BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar adalah kerusakan jaringan karena kontak dengan agens, termal, kimiawi, atau listrik (Wong, 2008). Luka bakar tidak hanya akan mengakibatkan kerusakan kulit, tetapi juga mempengaruhi seluruh sistem tubuh pasien. Pada pasien dengan luka bakar luas (mayor) tubuh tidak mampu lagi untuk mengkompensasi sehingga timbul berbagai macam komplikasi yang memerlukan penanganan khusus (Effendi, 1999 dalam Rahmawati, 2009). Luka bakar yang disebabkan oleh agen termal adalah luka bakar yang paling sering terjadi (Betz dan Sowden, 2004). Luka akibat tersiram air panas merupakan salah satu contoh luka bakar termal yang biasanya menyebabkan luka pada sebagian lapisan kulit atau luka bakar derajat II. Luka bakar derajat II mengenai epidermis dan sebagian dermis yang menyebabkan kulit menjadi tidak elastis dan merah. Prevalensi kejadian luka bakar didunia adalah pada tahun 2007-2009 tercatat per 100.000 orang yaitu negara yang mempunyai prevalensi terendah adalah Singapura (0,05%) dan prevalensi tertinggi adalah Finlandia (1,98%) (The World Fire Data Statistic Center, 2012). Luka bakar dan cedera yang berhubungan dengannya masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di Amerika serikat. Wawasan klinik dan perawatan luka bakar 1 2 mengacu pada fisiologi cairan dan elektrolid, infeksi bedah, pemeliharaan nutrisi, pemantauan kardiopulmonar, dan perawatan luka, dimana taksatupun dapat diatasi sebagai kondisi-kondisi yang terpisah tanpa pemahaman proses penyakit secara keseluruhan (Schwartz, 2000). Terdapat sekitar 1,2 juta orang menderita luka bakar setiap tahunnya di Amerika serikat, sekitar 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 5000 orang meninggal. Angka mortilitas akibat luka bakar menurun sejak tahun 1971 hingga 40%. Hal ini terjadi karena kemajuan pengetahuan tentang resusitasi, perawatan luka, pengendalian infeksi, dan penatalaksanaan cedera inhalasi. Di Indonesia angka kejadian luka bakar cukup tinggi, lebih dari 250 jiwa per tahun meninggal akibat luka bakar. Jumlah anak-anak dan lansia cukup tinggi di Indonesia serta ketidak berdayaan anak-anak dan lansia untuk menghindari terjadinya kebakaran, maka usia anak-anak dan lansia menyumbang angka kematian tertinggi akibat luka bakar yang terjadi di Indonesia. Prevalensi luka bakar di Indonesia tahun 2008 adalah 2,2%. (Departemen Kesehatan RI, 2008). Penyembuahan luka merupakan suatu hubungan yang kompleks antara aksi seluler dan biokimia yang akan mengawali proses pemulihan integritas struktural dan fungsional dengan menumbuhkan kembali kekuatan pada jaringan yang terluka tersebut meliputi interaksi sel-sel berkelanjutan dan sel-sel matriks yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi, kontraksi luka, reepitelisasi, remodeling jaringan, dan pembentukan jaringan granulasi dengan angiogenesis. Normalnya perkembangan fase-fase penyembuhan luka 3 dapat diprediksi, sesuai dengan waktu yang diharapkan (Thakur, et al, 2011. Selama fase proliferasi, terdapat proses reparasi aktif dari jaringan yang rusak. Terbentuknya berbagai sitokin yang mengontrol pembentukan kolagen dan pembuluh darah baru. Fase ini disebut fase granulasi sebab gambaran luka yang sedang menyembuh menunjukan gambaran granular. Pada fase tersebut, luka mulai berkontraksi, kemudian berlanjut dan luka tertutupi oleh jaringan regeneratif sehingga mulai tampak lapisan permukaan kulit (epitelisasi). Reepitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi, migrasi, mitosis, dan diferensiasi sel epitel. Penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh re-epitelisasi, karena semakin cepat proses reepitelisasi maka semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka. Kecepatan dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat yang terdapat dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel baru pada kulit (Prasetyo, 2010). Kolagen merupakan protein matriks ekstraseluler yang berperan dalam formasi skar pada fase penyembuhan jaringan ikat (Rangaraj, 2011). Lebih dari 50% jaringan kulit terdiri dari kolagen (Friess, 1998). Sintesis kolagen pada fase proliferasi dapat optimal jika masa inflamasi tidak mengalami perpanjangan (Gauglitz, 2011). Sebuah penelitian oleh Novriansyah (2008) juga menyatakan bahwa tingginya densitas kolagen pada fase proliferasi merupakan tanda proses penyembuhan luka terjadi lebih cepat 4 dan menurunkan potensi terbentuknya skar yang buruk (Novriansyah, 2008). Pengembangan dan penelitian tentang metode perawatan luka telah mengalami banyak perubahan dari konsep tradisional berkembang mengalami perbaikan penambahan secara luas secara trial and error. Penerapan prinsip utama dalam perawatan luka utama dalam perawatan yang dari zaman Mesir sampai sekarang tetap digunakan yaitu pembersihan luka (wound cleansing), penutupan luka (wound closure), dan perlindungan luka (wound coverage), (Asmussen & Sollner , 1995 dalam Perdanakusumah DS, (1998). Pengetahuan tentang perawatan luka terutama dari pengalaman empiris, membawa perubahan perkembangan dari konsep tradisional menjadi modern dengan tidak meninggalkan fungsinya terus digali alternatif penggunaan produk untuk pengelolaan luka meliputi topical agent dan pembalut (dressing). Pengembangan topical agen melalui penelitian terutama yang berasal dari bahan alami (herbal) sebagai terapi alternatif terus dilakukan yang berhubungan dengan material perawatan luka yang tersedia. Material perawatan luka meliputi pembersihan (cleansing) penutupan (dressing) dan perlindungan terhadap luka. Hal tersebut mengupayakan terjadinya kondisi ideal luka supaya proses penyembuhan luka tidak mengalami gangguan (Asmussen & Sollner (1995) dalam Perdanakusumah DS, 1998). Terapi alternatif saat ini sudah diterima pada area pelayanan kesehatan dan sudah dibahas dalam literatur-literatur. Hal penting yang harus dingat dalam mempertimbangkan pilihan terapi alternatif pada perawatan luka 5 adalah didasarkan pada prinsip manajemen luka yaitu mengontrol dan mengurangi faktor penyebab, memberi dukungan pada sistemik dalam mengurangi keberadaan dan potensial kofaktor dan mempertahankan lingkungan pada area lokal luka serta adekuatnya asupan nutrisi (Rosland dkk, 2000 dalam Suriadi, 2007). Permasalahan yang dihadapi dalam penatalaksanaan luka bakar adalah proses inflamasi berkepanjangan menyebabkan kerapuhan jaringan yang menimbulkan diskonfigurasi struktur jaringan dan berakhir dengan deformitas bentuk dan gangguan fungsi. Hal ini dapat dicegah dengan penatalaksaan luka fase awal yang meliputi kehilangan dan atau kerusakan epitel maupun jaringan yang menjadi struktur di bawahnya (Moenajat, 2003). Seiring perkembangan zaman yang semakin canggih seperti sekarang ini, pemakaian dan pendayagunaan obat tradisional di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Penelitian-penelitian mengenai tanaman obat yang mulai meluas ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’araa ayat ke 7 : َ َ٧َاَمنَ ُك ِلَزَ ۡو ٖجَ َك ِر ٍيم َ ِ أ َ ََوَلَ ۡمَ َي َر ۡواَْ ِإلَىَٱ ۡۡل َ ۡر ِ ضَ َك ۡمَأ َ ۢنبَ ۡتنَاَ ِفي َه “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik” َّ يُ ۢن ِبتَُ َلَ ُكمَ ِب ِه َٱ َت َإِ َّن َِ ب َ َو ِمنَ ُك ِل َٱلث َّ َم َٰ َر ََ َل َ ََوٱ ۡۡل َ ۡع َٰن ََ ع َ ََوٱل َّز ۡيتُونََ َ ََوٱلنَّ ِخي ََ لز ۡر َ َ١١َ َفِيَ َٰذَ ِل َك ََۡل ٓ َي ٗة َِلقَ ۡو ٖمَ َيتَفَ َّك ُرون “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang 6 memikirkan”. Obat-obatan tradisional kembali digunakan masyarakat sebagai salah satu alternatif pengobatan, di samping obat-obatan modern yang berkembang di pasar. Berbagai obat tradisional telah diyakini memiliki khasiat untuk penyakit tertentu seperti tanaman Anredera cordifolia (Ten.) Steenis atau lebih sering dikenal sebagai binahong merupakan salah satu obat tradisional salah satunya digunakan untuk luka luar: luka operasi, luka tersayat, memar, luka bakar, borok, luka akibat kecelakaan, luka karena benda tajam (Rochani, 2009). Saat ini sedang ini sedang dikembangkan terapi luka bakar melalui pemberian topikal dengan ekstrak herbal (Gauglitz, 2011). Terapi topikal dinilai efektif mengatasi komplikasi luka bakar karena mudah diserap kulit dan fungsi melembabkan bertahan lebih lama (Friess, 1998). Terapi komplementer melalui pemberian topikal adalah terapi suportif untuk proteksi integumen, yang merupakan salah satu dari 14 komponen basic nursing care dalam teori keperawatan Virginia Handerson (Paker, 2001). Pemberian terapi suportif pada luka bakar dapat membantu mengatasi masalah keperawatan seperti kerusakan integritas kulit, nyeri akut, resiko infeksi, dan gangguan body image (Herdman, 2012). Teori basic nursing care memaparkan bahwa seorang perawat wajib mengetahui keilmuan dasar yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk dari segi anatomi biologi untuk mendukung kemampuan perawat pada proses peningkatan kesehatan pasien, dalam hal ini yaitu meminimalisir terjadinya 7 skar akibat luka bakar (Parker, 2001). Teori tersebut sejalan dengan peran perawat dalam Permenkes (2010), yang menyebutkan bahwa pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer merupakan area praktik perawat, sehingga penelitian terkait dengan topikal untuk perawatan luka perlu dikembangkan (Snyder, 2010). Setiap tanaman memproduksi senyawa kimia yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri, seperti dalam daun binahong mempunyai kandungan Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein extraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri. Antibakteri merupakan zat yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dengan penyebab infeksi. Infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme yang patogen, dimana mikroba masuk ke dalam jaringan tubuh dan berkembang biak di dalam jaringan. Di antara bakteri yang dapat menyebabkan infeksi adalah Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis atau sepsis dengan supurasi di tiap organ (Jawetz et al, 2001). Adanya senyawa flavonoid, dimana secara farmakologi senyawa flavonoid berfungsi sebagai zat anti inflamasi, anti oksidan, analgesik dan anti bakteri. sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat tanaman binahong sebagai obat antibiotik alami terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus (Manoi, dkk., 2009). Penelitian mengenai aktivitas antibakteri daun Binahong dan kandungan metabolit sekundernya pernah dilakukan, bahwa dalam simplisia 8 daun Binahong terkandung senyawa alkaloid, polifenol dan saponin (Hidayati, 2009). Menurut Tshikalange, dkk, (2007), ekstrak air akar Binahong dengan dosis 50 mg/ml memiliki daya hambat terhadap bakteri Gram-positif (B.pumilus,B.subtilis dan S.aureus) serta bakteri Gram-negatif (Enterobacter cloacae, E.coli, Klebsiellapneumonia, Serratia marcescens, dan Enterobacter aerogenes) pada dosis 60 mg/ml, tetapi tidak pada bakteri B.sereus. Penggunaan daun binahong untuk menyembuhkan luka bakar dapat dipermudah dengan membuat dalam bentuk sediaan seperti salep, krim dan gel. Pada penelitian ini menggunakan sediaan salep karena memiliki beberapa kelebihan seperti sebagai pelindung untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan rangsang kulit, stabil dalam penggunaan dan penyimpanan, mudah dipakai, mudah terdistribusi merata, sebagai efek antiinflamasi dalam inflamasi akut yang dapat menyejukkan dan sebagai vasokonstriksi, dan sebagai efek proteksi terhadap iritasi mekanik, panas, dan kimia (Ansel, 1985). Salep adalah bentuk sediaan yang lunak, tidak bergerak dan tergolong sediaan semi padat, biasanya mengandung obat untuk pemakaian pada kulit atau pada membran mukosa. Sediaan semi padat terdiri dari salep, krim, pasta, jeli. Dasar salep berminyak terdiri dari minyak hidrofob seperti vaselin. Sifat dasar salep ini: tidak mengandung air, hidrofob, tidak larut air, tidak tercuci oleh air. Salep basis tercuci bersifat anhidrus, larut dalam air dan mudah dihilangkan dari kulit dengan dicuci dengan air (Anief, 1997). Dalam 9 penelitian ini menggunakan salep ekstrak daun binahong karena telah terbukti memiliki efek antinflamasi, antimikroba dan antioksidan (Niswah, 2013). Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikaji lebih lanjut dan dilakukan penelitian tentang pengaruh perawatan secara topikal dengan salep ekstrak daun binahong dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal. Dipilih sediaan salep karena salep memiliki fungsi sebagai bahan pembawa obat-obat topikal, bahan pelumas kulit dan sebagai pelindung kulit. B. Rumusan Masalah Kemajuan dan perkembangan dibidang keperawatan komplementer terus digalakkan, sehingga perawatpun berpartisipasi secara aktif dalam kajian ilmiah dengan pengembangan penelitian-penelitian khususnya dibidang woundcare, baik cleansing, debridemant teknik dressing, terus diberkembang sesuai dengan kemajuan dan pengembangan kemajuan dibidang keperawatan dan kesehatan sesuai dengan tuntutan jaman dan masyarakat sebagai konsumen.. Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas dapat, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut “Apakah perawatan secara topikal dengan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal pada tikus putih (Rattus novergicus).?” C. Tujuan Penelitian 10 1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh perawatan secara topikal dengan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal pada tikus putih (Rattus novergicus). 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi perawatan secara topikal dengan Silver sulfadiazin cream dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal pada tikus putih (Rattus novergicus). b. Mengidentifikasi perawatan secara topikal dengan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) konsentrasi 10 %, 20% dan 40% dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal pada tikus putih (Rattus novergicus). c. Mengidentifikasi gambaran histologi perawatan secara topikal dengan salep ektrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) konsentrasi 10 %, 20% dan 40% dalam meningkatkan ketebalan kolagen, epiteliasasi dan angiogenesis pada proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal pada tikus putih (Rattus novergicus). d. Membandingkan proses penyembuhan luka bakar derajat II karena termal yang dirawat dengan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) (10%, 20%, 40%), Silver sulfadiazine cream dan dasar salep pada tikus putih (Rattus novergicus). e. Membandingkan gambaran histologi proses penyembuhan luka bakar 11 derajat II karena termal yang dirawat dengan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) (10%, 20%, 40%), Silver sulfadiasin cream dan dasar salep pada tikus putih (Rattus novergicus) D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Melalui penelitian ini, peneliti dapat menambah pengetahuan serta wawasan tentang perawatan luka bakar, salep ekstrak daun binahong dan proses-proses penelitian. 2. Bagi profesi keperawatan a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien yang memerlukan perawatan luka pada umumnya, secara khusus untuk luka bakar derajat II yang disebabkan akibat termal b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan dibidang Ilmu Keperawatan pada khususnya dibidang wound dressing dan ilmu kesehatan pada umumnya. 3. Bagi Masyarakat Memberikan informasi pada masyarakat mengenai manfaat daun binahong sebagai alternatif terapi unttahui perawatan luka bakar derajat II karena termal. 4. Bagi Rumah Sakit 12 Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar ilmiah dalam perawatan luka bakar dengan herbal yang efisien dan efektif dirumah sakit. 5. Bagi peneliti lain Sebagai dasar penelitian lain untuk mengembangkan dan melakukan penelitian tentang variasi sediaan dari binahong terhadap luka bakar pada khususnya dan berbagai jenis luka pada umumnya. E. Penelitian terkait 1. Penelitian Annisa Nur Muslimah. (2007) .Uji Aktivitas Antibakteri Ekstra Air Daun Binahong (Anredera Scandens (L.) Moq.) Terhadap Bakteri Klebiella Pneumoniae Dan Bacillus Subcutis ATCC 6633 Beserta Skrining Fitokimianya Dengan Metode Uji Tabung. Penelitian dibagi dalam dua pengujian, yaitu uji bakteri dan skrining fitokimia dengan metode uji tabung. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan dua metode yaitu difusi agar untuk mengetahui besar aktivitas hambatannya dan dilusi cair untuk mengetahui nilai KHM (Kadar Hambat Minimum) yang dilanjutkan dengan uji konfirmasi dengan penggoresan di media agar untuk mengetahui nilai KBM (Kadar Bunuh Minimum). Pengujian aktifitas antibakteri dilakukan pada kadar 100% b/v, 75% b/v, 50% b/v, 25 % b/v, dan 12,5% b/v. Berdasarkan penelitian uji aktivitas anti bakteri dengan mengunakan metode difusi agar, diperoleh hasil bahwa ekstra air daun tanaman binahong, memiliki aktivitas penghambat terhadap bakteri B. Subtilis, 13 tetapi tidak memiliki aktivitas penghambat terhadap bakteri K. Pneumoniae. Aktivitas penghambat terhadap bakteri subtilis tersebut terlihat pada kadar 25% b/v, 50% b/v, 75% b/v dan 100% b/v. Sementara itu, dengan metode dilusi cair, KHM terlihat ada kadar 75% b/v untuk B.Subtilis dan tidak terlihat pada semua kadar untuk B.Pneumoniae. Setelah dilakukan uji konfirmasi KNM dengan penggoresan pada agar, terlihat masih adanya pertumbuhan bakteri, baik B pneumoniae maupun B. Subtilis. Berdasarkan skrining fitokimia dengan menggunakan metode uji tabung, diperoleh hasil bahwa daun binahong mengandunng senyawa alkaloid. 2. Penelitian Niswah Paju. (2013). Uji Efektivitas Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas salep ekstrak daun Binahong pada luka yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus dan untuk mengetahui perbedaan efektivitas salep ekstrak daun Binahong sebagai antibakteri dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40%. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental. Subjek penelitian berupa kelinci berjumlah 5 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, kontrol positif, salep ekstrak daun Binahong 10%, salep ekstrak daun binahong 20% dan salep ekstrak daun Binahong 40% dengan membuat luka infeksi pada punggung kelinci dengan panjang luka yang dibuat 2,5 cm. Hasil dari penelitian dan hasil analisis statistik bahwa salep 14 ekstrak daun Binahong memiliki efektivitas pada penyembuhan luka yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus dan terdapat perbedaan efektivitas pada setiap kosentrasi. Konsentrasi salep ekstrak daun Binahong 10% telah memberikan efek penyembuhan, sedangkan pada konsentrasi 20% dan 40% memberikan efek penyembuhan yang lebih efekif. Perbedaan dengan penelitian sekarang terletak pada jenis maupun jumlah sampel serta variabel dependennya dimana penelitian terdahulu menggunakan kelinci yang berjumlah 30 ekor yang di buat luka infeksi sedang penelitian sekarang menggunakan 35 ekor tikus putih dan dibuat luka bakar derajat II karena termal. 3. Penelitian Miladia Inatin.(2012). Ekstrak etanol daun Anredera cordifolia (Ten.) Steenis (Basellaceae) memperbaiki penyembuhan luka pada marmut. Penyembuhan luka merupakan suatu proses normal sebagai respon adanya cidera pada jaringan kulit. Secara tradisional Anredera cordifolia (Ten.) Steenis sering digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, termasuk penyakit kulis, hipertensi, peradangan dan gout. Penelitian ini bertujuan untuk menilai aktivitas penyembuhan luka daun binahong atau Anredera cordifolia (Ten.) Steenis terhadap luka eksisi buatan pada marmut. Sebanyak 30 ekor marmut (umur 3-4 bulan, berat 1,5-2 kg dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok I diberi olesan akuades (kontrol negatif), kelompok II diberi povidone iodine 10% (kontrol positif), kelompok III-V diberi ekstrak 15 etanol daun binahong dengan konsentrasi masing-masing 10%, 20%, dan 40%. Pada seluruh hewan uji dibuat luka eksisi sepanjang 2 cm, dan dioleskan perlakuan sesuai kelompoknya, dua kali sehari selama 15 hari. Pada akhir hari ke-15, diukur penyembuhan luka dari tiap kelompok (dalam persen, dibandingkan dengan luka awal). Data persen penyembuhan luka dianalisis dengan Anova satu jalan untuk melihat adanya perbedaan antar kelompok perlakuan Studi menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun binahong mampu menyembuhkan luka mulai konsentrasi 20%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, efek penyembuhan luka semakin besar. Uji statistik menunjukkan bahwa pada kelompok ekstrak etanol konsentrasi 20% dan 40%, terdapat perbedaan signifikan dengan kontrol negatif (akuades) (p=0,000), maupun kontrol positif (p=0,000). Ekstrak etanol daun binahong mampu menyembuhkan luka lebih baik daripada povidone iodine. Daun binahong berpotensi pada penyembuhan luka. Perbedaan dengan penelitian sekarang terletak pada jenis maupun jumlah sampel serta variabel dependennya dimana penelitian terdahulu menggunakan marmut yang berjumlah 30 ekor yang di buat luka eksisi sedang penelitian sekarang menggunakan 35 ekor tikus putih dan dibuat luka bakar derajat II karena termal. 4. Yi yan lee (2012). Daya Hambat Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)Terhadap Poli Bakteri Pada Stomatitisaftosa Rekuren (SAR). 16 Binahong memiliki beragam khasiat, salah satu merupakan antibakteri karena Binahong mengandung senyawa kimia yaitu flavonoid, terpenoid, saponin dan minyak atsiri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui daya hambat ekstrak daun Binahong terhadap polibakteri pada SAR. Metode penelitian ini dilakukan dengan penderita laki-laki, 21 tahun yang memiliki stomatitis aftosa rekuren, ukuran lesi ulser adalah sekitar 8mm dan penderita tidak memiliki penyakit sistemik. Lesi diusap dengan cotton bud yang steril. Cotton bud tersebut kemudian diinkubasi dengan teknik spreading pada Muller Hinton agar supaya bakteri tumbuh. Ekstrak daun binahong diencerkan dengan konsentrasi yang berbeda yaitu: 100%, 50%, 25%, 12.5%, 6.25%, 3.125%. Paper disc yang sterile kemudian dicelupkan ke dalam ekstrak daun binahong dan diletakkan pada media agar yang ada bakteri. Setelah 24jam dengan suhu 37 derajat celcius, pembentukan daya hambat diukur. Hasil. Konsentrasi hambat minimal dalam penelitian ini didapatkan pada pemberian ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 6.25%. Simpulan. Ekstrak daun Binahong pada penelitian ini dapat menghambat pertumbuhan polibakteri SAR. Perbedaan dengan penelitian yang sekarang adalah terletah pada jenis dan jumlah sampel, variabel independent dan variabel dependennya. 5. I Gede Oka Darsana. (2012). Potensi Daun Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steenis) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli secara In Vitro. Penelitian ini menguji respon Escherichia coli ATCC kode (Tipe 17 Koleksi Budaya Amerika) 25922 diperoleh dari Daerah Laboratorium binahong daun jus dengan uji penentuan kemampuan penghambatan pertumbuhan Escherichia coli oleh standar Kirby-Bauer disc menggunakan lima perlakuan yaitu ekstrak daun binahong (0%, 25%, 50%, 75% dan 100%) dan negatif kontrol NaCl fisiologis 0,9% dan kontrol positif dengan oksitetrasiklin dengan pengulangan sebanyak empat kali. Reaksi penghambatan pertumbuhan Escherichia coli dengan ekstak daun binahong dan antibiotik ditunjukkan oleh pembentukan daerah penghambatan selanjutnya diukur sebagai diameter lingkaran penghambatan. Data diperoleh, akan diuji dengan Analisis Ragam (Uji F), dilanjutkan dengan uji Duncan pengolahan data kemudian dapat melanjutkan untuk menentukan analisis regresi. Dan semua data diolah dengan menggunakan SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) pada konsentrasi 0% menunjukkan resistivitas rata-rata (0,000 mm), konsentrasi 25% (7,225 mm), konsentrasi 50% (8,325 mm) konsentrasi 75% (10,125 mm) dan konsentrasi 100% (12,325 mm). Selain itu, jus daun binahong dapat menghambat pertumbuhan Escherichia Coli ATCC 25922, dan daun binahong jus signifikan secara statistik (P <0,01) terhadap bakteri Escherichia coli dan ada perbedaan yang sangat signifikan (P <0,01) pada setiap diameter konsentrasi. Selain itu, peningkatan konsentrasi jus daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) meningkatkan 18 penghambatan terhadap pertumbuhan Escherichia coli secara in vitro. 6. Rahmawati Lina (2012). Isolasi, Identifikasi Dan Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Daun binahong mengandung flavonoid yang menunjukkan aktivitas antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengisolasi, mengidentifikasi dan menguji aktivitas antioksidan senyawa flavonoid daun binahong. Penelitian dimulai dengan isolasi senyawa flavonoid yang dilakukan dengan cara maserasi, partisi, kromatografi kolom, KLT preparatif, uji kemurnian dilakukan dengan KLT dan Identifikasi struktur flavonoid dengan menganalisis isolat flavonoid menggunakan spektroskopi UV-vis dengan pereaksi geser. Tahap kedua aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Besarnya aktivitas antioksidan ditentukan dengan nilai IC50. Isolat Flavonoid dari Ekstrak Etil asetat daun Binahong berupa serbuk yang berwarna kuning pucat. Berdasarkan karakterisasi menggunakan spektrometer UV-vis dengan pereaksi geser diusulkan isolat adalah 3, 5, 3’,4’- tetrahidroksiflavonol. Aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat dan fraksi C memiliki nilai IC50 sebesar 1458,5 ppm dan 3230,8 ppm. Hasil ini menunjukan bahwa ekstrak etil asetat dan fraksi C daun binahong mempunyai aktivitas rendah sebagai antioksidan. Perbedaan dengan penelitian yang sekarang terletak pada tujuan, sampel, variabel dependen maupun variabel independen serta metode penelitiannya. 7. S.H.Yuliani.(2012). Efektifitas Gel Ekstrak Daun Binahong Terhadap 19 Proses Penyembuhan Luka. Binahong (Anredera Cordifolia (Ten) Steenis) telah digunakan sebagai penyembuhan luka dalam pengobatan tradisional Indonesia dan relevan untuk mengembangkan bentuk sediaan binahong menggunakan pendekatan formulasi teknologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyembuhan luka formula gel ekstrak etanol Binahong. Desain faktorial Metode 3 faktor dan II tingkat dipekerjakan untuk mencapai studi ini. Tiga faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Carbopol, Na-CMC dan Ca-alginat dengan tingkat rendah dan tinggi untuk masing-masing faktor. Penyembuhan luka gel ekstrak etanol Binahong dievaluasi untuk viskositas yaitu sifat fisik mereka, spreadability, extrudability dan sifat bioadhesive. Hasil dari penelitian ini adalah carbopol dan Ca-alginat yang mempengaruhi sifat fisik gel penyembuhan luka ekstrak etanol Binahong. Na-CMC mempengaruhi sifat fisik gel kecuali sifat bioadhesive. Carbopol memberikan kontribusi terbesar terhadap viskositas, extrudability spreadability, dan sifat bioadhesive gel. Perbedaan dengan penelitian sekarang terletak pada metode penelitian, sample dan variabel dependennya. 8. Arliek Rio Julia (2012) ”Pengaruh Ekstrak Biji Kedelai (Glycine Max) 20 Terhadap Ketebalan Granulasi Fase Proliferasi Pada Perawatan Luka Bakar Derajat IIa Tikus (Rattus novergicus) Galur Wistar” Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan memerlukan penanganan secara tepat. Penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase, salah satunya fase proliferasi dimana terjadi pertumbuhan jaringan granulasi. Pembentukan ketebalan jaringan granulasi harus maksimal untuk membantu proses penyembuhan luka. Ekstrak biji kedelai (Glycine max) merupakan alternatif bahan yang dapat digunakan untuk perawatan luka bakar karena memiliki efek antiinflamasi dan estrogen-like. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji kedelai terhadap ketebalan granulasi fase proliferasi pada perawatan luka bakar derajat IIA tikus (Rattus novergicus) galur wistar. Studi eksperimental menggunakan Control Group Post Test Design dengan sampel yang dipilih secara random menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok NS 0,9%, ekstrak biji kedelai konsentrasi 40%, 60%, dan 80%. Semua sampel diinduksi dengan luka bakar derajat IIA dan dilakukan perawatan selama 15 hari. Analisis data pada variabel menggunakan uji One Way Anova dengan p = 0,049 (p < 0,05). Uji Post Hoc menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, akan tetapi terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan ekstrak biji kedelai 60% dengan kelompok perlakuan ekstrak 21 biji kedelai 80% dengan p = 0,038 (p < 0,05). Kesimpulan pada penelitian ini yaitu perawatan luka bakar menggunakan ekstrak biji kedelai berpengaruh terhadap ketebalan granulasi. Perbedaan dengan penelitian saat ini adalah pada metode, jumlah sample dan sediaan yang digunakan. 9. Arif Mz (2012) “Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar dengan Pemberian Madu dan Pemberian Gentamisin Topikal pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus)” Madu diduga berperan sebagai antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan sebagai penanganan korban luka bakar. Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat kesembuhan luka bakar dengan pemberian madu dan gentamisin topikal. Pada penelitian menggunakan 9 ekor tikus jantan galur Spraque dawley dijadikan subyek penelitian. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok secara random yaitu: K1 (kontrol), K2 (madu 100%), K3 (Gentamisin Topikal Gel 0,1%×10gr) setelah 14 hari pengamatan. Dari hasil penelitian luka bakar pada kulit tikus menunjukann rata-rata kesembuhan kulit secara histopatologis pada K1, K2, dan K3 adalah 0,817±2,57, 0,774±4,23, dan 0,691±4,27 dengan nilai P=0,001 pada uji Kruskal-Wallis. Pada analisa Mann-Whitney test nilai p pada tiap kelompok adalah: antara K1 dan K2 p=0,001 kemudian K1 dan K3 p=0,001, untuk uji kelompok K2 dan K3 p=0,936. Pada hasil uji klinis didapat rata-rata 50,70±15,28 pada K1, 94,48±6,07 pada K2 dan K3, 92,14±6,85. Pada uji ANOVA didapatkan p=0,039, dilanjutkan pada uji post hoc terdapat perbedaan bermakna pada 22 kelompok K1 terhadap kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,001. Dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,585. Simpulan, madu dapat dijadikan sebagai obat alternatif pada luka bakar sebagai pengganti antibiotik gentamisin topikal, terutama di daerah terpencil. Perbedaan dengan penelitian saat ini adalah metode, jumlah sampel dan sediaan.