Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan Spiritualitas Lingkungan Hidup: Respon Iman Kristen Terhadap Krisis Ekologi1 Pdt. Irene Ludji, MAR Allah menulis FirmanNya tidak hanya di Alkitab. Tapi juga di pohon-pohon, bunga-bunga, awan dan bintang-bintang. Marthin Luther 1483-1546 I. PENDAHULUAN Bumi tempat kita tinggal sedang menghadapi krisis. Krisis yang dimaksud adalah krisis ekologi. Krisis ekolologi ini berdampak pada semua anggota bumi, termasuk manusia. Akan tetapi, manusia bukan hanya korban dari krisis ekologi, manusia juga salah satu penyebab krisis ekologi. Selain posisi sebagai korban dan penyebab krisis ekologi, manusia juga memiliki peran lain yaitu sebagai pemelihara ekosistem. Ketiga peran dan posisi yang dipegang oleh manusia ini terkait erat dengan nilai-nilai kebenaran yang diakuinya. Mengapa? Karena nilainilai yang diakui oleh individu sebagai kebenaran adalah penuntun bagi perilaku hidupnya. Dari mana nilai-nilai hidup yang diakui oleh individu berasal? Ada banyak sumber, salah satunya adalah agama. Agama adalah sumber nilai-nilai kebenaran bagi penganutnya karena di dalam ajaran agama dapat ditemukan berbagai aturan, pedoman, serta perintah yang mengatur bagaimana manusia menjalankan kehidupannya. Di dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana pemahaman orang Kristen terhadap Alkitab mempengaruhi nilai-nilai serta perilakunya dalam bereaksi terhadap krisis ekologi. Tulisan ini diawali dengan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan krisis ekologi, lalu dilanjutkan dengan respon iman Kristen terhadap bencana lingkungan hidup, dan diakhiri dengan pentingnya dibangun spiritualitas lingkungan hidup di dalam kehidupan umat Kristen yang hendak menjadi penjaga kebun Allah. 1 Disampaikan dalam Seminar Studium Generale di Universitas Kristen Satya Wacana pada tanggal 1 Maret 2014. Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama II. KRISIS EKOLOGI Istilah ekologi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Secara harafiah lingkungan di sini berarti keadaan sekitar atau kondisi sekitar. Menurut UndangUndang Lingkungan Hidup No. 23/1997 yang masih berlaku hingga saat ini, “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.” Lingkungan hidup terdiri atas tiga unsur utama yaitu unsur hayati, fisik, dan unsur sosial budaya (Simanjuntak, 2014: 9). Yang dimaksud dengan unsur hayati adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas makhluk hidup, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan dan jasad renik. Unsur hayati disebut juga sebagai unsur biotik. Yang dimaksud dengan unsur fisik adalah bagian dari lingkungan hidup yang terdiri atas benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dll. Unsur fisik disebut juga sebagai unsur abiotik. Yang terakhir, unsur sosial budaya yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Interaksi antara ketiga unsur ini mengakibatkan perubahan lingkungan. Hubungan timbal balik antara ketiga unsur ini berpotensi untuk menyebabkan kerusakan ekologi seperti kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan (Simanjuntak, 2014: 20). Perubahan lingkungan diperparah oleh eksploitasi sumber daya alam demi menunjang kepentingan salah satu unsur lingkungan hidup yaitu manusia. Berbagai peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia belakangan ini, seperti banjir, gempa bumi dan gunung meletus berdampak pula pada perubahan lingkungan hidup serta unsur-unsur di dalamnya. Menurut Sonny Keraf, menteri lingkungan hidup periode ke-5 di Indonesia, berbagai bencana yang terjadi di Indonesia dapat dikategorikan dalam dua kelompok yaitu bencana alam dan bencana lingkungan hidup (Keraf, 2010: 26). Yang dimaksud dengan bencana alam adalah bencana yang terjadi murni sebagai dampak dari peristiwa alam, misalnya gempa bumi dan gunung meletus. Sedangkan yang dimaksud dengan bencana lingkungan hidup adalah “sebagian atau seluruh peristiwa yang disebabkan oleh 64 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan krisis lingkungan hidup, yaitu kehancuran, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia” (Keraf, 2010: 26). Definisi yang diberikan oleh Keraf ini jika dilihat secara sepintas akan bermakna kontradiktif dengan definisi lingkungan hidup yang dipaparkan sebelumnya dalam tulisan ini. Jika lingkungan hidup mencakup di dalamnya alam (biotik dan abiotik) maka bencana alam harus dikategorikan sebagai bencana lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam menggunakan kategori yang diusung oleh Keraf, sebagaimana yang hendak dilakukan dalam tulisan ini, maka perlu dipahami bahwa istilah bencana lingkungan hidup digunakan semata-mata dengan tujuan untuk membedakan antara krisis dan bencana yang disebabkan tidak terutama oleh alam melainkan oleh manusia. Ada lima macam krisis dan bencana lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita saat ini yaitu pencemaran, kerusakan, kepunahan, kekacauan iklim global, dan masalah sosial ikutan yang berhubungan dengan krisis dan bencana lingkungan hidup tersebut (Keraf, 2010: 27). Yang pertama pencemaran lingkungan hidup yang terdiri atas polusi udara, air, tanah, laut dan sampah. Yang kedua kerusakan lingkungan hidup yang terdiri atas kerusakan hutan, lapisan tanah, terumbu karang dan lapisan ozon. Yang ketiga kepunahan sumber daya alam yang terdiri atas punahnya keanekaragaman hayati, punahnya sumber daya alam, dan sumber mata air. Yang keempat kekacauan iklim global yang merupakan fenomena perubahan iklim dan kekacauan cuaca dengan segala gejalanya. Yang terakhir masalah sosial yang terkait dengan dampak kerusakan lingkungan hidup seperti kesehatan dan pemiskinan. Kelima macam krisis lingkungan ini mencakup beberapa permasalahan utama lingkungan hidup yang ada di Indonesia yaitu “akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforentasi dan penggurunan, serta kematian bentubentuk kehidupan” (Simanjuntak, 2014: 22). Berbagai jenis bencana lingkungan hidup diatas adalah panggilan bagi kita semua untuk berubah, baik merubah gaya berpikir maupun cara bertindak yang dapat meminimalisir bencana lingkungan hidup. 65 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama III. RESPON IMAN KRISTEN TERHADAP BENCANA LINGKUNGAN HIDUP Respon iman Kristen terhadap bencana lingkungan hidup dibangun atas dasar Alkitab dan ajaran yang diakui oleh gereja. Di sepanjang sejarah pemikiran teologi, telah ada berbagai respon umat Kristen terhadap bencana lingkungan hidup. Berbagai respon ini dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu manusia sebagai penguasa kebun Allah dan manusia sebagai penjaga kebun Allah. Penguasa Kebun Allah Di dalam Kitab Kejadian 1 dan 2 dijelaskan tentang bagaimana dunia diciptakan oleh Allah. Gereja berdasarkan kesaksian Alkitab mengakui bahwa dunia adalah hasil ciptaan Allah yang terpisah dariNya. Allah diimani sebagai creatio ex nihilo, sang Pencipta yang mampu menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada. Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang dibuat dari tidak ada menjadi ada. Ciptaan dan Pencipta terpisah satu dengan yang lain, karena Allahlah yang membuat ciptaan ada. Posisi Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari ciptaanNya inilah yang dipandang oleh beberapa teolog sebagai akar dari krisis ekologi. Beberapa teolog yang dimaksud adalah Emil Brunner, Lynn White dan Harvey Cox. White dan Cox adalah pemikir besar dalam dunia eko-teologi, ilmu yang dikembangkan untuk melihat hubungan antara lingkungan hidup dan teologi, yang memandang pemisahan antara Pencipta dan ciptaanNya sebagai akar krisis ekologi. Emil Brunner adalah seorang teolog Kristen yang terkenal dengan pernyataannya “Allah minus dunia sama dengan Allah” (Harun, 2008: 32). Brunner menaruh landasan bagi pemikiran Kristen yang meyakini bahwa Allah dan dunia adalah subjek dan objek yang terpisah. Keterpisahan antara Allah dan dunia ciptaanNya berdampak pada kecenderungan manusia untuk mengutamakan penyembahannya kepada Allah tapi melupakan perannya bagi lingkungan hidup. Seolah-olah manusia dapat mengasihi Allah tanpa mengasihi lingkungan hidupnya. Hasilnya adalah manusia yang mengeksploitasi alam sekaligus mengaku menyembah Allah yang menciptakannya. Lynn White, di dalam bukunya The Historical Roots of Our Ecological Crisis, menjelaskan bahwa krisis lingkungan hidup yang disebabkan oleh perkembangan 66 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern terjadi karena ajaran Alkitab khususnya Perjanjian Lama tentang penciptaan (Harun, 2008: 29). White meyakini bahwa karena Allah yang dijelaskan di dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang terpisah dari ciptaanNya maka alam dipahami sebagai yang terpisah dari Allah, demikian pula manusia terpisah dari alam. Keterpisahan ini disebut juga sebagai dualisme Allah dan dunia yang mengakibatkan sikap kesewenang-wenangan manusia dalam mengeksploitasi alam yang terpisah dari Allah. Selanjutnya di dalam Perjanjian Baru terkhususnya kitab Wahyu dijelaskan tentang bumi baru yang akan datang bersamaan dengan peristiwa kedatangan Allah yang kedua kalinya. Kisah ini juga menegaskan keterpisahan Allah dan alam yang ada di dunia ini dan rencana Allah untuk menggantikan alam di bumi dengan alam lain yang lebih sempurna. Konsep keterpisahan antara Allah dan alam yang ditemukan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru inilah yang melahirkan sikap tidak peduli kepada kelestarian lingkungan hidup di kalangan umat Kristen. Harvey Cox, di dalam bukunya Secular City, mengangkat ide yang sama dengan White, yaitu bahwa kisah penciptaan mengakibatkan lahirnya pemikiran yang memisahkan alam dari Allah dan manusia dari alam. Akibatnya “alam yang dilepaskan dari pesona ilahinya hanya dipandang sebagai objek biasa” (Harun, 2008: 30). Pesona Allah yang dihilangkan dari alam akibat pemisahan tersebut mengakibatkan manusia memanfaatkan alam bagi perkembangan ilmu pengetahuannya. Cox, berbeda dari White, tidak memandang pemisahan antara ciptaan dan Pencipta sebagai sesuatu yang secara utuh negatif. Pemisahan antara ciptaan dan Pencipta dilakukan oleh Pencipta untuk menunjukkan bahwa Ciptaan memiliki eksistensinya sendiri, ciptaan dipercaya untuk mengembangkan diri dan kehidupannya dengan memanfaatkan lingkungan hidup disekitarnya. Baik pandangan Brunner, White maupun Cox, sama-sama memberi penekanan pada pemisahan antara Pencipta dan Ciptaan yang diakui dalam ajaran gereja berdampak pada krisis ekologi. Walaupun Cox tidak sepenuhnya menyalahkan pemisahan ciptaan dan Pencipta di dalam kitab Kejadian sebagai dasar kerusakan lingkungan, tetapi ia mengakui bahwa penafsiran terhadap kisah tersebut telah melahirkan sikap yang berbeda bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di sekitar lingkungannya. Pemisahan antara Pencipta dan ciptaan 67 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama melahirkan ruang berkreasi bagi manusia di dalam dunia yang seringkali tidak dimanfaatkan dengan bijaksana. Di sini manusia menjadi penguasa atas ciptaan Allah yang lain. Penjaga Kebun Allah Untuk menjawab model penafsiran Brunner, White, dan Cox terhadap kisah penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2, berkembang berbagai model tafsiran eko-teologi yang lain. Beberapa model eko-teologi yang akan dibahas di sini adalah model imago dei, model organis, panenteisme, teologi kenosis, dan teologi Roh Kudus. Kelima model ini berisi usaha untuk menjelaskan bahwa Alkitab dan ajaran gereja sesungguhnya memuat pesan penting bagi manusia untuk melindungi lingkungan hidup. Kelima model ini dipilih karena mewakili pergerakan pemikiran eko-teologi dari yang terbuka terhadap perlindungan lingkungan hidup walaupun masih bersifat antroposentris (berpusat pada manusia) sampai kepada pandangan eko-teologi yang berpusat pada inkarnasi Allah dan peran Roh Kudus. John Stott, seorang eko-teolog, menjelaskan bahwa keberadaan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah atau imago dei adalah dasar sikap perlindungan manusia terhadap lingkungan hidup. Diciptakan menurut gambar Allah memiliki tiga makna yaitu hubungan, komunitas, dan tugas khusus (Pasang, 2011: 96). Yang pertama, manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah harus memiliki hubungan yang intim dengan Allah yang berdampak pada sikap membawa damai kepada ciptaan Allah yang lain. Yang kedua, Allah sejak penciptaan memandang seluruh ciptaanNya sebagai bagian dari sebuah komunitas yang saling menopang. Manusia diciptakan untuk menopang ciptaan yang lain sebagaimana ciptaan yang lain menopang keberlangsungan hidup manusia. Yang ketiga, manusia sebagai gambar dan rupa Allah diberikan kuasa untuk ‘menaklukkan’ (Ibrani: Kabbas) dan ‘berkuasa’ (Ibrani: Raddah) yang ditafsirkan oleh Stott sebagai tangggung jawab untuk “mengolah/mengusahakan, menjaga/merawat taman Allah, dan memberi nama kepada ciptaan Allah yang lain” (Pasang, 2011: 98). Model imago dei yang dikembangkan oleh Stott ini jelas menekankan pada manusia sebagai yang lebih istimewa dibandingkan dengan 68 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan ciptaan Allah yang lain walaupun juga menaruh perhatian kepada tanggung jawab manusia untuk memelihara ciptaan Allah yang non-human. Model yang kedua adalah model organis. Model organis adalah model yang dikembangkan oleh John Macquarrie, yang menolak pemisahan antara Pencipta dan ciptaan sebagaimana disampaikan oleh White dan Cox. Macquarrie menjelaskan bahwa ada banyak bagian Alkitab, selain Kejadian 1 dan 2, yang menegaskan hubungan yang tidak terpisah antara Allah sebagai Pencipta dengan dunia dan isinya sebagai ciptaan, misalnya kejadian 9:10, Mazmur 19: 1; 29 (Harun, 2008: 31). Di dalam model organis, Allah tidak dilihat sebagai Allah yang di atas manusia tetapi sebaliknya Allah dilihat sebagai bagian dari kehidupan ciptaan. Kata organis menunjuk kepada ciri khas organisme yang saling terhubung, membutuhkan, dan menopang satu dengan yang lain. Sebagaimana organisme, demikian pula hubungan antara Allah selaku Pencipta dengan ciptaanNya bukanlah hubungan atas-bawah tetapi hubungan bergantung yang saling memberi makna. Model eko-teologi yang ketiga dikembangkan oleh Jay B McDaniel yang ia akui sebagai pendekatan panenteisme. Istilah panenteisme seringkali dipasangkan dengan istilah panteisme, keduanya berbeda definisi. Panteisme adalah keyakinan bahwa Allah ada dalam semua ciptaanNya sedangkan panenteisme adalah keyakinan bahwa semua ciptaan adalah bagian dari Allah. Dalam panteisme Allah tidak dibedakan dari ciptaan, sedangkan dalam penenteisme Allah berbeda dengan ciptaan walaupun tetap memiliki hubungan dekat dengan ciptaanNya (Tucker & Grim, 2003: 83). McDaniel memahami kisah penciptaan sebagai sebuah “simfoni yang tak pernah selesai: yang dimainkan oleh orkes dengan banyak pemain yang kreatif yang dikoordinasikan oleh Allah sebagai dirigen yang terus menerus merayu mereka kepada kreativitas yang baru dan menghasilkan suatu kerukunan di dalam perbedaan-perbedaan” (Harun, 2008: 33-34). Model ini mengakui bahwa ciptaan mewakili keindahan Penciptanya dan seluruh ciptaan dipanggil untuk hidup harmonis bersama dengan Penciptanya. Sallie McFague, satu-satunya teolog perempuan yang berbicara tentang pentingnya membangun teologi Kristen yang ramah kepada alam, mengusung model yang keempat yaitu teologi kenosis. Teologi kenosis adalah teologi yang 69 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama difokuskan pada kisah inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia. Teologi yang dikembangkan oleh McFague ini tidak memandang Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari dunia dan ciptaanNya (McFague, 2013: 173 Kindle Edition). Allah telah berinkarnasi dan menjadi bagian dari dunia di dalam diri Yesus Kristus, Allah menyatu dengan dunia. Oleh karena itu, Allah dan dunia adalah kesatuan (McFague, 2013: 171-2 Kindle Edition). Akibatnya adalah ciptaan harus melihat dunia sebagai bagian dari “tubuh Allah,” walaupun Allah tidak bisa dibatasi hanya dalam dunia saja tetapi Allah dapat diidentifikasi lewat ciptaanNya. Model yang terakhir adalah pandangan eko-teologi yang dikembangkan oleh Denis Edwards dengan penekanan pada peran dari Roh Kudus di dalam dunia. Edwards, melihat peristiwa penciptaan sebagai proses yang masih terus menerus berlangsung dengan pengawalan dari Roh Allah sendiri (Harun, 2008: 37). Roh Kudus berfungsi di dalam dunia sebagai yang menyertai ciptaan dan merangkul ciptaan menuju sebuah kesinambungan. Roh Kudus menderita bersama ciptaan yang menderita dan memberi kekuatan kepada ciptaan. Menurut Edwards, Roh Kudus memainkan peran penting karena “di dalam roh, segala makhluk adalah bagian dari kita, dan kita bagian dari mereka, bersama-sama dihidupkan oleh satu Roh yang merangkum semua” (Harun, 2008: 40). Roh menyatukan ciptaan dengan penciptaNya dalam persekutuan yang saling memelihara. Kelima model eko-teologi yang dipaparkan diatas memiliki dua ciri yang relatif sama yaitu: pertama, manusia bukan pusat dari ciptaan. Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan yang penting bagi Allah. Ajaran Alkitab yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah tidak membuat manusia diistimewakan oleh Allah dihadapan ciptaan non-human lainnya. Sebaliknya manusia yang setara kedudukannya dengan ciptaan Allah yang lain, diingatkan untuk menjalankan peran memuliakan Allah lewat hidup yang harmonis dengan ciptaan lain sebagai satu keutuhan ciptaan. Manusia adalah penjaga kebun Allah yang bertanggungjawab kepada Allah dalam memelihara ciptaanNya. Kedua, keutuhan antara Pencipta dan ciptaan. Baik dengan menelusuri ayat-ayat Alkitab selain Kejadian 1 dan 2, menafsir ulang kisah inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia, maupun dengan mengutamakan peran Roh Kudus, model-model di atas 70 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan meyakini bahwa Allah sebagai Pencipta tidak terpisah dari ciptaanNya. Allah hadir di tengah-tengah ciptaanNya lewat inkarnasi Yesus dan menyatu dengan ciptaanNya. Allah menuntun ciptaanNya lewat Roh Kudus dan bergumul bersama dengan mereka. Allah menderita bersama ciptaanNya dan menguatkan seluruh ciptaanNya untuk menuju kepada pemulihan. Di antara kelima model eko-teologi di atas, model favorit saya adalah teologi kenosis. Teologi ini memiliki beberapa karakteristik yang mengungguli model-model yang lain yaitu: pertama, teologi kenosis memusatkan perhatian pada peristiwa utama dalam ajaran gereja yaitu pengosongan diri (kenosis) Allah dalam proses inkarnasi menjadi manusia yang hidup di dalam dunia. Sang Pencipta yang mengasihi ciptaanNya bukan sekedar Pencipta yang ‘berada’ di luar ciptaanNya. Ia adalah sang Pencipta yang ambil bagian secara langsung dan aktif dalam kehidupan ciptaanNya. Kedua, teologi kenosis mampu mematahkan ajaran tradisional gereja yang memisahkan Allah dari ciptaanNya dengan mengusung pendekatan feminis bahwa dunia adalah tubuh Allah. Analogi tubuh adalah analogi yang seringkali digunakan dalam teologi feminis. Ketiga, teologi kenosis menyadari batasan antara panteisme dan panenteism. Teologi ini menerima ciptaan sebagai bagian dari karya Allah tanpa membatasi karya Allah hanya di dalam ciptaanNya saja. Allah lebih besar dari ciptaanNya, tetapi lewat ciptaanNya kita dapat melihat gambar Allah. IV. SPIRITUALITAS LINGKUNGAN HIDUP Spiritualitas lingkungan hidup adalah spiritualitas yang dibangun oleh para penjaga kebun Allah. Spiritualitas lingkungan hidup adalah respon para penjaga kebun Allah dalam membangun hidup bersama dengan ciptaan non-human. Spiritualitas lingkungan hidup adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dalam menghadapi krisis ekologi. Kebutuhan ini mungkin bukan kebutuhan yang terbesar, akan tetapi ia adalah kebutuhan yang nyata. Benar bahwa untuk mengatasi krisis ekologi, dibutuhkan lebih dari sekedar spiritualitas yang peduli pada lingkungan hidup; untuk mengatasi krisis ekologi dibutuhkan perubahan radikal dalam gaya hidup masyarakat modern yang konsumtif, pengambilan keputusan politik yang berpihak pada keselamatan lingkungan, penemuan71 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama penemuan baru yang bisa memulihkan lingkungan, dan lain sebagainya. Spiritualitas Kristen yang peka pada krisis ekologi bukan satu-satunya jawaban. Spiritualitas Kristen yang peka pada bencana lingkungan hidup hanyalah merupakan salah satu jalan di antara banyak jalan yang harus ditempuh untuk menjaga bumi. Bagaimana spiritualitas lingkungan hidup dapat dikembangkan dalam persekutuan umat percaya? Spiritualitas lingkungan hidup dibangun lewat doa dan berbuah dalam tindakan. Doa adalah tindakan para penjaga kebun Allah. Doa adalah bukti persekutuan ciptaan dengan Allah. Di dalam doa, kita mengakui bahwa Allah adalah bagian dari dunia ciptaanNya, Allah bekerja aktif di dalam kehidupan ciptaanNya. Doa adalah cara untuk mengamini tanggung jawab yang Allah berikan di Taman Eden, yaitu menjadi penjaga dan pemelihara kebun Allah. Doa juga adalah bagian penting dari kehidupan gereja. Ketika gereja berdoa, gereja menyatakan imannya kepada Allah yang berinkarnasi ke dunia melalui Yesus Kristus dan yang terus bersama ciptaanNya lewat Roh Kudus. Doa yang sungguh-sungguh harus melahirkan tindakan: tindakan yang menolak untuk hidup dalam budaya konsumerisme yang merusak keutuhan ciptaan; tindakan yang mendukung keputusan-keputusan politis yang melindungi lingkungan hidup dan yang berani bersuara menolak keputusan yang sebaliknya. Mereka yang berdoa, hidup dalam hubungan yang damai tidak hanya Allah tetapi juga dengan dunia. Sebagaimana kutipan dari Marthin Luther di awal tulisan ini menyebutkan bahwa Allah tidak hanya menulis FirmanNya di dalam Alkitab, tetapi juga di pohon, bunga, awan dan bintang, maka spiritualitas lingkungan hidup adalah jawaban untuk mengamininya. DAFTAR PUSTAKA Banawiratma J. B., dkk. Iman, Ekonomi, Ekologi. Yogyakarta: Kanisius. 1996. Deane-Drummond, Celia. Teologi dan Ekologi: Pegangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001. Keraf, Sonny A. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius. 2010. 72 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan Mangunjaya, Fachruddin M. Hidup Harmonis Dengan Alam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006. McFague, Sallie. Life Abundant: Rethinking Theology and Economy For A Planet in Peril. Minneapolis: Fortress Press. 2001. ------------ Blessed are the Consumers: Climate Change and the Practice of Restraint. Fortress Press. Kindle Edition. 2013. Pasang, Haskarlianus. Mengasihi Lingkungan. Jakarta: Perkantas. 2011. Pratney, Winkie. Memulihkan Negeri. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2003. Rasmussen, Larry L. Komunitas Bumi: Etika Bumi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010. Sudarminta J. & Tjahjadi S.P Lili. Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Kanisius. 2008. Sunarko A. dan Kristiyanto Eddy A. Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Yogyakarta: Kanisius. 2008. Tucker, Evelyn Mary and Grim A. John. Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius. 2003. 73 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama MATERI PRESENTASI SPIRITUALITAS LINGKUNGAN HIDUP Respon Iman Kristen Terhadap Krisis Ekologi Irene Ludji 74 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan 75 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama 76 Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan 77 Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama 78