MODUL PERKULIAHAN Psikologi Sosial 1 Prasangka dan Diskriminasi Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka 09 Kode MK Disusun Oleh 61017 Filino Firmansyah, M.Psi Abstract Kompetensi Materi tentang definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi, teoriteori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan diskriminasi, target prasangka dan diskriminasi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kembali mengenai definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi, teori-teori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan diskriminasi, target prasangka dan diskriminasi, akibatakibat yang ditimbulkannya, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya. Prasangka dan Diskriminasi PENDAHULUAN Banyak sekali kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat yang berasal prasangka dan diskriminasi. Materi ini dikutip dari Buku Psikologi Sosial tulisan dari Cicilia Yeti Praswati (dalam Sarlito dan Mainarno, 2009) akan membahas definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi, teori-teori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan diskriminasi, target prasangka dan diskriminasi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya. STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI Banyak orang menyamakan penggunaan kata prasangka dan diskriminasi. Padahal, secara konseptual, dua kata tersebut memiliki pengertian yang benar-benar berbeda. Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditujukan bagi anggotaanggota beberapa kelompok, yang didasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok. Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang, maka prasangka yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya, seperti kepribadian, masa lalu, atau karena kebiasaan negatifnya. Prasangka yang berkembang lebih disebabkan oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok tertentu. Peran karakteristik diri dalam memunculkan prasangka dari orang yang menjadi target prasangka dapat dikatakan jauh lebih kecil ketimbang keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Sebagai sebuah sikap, prasangka tidak harus tampil dalam perilaku yang berlebihan (over), tetapi bisa jadi sebagai sebuah kecenderungan psikologis. Jika prasangka tampil dalam perilaku yang dapat dilihat, maka kita mendefinisikannya sebagai diskriminasi. Diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif terhadap orang lain yang menjadi target prasangka. Merasa tidak nyaman jika duduk di samping target prasangka menunjukkan bahwa seseorang memiliki prasangka. Namun, memutuskan untuk pindah tempat duduk untuk menjauhi target prasangka adalah sebuah diskriminasi. Dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi adalah stereotip. Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari anggota kelompok tertentu, bisa positif atau bisa juga negatif. Walaupun dikatakan bahwa stereotip adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, namun tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki stereotip negatif mengenai sebuah kelompok tertentu pasti akan menampilkan prasangka dan diskriminasi. Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman,1993) mengembangkan model prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang dapat dikontrol dari respons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang sebuah kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka terdapat aktivasi dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung otomatis menjadi prasangka dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki kontrol untuk meneruskan atau tidak meneruskan ‘13 2 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id belief tadi untuk menjadi prasangka dan diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa untuk menghambat belief, maka akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan sesuatu untuk menghambat berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa belum tentu orang yang dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain kelompoknya, maka prasangka tidak terjadi. ASAL MUASAL PRASANGKA Konflik Langsung Antarkelompok Baron dan Byrne (2003) menerangkan bahwa penjelasan yang paling tua dalam menjelaskan kenapa prasangka terjadi adalah yang menerangkan bahwa orang berprasangka karena adanya kompetisi atas sumber-sumber berharga yang terbatas. Teori ini disebut sebagai realistic conflict theory. Misalnya, jika ada sumber nafkah yang terbatas di sebuah komunitas, maka di antara kelompok-kelompok yang ada di komunitas tersebut sangat mungkin terjadi prasangka satu sama lain karena mereka saling berkompetisi atas sumber yang sama untuk mendapatkan nafkahnya. Mereka cenderung akan memberi label ‘musuh’ pada kelompok lainnya. Teori-teori lain yang dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2003) dalam menjelaskan prasangka adalah teori belajar sosial, teori kategorisasi sosial, serta teori tentang stereotip. Uraiannya seperti di bawah ini. Teori Belajar Sosial Teori ini menjelaskan bahwa prasangka berkembang karena individu mempelajarinya. Muncul dan berkembangnya prasangka ini persis sama seperti muncul dan berkembangnya sikap lainnya. Sesuai dengan pandangan teori belajar sosial, seorang anak mempelajari prasangka dari berbagai kelompok. Anak-anak dapat mengalami proses belajar langsung karena ia mengamati bagaimana ekspresi orang tuanya, gurunya, atau kelompok lainnya terhadap target prasangka. Proses belajar lain adalah melalui pengalaman yang bersifat vicarious. Kategorisasi Sosial Perspektif ketiga yang menjelaskan prasangka, menekankan adanya kenyataan mendasar yang membuat seseorang dapat berprasangka. Kenyataan mendasar tersebut adalah demi membuat dunia terlihat mudah terkontrol dan dapat diprediksi, maka individu melakukan apa yang disebut sebagai kategorisasi. Orang membeda-bedakan jenjang pendidikan, jenis buah, jenis binatang, dan banyak lainnya. Orang juga melakukan kategorisasi terhadap lingkungan sosialnya, yang disebut sebagai kategori sosial. Dalam kategori sosial ini, orang melihat orang lain sebagai bagian dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup-nya) atau sebagai anggota dari kelompok lain (akan disebut sebagai outgroup-nya). Namun, proses ‘kami’ (us) dan ‘mereka’ (them) ini tidak berhenti sampai di sini. Kategori sosial ini memberi perasaan dan belief yang berbeda pada anggota kelompok yang masuk kategori ‘us’ dan ‘them’. Orang yang tergolong ‘us’ cenderung dipandang lebih positif ketimbang orang yang termasuk kategori ‘them’. Selain itu, anggota ‘13 3 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kelompok outgroup cenderung dilihatnya sebagai mirip satu dengan lainnya (homogen) ketimbang anggota ingroup-nya. Dengan demikian, pembedaan ingroup dan outgroup juga berpengaruh dalam atribusi, yaitu pada bagaimana mereka menjelaskan perilaku pada dua kelompok yang berbeda ini. Individu cenderung untuk mengatribusikan anggota ingroup-nya sebagai stabil dan internal dalam menjelaskan terjadinya perilaku positif, sedangkan perilaku anggota outgroup yang positif cenderung dilihatnya bersifat eksternal dan sementara. Kecenderungan untuk membuat atribusi yang positif dan menyenangkan mengenai anggota ingroup-nya daripada terhadap anggota outgroup-nya disebut sebagai ultimate attribution error. Stereotip Stereotip adalah komponen kunci dari prasangka. Stereotip adalah kerangka kognitif yang berisi pengetahuan dan belief tentang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu tersebut. Dengan demikian, individu yang memiliki stereotip tentang kelompok sosial tertentu akan melihat bahwa semua anggota kelompok sosial tersebut memiliki traits tertentu, walaupun dalam intensitas yang rendah. Stereotip ini berpengaruh dalam proses masuknya informasi sosial. Seperti juga kerangka kerja kognitif lainnya, stereotip juga berpengaruh kuat pada pemrosesan informasi sosial yang masuk. Informasi yang relevan dengan stereotip akan diproses lebih cepat dan diingat dengan lebih baik daripada informasi yang tidak relevan dengan stereotip. Selain itu, stereotip juga membuat seseorang dapat menaruh perhatian pada informasi spesifik yang relevan yang biasanya konsisten dengan stereotip. Jika yang ditemui adalah informasi yang tidak konsisten dengan stereotip, maka akan diubah dengan cara yang halus agar menjadi konsisten. Misalnya, jika kita berjumpa dengan seseorang yang karakteristiknya tidak sesuai dengan stereotip yang kita miliki mengenai kelompoknya (misalnya ia adalah anggota kelompok minoritas yang sangat pandai dan pandai menyenangkan hati), maka kita tidak akan langsung mengubah stereotip kita mengenai kelompoknya, namun akan memasukkannya dalam subtipe yang berisi orang-orang yang tidak fit dengan skema atau stereotip yang ada. Reaksi lain dari adanya informasi yang tidak konsisten adalah dengan melakukan apa yang dinamakan tacit inferences. Maksud tacit inferences adalah mengubah makna dari informasi yang masuk agar konsisten dengan stereotip yang dimiliki. Contohnya adalah jika kita menjumpai seorang sopir metro mini yang berpakaian rapi saat bertugas dan mengendarai metro mininya di jalan dengan santun, maka kita akan berpikir bahwa mungkin ia adalah sopir metro mini yang masih baru dan belum stress dengan tekanan pekerjaannya. Dengan demikian, kita melakukan pengubahan makna dari informasi yang masuk agar dapat fit dengan stereotip yang kita punyai tentang sopir metro mini. Kita segera melakukan tacit inferences yang memungkinkan kita dapat menghadapi informasi yang tak diharapkan tersebut. Melihat efek yang kuat dari stereotip terhadap pemrosesan informasi yang masuk, maka dikatakan bahwa stereotip adalah inferential prisons, sekali ia terbentuk, maka ia akan membentuk persepsi kita mengenai orang lain. Informasi yang masuk tentang orang tersebut akan diinterpretasi sebagai konfirmasi dari stereotip kita. ‘13 4 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id TARGET DARI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok tertentu yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok jenis kelamin tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum homoseksual dan kelompok individu dengan ketunaan fisik. Seksisme Nampaknya prasangka dan diskriminasi yang paling banyak terjadi adalah dalam pembedaan antara pria-wanita. Hal ini mungkin berkaitan dengan banyaknya penderitaan yang dialami wanita sepanjang sejarah sebagai korban dari seksisme. Contoh paling nyata di negeri ini adalah ketika masa Raden Ajeng Kartini. Dalam surat-suratnya kepada sahabatsahabatnya di Belanda, wanita yang sangat cerdas ini mengekspresikan keprihatinan dan kesedihannya yang mendalam terhadap kaumnya saat itu yang relatif tidak mendapat kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam mengembangkan diri. Mereka dilarang bersekolah, dipingit, dan bahkan dikawinkan dalam usia muda dengan paksa. Dalam praktik seksisme di tempat lain, sering terjadi apa yang disebut selective infanticide, yaitu pembunuhan bayi perempuan (atau fetus). Biasanya hal ini terjadi pada budaya yang lebih menilai tinggi kaum pria ketimbang kaum hawanya. Masyarakat yang mempraktikkan seleksi jenis kelamin dengan mengutamakan kaum pria ini terdapat di beberapa tempat, misalnya Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, Korea, dan India. Sedangkan praktik seleksi jenis kelamin yang mengutamakan kaum perempuan tidak ditemukan. Pada tahun 2005, diperkirakan 90 juta perempuan di tujuh negara Asia meninggal karena aborsi dengan seleksi jenis kelamin. Disebutkan bahwa eksistensi dari praktik ini disuburkan oleh kultur daripada oleh kondisi ekonomi. Sebelum abad ke-20, tidak ditemukan adanya aborsi fetus dengan seleksi jenis kelamin. Hal ini karena saat itu belum ditemukan alat ultrasonografi (USG) yang dapat mendeteksi jenis kelamin fetus. Adanya prasangka tampaknya juga berkaitan dengan stereotip tentang seks yang ada. Penelitian tentang stereotip jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki belief bahwa laki-laki itu kompeten dan mandiri dan wanita itu hangat serta ekspresif. Fiske (1998 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) juga mengatakan, bahwa wanita dilihat ‘ramah, namun tidak kompeten’, sedang pria dilihat sebagai ‘mungkin tidak ramah, namun kompeten’. Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal dengan istilah glass ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang (dalam hal ini wanita) untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti rekan prianya. Prasangka dan diskriminasi ini menghambat para manajer wanita yang andal sulit menduduki posisi top di organisasi kerjanya. Rasisme ‘13 5 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Diskriminasi terhadap ras dan etnis tampaknya merupakan diskriminasi yang paling banyak menimbulkan perbuatan brutal di muka bumi ini. Banyak penelitian psikologi sosial berfokus pada sikap terhadap anti-kulit hitam di Amerika Serikat. Sejak beratus-ratus tahun sudah disebutkan bahwa sikap kulit putih terhadap orang Negro di AS adalah negatif. Mereka cenderung melihat bahwa kulit hitam merefleksikan persepsi umum mengenai orang desa, budak, dan pekerja kasar. Penelitian tentang sikap anti-kulit hitam di Amerika Serikat (AS) menunjukkan adanya penurunan yang tajam sejak tahun 1930-an. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan global pada bangsa-bangsa barat mengenai sikap terhadap kulit hitam. Pemerintah AS sampai akhir tahun 1960-an masih menjalankan kebijakan segregrasi yang berdampak pada rasisme. Namun demikian, bukan berarti bahwa prasangka rasial ini hilang di muka bumi ini. Adanya penegasan formal dan legal tentang pelarangan untuk melakukan diskriminasi membuat diskriminasi tampil dalam bentuk yang berbeda, tidak lagi dalam bentuk eksplisit dan jelas. Adanya sanksi yang jelas membuat tampilan diskriminasi yang jelas dan eksplisit sulit lagi untuk ditemui. Namun demikian, bentuk diskriminasi yang tersamar dan halus ternyata ditemukan. Bentuk baru dari rasisme ini disebut sebagai aversive racism, modern racism symbolic racism, regressive racism, atau ambivalent racism. Contohnya adalah dalam bentuk menghindari untuk hidup di lingkungan kelompok yang menjadi target prasangka dan menampilkan perilaku prososial (menolong) yang berbeda dengan yang ditampilkannya untuk kelompok yang tidak menjadi target prasangkanya. Ageism Dalam sebuah komunitas, lansia biasanya diperlakukan dengan penuh hormat. Masyarakat melihat bahwa kaum tua ini berpengalaman, bijak, dan memiliki intuisi tajam yang biasanya tidak dimiliki oleh kaum yang lebih muda. Oleh karena itu. penghargaan terhadap lansia di masyarakat tersebut cenderung tinggi. Masyarakatnya masih ‘mendengarkan’ nasihat kaum tuanya. Biasanya masyarakat yang menghargai kaum tua seperti ini hidup dalam keluarga yang extended. Namun di masyarakat lain, kaum tua diperlakukan sebagai pihak yang kurang berharga dan kurang memiliki kekuasan. Masyarakat ini bahkan mengabaikan hak dasar manusia dari para lansia ini. Masyarakat yang seperti ini biasanya sangat menghargai kaum mudanya dan memiliki stereotip yang relatif negatif bagi kaum tuanya. Biasanya mereka hidup dalam keluarga inti. Negara-negara yang masyarakatnya hidup dalam keluarga inti adalah Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris. Hasil penelitian dari Noels, Giles, dan La Poire (2003 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) menunjukkan bahwa dewasa muda cenderung menilai individu di atas 65 tahun sebagai orang yang mudah tersinggung, tidak sehat, tidak menarik, tidak bahagia, pelit, tidak efektif, kurang terampil secara sosial, lemah, terlalu mengontrol, terlalu membuka diri, egosentris, tidak kompeten, kasar, dan ringkih. Diskriminasi terhadap Kelompok Homoseksual ‘13 6 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Ada pro-kontra dalam memandang homoseksual. Ada yang melihatnya sebagai pilihan atas hak hidup. Namun juga ada yang melihatnya sebagai perilaku yang deviant dan tidak bermoral. Sikap negatif terhadap kaum homoseksualitas ini melahirkan aturan-aturan yang dapat menghukum orang yang mempraktikkan homoseksualitas. Prasangka terhadap homoseksualitas ini makin menyebar. Sebagai contoh, sebuah survei di AS oleh Levitt dan Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa mayoritas orang memiliki belief bahwa homoseksualitas adalah penyakit dan perlu untuk dilarang secara legal. Bahkan dalam penelitian Henry (1994 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) ditemukan hanya 39% orang yang mau mengunjungi praktik dokter seorang homoseksual. Sebenarnya secara umum, pada tahun 1960 ada liberalisasi progresif terhadap sikap untuk homoseksual. Walaupun demikian, epidemik HIV yang mulai sejak tahun 1980-an menimbulkan histeria terhadap homoseksualitas, hingga berkembang menjadi homofobia. Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan Fisik Prasangka dan diskriminasi karena keterbatasan fisik sudah berlangsung sejak lama, bahkan orang dengan keterbatasan seperti ini dipandang sebagai menjijikkan dan kurang bermartabat. Adanya praktik-praktik pertunjukkan sirkus yang mempertontonkan keterbatasan fisik menunjukkan kebenaran adanya pandangan yang negatif ini. Saat ini, diskriminasi atas orang yang memiliki keterbatasan fisik dianggap ilegal dan tidak diterima secara sosial, bahkan masyarakat di Australia dan Selandia Baru sangat sensitif dengan kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus ini. Mereka menyediakan fasilitas umum yang mempertimbangkan kepentingan kaum yang mengalami keterbatasan fisik ini, misalnya toilet yang khusus, jalur khusus untuk kursi roda di area publik, atau adanya penyediaan bahasa gerak di televisi. Tampaknya masyarakat tidak lagi menganggap remeh para orang-orang dengan keterbatasan ini. Walaupn sering kali masih ada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh beberapa orang jika di lingkungannya terdapat orang dengan keterbatasan fisik. Selain itu, sering kali juga muncul ketidakpastian karena tidak tahu bagaimana cara memperlakukan mereka. BENTUK DISKRIMINASI Diskriminasi mewujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang halus atau tersamar hingga yang nyata dan kasar. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bentukbentuk diskriminasi itu sebagai berikut. Menolak untuk Menolong (Reluctance to Help) Menolak untuk menolong orang lain (reluctance to help) yang berasal dari kelompok tertentu sering kali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam ‘13 7 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id posisinya yang kurang beruntung. Misalnya tuan tanah yang menolak untuk menyewakan akomodasinya bagi kelompok etnik minoritas, atau organisasi yang menolak memberikan fasilitas khusus bagi karyawan wanitanya, misalnya cuti pada masa datang bulan, jam kerja yang fleksibel, atau jam kerja paruh waktu (part time). Selain itu, menolak untuk menolong adalah ciri dari diskriminasi rasial yang nyata. Penelitian eksperimen dari Gaertner dan Dovidio (1977 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) menunjukkan bahwa orang kulit putih lebih menolak untuk menolong confederate kulit hitam daripada confederate kulit putih dalam situasi darurat. Ini terjadi jika mereka memiliki belief bahwa ada penolong lain yang potensial. Tokenisme Tokenisme adalah minimnya perilaku positif kepada pihak minoritas. Perilaku ini nanti digunakan sebagai pembelaan dan justifikasi bahwa ia sudah melakukan hal baik yang tidak melanggar diskriminasi (misalnya: Saya sudah memberikan cukup, kan?). Tokenisme dapat dipraktikkan oleh organisasi atau oleh masyarakat luas. Di Amerika Serikat, ada kritik pada beberapa organisasi karena adanya tokenisme untuk kelompok minoritas di sana, yaitu kulit hitam, perempuan, dan orang Spanyol, yang dilakukan oleh organisasi kerja. Organisasi ini hanya mempekerjakan kelompok minoritas sebagai strategi untuk terhindar dari tuduhan melakukan diskriminasi. Tokenisme pada level ini dapat menghancurkan harga diri orang yang dikenai token ini. Reverse Discrimination Bentuk token yang lebih ekstrem adalah reverse discrimination, yaitu praktik melakukan diskriminasi yang menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka dan disikriminasi dengan maksud agar mendapatkan justifikasi dan terbebas dari tuduhan telah melakukan prasangka dan diskriminasi. Oleh karena reverse discrimination memberikan keuntungan kepada kelompok minoritas, maka efek jangka pendeknya dapat dirasakan langsung. Namun, dengan berjalannya waktu ada konsekuensi negatif yang bisa ditanggung oleh kelompok minoritas tesebut. Menjadi penting bagi para peneliti untuk melihat apakah perilaku positif yang ditampilkan kepada kelompok minoritas adalah benar-benar ungkapan untuk membantu orang yang kurang beruntung atau justru sebuah reverse discrimination. STIGMA DAN DAMPAK LAIN DARI KORBAN PRASANGKA Efek prasangka pada korban sangat bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan ringan hingga penderitaan yang dalam. Secara umum, prasangka sangat merusak karena ‘13 8 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memberikan stigma kepada semua anggota kelompok yang ada di dalamnya. Allport menjelaskan adanya 15 kemungkinan sebagai konsekuensi negatif dari korban prasangka. Beberapa di antaranya adalah stigma sosial, rendahnya self-esteem, turunnya kesejahteraan psikologis, kegagalan dan kekurangberuntungan, atau attributional ambiguity. Individu yang mendapatkan stigma memiliki (atau ‘dibuat’ untuk memiliki) beberapa atribut atau karakteristik yang mengandung identitas sosial yang direndahkan dalam konteks sosialnya. Pengalaman subjeketif dalam menerima stigma bergantung pada dua faktor ini, yaitu (1) visibilitas dan (2) kontrolabilitas. Visible stigma, seperti ras dan gender, membuat individu yang ada di dalamnya tidak bisa melarikan diri dari cap yang diberikan oleh orang lain, karena cirinya nyata terlihat. Stigma yang bersifat dapat dikontrol seperti perokok dan homoseks memungkinkan penerimanya untuk bisa memilih apakah ia masuk dalam kategori atau tidak. Sedangkan stigma yang tidak terkontrol, misalnya ras, seks, dan pasien dengan penyakit tertentu. Stigma yang terkontrol lebih mengundang reaksi yang keras ketimbang stima yang tidak dapat dikontrol. Contohnya adalah obesitas. Obesitas biasanya mengundang reaksi negatif bukan hanya karena dalam budaya barat obesitas diberi stigma negatif tetapi juga karena obesitas sesungguhnya dapat dikontrol. PENJELASAN PRASANGKA DI TINGKAT INDIVIDU SERTA KEPRIBADIAN DARI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Banyak konflik terbuka antar kelompok terjadi karena merebaknya prasangka dan diskriminasi. Sejumlah teori mencoba menjelaskan muncul dan berkembangnya prasangka pada individu dalam berbagai perspektif. Dalam teori more exposure effect (Zajonc, 1968 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) dijelaskan bahwa sikap seseorang terhadap berbagai stimulus berkembang sebagai fungsi dari pemaparan stimulus yang berulang atau terjadinya ‘familiarity’. Hal ini terjadi jika reaksi inisial terhadap stimuli bersifat tidak negatif. Penjelasan lain berasal dari teori Tajfel (1981 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) yang menekankan bahwa prasangka terbentuk karena dipelajari. Tajfel berargumentasi bahwa kebencian serta kecurigaan terhadap kelompok tertentu dipelajari sejak masa awal dari kehidupan, yaitu dimulai pada saat seorang anak sesungguhnya belum mengenal kelompok target. Pengalaman ini akan membentuk sikap emosionalnya terhadap kelompok target tersebut serta mewarnai bentuk informasi dan pengalamannya dengan kelompok target yang bersangkutan. Secara umum, Barrett dan Short (1992 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mengatakan bahwa anak-anak Inggris yang berumur 5-10 tahun yang memiliki pengetahuan masih cukup terbatas mengenai negara-negara lain ternyata sudah dapat menentukan preferensinya terhadap negara-negara di Eropa. Aboud (1988 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) menyimpulkan bahwa bias etnis sudah dapat terlihat pada usia 4-5 tahun karena pada tahap usia ini sistem kognitif sosial sudah berlandaskan persepsi yang jelas yang menjadi dasar yang cukup jernih untuk melakukan kategorisasi sosial maupun perbandingan sosial. Perspektif lain menjelaskan bahwa prasangka yang dimiliki oleh orang tua dapat ditransmisikan ke anak-anaknya melalui pola modeling. Misalnya ekspresi emosi orang tua saat berjumpa dengan kelompok tertentu dapat terekam oleh anak-anaknya yang pada akhirnya juga membentuk prasangka anak-anaknya pada kelompok yang sama. Proses ‘13 9 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id belajar untuk berprasangka pada kelompok tertentu ini juga dapat berkembang melalui proses instrumental atau proses belajar conditioning. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan adanya tujuh teori mayor dalam menjelaskan terbentuknya prasangka dan diskriminasi: Teori Frustasi-Agresi dari Dollard-Miller Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan para koleganya pada tahun 1939 bersamaan dengan merebaknya sikap anti-Semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an. Teori ini mendasarkan diri pada asumsi psikodinamik yang menjelaskan adanya jumlah yang pasti dari energi psikis individu yang memungkinkannya untuk melakukan aktivitas psikologis yang disebut sebagai katarsis. Katarsis adalah aktivitas psikis yang menggerakkan energi psikis yang ada sehingga dapat mengembalikan pada kondisi psikologis yang seimbang. Contohnya, jika terjadi hambatan untuk mencapai sesuatu, maka hal ini akan menimbulkan frustrasi. Dalam kondisi ini, energi psikis tetap aktif dan sistem psikologis yang seimbang tetap diciptakan dengan jalan menampilkan agresivitas. Dapat dikatakan bahwa agresivitas adalah mekanisme untuk menyeimbangkan kembali sistem psikologis yang ada. Dalam beberapa keadaan, terjadi fenomena scapegoating (kambing hitam), yang terjadi jika target agresi bukanlah target yang mudah, misalnya karena wujudnya yang kurang jelas (birokrasi), sulit didefinisikan (masalah ekonomi), terlalu berkuasa (karena bersenjata), sulit dijangkau (pihak tertentu dari birokrat), atau seseorang yang begitu dicintai (orang tua). Jika target agresi ini demikian sulit maka muncullah alternatif target agresi. Dalam hal ini, terjadi mekanisme displacement. Kritik terhadap teori ini mengemukakan bahwa tidak semua frustrasi mendorong terjadinya agresi. Berkowitz (1962 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mencoba merevisinya dengan mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal. 1. Probabilitas munculnya agresi karena frustrasi akan meningkat dengan kehadiran situational cues mengenai agresi, termasuk di dalamnya asosiasi masa lalu dan sekarang dengan kelompok yang dengannya berkonflik. 2. Hal yang terjadi bukanlah frustrasi yang objektif melainkan yang negatif. 3. Frustrasi hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang menyakitkan yang dapat menimbulkan agresi. Kepribadian Otoritarian Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson dan Sanford (1950 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mengembangkan penjelasan mengenai kaitan prasangka dengan kepribadian otoritarian. Dalam penjelasannya ini diungkapkan bahwa hanya orang dengan kepribadian otoritarian saja yang cenderung berprasangka. Kepribadian otoritarian ini didefinisikan sebagai konstelasi karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur otoritas, obsesi terhadap status dan ranking, kecenderungan untuk melakukan displacement ‘13 10 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kemarahan dan ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah, toleransi yang rendah terhadap ketidakpastian, serta kebutuhan untuk mendefinisikan dunia secara kaku dengan cara mengembangkan keintiman. Konstelasi karakterisitik yang ada pada individu ini berkembang sejak masa kanak-kanak. Dijelaskan lebih jauh bahwa orang tua yang menampilkan sikap kasar yang berlebihan serta menjalankan kedisiplinan akan mengembangkan ketergantungan emosional dan kepatuhan yang pada gilirannya akan membangun kegamangan pada anak, di satu pihak ia mencintai orang tuanya namun juga sekaligus membencinya. Kondisi yang ambigu ini menekan dan mencari penyelesaian. Sulit untuk mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut, oleh karena itu mereka akan melampiaskan perasaannya ini kepada pihak yang lebih lemah dengan tetap menjaga respek pada pihak otoritas atau orang tuanya. Kritik terhadap penjelasan kepribadian otoritatif terhadap munculnya prasangka ini terutama mengungkapkan kuatnya peran faktor situasional dan sosiokultural. Pettigrew (1958 dalam Baron dan Byrne, 2003) mengemukakan bahwa studi lintas budaya di kalangan orang kulit putih di Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menunjukkan kuatnya peran faktor situasional dan kultural ini. Ia menemukan bahwa walaupun orang kulit putih di Afrika Selatan dan Amerika Selatan lebih rasis secara signifikan dibanding kulit putih di Amerika Utara, namun ternyata mereka tidak berbeda dalam tingkat kepribadian otoritatifnya. Hal ini menunjukkan, bahwa walaupun kepribadian memberikan kecenderungan untuk melakukan prasangka pada beberapa konteks sosial tertentu, namun kultur berprasangka yang hidup dalam lingkup norma sosialnya lebih berperan dalam berkembang tidaknya perilaku prasangka ini. Dogmatisme dan Closed-Mindedness Teori kepribadian lain yang menjelaskan mengenai prasangka dikembangkan oleh Rokeach yang lebih menekankan gaya kognitif. Rokeach menjelaskan bahwa generalisasi dari sindrom ketidaktoleransian ini dapat dikatakan sebagai dogmatis atau ketertutupan sikap (closed-mindedness). Kepribadian seperti ini dikarakteristikkan dengan adanya kontradiksi antara sistem belief satu dengan lainnya, resistensi terhadap hal-hal baru, serta menuntut justifikasi pihak otoritas terhadap kebenaran belief yang dimilikinya. Seperti halnya teori kepribadian otoritatif yang memiliki keterbatasan dalam menjelasan prasangka, teori ini juga memiliki keterbatasan yang sama. Teori ini kurang dapat menjelaskan konteks sosiokultural yang sering kali berperan besar dalam memunculkan prasangka. Otoritatif Sayap Kanan Teori kepribadian otoritatif kemudian direvisi dengan tanpa penjelasan aspek kepribadian dan psikodinamik. Teori ini menjelaskan otoritatif sebagai sekumpulan sikap yang terdiri atas tiga komponen, yaitu: ‘13 11 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. conventionalism, adanya devosi terhadap konvensi sosial yang digerakan oleh pihak otoritas; 2. authoritarian aggression, dukungan terhadap agresi pada pihak devian; 3. authoritarian submission, submisif terhadap otoritas sosial yang berlaku. Teori Dominasi Sosial Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi sosial atau mitos sosial yang melegitimasi hierarki dan diskriminasi, atau yang melegitimasi equality dan keadilan. Orang yang menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan superior terhadap outgroup berarti memiliki orientasi dominansi sosial yang tinggi yang mendorongnya untuk menolak ideologi egaliter serta menerima mitos yang melegitimasi hierarki dan diskriminasi. Belief Congruence Dalam menjelaskan prasangka, selain mengemukakan tentang teori kepribadian, Rokeach juga mengemukakan teori belief congruence. Sistem belief berfungsi seperti jangkar bagi individu. Oleh karena itu, kesamaan antarindividu atau dapat dikatakan bahwa adanya sistem belief yang kongruen dapat memberikan konfirmasi terhadap validasi belief yang dimiliki. Dengan demikian, kongruensi berfungsi sebagai reward dan menimbulkan daya tarik dan sikap positif terhadap pihak yang memberikan konfirmasi terhadap belief-nya ini. Sebaliknya, sistem belief yang tidak kongruen akan menimbulkan sikap negatif. Jadi munculnya prasangka dapat disebabkan oleh adanya ketidaksamaan antara dirinya dengan outgroup-nya. Rasa tidak suka terhadap outgroup-nya bukan disebabkan oleh keanggotaannya dalam kelompok melainkan oleh tidak sejalannya antara sistem belief-nya dengan sistem belief kelompok outgroup. MENGENDALIKAN TINGKAT PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Baron dan Bryne (2003) menjelaskan teknik-teknik yang dapat digunakan untuk mengendalikan prasangka dan diskriminasi. Uraiannya adalah sebagai berikut. 1. Belajar untuk tidak membenci Ada pandangan yang mengatakan bahwa prasangka dibawa seseorang sejak lahir. Sedangkan pandangan lain menegaskan bahwa sikap negatif tersebut diciptakan, bukan dibawa dari lahir. Psikolog sosial melihat secara lebih spesifik dengan mengatakan bahwa anak-anak memiliki prasangka dengan mempelajari dari orang tuanya serta juga dari media massa. Dengan demikian upaya logis yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka adalah dengan melarang orang tua atau orang dewasa lain untuk menurunkan sikap negatifnya tersebut kepada anak-anaknya. Namun dalam praktiknya, hal ini tidaklah sesederhana yang dibicarakan. Sering kali, bahkan orang dewasa sendiri tidak menyadari ‘13 12 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id prasangkanya sendiri. Oleh karena itu, langkah pertama adalah dengan membantu orang tua atau orang dewasa untuk menyadari prasangka yang dimilikinya, baru kemudian dapat memotivasinya lebih jauh untuk tidak menularkannya pada anak-anaknya. Hal penting yang perlu disampaikan pada orang dewasa yang berprasangka adalah bahwa secara empiris sudah ditemukan bahwa prasangka membawa ketidaknyamanan, bukan saja bagi korban prasangka, tetapi juga bagi pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang hidup tidak cukup tenang karena selalu ada perasaan was-was kalau-kalau ia berjumpa dengan outgroup yang menjadi target prasangkanya. Dengan kata lain kenikmatan hidupnya bisa berkurang karena berprasangka. 2. Direct Intergroup Contact Pettigrew (1981, 1997 dalam Baron dalam Byrne, 2003) menyatakan, bahwa prasangka yang terjadi antarkelompok dapat dikurangi dengan cara meningkatkan intensitas kontak antara kelompok yang berprasangka tersebut. Apa yang dijelaskannya ini terkenal sebagai teori contact hypothesis. Dasar argumentasinya adalah bahwa, pertama, meningkatnya kontak memungkinkan terjadi pemahaman yang lebih mendalam mengenai kesamaan yang mungkin mereka miliki. Seperti diketahui, pemahaman tentang kesamaan akan menimbulkan daya tarik dari dua belah pihak. Kedua, walaupun stereotipi resisten terhadap perubahan, namun stereotipi dapat berubah jika ada sejumlah informasi yang tidak konsisten, atau bisa juga karena menemukan adanya sejumlah pengecualian dalam steretipi yang dimilikinya. Ketiga, adalah bahwa meningkatnya kontak dapat menjadi counter terhadap munculnya illusion of outgroup homogeneity. Kontak yang semakin sering membawa kemungkinan bahwa seseorang mampu melihat bahwa anggota-anggota outgroup dapat bervariasi, tidak lagi homogen seperti yang dilihat sebelumnya. 3. Rekategorisasi Rekategorisasi adalah melakukan perubahan batas antara ingroup dan outgroupnya. Sebagai akibatnya, bisa saja seseorang yang sebelumnya dipandang sebagai outgroup-nya, tetapi kemudian menjadi ingroup-nya. Dengan kata lain, seseorang memperluas area kategori ingroup-nya. Rekategorisasi ini berpotensi untuk mengurangi prasangka yang sebelumnya ada. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Gaertner dan koleganya (1989, 1993 dalam Baron dan Byrne, 2003) dalam teorinya mengenai Common in-group identity model. Teori ini menjelaskan bahwa jika individu dalam kelompok yang berbeda melihat diri mereka sebagai anggota dari entitas sosial yang tunggal, maka kontak positif akan meningkat dan intergroup bias akan berkurang. Dengan kata lain, tidak ada lagi ‘us’ dan ‘them’, tetapi berubah menjadi ‘we’. 4. Intervensi Kognitif Kecenderungan untuk melihat keanggotaan orang lain dalam berbagai kelompok dan kategori (yang dikenal dengan sebagai konsep category-driven processing) sering menjadi kunci penyebab munculnya prasangka. Oleh karena itu, ada sejumlah intervensi untuk mengurangi dampak stereotip yang pada akhirnya dapat mengurangi kecenderungan prasangka dan diskriminasi. Pertama, dampak dari stereotip dapat dikurangi dengan ‘13 13 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memotivasi individu untuk tidak berprasangka, misalnya dengan membuatnya menyadari mengenai norma egaliter ataupun standar yang menekankan pentingnya semua orang untuk diperlakukan secara adil. Kedua, melakukan sebuah intervensi untuk mengurangi kecenderungan orang berpikir stereotip. Intervensi ini berupa pelatihan yang membantu orang untuk mengurangi aktivasi yang otomatis dari cara berpikir stereotip yang dimilikinya. 5. Social Influence Sebagai Cara Mengurangi Prasangka Kenyataan bahwa sikap terhadap kelompok ras atau kelompok etnis tertentu bisa dipengaruhi oleh lingkungan sosial, maka pengubahan sikap tersebut juga bisa dengan memanfaatkan pengaruh sosial yang ada. Seseorang akan termotivasi untuk mengubah sikapnya jika ia menyadari bahwa sikap terhadap kelompok/ras tertentu yang dimilikinya ternyata tidak dimiliki oleh orang lain yang disukainya. Dalam keadaan seperti ini, ia akan lebih cenderung mengubah sikapnya agar sama dengan sikap orang yang disukainya. Teori ini dapat memberi arahan kepada kita mengenai pendekatan intervensi yang dapat dikembangkan untuk mengubah sikap terhadap kelompok/ras tertentu. 6. Coping terhadap Prasangka Sejumlah studi menemukan banyaknya efek negatif yang ditemukan pada individu yang menjadi target prasangka dan diskriminasi. Contohnya adalah penelitian dari Steele dan Aronson (1995 dalam Baron dan Byrne, 2003) menemukan bahwa individual yang tergolong minoritas sering mendapatkan pengalaman yang disebutnya sebagai ‘stereotype threat’, yaitu kesadaran orang-orang minoritas bahwa ia akan dievaluasi berdasarkan status minoritasnya. Kondisi semacam ini tentu saja dapat mengganggu berkembangnya rasa percaya diri dalam berbagai setting sosial yang ada. Walaupun demikian, adalah lebih penting kiranya untuk mengembangkan penelitian yang lebih berorientasi pada pengembangan kapasitas target prasangka agar bisa mempunyai sikap aktif dalam merespons perilaku diskriminasi yang diterimanya. Peneliti : Dasril Hasibuan Tahun : 2002 Judul : Prasangka dalam Hubungan antar Etnik dan Implikasinya dalam Proses Asimilasi Jenis penelitian : Tesis strata dua Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesia Dari penelitian yang dilakukan oleh Dasril Hasibuan (2002) di daerah Kemayoran, Jakarta salah satu hasil temuannya menunjukkan adanya prasangka orang Cina terhadap orang pribumi dan demikian juga sebaliknya, baik yang berupa prasangka positif maupun negatif. Dalam penelitian kualitatif ini dapat disimpulkan lebih jauh bahwa pola komunikasi yang dikembangkan antara Orang Cina dan Orang Pribumi dalam komunitas tersebut berinteraksi dengan prasangka yang mereka miliki terhadap satu dengan lainnya. Bervariasinya prasangka yang berhasil dicatat adalah sebagai berikut. ‘13 14 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id a. Prasangka Orang Cina Peranakan terhadap Orang Pribumi: “Kami tidak melihat etnik pribumi itu sebagai musuh. Mereka adalah saudarasaudara kita. Nenek kami kawin dengan pribumi. Demikian juga anak, saudara, ipar, dan sebagainya. Jadi kami sudah bersaudara. Namun, kami memiliki persepsi positif terhadap mereka bukan karena kawin-mawin semata bergaul”, tetapi karena kenyataan ……………….” Selain sikap positif, ada juga ungkapan dari sikap negatif terhadap orang pribumi yang seperti yang dicatatat di bawah ini: “Mereka adalah kelompok masyarakat rendahan, kotor jorok, dan tidak dapat dipercaya. Temperamen mereka cenderung brutal, emosional, dan suka merusak. Hidupnya penuh tipu daya, suka mencuri, suka iri hati dan membenci orang lain. Hidup mereka santai, tidak mau bekerja keras tetapi begitu melihat orang berhasil hidupnya karena kerja keras, mereka lalu membencinya” Prasangka Pribumi terhadap Orang Cina: Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang pribumi terhadap orang Cina di daerah Kemayoran itu memiliki prasangka yang bervariasi dari yang positif dan negatif, seperti yang tercatat di bawah ini: “Di sini saya samakan saja Cina itu, baik totok maupun peranakan. Mereka memang sangat berjasa dalam perekonomian bangsa kita, mereka itu pintar berdagang, lihai, dan hal itu sangat positif mendukung ekonomi. Cina itu ada di mana-mana, mulai dari kota besar sampai kota kecil, di kota kecil mereka menggerakkan roda perekonomian daerah, di kota besar mereka menggerakkan perekonomian nasional. Pokoknya banyak nilai positifnya” “Warga China itu sama saja, apakah totok atau peranakan. Mereka itu sombong dan suka pamer kekayaan. Mereka hanya mau bergaul dengan warga pribumi yang memiliki kuasa dan pengaruh, sedangkan dengan orang pribumi rendahan, mereka sering kali tidak mau....” ‘13 15 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id KESIMPULAN Prasangka adalah sikap negatif terhadap terhadap orang lain yang lebih didasari oleh keanggotaannya dalam kelompok tertentu dan bukan karena karakteristik pribadi yang dimilikinya. Prasangka dapat bersifat covert dan overt. Jika prasangka sudah nyata dalam perilaku overt, maka dikatakan sebagai diskriminasi. Berkembangnya prasangka dan diskriminasi ini dipicu oleh adanya stereotip. Prasangka dan diskriminasi yang paling luas adalah dalam aspek gender, ras, etnis, usia, orientasi seksual, serta keterbatasan fisik. Namun di antara hal ini yang paling menyebar luas adalah prasangka dan diskriminasi gender. Ada sejumlah penjelasan yang mencoba menerangkan mengapa prasangka dan diskriminasi dapat muncul dan berkembang. Penjelasan tersebut bervariasi mulai dari yang menjelaskannya sebagai sebuah karakteristik individual, sampai dikarenakan adanya pengaruh sosial. Penjelasan tersebut adalah Teori Frustasi-Agresi dari Dollard-Miller, Kepribadian Otoritarian, Dogmatism, Otoritarian kelompok kanan, Teori Dominasi Sosial, dan Belief Congruence. Sejumlah teknik dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi. Beberapa penjelesan tersebut adalah belajar untuk tidak membenci, Direct Intergroup Contact, rekategorisasi, intervensi kognitif, social influence sebagai cara mengurangi prasangka, dan coping terhadap prasangka dan diskriminasi. Daftar Pustaka Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika ‘13 16 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id