BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang sebelum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Menurut Halim (2004), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah. Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh sebab itu, keuangan daerah identik dengan APBD. (Saragih, 2003) 2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah bagian dari perencanaan yang berkaitan dengan anggaran yang digunakan dalam melaksanakan roda pemerintahan. Anggaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Adapun APBD sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dinyatakan dalam pasal 1 butir (17) : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah dan ditetapkan peraturan daerah”. Menurut Bastian (2006), APBD merupakan “pengejawantahan rencana kerja Pemda dalam bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik”. Menurut Saragih (2003), APBD adalah “dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu, umumnya satu tahun”. Definisi APBD menurut Halim (2001) adalah rencana kegiatan pemerintah daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan menunjukkan adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal dan biaya merupakan batas maksimal untuk satu periode anggaran. Selain itu, menurut Tim Pengembangan Konten Akuntansi Sektor Publik Widyatama dalam Kadafi menyatakan bahwa : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD merupakan rencana kegiatan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan menunjukkan adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal dan biaya yang menjadi batas maksimal untuk satu periode anggaran”. Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa APBD haruslah disusun dengan baik dan dipertimbangkan dengan seksama dengan memperhatikan skala prioritas dan dalam pelaksanaannya harus mengacu pada sasaran dengan cara yang berdaya guna dan berhasil guna. 2.3 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumber- sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat. Menurut Halim (2007) pendapatan asli daerah adalah : “Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 dalam pasal 1 Ayat 17, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut : “Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut sebagai PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Menurut Mardiasmo (2002), “Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah”. Setiap daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk menggali dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan yang ada didaerahnya. Peningkatan PAD ini menjadi sangat penting dalam era otonomi daerah, karena kemandirian keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah (Halim, 2007). 2.3.1 Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah Menurut Halim (2007:96), kelompok pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat pendapatan : 1) Pajak Daerah Sesuai Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, jenis pendapatan pajak kutuk kabupaten/kota terdiri dari : a. Pajak hotel, b. Pajak restoran, c. Pajak hiburan, d. Pajak reklame, e. Pajak penerangan jalan, f. Pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan g. Pajak parkir 2) Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi. 3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup : a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN c. Bagian atas laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat 4) Lain-lain PAD yang Sah Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang disebut diatas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan sebagai berikut : a. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dapat dipisahkan, b. Jasa giro, c. Pendapatan bunga, d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, e. Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang dan jasa oleh daerah, f. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, h. Pendapatan denda pajak, i. Pendapatan denda retribusi, j. Pendapatan eksekusi atas jaminan, k. Pendapatan dari pengembalian, l. Fasilitas sosial dan umum, m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pendapatan Asli Daerah meliput : pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. 2.4 Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2007), “Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah”, dengan rumus : Realisasi Penerimaan PAD Efektivitas = × 100% Target Penerimaan PAD yang Ditetapkan Berdasarkan Potensi Riil Menurut Mahsun (2006), “Efektivitas (hasil guna) adalah suatu keberhasilan suatu organisasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”. Efektivitas juga menggambarkan tingkat kinerja pemerintahan daerah dalam merealisasikan anggaran yang tersusun dalam APBD agar mencapai target yang diharapkan atau bahkan melebihi dari target yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 8, 2006, “Kinerja adalah hasil keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur”. 2.5 Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 21, yang merupakan bagian dari dana perimbangan di antaranya adalah dana alokasi umum yang merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Halim (2004), “Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Menurut Saragih (2003) “Bagi daerah yang relatif minim Sumber Daya Alam (SDA), DAU merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung operasional pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan”. Tujuan DAU di samping untuk mendukung sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan keuangan pemerintah daerah”. (Saragih, 2003) Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah yang kaya. Dengan kata lain, tujuan penting Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemerintah daerah di Indonesia. Menurut Kuncoro (2004) DAU dapat diartikan sebagai berikut : a. Salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal. b. Instrumen untuk mengatasi horizontal inbalances, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah. c. Equalization Grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil sumber daya alam yang diperoleh daerah. Menurut Henley et al dalam Mardiasmo (2002) mengidentifikasi beberapa tujuan pemerintah pusat memberikan dana bantuan dalam bentuk Grant kepada pemerintah daerah yaitu : a. Untuk mendorong terciptanya keadilan antar wilayah (geographical equity), b. Untuk meningkatkan akuntabilitas (promote accountability), c. Untuk meningkatkan sistem pajak yang lebih progresif. Pajak daerah cenderung kurang progresif, membebani tarif pajak yang tinggi kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah, d. Untuk meningkatkan keberterimaan (acceptability) pajak daerah. Pemerintahan pusat mensubsidi beberapa pengeluaran pemerintah daerah untuk mengurangi pajak daerah. Mengacu pada PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (Mardiasmo, 2002) Tujuan Dana Alokasi Umum terutama adalah untuk : horizontal equity dan sufficiency. Tujuan horizontal equity merupakan kepentingan pemerintah pusat dalam rangka melakukan distribusi pendapatan secara adil dan merata agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antar daerah. Sementara itu, yang menjadi kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency), terutama adalah untuk menutup fiscal kap. Sufficiency dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : kewenangan, beban, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Pengalokasian Dana Alokasi Umum kepada setiap daerah ini ditentukan oleh celah fiskal yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal satu daerah dengan kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut. Dana Alokasi Umum yang telah ditetapkan kepada setiap daerah berdasarkan pertimbangan celah fiskal tadi akan disalurkan dengan pemindah bukan dari rekening umum pemerintah pusat kepada rekening kas pemerintah daerah. Kontribusi Dana Alokasi Umum ini masih menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah daerah daerah karena proporsi Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap pendapatan daerah masih tertinggi dibandingkan dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah. 2.6 Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari Dana Perimbangan yang menjadi sumber pendapatan daerah berdasar UU Nomor 33 Tahun 2004. Berdasar undang-undang tersebut, Dana Alokasi Khusus diartikan sebagai dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu. Menurut Kuncoro (2004) “Dana Alokasi Khusus ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus”. Dana Alokasi Khusus ini dialokasikan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah dibanding kemampuan fiskal daerah secara nasional. Penentuan penerimaan dana alokasi khusus ini diatur sesuai dengan kriteria penerima DAK yang terdapat dalam undang—undang. Sesuai dengan pengertiannya, dana alokasi khusus ini dialokasikan untuk mendanai kebutuhan program pemerintah daerah yang sejalan dengan kepentingan program nasional, terutama dalam pemenuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai bagian dari pendapatan daerah merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang telah disentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung prioritas nasional. Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasaran yang menjadi prioritas nasional seperti di bidang pendidikan, kesehatan infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintah daerah, serta lingkungan hidup 2.7 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Salah satu analisis rasio pada sektor publik khususnya APBD menurut Widodo dalam Halim (2004) adalah rasio kemandirian keuangan daerah. Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) merupakan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Adapun tujuan kemandirian keuangan daerah ini mencerminkan suatu bentuk pemerintahan daerah apakah dapat menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Dalam mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah ini dapat diukur dengan membandingkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan total pendapatan yang diperoleh daerah tersebut yang diperoleh dari laporan realisasi APBD. Rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama Pemerintahan Pusat dan Propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen pendapatan asli daerah (PAD). Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. 2.8 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 2.8.1 Kerangka Pemikiran Kebijakan Otonomi daerah memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengembangkan potensi yang ada di daerahnya. Peningkatan wewenang ini tentunya jalan dengan meningkatnya beban pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Bila sebelumnya pemerintah daerah hanya menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, yang di mana semua program pemerintahan disesuaikan dengan kebijakan nasional. Maka saat ini sebagian besar kewenangan dalam merencanakan program sampai pada pelaksanaannya ada pada pemerintah daerah. Maka dari itu di satu sisi, kebijakan otonomi ini menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam membuat program yang paling sesuai dengan kondisi daerahnya. Tapi di sisi lain otonomi daerah ini juga menjadi tantangan atau bahkan peningkatan beban bagi pemerintah daerah karena dalam pelaksanaannya dibutuhkan kesiapan yang matang dari pemerintah daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan dalam menggali sumber keuangannya sendiri dalam membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Pembiayaan tersebut diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga perlu dilihat sejauh mana efektivitas dari pendapatan asli daerah (PAD). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2013) menyatakan bahwa : “Rasio Efektivitas pengelolaan pendapatan asli daerah yang cukup baik atau efektif yaitu memiliki nilai rasio efektivitas PAD di atas 100%. Terjadi penurunan rasio efektivitas PAD karena menurunnya realisasi pada beberapa pospos pendapatan asli daerah seperti pajak daerah dan retribusi”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah mampu merealisasikan pendapatan asli daerah secara optimal dan mencapai target yang berdasarkan rencana dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ardhani (2013) menyatakan bahwa : “ Penerimaan dana alokasi umum (DAU) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi di sisi lain tidak diikuti oleh peningkatan upaya pajak. Hal ini tidak sesuai dengan harapan pemberian dana alokasi umum untuk mengatasi disparitas (kesenjangan) fiskal dan perbedaan kemampuan investasi.” Dari uraian di atas dapat disimpulkan pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah daerah, justru direspon berbeda oleh daerah dan pada akhirnya daerah tidak menjadi lebih mandiri, bahkan semakin bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muliana (2009) menyatakan bahwa : “Rasio efektivitas pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus berpengaruh signifikan terhadap kemandirian keuangan. Daerah mampu membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya yang diperoleh dari pendapatan asli daerah dan didukung pula oleh dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah setara antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang di antaranya berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ini berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah.” Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Rasio Efektivitas PAD X1 Dana Alokasi Umum Kemandirian Keuangan Daerah X2 Y Dana Alokasi Khusus X3 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.8.2 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang akan disajikan dalam penelitian ini, sebagai berikut : H1: Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara simultan terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah H2: Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara parsial terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah H3: Dana Alokasi Umum berpengaruh secara parsial terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah H4: Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara parsial terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah