DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN Disampaikan Oleh: Drs. Kadjatmiko, M.Soc.Sc Direktur Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia I. PENDAHULUAN Otonomi adalah penyerahan tanggung jawab antar berbagai tingkatan pemerintahan dalam mendukung pelayanan publik yang lebih baik. Sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, perubahan sistem pemerintahan dari yang sentralistik menjadi desentralistik menjadi tuntutan yang tidak terhindarkan. Kedua UU tersebut menekankan bahwa pengembangan otonomi Daerah diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan, keadilan, pengembangan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD), serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Kedua UU tersebut, juga telah memberi kejelasan arah yang ingin dicapai dan memberi keleluasaan bagi Daerah melebihi apa yang ada di masa sebelumnya. Pada dasarnya titik sentral otonomi Daerah adalah penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, dimana salah satu aspek pentingnya adalah masalah keuangan. Dengan pelaksanaan otonomi Daerah, khususnya dibidang pengelolaan keuangan telah terjadi perubahan pola 1 hubungan keuangan Pusat dan Daerah yang selama ini dijalankan sampai dengan Tahun 2000. Pada hakekatnya hubungan keuangan Pusat dan Daerah meliputi masalah pembagian, yakni pembagian tanggung jawab pelaksanaan kegiatankegiatan tertentu pada tingkat pemerintahan serta pembagian sumber-sumber keuangan yang akan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan kegiatankegiatan tersebut. Dengan kata lain, hubungan ini menyangkut pembagian kekuasaan diantara tingkat pemerintahan. Kewenangan dibidang keuangan yang pada dasarnya melekat pada setiap kewenangan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah, turut pula diserahkan untuk menjadi kewenangan Daerah. Termasuk dalam kesatuan penyerahan kewenangan ini adalah penyerahan dan pengalihan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang terkait dengan kewenangan tersebut. Adapun penyerahan kewenangan dibidang keuangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 diwujudkan dalam pemberian kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan Daerah sendiri (PAD) dan didukung dengan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pemanfaatan sumber daya nasional diarahkan untuk mendukung pembiayaan yang 2 dialokasikan kepada Daerah sesuai dengan potensi dan hasil Daerah guna melaksanakan otonomi daerah. Pengalokasian sumber daya nasional juga dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antar Daerah yang bersangkutan. Potensi fiskal daerah sebagai sumber pembiayaan dikelola oleh daerah untuk membiayai kebutuhannya dalam melayani masyarakat. Pengaturan sistem Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah selaras dengan sistem pembagian kewenangan Pemerintahan atara Pemerintah Pusat dan Daerah. Inisiatif penyempurnaan UU No. 25 tahun 1999 tersebut adalah untuk menyelaraskan pembiayaan dengan kewenangan agar penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat dapat dilaksanakan secara proporsional dan merata di seluruh daerah. II. KEBIJAKAN DANA PERIMBANGAN A. Dana Perimbangan Sebagai Transfer Dana Pemerintah Pusat Ke Daerah Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, bahwa sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi antara lain (a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (b) Dana Perimbangan, yang terdiri dari: Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bagunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan, dan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA); Dana Alokasi Umum (DAU); dan Dana Alokasi Khusus (DAK), (c) Pinjaman Daerah, dan (d) Lain-lain Penerimaan yang sah. Dari berbagai sumber penerimaan Daerah tersebut, Dana Perimbangan adalah penerimaan Daerah yang merupakan transfer dana dari Pemerintah Pusat. 3 Transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Daerah (intergovernmental fiscal transfer) merupakan satu dari beberapa pilar pokok desentralisasi fiskal. Isu-isu lainnya adalah pembagian kewenangan (expenditure assignment), pembagian sumber pendapatan (revenue assignment), dan pinjaman Daerah. Dalam konteks Indonesia dewasa ini, transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Daerah tersebut adalah dalam wujud DAU dan DAK. DAU merupakan transfer dana yang bersifat umum (block grant), sementara DAK merupakan transfer dana yang bersifat spesifik, yaitu untuk tujuan-tujuan tertentu yang sudah digariskan (specific grant). Dengan demikian, transfer dana dimaksud tidak termasuk bagi hasil (revenue sharing) antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam APBN TA 2001, total Dana Perimbangan adalah sebesar Rp81,48 triliun atau 5,5% dari PDB, yang terdiri dari Bagian Daerah sebesar Rp20,3 triliun, DAU sebesar Rp60,5 triliun, dan DAK sebesar Rp700,6 miliar. Sementara dalam RAPBN TA 2002, total Dana Perimbangan mencapai Rp 94.531, 8 milyar yang terdiri dari Bagian Daerah mencapai Rp 24.600,4 milyar, DAU mencapai Rp 69.114,1 milyar, dan DAK mencapai Rp 817,3 miliar. B. Bagian Daerah Sebelum dikeluarkannya UU Nomor 25 Tahun 1999, pada dasarnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah dilakukan berbagai bagi hasil penerimaan yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta beberapa penerimaan yang berasal dari sumber daya alam (SDA) diluar penerimaan minyak bumi dan gas alam 4 (migas) dan sektor perikanan. Penerimaan tersebut dibagihasilkan kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang masih mempertimbangkan unsur subsidi silang antar Daerah yang mempunyai SDA dengan Daerah yang miskin SDA. Dengan berlakunya UU Nomor 25 Tahun 1999, Bagian Daerah yang merupakan penerimaan dari bagi hasil pajak dan SDA diperluas sehingga bagi hasil atas penerimaan SDA meliputi penerimaan dari minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sementara itu, untuk penerimaan bagi hasil pajak terdiri dari penerimaan PBB dan BPHTB. Dana bagi hasil tersebut diperoleh dengan prosentase tertentu yang ditetapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan yang didasarkan atas Daerah Penghasil (by origin). Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh karyawan yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) perorangan (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Secara keseluruhan, persentase bagian Daerah dari perpajakan dan SDA secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini. 5 Tabel: PROPORSI BAGI HASIL BEBERAPA PENERIMAAN NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH UU-PKPD SERTA UU OTONOMI KHUSUS PROP. NAD DAN PROP. PAPUA (Persentase) UU Otonomi Sebelum UU-PKPD Sesudah UU-PKPD Khusus No. Jenis Penerimaan Pemerat. Pusat Prop Kab Pusat Prop Kab Kab/Kota NAD Papua Lainnya 1 PBB 10 16,2 64,8 - 16,2 64,8(+) + 2 BPHTB 20 16 64 - 16 64 (+) + 3 IHH 55 30 15 20 16 64 - 4 PSDH 55 30 15 20 16 32 32 20 16 64 20 16 64 - 20 16 64 20 16 32 32 Landrent/Iuran 5 Tetap Royalti 6 Pertambangan Umum 7 Perikanan 100 - - 20 - - 80 8 Minyak 100 - - 85 3 6 6 55 55 9 Gas Alam 100 - - 70 6 12 12 40 40 10 Dana Reboisasi 100 - - 60 - 40 - 11 PPh 100 - - 80 8 12 - 6 Melalui penerimaan dari Bagian Daerah berdasarkan tabel diatas diharapkan potensi penerimaan Daerah menjadi semakin besar dan juga dapat meredam keinginan Daerah untuk menguasai sendiri pemanfaatan SDA yang dimilikinya. Hal ini karena Daerah penghasil/asal (origin) dapat menikmati sebagian penerimaan yang benar-benar diperoleh dari potensi Daerah yang bersangkutan. Namun demikian, pembagian tersebut pada dasarnya cenderung menimbulkan terjadinya ketimpangan antar Daerah. Hal ini disebabkan hanya beberapa Daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan Daerah dari PBB, BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa Daerah saja. Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 17 Tahun 2000, dalam APBN TA 2001 Pemerintah Daerah akan memperoleh Bagian Daerah dari dana bagi hasil dari pajak dan SDA sebesar Rp20.259,2 miliar atau 24,8 persen dari total Dana Perimbangan. Pemerintah Propinsi akan memperoleh Rp4.694,7 miliar, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota akan memperoleh Rp15.564,5 miliar. Realisasi pencairan dana bagi hasil sampai dengan bulan Agustus 2001 telah mencapai Rp8.870,7 atau 43,3% dari keseluruhan dana bagi hasil yang akan diterima Daerah. Proyeksi Dana Bagi Hasil dalam tahun anggaran 2002 sangat tergantung dari besarnya penerimaan pajak dan SDA yang dibagihasilkan. Secara nasional, kebijakan alokasi dana bagi hasil dalam tahun 2002 masih tetap mengacu pada UU No. 25/1999 dan PP 105/2000 kecuali untuk Propinsi Nanggroe Aceh 7 Darussalam (NAD) dan Propinsi Papua. Imbangan bagi hasil minyak bumi dan gas alam masing-masing menjadi 70% baik untuk Propinsi NAD maupun Propinsi Papua dan 30% untuk Pusat. Disamping itu untuk Propinsi Papua disediakan dana setara 2% dari DAU secara nasional atau sebesar Rp1.382,3 triliun dalam RAPBN 2002. Dalam tahun 2002, besarnya Dana Bagi Hasil secara nasional diperkirakan juga mengalami kenaikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari besarnya Dana Bagi Hasil tahun 2002 yang mencapai Rp. 24,6 triliun atau meningkat sekitar 21% dari tahun sebelumnya sebesar Rp. 20,3 triliun. Dari keseluruhan komponen dana bagi hasil, baik dana bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam (SDA) juga mengalami kenaikan. Secara nasional, dana bagi hasil PBB dan BPHTB masing-masing mengalami kenaikan sekitar 25% dan 50%. Sedangkan dana bagi hasil PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 diperkirakan juga mengalami peningkatan. Sementara itu, Dana Bagi Hasil SDA diperkirakan mengalami kenaikan sekitar 25% yang terdiri dari Dana Bagi Hasil SDA kehutanan meningkat sekitar 142%, bagi hasil pertambangan umum sekitar 44%, minyak bumi dan gas alam masing-masing mengalami kenaikan sekitar 12% dan 13%, sedangkan bagi hasil dari SDA perikanan diperkirakan akan sama dengan tahun sebelumnya. 8 C. Dana Alokasi Umum (DAU) Sebagai salah satu bentuk transfer dana dari Pemerintah Pusat, alokasi DAU mempunyai peranan yang cukup besar bagi pendapatan Daerah mengingat DAU menduduki porsi jumlah terbesar dibandingkan komponen lainnya dalam Dana Perimbangan. Per definisi, DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya DAU ini diharapkan perbedaan kemampuan keuangan antara Daerah yang maju dengan Daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Pembagian dana bagian Daerah melalui bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan daerah penghasil (by origin) cenderung menimbulkan ketimpangan antar Daerah, dimana Daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA yang besar hanya terbatas pada beberapa Daerah tertentu. Peran strategis distribusi DAU terletak pada kemampuannya untuk menciptakan pemerataan berdasarkan pertimbangan atas potensi fiskal dan kebutuhan nyata dari masing-masing Daerah. Oleh karena itu, DAU untuk suatu Daerah ditetapkan berdasarkan fiscal gap yang dihitung berdasarkan potensi penerimaan (fiscal capacity) dan kebutuhan belanja (fiscal needs). Dengan demikian, fungsi dari alokasi DAU adalah untuk menutup gap yang terjadi karena fiscal needs melebihi fiscal capacity yang dimiliki suatu Daerah. Karena “fungsinya” sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan fiskal horizontal ini, maka seyogyanya DAU dilihat secara keseluruhan sebagai bagian 9 dari Dana Perimbangan dan juga kapasitas fiskal Daerah sendiri (PAD). Artinya, DAU tidak boleh dilihat secara terpisah dengan (terutama) bagi hasil pajak (PBB, BPHTB, PPh perorangan) dan bagi hasil SDA, karena DAU memiliki fungsi untuk menetralisasi dampak yang diakibatkan oleh bagi hasil tersebut atau bisa dianggap sebagai equalization grant. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999, jumlah DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) netto dalam APBN (PDN setelah dikurangi dengan bagi hasil ke Daerah termasuk Dana Reboisasi) pada tahun yang sama, dimana untuk Propinsi sebesar 10%-nya dan Kabupaten/Kota sebesar 90%-nya. Dengan menggunakan bobot DAU masing-masing Daerah, maka dapat dihitung besarnya alokasi DAU untuk suatu Propinsi ataupun suatu Kabupaten/Kota. (a) Besarnya alokasi DAU ke suatu Propinsi Besarnya alokasi DAU ke suatu Propinsi dihitung dengan mengalikan bobot Propinsi yang bersangkutan dengan besarnya total DAU yang tersedia untuk Propinsi, yang secara nasional adalah 10% dikalikan dengan 25% dari PDN netto. Alokasi DAU Ke Suatu Propinsi = 10% x 25% x PDN netto xBobot Propinsi 10 (b) Besarnya alokasi DAU ke suatu Kabupaten/Kota Mirip dengan perhitungan alokasi ke Propinsi, perbedaannya adalah total DAU yang tersedia untuk Kabupaten/Kota sebesar 10% terhadap 25% dari PDN netto. Alokasi DAU Ke Suatu Kabupaten/Kota = 90% x 25% x PDN netto x Bobot Kabupaten/Kota Dalam penghitungan DAU yang dialokasikan kepada Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) seluruh Indonesia dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah pada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang hasilnya akan direkomendasikan kepada DPOD yang selanjutnya akan dikonsultasikan dengan Panitia Anggaran DPR RI. Dengan pertimbangan untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam pembiayaannya, maka perhitungan DAU dimaksud juga mempertimbangkan adanya Faktor Penyeimbang yang sudah ditentukan. Selanjutnya, hasil perhitungan DAU untuk masing-masing Daerah yang sudah menjadi kesepakatan dalam DPOD akan disampaikan kepada Presiden untuk dapat ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Hasil perhitungan DAU TA 2001 telah ditetapkan dalam Keppres Nomor 181 Tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2001. Dalam APBN TA 2001, alokasi DAU yang didistribusikan kepada seluruh Daerah berdasarkan Keppres dimaksud mencapai Rp60,5 triliun atau kurang lebih 75% dari keseluruhan Dana Perimbangan yang 11 dialokasikan untuk Daerah. memperoleh Rp6,2 triliun, Dari jumlah sedangkan tersebut, untuk Pemerintah Pemerintah Propinsi Kabupaten/Kota memperoleh Rp54,3 triliun. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 556/KMK.03/2000, penyaluran DAU kepada masing-masing Daerah dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q Ditjen Anggaran secara berkala setiap bulan sebesar 1/12 dari plafon DAU masing-masing Daerah sesuai yang ditetapkan dalam Keppres Nomor 181 Tahun 2000. DAU Tahun Anggaran 2002 Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah diadakan komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan dan distribusi DAU yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar Daerah. Hal ini mengingat bahwa perhitungan dan distribusi DAU TA 2001 seperti yang tercantum dalam Keppres 181 Tahun 2000 belum sepenuhnya dapat mencerminkan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah sesuai dengan amanat UU Nomor 25 Tahun 1999. Dengan pengertian lain, bahwa DAU belum dapat berfungsi sebagai equalization grant. Reformulasi dan perhitungan DAU yang akan digunakan dalam TA 2002 pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari perhitungan fiscal gap, baik yang menyangkut kebutuhan Daerah (fiscal needs) maupun kapasitas fiskal (fiscal capacity) seperti yang tercantum dalam Pasal 17 PP Nomor 104 Tahun 2000, dengan memberikan beberapa variabel tambahan yang tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam UU itu sendiri. Selain itu, dalam formulasi tersebut 12 masih memperhitungkan keberadaan Faktor Penyeimbang yang diharapkan semakin kecil peranannya dibandingkan dengan formulasi DAU TA 2001. Beberapa variabel yang digunakan dalam formulasi fiscal gap dalam perhitungan DAU TA 2002 meliputi : a. Variabel-variabel potensi Daerah (fiscal capacity), terdiri dari potensi PAD (dihitung dari PDRB sektor jasa dengan menggunakan metode ekonometrika) dan potensi penerimaan bagi hasil (PBB, BPHTB, PPh Perseorangan, dan SDA). Bagi hasil SDA hanya diperhitungkan 75%, dengan pertimbangan untuk mengakomodasi adanya kekhawatiran Daerah mengenai ketidakpastian jumlah bagi hasil SDA yang akan diterima serta untuk memberikan insentif ke Daerah sebagai biaya untuk perbaikan lingkungan dan sosial cost akibat dampak dari eksploitasi SDA dimaksud. b. Variabel-variabel kebutuhan Daerah (fiscal needs) dibagi atas variabel kependudukan dan variabel kewilayahan. Variabel kependudukan meliputi Jumlah Penduduk, Indeks Kemiskinan Relatif (proxi : Poverty Gap), dan Kepadatan Penduduk. Sementara untuk variabel kewilayahan meliputi Luas Wilayah dan Indeks Harga Bangunan. Masing-masing variabel diberi bobot nilai yang berbeda, yaitu : Variabel kependudukan (0,5), yang terdiri atas Indeks Penduduk (IP) sebesar 0,4, Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) sebesar 0,1, dan Indeks Density (ID) sebesar 0,0; Variabel kewilayahan (0,5), yang terdiri atas Indeks Wilayah (IW) sebesar 0,1 dan Indeks Harga Bangunan (IH) sebesar 0,4. 13 Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU 2002 disamping menggunakan formula Fiscal Gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang. Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah ada komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan dan distribusi DAU TA 2002 yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar Daerah. Formula DAU TA 2002 merupakan rekomendasi dari Tim Independen yang terdiri dari 4 (empat) universitas yang selama ini terlibat dalam kajian dibidang keuangan Daerah (UI, UGM, UNAND, dan UNHAS) kepada Pemerintah. Formula DAU tersebut telah disetujui oleh DPOD dan oleh Pemerintah telah ditetapkan dengan PP Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. Namun demikian, dalam perhitungan DAU TA 2002 berdasarkan plafon DAU dalam APBN TA 2002 (Rp69,1 triliun) dengan formula tersebut terdapat Daerah-daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan penerimaan DAU TA 2002 dibandingkan dengan DAU TA 2001. Hal ini cukup logis mengingat formula DAU yang baru dianggap lebih baik dan dapat mengoreksi hasil perhitungan DAU TA 2001 bagi Daerah-daerah yang diuntungkan dalam perhitungan pada waktu itu. 14 Sesuai dengan pembahasan perhitungan DAU TA 2002 dengan Panitia Anggaran telah disepakati bahwa hasil akhir perhitungan DAU TA 2002 menggunakan formula DAU sebagaimana dimaksud di atas dengan dilakukan beberapa penyesuaian dengan tujuan tidak ada Daerah yang menerima DAU TA 2002 lebih kecil dari DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi 2001 bagi Daerah yang menerima. Untuk tujuan tersebut telah ada tambahan dana untuk DAU (bukan dari plafon) yang disebut dengan Dana Penyeimbang sebesar Rp2.054,72 miliar yang perhitungannya bersamaan dengan perhitungan DAU (dalam tabel terlampir). Keberadaan Dana Penyeimbang juga dimaksudkan untuk menambah penerimaan DAU Provinsi, dimana dengan 10% dari total DAU secara nasional untuk penerimaan DAU Provinsi dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan DAU seluruh Provinsi. Dalam TA 2002, penerimaan DAU seluruh Provinsi sebesar Rp6,91 triliun, sementara penerimaan DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi untuk Provinsi sebesar Rp7,47 triliun. Alokasi DAU TA 2002 untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002 tertanggal 31 Desember. Selanjutnya pada tanggal yang sama telah pula ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 685/KMK.07/2001 tentang Penetapan Rincian Dana Penyeimbang Tahun Anggaran 2002 Kepada Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Rincian alokasi DAU TA 2002 dan Dana Penyeimbang untuk masing-masing Daerah dapat dilihat dalam tabel terlampir. 15 Sedangkan perhitungan DAU Tahun 2002 untuk 12 Kota baru yang dibentuk pada tahun 2001 belum dapat dilakukan secara nasional, hal ini karena keterbatasan data terutama data kapasitas fiskal. Adapun metode penghitungan untuk 12 Kota baru tersebut sebagai berikut : a. Alokasi Minimum Mendapatkan lumpsum yang diperhitungkan secara Nasional, dengan besaran yang sama dengan Kabupaten/Kota lainnya Proporsional Belanja Pegawai antara Kabupaten Induk dan Kota pemekarannya b. Kesenjangan Fiskal (KF) Dibagi proporsional berdasarkan Luas Wilayah dan jumlah Pendudk antara Kabupaten Induk dan Kota Pemekarannya, dengan rasio 50% : 50%. D. DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Untuk itu kebutuhan khusus yang dapat dibiayai dengan DAK yaitu : a. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; b. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional; 16 c. 40% dari penerimaan negara yang berasal dari Dana reboisasi disediakan kepada Daerah penghasil sebagai DAK untuk membantu membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan. Persyaratan umum DAK Khususnya untuk butir a di atas adalah sebagai berikut: a. Adanya usulan daerah yang diajukan ke Menteri Teknis/Instansi terkait; b. Daerah tidak mampu membiayai keseluruhan kegiatan tersebut dari PAD, DAU, Bagi Hasil, Penerimaan lain yang sah; c. Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%; d. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri Teknis/Instansi terkait. Pengalokasian DAK kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri, Menteri Teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Sesuai dengan penjelasan pasal 19 ayat (2) PP Nomor 104 Tahun 2000 disebutkan bahwa: a. DAK digunakan untuk membiayai investasi peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang; b. Dalam keadaan tertentu DAK dapat membantu membiayai pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun; Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus adalah kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawassan transmigrasi, kebutuhan beberapa 17 jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer. Sementara kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional termasuk antara lain: proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi oleh daerah, dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Adapun kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK yaitu untuk keperluan biaya: administrasi, penyiapan proyek fisik, penelitian, perjalanan dinas, administrasi umum, dan lain-lain biaya umum sejenis. Penyaluran DAK diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 556/KMK.03/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Untuk DAK tahun 2001 hanya dialokasikan untuk Dana Reboisasi dimana berdasarkan penyesuaian APBN tahun 2001, alokasi DAK-Dana Reboisasi (DAKDR) semula sebesar Rp. 900,6 milyar menjadi Rp. 700,6 milyar. Adapun Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otda, dan Bappenas Nomor: SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor: 2035/D.IV/ 05/2001, dan Nomor: SE-522.4/947/5/BANGDA. Sedangkan penetapan pengalokasian DAK-DR APBN tahun 2001 kepada Propinsi telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 491/KMK.02/2001 tanggal 6 September 2001. DAK-DR tersebut dialokasikan untuk 21 Propinsi penghasil. 18 Dalam rangka pengalokasian DAK TA 2002 dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Mengingat keterbatasan dana dalam APBN, untuk tahun 2002 DAK hanya dialokasikan untuk Dana Reboisasi, sebagaimana tahun 2001 yang dalam RAPBN tahun 2002 dialokasikan sebesar Rp. 817,3 milyar. Untuk persiapan penyusunan dan pengalokasian DAK-DR tahun 2002 tersebut, saat ini sedang dilakukan permintaan data ke Departemen Kehutanan. III. Dampak Pembentukan daerah otonom baru terhadap kebijakan alokasi dana perimbangan Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimungkinkan dibentuknya suatu daerah otonom baru sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian juga halnya apabila suatu daerah otonom tidak mampu untuk mengurus daerah otonomnya maka dimungkinkan dilebur dengan daerah otonomi lainnya. Pada Tahun Anggaran 2000 dibentuk sebanyak 42 derah kabupaten/kota dan 3 daerah Propinsi, sedangkan pada Tahun Anggaran 2001 dibentuk 12 daerah Kota baru. Dengan adanya pembentukan daerah otonom baru tidak terlalu berpengaruh terhadap kebijakan dana perimbangan secara nasional khususnya terhadap kebijakan pengalokasian DAU. Pengalokasian DAU untuk daerah otonom baru perlakuannya sama dengan daerah-daerah otonom definitif lainnya 19 yaitu dengan mengunakan konsep kesenjangan fiskal yaitu kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh selisih kapasitas daerah dengan kebutuhan suatu daerah. Tetapi walaupun demikian dengan adanya pembentukan daerah otonom baru akan sangat berdampak terhadap penerimaan DAU baik terhadap daerah otonom induknya maupun terhadap daerah-daerah otonom lainnya, karena dalam pembagian DAU dengan plafond DAU yang sama dibagi dengan daerah yang lebih banyak, sehingga alokasi DAU yang diterima akan semakin kecil. Untuk kebijakan Bagian Daerah dari bagi hasil secara nasional dengan adanya pembentukan daerah otonom baru juga tidak akan terlalu berpengaruh, tetapi walaupun demikian penerimaan daerah dari bagi hasil terutama untuk daerah otonom induknya dan daerah otonom definitif lainnya dalam satu propinsi akan sangat berpengaruh. Terhadap 22 (dua puluh dua) Kabupaten/Kota yang baru dibentuk pada Tahun 2002, dapat diperhitungkan dalam penghitungan DAU TA 2003 selama variabel dan data yang digunakan dalam formulasi DAU TA 2003 tersedia, adapun jika data dan variabel yang digunakan dalam formulasi DAU TA 2003 tidak tersedia, maka kebijakan alokasi DAU terhadap ke 22 Kabupaten/Kota baru tersebut sama dengan kebijakan alokasi DAU TA 2002 terhadap 12 Kota yang dibentuk pada tahun 2001, yaitu hanya diperhitungan dengan Kabupaten Induknya. ************ C://Ilham/pemb_daerah_otonom_baru 20