persoalan jatidiri manusia dalam konstelasi etika buddhis

advertisement
PERSOALAN JATIDIRI MANUSIA
DALAM KONSTELASI ETIKA BUDDHIS
A. Sudiarja
Abstract :
Many Buddhist precepts are often considered cryptic; they are
mostly shorts but not clear-cut and therefor easily misunderstood.
The thing is that Buddha’s original statements were not aimed to
solve metaphysical problems or to give philosophical answersto
questions of life, but ethical directions. Buddhism is primarily
ethics rather than metaphysics; even as a religion Buddhism
provides more rulesand regulations rather than doctrines. Since
the beginning Buddhism had denied the ‘self’ or any existence of
the kind whichcontradicts their precept on shunyata. This denial,
however, raises a difficulty in understanding morality, to which
Buddhism has a great concern, because morality always demands
a certain subject (self) or agent as the one responsible to the acts.
This article is a short research which tries to show the
controversies on the matter and the different waysin solving the
problem.
Kata-kata Kunci:
shûnyavada, skhanda, âtman, pudgala, ‘jatidiri’ (self), Mahâtman,
prajñaptitas (‘petunjuk’).
Buddhisme dapat dianggap baik sebagai aliran agama mau pun filsafat,
tetapi tampaknya lebih cocok lagi kalau dianggap sebagai etika. Berbagai
aliran Buddhis bisa sangat berlainan dalam ajaran metafisikanya, dari
pengajaran awal para Sramana, perkembangan Mahayana dan Hinayana,
Buddhisme Cina, Zen, Vajrayana hingga sekte-sekte yang berkembang di
Jepang, namun dalam hal orientasi mereka tampak mempunyai kesamaan
arah, yakni pragmatisme etis 1. Orientasi etis-pragmatis dalam Buddhisme
ini dijelaskan Buddha dalam perumpamaan terkenal tentang orang yang
terkena anak panah beracun 2. Orientasi ini dengan jelas membedakan
Buddhisme awal dari Upanishad, yang mempunyai kepentingan
mengajarkan pengetahuan (jñana marga), untuk memperoleh keselamatan.
Tumbuh dalam semangat pembaruan yang sama dalam mereaksi terhadap
kaum Brahmana dan ritualisme, Buddha menempuh jalan praktis-etis,
sementara Upanishad melanjutkan renungan tentang Brâhman yang
mendalam.
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
185
Maka dalam pemahaman tradisional, sang Buddha dikenal lebih suka
diam dan tidak menjelaskan pertanyaan selain dengan senyum penuh
empati, karena setiap pernyataan atau penjelasan metafisika mengandung
resiko disalahtafsirkan. Dalam hal ini, filsafat Buddhis, -tetapi juga aliranaliran jñanamarga dalam Hindu -, mengembangkan wacana khusus dalam
menjelaskan realitas. Karena kenyataan tak bisa dijelaskan dengan bahasa
biasa (common sense), kebanyakan orang belum bisa tercerahkan. Arti
harfiah ‘buddha’ adalah tercerahkan, sehingga mampu menangkap atau
memahami realitas yang sesungguhnya. Tentu saja pengertian ‘tercerahkan’
berbeda dari pengetahuan metafisik dalam menjelaskan realitas. Akan tetapi
persoalan yang ingin diangkat dalam karangan ini bukan persoalan tentang
bagaimana orientasi etis-pragmatis dapat dipenuhi oleh jalan pengetahuan
yang berupa pencerahan, melainkan soal konsep ‘jatidiri’ atau subjek pelaku
moral dalam konstelasi etika Buddhis.
MERUNUT AJARAN DASAR
Seperti disinggung di atas, munculnya Buddhisme sebagai aliran
pemikiran filsafat boleh dikata sezaman dengan munculnya penulisan kitabkitab dan gerakan pemikiran baru di India, di era yang disebut zaman reaksi
pada sekitar abad kelima sebelum Masehi, antara lain juga Upanishad.
Upanishad dianggap sebagai bentuk pemikiran filosofis yang pertama
dalam Veda dan bersama dengan Buddhisme, Jainisme dan Çarvaka
merupakan reaksi yang muncul terhadap kecenderungan ritualisme kaum
Brahmana dalam menyikapi fenomena kehidupan. Tetapi berbeda dari para
penulis Upanishad, Buddha tidak lagi melanjutkan tradisi Dharma Vedaika,
melainkanmerintis jalan baru dengan beberapa muridnya, yang kemudian
berkembang menjadi Buddhisme sebagaimana kita kenal sekarang ini.
Ajaran dasar yang disampaikannya adalah apa yang dia terima sesudah
lama bertapa di bawah pohon bodhi, di Bodhgaya, yakni apa yang sekarang
kita kenal dengan ‘kebenaran mulia’ (âryasatyani). Dari pencerahan yang
diterimanya di Bodhgaya, Buddha lalu mengajarkannya kepada para murid
pertamanya di Sarnath, Taman Menjangan (dekat Benares). Namun keempat
kebenaran mulia ini, - yang dalam tradisi Semitik mungkin bisa
diperbandingkan dengan perwahyuan (dari Tuhan) -,dalam tradisi Buddhis
harus dipahami sebagai petunjuk etis, bukan teologis atau metafisik. Lebih
lanjut perwahyuan dalam arti ini, juga bukan intervensi dari luar, dari yang
Transenden yang seolah-olah menampakkan diri, melainkan dari
kedalaman diri. Meski pun demikian, efek spiritualnya bisa diperbandingkan juga dengan maksud perwahyuan, yakni penyadaran baru atau
pencerahan, yang mendorong untuk melakukan tindakan keselamatan,
menjalankan dan menyebarkan pemahaman baru tentang kebenaran. Dalam
186
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
arti inilah, Siddharta Gautama, yang kemudian dinamai Buddha, yang
‘tercerahkan’, juga bisa disebut sebagai guru, sattharo.
Keempat kebenaran mulia itu adalah penderitaan (duhkha),
penyebabnya (samudâya) dan peniadaan penderitaan (nirodha), serta jalan
(mârga) pembebasannya. Dalam perspektif pemikiran Buddhis, keempat
kebenaran ini pun harus ditempatkan dalam kerangka etis. Dengan kata lain
keempat kebenaran mulia itu merupakan tuntunan untuk mencapai
pembebasan, bukan sekedar credo yang diyakini. Buddha sangat menaruh
perhatian pada keadaan atau kenyataan dunia yang penuh keprihatinan ini
dan menaruh belas kasih pada makhluk-makhluk yang terjerat dalam
situasi samsâra, yakni keadaan tumimbal lahir (reinkarnatif) yang berulangulang tanpa ada akhirnya.
Pada umumnya ajaran Buddha disebut shûnyavada yakni penolakan
realitas sebagai substansi yang menetap. Dengan demikian Buddhisme
bertolak belakang dari ajaran Hinduisme yang panggah dengan Âtman dan
Brâhman sebagai realitas mutakhir. Oleh karena itu Hinduisme, terutama
yang dikembangkan oleh Vedanta disebut juga âtmavada. Âtmavada
mempunyai dasarnya pada Upanishad. Menurut Vedanta, dengan berbagai
cara dikemukakan bahwa jiwa manusia itu kekal. Jiwa individual (jivâtman)
itu identik dengan Brâhman, sebagai kenyataan satu-satunya. Âtman dan
Brâhman bukan dua substansi berbeda, melainkan dua sudut pandang
berbeda saja dari realitas yang satu dan sama, âtman realitas dari sudut
pandang subjektif, Brâhman dari sudut pandang objektif. Dalam ajaran
Shankara, kesatuan âtmandan Brâhman dinyatakan sebagai Mahâvakyas
(Sabda Agung) sebagaimana muncul dalam empat rumusan Upanishad 3.
Secara ringkas dalam Upanishad âtman dianggap sebagai sumber
realitas, dan bersifat kekal, tanpa kedukaan (visoka), berupa budi
(manomaya), tak menjadi tua (vijaro), tanpa kematian (vimrtyuh), tak
terpahami (agrhyo), tak terhancurkan (asiryo), pendek kata merupakan
realitas yang ada 4. Buddha sebaliknya berpandangan, tidak ada realitas
substansial, sebab dunia bersifat anitya, anâtman dan duhkha. Dunia
kosong, tidak nyata, tidak substansial, tidak bisa diandalkan, tidak ada
realitas yang tetap dan inilah sumber dari kedukaan. Bagi Buddha
pandangan yang meyakini adanya âtman adalah pandangan sesat
(micchaditthi), yang diakibatkan oleh kecupetan budi. Pandangan seperti itu
muncul karena desakan hasrat manusia (tanha), oleh karena itu pandangan
seperti ini harus diabaikan saja, jangan dituruti. Orang yang hidupnya
bertumpu pada pandangan seperti itu, tidak akan terlepas dari duka dunia
ini, karena tergulung dalam proses kelahiran, menjadi tua, kematian dan
penderitaan.
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
187
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Kenyataan dunia yang tak berjiwa, tak berdasar, tak ada substansinya,
untuk tidak mengatakan hampa belaka, tetapi yang jelas relatif dan
karenanya bersifat fana, berubah-ubah, tidak menetap, tidak menentu,
sementara, yang satu lenyap menjadi yang lain, berganti rupa, merupakan
mata
rantai
tak
terputuskan
dari
lingkaran
sebab-akibat
(pratîtyasamutpâda). Itulah yang menjadi sumber kepedihan, kesedihan,
duka tiada akhir, meski tanpa disadari manusia.Para pemikir Buddhis
mengikuti pandangan di atas dan menarik kesimpulan bahwa pribadi
hanyalah keberlangsungan (continuum) dari fenomen fisik dan mental yang
terkondisikan dan tidak mempunyai esensi dasar yang tetap.
Keberlangsungan ini tergantung pada agregat yang disebut skandhas, yang
terdiri dari lima wujud eksistensi terbagi dalam dua kategori, yakni bagian
mental, immaterial (nâma) yang terdiri dari vedanâ (sensasi), sañña
(persepsi), sankhâra (konasi), vijñana (kesadaran), dan bagian material rûpa
(tubuh). Namun masing-masing dan semua perwujudan ‘agregat’ ini
bersifat fana dan akan berubah, hilang, musna 5. Pandangan Buddha tentang
manusia ini diturunkan dari pandangan dasar tentang realitas dunia yang
fana.
Buddhisme tidak memisahkan realitas dalam dualisme materi dan
rohani, melainkan dalam kategori-kategori yang beragam, maka konstitusi
manusiadalam susunan ‘agregat’ yang disebut skandha (khandha)
sebagaimana diterangkan di atas, tidak jatuh dalam dualism jiwa-badan,
melainkan lebih sejalan dan lebih mudah dipahami dengan faham emanasi,
Jadi tidak ada âtman, tidak ada sesuatu pun yang menetap dari wujud
manusia. Dalam anggapan seperti inilah muncul masalah etis, yang sulit
dijawab.
Karena di satu pihak sangat menekankan dimensi etis atau praksis
moral, sementara dari lain pihak mengajarkan manusia sebagai agregat
yang fana dan tak menetap, maka Buddhisme mengalami kesulitan untuk
menjelaskan hubungan antara tindakan etis yang konkrit dan pelaku
subjektif yang bertanggung jawab. Ajaran Upanishad yang mewarisi faham
perenialis âtman dari Brahmanisme, tidak mengalami kesulitan logis dalam
menjelaskan hubungan antara pelaku subjektif dan buah-buah
perbuatannya atau phala, sebagaimana diajarkan dalam hukum karma.
Ajaran umum shûnyavada, yang diwariskan Buddha dengan menolak
âtman sebagai jiwa individual (jivâtman) dan Brâhman meninggalkan
persoalan yang tak terpecahkan untuk ajaran etika. Bagaimana kedua
ajaranitu bisa didamaikan? Padahal Buddha juga mempercayai hukum
karma. Ada kesulitan logika dan konsistensi antara sikap/pernyataan etis di
satu pihak dan keyakinan metafisik mengenai shûnyata.
188
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
Dengan singkat persoalan itu terumuskan dalam pertanyaan apakah
jatidiri itu dalam Buddhisme, siapakah yang bertanggung jawab dalam
tindakan seseorang, ketika seseorang ‘meng-aku’ (âhamkara) melakukan
atau ‘men-daku’ (mamamkara) sesuatu tindakan? Padahal Buddhisme
masih menerima ajaran karma yang menghasilkan hukuman dan ganjaran
dalam kelahiran kembali. Lantas siapakah yang dilahirkan kembali, jikalau
tidak ada ‘jatidiri’ yang tetap itu? Jadi apakah ‘jatidiri’ itu? Bagaimana
sifatnya? Otonom atau tergantung? Bagaimana bertanggung jawab kalau
tidak otonom? Persoalan ini perlu dijawab, karena mempunyai implikasi
pada faham-faham tentang karma, nirvâna dan dharma. Akhirnya juga
menyangkut status Buddha sendiri?
PANDANGANTENTANG ‘JATIDIRI’ DARI TIGATOKOH
BUDDHISME AWAL
Persoalan itu telah menggugah berbagai tokoh aliran Buddhisme awal
dalam mencoba menjawab persoalan yang sulit tersebut, antara lain
Vatsiputra, Nagarjuna, dan Vasubandhu. Secara umum Buddhisme
menolak ‘jatidiri’ (âtman) yang dianggap mempunyai esensinya sendiri
(svabhâva), yang menjadi entitas tetap dimana berbagai sifat dan karakter
pribadi (person properties) melekat padanya; entitas seperti ini dikenal
sebagai keakuan, pemikir yang melakukan atau mengoperasikan pikiran,
pelaku dari berbagai tindakan. Maka pembicaraan tentang ‘jatidiri’ ini
sebetulnya mengandung sifat paradoksal. Kehati-hatian aliran-aliran ini
dalam wacana penolakan terhadap ‘jatidiri’ memang mengandung resiko
justru mengakui eksistensinya.
Vatsiputra 6
Vatsiputra (abad 2M) mencoba setia dengan ajaran shûnyavada dengan
tidak mengakui adanya ‘jatidiri’ yang tetap, substansial, akan tetapi
mengutarakan perlu adanya semacam ‘jati diri’ yang tidak tetap, yang
berfungsi untuk mempertanggung-jawabkan akibat-akibat karma. Perlu
dipahami, bahwa karma dalam istilah religius, bukan sekedar perbuatan
atau tindakan pada umumnya, melainkan hanya yang berkaitan dengan
moral yang dipengaruhi oleh motivasi. Itulah sebabnya, setiap karma
mengandung hasil atau akibat yang baik atau pun buruk 7. Maka dalam
rangka menanggung akibat atau hasil perbuatannya inilah perlu dipahami
adanya pelaku atau agen. Entitas tidak tetap ini disebutnya pudgala
(pribadi). Itulah sebabnya ajaran dan para pengikutnya sering disebut
Pudgalavadin.
Para pengritiknya, terutama Vasubandhu, dalam Abhidharmakosabhâsya, Candrakîrti dalam Madhyamakâvatara, serta Sântaraksita dan
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
189
Kamalasîla dalam Tattvasamgraha-pañjikâ menuduh Pudgalavadin
menggunakan istilah pudgala sebagai kamuflase saja, untuk menutupi
pengajaran âtmavâda yang mereka anut. Akan tetapi teks-teks awal yang
masih ada memperlihatkan Vâtsîputrîya panggah setia pada ajaran
ortodoks. Di kalangan Buddhisme awal, tuduhan sebagai pengikut
âtmavâda bisa berakhir fatal karena akan disingkiri oleh aliran-aliran
lainnya. Kenyataannya Pudgalavadin hingga abad 10 M masih tetap
mempunyai banyak pengikut, pertanda bahwa ajarannya cukup diterima.
Bagi Vâtsîputrîya, pudgala hanyalah prajñapti, artinya sekedar nama,
yang tidak identik atau pun berbeda dari skandha 8. Tetapi apa artinya
pernyataan paradoksal, - tidak identik tetapi juga tidak berbeda dari
skandha ini-, tampaknya tidak mudah dijelaskan. Dalam ajaran Buddha, ada
yang disebut skandha-upâdânaatau ‘agregat apropriasi’, harfiah ‘agregat’
kepemilikan, seperti kalau sesuatu hal mempunyai sifat atau karakter
khusus. Konsep skandha-upâdâna ini mempersoalkan atau menimbulkan
pertanyaan mengenai siapakah atau apakah pemilik kelima ‘agregat’ ini?
Jikalau dikatakan ada sesuatu pemilik ‘agregat’, maka ia akan menjadi
‘agregat’ keenam tetapi Buddhis tidak menerima ajaran ini, tetapi bila
dikatakan ‘agregat’ memiliki dirinya sendiri, logika ini akan menghasilkan
lingkaran setan, maka Vâtsîputrîya atau Pudgalavadin menolak kedua
posisi tersebut. Itulah maksud dari pernyataan bahwa ‘pudgala’ tidak
identik, tetapi juga tidak berbeda dari ‘agregat’. Jadi ajaran ini tetap sejalan
dengan tradisi pengikut Buddha awal.
Posisi yang sama diberlakukan dalam menjawab persoalan hubungan
antara kehidupan masa lalu dan masa depan yang diakui Buddhisme.
Jikalau dikatakan hubungan itu didasarkan pada adanya ‘identitas’ yang
senantiasa sama, maka hal ini akan menyangkal diskontinuitas dan
membawa pada ajaran âtmavâda tetapi sebaliknya, bila dikatakan tak ada
‘identitas’ sama yang bertahan, maka tidak ada kontinuitas yang
menghubungkan masa lalu dengan masa depan?Penolakan adanya
kontinuitas, tidak sejalan dengan logika karma. Jadi tidak bisa dikatakan
adanya kesamaan mau pun perbedaan dalam hidup masa lalu dan masa
depan. Untuk itu diperlukan ‘pudgala’ fiktif untuk menghubungkan
keduanya. Dalam arti ini ‘fiksi’ bukan sekedar sesuatu yang tidak nyata,
ibarat setiap karya fiktif yang baik pun, bisa berpengaruh menggerakkan,
memberi inspirasi, menyentuh pemikiran dan tindakan. Pudgala adalah
‘fiksi’ yang meski tidak nyata secara ontologis dan tidak permanen, tetapi
bisa dialami. Bagi Pudgalavadin, pudgala adalah prajñapti bukan âtman
yang substansial, tetapi hal ini penting untuk menjelaskan keberlangsungan
karma, yang mempersoalkan akibat-akibat moral yang harus ditanggung
sesudah kematian, juga untuk menjelaskan persoalan, apa artinya kemajuan,
190
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
apa artinya menjadi Buddha, siapa yang tercerahkan? Dengan pendek
dikatakan prajñapti adalah eksistensi nominal untuk menjawab persoalanpersoalan ini.
Dalam kontroversi mengenai pudgala ini, ada dua teks peninggalan
Pudgalavadin, yang masih bisa diselamatkan, dalam terjemahan Cina 9, yang
memperlihatkan persoalan yang sama, dari satu sumber teks. Keduanya
menerangkan sifat pudgala sebagai hal yang ‘tak terkatakan’ (not-said,
unsayable) yang aslinya, dalam bahasa Sanskrit diduga dari kata avâcya,
artinya ‘tak bisa dibicarakan’, ‘tidak selayaknya dibicarakan’, atau ‘tidak
ternyatakan secara jelas’, tabu; atau dugaan lain dari kata avaktavya, yang
juga berarti sesuatu yang tidak boleh dikatakan, tetapi mungkin juga artinya
tak terlukiskan. Sifat ‘tak terkatakan’ ini pada akhirnya dipakai untuk
menjelaskan posisi pudgala dalam ajaran Vâtsîputrîya, yang tak bisa
dipersoalkan lagi.
Nagarjuna
Nagarjuna (abad 2M) menempuh ‘jalan tengah’ dengan menghindari
ilusi biner dari dua ekstrim, antara yang mengakui realitas di luar
(Sarvastivadin) dan realitas sebagai kesadaran di dalam (Yogacara). Kedua
aliran ini menurut Nagarjuna berlawanan dengan ajaran shûnyavada, yang
menolak realitas sama sekali. Apa yang disebut realitas dalam pemahaman
umum (common sense) tak lebih dari agregat yang tergantung pada banyak
faktor. Padahal faktor-faktor selalu berubah, sedemikian sehingga agregat
berubah juga dan tidak tetap. Realitas semacam itulah yang dipercaya
adanya, sebagai ‘eksistensi’, inilah realitas konvensional, yang sering
dianggap juga sebagai halusinasi, karena tidak mempunyai esensi pada
dirinya, dan karena itu ‘kosong’.
Dengan cerdas Nagarjuna melanjutkan logika ini dengan pernyataan
lain, bahwa realitas yang sesungguhnya harusnya sesuatu yang mempunyai
esensi, yang tidak tergantung pada apa pun juga di luar dirinya. Tetapi
apakah esensi ‘kekosongan’ itu sendiri bisa disebut realitas yang
sesungguhnya?Bukankah ‘kekosongan’ dari suatu eksistensi, yang kita
nyatakan sebagai halusinasi tadi, bergantung pada eksistensi? Jadi
ketiadaan esensi atau ‘kekosongan’ sekaligus merupakan realitas yang sejati,
tetapi sekaligus juga merupakan realitas yang tidak sejati, karena
ketergantungannya pada ‘eksistensi’. Paradoks terjadi jikalau orang
menggunakan cara melihat atau berpikir konvensional, yang biner. Oleh
karena itu, Nagarjuna mengajarkan untuk melihat realitas melalui ‘jalan
tengah’ (madhyamâ-pratipad), yakni melalui pengetahuan yang non
diskriminatif, yang tidak mengoperasikan konstruksi mental, apakah ini
sama dengan pengetahuan intuitif, non diskursif ?
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
191
Nagarjuna, kemudian merujuk Mahâtman, yang mengatasi posisi biner
atau diskriminatif, yang harus memilih âtman dan non-âtman, afirmasi mau
pun penyangkalan terhadap eksistensi âtman. Mahâtman bagi pencari jalan
tengah bukanlah realitas subjektif, yang dengan sendirinya mengandung
sifat kerakusan (râga) atau penolakan terhadap kerakusan (vairâgya),
melainkan tattva (demikian/arkian/Ing. ‘suchness’), realitas apa adanya,
yang menampakkan diri dalam intuisi. Dalam Mahayana ‘mahâtman’
menjadi ‘bodhisattva’ yang bisa mengatasi penglihatan biner antara samsara
sebagai kenyataan konvensional yang dipercaya sebagai perputaran terusmenerus dalam reinkarnasi berulang-ulang tanpa henti dan nirvâna sebagai
kenyataan dalam keterbebasan total. Dualitas nominal tersebut hanyalah
yang tampak di luar, yang merupakan akibat dari hukum saling
ketergantungan, yang berbunyi : “tak sesuatu pun berada (exist) dalam dan
oleh diri sendiri, sebab segala sesuatu saling tergantung satu sama lain.
Ajaran ini sulit dicerna, bagi mereka yang belum sampai pada pemahaman
yang benar. Menggunakan istilah Sansekerta, Nagarjuna mengatakan bahwa
buddhi merupakan sarana dinamis dalam analisis pengetahuan dalam
rangka menetapkan manakah faktor dan manakah yang bukan
faktor.Keadaan ‘nirvâna’, tempat immortal yang dalam Buddhisme telah
menggantikan kedudukan jiwa immortal, dapat dicapai lewat buddhi.
Bodhisattva adalah mahâtma, yang dapat mencapai tujuan ini 10.
Vasubandhu
Kritik Vasubandhu Atas Ajaran Pudgalavadin
Vasubandhu (abad 5M) dalam Abhidharmakosa-bhâsya mengejar
argumen Pudgalavadin untuk menjatuhkannya 11. Ia menyatakan bahwa
tidak ada yang disebut pudgala, karena argumen mereka tak dapat dinalar
dengan cara kognisi yang sahih (pramâna). Vasubandhu mulai dengan
asumsi bahwa entitas bisa dimengerti dalam dua arti, lepas-diri tak
tergantung (independent) sebagai entitas yang ‘nyata secara substansial’
(substantially real) atau hanya sekedar kumpulan agregat seperti susu
(milk), misalnya, dianggap ‘nyata dalam konsep’ (real by way of a
conception) saja, seperti faham nominalisme Barat. Asumsi yang pertama,
entitas yang ‘lepas-diri’ itu bisa ada penyebabnya, - dalam hal ini perlu
menjelaskan apa penyebabnya-, atau tak ada penyebabnya, sebagaimana
dianut oleh penganut Tirthikas 12, yang mengakui ‘pribadi’ sebagai entitas
tak terkondisikan. Akan tetapi dalam pandangan Buddhis ortodoks, asumsi
yang kedua ini dinafikan, karena tidak sesuai dengan ajaran shûnyata.
Setiap pada ajaran ortodoks, Pudgalavadin menolak ‘pribadi’
sebagaientitas yang ‘nyata secara substansial’, tetapi Pudgalavadin juga
192
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
menolak ‘pribadi’ sebagai entitas ‘yang hanya nyata dalam konsep’.
Pudgalavadin beranggapan ‘pribadi’ bukan konsep yang bertumpu pada (in
reliance upon) agregat,melainkan pada dirinya. Dalam keterangan yang
cerdas ini, Pudgalavadin menyatakan bahwa ‘pribadi’ (pudgala) itu tidak
sama dan tidak berbeda dengan ‘agregat’ (skandha). ‘Pribadi’ tidak sama
dengan ‘agregat’ sebab merupakan konsep, tetapi tidak berbeda juga karena
konsep tersebut dalam kaitannya dengan (tetapi tidak bertumpu langsung
pada) agregat. Maka konsep ‘agregat’ harus dipahami dahulu, baru dari situ
dirujuk oleh ‘pribadi’.
Menurut Vasubandhu, Pudgalavadin, memang menolak ‘pudgala’
sebagai sesuatu yang ‘lepas-diri’ (independent), yang tak terkondisikan.
Namun ia mengritik pemahaman mereka tentang ‘pribadi’ sebagai konsep
dari dirinya sendiri. ‘Pribadi’ tak dapat dimengerti (konsepnya) lepas dari
‘agregat’ yang dirujuknya, maka apabila ‘pribadi’ ini berbeda dari agregat
tersebut, Pudgalavadin jatuh dalam teori transendensi (bahwa pribadi itu
‘nyata secara substansial’), dan jikalau tidak berbeda dari agregat tersebut,
ia jatuh dalam teori nihilisme (pribadi itu tidak ada). Pudgalavadin
menyampaikan perumpamaan hubungan antara ‘api’ dan ‘bahan bakar’.
Dalam perumpamaan ‘api’ dan ‘bahan bakar’, apakah ‘api’ ini? Bagaimana
hubungannya dengan ‘bahan bakar’?Api bukanlah yang terbakar, yang
bersifat material, melainkan yang membakar, yang konon bersifat kontinyu?
Pertama, ‘api’ dan ‘bahan bakar’ merupakan bagian dari kedelapan unsur
alam, yang sifatnya sementara. ‘Api’ menyala karena ‘bahan bakar’, meski
bisa dipikirkan terpisah, tetapi tak bisa dilepaskan dari ‘bahan bakar’?
Bagaimana kontinuitas dipertahankan? Bukankah ini juga berlawanan
dengan keyakinan Pudgalavadin bahwa ‘pribadi’ tidak bisa dikatakan
permanen?
Persoalan lain menyangkut arti ‘bertumpu pada’ (in reliance upon);
‘bahan bakar’ tidak menghasilkan api, ‘bahan bakar’ juga tidak
memunculkan konsep ‘api’. Bagaimana hubungan ‘pribadi’ dengan ‘agregat’
dalam perumpamaan ini? Jikalau ‘bertumpu pada’ diartikan sebagai
bantuan sebagai penyerta yang tak terpisahkan, maka ‘agregat’ bisa juga
dikatakan sebagai bantuan penyerta yang tak terpisahkan dari ‘pribadi’, jadi
harus dikatakan ‘agregat’ berbeda dari ‘pribadi’. Berlawanan dari keyakinan
mereka, bahwa ‘pribadi’ tidak berada dalam ketergantungan dengan
‘agregat’,
dalam
kenyataan
‘pribadi’
tidak
terkecuali
dalam
ketergantungannya dengan ‘agregat’, seperti ‘api’ dengan ‘bahan bakar’nya.
Akhirnya, konsep tentang ‘panas’ bagaimana hal ini mesti dikaitkan
dalam hubungan ‘api’ dan ‘bahan bakar’? ‘Bahan bakar’ tidak panas, karena
bukan ‘api’, tetapi menjadi panas ketika terbakar ‘api’; jadi ‘panas’ itu sifat
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
193
‘api’ dan ‘bahan bakar’ sekaligus. Demikian, ‘pribadi’ dan ‘agregat’
dikonsepkan bersama-sama, menimbulkan soal apakah ‘pribadi’ itu sama
dengan ‘agregat’? Pudgalavadin mengatakan hal itu tak bisa diterangkan;
mereka tak bisa mengatakan bahwa ‘pribadi’ tidak sama dengan ‘agregat’.
Ajaran Vasubandhu
Buddha sudah mengajarkan bahwa ‘jatidiri’ yang menetap substansial
memang tidak ada. Akan tetapi bagi Buddhisme Mahayana istilah ‘tak ada
jatidiri’ (selflessness) ini diperluas, tidak hanya menyangkut pribadi
(pudgala-nairâtmya), tetapi menyangkut segala esensi (dharma-nairâtmya).
Pandangan radikal ini dikemukakan oleh Vasubandhu, yang dengan
kecerdasannya mau memperlihatkan tidak saja kemustahilannya ‘jatidiri’,
melainkan juga bahwa bagaimana dalam ketiadaan ‘jatidiri’ ini masih ada
pengertian ‘jatidiri’ dan akhirnya mengapa keyakinan akan tiadanya
‘jatidiri’ merupakan pembatas seperti halnya keyakinan sebaliknya.
Vasubandhu menyatakan bahwa pribadi dapat ada hanya sebagai
‘petunjuk’ (prajñaptitas), jadi bukan sebagai entitas sungguh-sungguh
(dravyatas), karena tidak dapat dipahamai sebagai substansi yang mandiri.
Sementara itu materi (rupa), yang menjadi tubuh suatu ‘pribadi’ merupakan
salah satu tipe dari ‘agregat’ (skandhas) yang secara tradisional disebut
‘kepribadian’ memang dapat dimengerti sebagai agregat yang terpisah dari
entitas. Namun mereka yang meyakini adanya ‘jatidiri’ pun tidak bisa
langsung memahami ‘jatidiri’ itu, kecuali adanya imposisi ‘jatidiri’ itu dalam
suatu entitas, dengan penyebutan ‘aku’ atau ‘milikku’.
Dorongan atau alasan keyakinan ‘jatidiri’ muncul karena adanya
pelihat, pendengar, pencecap, perasa, pelaku, penikmat, yang mengetahui.
Akan tetapi semuanya ini tergantung pada penglihatan, pendengaran,
pencecapan, perasaan, dan seterusnya, tetapi tidak ada kesadaran, atau
‘pelaku’ sentral, dan yang jelas tak ada pemeriksaan (svâmitva). Lagipula
kalau ada ‘jatidiri’ harusnya ada kegiatannya (karma), seperti mata yang
melihat dsb. Padahal penglihatan disebabkan oleh objek visual, kontak mata
dengan objeknya, demikian dengan indera lainnya. Jikalau ada sesuatu yang
permanen di balik persepsi indrawi itu, maka harus ada pula aktivitas
permanen. Padahal penglihatan dan seluruh persepsi-indrawi kita tidak
permanen, jadi tidak logis menganggap adanya ‘jatidiri’ permanen itu.
Bagi Vasubandhu gerak pergeseran derita (samklesa) dan
peringanannya (vyavadâna) yang diandaikan adanya dalam ajaran
âryasatyani, menjadi tidak berarti kalau ada jatidiri yang tetap, karena
‘jatidiri’ yang berdaulat tidak memerlukan usaha untuk pembebasan dan
pencerahan, semua bisa berjalan dengan sendirinya. Lebih dari itu, jikalau
194
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
‘jatidiri’ selalu ada, hasrat dan keinginan tidak bisa hilang karena rasa ‘aku’
dan ‘milikku’ yang panggah, sehingga pembebasan juga mustahil.
Dalam Karma-siddhi-prakarana (Pembuktian tindakan), Vasubandhu
juga membuktikan, bahwa ‘jatidiri’ yang menetap mustahil ada, selama ada
persepsi-indrawi dan kesan-kesan lain, ingatan, pengenalan dsb ini.
Bagaimana persepsi-indrawi yang berubah-ubah menjadi objek ‘jatidiri’?
‘Jatidiri’ yang demikian tidak akan terkesan oleh perubahan-perubahan,
atau perubahan-perubahan harus terjadi sekaligus dan tidak berurutan,
untuk mempertahankan ‘jatidiri’ agar tidak berubah, tetapi hal ini tidak
logis. De facto semua faktor yang menjadikan apa yang disebut
‘personalitas’ berubah terus, dan lacaknya yang tertahan dalam saat
sekarang itulah yang membuat kesan kontinuitas.
Dalam suplemen dari Abhidharma-kosa Vasubandhu menjelaskan
karma. Ia menyatakan persepsi-indrawi
bagaimana
terjadinya
meninggalkan lacak atau jejak, yang memungkinkan adanya ingatan.
Tindakan yang mengandung retribusi muncul sebagai ingatan, yang
mendorong hasrat untuk bertindak; dan dari hasrat ini muncul aplikasi
mental awal (vitarka) dan dari sini muncul usaha, yang lewat unsur
penggerak (vâyu-dhâtu) membuat tubuh bergerak. Tak perlu ‘jatidiri’ untuk
ini. Jadi hasrat (cetanâ) untuk bertindak, meninggalkan lacak yang
mengakibatkan perubahan dalam rentetan agregat, yakni organisme, yang
terjadi hanyalah kontinuitas psikis 13. Untuk melanjutkan faham kontinuitas
psikis ini, Vasubandhu memperkenalkan konsep ‘gudang-kesadaran’ (âlayavijñana) yang sudah diterangkan lebih dahulu oleh Asanga, saudaranya,
dalam Mahâyâna-Samgraha (Kompendium Mahayana). ‘Gudangkesadaran’menjadi semacam penghubung antara kedua macam kehidupan,
bukan sebagai entitas melainkan serial peristiwa momental yang masih
terus berlangsung dan berubah, dan pengertian ‘serial’ ini pun harus
diartikan secara metaforis, sebagai benih yang nantinya tumbuh dalam
hidup berikutnya.
Vasubandhu mau memperlihakan kesetiaan pada ajarantak adanya
jatidiri (natmasti); ‘gudang kesadaran’hanyalah konsep (bukan entitas)
sementara atau perantara ‘antarabhâva’ untuk menjelaskan perpindahan
dari makhluk hidup yang satu kepada yang lain, sebagai serial agregat yang
terus berubah 14.
Sebetulnya menjadi pertanyaan, apakah Vasubandhu memang berbeda
dari Pudgalavadin, yang juga mengakui pudgala sebagai petunjuk’
(prajñapti).Vasubandhu menolak ‘pudgala’ karena dianggap argumen yang
dikemukakan Pudgalavadin bisa menjerumuskan pada penerimaan entitas
permanen, meski mereka menyangkalnya. Sementara bagi Pudgalavadin,
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
195
‘pudgala’ itu sekedar petunjuk atau penamaan saja, jadi sebetulnya mirip
yang diyakini Vasubandhu.
PERTANYAAN DIAGNOSTIKA DAN PERTANYAAN TAKTIS
Dalam Majjhima Nikaya, Sutta 63, Malunkyaputta mengeluh karena ia
tidak mendapat penjelasan dari Yang Mulia (Buddha) menyangkut
pertanyaan tentang (i) apakah dunia ini abadi? (ii) ataukah fana, (iii) apakah
arahatitu tetap ada setelah kematian dan (iv) apakah jiwa dan badan itu
identik? Yang Mulia menjawab dengan pernyataan, (i) ‘saya tidak
menjanjikan untuk mengajarkan hal-hal seperti itu’, (ii) ‘kamu tidak
menanyakan hal itu dalam rangka hidup religius-bimbinganku’, (iii)
‘pertanyaan itu menjauhkanmu (distraktif) dari persoalan yang urgen’.
Pernyataan Yang Mulia Buddha memperlihatkan bahwa banyak pertanyaan
yang diajukan dalam filsafat tidak bersifat diagnostik, artinya tidak kondusif
untuk pembebasan.Kita diingatkan pada perumpamaan orang yang
mempersoalkan anak panah yang mengenai korban, daripada
mempedulikan korban sendiri.
Yang Mulia menjelaskan, “hidup religius… tidak tergantung pada
dogma apakah dunia abadi; juga tidak… pada dogma bahwa dunia tidak
abadi. Entah… dunia abadi, atau… dunia tidak abadi, kelahiran masih terus
ada, ketuaan, kedukaan, keluhan, kemalangan, kesedihan, dan
keputusasaan…” Yang Mulia tidak menjelaskan…. entah secara metafisik,
epistemis, terkait apa yang diketahui atau apa adanya. Penolakan untuk
menjelaskan, beralasan karena semua itu tidak kondusif untuk dijalankan,
bukan pertimbangan pragmatis, tidak dalam rangka merunut buah-buah
dan konsekuensi (karmais), maka keterangan atau penjelasan semacam itu
tidak diperlukan. Hal-hal seperti itu merupakan avyâkrtas (yang tak
terselami, tak terjelaskan…) 15.
Pertanyaan tentang apakah saya mempunyai ‘jatidiri’ (âtman) yang
substansial, merupakan pertanyaan yang memperlihatkan sikap posesif,
karena menginginkan kepastian jawaban tentang ‘aku punya’ (dakuan) ‘jati
diri’, jadi bukan pertanyaan yang bersifat eksistensial. Pertanyaan itu
menghasratkan jawaban yang pasti tentang ‘jati diri’ sebagai milik, dengan
demikian tidak sejalan dengan âryasatyani. Pertanyaan posesif
menimbulkan hasrat (tanha) kepemilikan, dan hasrat ini menimbulkan
duhkha (kegelisahan). Pertanyaan sebaliknya menantikan jawaban ‘aku tak
punya jati-diri’ untuk menyangkal pertanyaan yang pertama, tetapi hal ini
pun bukan jawaban untuk diafirmasikan. Dan Yang Mulia juga menolak
untuk menjawab atau mengafirmasi; Hal ini bukan untuk melawan‘prinsip
pengecualian ketiga’ (principium exclusi tertii) dalam logika, melainkan
196
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
untuk menolak sikap kepemilikan, ‘saya tak mempunyai (entah) Jati-diri
atau pun bukan-jatidiri’
Bagi Buddha pertanyaan taktis lebih berguna untuk dijawab, misalnya
menyangkut prospek untuk tindakan diagnostik, apa itu kusala (baik) dan
akusala (buruk), siapakah âriya (mulia) dan anâriya (hina), apakah itu
duhkha, duhkha-samudaya, duhkha-nirodha, dan apakah itu dukkhanirodha-gamini-patipada. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bersifat
taktis-praktis untuk dijalankan, bukan untuk dipikir-pikirkan atau
diperdebatkan.Hal-hal semacam inilah topik yang mengemuka dalam
perkembangan Buddhisme Zen, misalnya. Namun pada umumnya
Buddhisme sepaham, bahwa segala macam pembicaraan doktriner dan
abidhamma hanyalah rakit atau sarana untuk menyeberang ke Nirvâna,
apabila hal itu sudah dicapai, maka seluruh pembicaraan itu akan dibuang
karena sia-sia dan tidak ada gunanya.
A. Sudiarja
Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogayakarta,
Email : [email protected]
CATATAN AKHIR:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Damien Keown, Buddhist Ethics, a Very Short Introduction, (Oxford University Press,
2005),3; Peter Harvey, An Introduction to Buddhist Ethics, (Cambridge University Press,
2000), 8.
Perumpamaan terkenal tentang orang yang terkena panah beracun dan mempertanyakan
siapakah orang yang melepaskan panah itu, golongan orang macam apa, dari mana asalnya
dsb. Perumpamaan yang mencerminkan segi skepitisme Buddhis terhadap metafisika ini
terdapat dalam Majjhima Nikaya 63
Keempat mahavakyas itu adalah ,(i) tat tvam asi (Chan.Up. VI, 8,7), (ii) aham brahmasmi
(Brhad.Up. I,4, 10), (iii) ayam âtma brahma (Brhad.Up. II,5,19), dan (iv) prajnanam brahma
(Ait.Up.III,1,13)
Dr. Lalji ‘Shravak’ (Varanasi), “Buddha’s rejection of the Brahmanical notion of Âtman”
dlm.Bart Dessein (ed.), “The Notion of ‘Self’ in Buddhism”, Communication & Cognition,
vol. 32, nr.1/2 (1999): 10. Dr. Lalji memperlihatkan beberapa rujukan dari Upanishad yang
memperlihatkan sifat dan karakter âtman, untuk meyakinkan bahwa Hinduisme, terutama
Vedanta, memang mengajarkan âtmavâda.
William Edelglass dan Jay L. Garfield, “Philosophy of Mind and the Person”, Buddhist
Philosophy, (2009), 261.
Uraian ini mencoba menyarikan tulisan Dan Lusthaus dlm.William Edelglass, Jay L. Garfield
: 275-280
Damien Keown, Buddhist Ethics, 5
Dan Lusthaus dlm. William Edelglass, Jay L. Garfield (ed.) opcit. 2009: 276
Kedua teks itu, Si ahanmu chao jie (komentar tentang empat Agamas) ditulis oleh
Vasubhadra dan diterjemahkan oleh Kumârabuddhi pada tahun 382 dan San fa du lun
(traktak tentang Pembebasan berkat tiga macam ajaran) oleh penulis yang sama,
diterjemahkan oleh Gautama Sanghadeva pada tahun 391. Dan Lusthaus dlm. William
Edelglass, Jay L. Garfield, 278-279
Bart Dessein-ed. “The Notion of ‘Self’ in Buddhism” Communication & Cognition, vol. 32,
no. 1/2 , (1999), 7.
Persoalan Jatidiri Manusia dalam Konstelasi Etika Buddhis
197
11
Uraian yang rumit ini kami coba sarikan dari James Duerlinger, “Vasubandhu’s
Abhidharmakosa, The Critique of the Pudgalavâdins’ Theory of Person” dlm. William
Edelglass, Jay L. Garfield : 288-294.
Orang suci dari Jainisme, yang dianggap sudah mengatasi lautan samsara, oleh penganut
Buddhis, Tirthankaras dianggap bidaah
13
Stefan Anacker, “No Self, ‘Self’, and Neither-Self-Nor-Non-Self in Mahâyâna writing of
Vasubandhu”, Bart Dessein: 86-87
14
“There is no self and it is only (the continuum of) the aggregates formed/stimulatd by the
(previously accumulated) afflictions and actions which, by means of a stream of intermediate
being, enters (mother’s) womb; like the like” [Abhidharmakosa III.18] dikutipMarek Mejor
dlm. Bart Dessein (ed), (1999): 98
15
Bart Dessein, “The Notion of ‘Self’ in Buddhism”, 15
12
DAFTAR RUJUKAN :
Anacker, Stefan. No Self, ‘Self’, and Neither-Self-Nor-Non-Self in Mahâyâna
writing of Vasubandhu, Bart Dessein (ed), 1999.
Bart Dessein (ed.). “The Notion of ‘Self’ in Buddhism”, seriCommunication
& Cognition, vol. 32, number 1 / 2, 1999.
Damien Keown. Buddhist Ethics, a Very Short Introduction, Oxford
University Press, 2005.
Duerlinger, James. “Vasubandhu’s Abhidharmakosa, The Critique of the
Pudgalavâdins’ Theory of Person” William Edelglass, Jay L. Garfield
/ed. 2009.
Edelglass, William - Garfield, Jay L. (ed.). Buddhist Philosophy, Oxford
University Press, (Part IV: “Philosophy of Mind and the Person”)
2009.
Harvey, Peter. An Introduction to Buddhist Ethics, Cambridge University
Press, 2000.
Lalji ‘Shravak’, Dr. (Varanasi). “Buddha’s rejection of the Brahmanical
notion of Atman” dlm. Bart Dessein (ed.), “The Notion of ‘Self’ in
Buddhism”, Communication & Cognition, vo. 32, nr. 1/2 (1999).
Wallace A.B. “A Buddhist View of Free Will: Beyond Determinism and
Indeterminism” dlm. Journal of Consciousness Studies, 18: 217-233
198
Orientasi Baru, Volume 24, Nomor 02, Oktober 2015
Download