UJI TOKSISITAS AKUT DEKOKTA Orthosiphon stamineus, Benth TERHADAP DAYA TETAS DAN MALFORMASI ORGAN EMBRIO Danio rerio Hilda Nur Ainia, Arief Heru,Zainul Fadli Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang email : [email protected] Abstract. Nearly 10% of pregnant women suffer hypertension. Hypertension is a disease whose prevalence is highest in Indonesia and a major cause of death of patients. Treatment of hypertension in pregnant women should be very careful because it can be risky to mother and her fetus. Orthosiphon stamineus, Benth has been tested in preclinical and antihypertension was included inside of it, but the toxicological data related to it are still low. Previous research showed that some of the substances contained in Orthosiphon stamineus, Benth can be toxic to the body. This study aims to determine the toxic effects of decocta Orthosiphon stamineus, Benth through an assessment of hatching rate and organ malformation of Danio rerio embryos. Decocta Orthosiphon stamineus, Benth at a dose of 83 mg / ml, 381 ug / ml and 870 pg / ml presented in Danio rerio embryos aged 5.25 to 72 hours post fertilization. Hatching rate is calculated by using hatch ability formula, while organ malformation was captured by using microscope stereo , then the toward embryo vertebra is calculated by using busur derajat. Data analysis were using one-way ANOVA with significant values (p<0.05). Decocta Orthosiphon stamineus, Benth at a dose of 381 ug / ml and 870 pg / ml are able to decrease hatching rate significantly (p <0.05) in approximately 50% and 30% and it also could deflect the angle of towards embryo vertebra significantly (p <0:05) around 12º and 62º compared with the control group. Keywords. Pregnant women with Hypertension , Orthosiphon stamineus,Benth, hatching rate, malformation, zebrafish (Danio rerio) Hampir 10% wanita hamil mengalami hipertensi.1 Hipertensi adalah penyakit yang prevalensinya tertinggi di Indonesia dan menjadi penyebab utama kematian pasien.2 Ibu hamil yang mengalami hipertensi dapat meningkatkan terjadinya resiko komplikasi kehamilan.3 Demikian pula pengobatan hipertensi pada ibu hamil harus sangat hati-hati karena bisa beresiko terhadap ibu dan janinnya, jenis obat antihipertensi seperti (ACE) inhibitor dan Angiotensin type 2 receptor blocker (ARB) tidak boleh digunakan selama kehamilan karena berpotensi menyebabkan fetal defect.4 Bangsa Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal dan menggunakan tanaman yang berkhasiat sebagai obat untuk berbagai penyakit sejak berabad-abad yang lalu.5 Salah satu tanaman yang berkhasiat obat tersebut adalah kumis kucing (Orthosiphon stamineus, Benth) sebagai obat antihipertensi melalui efek diuretiknya.6 Meskipun herba kumis kucing (Orthosiphon stamineus, Benth) banyak digunakan masyarakat sebagai tanaman yang berkhasiat obat namun data toksikologinya masih sangat sedikit, beberapa penelitian sebelumnya mengatakan bahwa kumis kucing dapat menyebabkan genotoksik, keabnormalan skeleton, mutasi dan kematian embrio.7,8 Keamanan penggunaan herba kumis kucing perlu dievaluasi dengan menggunakan uji toksisitas. Uji teratogenik adalah bagian dari uji toksikologi khusus yang dapat memprediksi adanya malformasi yang mungkin timbul pada janin akibat paparan suatu zat.9 Pengujian ini ditujukan untuk menilai keamanan penggunaan herba kumis kucing pada kasus hipertensi kehamilan.Uji toksisitas tanaman obat bisa menggunakan embrio ikan zebra karena memiliki beberapa keunggulan diantaranya embrio mudah didapat, transparan dan perkembangan embrio ikan zebra terjadi di luar tubuh induknya sehingga mudah untuk diamati perkembangan organnya.10 Hilda Nur Ainia, UJI TOKSISITAS AKUT DEKOKTA Orthosiphon stamineus, Benth TERHADAP DAYA TETAS Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan uji teratogenik dekokta Orthosiphon stamineus, Benth terhadap embrio ikan zebra yang diamati berdasarkan daya tetas dan malformasi tulang belakang embrio ikan zebra. METODE PENELITIAN 2.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan menggunakan desain control group post test only secara in vitro pada embrio ikan zebra yang bertujuan untuk mengetahui efek toksik akut dari ekstrak dekokta Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus) melalui pengamatan daya tetas dan morfologi pada embrio ikan zebra. 2.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang, pada bulan April sampai Juli 2015. 2.3 Kelayakan Etik Penelitian ini telah mendapatkan surat laik etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya pada tanggal 10 Juni 2015 dengan nomor 343/EC/KEPK-S1-PD/06/2015. 2.4 Sampel Penelitian Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah embrio ikan zebra berjumlah 20 embrio pada setiap kelompok yang ditempatkan pada 24 well plate dengan 1 embrio per well. Pada penelitian ini terdiri dari 4 kelompok perlakuan, sehingga jumlah total sampel yang digunakan sebanyak 80 embrio. 2.5 Alat dan Bahan Penelitian Pemeliharaan Ikan Zebra Dewasa Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ikan zebra diantaranya ikan zebra dewasa, makanan ikan (artemia, TetraMin), aquarium terstandar, air pure it, aerator, tumbuhan air (hydrilla), heater dan lampu fluoresen (20 watt, warna putih).11 Pemijahan Ikan Zebra Alat dan bahan yang digunakan untuk pemijahan ikan zebra yaitu ikan zebra dewasa umur 4 bulan (jantan dan betina), aquarium terstandar, air aqua yang telah di pure it, tumbuhan air (hydrilla), aerator, penutup cahaya, spawning or egg trap dan lampu fluoresen (20 watt, warna putih).11,12 Ekstraksi Herbal Orthosiphon stamineus, Benth Alat-alat yang dibutuhkan adalah aquades pH 7, panci dekoktasi, thermometer alkohol, spatula, timbangan digital Dhaus Pioneer PA214210, gelas ukur 500 ml, vakum, kertas saring, Alumunium foil, kompor listrik, dan simplisia Orthosiphon stamineus, Benth dengan beberapa dosis. Pembuatan Cairan Embrionik Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan cairan embrionik diantaranya MgSO4 0,815 g, NaCl 5 g, KCl 0,15 g, Aquades 500 ml, tabung erlemeyer 1000 ml, spatula dan timbangan digital Dhaus Pioneer PA214210. Pengambilan dan pemeriksaan Embrio Ikan Zebra Alat dan bahan pengambilan dan pemeriksaan embrio ikan zebra yaitu aquades, inkubator dengan suhu 280 C, Dissposible pipette, cawan petri, well-plate (24 well), handscoon, asturo warna hitam, mikroskop stereo merk olympus yang terhubung dengan komputer dan dioperasikan menggunakan software Honestech vhs to dvd 2.5 se, dekokta herbal Orthosiphon stamineus dan larutan embrionik (disimpan dalam refrigator 4-8ºC) stok 10x. 2.6 Tahap Penelitian Pembuatan Ekstrak Dekokta Herbal Orthosiphon stamineus, Benth diperoleh dari Balai Materia Medika Batu dalam bentuk simplisia dan telah disertifikasi dengan nomer surat 074/ 480/ 101.8/2014 . Simplisia Orthosiphon stamineus, Benth di ektraksi menggunakan metode dekoktasi. Hasil dekokta disaring dan dipaparkan pada embrio ikan zebra kelompok perlakuan. 129 | Page Jurnal Kedokteran Komunitas Penentuan Dosis Dosis yang digunakan adalah dosis terapi, MATC dan LC50. Dosis terapi diperoleh dari hasil konversi penggunaan herbal kumis kucing pada manusia ke embrio ikan zebra, dosis LC50 diperoleh dari hasil penelitian Dewanti,2015 sedangkan dosis MATC diperoleh dari rumus MATC=√πππΈπΆ. (πΏππΈπΆ ).13 Pengukuran Daya Tetas Embrio ikan zebra dipapar dekokta Orthosiphon stamineus, Benth (DOs) pada umur 5,25 jam paska fertilisasi sampai akhir masa penetasan (72 jam paska fertilisasi).14 Daya tetas embrio ikan zebra diamati pada kelompok kontrol (KN), kelompok dosis terapi 83 µg/ml (P1), kelompok dosis MATC 381 µg/ml (P2) dan kelompok dosis LC50 870 µg/ml (P3). Daya tetas dihitung menggunakan rumus daya tetas yaitu jumlah embrio yang menetas pada jam ke-72 dibagi jumlah total embrio pada awal pengamatan dikalikan 100%.15 Pengamatan Perubahan Morfologi Malformasi organ embrio diamati pada kelompok kontrol (KN), kelompok dosis terapi 83 µg/ml (P1), kelompok dosis MATC 381 µg/ml (P2) dan kelompok dosis LC50 870 µg/ml (P3) pada jam ke-72 paska fertilisasi menggunakan mikroskop stereo merk Olympus yang terhubung dengan komputer dan dioperasikan menggunakan software Honestech vhs to dvd 2.5 se, kemudian gambar dicetak di atas kertas HVS dan kelengkungan tulang belakangnya diukur menggunakan busur derajat.16 Analisa Data Daya tetas dan malformasi organ dilakukan uji normalitas dan homogenitas, kemudian di analisa menggunakan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan Post Hoc Test menggunakan SPSS versi 18,0. HASIL PENELITIAN Karakteristik Sampel Hewan coba yang digunakan adalah embrio ikan zebra berusia 5,25 jam paska fertilisasi. Jumlah total 80 embrio yang terbagi ke dalam 4 kelompok yaitu kelompok kontrol (KN), kelompok P1 dengan DOs dosis terapi (83 µg/ml), kelompok P2 dengan DOs dosis MATC (381 Page | 130 Volume 3, Nomor 1, Desember 2015 µg/ml) dan kelompok P3 dengan DOs dosis LC50 (870 µg/ml) yang diberikan secara in vitro. Embrio diletakkan ke dalam 24 well-plate dengan satu embrio per well. Perlakuan diberikan sampai embrio berusia 72 jam paska fertilisasi dan suhu inkubator dipertahankan pada 27ºC. Adapun ringkasan karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Sampel Kelompok Usia awal embrio Jumlah embrio per-kelompok perlakuan Jumlah embrio per-well Lama perlakuan Suhu lingkungan Cara pemberian herbal Dosis herbal per-kelompok Satuan K0 P1 P2 P3 hpf 5,25 5,25 5,25 5,25 Ekor 20 20 20 20 Ekor 1 1 1 1 hpf 72 72 72 72 ºC 27 27 27 27 - - Invitro Invitro Invitro µg/ml - 83 381 870 Keterangan: K0 : Kelompok kontrol ( tanpa perlakuan ) P1 : Kelompok perlakuan 1 ( DOs dosis terapi 83 µg/ml ) P2 : Kelompok perlakuan 2 (DOs dosis MATC 381 µg/ml) P3 : Kelompok perlakuan 3 (DOs dosis LC50 870 µg/ml) Efek Dekokta Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus, Benth) terhadap Daya Tetas Embrio Ikan Zebra (Danio rerio) Perbandingan hasil rerata daya tetas embrio ikan zebra pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang dipapar dekokta Orthosiphon stamineus, Benth (DOs) dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 1. Tabel 2. Rerata Daya Tetas Embrio Ikan Zebra yang Dipapar DOs No 1. 2. 3. 4. Kelompok K0 ( tanpa perlakuan ) P1 ( DOs dosis terapi 83 µg/ml ) P2 ( DOs dosis MATC 381 µg/ml ) P3 ( DOs dosis LC50 870 µg/ml ) N 3 3 Daya Tetas (%) 100 ± 0.00c 100 ± 0.00c 3 53. 33 ± 5.77b 3 31.67 ± 2.88a Hilda Nur Ainia, UJI TOKSISITAS AKUT DEKOKTA Orthosiphon stamineus, Benth TERHADAP DAYA TETAS Keterangan : a : p ≤ 0.05 berbeda signifikan dengan K0, P1 dan P2 b : p ≤ 0.05 berbeda signifikan dengan K0, P1 dan P3 c : p ≤ 0.05 berbeda signifikan dengan P2 dan P3 Gambar 1. Histogram Rerata Daya Tetas Embrio Ikan Zebra Paska pemberian DOs 120 No Perlakuan K0 ( tanpa perlakuan ) P1 ( DOs dosis terapi 83 µg/ml ) P2 ( DOs dosis MATC 381 µg/ml ) P3 ( DOs dosis LC50 870 µg/ml ) 1 2 3 4 c c 100 80 Daya Tetas(%) Tabel 3. Rerata Kelengkungan Tulang Belakang Embrio Ikan Zebra yang dipapar DOs K0 b 60 P1 a 40 Sa mp el Embrio bengko k Embrio Norma l % Teratoge nitas 20 0 20 0% 20 0 20 0% 0.0º ± 0.0a 20 1 19 5% 11.67º ± 2.88b 20 4 16 20 % 62º ± 1.73c Keterangan : a : p ≤ 0.05 berbeda signifikan dengan P2 dan P3 b : p ≤ 0.05 berbeda signifikan dengan K0, P1 dan P3 c : p ≤ 0.05 berbeda signifikan dengan K0, P1 dan P2 P2 P3 20 Gambar 2. Histogram Rerata Kelengkungan Tulang Belakang Embrio Ikan Zebra 70 0 P1 P2 P3 Kelompok Perlakuan Pemberian DOs pada dosis 83 µg/ml tidak mampu menurunkan daya tetas embrio ikan zebra secara signifikan ( p>0.05 ) dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/ml mampu menurunkan daya tetas secara signifikan ( p<0.05 ) dibandingkan kelompok kontrol yaitu sekitar 50 % dan 30 % . Efek Dekokta Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus, Benth) terhadap Morfologi Kelengkungan Tulang Belakang Embrio Ikan Zebra (Danio rerio) Perbandingan nilai rerata kelengkungan embrio ikan zebra pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang dipapar dekokta Orthosiphon stamineus, Benth (DOs) dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 2. c 60 Derajat Kelengkungan K0 Derajat Keleng kungan 0.0º ± 0.0a 50 40 K 0 P 1 30 20 10 b a a K0 P1 0 P2 P3 Kelompok Perlakuan Pemberian DOs pada dosis 83 µg/ml tidak mampu membelokkan sudut kelengkungan tulang belakang embrio ikan zebra yaitu 0.0±0.0º dibandingkan dengan kelompok kontrol (p>0.05). Sedangkan pemberian DOs pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/m mampu membelokkan sudut kelengkungan tulang belakang embrio ikan zebra secara signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sekitar 12º dan 62º. Hasil penelitian dari pemberian DOs pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/ml mampu membelokkan sudut kelengkungan tulang belakang embrio ikan zebra sebanyak 1 dan 4 embrio dari jumlah total sampel yaitu 20 embrio ikan zebra. Data tersebut menunjukkan hasil 131 | Page Jurnal Kedokteran Komunitas yang tidak signifikan dari kelompok kontrol negatif karena sampel yang mengalami pembengkokan tulang belakang jumlahnya kurang dari 50 % dari jumlah total sampel. Volume 3, Nomor 1, Desember 2015 Gambar 3.1.2 Morfologi Embrio Ikan Zebra Usia 48 jam Paska fertilisasi (hpf) Gambar 3.1.1 Morfologi Embrio Ikan Zebra Usia 24 jam Paska Fertilisasi (hpf) Keterangan : ( ) Menunjukkan spinalchord; ( ) Menunjukkan notochord; ( ) Menunjukkan tail/ekor; ( ) Menunjukkan yolksack (A)Embrio ikan zebra usia 24 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok kontrol , terjadi perkembangan somite, kelengkungan bentuk tubuh (notochord dan spinal cord) dan ekor terlepas dari yolk; (B) Embrio ikan zebra usia 24 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P1 yang diberi DOs dosis terapi (83 µg/ml), terjadi perkembangan somite, kelengkungan bentuk tubuh (notochord dan spinal cord) dan ekor terlepas dari yolk; (C) Embrio ikan zebra usia 24 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P2 yang diberi DOs dosis MATC (381 µg/ml), terjadi perkembangan somite namun bentuk tubuh (notochord dan spinal cord) lebih melengkung dan ekor terlepas dari yolk; (D) Embrio ikan zebra usia 24 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P3 yang diberi DOs dosis LC50 (870 µg/ml) terjadi perkembangan somite, bentuk tubuh (notochord dan spinal cord) sangat melengkung dan ekor belum terlepas dari yolk. Page | 132 Keterangan : ( ) Menunjukkan pigmentasi (A)Embrio ikan zebra usia 48 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok kontrol, tampak pigmentasi, mulai terjadi proses pelurusan bentuk tubuh dari kelengkungan awal; (B)Embrio ikan zebra usia 48 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P1 yang diberi DOs dosis terapi (83 µg/ml), tampak pigmentasi , mulai terjadi proses pelurusan bentuk tubuh dari kelengkungan awal; (C)Embrio ikan zebra usia 48 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P2 yang diberi DOs dosis MATC (381 µg/ml), terjadi pigmentasi, mulai terjadi proses pelurusan bentuk tubuh dari kelengkungan awal; (D)Embrio ikan zebra usia 48 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P3 yang diberi dosis LC50 (870 µg/ml), belum terlalu nampak pigmentasi, kelengkungan bentuk tubuh yang tidak sempurna. Gambar 3.1.3 Morfologi Embrio Ikan Zebra Usia 72 jam Paska fertilisasi (hpf) Hilda Nur Ainia, UJI TOKSISITAS AKUT DEKOKTA Orthosiphon stamineus, Benth TERHADAP DAYA TETAS Keterangan : ( ) Menunjukkan tulang belakang (A)Embrio ikan zebra usia 72 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok kontrol, sudah terjadi penetasan embrio dari chorion, bentuk tulang belakang lurus sempurna; (B)Embrio ikan zebra usia 72 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P1 yang diberi DOs dosis terapi (83 µg/ml), sudah terjadi penetasan embrio dari chorion, bentuk tulang belakang lurus sempurna; (C)Embrio ikan zebra usia 72 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P2 yang diberi DOs dosis MATC (381 µg/ml), sudah terjadi penetasan embrio dari chorion, bentuk tulang belakang sedikit melengkung; (D)Embrio ikan zebra usia 72 jam paska fertilisasi (hpf) pada kelompok P3 yang diberi DOs dosis LC50 (870 µg/ml), sudah terjadi penetasan embrio dari chorion, bentuk tulang belakang sangat melengkung. PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah embrio ikan zebra dikarenakan memiliki beberapa keunggulan diantaranya embrio transparan sehingga mudah diamati pertumbuhan dan perkembangan organnya, ikan zebra menghasilkan sekitar 300 telur dalam satu waktu sehingga apabila peneliti membutuhkan banyak sampel penelitian maka hal ini sangat membantu dan 75 % genom ikan zebra dengan manusia memiliki kemiripan.17 Ukuran ikan zebra yang kecil memudahkan ikan tersebut untuk dipelihara, selain itu ikan zebra mampu bertahan hidup dalam keadaan yang minim nutrisi dan tubuh ikan zebra dapat mengabsorbsi dengan cepat komponen – komponen yang diletakkan di lingkungannya.18 Pada penelitian ini menggunakan embrio yang berumur 5,25 jam paska fertilisasi dikarenakan pada usia tersebut sama dengan periode implantasi pada mamalia.19 Jumlah sampel yang digunakan adalah 80 embrio yang terbagi dalam 4 kelompok. Satu kelompok terdiri dari 20 embrio yang ditempatkan dalam well-plate dengan 1 embrio per well. Pada penelitian ini dilakukan 3 kali pengulangan untuk meminimalisir bias. Kondisi lingkungan dibuat sama untuk meminimalisasi bias sehingga dapat memberikan hasul yang akurat pada setiap perlakuan. Suhu pada incubator dipertahankan pada 26±1ºC. Pemaparan dekokta Orthosiphon stamineus, Benth (DOs) diberikan secara in vitro pada dosis 83µg/ml, 381µg/ml dan 870 µg/ml. Efek Dekokta Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus, Benth) terhadap Daya Tetas Embrio Ikan Zebra (Danio rerio) Dekokta Orthosiphon stamineus, Benth (DOs) pada dosis 83 µg/ml tidak mampu menurunkan daya tetas embrio ikan zebra. Hal ini diduga berhubungan dengan dosis dan jumlah zat aktif yang terkandung dalam herba Orthosiphon stamineus, Benth yamg mampu menembus chorion yang dapat memepengaruhi perkembangan embrio ikan zebra. Dosis 83 µg/ml merupakan dosis terapi pada manusia dengan berat badan 60 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan dosis terapi sebesar 83 µg/ml secara in vitro pada embrio ikan zebra aman. Namun pemanfaatannya pada ibu hamil dengan hioertensi kronis masih perlu dilakukan uji toksisitas lanjutan yang menggunakan spesies hewan yang tingkatannya lebih tinggi dari ikan zebra sesuai anjuran WHO. Hewan coba yang digunakan harus memiliki kelebihan diantaranya yaitu memiliki fetus yang berukuran besar, tergolong hewan vivipar dan paparan dapat diberikan secara oral. Pemberian (DOs) pada dosis 381µg/ml yang merupakan dosis MATC (Maximum Allowable Toxicant Concentration) yaitu dosis tertinggi yang dapat dikonsumsi dan dapat ditolerir oleh tubuh dan pemberian (DOs) pada dosis 870 µg/ml yang merupakan dosis LC50 yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50 % hewan coba (embrio Danio rerio) secara signifikan dapat menyebabkan penurunan daya tetas embrio ikan zebra. Hal ini diduga karena beberapa senyawa aktif yang terkandung dalam herba Orthosiphon stamineus, Benth dapat menembus chorion dan senyawa tersebut bersifat menghambat pertumbuhan dan perkembangan embrio seperti saponin. Dengan banyaknya kandungan saponin yang terserap, mengakibatkan daya osmotik pada embrio menjadi tidak seimbang sehingga menyebabkan cairan sitoplasma embrio terserap keluar membran kemudian sel embrio akan mengkerut akibat plasmolisis dan akhirnya embrio akan mati.20 Selain itu zat aktif saponin memiliki efek toksik yaitu mampu melisiskan 133 | Page Jurnal Kedokteran Komunitas eritrorit, sehingga menyebabkan penurunan kadar sel eritrosit dalam darah. Penurunan eritrosit akan menyebakan jaringan menjadi hiposia karena salah satu fungsi eritrosit adalah membawa oksigen ke jaringan. Penurunan kadar oksigen sel akan menurunkan produksi ATP.21 Daya tetas telur adalah kemampuan embrio untuk keluar dari cangkangnya (chorion) hal ini diakibatkan dari proses mekanik dan enzimatik. Aktifitas mekanik berasal dari pertambahan panjang embrio dan gerakan embrio itu sendiri, semakin aktif embrio bergerak maka semakin cepat pula embrio tersebut menetas dan juga. Sedangkan aktifitas enzimatik diperankan oleh enzim chorionase yang sifatnya mereduksi chorion, lapisan chorion tersebut menjadi lebih tipis dan lembek sehingga bagian chorion tersebut akan pecah, ekor embrio akan keluar diikuti badan dan kepalanya. Pengerutan sel embrio karena sitoplasma embrio tertarik keluar membrane menyebabkan sel tersebut mati dan juga penurunan ATP oleh saponin menyebabkan penurunan pergerakan embrio ikan zebra sehingga terjadi penurunan daya tetas embrio. Efek Dekokta Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus, Benth) terhadap Morfologi Kelengkungan Tulang Belakang Embrio Ikan Zebra (Danio rerio) Dekokta Orthosiphon stamineus, Benth (DOs) pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/ml membelokkan sudut kelengkungan tulang belakang embrio ikan zebra secara signifikan (p<0.05). Tulang belakang pada ikan zebra juga merupakan bagian dari sistem saraf selain pada kepalanya. Pada tulang belakang ada bagian yang disebut somite yang sudah mulai berkembang saat embrio berusia 24 jam paska fertilisasi. Somite terdiri dari akson primer dan sekunder. Selain itu notochord dan spinal chord adalah bagian dari sistem persarafan dari ikan zebra yang di dalamnya terdiri dari neuron sensoris, interneuron dan neuron motoris.22Apabila panjang dan kelengkungan embrio ikan zebra tersebut tidak normal maka sistem saraf pada ikan tersebut juga akan terganggu. Kelengkungan abnormal tulang belakang embrio ikan zebra yang dipapar (DOs) pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/ml diduga karena kandungan zat aktif yang terdapat dalam herba Orthosiphon stamineus, Benth yang mampu Page | 134 Volume 3, Nomor 1, Desember 2015 menembus chorion seperti senyawa flavonoid dan diterpen. Keduanya merupakan jenis antioksidan primer, yang melawan radikal bebas dengan cara mendonorkan atom hidrogennya sehingga menjadi senyawa yag lebih stabil. Namun proses tersebut menghasilkan produk sampingan yang bersifat reaktif, apabila produk sampingan tersebut jumlahnya berlebih dalam tubuh akan bersifat prooksidan yang dapat menyerang sel normal dan dapat mengganggu perkembangan sel embrio terutama struktur tulang belakang (somite,nothochord dan spinal chord) dan juga proses pelurusan bentuk tubuh dari kelengkungan awal yang sudah mulai berkembang saat usia 24 jam paska fertilisasi. 23 Diterpen juga bersifat sitotoksik, genotoksik dan juga menghambat proliferasi sel embrio sehingga dari semua efek yang bisa ditimbulkan tersebut dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan organ pada embrio ikan zebra.24,25 Kelengkungan bentuk tulang belakang ikan zebra terkait dengan jumlah somite yang kurang dari normalnya, hal ini dikarenakan prooksidan yang berlebih dapat menginduksi pengeluaran sitokin / mediator inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α yang selanjutnya dapat mengaktifkan osteoclast function dan bone resorbsion yang menyebabkan osteoporosis.26 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, analisa data dan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian dekokta Orthosiphon stamineus, Benth pada dosis terapi 83 µg/ml aman. 2. Dekokta Orthosiphon stamineus, Benth menurunkan daya tetas embrio ikan zebra pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/ml. 3. Pemberian dekokta Orthosiphon stamineus, Benth pada dosis 381 µg/ml dan 870 µg/ml menyebabkan malformasi organ berupa pembelokan sudut kelengkungan tulang belakang embrio ikan zebra. Hilda Nur Ainia, UJI TOKSISITAS AKUT DEKOKTA Orthosiphon stamineus, Benth TERHADAP DAYA TETAS SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran penelitian ini untuk pengembangan lebih lanjut adalah : 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek toksik dekokta Orthosiphon stamineus, Benth pada hewan yang lebih tinggi tingkatannya dari ikan. 2. Perlu dilakukan uji toksisitas sub-kronik dan kronik dekokta Orthosiphon stamineus, Benth. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan metode in silico untuk mengetahui mekanisme toksisitas kumis kucing ( Orthosiphon stamineus, Benth). DAFTAR PUSTAKA 1. Laura A. Magee, M.D., Peter von Dadelszen, M.B., Ch.B., D.Phil., et al. Less-Tight versus Tight Control of Hypertension in Pregnancy. NEJM. 2015; vol.372(5) 2. Putu Kenny Rani Evadewi, Luh Made Karisma Sukmayanti S. Kepatuhan Mengonsumsi Obat Pasien Hipertensi di Denpasar Ditinjau dari Kepribadian Tipe A dan Tipe B. Jurnal Psikologi Udayana. 2013; vol.1:32-42 3. Ellen W. Seely M. D., et al. Chronic Hypertension in Pregnancy. NEJM. 2011; 365; 436-46 4. Aram V. Chobanian, George L. Bakris, Henry R. Black;et al. The Sevent Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003;289(19): 25602571 5. Lusia Oktora Ruma Kumala Sari. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian vol.3(1). 2006; 01-07 6. Ahamed Basher M, Abdul Majid A. Medicinal Potentials of Orthosiphon stamineus,Benth. WebMedCentral CANCER 2010; 1(12): WMC001361 7. Hussin Muhammad, Siti A. Sulaiman, Zakiah Ismail, Fransisco J.R. Paumgartten. Study on the Developmental Toxicity of a Standardized Extract of Orthosiphon stamineus in Rats. Brazilian Journal of Pharmacognosy. 2013; 23(3): 513-520 8. Abdulaziz A. Al-Yahya. Reproductive Toxiciety of Orthosiphon stamineus,Benth (Java Tea) in Swizz Albino Mice. British Journal of Pharmacology and Toxicology. 2013; 4(5): 181-187 9. Wirasuta, I.M.A.G., & Niruri, R. (2007). Buku ajar toksikologi umum. Denpasar: Jurusan Kimia-FMIPA Universitas Udayana 10. OECD guidelines for the testing of chemicals. 2012, 1-20. 11. Robert O. a., Jens P.T. Improving Production of Zebra Fish Embryos in the Lab. JU Ent Prot. 2011, 2; 1360-1363. 12. Reed, B. dan Jennings, M. 2011. Guidance on the housing and care of zebrafish. RSPCA. 13. Crane, Mark dan C. Newman Michael. What Level of Effect is A No Observed Effect. USA. Environmental Toxicology and Chemistry. 2000; Vol. 19, No.2;(516519): SETAC. 14. Sung, H. L., Jung W. K., Tao L., Jae E. L. Teratogenic Potential of Antiepileptic Drugs in The Zebrafish Model. BioMed Research International. Korea. 2013. 15. Akpoilih, Adebayoi. Effect of Formalin on The Hatching rate of Eggs and Survival of Larvae of The African Catish (Clarias gariepinus). J. Appl. Sci.Environ. 2010; 14 (4), 31-34. 16. Sifeng Wang, Kechun Liu, Ximing Wang, Qiuxia He, and Xiqiang Chen. Toxic effect of celastrol on embryonic development of zebra fish (Danio rerio). Biology Institute of Shandong Academy of Sciences, Jinan, Shandong,China. 2010; 250014. 17. Chi-Hsin Hsu, et al. The Zebrafis Model : Use in Studying Cellular Mechanism for a Spectrum of Clinical Disease Entities. Current Neurovascular Research. 2007; 4: 111-120. 135 | Page Jurnal Kedokteran Komunitas 18. Yew Beng Kang et al. Bioactive molecules : Current Trends in Discovery, Synthesis, Delivery and Testing. IeJSME. 2013;7 (S32-46). 19. Berghmans, S., Jette, C., Langenaue, D., Hsu, K.,Stewart, R., Look, T., kanki, J. P. Making waves in cancer research: new model in the zebrafish. Biotechniques.2005; Vol 39(2):227-237. 20. Andriani, Ary. 2011. Skrining Fitokimia dan Uji Penghambatan Aktivitas Glukosidase pada Ekstrak Etanol dari beberapa Tanaman yang digunakan sebagai Obat AntiDiabetes. Jakarta;UI. 21. Prihatman, K,. 2001. Saponin untuk POembasmi Hama Udang, laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Perkebunan Gambung, Bandung. 22. Lewis, E. Katharine., Judith S. Eisen. From cell to circuits : development of zebrafish spinal cord. 2003. Progress in Neurobiology 69 (419-449);Pergamon. 23. Charles B. Kimmel, et al. Stages of Embryonic Development of The Zebrafish. Developmental Dynamics. 1995; 203; 253-310 24. Capelli, B. & G. Cysewki. Natural Astaxanthin:Kingdom of Carotenoid. Nature. 2001; 78:7. 25. Philip J. Chowienczyk Bsc. MBBS. FRCP. Pharmacokinetics in Pregnancy. Best Practice and Research Clinical Obstetrics and Gynaecology. 2011; vol.15(6). 26. Sulik, K.K, Cook, C.S and Webster, W.S. Teratogen and Craniofacial Malformation. : Relationship to cell death. Development. 1998; 103, 213231. Page | 136 Volume 3, Nomor 1, Desember 2015