KEMUNGKINAN LUAS LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI LUAS

advertisement
KEMUNGKINAN LUAS LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI LUAS WILAYAH
DALAM PERHITUNGAN DAU1)
Oleh
Dr. Ir. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc.2)
Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Badan Koordinasi Survei Dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL)
PENDAHULUAN
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 81.000
km, dimana 2/3 wilayah kedaulatannya berupa perairan laut. Laut merupakan
sumber kehidupan karena memiliki potensi kekayaan alam hayati dan nir-hayati
berlimpah. Sumber kekayaan alam tersebut, menurut amanat Pasal 33 UUD-1945
harus dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
2. Adanya otonomi daerah hendaknya dipahami bahwa pengelolaan wilayah di laut
pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari pelaksanaan kewenangan yang terkait
dengan berbagai kegiatan di daratan3). Dalam upaya mencapai kesejahteraan
rakyat melalui otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan fungsional antara
aspek-aspek keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya. Dana alokasi umum (DAU) adalah suatu money follow on
function dari aspek pelayanan umum yang meliputi, a.l: penyediaan layanan
pendidikan, kesehatan, infrastruktur ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Sehingga merupakan suatu kebijakan yang tepat bahwa didalam menghitung
kebutuhan fiskal dalam DAU memasukan luas wilayah sebagai variabel
disamping variabel-variabel jumlah penduduk, indeks kemahalan, PDRB, dan
indeks pembangunan manusia. Perlu diketahui pula bahwa selain cakupan
wilayah daerah (batas dan luas) berfungsi sebagai variabel kebutuhan fiskal, juga
berfungsi sebagai syarat teknis dalam pembentukan daerah.
3. Berdasarkan ketentuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(sebagai penyempurnaan dari UU No. 22 tahun 1999), Pasal 18 ayat (4) pada
intinya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan
pengelolaan sumber daya di wilayah laut yaitu paling jauh 12 mil-laut untuk
Provinsi, yang dihitung dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan, dan 1/3 dari itu untuk Kabupaten/Kota. Apabila lebar wilayah
1)
Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi Fiskal,
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal, Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Jakarta, 5-6 April 2006.
2)
Kapus PPBW-BAKOSURTANAL, Anggota Pokja II DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah),
dibantu oleh Ir. Herwanto dan Sora Lokita, SH.
3)
Pasal 2, ayat (2) UU No.6/1996: “Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulaupulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik
Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara
Republik Indonesia”.
laut antara dua Provinsi yang berhadapan < 24 mil-laut, maka kewenangan dibagi
sama jarak, dan Kabupaten/Kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan
propinsi [Pasal 18 ayat (5)]. Berdasarkan ketentuan tersebut maka secara tegas
Undang-undang telah memberikan kewenangan mengelola sumber daya di laut
kepada Daerah Otonom. Tentunya, sejauh tidak menyangkut lima urusan yang
tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dan masih dalam kerangka NKRI.
4. Atas dasar ketentuan tersebut (yang sebelumnya telah ada didalam Pasal 3 dan
Pasal 10 ayat (3) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), maka
BAKOSURTANAL, cq. Pusat Pemetaan Batas Wilayah (PPBW) sejak tahun
2001 telah merancang sebuah metoda kartometrik untuk model delineasi batasbatas pengelolaan wilayah laut dalam rangka otonomi daerah (lihat Renstra
BAKOSURTANAL 2000-2004). Hal ini dipersiapkan untuk mengantisipasi
kebutuhan dalam mendukung kebijakan dari fungsi kewenangan pengelolaan
wilayah laut daerah bagi perhitungan alokasi fiskal daerah. Model yang
dihasilkan, antara lain, telah secara intensif dipakai sebagai data pendukung dalam
implementasi kebijakan pembagian lifting migas sebagai pelaksanaan dari PP No.
25 tahun 2000.
5. Persoalannya pada saat ini adalah Pemerintah di dalam memperhitungkan DAU,
dimana luas wilayah menjadi salah satu variabelnya, baru memperhitungkan luas
daratan saja. Hal ini sesuai dengan landasan hukum PP No. 55 tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan. Maka timbul sebuah pertanyaan yang aktual dari daerah:
“kenapa luas wilayah daerah yang selama ini diperhitungkan dalam DAU hanya
luas daratan saja?”. Pertanyaan ini tentunya banyak dikemukakan oleh Pemdapemda yang memiliki pantai dan/atau yang memiliki pulau-pulau4).
PERMASALAHAN
6. Merujuk kepada persoalan di atas, maka pada saat memetakan dasar hukum dan
kebijakan terkait dengan otonomi daerah secara teknik geospasial ditemukan
permasalahan sebagai berikut:
a) Masih nampak adanya perbedaan antara dasar hukum yang satu dengan yang
lainnya. Contohnya menyangkut parameter luas wilayah berdasarkan PP No.
129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang didalam perhitungan luasnya
memperhitungkan wilayah laut, tetapi di sisi lain PP No. 55 tahun 2005
tentang Dana Perimbangan hanya memperhitungkan luas wilayah darat saja
(lihat penjelasan pasal 40 ayat 3).
b) Sebagai akibat dari masalah pada butir a) di atas, maka daerah-daerah yang
memiliki wilayah pengelolaan laut merasa mendapat perlakukan yang kurang
adil. Respons dari Daerah seperti itu sangat wajar karena menyangkut adanya
beban pembinaan wilayah yang luas dengan kesulitan medan yang lebih
4)
Untuk sementara Penulis tidak menggunakan istilah Daerah (Provinsi/Kabupaten) kepulauan, karena bila
disebut demikian akan terkait dengan aspek hukum yang belum ada ketentuannya.
kompleks menyangkut karakteristik geografis daratan dan perairan laut, tetapi
tingkat kesulitan tersebut tidak terrefleksikan dalam perhitungan DAU.
c) Implikasi lainnya adalah dapat menimbulkan alasan inkonsistensi Daerah
dalam pengelolaan wilayahnya, karena data luas wilayah Daerah yang
ditetapkan dalam Permendagri hanya luas daratan saja. Padahal pengelolaan
daerah yang berpulau-pulau membutuhkan upaya ekstra.
7. Makalah ini akan mendiskusikan permasalahan terkait butir 6.a) dan b) di atas,
dalam hubungannya dengan kemungkinan luas laut sebagai bagian dari luas
wilayah dalam perhitungan DAU.
DANA ALOKASI UMUM
8. Dana alokasi umum (DAU) adalah merupakan salah satu komponen dari dana
perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas formula
dengan konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gaps), yaitu selisih
antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiscal ditambah dengan alokasi dasar.
Sedangkan definisi yang diberikan oleh UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, DAU
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Landasan kebijakan kebijakan
implementasinya adalah PP No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Di
dalam ketentuan-ketentuan tersebut dijabarkan mengenai dasar kebijakan mulai
dari definisi sampai pada variabel penghitungan dari DAU agar dapat dijadikan
pijakan penetapan.
9. Fungsi dari DAU sendiri adalah sebagai instrumen untuk mengatasi horizontal
imbalance, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah dimana pengunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah. Selain
itu juga berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan
adanya pendapatan asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA
lainnya (DBH) yang diperoleh Daerah.
LUAS WILAYAH SEBAGAI VARIABEL PERHITUNGAN DAU
10. Di dalam menentukan besaran DAU, terdapat dua parameter yaitu kebutuhan
fiskal dan kapasitas fiskal, dimana keduanya memiliki variabel-variabel data yang
harus terpenuhi untuk mendapatkan besarannya. Variabel-variabel tersebut adalah
sebagai berikut:
a. untuk kebutuhan fiskal memiliki variabel:
jumlah penduduk;
luas wilayah;
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK);
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita, dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
b. untuk kapasitas fiskal memiliki variabel:
PAD (Pendapatan Asli Daerah);
Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor Pajak dan Sumber Daya Alam (SDA).
c. perhitungan DAU menggunakan rumus:
DAU = CF + AD; dimana: CF = celah fiskal, dan AD = alokasi dasar.
dalam hal ini CF = Kebut.Fiskal – Kapas.Fiskal, dan luas wilayah
merupakan salah satu variabel dalam perhitungan Kebutuhan Fiskal.
Persoalan: luas wilayah laut belum masuk dalam perhitungan.
ASPEK LEGAL
11. Saat ini perhitungan DAU secara eksplisit mengacu kepada PP No. 55 tahun 2005
tentang Dana Perimbangan, dimana variabel luas wilayah seperti terlihat didalam
rumus di atas merupakan salah satu bagian penghitungan DAU. Dari penjelasan
Pasal 40 ayat (3) PP No. 55 tahun 2005, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
luas wilayah adalah luas wilayah daratan (saja). Untuk penghitungan DAU tahun
2006, data luas wilayah yang digunakan adalah yang tercantum di dalam
Peraturan Mendagri yang diterbitkan setiap tahun, terakhir dengan Peraturan
Mendagri No. 18 tahun 2005.
12. Pada tahapan ini timbul pertanyaan: “mungkinkah wilayah laut yang diberikan
hak pengelolaan kepada Daerah secara utuh dijadikan sebagai bagian dari variabel
luas wilayah Daerah dan diintegrasikan dalam perhitungan DAU?”. Dasar
pemikirannya adalah ketentuan yang diberikan oleh Pasal 18, UU No. 32 tahun
2004, dimana pada intinya daerah yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, yang kewenangankewenangannya meliputi5):
a. ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan;
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
13. Luas wilayah yang digunakan sebagai variabel dalam perhitungan DAU menurut
PP No. 55 tahun 2005 juga kurang sejalan dengan ketentuan dalam peraturan
perundangan lainnya yang dengan jelas tidak memisahkan antara wilayah darat
dan laut. Perhatikan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang Pasal
2 ayat (2) intinya menyatakan bahwa segala perairan (laut) adalah merupakan
bagian integral dari wilayah daratan. Demikian pula UU No. 32 tahun 2004
5)
Kewenangan-kewenangan tersebut tentunya juga harus sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Keselarasan di dalam
kewenangan daerah untuk wilayah lautnya dengan pasal ini adalah agar tidak terjadi suatu keadaan yang
memecah belah wilayah NKRI menjadi bagian-bagian dan akhirnya mirip dengan sebuah negara federal.
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mengelola wilayah lautnya.
IMPLIKASI VARIABEL LUAS WILAYAH DENGAN KEWENANGAN DAERAH
14. Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan sebagai amanat kewenangan yang
tercantum di Pasal 18 UU No. 32 tahun 2004 tentunya akan memiliki
konsekwensi beban biaya yang mutlak diperlukan, jadi apabila tidak masuk dalam
variabel DAU maka sulit bagi Pemerintah untuk menuntut akuntabilitas kinerja
Pemda yang kapasitas fiskalnya kecil tetapi dihadapkan pada wilayah laut yang
luas. Sebagai contoh di Provinsi NTT yang memiliki luas perairan (laut) sekitar 4
kali dari luas daratannya, serta memiliki jumlah pulau sekitar 566 buah (besar dan
kecil), secara total memiliki luas wilayah +/- 246.500 Km2. Pada tahun 2006,
Provinsi NTT mendapat alokasi DAU sebesar Rp. 479,435 Milyar, bandingkan
dengan Provinsi Kalteng dengan luas 153.631 Km2 memperoleh DAU sebesar Rp.
551,999 Milyar, atau dengan Privinsi Jambi dengan luas 49.173 Km2 dengan
DAU 374,361 Milyar. Hal ini akan lebih jelas terlihat ketimpangan perimbangan
keuangan daerah apabila pameter PAD dimasukan. Maka akan timbul kesan
bahwa Provinsi NTT kurang diperhatikan, padahal Provinsi tersebut memiliki
beban cukup berat, termasuk karena merupakan Provinsi perbatasan negara.
15. Memperhatikan semangat pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk membangun
kemandirian Pemda dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pengalokasian DAU
tentunya erat terkait dengan tugas-tugas pengelolaan wilayah baik di darat
maupun di perairan (laut), dimana NTT sebagai contoh, harus mampu
membangun penyediaan infrastruktur, sarana dan prasarana ekonomi pada matra
laut yang sangat berat karena kondisi geografis wilayah ber-pulau-pulau.
KETERSEDIAAN DATA GEOSPASIAL
16. Dengan maksud (i) memberikan masukan data geospasial guna mendukung
penentuan batas-batas laut dan luas laut wilayah pengelolaan bagi daerah untuk
kemudian diberi landasan hukum, dan (ii) memberikan pedoman batas dan
perhitungan luas bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka
pengelolaan administrasi wilayah, sumber kekayaan alam dan lingkungan hidup.
Maka BAKOSURTANAL selaku pembina dan pemegang otoritas di bidang
survei dan pemetaan (Surta) nasional telah menyiapkan suatu konsep (rancangan)
peta batas wilayah pengelolaan laut dalam rangka otonomi daerah (lihat Renstra
BAKOSURTANAL 2000-2004).
17. Batas wilayah kewenangan pengelolaan daerah propinsi di laut adalah sejauh 12
mil laut dan untuk kabupaten/kota adalah sepertiga wilayah propinsi yang diukur
dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Kewenangan daerah di wilayah laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan kekayaan laut dan pengaturan tata ruang. Untuk itu diperlukan
penyusunan rencana umum tata ruang laut yang tentunya sangat terkait dengan
pemetaan wilayah laut propinsi/kabupaten/kota dan batas-batasnya.
18. Kesiapan data geospasial guna mendukung kebijakan terkait masalah ini sangat
tergantung kepada ketersediaan peta dasar dan peta rancangan batas laut serta
kepastian hukum terkait dengan penentuan wilayah administrasi dan pengelolaan
laut daerah serta batas-batasnya. Secara teknis akan terkait dengan:
a. Identifikasi garis pantai (dalam hal ini dapat diwakili oleh garis penghubung
titik-titik belok). Hal ini memerlukan peta-peta laut yang terintegrasi dengan
daratan, untuk itu dapat digunakan peta lingkungan laut nasional (LLN).
b. Garis-garis penghubung titik-titik belok yang mewakili garis pantai dapat
didefinisikan maksimum 12 mil laut, yang untuk kemudian dijadikan dasar
untuk pengukuran lebar laut 12 mil-laut dan 1/3nya ke arah laut lepas.
c. Untuk wilayah pengelolaan laut Provinsi yang bersebelahan ditentukan
berdasarkan prinsip sama jarak. Sedangkan untuk wilayah pengelolaan laut
Provinsi yang berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil-laut ditentukan
berdasarkan prinsip garis tengah (median-line).
d. Untuk wilayah pengelolaan laut Provinsi yang berhadapan dengan negara
tetangga, maka batasnya mengikuti batas-batas kesepakatan yang sudah
dirundingkan/disepakati.
e. Dalam hal teluk dan mulut sungai yang lebarnya kurang dari 12 mil-laut
dapat dibuat garis penutup diantara ujung batas teluk. Untuk teluk yang
lebarnya lebih dari 12 mil-laut maka ditarik garis kedalam teluk tersebut
sedemikian rupa mengikuti konfigurasi garis pantai.
f. Untuk Provinsi/Kabupaten yang memiliki konfigurasi ber-pulau-pulau atau
kumpulan pulau-pulau kecil, maka penarikan batas ditarik dengan
menyederhanakan bentuk (dapat dengan segi empat, segi lima, segi banyak,
dst. ), tidak selalu melingkari pulau.
g. Berikut ini beberapa ketentuan dalam pendefinisian desain batas 12 mil-laut
wilayah pengelolaan laut Propinsi dan untuk wilayah pengelolaan laut
Kabupaten adalah 1/3 dari wilayah pengelolaan laut Propinsi (1 mil-laut =
1852 meter) dengan menggunakan peta Lingkungan Laut Nasional (LLN)
skala 1:500.000. Koordinat titik-titik batas provinsi dalam sistim WGS 84 dan
perlu diatur dan diintegrasikan dalam suatu produk kebijakan nasional.
19. Dalam pemetaan batas wilayah laut, Bakosurtanal pada tahun 2001 telah
mendisain satu set Peta Kerja batas pengelolaan wilayah laut Propinsi, Kabupaten
dan Kota, dengan mengacu kepada UU No. 22 tahun 1999, bekerja sama dengan
Depdagri, serta didukung oleh Dishidros TNI-AL dan Departemen Kelautan dan
Perikanan. Peta kerja tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan
wilayah di laut oleh daerah. Dalam pembuatan peta batas pengelolaan wilayah
laut telah dirancang sedemikian rupa sehingga setiap lembar peta diusahakan
mewakili satu Provinsi atau suatu daerah tertentu dengan wilayah yang
berbatasan. Maka untuk seluruh wilayah Indonesia terdapat 47 nomor lembar peta
(NLP) dengan index seperti gambar terlampir. Sebagai kelengkapan parameter
batas, peta-peta tersebut disertai dengan daftar (listing) koordinat titik-titik batas
wilayah dan luasnya, yang dihasilkan secara kartometrik. Namun demikian
mengingat telah banyak terjadi perubahan jumlah daerah otonom karena
pemekaran/pembentukan daerah otonom baru, maka peta kerja rancangan batas
laut pengelolaan daerah tersebut sudah waktunya untuk diperbaharui.
20. Contoh peta batas wilayah pengelolaan laut dan perhitungan luasnya sebagai
terlampir.
VI. KESIMPULAN
1. Penyediaan dana alokasi umum (DAU) bagi Daerah dengan memperhitungkan
luas daerah adalah hal yang tepat karena sangat erat kaitannya dengan
pengelolaan wilayah untuk melaksanakan fungsi kewenangan daerah dalam
rangka desentralisasi, yang erat terkait dengan upaya pertumbuhan ekonomi dan
menjaga lingkungan serta pengembangan infrastruktur darat dan laut. Akan tetapi
variabel luas wilayah perairan (laut) masih belum diperhitungkan. Perlu dicatat
bahwa pemberian kewenangan pengelolaan wilayah laut kepada daerah tidak serta
merta memberikan hak eksklusif kepada daerah, akan tetapi semata-mata bersifat
administratif.
2. Sebagai persiapan untuk mendukung kemungkinan integrasi data luas wilayah
laut dalam perhitungan DAU, telah tersedia peta kerja batas wilayah laut
pengelolaan daerah yang dapat dengan mudah menghitung luasannya, dan disusun
berdasarkan norma dan kaidah serta sistem georeferensi nasional yang berlaku
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun
demikian produk tersebut perlu pembaharuan dan legalisasi sebagaimana
mestinya, sesuai stratifikasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Kemungkinan luas laut sebagai bagian dari luas wilayah dalam perhitungan DAU
adalah suatu konsekwensi logis yang harus diperhitungkan secara fungsional
dalam rangka keadilan “bukan pemerataan”. Dalam hal ini formulasinya mungkin
tidak sama dengan formula yang diterapkan untuk wilayah darat sehingga asas
proporsional perlu menjadi perhatian, diantaranya perlu diperhatikan aspek-aspek
berkaitan dengan tingkat biaya pengembangan infrastruktur dan fungsi ekonomi.
4. Merujuk kepada Pasal 33 UU NO. 33 tahun 2004, bahwa data untuk menghitung
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah,
dan atau lembaga Pemerintah yang berwenang dalam menerbitkan data yang
dapat dipertanggung jawabkan. Maka peta kerja yang diproses secara kartometris
sangat tepat untuk digunakan dan menjawab kebutuhan.
REKOMENDASI
1. Dari penjabaran di atas, variabel luas wilayah dalam perhitungan DAU perlu
memasukkan luas wilayah laut. Konsekuensi dari hal itu perlu adanya revisi
penjelasan Pasal 40 ayat (3), PP No. 55 tahun 2005 yang hanya memperhitungkan
luas wilayah darat saja.
2. Merujuk kepada Pasal 33 UU NO. 33 tahun 2004, bahwa data untuk menghitung
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah,
dan atau lembaga Pemerintah yang berwenang dalam menerbitkan data yang
dapat dipertanggung jawabkan. Perlu ditunjuk Lembaga/instansi yang berwenang
dalam menghasilkan data geospasial berkenaan dengan perhitungan variabel luas
wilayah dalam DAU.
3. Berkenaan dengan peta kerja batas laut pengelolaan daerah, perlu segera
diperbaharui dan ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundangan yang
terkait dengan pengelolaan wilayah laut sebagaimana yang diamanatkan oleh
Pasal 18 ayat (7) UU No.32 tahun 2004. Apabila diperlukan peta kerja dimaksud
dapat dilengkapi dan dimutakhirkan dengan data geospasial tema lainnya, seperti
data keberadaan sarana dan prasarana serta data potensi sumberdaya alam lainnya,
sehingga dapat dipergunakan pula sebagai input dalam perencanaan dan
pemantauan fasilitasi DAU di Daerah secara berkelanjutan.
REFERENSI KEBIJAKAN
1) UUD tahun 1945; Pasal 18, Pasal 18ª, dan Pasal 33.
2) UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
3) UU No. 22 tahun 1999 sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4) UU No. 25 tahun 1999 sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No. 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah.
5) PP No. 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
6) PP No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
7) Perpres No. 74 tahun 2005 tentang DAU Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
tahun 2006.
8) Permendagri No. 18 tahun 2005.
9) Renstra BAKOSURTANAL tahun 2000-2004.
PUSTAKA
10) Foenay, Eston L.; Kasus batas wilayah dan upaya penyelesaiannya di Provinsi
NTT. Prosiding Forkom Teknis Batas Wilayah BAKOSURTANAL-DEPDAGRI,
Bogor, Juli 2002.
11) BAKOSURTANAL-DEPDAGRI, Prosiding Forkom “Mengoptimalkan Peran
dan Fungís Survei Pemetaan dalam Pengelolaan Batas Wilayah”, Penyunting: S.
Sutisna, Bogor, 2002.
12) Kamaluddin, Laode M.; Indonesia sebagai negara maritim dari sudut pandang
ekonomi. UMM Press, Madang 2005.
13) Pusat Pemetaan Batas Wilayah, BAKOSURTANAL; Peta (Kerja) Batas Wilayah
Laut Daerah Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999. Edisi tahun 2001.
14) Sobar Sutisna (Editor); Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Bakosurtanal,
2005.
Download