Prasangka dan Diskriminasi

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 1
Prasangka dan Diskriminasi
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
09
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang definisi dasar dari
prasangka dan diskriminasi, teoriteori mengenai penyebab dan
bertahannya prasangka dan
diskriminasi, target prasangka dan
diskriminasi, akibat-akibat yang
ditimbulkannya, serta teknik-teknik
yang dapat dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkannya.
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
definisi dasar dari prasangka dan
diskriminasi, teori-teori mengenai
penyebab dan bertahannya
prasangka dan diskriminasi, target
prasangka dan diskriminasi, akibatakibat yang ditimbulkannya, serta
teknik-teknik yang dapat dilakukan
untuk mengurangi dan
menghilangkannya.
Prasangka dan Diskriminasi
PENDAHULUAN
Banyak sekali kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat yang berasal
prasangka dan diskriminasi. Materi ini dikutip dari Buku Psikologi Sosial tulisan dari Cicilia
Yeti Praswati (dalam Sarlito dan Mainarno, 2009) akan membahas definisi dasar dari
prasangka dan diskriminasi, teori-teori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan
diskriminasi, target prasangka dan diskriminasi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta
teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya.
STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI
Banyak orang menyamakan penggunaan kata prasangka dan diskriminasi. Padahal,
secara konseptual, dua kata tersebut memiliki pengertian yang benar-benar berbeda.
Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditujukan bagi anggotaanggota beberapa kelompok, yang didasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok.
Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang, maka prasangka
yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan
bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya, seperti kepribadian, masa lalu, atau karena
kebiasaan negatifnya. Prasangka yang berkembang lebih disebabkan oleh keanggotaannya
dalam sebuah kelompok tertentu. Peran karakteristik diri dalam memunculkan prasangka
dari orang yang menjadi target prasangka dapat dikatakan jauh lebih kecil ketimbang
keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Sebagai sebuah sikap, prasangka tidak harus
tampil dalam perilaku yang berlebihan (over), tetapi bisa jadi sebagai sebuah
kecenderungan psikologis. Jika prasangka tampil dalam perilaku yang dapat dilihat, maka
kita mendefinisikannya sebagai diskriminasi. Diskriminasi dapat didefinisikan sebagai
perilaku negatif terhadap orang lain yang menjadi target prasangka. Merasa tidak nyaman
jika duduk di samping target prasangka menunjukkan bahwa seseorang memiliki prasangka.
Namun, memutuskan untuk pindah tempat duduk untuk menjauhi target prasangka adalah
sebuah diskriminasi.
Dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi adalah stereotip. Stereotip adalah
belief tentang karakteristik dari anggota kelompok tertentu, bisa positif atau bisa juga negatif.
Walaupun dikatakan bahwa stereotip adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, namun
tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki stereotip negatif mengenai sebuah kelompok
tertentu pasti akan menampilkan prasangka dan diskriminasi.
Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman,1993) mengembangkan model
prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang dapat
dikontrol dari respons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang sebuah
kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka terdapat aktivasi
dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung otomatis menjadi prasangka
dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki kontrol untuk meneruskan atau tidak meneruskan
‘13
2
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
belief tadi untuk menjadi prasangka dan diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa
untuk menghambat belief, maka akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan
sesuatu untuk menghambat berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa
belum tentu orang yang dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain
kelompoknya, maka prasangka tidak terjadi.
ASAL MUASAL PRASANGKA
Konflik Langsung Antarkelompok
Baron dan Byrne (2003) menerangkan bahwa penjelasan yang paling tua dalam
menjelaskan kenapa prasangka terjadi adalah yang menerangkan bahwa orang
berprasangka karena adanya kompetisi atas sumber-sumber berharga yang terbatas. Teori
ini disebut sebagai realistic conflict theory. Misalnya, jika ada sumber nafkah yang terbatas
di sebuah komunitas, maka di antara kelompok-kelompok yang ada di komunitas tersebut
sangat mungkin terjadi prasangka satu sama lain karena mereka saling berkompetisi atas
sumber yang sama untuk mendapatkan nafkahnya. Mereka cenderung akan memberi label
‘musuh’ pada kelompok lainnya. Teori-teori lain yang dijelaskan oleh Baron dan Byrne
(2003) dalam menjelaskan prasangka adalah teori belajar sosial, teori kategorisasi sosial,
serta teori tentang stereotip. Uraiannya seperti di bawah ini.
Teori Belajar Sosial
Teori ini menjelaskan bahwa prasangka berkembang karena individu
mempelajarinya. Muncul dan berkembangnya prasangka ini persis sama seperti muncul dan
berkembangnya sikap lainnya. Sesuai dengan pandangan teori belajar sosial, seorang anak
mempelajari prasangka dari berbagai kelompok. Anak-anak dapat mengalami proses belajar
langsung karena ia mengamati bagaimana ekspresi orang tuanya, gurunya, atau kelompok
lainnya terhadap target prasangka. Proses belajar lain adalah melalui pengalaman yang
bersifat vicarious.
Kategorisasi Sosial
Perspektif ketiga yang menjelaskan prasangka, menekankan adanya kenyataan
mendasar yang membuat seseorang dapat berprasangka. Kenyataan mendasar tersebut
adalah demi membuat dunia terlihat mudah terkontrol dan dapat diprediksi, maka individu
melakukan apa yang disebut sebagai kategorisasi. Orang membeda-bedakan jenjang
pendidikan, jenis buah, jenis binatang, dan banyak lainnya. Orang juga melakukan
kategorisasi terhadap lingkungan sosialnya, yang disebut sebagai kategori sosial. Dalam
kategori sosial ini, orang melihat orang lain sebagai bagian dari kelompoknya (maka akan
disebut sebagai ingroup-nya) atau sebagai anggota dari kelompok lain (akan disebut
sebagai outgroup-nya). Namun, proses ‘kami’ (us) dan ‘mereka’ (them) ini tidak berhenti
sampai di sini. Kategori sosial ini memberi perasaan dan belief yang berbeda pada anggota
kelompok yang masuk kategori ‘us’ dan ‘them’. Orang yang tergolong ‘us’ cenderung
dipandang lebih positif ketimbang orang yang termasuk kategori ‘them’. Selain itu, anggota
‘13
3
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kelompok outgroup cenderung dilihatnya sebagai mirip satu dengan lainnya (homogen)
ketimbang anggota ingroup-nya. Dengan demikian, pembedaan ingroup dan outgroup juga
berpengaruh dalam atribusi, yaitu pada bagaimana mereka menjelaskan perilaku pada dua
kelompok yang berbeda ini. Individu cenderung untuk mengatribusikan anggota ingroup-nya
sebagai stabil dan internal dalam menjelaskan terjadinya perilaku positif, sedangkan perilaku
anggota outgroup yang positif cenderung dilihatnya bersifat eksternal dan sementara.
Kecenderungan untuk membuat atribusi yang positif dan menyenangkan mengenai anggota
ingroup-nya daripada terhadap anggota outgroup-nya disebut sebagai ultimate attribution
error.
Stereotip
Stereotip adalah komponen kunci dari prasangka. Stereotip adalah kerangka kognitif
yang berisi pengetahuan dan belief tentang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai
tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu tersebut. Dengan demikian, individu
yang memiliki stereotip tentang kelompok sosial tertentu akan melihat bahwa semua
anggota kelompok sosial tersebut memiliki traits tertentu, walaupun dalam intensitas yang
rendah. Stereotip ini berpengaruh dalam proses masuknya informasi sosial.
Seperti juga kerangka kerja kognitif lainnya, stereotip juga berpengaruh kuat pada
pemrosesan informasi sosial yang masuk. Informasi yang relevan dengan stereotip akan
diproses lebih cepat dan diingat dengan lebih baik daripada informasi yang tidak relevan
dengan stereotip. Selain itu, stereotip juga membuat seseorang dapat menaruh perhatian
pada informasi spesifik yang relevan yang biasanya konsisten dengan stereotip. Jika yang
ditemui adalah informasi yang tidak konsisten dengan stereotip, maka akan diubah dengan
cara yang halus agar menjadi konsisten. Misalnya, jika kita berjumpa dengan seseorang
yang karakteristiknya tidak sesuai dengan stereotip yang kita miliki mengenai kelompoknya
(misalnya ia adalah anggota kelompok minoritas yang sangat pandai dan pandai
menyenangkan hati), maka kita tidak akan langsung mengubah stereotip kita mengenai
kelompoknya, namun akan memasukkannya dalam subtipe yang berisi orang-orang yang
tidak fit dengan skema atau stereotip yang ada. Reaksi lain dari adanya informasi yang tidak
konsisten adalah dengan melakukan apa yang dinamakan tacit inferences. Maksud tacit
inferences adalah mengubah makna dari informasi yang masuk agar konsisten dengan
stereotip yang dimiliki. Contohnya adalah jika kita menjumpai seorang sopir metro mini yang
berpakaian rapi saat bertugas dan mengendarai metro mininya di jalan dengan santun,
maka kita akan berpikir bahwa mungkin ia adalah sopir metro mini yang masih baru dan
belum stress dengan tekanan pekerjaannya. Dengan demikian, kita melakukan pengubahan
makna dari informasi yang masuk agar dapat fit dengan stereotip yang kita punyai tentang
sopir metro mini. Kita segera melakukan tacit inferences yang memungkinkan kita dapat
menghadapi informasi yang tak diharapkan tersebut.
Melihat efek yang kuat dari stereotip terhadap pemrosesan informasi yang masuk,
maka dikatakan bahwa stereotip adalah inferential prisons, sekali ia terbentuk, maka ia akan
membentuk persepsi kita mengenai orang lain. Informasi yang masuk tentang orang
tersebut akan diinterpretasi sebagai konfirmasi dari stereotip kita.
‘13
4
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
TARGET DARI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok tertentu
yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok jenis kelamin
tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum homoseksual dan
kelompok individu dengan ketunaan fisik.
Seksisme
Nampaknya prasangka dan diskriminasi yang paling banyak terjadi adalah dalam
pembedaan antara pria-wanita. Hal ini mungkin berkaitan dengan banyaknya penderitaan
yang dialami wanita sepanjang sejarah sebagai korban dari seksisme. Contoh paling nyata
di negeri ini adalah ketika masa Raden Ajeng Kartini. Dalam surat-suratnya kepada sahabatsahabatnya di Belanda, wanita yang sangat cerdas ini mengekspresikan keprihatinan dan
kesedihannya yang mendalam terhadap kaumnya saat itu yang relatif tidak mendapat
kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam mengembangkan diri. Mereka dilarang
bersekolah, dipingit, dan bahkan dikawinkan dalam usia muda dengan paksa.
Dalam praktik seksisme di tempat lain, sering terjadi apa yang disebut selective
infanticide, yaitu pembunuhan bayi perempuan (atau fetus). Biasanya hal ini terjadi pada
budaya yang lebih menilai tinggi kaum pria ketimbang kaum hawanya. Masyarakat yang
mempraktikkan seleksi jenis kelamin dengan mengutamakan kaum pria ini terdapat di
beberapa tempat, misalnya Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, Korea, dan India.
Sedangkan praktik seleksi jenis kelamin yang mengutamakan kaum perempuan tidak
ditemukan.
Pada tahun 2005, diperkirakan 90 juta perempuan di tujuh negara Asia meninggal
karena aborsi dengan seleksi jenis kelamin. Disebutkan bahwa eksistensi dari praktik ini
disuburkan oleh kultur daripada oleh kondisi ekonomi. Sebelum abad ke-20, tidak ditemukan
adanya aborsi fetus dengan seleksi jenis kelamin. Hal ini karena saat itu belum ditemukan
alat ultrasonografi (USG) yang dapat mendeteksi jenis kelamin fetus.
Adanya prasangka tampaknya juga berkaitan dengan stereotip tentang seks yang
ada. Penelitian tentang stereotip jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki maupun
perempuan memiliki belief bahwa laki-laki itu kompeten dan mandiri dan wanita itu hangat
serta ekspresif. Fiske (1998 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) juga mengatakan, bahwa
wanita dilihat ‘ramah, namun tidak kompeten’, sedang pria dilihat sebagai ‘mungkin tidak
ramah, namun kompeten’.
Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal dengan
istilah glass ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang (dalam hal ini
wanita) untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti rekan prianya. Prasangka
dan diskriminasi ini menghambat para manajer wanita yang andal sulit menduduki posisi top
di organisasi kerjanya.
Rasisme
‘13
5
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Diskriminasi terhadap ras dan etnis tampaknya merupakan diskriminasi yang paling
banyak menimbulkan perbuatan brutal di muka bumi ini. Banyak penelitian psikologi sosial
berfokus pada sikap terhadap anti-kulit hitam di Amerika Serikat. Sejak beratus-ratus tahun
sudah disebutkan bahwa sikap kulit putih terhadap orang Negro di AS adalah negatif.
Mereka cenderung melihat bahwa kulit hitam merefleksikan persepsi umum mengenai orang
desa, budak, dan pekerja kasar.
Penelitian tentang sikap anti-kulit hitam di Amerika Serikat (AS) menunjukkan
adanya penurunan yang tajam sejak tahun 1930-an. Hal ini terjadi karena adanya
kecenderungan global pada bangsa-bangsa barat mengenai sikap terhadap kulit hitam.
Pemerintah AS sampai akhir tahun 1960-an masih menjalankan kebijakan segregrasi yang
berdampak pada rasisme. Namun demikian, bukan berarti bahwa prasangka rasial ini hilang
di muka bumi ini. Adanya penegasan formal dan legal tentang pelarangan untuk melakukan
diskriminasi membuat diskriminasi tampil dalam bentuk yang berbeda, tidak lagi dalam
bentuk eksplisit dan jelas. Adanya sanksi yang jelas membuat tampilan diskriminasi yang
jelas dan eksplisit sulit lagi untuk ditemui. Namun demikian, bentuk diskriminasi yang
tersamar dan halus ternyata ditemukan. Bentuk baru dari rasisme ini disebut sebagai
aversive racism, modern racism symbolic racism, regressive racism, atau ambivalent racism.
Contohnya adalah dalam bentuk menghindari untuk hidup di lingkungan kelompok yang
menjadi target prasangka dan menampilkan perilaku prososial (menolong) yang berbeda
dengan yang ditampilkannya untuk kelompok yang tidak menjadi target prasangkanya.
Ageism
Dalam sebuah komunitas, lansia biasanya diperlakukan dengan penuh hormat.
Masyarakat melihat bahwa kaum tua ini berpengalaman, bijak, dan memiliki intuisi tajam
yang biasanya tidak dimiliki oleh kaum yang lebih muda. Oleh karena itu. penghargaan
terhadap lansia di masyarakat tersebut cenderung tinggi. Masyarakatnya masih
‘mendengarkan’ nasihat kaum tuanya. Biasanya masyarakat yang menghargai kaum tua
seperti ini hidup dalam keluarga yang extended. Namun di masyarakat lain, kaum tua
diperlakukan sebagai pihak yang kurang berharga dan kurang memiliki kekuasan.
Masyarakat ini bahkan mengabaikan hak dasar manusia dari para lansia ini. Masyarakat
yang seperti ini biasanya sangat menghargai kaum mudanya dan memiliki stereotip yang
relatif negatif bagi kaum tuanya. Biasanya mereka hidup dalam keluarga inti. Negara-negara
yang masyarakatnya hidup dalam keluarga inti adalah Amerika Serikat, Australia, Selandia
Baru, Kanada, dan Inggris. Hasil penelitian dari Noels, Giles, dan La Poire (2003 dalam
Vaughan dan Hogg, 2005) menunjukkan bahwa dewasa muda cenderung menilai individu di
atas 65 tahun sebagai orang yang mudah tersinggung, tidak sehat, tidak menarik, tidak
bahagia, pelit, tidak efektif, kurang terampil secara sosial, lemah, terlalu mengontrol, terlalu
membuka diri, egosentris, tidak kompeten, kasar, dan ringkih.
Diskriminasi terhadap Kelompok Homoseksual
‘13
6
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ada pro-kontra dalam memandang homoseksual. Ada yang melihatnya sebagai
pilihan atas hak hidup. Namun juga ada yang melihatnya sebagai perilaku yang deviant dan
tidak bermoral. Sikap negatif terhadap kaum homoseksualitas ini melahirkan aturan-aturan
yang dapat menghukum orang yang mempraktikkan homoseksualitas.
Prasangka terhadap homoseksualitas ini makin menyebar. Sebagai contoh, sebuah
survei di AS oleh Levitt dan Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa mayoritas orang
memiliki belief bahwa homoseksualitas adalah penyakit dan perlu untuk dilarang secara
legal. Bahkan dalam penelitian Henry (1994 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) ditemukan
hanya 39% orang yang mau mengunjungi praktik dokter seorang homoseksual.
Sebenarnya secara umum, pada tahun 1960 ada liberalisasi progresif terhadap sikap
untuk homoseksual. Walaupun demikian, epidemik HIV yang mulai sejak tahun 1980-an
menimbulkan histeria terhadap homoseksualitas, hingga berkembang menjadi homofobia.
Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan Fisik
Prasangka dan diskriminasi karena keterbatasan fisik sudah berlangsung sejak lama,
bahkan orang dengan keterbatasan seperti ini dipandang sebagai menjijikkan dan kurang
bermartabat. Adanya praktik-praktik pertunjukkan sirkus yang mempertontonkan
keterbatasan fisik menunjukkan kebenaran adanya pandangan yang negatif ini.
Saat ini, diskriminasi atas orang yang memiliki keterbatasan fisik dianggap ilegal dan
tidak diterima secara sosial, bahkan masyarakat di Australia dan Selandia Baru sangat
sensitif dengan kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus ini. Mereka
menyediakan fasilitas umum yang mempertimbangkan kepentingan kaum yang mengalami
keterbatasan fisik ini, misalnya toilet yang khusus, jalur khusus untuk kursi roda di area
publik, atau adanya penyediaan bahasa gerak di televisi. Tampaknya masyarakat tidak lagi
menganggap remeh para orang-orang dengan keterbatasan ini. Walaupn sering kali masih
ada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh beberapa orang jika di lingkungannya terdapat
orang dengan keterbatasan fisik. Selain itu, sering kali juga muncul ketidakpastian karena
tidak tahu bagaimana cara memperlakukan mereka.
BENTUK DISKRIMINASI
Diskriminasi mewujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang halus atau
tersamar hingga yang nyata dan kasar. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bentukbentuk diskriminasi itu sebagai berikut.
Menolak untuk Menolong (Reluctance to Help)
Menolak untuk menolong orang lain (reluctance to help) yang berasal dari kelompok
tertentu sering kali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam
‘13
7
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
posisinya yang kurang beruntung. Misalnya tuan tanah yang menolak untuk menyewakan
akomodasinya bagi kelompok etnik minoritas, atau organisasi yang menolak memberikan
fasilitas khusus bagi karyawan wanitanya, misalnya cuti pada masa datang bulan, jam kerja
yang fleksibel, atau jam kerja paruh waktu (part time).
Selain itu, menolak untuk menolong adalah ciri dari diskriminasi rasial yang nyata.
Penelitian eksperimen dari Gaertner dan Dovidio (1977 dalam Vaughan dan Hogg, 2005)
menunjukkan bahwa orang kulit putih lebih menolak untuk menolong confederate kulit hitam
daripada confederate kulit putih dalam situasi darurat. Ini terjadi jika mereka memiliki belief
bahwa ada penolong lain yang potensial.
Tokenisme
Tokenisme adalah minimnya perilaku positif kepada pihak minoritas. Perilaku ini
nanti digunakan sebagai pembelaan dan justifikasi bahwa ia sudah melakukan hal baik yang
tidak melanggar diskriminasi (misalnya: Saya sudah memberikan cukup, kan?).
Tokenisme dapat dipraktikkan oleh organisasi atau oleh masyarakat luas. Di Amerika
Serikat, ada kritik pada beberapa organisasi karena adanya tokenisme untuk kelompok
minoritas di sana, yaitu kulit hitam, perempuan, dan orang Spanyol, yang dilakukan oleh
organisasi kerja. Organisasi ini hanya mempekerjakan kelompok minoritas sebagai strategi
untuk terhindar dari tuduhan melakukan diskriminasi. Tokenisme pada level ini dapat
menghancurkan harga diri orang yang dikenai token ini.
Reverse Discrimination
Bentuk token yang lebih ekstrem adalah reverse discrimination, yaitu praktik
melakukan diskriminasi yang menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target
prasangka dan disikriminasi dengan maksud agar mendapatkan justifikasi dan terbebas dari
tuduhan telah melakukan prasangka dan diskriminasi. Oleh karena reverse discrimination
memberikan keuntungan kepada kelompok minoritas, maka efek jangka pendeknya dapat
dirasakan langsung. Namun, dengan berjalannya waktu ada konsekuensi negatif yang bisa
ditanggung oleh kelompok minoritas tesebut.
Menjadi penting bagi para peneliti untuk melihat apakah perilaku positif yang
ditampilkan kepada kelompok minoritas adalah benar-benar ungkapan untuk membantu
orang yang kurang beruntung atau justru sebuah reverse discrimination.
STIGMA DAN DAMPAK LAIN DARI KORBAN PRASANGKA
Efek prasangka pada korban sangat bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan ringan
hingga penderitaan yang dalam. Secara umum, prasangka sangat merusak karena
‘13
8
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memberikan stigma kepada semua anggota kelompok yang ada di dalamnya. Allport
menjelaskan adanya 15 kemungkinan sebagai konsekuensi negatif dari korban prasangka.
Beberapa di antaranya adalah stigma sosial, rendahnya self-esteem, turunnya
kesejahteraan psikologis, kegagalan dan kekurangberuntungan, atau attributional ambiguity.
Individu yang mendapatkan stigma memiliki (atau ‘dibuat’ untuk memiliki) beberapa
atribut atau karakteristik yang mengandung identitas sosial yang direndahkan dalam konteks
sosialnya. Pengalaman subjeketif dalam menerima stigma bergantung pada dua faktor ini,
yaitu (1) visibilitas dan (2) kontrolabilitas. Visible stigma, seperti ras dan gender, membuat
individu yang ada di dalamnya tidak bisa melarikan diri dari cap yang diberikan oleh orang
lain, karena cirinya nyata terlihat. Stigma yang bersifat dapat dikontrol seperti perokok dan
homoseks memungkinkan penerimanya untuk bisa memilih apakah ia masuk dalam kategori
atau tidak. Sedangkan stigma yang tidak terkontrol, misalnya ras, seks, dan pasien dengan
penyakit tertentu. Stigma yang terkontrol lebih mengundang reaksi yang keras ketimbang
stima yang tidak dapat dikontrol. Contohnya adalah obesitas. Obesitas biasanya
mengundang reaksi negatif bukan hanya karena dalam budaya barat obesitas diberi stigma
negatif tetapi juga karena obesitas sesungguhnya dapat dikontrol.
PENJELASAN PRASANGKA DI TINGKAT INDIVIDU SERTA KEPRIBADIAN DARI
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Banyak konflik terbuka antar kelompok terjadi karena merebaknya prasangka dan
diskriminasi. Sejumlah teori mencoba menjelaskan muncul dan berkembangnya prasangka
pada individu dalam berbagai perspektif. Dalam teori more exposure effect (Zajonc, 1968
dalam Vaughan dan Hogg, 2005) dijelaskan bahwa sikap seseorang terhadap berbagai
stimulus berkembang sebagai fungsi dari pemaparan stimulus yang berulang atau terjadinya
‘familiarity’. Hal ini terjadi jika reaksi inisial terhadap stimuli bersifat tidak negatif.
Penjelasan lain berasal dari teori Tajfel (1981 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) yang
menekankan bahwa prasangka terbentuk karena dipelajari. Tajfel berargumentasi bahwa
kebencian serta kecurigaan terhadap kelompok tertentu dipelajari sejak masa awal dari
kehidupan, yaitu dimulai pada saat seorang anak sesungguhnya belum mengenal kelompok
target. Pengalaman ini akan membentuk sikap emosionalnya terhadap kelompok target
tersebut serta mewarnai bentuk informasi dan pengalamannya dengan kelompok target
yang bersangkutan. Secara umum, Barrett dan Short (1992 dalam Vaughan dan Hogg,
2005) mengatakan bahwa anak-anak Inggris yang berumur 5-10 tahun yang memiliki
pengetahuan masih cukup terbatas mengenai negara-negara lain ternyata sudah dapat
menentukan preferensinya terhadap negara-negara di Eropa. Aboud (1988 dalam Vaughan
dan Hogg, 2005) menyimpulkan bahwa bias etnis sudah dapat terlihat pada usia 4-5 tahun
karena pada tahap usia ini sistem kognitif sosial sudah berlandaskan persepsi yang jelas
yang menjadi dasar yang cukup jernih untuk melakukan kategorisasi sosial maupun
perbandingan sosial.
Perspektif lain menjelaskan bahwa prasangka yang dimiliki oleh orang tua dapat
ditransmisikan ke anak-anaknya melalui pola modeling. Misalnya ekspresi emosi orang tua
saat berjumpa dengan kelompok tertentu dapat terekam oleh anak-anaknya yang pada
akhirnya juga membentuk prasangka anak-anaknya pada kelompok yang sama. Proses
‘13
9
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
belajar untuk berprasangka pada kelompok tertentu ini juga dapat berkembang melalui
proses instrumental atau proses belajar conditioning.
Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan adanya tujuh teori mayor dalam
menjelaskan terbentuknya prasangka dan diskriminasi:
Teori Frustasi-Agresi dari Dollard-Miller
Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan para koleganya pada tahun 1939
bersamaan dengan merebaknya sikap anti-Semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an.
Teori ini mendasarkan diri pada asumsi psikodinamik yang menjelaskan adanya jumlah
yang pasti dari energi psikis individu yang memungkinkannya untuk melakukan aktivitas
psikologis yang disebut sebagai katarsis. Katarsis adalah aktivitas psikis yang
menggerakkan energi psikis yang ada sehingga dapat mengembalikan pada kondisi
psikologis yang seimbang. Contohnya, jika terjadi hambatan untuk mencapai sesuatu, maka
hal ini akan menimbulkan frustrasi. Dalam kondisi ini, energi psikis tetap aktif dan sistem
psikologis yang seimbang tetap diciptakan dengan jalan menampilkan agresivitas. Dapat
dikatakan bahwa agresivitas adalah mekanisme untuk menyeimbangkan kembali sistem
psikologis yang ada.
Dalam beberapa keadaan, terjadi fenomena scapegoating (kambing hitam), yang
terjadi jika target agresi bukanlah target yang mudah, misalnya karena wujudnya yang
kurang jelas (birokrasi), sulit didefinisikan (masalah ekonomi), terlalu berkuasa (karena
bersenjata), sulit dijangkau (pihak tertentu dari birokrat), atau seseorang yang begitu dicintai
(orang tua). Jika target agresi ini demikian sulit maka muncullah alternatif target agresi.
Dalam hal ini, terjadi mekanisme displacement.
Kritik terhadap teori ini mengemukakan bahwa tidak semua frustrasi mendorong
terjadinya agresi. Berkowitz (1962 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mencoba merevisinya
dengan mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal.
1. Probabilitas munculnya agresi karena frustrasi akan meningkat dengan kehadiran
situational cues mengenai agresi, termasuk di dalamnya asosiasi masa lalu dan
sekarang dengan kelompok yang dengannya berkonflik.
2. Hal yang terjadi bukanlah frustrasi yang objektif melainkan yang negatif.
3. Frustrasi hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang menyakitkan yang dapat
menimbulkan agresi.
Kepribadian Otoritarian
Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson dan Sanford (1950 dalam Vaughan dan Hogg,
2005) mengembangkan penjelasan mengenai kaitan prasangka dengan kepribadian
otoritarian. Dalam penjelasannya ini diungkapkan bahwa hanya orang dengan kepribadian
otoritarian saja yang cenderung berprasangka. Kepribadian otoritarian ini didefinisikan
sebagai konstelasi karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur
otoritas, obsesi terhadap status dan ranking, kecenderungan untuk melakukan displacement
‘13
10
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kemarahan dan ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah, toleransi yang rendah
terhadap ketidakpastian, serta kebutuhan untuk mendefinisikan dunia secara kaku dengan
cara mengembangkan keintiman. Konstelasi karakterisitik yang ada pada individu ini
berkembang sejak masa kanak-kanak. Dijelaskan lebih jauh bahwa orang tua yang
menampilkan sikap kasar yang berlebihan serta menjalankan kedisiplinan akan
mengembangkan ketergantungan emosional dan kepatuhan yang pada gilirannya akan
membangun kegamangan pada anak, di satu pihak ia mencintai orang tuanya namun juga
sekaligus membencinya. Kondisi yang ambigu ini menekan dan mencari penyelesaian. Sulit
untuk mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut, oleh karena itu mereka akan
melampiaskan perasaannya ini kepada pihak yang lebih lemah dengan tetap menjaga
respek pada pihak otoritas atau orang tuanya.
Kritik terhadap penjelasan kepribadian otoritatif terhadap munculnya prasangka ini
terutama mengungkapkan kuatnya peran faktor situasional dan sosiokultural. Pettigrew
(1958 dalam Baron dan Byrne, 2003) mengemukakan bahwa studi lintas budaya di kalangan
orang kulit putih di Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menunjukkan
kuatnya peran faktor situasional dan kultural ini. Ia menemukan bahwa walaupun orang kulit
putih di Afrika Selatan dan Amerika Selatan lebih rasis secara signifikan dibanding kulit putih
di Amerika Utara, namun ternyata mereka tidak berbeda dalam tingkat kepribadian
otoritatifnya. Hal ini menunjukkan, bahwa walaupun kepribadian memberikan
kecenderungan untuk melakukan prasangka pada beberapa konteks sosial tertentu, namun
kultur berprasangka yang hidup dalam lingkup norma sosialnya lebih berperan dalam
berkembang tidaknya perilaku prasangka ini.
Dogmatisme dan Closed-Mindedness
Teori kepribadian lain yang menjelaskan mengenai prasangka dikembangkan oleh
Rokeach yang lebih menekankan gaya kognitif. Rokeach menjelaskan bahwa generalisasi
dari sindrom ketidaktoleransian ini dapat dikatakan sebagai dogmatis atau ketertutupan
sikap (closed-mindedness). Kepribadian seperti ini dikarakteristikkan dengan adanya
kontradiksi antara sistem belief satu dengan lainnya, resistensi terhadap hal-hal baru, serta
menuntut justifikasi pihak otoritas terhadap kebenaran belief yang dimilikinya.
Seperti halnya teori kepribadian otoritatif yang memiliki keterbatasan dalam
menjelasan prasangka, teori ini juga memiliki keterbatasan yang sama. Teori ini kurang
dapat menjelaskan konteks sosiokultural yang sering kali berperan besar dalam
memunculkan prasangka.
Otoritatif Sayap Kanan
Teori kepribadian otoritatif kemudian direvisi dengan tanpa penjelasan aspek
kepribadian dan psikodinamik. Teori ini menjelaskan otoritatif sebagai sekumpulan sikap
yang terdiri atas tiga komponen, yaitu:
‘13
11
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. conventionalism, adanya devosi terhadap konvensi sosial yang digerakan oleh pihak
otoritas;
2. authoritarian aggression, dukungan terhadap agresi pada pihak devian;
3. authoritarian submission, submisif terhadap otoritas sosial yang berlaku.
Teori Dominasi Sosial
Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi
sosial atau mitos sosial yang melegitimasi hierarki dan diskriminasi, atau yang melegitimasi
equality dan keadilan. Orang yang menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan
superior terhadap outgroup berarti memiliki orientasi dominansi sosial yang tinggi yang
mendorongnya untuk menolak ideologi egaliter serta menerima mitos yang melegitimasi
hierarki dan diskriminasi.
Belief Congruence
Dalam menjelaskan prasangka, selain mengemukakan tentang teori kepribadian,
Rokeach juga mengemukakan teori belief congruence. Sistem belief berfungsi seperti
jangkar bagi individu. Oleh karena itu, kesamaan antarindividu atau dapat dikatakan bahwa
adanya sistem belief yang kongruen dapat memberikan konfirmasi terhadap validasi belief
yang dimiliki. Dengan demikian, kongruensi berfungsi sebagai reward dan menimbulkan
daya tarik dan sikap positif terhadap pihak yang memberikan konfirmasi terhadap belief-nya
ini. Sebaliknya, sistem belief yang tidak kongruen akan menimbulkan sikap negatif. Jadi
munculnya prasangka dapat disebabkan oleh adanya ketidaksamaan antara dirinya dengan
outgroup-nya. Rasa tidak suka terhadap outgroup-nya bukan disebabkan oleh
keanggotaannya dalam kelompok melainkan oleh tidak sejalannya antara sistem belief-nya
dengan sistem belief kelompok outgroup.
MENGENDALIKAN TINGKAT PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Baron dan Bryne (2003) menjelaskan teknik-teknik yang dapat digunakan untuk
mengendalikan prasangka dan diskriminasi. Uraiannya adalah sebagai berikut.
1. Belajar untuk tidak membenci
Ada pandangan yang mengatakan bahwa prasangka dibawa seseorang sejak lahir.
Sedangkan pandangan lain menegaskan bahwa sikap negatif tersebut diciptakan, bukan
dibawa dari lahir. Psikolog sosial melihat secara lebih spesifik dengan mengatakan bahwa
anak-anak memiliki prasangka dengan mempelajari dari orang tuanya serta juga dari media
massa. Dengan demikian upaya logis yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka
adalah dengan melarang orang tua atau orang dewasa lain untuk menurunkan sikap
negatifnya tersebut kepada anak-anaknya. Namun dalam praktiknya, hal ini tidaklah
sesederhana yang dibicarakan. Sering kali, bahkan orang dewasa sendiri tidak menyadari
‘13
12
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
prasangkanya sendiri. Oleh karena itu, langkah pertama adalah dengan membantu orang
tua atau orang dewasa untuk menyadari prasangka yang dimilikinya, baru kemudian dapat
memotivasinya lebih jauh untuk tidak menularkannya pada anak-anaknya. Hal penting yang
perlu disampaikan pada orang dewasa yang berprasangka adalah bahwa secara empiris
sudah ditemukan bahwa prasangka membawa ketidaknyamanan, bukan saja bagi korban
prasangka, tetapi juga bagi pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang hidup
tidak cukup tenang karena selalu ada perasaan was-was kalau-kalau ia berjumpa dengan
outgroup yang menjadi target prasangkanya. Dengan kata lain kenikmatan hidupnya bisa
berkurang karena berprasangka.
2. Direct Intergroup Contact
Pettigrew (1981, 1997 dalam Baron dalam Byrne, 2003) menyatakan, bahwa
prasangka yang terjadi antarkelompok dapat dikurangi dengan cara meningkatkan intensitas
kontak antara kelompok yang berprasangka tersebut. Apa yang dijelaskannya ini terkenal
sebagai teori contact hypothesis. Dasar argumentasinya adalah bahwa, pertama,
meningkatnya kontak memungkinkan terjadi pemahaman yang lebih mendalam mengenai
kesamaan yang mungkin mereka miliki. Seperti diketahui, pemahaman tentang kesamaan
akan menimbulkan daya tarik dari dua belah pihak. Kedua, walaupun stereotipi resisten
terhadap perubahan, namun stereotipi dapat berubah jika ada sejumlah informasi yang tidak
konsisten, atau bisa juga karena menemukan adanya sejumlah pengecualian dalam steretipi
yang dimilikinya. Ketiga, adalah bahwa meningkatnya kontak dapat menjadi counter
terhadap munculnya illusion of outgroup homogeneity. Kontak yang semakin sering
membawa kemungkinan bahwa seseorang mampu melihat bahwa anggota-anggota
outgroup dapat bervariasi, tidak lagi homogen seperti yang dilihat sebelumnya.
3. Rekategorisasi
Rekategorisasi adalah melakukan perubahan batas antara ingroup dan outgroupnya. Sebagai akibatnya, bisa saja seseorang yang sebelumnya dipandang sebagai
outgroup-nya, tetapi kemudian menjadi ingroup-nya. Dengan kata lain, seseorang
memperluas area kategori ingroup-nya. Rekategorisasi ini berpotensi untuk mengurangi
prasangka yang sebelumnya ada. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Gaertner dan
koleganya (1989, 1993 dalam Baron dan Byrne, 2003) dalam teorinya mengenai Common
in-group identity model. Teori ini menjelaskan bahwa jika individu dalam kelompok yang
berbeda melihat diri mereka sebagai anggota dari entitas sosial yang tunggal, maka kontak
positif akan meningkat dan intergroup bias akan berkurang. Dengan kata lain, tidak ada lagi
‘us’ dan ‘them’, tetapi berubah menjadi ‘we’.
4. Intervensi Kognitif
Kecenderungan untuk melihat keanggotaan orang lain dalam berbagai kelompok dan
kategori (yang dikenal dengan sebagai konsep category-driven processing) sering menjadi
kunci penyebab munculnya prasangka. Oleh karena itu, ada sejumlah intervensi untuk
mengurangi dampak stereotip yang pada akhirnya dapat mengurangi kecenderungan
prasangka dan diskriminasi. Pertama, dampak dari stereotip dapat dikurangi dengan
‘13
13
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memotivasi individu untuk tidak berprasangka, misalnya dengan membuatnya menyadari
mengenai norma egaliter ataupun standar yang menekankan pentingnya semua orang untuk
diperlakukan secara adil. Kedua, melakukan sebuah intervensi untuk mengurangi
kecenderungan orang berpikir stereotip. Intervensi ini berupa pelatihan yang membantu
orang untuk mengurangi aktivasi yang otomatis dari cara berpikir stereotip yang dimilikinya.
5. Social Influence Sebagai Cara Mengurangi Prasangka
Kenyataan bahwa sikap terhadap kelompok ras atau kelompok etnis tertentu bisa
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, maka pengubahan sikap tersebut juga bisa dengan
memanfaatkan pengaruh sosial yang ada. Seseorang akan termotivasi untuk mengubah
sikapnya jika ia menyadari bahwa sikap terhadap kelompok/ras tertentu yang dimilikinya
ternyata tidak dimiliki oleh orang lain yang disukainya. Dalam keadaan seperti ini, ia akan
lebih cenderung mengubah sikapnya agar sama dengan sikap orang yang disukainya. Teori
ini dapat memberi arahan kepada kita mengenai pendekatan intervensi yang dapat
dikembangkan untuk mengubah sikap terhadap kelompok/ras tertentu.
6. Coping terhadap Prasangka
Sejumlah studi menemukan banyaknya efek negatif yang ditemukan pada individu
yang menjadi target prasangka dan diskriminasi. Contohnya adalah penelitian dari Steele
dan Aronson (1995 dalam Baron dan Byrne, 2003) menemukan bahwa individual yang
tergolong minoritas sering mendapatkan pengalaman yang disebutnya sebagai ‘stereotype
threat’, yaitu kesadaran orang-orang minoritas bahwa ia akan dievaluasi berdasarkan status
minoritasnya. Kondisi semacam ini tentu saja dapat mengganggu berkembangnya rasa
percaya diri dalam berbagai setting sosial yang ada. Walaupun demikian, adalah lebih
penting kiranya untuk mengembangkan penelitian yang lebih berorientasi pada
pengembangan kapasitas target prasangka agar bisa mempunyai sikap aktif dalam
merespons perilaku diskriminasi yang diterimanya.
Peneliti
: Dasril Hasibuan
Tahun
: 2002
Judul
: Prasangka dalam Hubungan antar Etnik dan Implikasinya dalam
Proses Asimilasi
Jenis penelitian
: Tesis strata dua Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas
Indonesia
Dari penelitian yang dilakukan oleh Dasril Hasibuan (2002) di daerah Kemayoran,
Jakarta salah satu hasil temuannya menunjukkan adanya prasangka orang Cina terhadap
orang pribumi dan demikian juga sebaliknya, baik yang berupa prasangka positif maupun
negatif. Dalam penelitian kualitatif ini dapat disimpulkan lebih jauh bahwa pola komunikasi
yang dikembangkan antara Orang Cina dan Orang Pribumi dalam komunitas tersebut
berinteraksi dengan prasangka yang mereka miliki terhadap satu dengan lainnya.
Bervariasinya prasangka yang berhasil dicatat adalah sebagai berikut.
‘13
14
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a. Prasangka Orang Cina Peranakan terhadap Orang Pribumi:
“Kami tidak melihat etnik pribumi itu sebagai musuh. Mereka adalah saudarasaudara kita. Nenek kami kawin dengan pribumi. Demikian juga anak, saudara, ipar,
dan sebagainya. Jadi kami sudah bersaudara. Namun, kami memiliki persepsi positif
terhadap mereka bukan karena kawin-mawin semata bergaul”, tetapi karena
kenyataan ……………….”
Selain sikap positif, ada juga ungkapan dari sikap negatif terhadap orang pribumi
yang seperti yang dicatatat di bawah ini:
“Mereka adalah kelompok masyarakat rendahan, kotor jorok, dan tidak dapat
dipercaya. Temperamen mereka cenderung brutal, emosional, dan suka merusak.
Hidupnya penuh tipu daya, suka mencuri, suka iri hati dan membenci orang lain.
Hidup mereka santai, tidak mau bekerja keras tetapi begitu melihat orang berhasil
hidupnya karena kerja keras, mereka lalu membencinya”
Prasangka Pribumi terhadap Orang Cina:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang pribumi terhadap orang Cina di daerah
Kemayoran itu memiliki prasangka yang bervariasi dari yang positif dan negatif, seperti yang
tercatat di bawah ini:
“Di sini saya samakan saja Cina itu, baik totok maupun peranakan. Mereka memang
sangat berjasa dalam perekonomian bangsa kita, mereka itu pintar berdagang, lihai,
dan hal itu sangat positif mendukung ekonomi. Cina itu ada di mana-mana, mulai
dari kota besar sampai kota kecil, di kota kecil mereka menggerakkan roda
perekonomian daerah, di kota besar mereka menggerakkan perekonomian nasional.
Pokoknya banyak nilai positifnya”
“Warga China itu sama saja, apakah totok atau peranakan. Mereka itu sombong dan
suka pamer kekayaan. Mereka hanya mau bergaul dengan warga pribumi yang
memiliki kuasa dan pengaruh, sedangkan dengan orang pribumi rendahan, mereka
sering kali tidak mau....”
‘13
15
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
KESIMPULAN
Prasangka adalah sikap negatif terhadap terhadap orang lain yang lebih didasari
oleh keanggotaannya dalam kelompok tertentu dan bukan karena karakteristik pribadi yang
dimilikinya. Prasangka dapat bersifat covert dan overt. Jika prasangka sudah nyata dalam
perilaku overt, maka dikatakan sebagai diskriminasi. Berkembangnya prasangka dan
diskriminasi ini dipicu oleh adanya stereotip.
Prasangka dan diskriminasi yang paling luas adalah dalam aspek gender, ras, etnis,
usia, orientasi seksual, serta keterbatasan fisik. Namun di antara hal ini yang paling
menyebar luas adalah prasangka dan diskriminasi gender.
Ada sejumlah penjelasan yang mencoba menerangkan mengapa prasangka dan
diskriminasi dapat muncul dan berkembang. Penjelasan tersebut bervariasi mulai dari yang
menjelaskannya sebagai sebuah karakteristik individual, sampai dikarenakan adanya
pengaruh sosial. Penjelasan tersebut adalah Teori Frustasi-Agresi dari Dollard-Miller,
Kepribadian Otoritarian, Dogmatism, Otoritarian kelompok kanan, Teori Dominasi Sosial,
dan Belief Congruence.
Sejumlah teknik dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi. Beberapa
penjelesan tersebut adalah belajar untuk tidak membenci, Direct Intergroup Contact,
rekategorisasi, intervensi kognitif, social influence sebagai cara mengurangi prasangka, dan
coping terhadap prasangka dan diskriminasi.
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
16
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download