteri No. 01 tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. 9. Undang-undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Dasar-dasar hukum tentang UMKM, UMKM Indonesia bersumber pada: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil 2. Undang-undang RI No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM 114 3. Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM 115 BAB V JANGKAUAN, ARAH KEBIJAKAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN A. Jangkauan dan Arah Kebijakan Dalam subbab ini disajikan sejumlah petunjuk yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rumusan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah tentang pemberdayan Koperasi dan UMKM . Petunjuk itu adalah sebagai berikut . 1. Urgen dan Mendasar Penetapan pemberdayaan peraturan koperasi dan daerah UMKM Provinsi sebagai Banten tentang implementasi atau pelengkap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Koperasi dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM.Ditetapkannya peraturan daerah Provinsi Banten tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM memiliki urgensi yang tinggi, dalam arti “mendesak” dan “penting”. Di samping itu, ketentuanketentuan di dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM bersifat mendasar karena ketentuan-ketentuan tersebut sangat fundamental bagi pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat Provinsi Banten. 2. Sederhana dan Jelas Rumusan ketentuan-ketentuan dalam Raperda Provinsi Banten tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM harus disusun secara sederhana sehingga mudah diikuti, dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang 116 berkepentingan. Kesederhanaan rumusan ketentuan akan memudahkan aparat pelaksana dari lingkungan Pemerintah dan lembaga Gerakan Koperasi dan UMKM untuk memantau pelaksanaan peraturan daerah tersebut. Dalam penyusun ketentuan-ketentuan, penyusunan harus mencantumkan menghindarkan rumusan-rumusan diri yang dari keinginan terlalu detail. untuk Hal itu dimaksudkan agar para anggota Koperasi dan UMKM memiliki ruang yang cukup luas dan longgar untuk mengadaptasi ketentuan- ketentuan hukum itu terhadap kebutuhan mereka untuk kemudian dicantumkan di dalam anggaran dasar Koperasi dan UMKM. Sehubungan dengan kriteria “mudah diikuti” ,rumusan ketentuan-ketentuan dalam RaperdaTentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM harus jelas, tegas, tidak memiliki dua arti atau lebih, serta disusun dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Apabila jelas maka “Penjelasan atas Raperda Pemberdayaan Koperasi dan UMKM ” harus benar-benar memberi penjelasan. Selanjutnya perlu ditekankan bahwa ketidakjelasan dan kerumitan rumusan ketentuan atau pengaturan akan menimbulkan kesamaran-kesamaran, ketidakpastian, multitafsir, dan sebagainya yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakkonsistenan atau bahkan penyimpangan atau penyalahgunaan dalam penerapan peraturan daerah. Pengalaman menunjukkan bahwa rumusan yang tidak jelas seringkali diikuti oleh penjelasan yang tidak jelas atau bahkan tanpa penjelasan sama sekali di dalam “Penjelasan”. 117 3. Terstruktur secara Logis dan Sistematis Ketentuan-ketentuan dalam Raperda tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM harus terstruktur secara logis dan sistematis. Ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Daerah Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM itu disusun sesuai dengan penalaran yang runtut dan tepat dimana terdapat kesesuaian antara sebab dan akibat. Di samping itu ketentuan-ketentuan tersebut memiliki susunan kesatuan-kesatuan – dalam bentuk bab dan bagian – yang masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara keseluruhan dan teratur. 4. Komprehensif Rumusan ketentuan-ketentuan dalam Raperda Pemberdayaan Koperasi dan UMKM harus menyeluruh, dalam arti mencakup keseluruhan aspek penting yang perlu dicakup di dalamnya. Hal itu penting agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan itu dapat diselenggarakan secara tuntas, dalam pengertian bahwa ketentuan-ketentuan itu diharapkan memiliki dampak langsung. 5. Luwes Peraturan daerah Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang baik adalah pengaturan yang tidak terhalang oleh kebekuan rumusan apabila dihadapkan kepada perubahan-perubahan yang tidak fundamental dalam perkembangan kondisi dan situasi sosial, politik, dan ekonomi. 118 6. Lintas Sektoral Hal-hal yang berkaitan dengan Raperda tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM jelas, seperti melekat pada berbagai sektor yang tertentu dan sektor-sektor pertanian, perdagangan, perindustrian, keuangan, hukum, dan sebagainya. Di samping itu, terdapat aspek-aspek tertentu yang berada di daerah kelabu (grey areas) , terutama yang berada dalam yurisdiksi dari dua lembaga atau lebih. Karenanya, ketentuan-ketentuan dalam Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM harus disusun secara cermat. 7. Seimbang Rumusan ketentuan-ketentuan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM dalam Raperda Tentang semestinya mengatur secara seimbang peranan, hak, dan kewajiban Gerakan Koperasi, UMKM dan Pemerintah. 8. Terpantau dan Terevaluasi Pemantauan dan evaluasi merupakan upaya untuk menjaga agar Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan penting bagi UMKM dapat dilaksanakan secara efektif. 9. Sanksi dan Insentif Sanksi merupakan sarana terselenggaranya pengaturan kehidupan Koperasi dan UMKM . Namun, tujuan pengaturan dapat pula dicapai melalui pemberian insentif dan disinsentif. Petunjuk tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh para penyusun Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. 119 Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM semestinya secara eksplisit didasarkan pada prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM yang bersifat universal, dan memberi batasan yang jelas terhadap berbagai peranan dari sejumlah pelaku dalam sektor Koperasi dan UMKM Sebaiknya hanya disusun satu Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Namun di dalam ketentuan-ketentuan khusus untuk Koperasi -Koperasi dan UKM-UKM yang berbeda jenisnya. Ketentuanketentuan khusus untuk entiti-entiti kooperatif seperti asosiasi percobaan (probationary societies) dan kelompok-kelompok terorganisasi lainnya, seyogyanya dicantumkan dalam Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Tetapi, organisasi-organisasi swadaya yang tidak menerapkan prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM harus dicakup dalam peraturan daerah yang Koperasi dan UMKM terpisah. Raperda Tentang Pemberdayaan harus dirumuskan dengan menggunakan bahasa yang jelas, tidak samar-samar dan mudah dimengerti. Di dalam Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKMharus dihindarkan dimuatnya ketentuan-ketentuan yang sangat rinci. Hal itu dimaksudkan agar para anggota Koperasi dan UMKM memiliki cukup ruang untuk mengadaptasi ketentuan-ketentuan hukum sesuai dengan kebutuhannya di dalam anggaran dasar. Di Pemberdayaan Koperasi dan UMKM samping itu, Raperda Tentang harus disusun secara logis dan sistematis sehingga menjadi peraturan yang “user friendly”. Pembuatan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM secara partisipatoris menghajatkan bahwa aspek-aspek paedagogis diperhatikan dalam penyusunan ketentuan-ketentuannya. 120 Daftar berikut menunjukkan pokok-pokok persoalan yang semestinya diperhatikan dan atau dicakup di dalam Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM : 1 Referensi terhadap prinsip-prinsip internasional dari pembentukan dan pengembangan Koperasi dan UMKM 2 Otonomi untuk memutuskan tentang peraturan daerah pelengkap dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang memadai 3 Tanggung jawab Gerakan Koperasi dan UMKM untuk mengembangkan sumber daya manusianya di semua tingkatan. 4 Peraturan tentang penyelesaian perselisihan. 5 Batasan tentang hubungan antara Pemerintah dengan sektor Koperasi , UMKM dan peranan Registrar. 6 Ketentuan-ketentuan yang efektif mengenai proses registrasi. 7 Penekanan pada aspek-aspek kewirausahaan, bisnis dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dari Koperasi dan UMKM. 8 Peraturan tentang keuangan dan manajemen serta tentang audit internal dan eksternal yang dilakukan oleh koperasi swasta atau instansi Pemerintah yang membidangi urusan Koperasi dan UMKM. 9 Peraturan tentang pembentukan dan distribusi modal. 10 Definisi Koperasi dan UMKM, termasuk organisasi-organisasi yang kurang formal. 121 11 Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi wanita di dalam keanggotaan dan kepemimpinan Koperasi dan UMKM. 12 Penekanan pada pengelolaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian diri sendiri. 13 Prinsip-prinsip pemberian subsidi dengan jalan mana Gerakan Koperasi dan UMKM bertanggung jawab untuk memberikan layanan-layanan pendukung, dan bilamana Gerakan Koperasi dan UMKM gagal melaksanakan tanggung jawab tersebut lembagalembaga lain dapat diundang atau diminta untuk memberikan layanan-layanan tersebut. 14 Hak untuk membentuk Koperasi Sekunder dan organisasi puncak, dan menetapkan petunjuk untuk mewujudkan integrasi horisontal dan vertikal. 15 Peraturan-peraturan pembubaran dan tentang likuidasi pembagian, Koperasi dan amalgamasi, UMKM dengan menghormati kepentingan pihak ketiga. 16 Hak untuk menjadi anggota (atau tidak menjadi anggota) organisasi Koperasi dan UMKM, keanggotaan terbuka harus meniadakan diskriminasi negatif dan positif terhadap anggotaanggota atau kelompok-kelompok potensial tertentu. 17 Hak dan kewajiban anggota dan karyawan-anggota (memberemployees) Koperasi dan UMKM. 18 Ketentuan-ketentuan untuk Koperasi -Koperasi dan UMKM yang lebih besar (rapat delegasi dan wewenang delegasi ; penerapan 122 peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan untuk karyawan). 19 Ketentuan-ketentuan penutup seperti pencabutan peraturan dan peraturan perundang-undangan lain tentang Koperasi dan UMKM yang berlaku. B. Ruang Lingkup Materi Muatan 1. Landasan Hukum Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemberdayaan Koperasi dan UMKM ini sebagai respons dari Rencana Strategis perencanaan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten periode 5 tahun mendatang (2012-2017). Dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, Rencana Strategis ini akan berfungsi sebagai kerangka teknis dan sebuah kerangka pemberdayaan(empowering)Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang secara langsung menyentuh masyarakat khususnya Koperasi dan UMKM di Provinsi Banten. Selain itu, Rencana Strategis ini merupakan pedoman bagi Dinas Koperasi dan UMKM serta jajarannya dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah di bidang Koperasi dan UMKM, serta sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan/Stakeholders dalam pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Provinsi Banten periode 20122017. Penyusunan Rencana Strategis ini dilakukan melalui suatu proses serta tahapan: (a) Persiapan Penyusunan; (b) Penyusunan 123 Rancangan; (c) Penyusunan Rancangan Akhir; dan (d) Penetapan, sesuai dengan petunjuk dan pedoman yang berlaku. a. Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 Tentang RPJM Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) Periode Tahun 2010-2014, telah memuat arah kebijakan dan program pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, serta telah dijabarkan secara lebih detail tentang program pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Indonesia selama periode tahun 2010-2014 melalui Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI No. 01/Per/M.KUKM/I/2010 Tanggal, 28 Januari 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Koperasi Koperasi dan UKM Periode 20102014, yang dapat dijadikan acuan dalam pemberdayaan Koperasi dan UMKM di daerah.Peratuan Daerah Kab./Kota tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), telah memuat arah kebijakan dan program pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Kabupaten/Kota, yang telah dijabarkan secara detail/teknis dalam Rencana Strategis SKPD yang membidangi urusan Koperasi dan UMKM di setiap Kab./Kota.Peraturan Daerah Provinsi Banten No. 4 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten Periode Tahun 2012-2017, telah memuat arah kebijakan dan program pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Provinsi Banten, dan telahdijabarkan secara detail/teknis 124 dalam Rencana Strategis Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten Periode Tahun 2012-2017. Pancasila landasan dan ideologi Undang dan Undang Dasar konstitusional 1945 merupakan pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha kecil dan menengah. Pemberdayaan koperasi dan usaha kecil dan menengah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, adil dan makmur sesuai dengan amanat konstitusi Undang Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR–RI, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008tentang Usaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk produk hukum daerah.Sesuai dengan maksud pelaksanaan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan masyarakat yang peningkatan semakin pelayanan baik, dan kesejahteraan pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Selanjutnya, diwajibkan pula 125 untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya strategis untuk memberdayakan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, diantaranya menjadi urusan pemerintah daerah melalui peningkatan kepastian hukum dan penciptaan iklim yang kondusif yang mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Koperasi dan UMKM dalam menjalankan usahanya. Selain itu, perlu pula dikembangkan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan secara terpadu oleh Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat terhadap Koperasi dan UMKM di Provinsi Banten. b. Undang-undang Tentang Koperasi Undang Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa Pemerintah bertugas: (1) menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemayrakatan koperasi, (2) memberikan bimbingan dan kemudahankepada koperasi, dan (3) memberikan perlindungan kepada koperasi. Pembinaan koperasi dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional, serta pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi, Pemerintah (pasal 61): 126 1. Memberikan kesempatan usaha seluas-luasnya kepada koperasi. 2. Meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi yang berkualitas, tangguh dan mandiri. 3. Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dengan badan usaha lainnya. 4. Membudayakan koperasi dalam masyarakat. Dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada koperasi, Pemerintah (pasal 62): 1. Membimbing usaha koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggotanya 2. Mendorong, mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penelitian perkoperasian 3. Memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan koperasi serta mengembangkan lembaga keuangan koperasi 4. Membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama yang salingmenguntungkan antar koperasi 5. Memberi bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengantetap memperhatikan Anggaran Dasar dan Prinsip Koperasi. c. Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur Peraturan Daerah Provinsi Banten, yang menjadi landasan dalam pemberdayaan Koperasi Menengah, meliputi : 127 dan Usaha Mikro, Kecil dan 1. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pengrausutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah 2. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penjaminan Kredit Daerah Bagi Koperasi dan Usaha Kecil Menengah 3. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah 4. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Urusan Penanaman Modal Perusahaan Daerah 5. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Banten 6. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Daerah Provinsi Banten Tahun 2005-2025 7. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 2010-2030 8. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Banten 9. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Banten Tahun 2012-2017 10. Peraturan Gubernur Banten Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Organisasi dan Pelaksana Teknis Daerah Provinsi Banten. 128 Tata Kerja Unit d. Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara tegas menyatakan, tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah : (1) mewujudkan strukur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan; (2) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan (3) meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Dalam rangka mencapai tujuan pemberdayaan usaha kecil tersebut, maka pemerintah dan pemerintah daerah bertugas dan berperan: 1 Menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: (a) pendanaan; (b) sarana dan prasarana; (c) informasi usaha; (d) kemitraan; (e) perizinan usaha; (f) kesempatan berusaha; (g) promosi dagang; dan (h) dukungan kelembagaan. 2 Memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang: (a) produksi dan pengolahan; (b) pemasaran; (c) sumber daya manusia; dan (d) desain dan teknologi. 3 Menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro, dan Kecil, melalui upaya: (a) pengembangan sumber pembiayaan dari kredit 129 perbankan dan pengembangan lembaga lembaga keuangan modal bukan ventura; (c) bank; (b) pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang; peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi syaraiah; dan Jasa Keuangan konvensional dan (d) pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4 Bersama dunia mengusahakan usaha bantuan dapat luar negeri, memberikan dan hibah, mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. 5 Memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, kerunganan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. 6 Pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan, dengan: (a) memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan lainnya; dan (b) menembangkan lembaga penjaminan kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor. 7 Bersama Dunia Usaha dan Masyarakat memfasilitasi, mendukung dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling 130 membutuhkan, mempercayai, memperkuat, danmenguntungkan. Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mkro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemaaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. 8 Menugaskan SKPD yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan SKPD yang secara teknis bertanggung jawab untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya, mengatur pemberian insentif melakukan kemitraan Menengah melalui kepada dengan inovasi Usaha dan Usaha Mikro, Besar Kecil pengembangan yang dan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. 2. Dasar Dan pertimbangan. a. Merangsang masyarakat Koperasi dalam dan UMKM rangka untuk memberdayakan pembangunan demokrasi ekonomi/ekonomi kerakyatan. b. Mendorong terciptanya Koperasi dan UMKM yang berbasis keanggotaan dan berakar pada masyarakat, tumbuh dari bawah, demokratis, otonom 131 dan berorientasi pada kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya anggota-anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya. c. Mengakses permodalan Koperasi dan UMKM dari berbagai sumber baik dari jaringan internasional, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. d. Menciptakan Lapangan usaha yang seluas-luasnya bagi masyarakat Banten, khususnya masyarakat menengah ke bawah. 3. Sasaran yang ingin dicapai Adanya Peraturan Daerah Provinsi Banten yang mengatur tentang pemberdayaan koperasi dan UMKM, yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi fungsi pengaturan pemerintah yang melindungi, otonomi, kebebasan, definisi, nilai-nilai dan prinsipprinsip Koperasi dan UMKM. 4. Liputan Materi yang akan diatur Pokok-pokok materi yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan DaerahTentang Pemberdayaan Koperasi Dan UMKM antara lain sebagai berikut : a. Pengaturan mengenai definisi dan prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM Dengan adanya kesatuan pendapat mengenai definisi dan prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM sesuai dengan rumusan yang termaktub dalam UU No 17 Tahun 2012 Tentang Koperasi, dan UU No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM, maka 132 diharapkan perkembangan Koperasi di Provinsi Banten menjadi seragam dan produktif. b. Ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan Koperasi dan UMKM harus dipertegas antara lain mengenai keharusan untuk membuat studi kelayakan, keharusan untuk menyelenggarakan pendidikan para anggota. c. Syarat keanggotaan Koperasi dan Kriteria Pelaku UMKM Ketentuan mengenai persyaratan keanggotaan harus dipertegas terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjadi langganan dan dalam memberikan modal bagi kegiatan usaha Koperasi dan UMKM. d. Pengembangan permodalan Permodalan Koperasi dan UMKM merupakan masalah utama di sebagian besar Koperasi dan UMKM yang ada, oleh karena sumber permodalan sendiri yang terbatas dan kurangnya insentif untuk memberi modal pada Koperasi dan UMKM . e. Pengembangan usaha Perlunya pengaturan atau kebijakan pemerintah di sektorsektor tertentu yang dapat memfasilitasi terjadinya integrasi horisontal bagi Koperasi -Koperasi dan UMKM dari berbagai sektor, sehingga dapat tercipta jaringan usaha antar Koperasi dan UMKM yang efektif dalam membangun kekuatan bersama. f. Pembinaan dan pengembangan Koperasi dan UMKM oleh Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Pembinaan dan pengembangan Koperasi dan UMKM adalah menjadi tanggung 133 jawab bersama antara Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. g. Kedudukan hukum Perlu adanya pembedaan dalam pemberian status hukum antara Koperasi Primer yang beranggotakan orang-seorang dengan Koperasi Sekunder yang beranggotakan badan hukum Koperasi . Koperasi tidak hanya dapat diperlakukan sama, tetapi memperoleh status hukum seperti halnya badan hukum yang lain, baik secara administratif maupun faktual. 134 BAB VI PENUTUP Keberadaan usaha koperasi dan UMKM merupakan kenyataan yang riil, bahkan berperan penting sebagai penopang berjalannya sektor perekonomian ditinjau dari kemampuan penyerapan tenaga kerja, potensi pendapatan yang dihasilkan, dan daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, potensi ini menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dalam hal permodalan, sarana dan prasarana, perizinan, dan dukungan kelembagaan. Permasalahan- permasalahan ini dihadapi baik oleh Koperasi maupun oleh UMKM, meski terdapat perbedaan dalam lingkup permasalahannya. Secara khusus, Koperasi dan UMKM menghadapi permasalahan dalam hal permodalan dan dukungan kelembagaan untuk memperluas akses promosi, permodalan, dan kualifikasi tenaga kerja. Pemerintah Provinsi Banten perlu menetapkan kebijakan yang jelas berkaitan dengan pemberdayaan Koperasi dan UMKM, sehingga tidak terkesan dibiarkan tapi di sisi lain, juga diperlukan untuk keperluan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah melalui sektor rill. Antara Koperasi dan UMKM pun menghadapi permasalahan terkait dengan persaingan usaha, di mana Koperasi dan UMKM merasa tersaingi oleh sektor informal (terutama pedagang kaki lima) karena pedagang kaki lima lebih mudah diakses oleh pembeli, mampu menawarkan harga yang lebih murah, dan produknya massal sehingga memiliki segmen pasar yang lebih luas. Karena itu, keberpihakan terhadap pemberdayaan Koperasi dan 135 UMKM perlu dipertegas melalui kejelasan prioritas kelompok sasaran dan bentuk perlindungan mana yang akan diambil, misalnya untuk sektor informal, lebih diprioritaskan pada upaya mengubah status 100 usaha informal menjadi usaha formal melalui mekanisme perizinan yang lebih mudah, penentuan lokasi mana yang diizinkan untuk mereka berjualan, apa hak dan kewajibannya, dll. Keberadaan Koperasi dan UMKM merupakan salah satu di antara bentuk dari ekonomi kerakyatan, keberadaannya di era otonomi daerah merupakan potensi yang harus digali dan dikembangkan karena dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang masif dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan dari pembangunan daerah. Kondisi semacam ini juga dialami oleh Pemerintah Provinsi Banten dengan potensi industri dan jasa yang dimilikinya, agar mampu mendorong peningkatan pemberdayaanKoperasi dan UMKM. Dengan demikian, upaya pengelolaan terhadap Koperasi dan UMKM tidak hanya menyangkut soal permodalan dan aksesibilitas, tetapi juga menyangkut kebijakan yang lebih luas soal perizinan usaha dan kemitraan dengan lembaga-lembaga keuangan yang diharapkan mampu berperan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan Koperasi dan UMKM. 136 DAFTAR PUSTAKA Harsoyo,Y, dkk. 2006. Ideologi Koperasi; Menatap Masa Depan.Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Kartasasmita,Ginandjar. 2001.MembangunEkonomiKerakyatanuntukMewujudkan Indonesia Baru yang Kita Cita- Citakan.MakalahSeptember 2001.ww.ginandjar.com. HW, Asmudji. 2013. Sosialisasi UU No.17 Tahun 2012 Tentang Koperasi. Makalah Maret 2013. www.antarabanten.com. Adiningsih, Sri.RegulasidalamRevitalisasi Usaha Kecil danMenengah di Indonesia.www.ifip.org Koentjaraningrat. 2004. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Litafariska. Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum Dan Masyarakat. Bandung: PT.Angkasa. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Warga Negara Dan Penduduk. Jakarta: Sekretariat Negara Alimandan. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Republik Indonesia. 1998.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Sekretariat MPR RI Republik Indonesia. 1998. Intruksi Presiden Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 1999. Interuksi Presiden Pemberdayaan Usaha Menengah. Jakarta: Sekretariat Negara. 137 Sularso dan ED, Damanik. 1982. Peraturan dan Perundang-undangan Koperasi Di Indonesia. Jakarta: Dwi Segera. Pusat Bahasa DepartemenPendidikanNasional. 2002.KamusBesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sukalele,Daniel. 2014. PemberdayaanMasyarakatMiskin di Era Otonomi Daerah. wordpress.com Hutomo, Mardi Yatmo. 2000. PemberdayaanMasyarakatdalamBidangEkonomi. Yogyakarta: Adiyana Press PandjiAnoraga, H. DjokoSudantoko. 2002.KoperasiKewirausahaandan Usaha Kecil. Jakarta: PT. RinekaCipta, G. Karta Sapoetra, et, al. 1989. Koperasi Indonesia Yang BerdasarkanPancasila, danUndang-undangDasar 1945. Jakarta: BinaAksara. Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Perkoperasian. Jakarta: Sekretariat Negara Rahmatullah. 2012. Stakeholders Dalam CSR. Makalah Maret 2012. www.rahmatullah.net Prasetio, Yulianto. 2012. Pemikiran JJ. Rouseou Dalam Bidang Politik. Makalah Juni 2012. repository.upi.edu Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Keuangan Pendanaan Kredit Usaha Mikro Dan Kecil. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 2008. Undang-Undangik Usaha Mikro Kecil Dan Menengah. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang Negara. 138 Usaha Kecil. Jakarta: Sekretariat Republik Indonesia.1998. Undang-undang Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 1992 Perbankan. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Sekretaiat Negara 139 dan