BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar komersial yang populer sebagai ikan budidaya. Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Metazoa Phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Ostariophysoidei Sub Ordo : Siluroidea Family : Claridae Genus : Clarias Spesies : Clarias gariepinus Gambar 1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Seperti lele pada umumnya, lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari, warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Mulut lele dumbo relatif lebar, yaitu sekitar ¼ dari panjang total tubuhnya. Tanda spesifik lainnya dari lele dumbo adalah adanya kumis di sekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba. Saat berfungsi sebagai alat peraba yaitu pada saat bargerak atau mencari makan (Khairuman, 2005). 6 7 Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2003), ikan lele dumbo memiliki patil tidak tajam dan giginya tumpul. Sungutnya relatif panjang dan tampak labih kuat dari pada lele lokal. Kulit dadanya terletak bercak-bercak kelabu seperti jamur kulit manusia (panu). Kepala dan punggungnya gelap kehitam-hitaman atau kecoklat-coklatan. Lele dumbo memiliki sifat tenang dan tidak mudah berontak saat disentuh atau dipegang. Penampilannya kalem dan tidak banyak bergerak. Lele dumbo suka meloncat bila tidak merasa aman. Menurut Najiyati (1992), ikan lele dumbo memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut arborescent organ terletak di bagian kepala. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler-kapiler darah. Mulutnya terdapat di bagian ujung moncong dan dihiasi oleh empat pasang sungut, yaitu 1 pasang sungut hidung, 1 pasang sungut maksilan (berfungsi sebagai tentakel), dan dua pasang sungut mandibula. Ikan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat gelap. Di alam, ikan lele memijah pada musim penghujan. 2.2 Pakan Pakan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya. Untuk menggantikan pakan alami dalam wadah budidaya digunakan pakan buatan yang kandungan nutrisinya memenuhi kandungan gizi yang dibutuhkan ikan. Pakan buatan (artificial feed) adalah pakan yang sengaja disiapkan dan dibuat. Pakan ini terdiri dari beberapa bahan baku yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga bentuknya berubah dari bentuk aslinya (Mudjiman, 2004). Fungsi makanan bagi ikan adalah sebagai sumber energi yang diperlukan dalam proses fisiologis dalam tubuh. Oleh karena itu makanan harus mengandung zat-zat penghasil energi, yaitu protein, lemak dan karbohidrat. Selain itu, makanan juga harus mengandung vitamin, mineral, serat dan air yang diperlukan untuk proses fisiologi lainnya. Zat-zat makanan yang harus terdapat di dalam makanan disebut zat gizi atau nutrien (Mudjiman, 2004). 8 Pakan yang diberikan hendaknya mengandung protein yang sesuai. Protein merupakan nutrien yang penting dan diperlukan oleh ikan untuk pemeliharaan tubuh, pembentukan dan penggantian jaringan tubuh, penambahan atau sintesa protein tubuh, pembentukan hormon, enzim dan antibodi serta sebagai energi (Adelina et al, 2004). Faktor yang mempengaruhi jumlah makanan yang dimakan oleh ikan adalah: ukuran ikan, suhu, kualitas air, frekuensi pemberian makanan, jumlah makanan yang diberikan dan aroma makanan tersebut (Lovell, 1989). Effendie (1986) mengatakan bahwa makanan merupakan faktor yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan. Sedangkan jenis makanan ikan tergantung dari umur, tempat dan waktu. NRC (1993) menyatakan bahwa konsumsi makanan harian dipengaruhi oleh sejumlah faktor diantaranya ukuran ikan, jumlah makanan yang dimakan untuk sekali pemberian makanan, laju pengosongan lambung, suhu air, aktifitas ikan, jenis makanan yang dimakan dan ketersediaan organisme makanan. Menurut NRC (1993) makanan yang diberikan harus benar-benar dipertimbangkan karena makanan yang terlalu sedikit akan menghasilkan pertumbuhan ikan yang kurang. Sedangkan kelebihan makanan akan menyebabkan pencemaran dan metabolisme tidak efesien, makanan tidak dikonsumsi seluruhnya sehingga kualitas air akan menurun. Oleh sebab itu, frekuensi pemberian makanan yang tepat sangat diperlukan agar dapat meningkatkan efisiensi makanan. 2.3 Bakteri Probiotik Probiotik oleh Fuller (1987) didefinisikan sebagai produk yang tersusun oleh biakan mikroba atau pakan alami mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan mikroba saluran usus hewan inang. Probiotik dianggap menguntungkan karena menghambat kolonisasi intestinum oleh mikroba yang bersifat merugikan baik melalui mekanisme kompetisi nutrien maupun kompetisi ruang serta mampu memproduksi senyawasenyawa yang bersifat antimikrobial. Probiotik bersifat menguntungkan bagi 9 inangnya karena mampu memperbaiki nutrisi dengan memproduksi vitaminvitamin, detoksikasi pangan maupun melalui aktivitas enzimatis (Fuller, 1987). Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi mikrobiologis inang. Adapun Verschuere et al. (2000) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dan meningkatkan kualitas air. Probiotik merupakan pangan yang mengandung sejumlah bakteri yang memberikan efek yang menguntungkan kesehatan organisme, dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal, sehingga dapat memberikan keuntungan perlindungan, proteksi penyakit, perbaikan daya cerna (Prangdimurti, 2001). Probiotik tergolong dalam makanan fungsional, dimana bahan makanan ini mengandung komponen–komponen yang dapat meningkatkan kesehatan ternak dan mengefesiensikan pakan dengan cara manipulasi komposisi bakteri yang ada dalam pakan. Probiotik dalam media budidaya perikanan, berfungsi sebagai pengatur kondisi mikrobiologi di air atau sedimen, membantu atau memperbaiki kualitas air, meningkatkan keragaman mikroorganisme dalam air atau sedimen serta meningkatkan kesehatan ikan dengan menghambat efek bakteri patogen. Bakteri probiotik dapat meningkatkan kesehatan ikan dan memperbaiki kualitas air serta digunakan sebagai pakan tambahan sehingga dapat memacu pertumbuhan dan mencegah terjadinya serangan penyakit. Bakteri probiotik apabila masuk kedalam tubuh ikan, udang dan moluska akan berfungsi sebagai immunostimulan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap bakteri patogen (Susanto et al., 2005). Mekanisme kerja dari bakteri probiotik yaitu kemampuan probiotik untuk bertahan hidup dalam saluran pencernaan dan menempel pada sel-sel usus adalah sesuatu yang diinginkan. Hal ini merupakan tahap pertama untuk berkolonisasi, dan selanjutnya dapat dimodifikasi untuk sistem imunisasi/kekebalan hewan 10 inang. Kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus ini akan menyebabkan mikroba -mikroba probiotik berkembang dengan baik dan mikroba-mikroba patogen tereduksi dari sel-sel usus hewan inang, sehingga perkembangan organisme-organisme patogen yang menyebabkan penyakit tersebut dalam saluran pencernaan akan mengalami hambatan. Mikroorganisme probiotik mampu mengatur beberapa aspek dari sistem kekebalan hewan inang. Kemampuan mikroba probiotik mengeluarkan toksin yang mereduksi/menghambat perkembangan mikroba -mikroba patogen dalam saluran pencernaan, merupakan suatu kondisi yang dapat meningkatkan kekebalan hewan inang. Toksin yang dihasilkan tersebut merupakan antibiotik bagi mikroba patogen, sehingga penyakit yang ditimbulkan oleh mikroba patogen tersebut akan bekurang dan dapat hilang atau sembuh dengan sendirinya. Hal ini akan memberikan keuntungan terhadap kesehatan hewan inang sehingga tahan terhadap serangan penyakit. Probiotik sebagai agen pengurai dalam aplikasinya di dunia perikanan dapat digunakan baik secara langsung dengan ditebarkan ke air atau melalui perantara makanan hidup (live food). Menurut Shortt (1999) beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan probiotik dengan pengaruh postitif yang optimal bagi inangnya adalah: - Spesies bakteri probiotik merupakan mikroflora normal usus sehingga bakteri tersebut lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan usus. - Tidak bersifat patogen. - Memiliki kemampuan untuk menempel dan mengkolonisasi sel usus. - Memiliki aktivitas antagonistik terhadap mikroba patogen enterik. - Terbukti memiliki pengaruh yang menguntungkan pada kesehatan. - Bakteri probiotik diharapkan memiliki jumlah sel hidup yang besar (106 sampai 109) Bakteri probiotik yang ditambahkan ke pakan dapat berpengaruh terhadap kecepatan fermentasi pakan, fermentasi pakan mampu mengubah senyawa kompleks menjadi sederhana sehingga akan sangat membantu proses penyerapan makanan dalam saluran pencernaan ikan. Pakan yang ditambahkan bakteri 11 probiotik apabila masuk kedalam tubuh ikan, udang dan moluska juga dapat berfungsi sebagai immunostimulan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap bakteri patogen (Susanto et al., 2005). Irianto (2003) menyatakan bahwa probiotik dapat mengatur lingkungan mikrobia pada usus, menghambat mikroorganisme patogen dalam usus dan melepas enzim-enzim yang membantu proses pencernaan makanan. 2.3.1 Bakteri Bacillus Sp. Bacillus sp. merupakan jenis mikroorganisme probiotik yang sudah diteliti dan efektif terhadap produksi ikan. Bakteri ini berbentuk batang lurus 0,5-2,5 x 1,2-10 µm, tersusun berpasangan atau dalam bentuk rantai dengan bagian ujung sel membulat atau persegi. Bersifat aerob, endosporan bulat dengan sangat resisten pada kondisi yang sangat tidak menguntungkan (Soeharsono, 2010). Secara taksonomi Bacillus sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Mara et al., 1994): Gambar 2. Bacillus sp. Courtesy of Frederick C. Michel, ASM MicrobeLibrary Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Subclass : Bacillales Ordo : Bacillaceae Genus : Bacillus Spesies : Bacillus sp. 12 Menurut Holtj et al. (1994), Bacillus sp. merupakan bakteri Gram +, endospora oval, kadang-kadang bundar atau silinder dan sangat resisten pada kondisi yang tidak menguntungkan. Bakteri ini bersifat aerobik. Kemampuan fisiologinya beragam diantaranya sangat peka terhadap panas, pH dan salinitas, bersifat katalase dan oksidase positif, tersebar luas pada bermacam-macam habitat, sedikit jumlah spesies yang patogen terhadap vertebrata atau invertebrata. Habitat utama Bacillus sp. adalah lingkungan dan saluran pencernaan. Bakteri ini juga terlibat dalam pembusukan makanan, masuk ke saluran pencernaan melalui makanan. Teori yang baru muncul menyatakan spesies Bacillus muncul dalam suatu hubungan endosimbiotik dengan inang, bertahan dan berkembang biak dalam rongga pencernaan. Kelompok bakteri ini banyak ditemukan pada sedimen kolam, danau, sungai atau laut oleh sebab itu secara alami tertelan oleh hewan seperti udang, ikan, dan kerang yang makan di atau dari sedimen. Spesies Bacillus telah dengan mudah ditemukan pada ikan. Bacillus sp. berperan dalam proses pencernaan (penghasil enzim protease dan amilase), juga berperan sebagai penghambat pertumbuhan mikroba patogen yang hidup di saluran pencernaan. Faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan Bacillus sp. adalah suhu. Pencernaan ikan memiliki sifat efisiensi o pencernaan 5 sampai 10 kali lebih tinggi pada suhu 25 C di bandingkan pada suhu o 5 C. Bacillus sp. secara alami terdapat dimana-mana, dan termasuk spesies yang hidup bebas. Bacillus sp. menghasilkan enzim ekstraseluler seperti protease, lipase, amilase, dan selulase yang bisa membantu pencernaan dalam tubuh hewan (Wongsa dan Werukhamkul, 2007). Bacillus sp. mampu tumbuh pada temperatur 10-50° C, merupakan saprofit ringan yang tak berbahaya, mudah tumbuh dalam kerapatan tinggi. Bakteri Bacillus sp. (Gambar 2) memiliki kemampuan untuk pengontrolan bakteri patogen (Purwadaria et al, 2003). Atas dasar tersebut perlu diteliti bakteri Bacillus sp. hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan untuk dijadikan kandidat bakteri probiotik guna memacu pertumbuhan dan mencegah terjadinya serangan bakteri patogen pada benih ikan. 13 2.4 Proses Pencernaan Pencernaan merupakan proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih kecil, yaitu hidrolisa protein menjadi asam amino atau polipeptida sederhana dan karbohidrat menjadi gula sederhana serta dari lipid menjadi gliserol dan asam lemak. Proses pemecahan senyawa tersebut menghasilkan energi yang penting bagi kebutuhan sel, jaringan, organ dan makhluk hidup. Dalam proses pencernaan pakan melibatkan beberapa komponen, yaitu: bahan yang dicerna (pakan); struktur alat/saluran pencernaan (usus) sebagai tempat pencernaan dan penyerapan nutrien; dan cairan digestif (enzim: protease, lipase dan amilase) yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan (hati dan pankreas) serta dinding usus. Kinerja proses pencernaan dan penyerapan pakan inilah yang mempengaruhi ketersediaan nutrien dan energi untuk metabolisme sehingga berpengaruh bagi pertumbuhan (Mohanta et al. 2007). Pakan yang dimakan ikan lele akan melewati suatu sistem pencernaan. Pakan tersebut disederhanakan melalui mekanisme fisik dan kimiawi menjadi bahan yang mudah diserap, kemudian diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Pakan lele akan dicerna dalam saluran pencernaan. Saluran pencernaanya terdiri dari mulut, rongga mulut, esofagus, lambung, usus, dan dubur. Usus yang dimiliki ikan lele lebih pendek dari panjang badannya. Hal ini merupakan ciri khas jenis ikan karnivora. Sementara itu, lambungnya relatif besar dan panjang (Mahyuddin, 2011). Pencernaan bahan makanan secara fisik/mekanik dimulai dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam proses pemotongan dan penggerusan makanan. Selanjutnya, bahan makanan dicerna di lambung dan usus dengan adanya gerakan/kontraksi otot. Pencernaan secara fisik/mekanik pada segmen ini terjadi secara efektif karena adanya aktifitas cairan digestif (Mahyuddin, 2011). Proses pencernaan makanan dipercepat oleh sekresi kelenjar pencernaan. Adapun kelenjar pencernaan ikan lele terdiri dari hati dan juga berfungsi membentuk cairan empedu. Lambung dan usus juga dapat berfungsi sebagai kelenjar pencernaan. Kelenjar pencernaan ini menghasilkan enzim pencernaan 14 yang berguna dalam membantu proses penghancuran makanan. Kelenjar pencernaan pada ikan karnivora (ikan lele) menghasilkan enzim-enzim pemecah protein (Mahyuddin, 2011). Sistem pencernaaan erat kaitannya dengan aktifitas enzim didalam saluran pencernaan. Aktifitas enzim didalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu dan pH. Aktivitas enzim akan semakin meningkat dengan bertambahnya temperatur hingga temperatur optimum tercapai. Kenaikan temperatur di atas temperatur optimum akan menyebabkan aktivitas enzim menurun (Baehaki, 2008). Whitaker (1994) juga menyatakan bahwa suhu lingkungan yang meningkat di sekitar enzim akan menyebabkan putusnya ikatan hidrogen atau ikatan ion, sehingga struktur enzim akan berubah dan menyebabkan struktur lipatan enzim membuka pada bagian permukaan, sehingga sisi aktif enzim berubah dan mengakibatkan terjadi penurunan aktivitas enzim. Tingkat keasaman atau pH juga dapat mempengaruhi aktifitas enzim. Perubahan pH dapat menyebabkan denaturasi enzim sehingga dapat menimbulkan hilangnya fungsi katalitik enzim (Dick et al., 2000). Menurut Pelczar dan Chan (1986) pH merupakan salah satu faktor yang memiliki potensi untuk mempengaruhi aktivitas enzim, serta sangat erat kaitannya dengan fungsi aktif enzim, kelarutan substrat, dan ikatan enzim-substrat. 2.5 Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup adalah peluang suatu individu dalam waktu tertentu, sedangkan mortalitas adalah kematian yang terjadi pasa suatu populasi organisme yang menyebabkan berkurangnya jumlah individu di populasi tersebut (Effendie, 1986). Tingkat kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan yang dipelihara. Kelangsungan hidup benih ditentukan oleh kualitas induk, kualitas telur, kualitas air serta perbandingan antara jumlah makanan dan kepadatannya. Padat tebar yang terjadi dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat kelangsungan hidup suatu organisme, terlihat kecenderungannya bahwa makin 15 meningkat padat tebar ikan maka tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin kecil (Allen, 1974). Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, maka diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Peningkatan padat tebar ikan akan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan, artinya bahwa peningkatan padat tebar ikan belum tentu menurunkan tingkat kelangsungan hidupnya. Walaupun terlihat kecenderungan bahwa makin meningkat padat tebar ikan maka tingkat kelangsungan hidup makin kecil. Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan lele ratarata berkisar 73,5-86,0%. Kelangsungan hidup ikan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya kualitas air meliputi suhu, kadar amoniak dan nitrit, oksigen yang terlarut dan tingkat keasaman (pH) perairan, serta rasio antara jumlah pakan dengan kepadatan (Deptan, 1999). Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan lele yang perlu diperhatikan adalah padat tebar, pemberian pakan, penyakit, dan kualitas air. Meskipun ikan lele dapat bertahan pada kolam yang sempit dengan padat tebar tinggi tapi dengan batas yang tertentu. Begitu juga pakan yang diberikan kualitasnya harus memenuhi kebutuhan nutrisi ikan dan kuantitasnya disesuaikan dengan jumlah ikan yang ditebar. Penyakit yang menyerang biasanya berkaitan dengan kualitas air, sehingga kualitas air yang baik akan mengurangi resiko ikan terserang penyakit dan ikan dapat bertahan hidup. 2.6 Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan ukuran baik didalam ukuran berat, panjang maupun volume yang disebabkan oleh pertambahan waktu (Weatherley, 1972). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat genetik yang meliputi keturunan, umur, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Sedangkan faktor eksternal meliputi temperatur, kandungan oksigen dalam air, dan keasaman air (Huet, 1971). 16 Dua faktor yang paling penting dalam hubungannya dengan pertumbuhan adalah temperatur dan makanan. Kedua faktor tersebut tidak dapat dibedakan mana yang lebih penting. Ikan yang hidup didalam temperatur sangat rendah tidak mau makan meskipun diberi makanan yang banyak, sehingga tidak tumbuh. Sebaliknya ikan yang hidup dalam kisaran suhu optimum juga tidak dapat tumbuh jika kekurangan makanan (Alabaster dan Lloyd, 1980). Selanjutnya, Gerking (1978) menerangkan bahwa pertumbuhan ikan tergantung dari tersedianya dan perbandingan makanan yang dapat dicerna, karena tidak semua makanan yang dimakan dapat dicerna. Untuk membantu mencerna makanan didalam saluran pencernaan ikan dibutuhkan suatu enzim yang dapat membantu proses pencernaan. Salah satu yang dapat ditempuh ialah dengan penggunaan bakteri yang mampu menghasilkan enzim pencernaan. Salah satu bakteri yang diyakini mampu menghasilkan enzim yang membantu proses pencernaan ialah bakteri Bacillus sp. menurut Purwadaria (2003) bakteri Bacillus sp. memiliki kemampuan menghasilkan enzim pencernaan seperti protease dan amilase. Enzim pencernaan ini akan disekresikan oleh bakteri untuk kebutuhan bakteri itu sendiri dan secara langsung dapat meningkatkan tingkat kecernaan makanan didalam saluran pencernaan ikan dengan menghancurkan pakan yang dilakukan oleh bakteri Bacillus sp untuk memudahkan ikan dalam mencerna makanan. Sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan ikan lele dumbo yang optimal. 2.7 Kualitas Air Air sebagai tempat hidup ikan memegang peranan yang sangat penting dalam sistem budidaya lele secara intensif, baik kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas air dedefinisikan sebagai faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran tertentu. Kualitas air dalam suatu wadah budidaya banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor fisika, kimia dan biologis (Boyd, 1982). 17 Sifat atau kandungan fisika air adalah suhu, kekeruhan, dan warna air. Sifat atau kandungan biologi air adalah jenis dan jumlah jasad renik air seperti plankton yang hidup dalam air. Sedangkan sifat atau kandungan kimia air adalah oksigen, karbondioksida, pH, amoniak, dan alkalinitas yang berada dalam air. Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu parameter kualitas air yang penting. Rendahnya konsentrasi oksigen biasanya merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah yang sangat besar. Mempertahankan kondisi DO dalam kisaran normal akan membantu mempertahankan kesehatan ikan dan untuk memfasilitasi proses oksidatif kimiawi. Untuk itu, konsentrasi oksigen yang baik dalam budidaya perairan yaitu antara 5-7 ppm (Kordi dan Tancung, 2007). Kesuburan perairan juga ditentukan oleh pH, dimana perairan yang alkalis atau netral lebih produktif jika dibandingkan dengan perairan asam (Hickling, 1971). Power of Hidrogen (pH) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Air murni pada suhu 25˚C memiliki pH 7, titik mati asam pad pH 4, sedangkan titik mati basa pada pH 11 (Boyd, 1982). Perubahan pH pada umumnya menimbulkan stres pada ikan. Kemampuan air menahan perubahan pH kemungkinan besar lebih penting dari pada nilai pH itu sendiri dalam hubungannya dengan kesehatan ikan. Karena itu usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9,0 dan kisaran optimal adalah pH 7,5 – 8,7 (Kordi dan Tancung, 2007).