1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan perhatian terutama dikalangan remaja. Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai kesempatan, dan seringkali menghadapi resiko-resiko kesehatan reproduksi. Kegiatan-kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Resiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, misalnya tuntutan untuk menikah muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, kurangnya perhatian terhadap kebersihan organ reproduksi, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual, dan pengaruh media massa maupun gaya hidup. Upaya untuk menuju reproduksi sehat sudah harus dimulai paling tidak pada usia remaja. Remaja harus dipersiapkan baik pengetahuan, sikap maupun tindakannya kearah pencapaian reproduksi yang sehat (WHO, 1995 dalam Sianturi, 2000). Kelompok remaja menjadi perhatian karena jumlah mereka yang besar dan rentan serta mempunyai resiko gangguan terhadap kesehatan reproduksi. Saat ini diketahui bahwa populasi penduduk dunia seperlima adalah remaja, sekitar 900 juta dari remaja tersebut berada di negara berkembang. 1 Di Indonesia berdasarkan Biro Pusat Statistik terdapat sekitar 64 juta atau 28,64 % dari jumlah penduduk Indonesia. (Azwar, 2000). Masa remaja adalah masa yang penuh permasalahan, permasalahan remaja yang ada saat ini sangat komplek terutama permasalahan kesehatan reproduksi yang sering dialami remaja meliputi : masalah gizi, masalah seks dan seksualitas, kehamilan remaja dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi tidak aman, PMS dan HIV/AIDS. Sri dan Ratna (2008) menyebutkan prevalensi kehamilan pranikah remaja di Kabupaten Sumedang cukup tinggi yaitu sebesar 40,5 %. Di Indonesia, data tentang seksual remaja sudah banyak dipublikasikan. Penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada remaja di Kota Samarinda Kalimantan Timur (1995) menggambarkan bahwa remaja dengan seksual aktif sebesar 39 %, adapun aktifitas seksual mereka lakukan adalah petting dan senggama. Usia termuda yang melakukan hubungan seks adalah 12 tahun dengan alasan karena cinta (37 %), terangsang (32 %), dank arena ingin tahu rasanya (25 %). (Dian, et, al, dalam Resnayati 2000). Selanjutnya yang paling mengejutkan masih menurut Resnayati (2000), ditemukan pada remaja Jakarta Timur 17,6 % remaja berprilaku beresiko seperti ciuman bibir dan meraba daerah sensitive, 3,77 % pernah melakukan hubungan seksual dan 88,1 % menyatakan hubungan seksual dilakukan semasa duduk di SLTA dan sisanya di SLTP. Hal ini senada dengan survey Komnas Perlindungan Anak yang menyatakan dari Januari-Juni 2008 di 33 provinsi remaja SMP dan SMA 2 97 % pernah menonton film porno, 93,7 % pernah berciuman, genital stimulator, dan oral seks, serta 62,7 % remaja SMP tidak perawan, dan 21,2 % remaja pernah Aborsi. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi menjadi sangat penting karena ketidaktahuan remaja akan perkembangan biologi dirinya sama saja mencerminkan mereka tidak memahami perkembangan tubuhnya termasuk cara menghindarinya hal-hal yang dapat merugikan kesehatan reproduksi mereka. Pola asuh orang tua terhadap anaknya, seperti yang diungkapkan Effendi (1998) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi pendidikan, dimana didalamnya terkandung untuk menyekolahkan anak agar mendapatkan pengetahuan, keterampilan, serta membentuk prilaku anak sesuai bakat dan minat yang dimilikinya. Sedangkan Pangkahila (1998) menyatakan banyak factor yang menjadi penyebab perubahan pandangan dan prilaku seksual, diantaranya pengawasan dan perhatian orang tua dan keluarga semakin longgar akibat kesibukan, pola pergaulan yang semakin bebas dan lepas, sementara orang tua mengizinkan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin Praswasti (2012) menyatakan dari 26 Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) se-Kota Banjarmasin yang bekerjasama dengan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) untuk jenjang SMP dan SMU menemukan pada tahun 2010 terdapat 35 kasus 3 kehamilan yang tidak diinginkan dan meningkat pada tahun 2011 dengan 220 kasus. B. Batasan dan Perumusan Masalah Menurut Widyastuti (2010) secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi 1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir. 2. Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk PMS-HIV/AIDS. 3. Pencegahan dan penanggulangan kompliasi aborsi. 4. Kesehatan reproduksi remaja. 5. Pencegahan dan penangganan infertilitas. 6. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis. 7. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genital, fistula, dll. Mengingat luasnya lingkup kesehatan reproduksi tersebut, maka penelitian ini membatasi permasalahannya pada kesehatan reproduksi remaja. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah sikap dan perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi remaja di Kabupaten Balangan?” 4 C. Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap dan perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi remaja di Kabupaten Balangan. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menyumbang keilmuan, khususnya dalam bidang kesehatan. 2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu remaja, orang tua, sekolah, dinas pendidikan, dan pemerintah daerah. 3. Dapat menjadi penelitian awal terkait kesehatan reproduksi. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Sikap dan Perilaku 1. Sikap Sikap merupakan suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Newcomb, dalam Mar’at (1984), menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, sikap juga merupakan suatu kesatuan yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi kedalam pola yang lebih luas. Lebih lanjut Newcomb menjelaskan sikap merupakam suatu sasaran/tujuan yang bernilai terhadap berbagai pola sikap yang dapat diorganisir, dan juga merupakan kesiapan secara umum untuk suatu tingkah laku bermotivasi, kesiapan yang ditujukan pada sasaran yang dipelajari untuk tingkah laku bermotivasi, selanjutnya keadaan organisasi yang menginisiasikan kecendrungan kearah aktifitas umum. Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sikap dibagi menjadi 3 komponen pokok, yaitu : kepercayaan (keyakinan) ide/konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, dan kecendrungan untuk bertindak yang dikenal dengan tend to behaviour, sehingga ketiga komponen ini secara bersamaan membentuk 6 sikap yang utuh (total attitude). Komponen keyakinan (beliefs) berhubungan dengan kognisi, ide dan konsep, komponen-komponen kehidupan emosional (afeksi), menyangkut kehidupan seseorang, dan komponen-komponen kecendrungan (konasi), inilah yang merupakan kecendrungan seseorang bertingkah laku (Allport dalam Mar’at, 1984). Sikap dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu : (1). Menerima (Receiving) yang artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan kepadanya (objek), (2). Merespon ( Responding) yaitu memberikan jawaban bila ditanya, serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, (3). Menghargai ( Valuing) yaitu untuk memecahkan suatu masalah dengan mengajak orang lain untuk mendiskusikannya, dan (4). Bertanggung jawab (Responsible), yang berarti bertanggung jawab terhadap suatu keputusan dan menanggung segala resiko, ini lah yang merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003). Mempunyai sikap dan perilaku yang baik, akan mendukung seseorang dapat bersosial dengan baik. Demikian halnya dengan seseorang ketika berhadapan dengan orang banyak pada lingkungan tertentu, dia membutuhkan pegangan-pegangan tertentu untuk dapat berprilaku dan bersosial secara baik. Seperti apakah sikap bermasyarakat itu? Atau seperti apakah sikap sosial atau attitude itu? Berikut ulasan sederhana mengenai sikap sosial yang diperlukan oleh seseorang agar dapat bemasyarakat 7 dengan baik menurut para ahli psikologi. Masalah sikap merupakan masalah yang cukup menarik, terutama bila ditinjau dari segi psikologi. Hal ini disebabkan karena alasan bahwa dengan memahami sikap seseorang pada umumnya, orang akan dapat memahami tingkah lakunya, karena tingkah laku seseorang dilatarbelakangi oleh sikapnya. Selain itu, sikap juga merupakan salah satu aspek perilaku dan unsur kepribadian seseorang. “Sikap hanya akan ada artinya bila ditunjukkan dalam bentuk pernyataan prilaku, baik prilaku lisan maupun prilaku perbuatan” Apa yang dikemukakan di atas dapat dimengerti apabila masalah sikap itu dikaitkan dengan prilaku manusia. Prilaku seseorang akan di latarbelakangi atau diwarnai dengan sikap yang ada padanya. Namun demikian tidak semua ahli sependapat bahwa ada hubungan antara sikap dan prilaku seseorang. Kenyataan ini merupakan hal yang wajar, karena terdapat perbedaan sudut pandang di antara mereka dalam melihat masalah sikap. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bimo Walgito (1991) bahwa “Tidak ada jaminan bila sikap berubah akan mengubah pula prilaku”. Menurut para ahli mengenai pengertian sikap sosial para ahli berbeda antara satu dengan yang lain : W.A. Gerungan (1991) mengemukakan batasan sikap sebagai berikut : Pengertian attitude itu dapat diterjemahkan dengan sikap yang obyektif tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut di 8 sertai sikap kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap obyektif tadi itu. Jadi Attitude itu dapat di terjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi tehadap suatu hal. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa sikap mengandung beberapa komponen pokok yaitu komponen kognitif (sikap pandangan), komponen afektif (sikap perasaan) dan komponen konatif (kecenderungan untuk bertindak). Sejalan dengan pendapat di atas, Dewi Ketut Sukardi (1987) menambahkan bahwa sikap adalah suatu kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu, dengan perkataan lain, sikap merupakan kecendeerungan yang relatif stabil yang dimiliki individu dalam mereaksi dirinya sendiri, orang lain atau situasi tertentu. Selanjutnya M Ngalim Purwanto (1983) menyatakan pengertian sikap sebagai berikut : Sikap atau yang dalam bahasa inggris di sebut Attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu, sikap adalah suatu perbuatan/tingkah laku sebagai reaksi respon terhadap suatu rangsangan stimulus yang disertai dengan pendirian dan atau perasaan itu sendiri. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sikap hanya dihubungkan dengan komponen afektif, dan komponen konatif yaitu merupakan suatu sikap tendensi atau kecenderungan bertindak terhadap stimulus atau rangsangan yang disertai dengan perasaan. Dalam 9 literatur ilmiah yang dikutip oleh Edward Thurtone mengemukakan bahwa orang yang mempunyai perasaan senang atau mendukung suatu obyek akan mempunyai perasaan positif terhadap obyek itu, atau dengan kata lain orang itu mempunyai sifat yang favoriable tehadap obyek tadi, demikain sebaliknya, jika mempunyai perasaan negatif terhadap suatu obyek berarti orang itu mempunyai perasaan tidak senang atau tidak mendukung tehadap obyek itu atau mempunyai sifat yang unfavorable terhadap obyek itu. Kembali pada batasan sikap yang dikemukakan oleh Thurstone, maka Thurstone hanya mementingkan aspek afektif atau perasaan dalam sikap, secara eksplisit, Thurstone tidak mengaitkan sikap dengan aspek kognitif. Sependapat dengan Thurstone, Borkowizt yang dikutip Saifuddin Azwar (2000) menjelaskan bahwa “ Sikap merupakan respon evaluatif”. Sedangkan Bimo Walgito mengemukakan tentang batasan sikap sebagai berikut : Sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif ajeg yang di sertai dengan perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang di pilihnya. Selanjutnya H.C Witherington mengemukakan : Sikap adalah kecenderungan untuk berfikir atau merasa dalam cara yang tertentu atau menurut saluran- saluran tertentu. Sikap adalah cara betingkah laku yang karakteristik yang tertuju terhadap orang-orang dan rombongan-rombongan 10 Pengukuran terhadap sikap seharusnya mencakup semua unsur sikap, meskipun hal ini sulit dilakukan, karena untuk mengukur sikap harus dilakukan pengamatan secara terus menerus. Pengukuran ini hanya dapat mengungkapkan arah sikap responden, yang dengan kata lain apakah terdapat kecendrungan setuju atau tidak setuju pada sikap yang dinyatakan dalam jawaban atau respons terhadap skala sikap. Metode pengukuran sikap menurut Azwar (2000), adalah dengan melalui skala sikap (attitude scale). Sedangkan Kerlinger (1990), membagi skala sikap atas 3 tingkatan, yaitu : sumatif (sumatif rating scale), skla interval sama (equal appearing interval scale), serta skala kumulatif atu disebut scala guttman. Diantara ketiga skala ini yang paling luas kegunaannya adalah tingkat sumatif, salah satu tipenya dikenal dengan skala likert, yang dalam penelitian ini juga menggunakan skala likert. Penggunaan skala likert dalam penelitian ini menggunakana 5 kategori yaitu : Sangat setuju/SS, Setuju/S, Agak setuju/AS, Agak tidak setuju/ATS, dan sangat tidak setuju/STS. 2. Perilaku Perilaku manusia mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, secara biologis perilaku dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktifitas organism yang bersangkutan dan dapat diamati secara langsung maupun secara tidak langsung. 11 Robert Kwick dalam Notoatmodjo (2003), juga memberi batasan perilaku, yaitu tindakan atau perbuatan suatu organism yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Secara lebih rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Terbentuknya perilaku dapat diilustrasikan sebagai berikut : Gambar 2.1 : Asumsi Determinan Perilaku Manusia Pengalaman Keyakinan Fasilitas Sosial Budaya Pengetahuan Persepsi Sikap Keinginan Kehendak Motivasi Niat Perilaku Sumber : Notoatmodjo (2003) Beberapa teori lain yang mencoba mengungkapkan determinan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan adalah Green (1980), terdiri dari : a. Predisposing factor, adalah factor yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai-nilai. Faktor ini juga dikenal dengan factor anteseden atau yang mendahului timbulnya perilaku. Dan juga diartikan sebagai preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok sehingga menjadi suatu pengalaman belajar, kadang 12 kala preferensi ini menjadi pendukung atau penghambat perilaku sehat. b. Enabling Factor atau factor pemungkin. Faktor pendukung dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedia fasilitas/sarana kesehatan. Faktor ini juga mendahului terjadinya perilaku, yang termasuk factor ini adalah kemampuan dan sumberdaya, yang dibutuhkan untuk terlaksananya perilaku kesehatan, termasuk disini keterampilan petugasnya. c. Reinforcing factor atau faktor penguat adalah faktor yang datang setelah terjadinya perilaku, diantaranya, pemberi intensif, atau hukuman yang diberikan terhadap perilaku seseorang. Termasuk juga didalamnya sebagai manfaat sosial serta manfaat fisik, ganjaran baik nyata ataupun tidak nyata yang pernah diterima, baik bersumber dari tenaga kesehatan, teman, keluarga, maupun pihak lain. Faktor penguat bisa bersifat positif dan juga bersifat negative, tergantung dari sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan, kadang kala sebagian lebih kuat dari yang lainnya dalam memepengaruhi perilaku. Lewin dalam Notoatmojo (2003), juga mengemukakn bahwa perilaku manusia adalah hal yang seimbang antara kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan penahan (Restining forces). Perilaku akan berubah bila terjadi ketidakseimbangan antara ke dua faktor tersebut didalam diri seseorang. Jadi dapat disimpulkan perubahan perilaku 13 seseorang akan terjadi pertama bila kekuatan pendorong meningkat yang terjadi karena adanya stimulus yang mendorong terjadinya perubahan perilaku. Kedua kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya stimulus yang memperlemah kekuatan penahan. Ketika kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan penahan menurun makan terjadi perubahan perilaku. Perilaku tertentu juga akan terjadi karena adanya 4 alasan pokok WHO (1997), yaitu : (1). Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek kesehatan. (2). Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. (3). Keperayaan yang diperoleh dari orang tua atau neneknya. Seseorang memperoleh/menerima kepercayaan karena keyakinan tanpa pembuktian terlebih dahulu. (4). Sikap yang menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap suatu benda/objek B. Remaja 1. Definisi Remaja Remaja dapat didefinisikan berdasarkan umur kronologisnya. BKKBN (2010), mendefinisikan remaja sebagai mereka yang berada pada usia 10-24 tahun, yang merupakan sasaran dari Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR). Disesuaikan dengan 14 Konvensi Hak-hak Anak (CRC) dan UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, remaja berarti individu berusia antara 10-18 tahun. Menurut Seifert dan Hoffnung (1987 dalam Latifah, 2008), periode remaja umumnya dimulai sekitar usia 12 tahun hingga akhir masa pertumbuhan fisik, yaitu sekitar usia 20 tahun. Perdede (2008) menyebutkan beberapa batasan umur remaja dari berbagai sumber, yaitu : a. Buku-buku pediatric pada umumnya mendefinisikan remaja bila telah mencapai usia 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki. b. WHO (World Health Organization), mendefinisikan remaja (adolescent) bila telah mencapai usia 10-19 tahun. c. UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, mendefinikan remaja sebagai individu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah. d. UU Perburuhan, mendefinisikan remaja bila telah mencapai usia 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri. e. UU Perkawinan No. 1 tahun 1074, mendefinisikan remaja pada perempuan usia 16 tahun dan pada laki-laki usia 19 tahun. f. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mendefinisikan remaja bila telah berusia 18 tahun yang sesuai dengan saat lulus dari sekolah menengah. 15 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Jika dipandang dari segi psikologis dan sosialnya, masa remaja adalah suatu fenomena fisik yang dihubungkan dengan pubertas (Perdede, 2008). a. Perkembangan Fisik Perubahan fisik sering disebut pertumbuhan dan perkembangan somatic. Seorang anak akan mengalami pertubuhan tinggi dan berat badan yang sangat pesat pada usia remaja yang dikenal dengan istilah growth spurt. Umumnya mereka yang menginjak usia remaja sering merasa nyaman dengan perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya. Growth Spurt merupakan tahap pertama dari serangkaian perubahan yang membawa seseorang kepada kematangan fisik dan deksual, Perubahan fisik ini ada yang terlihat jelas dari luar dan ada pula yang tidak terlihat langsung (Perdede, 2008). Terdapat cirri yang pasti dari pertumbuhan somatic pada remaja, yaitu peningkatan masa tulang, otot dan massa lemak, kenaikan berat badan, perubahan biokimia, yang terjadi baik pada pria maupun perempuan dengan pola yang berbeda. Selain itu, terdapat pengkhususan (sex specific), seperti pertumbuhan payudara pada 16 remaja perempuan dari rambut wajah (kumis, jenggot) pada remaja pria (Perdede, 2008). Pertumbuhan dan perkembangan somatic remaja memiliki beberapa ciri khas. Pertama, perubahan adalah ciri utama dari proses biologis pubertas. Perubahan hormonal secara kualitatif dan kuantitatif terjadi antara masa prepubertas dan dewasa. Akibatnya, terjadi pertumbuhan yang cepat dari tinggi badan dan berat badan, perubahan komposisi tubuh dan jaringan serta timbulnya tanda-tanda seks primer dan sekunder, yang menghasilkan perkembangan “boy into a man” dan “girl into a women” (Perdede, 2008). Ciri khas kedua adalah perubahan somatik sangat bervariasi dalam umur saat mulai dan berakhirnya. Oleh karena itu, umur yang normal saat tercapainya suatu perubahan dalam pertumbuhan dan perkembanga tidak dapat ditentukan dengan pasti, hanya dapat dikatakan pada umur rata-rata anak. Neintein (2004 dalam Latifah, 2008) mengambil umur rata-rata pada pria di usia 11 tahun dan pada perempuan di usia 9 tahun (Perdede, 2008). Ketiga, walaupun terdapat variasi dalam umur saat timbulnya perubahan-perubahan selama pubertas, tetapi setiap remaja mengikuti urutan yang sama dalam pertumbuhan somatic dalam tubuhnya. Contohnya, pada pubertas pria yang normal, androgen yang berasal dari pembesaran testis mengakibatkan penis bertambah 17 panjang dan besar, tumbuhnya pubis, dan pertumbuhan tinggi badan yang pesat (Perdede, 2008). Ciri khas keempat adalah timbulnya cirri-ciri seks sekunder yang merupakan manifestasi somatik dan aktifitas gonad. Ciri khas keempat dipakai oleh Tanner untuk menentukan Sexual Maturity Rating (SMR), yang meliputi perkembangan payudara dan rambut pubis pada perempuan serta perkembangan testis, penis dan rambut pubis pada pria (Perdede, 2008) b. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif remaja merupakan perkembangan pola piker atau proses kognisi atau proses mengetahui yang dialami oleh remaja. Menurut J.J. Piaget, remaja berada pada tahap operasi formal, yaitu tahap berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir secara hipotesis, logis, abstrak, dan ilmiah (Latifah, 2008). Pada usia remaja, operasi-operasi berfikir tidak lagi terbatas pada objek-objek kongkrit seperti usia sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan pada proposisi verbal (yang bersifat abstrak) dan kondisi hipotetik (yang bersifat abstrak dan logis). Berbagai penelitian dengan menggunakan berbagai pandangan teori juga menemukan gambaran yang konsisten dengan tiori piaget yang menyimpulkan abstrak dan logis (Carlson, et al. (1999) dalam Latifah, 2008). Terdapat perbedaan yang konsisten 18 antara kemampuan kognitif anak-anak dan remaja. Remaja memiliki kemampuan yang lebih baik dalam berfikir hipotesis dan logis dibandingkan anak-anak. Menurut Keating, remaja juga lebih mampu berfikir tentang beberapa hal sekaligus dalam satu saat dan konsep-konsep abstrak (Carlson, et al (1999) dalam Latifah, 2008), remaja juga dapat berfikir tentang proses berpikirnya sendiri, serta dapat memikirkan hal-hal yang tidak nyata-sebagaimana hal-hal yang nyata-untuk menyusun hipotesa atau dugaan. Menurut pandangan teori proses pengolahan informasi, kemampuan berfikir pada usia remaja disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan sumber daya kognitif (cognitive resource). Peningkatan ini disebabkan oleh automaticity atau kecepatan proses pengolahan (Case; Kreating dan Mac Lean dalam Carlson, et al (1999) dalam Latifah, 2008); pengetahuan lintas budaya yang makin luas (Case dalam Carlson, et al (1999) dalam Latifah, 2008); meningkatnya kemampuan dalam menggabungkan informasi abstrak dan menggunakan argumen-argumen logis (Moshman dan Frank dalam Carlson, et al (1999) dalam Latifah, 2008); serta makin banyaknya strategi yang dimiliki dalam mendapatkan dan menggunakan informasi (Carlson, et al. (1999) dalam Latifah, 2008). Walaupun cara berfikir kelompok remaja (usia 11 tahun keatas) berbeda dengan anak usia 7-11 tahun, akan tetapi bila telaah 19 lebih jauh, di antara para remaja sendiri sering ditemukan perbedaan (Seifert dan Hoffnung (1978) dalam Latifah, 2008). Perbedaan tersebut menurut Torgesen (dalam Collins, et al. (2001) dalam Latifah, 2008), terjadi antara lain faktor penggunaan strategi kognitif yang dimiliki oleh masing-masing individu. c. Perkembangan Psikologis Berdasarkan perkembangan psikologisnya, para ahli perkembangan membedakan masa remaja menjadi beberapa tahapan (Hurlock, 1993 dalam BKKBN, 2010 dan Santrock, 2007). Tahapan usia remaja disebut remaja awal, remaja pertengahan, dan remaja akhir atau remaja lanjut. Remaja awal (early adolescence) adalah remaja pada rentang usia 11-14 tahun, kurang lebih berlangsung pada masa sekolah menengah pertama atau awal sekolah menengah atas. Perubahan pubertas terbesar terjadi pada masa ini. Periode ini merupakan masa yang sangat singkat yaitu kurang lebih hanya satu tahun. Periode ini dikatakan juga sebagai fase yang negative. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku mereka yang cenderung negatif, sehingga fase ini merupakan fase yang sulit bagi anak maupun orangtuanya (Hurlock, 1993 dalam BKKBN, 2010). 20 Remaja pertengahan (middle adolescence) adalah remaja pada rentang usia 15-17 tahun, yang kurang lebih berlangsung pada sekolah menengah atas. Perubahan fisik yang sangat pesat dan mencapai puncaknya terjadi pada masa ini. Selain itu, remaja mengalami ketidak seimbangan emosional dan ketidakstabilan dalam berbagai hal. Remaja berupaya mencari identitas dirinya, sehingga seringkali remaja tidak mampu menjelaskan statusnya secara spesifik. Pada masa ini juga terjadi perubahan pola-pola hubungan sosial (Hurlock (1993) dalam BKKBN, 2010). Remaja akhir atau remaja lanjut (late adolescence) adalah remaja pada rentang usia 18-21 tahun, kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan. Remaja di masa ini memiliki cirri-ciri ingin selalu menjadi pusat perhatian dan ingin menonjolkan diri. Sikap idealis juga mulai muncul di masa ini, remaja mempunyai cita-cita yang tinggi, bersemangat dan mempunyai energi yang sangat besar. Selain itu, remaja akan mulai memantapkan identitas diri serta keinginan mencapai ketidaktergantungan emosional (Hurlock (1993) dalam BKKBN, 2010). Minat terhadap karir, pacaran, dan eksploitasi identitas seringkali lebih menonjol di masa remaja akhir (Santrock, 2007). Secara garis besar, masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak dengan suasana hati yang mudah berubah. Remaja 21 mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri (self- awareness) dan menganggap orang lain seperti mereka yang selalu mengagumi dan megkritik diri sendiri, sehingga remaja sangat rentan terhadap pendapat orang lain. Remaja sangat memperhatikan diri dan citra diri (self-image) mereka serta menganggap diri mereka serba mampu. Hal ini mengakibatkan remaja cenderung bertindak impulsive tanpa memperhitungkan dampak perbuatannya. Pada masa tertentu, remaja akan menghadapi berbagai permasalahan yang sulit untuk diatasi olehnya. Pada masa ini, remaja ingin menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri, padahal remaja tidak memiliki atau kurang pengalaman untuk mengatasi masalah (Santrock, 2007). C. Kesehatan Reproduksi Menurut WHO (1992) Sehat adalah “ suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. (Situmorang, 2003). Pada Konprensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference On Population and Development, ICPD) tahun 1994 di Kairo, Mesir. Telah disepakati defenisi kesehatan reproduksi yang mengacu pada defenisi sehat 22 menurut WHO tersebut yaitu : “ keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial, dan bukan sekadar tidak adanya penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri. Mengacu dari konsep yang di kemukakan dalam ICPD, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001) memberikan pengertian Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi. Pemikiran kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit, melainkanbagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah. Kesehatan reproduksi ini tidak hanya berkaitan dengan organ reproduksi laki-laki dan perempuan saja, melainkan meliputi alat reproduksi, kehamilan-persalinan, pencegahan kanker leher rahim, metode kontrasepsi dan KB, seksual dan gender, perilaku seksual yang sehat dan tidak beresiko, pemeriksaan payudara dan panggul, impotensi, HIV/AIDS, infertilitas, kesehatan reproduksi remaja, kesehatan reproduksi remaja, perempuan usia lanjut, infeksi saluran reproduksi, safe motherhood, kesehatan ibu dan anak, aborsi, serta infeksi menular seksual. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001) ruang lingkup kesehatan reproduksi sangat luas, karena mencakup keseluruhan kehidupan manusia sejak lahir hingga mati, yaitu: kesehatan ibu dan bayi baru lahir, Keluarga Berencana, pencegahan dan penanggulangan 23 infeksi saluran reproduksi (ISR) termasuk PMSHIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi, kesehatan Reproduksi Remaja, pencegahan dan penanganan infertilitas, kanker pada usia lanjut dan osteoporosis, berbagai aspek kesehatan lain, misal kanker service, mutilasi genetalia, fistula dan lain-lain. Implikasi definisi kesehatan reproduksi berarti bahwa setiap orang mampu memiliki kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu menurunkan serta memenuhi keinginannya tanpa ada hambatan apa pun, kapan, dan berapa sering untuk memiliki keturunan. Dengan demikian kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk reproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi. Selain itu memperoleh penjelasan lengkap tentang cara-cara kontrasepsi sehingga dapat memilih cara yang tepat dan disukai, hak untuk mendapatkan pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan pelayanan bagi bayi baru lahir, kesehatan remaja dan lain-lain perlu di jamin”. (Situmorang, 2003) Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2010), yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi adalah apa yang disebut sebagai Reproduksi Sehat Sejahtera, dengan defenisi : “ Adalah suatu keadaan sehat mental, fisik dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi proses reproduksi dan bukan hanya 24 kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan serta dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak, berdakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, spritual memiliki hubungan serasi-selaras-seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan “. Situmorang (2003) menyatakan bahwa kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi, serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit atau kecacatan. Implikasi difinisi kesehatan reproduksi berarti bahwa setiap orang mampu memiliki kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu menurunkan serta memenuhi keinginannya tanpa ada hambatan apapun, kapan, dan berapa sering untuk memiliki keturunan. Kesehatan reproduksi remaja menurut Darwisah (2002) adalah sebagai suatu keadaan sehat jasmani, psikologis, dan sosial yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi pada remaja. Pengertian sehat tersebut tidak semata-mata berarti terbebas dari penyakit atau kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial-kultural. Pada masa ini, seorang anak mengalami kematangan biologis. Kondisi ini dapat menempatkan remaja pada kondisi yang rawan bila mereka tidak dibekali dengan informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya. 25 Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi, (Widyastuti et al, 2010) yaitu : a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir. b. Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk PMS-HIV/AIDS. c. Pencegahan dan penanggulangan kompliasi aborsi. d. Kesehatan reproduksi remaja. e. Pencegahan dan penangganan infertilitas. f. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis. g. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genital, fistula, dll. D. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja Menurut Depkes (2013), masalah-masalah kesehatan reproduksi remaja yang sering terjadi antara lain masalah hubungan seks pranikah yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS serta masalah kekerasan seksual yang dialami remaja. 1. Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) Kehamilan yang tidak diinginkan merupakan kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran akibat dari 26 kehamilan. Kehamilan bias merupakan akibat perilaku seksual baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Keadaan yang bias dilakukan remaja jika mengalami kehamilan yang tidak diinginkan seperti mempertahankan kehamilan atau mengakhiri kehamilan (aborsi). Bila kehamilan dipertahankan, akan membawa resiko baik fisik, psikis, maupun sosial (Soetjiningsih, 2004). Kehamilan usia remaja merupakan kehamilan beresiko tinggi sebab dapat menyebabkan kematian waktu hamil dan melahirkan 3-4 kali dibanding kematian ibu yang berumur 20 -35 tahun. Begitu pula dengan bayinya. Resiko kematian bayi dan ibu remaja sekitar 2-3 kali dibandingkan dengan kematian bayi dari ibu yang berusia 20-35 tahun (Depkes. RI, 2013) Sebab dari kehamilan yang tidak diinginkan sendiri adalah ketidaktahuan atau rendahnya pengetahuan tentang perilaku seksual yang dapat menyebabkan kehamilan, akibat perkosaan, diantaranya perkosaan oleh teman kencan, tidak menggunakan kontrasepsi, kegagalan alat kontrasepsi akibat mereka menggunakan alat tanpa disertai pengetahuan yang cukup tentang metode kontrasepsi yang benar atau kegagalan alat kontrasepsinya (efektifitas) sendiri (BKKBN, 2010) 2. Aborsi Aborsi spontan (abortus spotane) adalah keguguran yang terjadi secara alamiyah atau tidak disengaja. Aborsi buatan (abortus 27 provokatus) adalah usaha pengguguran dengan sengaja. Ada dua cara yang tidak aman secara medis (self treatment/unsafe abortion). Alasan remaja memilih aborsi adalah : 1) Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. 2) Takut pada kemarahan orangtua. 3) Belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak. 4) Malu pada lingkungan sosial bila ketahuan hamil sebelum menikah. 5) Tidak mencintai pacar yang menghamili. 6) Tidak tahu status anak nantinya karena kehamilan karena kehamilan terjadi akibat perkosaan, terlebih bila pemerkosa tidak dikenal oleh si remaja putri. Aborsi pada kalangan remaja sering cenderung bersifat self treatment karena aborsi di Indonesia illegal, sehingga remaja mengalami KTD tidak dapat mengakses pelayanan aborsi. Tenaga medis tidak mau mengambil resiko melakukan aborsi kecuali atas indikasi medis. Tidak semua remaja mencoba pergi ke dukun karena takut konsekuensi negative dari layanan yang tidak hygiene dan tidak professional. Mereka mencoba usaha-usaha self treatment karena percaya pada cerita atau pengalaman orang lain (biasanya teman/sahabat mereka) dan mempercayai bahwa usaha-usaha itu akan berhasil menggugurkan kandungan mereka. 28 Tindakan aborsi mengandung resiko yang cukup tinggi, bahkan dapat menyebabkan kematian apabila tidak sesuai standar profesi medis, misalkan dengan cara : 1) Penggunaan ramuan yang membuat panas rahim seperti nenas muda yang dicampur dengan merica atau obat-obatan yang keras lainnya 2) Manifulasi fisik, seperti melakukan pijatan pada rahim agar janin terlepas dari rahim 3) Menggunakan alat bantu tradisional yang tidak steril (misalnya ujung bamboo yang diruncingkan, daun alang-alang) yang dapat mengakibatkan rahim infeksi. Dampak aborsi sangat bahaya bagi kesehatan dan keselamatan, serta dampaknya dapat berakibat secara fisik maupun psikologis. Dampak fisik : aborsi yang dilakukan secara sembarangan (oleh mereka yang tidak terlatih) dapat menyebabkan kematian pada ibu hamil. Pendarahan yang terus menerus serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi merupakan sebab utama kematian wanita yang melakukan aborsi. Dampak psiologis : perasaan bersalah seringkali menghantui pasangan khususnya perempuan setelah mereka melakukan tindakan aborsi. 3. Infeksi Menular Seksual (IMS) Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang menyerang organ kelamin seseorang dan sebagian besar ditularkan melalui 29 hubungan seksual. Penyakit menular seksual akan lebih beresiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vaginal, oral, maupun anal. Adapun jenis-jenis IMS adalah sebagai berikut : 1) Gonore/GO (kencing nanah) Gonore disebabkan oleh bakteri neisseria gonorrhea. Masa inkubasinya 2-10 hari setelah kuman masuk ke tubuh. Gejala yang terjadi pada pria adalah keluarnya cairan berwarna putih dari uretra (lubang kencing), kuning kehijauan, rasa gatal, panas dan nyeri, mulut uretra bengkak dan agak merah. Sedangkan pada wanita gejalanya adalah terdapat keputihan (cairan vagina), kental, berwarna kekuningan, rasa nyeri di rongga panggul seperti rasa sakit saat haid. Akibat yang dapat ditimbulkan adalah penyakit radang panggul, kemungkinan kemandulan, infeksi mata pada bayi yang dilahirkan, memudahkan penularan HIV, lahir muda, cacat bayi, lahir mati. 2) Sifilis (Raja Singa) Penyebabnya adalah Bakteri treponema pallidum dengan masa inkubasi 2-6 minggu, dan kadang-kadang 3 bulan sesudah kuman masuk ke tubuh melalui hubungan seksual. Tubuh akan bereaksi dengan gejala bintil/bercak merah di tubuh, luka pada kemaluan 30 tanpa rasa nyeri (biasanya tunggal) dan kadang-kadang bias sembuh sendiri, tanpa gejala klinis yang jelas, kelainan syaraf, jantung, pembuluh darah dan kulit. Akibatnya jika tidak diobati akan menyebabkan kerusakan berat pada otak dan jantung, dapat menyebabkan keguguran, bayi dalam kandungan ikut tertular, lahir cacat, dan memudahkan penularan HIV. 3) Herpes Genitalis Penyebabnya adalah virus herves simple dengan masa inkubasi 4-7 hari setelah virus masuk ke dalam tubuh, dimulai dengan rasa terbakar atau rasa kesemutan pada tempat virus masuk. Gejala selanjutnya adalah bintil-bintil berkelompok seperti anggur yang sangat nyeri pada kemaluan, kemudian pecah meninggalkan luka kering berkerak, lalu hilang sendiri, gejala kambuh lagi seperti di atas namun tidak senyeri pada tahap awal, biasanya hilang dan timbul, kambuh apabila ada factor pencetus (seperti stress) dan menetap seumur hidup. Akibatnya mengalami rasa nyeri yang berasal dari syaraf, dapat menularkan kepada bayi pada waktu lahir, dapat menimbulkan infeksi baru, penularan pada bayi, dan menyebabkan lahir muda, cacat bayi dan lahir mati, memudahkan penularan HIV, dan kanker leher rahim. 31 4) Trikomonas Vaginalis Disebabkan oleh sejenis protozoa trikomonas vaginalis, dengan masa inkubasi 3-28 hari setelah kuman masuk ke tubuh dengan gejala cairan vagina keputihan encer berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau busuk, bibir kemaluan agak bengkak, kemerahan, gatal, dan terasa tidak nyaman. Akibat yang dapat ditimbulkan adalah, kulit seputar bibir kemaluan lecet, dapat menyebabkan bayi premature dan memudahkan HIV. Pencegahan IMS yang dapat dilakukan dengan tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, menjalankan perilaku seksual yangs ehat, menghindari berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual beresiko tinggi, memeriksakan segera bila ada gejala-gejala IMS yang dicurigai. Yang terbaik bagi remaja agar tidak terkena IMS adalah dengan menghindari melakukan seksual sebelum menikah, melakukan kegiatan-kegiatan positif (menghilangkan keinginan melakukan hubungan seksual), mencari informasi yang benar sebanyak mungkin tentang resiko tertular IMS, meningkatkan ketahanan moral melalui pendidikan agama, berdiskusi dengan orang tua, guru, atau teman sebaya mengenai hal-hal yang berkaitan 32 dengan perilaku seksual, jangan malu bertanya, menolak ajakan pasangan meminta untuk melakukan hubungan seksual, mengendalikan diri saat bermesraan, bersikap waspada jika diajak ke suatu tempat sepi dan berbahaya. 5) HIV/AIDS HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus.Virus ini dapat menurunkan dan merusak system kekebalan tubuh manusia. Setelah beberapa tahun jumlah virus semakin banyak sehingga system kekebalan tubuh tidak lagi mampu melawan penyakit yang masuk. Ketika individu sudah tidak lagi memiliki system kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Selanjutnya Aids adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome atau kumpulan berbagai penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Kasus AIDS pertama sekali dilaporkan di Los Angeles oleh Gottleib dan kawan-kawan pada tanggal 5 juni 1981, walaupun sebenarnya telah ditemukan. E. Peran Orang Tua dalam Kesehatan Reproduksi Remaja Hasil Survey Data Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan jumlah pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Penelitian 33 Universitas Indonesia dan Australian National University tahun 2010 yang menyebutkan sebanyak 20,9 persen remaja putri di Indonesia telah hamil di luar nikah karena seks bebas dan 38,7 persen mengalami pernikahan dini seakan menegaskan data sebelumnya. Survei KKBN tahun 2011 menyebutkan, 51 dari 100 remaja putri di kota-kota besar tidak perawan lagi. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) dengan responden remaja usia 15 – 24 tahun didaptkan data, satu persen remaja perempuan dan enam persen remaja laki-laki menyatakan pernah berhubungan seksual sebelum menikah. Data lain dari Survei Data Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan, jumlah remaja putri yang melahirkan di desa sebanyak 69 per 1.000 remaja putri dan di perkotaan 32 per 1.000 remaja putri. Data lain yang dikemukakan oleh dr Titik Kuntari MPH (Dosen Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta), angka kejadian aborsi di Indonesia cukup tinggi, berkisar 2 – 2,6 juta kasus pertahun atau 43aborsi untuk setiap 100 kehamilan. Sekitar 30 persen kasus aborsi itu dilakukan oleh penduduk usia muda, antara 15-24 tahun. Data jumlah kasus AIDS sampai dengan bulan Juni 2012 sebesar 26.483 kasus. Hampir separuh dari jumlah kasus itu 45,9 persen diantaranya terjadi di kelompok usia 20 – 29 tahun. Mengingat inkubasi AIDS antar 3 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV, dapat disimpulkan sebagian besar mereka terkena AIDS telah 34 terinfeksi pada usia yang lebih muda lagi (http://lampung.tribunnews.com dlm Zahrotul Uyun, 2013). Kasus aborsi di Indonesia juga meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia Mencapai 2,5 jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1 – 1,5 juta diantaranya adalah kalangan remaja. Data yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam kurun waktu tiga tahu (2008 – 2010) menemukan kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban aborsi, tahun 2009 naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa korban aborsi. 62,6 persen pelaku aborsi adalah anak berusia dibawah 18 tahun. (www.rifkaanisa.blogdetik.com dalam, Zahrotul Uyun, 2013). Data kasus aborsi yang tercatat di Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2011 tercatat ada 86 kasus aborsi dan pada tahun 2012 tercatat 121 kasus dengan mengakibatkan delapan orang meninggal. Kasus aborsi ini dilakukan oleh anak SMP dan SMA atau di bawah 18 tahun (www.tempo.co) Berdasarkan data-data di atas membuat kita prihatin. Remaja adalah masa yang penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Tahapan ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanak-kanak yang bebas menuju masa dewasa yang 35 menuntut tanggung jawab. Remaja sebagai generasi penerus bangsa seharusnya menikmati masa-masa remaja dengan bahagia, belajar segala hal dengan sungguhsungguh untuk membekali diri dengan berbagai ketrampilan, dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Namun sayang, data-data di atas menunjukkan banyak remaja diikuti beragam persoalan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa remaja terjerumus pada perilaku negatif atau perilaku yang menyimpang. Globalisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, industrialisasi dan modernisasi, telah menimbulkan perubahanperubahan sosial yang amat cepat ( rapid social changes). Perubahan-perubahan sosial yang dimaksud membawa konsekuensi, antara lain meningkatnya kehamilan di luar nikah sebagai akibat berubahnya nilai-nilai kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga berdampak banyak dilakukan aborsi. Menurut Hawari (2006) salah satu faktor provokasi pergaulan bebas (hubungan seks di luar nikah dan aborsi) adalah pornografi, pornoaksi serta penggunaan NAPZA. Selain itu, dampak negatif dari perubahan-perubahan sosial tersebut disebabkan karena diabaikannya nilai-nilai norma, moral, etika, hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) serta agama. Konsekuensi dari globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, industrialisasi dan modernisasi menurut Hawari (Zahrotul Uyun, 2013) sebagai berikut: 36 1. Pola hidup masyarakat yang semula sosial religius cenderung kearah pola kehidupan masyarakat individual, materialistik dan sekuler. Kehidupan masyarakat tidak lagi sesuai dengan kaidahkaidah norma, moral, etika dan hukum, serta agama. Keadaan ini memudahkan individu melakukan hubungan seksual di luar nikah, dengan dampak kehamilan dan aborsi. 2. Pola hidup sederhana dan produktif cenderung kearah pola hidup mewah dan konsumtif. Masyarakat dipicu oleh konsumerisme dan gaya hidup melebihi kemampuan ekonominya, produktivitas masyarakat menurun. 3. Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family) cenderung kearah keluarga inti (nuclear family) bahkan sampai kepada orangtua tunggal (single parent family) tanpa menikah. 4. Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat, cenderung menjadi longgar dan rapuh. 5. Nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi masyarakat modern yang bercorak sekuler dan serba boleh termasuk dalam hubungan seksual di luar nikah. 6. Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup tanpa nikah, hubungan seks di luar nikah atau pergaulan bebas. 37 7. Ambisi karier dan materi yang tidak terkendali berdampak pada terganggunya hubungan antar pribadi baik dalam keluarga maupun di masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan ketidak harmonisan rumah tangga, anak-anak terabaikan dengan akibat perkembangan kepribadiannya terganggu, pergaulan bebas, hubungan seks di luar nikah dan penggunaan NAPZA dengan akibat kehamilan di luar nikah dan aborsi. Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada remaja akan mengakibatkana berbagai dampak yang justru amat merugikan bagi remaja termasuk keluarganya, sebab masa remaja mengalami perkembangan yang penting, yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual. Selain itu kurangnya pemahaman remaja atas seksualitas atau pendidikan kesehatan reproduksi menjadikan remaja amat rentan terhadap sumber-sumber informasi yang salah tentang seks. Hasil penelitian Pangkahila (dalam Soetjiningsih, 2007) dilaporkan bahwa 80 % laki-laki dan 70 % perempuan melakukan hubungan seksual selama masa pubertas dan 20% dari mereka mempunyai empat atau lebih pasangan. Ada sekitar 53% perempuan berumur antara 15-19 tahun melakukan hubungan seksual pada masa remaja, sedangkan jumlah lakilaki yang melakukan hubungan seksual sebanyak dua kali lipat daripada perempuan. Berdasarkan data tersebut, Nampak bahwa pemahaman 38 yang benar tentang seksualitas manusia amat diperlukan khususnya untuk para remaja demi perilaku seksualnya di masa dewasa sampai mereka menikah dan memiliki anak. Pendidikan tersebut diperlukan agar remaja dapat menghindari perilaku seks yang beresiko, yang membahayakan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Orangtua sebagai sumber utama dan pertama dalam pendidikan kesehatan reproduksi memiliki peran penting. Sehingga dalam makalah ini penulis memfokuskan pada peran orangtua dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Saat ini banyak remaja yang belum paham dan mengerti secara mendalam tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, sehingga sering terjadi permasalahan remaja yang berkaitan dengan soal seks, seperti aborsi, penyakit menular seksual (PMS), perilaku seksual yang menyimpang bahkan tidak sedikit terjadi kehamilan yang tidak di inginkan. Kesehatan reproduksi remaja di artikan sebagai suatu kondisi sehat yang tidak hanya berarti bebas dari penyakit dan kecacatan akan tetapi lebih dari itu, termasuk sehat secara mental dan sosial berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi. Orang tua sangat berperan penting dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja. Jika orang tua tidak menjadi sumber informasi yang bersahabat bagi remaja, maka remaja akan cenderung mencari tahu lewat sumbersumber informasi seksual yang menyesatkan seperti film-film porno, majalah, komik atau ke teman-temannya. 39 Menurut Reinnisch (Handayani, 2009) Direktur Kinsey Institute for Sex, Gender, and Reproduction, Amerika Serikat, kita di banjiri pesanpesan seksual, tetapi tidak dengan fakta-fakta seksual. Informasi seksual berlimpah, tetapi banyak dari informasi itu salah. Remaja mendapat informasi tentang seks sebagai sesuatu yang menyenangkan, tidak berbahaya, dewasa dan terlarang. Remaja usia 13 tahun hingga 21 tahun ingin mencoba sesuatu yang baru dan mengambil resiko. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan tidak mungkin mengalami kehamilan Permasalahanya orang walau tua melakukan cenderung hubungan membatasi pra nikah. perbincangan mengenai kesehatan reproduksi ini, menganggap sebagai hal tabu yang tidak pantas di bicarakan. Atau orang tua sendiri juga tidak siap memberikan pendidikan kesehatan reproduksi ini kepada anak-anaknya. Menurut Handayani (2009) beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi adalah : 1. Mulai Sejak Dini Idealnya pendididkan kesehatan reproduksi tidak diberikan kepada anak-anak sebagai reaksi atas pertanyaan mereka. Sebaliknya, pendidikan kesehatan reproduksi di berikan sejak awal secara tidak langsung. Anak harus memiliki keyakinan yang kuat akan identitas dirinya serta pemahaman akan nilai-nilai yang di milikinya. Artinya ketika anak mulai sadar akan perbedaan jenis kelamin, sadar bahwa 40 mereka perempuan atau laki-laki dengan organ reproduksi yang berbeda, mereka mulai di beri pemahaman akan identitasnya tersebut, serta nilai-nilai yang menyertai identitas ini. Sebagai contoh : Anak tahu ia perempuan, kenalkan batas auratnya yang berbeda dengan bapak atau saudara laki-lakinyaâ . Jadi, ketika saatnya nanti Anak mulai wajib menutup aurat, ia tinggal menjalankan saja. Orang tua harus duduk bersama dan menjelaskan nilai-nilai mereka kepada anak-anak. Hal tersebut perlu di mulai sejak anak-anak masih muda, sebelum masyarakat mempengaruhi mereka. Penting juga untuk menjelaskan kepada anak-anak, mengapa orang tua tidak memegang nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, mengapa orang tua tidak menyetujui hubungan seks di luar pernikahan, baik karena alasan agama dan/atau kesehatan. 2. Berikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sesuai Dengan Usia Anak Mulai mengajarkan topik yang berbeda pada usia yang tepat juga penting. Sebagai contoh, seorang anak yang berusia delapan tahun mungkin melihat bahwa ibunya tidak sholat selama beberapa hari dalam sebulan dan bertanya mengapa. Saat itulah, secara sederhana dapat kita sampaikan bahwa saat itu Allah mengijinkan kaum perempuan untuk tidak sholat. Saat anak berusia 12-13 tahun, orang tua dapat memperkenalkan topik tentang menstruasi, dan pada saat itu, barulah dia mampu melihat hubungannya. Jika ia perempuan, ajarkan juga apa 41 saja yang harus dia lakukan ketika menstruasi di tinjau dari sisi kesehatan. Cara lain untuk memperkenalkan topik tentang kesehatan reproduksi adalah pada saat anak mulai mengaji/membaca Al Qurâan. Ketika anak membaca ayat-ayat tentang hubungan seks, menstruasi, atau homoseksual sebagai contoh, hal tersebut dapat di jelaskan dengan sebenarnya. Kesehatan reproduksi dapat juga di bahas dalam konteks kebersihan menurut ajaran Islam pada usia tertentu. Contohnya ketika anak berusia enam atau tujuh tahun, dia harus tahu bagaimana membersihan dirinya setelah menggunakan toilet. Kemudian ketika berusia sebelas atau dua belas tahun, masalah tentang mandi wajib bisa di angkat dan bila di perlukan (misalnya setelah berhubungan suami istri, setelah selesai menstruasi, setelah mendapat mimpi basah, dll) Orang tua sebaiknya mendatangi anak-anaknya secara perorangan, bukan berkumpul semua dalam menjelaskan berbagai topik yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi sesuai usia anak. Beberapa topik yang bisa di bahas mencakup kerendahan hati, kesopanan, sikap dan perilaku. Tetapi hal tersebut sebaiknya tidak di sampaikan sebagai sejumlah peraturan yang harus di patuhi, melainkan kebajikan yang mendasarinya, sebagai contoh taat cara berpakaian menurut Islam dan tidak memandang lawan jenis terlalu lama, perlu di jelaskan dengan alasan/kebajikan yang mendasarinya. 42 3. Orangtua Sebaiknya Menciptakan Hubungan yang Baik dengan Anak Pendidikan kesehatan reproduksi yang benar hanya dapat di berikan jika pesan yang benar di sampaikan oleh orang tua secara terbuka dan tersirat, serta menyampaikanya dengan cinta. Harus ada keterbukaan, bukan suasana kaku dan dogmatik di rumah. 4. Orang tua sebagai Contoh dan Suri Tauladan Cara terbaik untuk menyampaikan nilai-nilai kepada anak-anak adalah dengan menjadi ârole modelâ (contoh atau teladan). Hal tersebut berarti anak tidak hanya perlu mengetahui tentang hubungan pria perempuan yang sehat ketika mereka melihat orangtuanya, tetapi orangtua juga tidak terlibat dalam kegiatan yang merendahkan pandangan mereka terhadap seksualitas. Sebagai contoh orangtua berhati-hati memilih tontonan buat mereka sendiri, karena ini merupakan pengaruh buruk bagi anak-anak. Jika orang tuanya saja menonton film biru, tentu anak-anak akan mengikutinya. Hal ini juga berarti memberikan contoh dalam segala aspek kehidupan dengan mematuhi peraturan yang sama yang orang tua ingin mereka patuhi. Sebagai contoh, jika orang tua terlambat, hubungi anakanak dan beritahukan kepada mereka, tunjukan rasa hormat yang sama sebagaimana orang tua harapkan dari anak-anak. 43 5. Anak Bertemu dengan Orang Lain yang Memiliki Nilai-Nilai yang Sama Anak-anak tidak hanya perlu melihat penerapan nila-nilai kebaikan di rumah. Mereka juga harus mengalaminya ketika berhubungan dengan anak-anak lain maupun keluarga yang memiliki nilai-nilai yang sama. Mereka harus melihat bahwa kehidupan berkeluarga secara Islami bukan hanya sesuatu yang dipraktekan di rumah mereka saja, tetapi juga di praktekan oleh orang lain. Hal ini mebuat anak merasa lebih ânormalâ , dimana dia mungkin memiliki teman sekolah atau kenalan yang memiliki orangtua homoseksual (dua ibu atau dua ayah), orangtua yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan (kekasih si ibu atau kekasih si ayah) atau jenis-jenis hubungan lain yang tidak dapat di terima. 6. Libatkan Diri dengan Sekolah dimana Anak belajar Seringkali sekolah mendorong orang tua untuk aktiv berpartisipasi melalui berbagai jalur seperti Persatuan Orangtua Murid dan Guru ( POMG) atau sebagai dewan sekolah yang di tunjuk. Tetapi jika ini terlalu banyak memerlukan komitmen sebagai orang tua, paling tidak usahakan untuk selalu berhubungan dengan guru yang mengajar anak-anak, dan beritahu guru tersebut bukan hanya masalah, tetapi juga hal-hal baik yang telah dia ajarkan kepada anak-anak. Ada sebuah program menarik yang awalnya diadopsi dari sekolah-sekolah 44 barat, sekarang mulai di lakukan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia, yaitu program a Lunchroom Program dengan orangtua sebagai pemantau, yang hanya memakan waktu beberapa jam sekali sepekan. Partisipasi teratur dalam organisasi maupun kegiatan sekolah seperti itu memberikan orang tua kesempatan untuk menyuarakan pandangan selaku orang tua tentang apa yang terjadi dalam sistem sekolah yang mempengaruhi anak-anak kita, serta anak-anak lainya. Dengan berpartisipasi dalam jangka waktu lama, suara orang tua akan lebih mungkin di dengar karena orang tua terlibat dalam membuat sekolah tersebut menjadi lebih baik secara umum, bukan hanya untuk kepentingan anak . 7. Tahu Batas Pendidikan Kesehatan Reproduksi Kita harus tahu kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi pra remaja itu apa saja dengan mengaitkan dengan nilai-nilai yang sudah di ajarkan oleh sekolah selama ini. 8. Mengatahui Sudut Pandang Islam Tentang Seks Ada banyak topik dalam pendidikan kesehatan reproduksi selain mengatakan kepada putra putri Jangan melakukannya sampai kamu menikah . Topik-topik seperti menstruasi, perubahan seksual pada remaja, kesucian diri menurut Islam juga perlu di bahas. Kita juga harus bisa memberikan referensi yang tepat dari Al Qurâan dan As Sunnah 45 mengenai topik-topik yang relevan (misalnya pengaturan jarak kelahiran, hubungan anak lelaki dan anak perempuan, dll). 9. Orang tua sebagai Sumber Utama Pendidikan Kesehatan Reproduksi Anak bisa jadi mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan masalah seks dari sumber lain seperti televisi, film, sekolah dan teman-teman, akan tetapi Andalah âsumber yang berwenangâ . Tempatkan diri Anda dalam posisi utama ini. Hal ini akan lebih efektif di mulai ketika anak berusia sekolah dasar, di bandingkan menunggu anak berusia remaja, yang biasanya mulai memberontak dan tidak mau mendengar orang tua. Memang sulit bagi orang tua berbicara seks pada remaja, dengan posisi sumber utama tersebut. Tetapi biarkan saja, karena ini menunjukan keseriusan dan pentingnya hal yang akan Anda katakan. Jalan terakhir jika Anda merasa sangat tidak nyaman membicarakan seks, mintalah orang lain, ahli atau anggota masyarakat untuk memberikan penjelasan atau anggota keluarga lain yang di percaya. Namun demikian meminta seseorang untuk berbicara kepada remaja atau memberikan buku bukanlah akhir cerita. Sebagai orang tua, kita harus siap dan terbuka terhadap pertanyaan remaja tentang seks, sehingga orangtua bisa mengarahkan remaja kepada orang atau informasi yang tepat jika orangtua merasa tidak nyaman untuk menjawabnya. 46 Untuk mengatasi persoalan kesehatan reproduksi remaja, pemerintah melalui BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) menyediakan akses informasi yang luas, baik kepada remaja maupun kepada orang tua melalui Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Pada PIK-KRR ini, remaja maupun orangtua dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan TRIAD KRR yaitu seksualitas, Narkoba, HIV dan AIDS. PIK KRR tersebar di beberapa sekolah, pondok pesantren di wilayah Nusa Tenggara Barat. BKKBN mengajak berbagai komponen masyarakat ikut mensosialisasikan dan mengoptimalkan keberadaan PIK KRR di lingkungannya. F. Kerangka Konsep Sikap Keluarga Perilaku Keluarga 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Balangan. Dari delapan kecamatan yang ada selanjutnya diambil sampel wilayah yang mewakili wilayah kecamatan yang berada diibukota kabupaten dan kecamatan yang jauh dengan ibukota kabupaten, yaitu di kecamatan Paringin, kecamatan Juai, dan Kecamatan Awayan. Waktu penelitian dalam kurun waktu tiga bulan sejak penandatanganan kontrak. B. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental (observasi) dengan rancangan cross sectional atau potong lintang yaitu seluruh variabel yang diamati diukur pada saat yang bersamaan ketika penelitian berlangsung. C. Populasi Dan Sampel 1. Populasi Populasi penelitian ini adalah Seluruh penduduk di Kabupaten Balangan yang berjumlah 107.430 Jiwa. 48 2. Sampel Sampel penelitian ini adalah sebagian dari populasi, yaitu para orang tua (Bapak/Ibu) yang memiliki anak di usia remaja 13 – 20 tahun. Untuk menentukan besarnya sampel dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan : = Besarnya Sampel d = Tingkat Kepercayaan / ketepatan yang digunakan n= 107.430 = 100 Sampel 1 + 107.430 (0,12) 3. Teknik Sampel Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling, yaitu dengan cara pengambilan sampel dengan melakukan undian. 49 Variabel Definisi Operasional Sikap Pernyataan Keluarga responden tentang pendapat positif atau negatif dan atau setuju tidaknya terhadap pergaulan remaja saat ini Cara Ukur Alat Ukur Dengan Kuesioner memberikan pertanyaanpertanyaan kuesioner kepada responden dengan cara dipandu. Pernyataan positif soal no. 1, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10 Skala Hasil Ukur 1. Positif, jika Ordinal nilai skor lebih dari atau sama dengan median. 2. Negatif, nilai kurang median jika skor dari Median : 39 Pernyataan negative soal no. 2, 3, dan 5 Perilaku Pernyataan Keluarga responden tentang pembinaan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kepada anaknya yang telah berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Kuesioner memberikan pertanyaanpertanyaan kuesioner kepada responden dengan cara dipandu 1. Melakukan, Ordinal jika nilai skor lebih dari atau sama dengan median. 2. Tidak melakukan, jika nilai skor kurang dari median Median : 10 50 51 D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dengan instrumen kuesioner yang telah disiapkan sesuai variabel yang akan diukur yang berisi pertanyaan terbuka, dan pertanyaan tertutup yang terlebih dahulu diujicobakan pada responden yang tidak terpilih pada sampel penelitian. Kuesioner ditanyakan langsung oleh penulis kepada responden untuk mengisinya tanpa harus menuliskan nama (anonim) dengan tujuan agar memperoleh jawaban yang sebenarnya. E. Pengolahan Data Setelah data terkumpul, maka akan dilakukan pengolahan data dengan bantuan komputer, agar data dapat diolah sesuai rancangan analisis, maka sebelum dilakukan analisis harus melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. Editing Proses editing dilakukan dengan maksud untuk memastikan bahwa data yang diambil sudah lengkap dan untuk menterjemahkan semua variabel sesuai tujuan penelitian, kemudian dikelompokkan kedalam data kategorik sehingga dapat diaplikasikan kedalam analisis, baik analisis univariat dan bivariat.. Penyuntingan data dilakukan dengan cara memindahkan secara manual jawaban yang terdapat dalam kuesioner kedalam master table sebelum dientri ke dalam komputer. 51 Apabila masih terdapat inkonsistensi dari jawaban responden maka dilakukan penyeragaman dalam master table, sehingga semua data di entry menunjukkan konsistensi internal sesuai dengan rancangan analisis. 2. Koding dan Entry Data Koding dan entry data dilakukan dengan menggunakan program computer, agar menyederhanakan proses entry kedalam computer serta memudahkan interpretasi analisis, maka dilakukan pengelompokan terhadap master table. 3. Cleaning Data Data yang telah di entry di periksa kembali untuk memastikan bahwa data bersih dari kesalahan, baik kesalahan dalam pengkodean ataupun dalam membaca kode sehingga siap untuk dianalisa. F. Analisis Data 1. Analisis Univariat Analisis ini dilakukan untuk melihat besar kecilnya (magnitude) permasalahan dari masing-masing variable yang dianalisis. Analisis melalui prosedur statistic distribusi prekuensi sehingga diperoleh gambaran sebaran dan pemusatan data dari masing-masing variable yang dianalisis. 52 2. Analisis Bivariat Setelah diketahui karakteristik masing-masing variable dapat diteruskan analisis yang lebih lanjut. Apabila diinginkan analisis hubungan antara dua variable, maka analisis dilanjutkan pada tingkat bivariat. Analisis ini bertujuan untuk menguji perbedaan proporsi dua atau lebih kelompok sampel. Uji statistic yang digunakan adalah uji Chi Square. Nilai P yang digunakan adalah nilai Pearson Chi Square. Dasar pengambilan keputusan yaitu apabila p value lebih kecil dari alpha (5%) maka Ho ditolak, yaitu ada hubungan yang signifikan antara variabel yang diuji. Pengelompokan didasarkan pada median dari sampel yang diambil secara random apabila datanya berbentuk nominal atau ordinal, dan pengujian bisa dilakukan berdasarkan nilai mean apabila pada uji normalis nonparametric test menunjukkan distribusi normal (P > 0,05). (Sugiyono, 2003) Hasil uji chi square hanya dapat menyimpulkan ada atau tidaknya hubungan proporsi antar kelompok. Dengan demikian, uji chi square tidak dapat mengetahui kelompok mana yang memiliki risiko lebih besar dibanding kelompok lain. Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan desain cross sectional dapat digunakan odds ratio (OR) untuk mengetahui derajat hubungan dua variable yang diuji. Estimasi confidence interval (CI) OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%. 53 54 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Balangan merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Hulu Sungai Utara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 25 Pebruari 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan undang-undang tersebut, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno meresmikan Kabupaten Balangan pada tanggal 8 April 2003 yang kemudian menjadi hari jadi yang dirayakan setiap tahunnya. Motto Kabupaten Balangan adalah "Sanggam": "Sanggup Bagawi Gasan Masyarakat" (bahasa Banjar, berarti: Kesanggupan melaksanakan pekerjaan (pembangunan) yang didasari oleh keikhlasan untuk masyarakat. Kabupaten Balangan terletak di bagian utara Provinsi Kalimantan Selatan pada garis 114°50'31 - 115°50'24 Bujur Timur dan 2°1'31 - 2°35'58 Lintang Selatan, berdasarkan letak geografis maka kabupaten Balangan cukup strategis karena dilalui lintas trans Kalimantan dan berpeluang besar untuk berkembang menjadi kota persinggahan bagi perjalanan dari Banjarmasin ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Wilayah ini terdiri atas beberapa kecamatan, yaitu: 1. Lampihong, dengan jumlah penduduk 15.728 jiwa 54 2. Paringin, dengan jumlah penduduk 16.865 jiwa 3. Juai, dengan jumlah penduduk 15.695 jiwa 4. Halong, dengan jumlah penduduk 18.612 jiwa 5. Batumandi, dengan jumlah penduduk 16.128 jiwa 6. Awayan, dengan jumlah penduduk 12.048 jiwa 7. Paringin Selatan, dengan jumlah penduduk 11.436 jiwa 8. Tebing Tinggi, dengan jumlah penduduk 5.918 jiwa B. Karakteristik Responden Pada analisis ini disajikan secara deskriptif mengenai frekuensi dari proporsi masing-masing kategori dari setiap variabel independen dan variabel dependen, dan masing-masingnya dapat dilihat pada masing-masing tabel berikut : a. Karakteristik Responden Menurut Status dalam keluarga Tabel 4.1 Karakteristik Responden Menurut Status dalam keluarga Status n Persentase Suami/ayah 25 25 Istri/ibu 75 75 Jumlah 100 100 55 Dari data diatas dapat dilihat, responden terdiri dari suami/ayah kandung sebanyak 25 responden (25%) dan terdiri dari istri/ibu kandung sebanyak 75 responden (75 %). b. Karakteristik Responden Menurut Usia Tabel 4.2 Karakteristik Responden Menurut Usia Usia orang tua (Depkes RI, 2013) 26 – 35 tahun / Dewasa Awal 36 – 45 tahun / Dewasa Akhir 46 – 55 tahun / Lansia Awal 56 – 65 tahun / Lansia Akhir Jumlah n Persentase 16 16 54 54 27 27 3 3 100 100 Dari data diatas dapat diketahui bahwa jumlah responden yang masuk dalam kategori dewasa awal sebanyak 16 orang (16%), dewasa akhir 54 orang (54%), lansia awal 27 orang (27%), dan yang termasuk dalam kategoi lansia akhir 3 orang (3%). 56 c. Karakteristik Responden Menurut Usia Remaja Tabel 4.3 Karakteristik Responden Menurut Usia Anak Remaja Usia anak sekarang (Depkes RI, 2013) Remaja Awal (13 – 16 Tahun) Remaja Akhir (17 – 20 Tahun) Jumlah N Persentase 47 47 53 53 100 100 Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah responden yang memiliki anak usia 13 – 16 tahun sebanyak 47 orang (47%) dan yang memiliki anak usia 17 – 20 tahun sebanyak d. Karakteristik Responden Menurut Pengetahuan tentang Usia Pubertas Anak Tabel 4.4 Karakteristik Responden Menurut Pengetahuan tentang Usia Pubertas Anak Usia anak pubertas n Persentase Tahu 52 52 Tidak Tahu 48 48 Jumlah 100 100 Gambaran responden menurut pengetahuan orangtua tentang usia anaknya saat mengalami pubertas yaitu, dari 100 orang (100%) responden terdapat 52 responden (52%) yang mengetahui dengan yakin 57 usia anak saat mengalami pubertas, dan sebanyak 48 responden (48%) yang tidak tahun usia anak mengalami pubertas, yaitu pada remaja putrid yang ditandai dengan menstruasi dan pada remaja putra yang ditandai dengan mimpi basah (keluarnya cairan semen di saat tidur). e. Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan Responden Tabel 4.5 Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan Responden Pekerjaan n Persentase IRT 44 44 Pedagang 3 3 Petani 13 13 Swasta 32 32 PNS 8 8 Jumlah 100 100 Dari tabel diatas dapat dilihat, responden yang jenis pekerjaan pekerjaan responden terdiri dari suami/ayah kandung sebanyak 25 responden (25%) dan terdiri dari istri/ibu kandung sebanyak 75 responden (75 %). 58 f. Karakteristik Responden Menurut Sumber Informasi Tabel 4.6 Karakteristik Responden Menurut Sumber Informasi Sumber Informasi n Persentase Televisi 92 92 Radio 1 1 Majalah/Koran/Tabloid 4 4 Lainnya 3 3 Jumlah 100 100 Tabel diatas menunjukkan, jenis informasi yang paling dominan membantu dalam perkembangan pengetahuan keluarga tentang kesehatan reproduksi adalah melalui televisi yaitu sebanyak 92 responden (92%), 4 responden (4%) melalui Majalah/Koran/tabloid, 1 responden (1%) melalui radio, dan sisanya 3 responden (3%) mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi melalui pengajian, puskesmas, dan posyandu. 59 C. Analisis Univariat a. Sikap Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 Tabel 4.7 Sebaran Jawaban Kuesioner Sikap Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 No Pernyataan SS S 1 Seks pada remaja tidak boleh dilakukan meski ekspresi rasa cinta untuk pacar. Dari pada menanggung malu, dianggap ‘kampungan’ oleh orang, maka anak yang sudah remaja boleh saja melakukan hubungan seksual. Masa remaja adalah masa yang harus dilalui dengan kebebasan karena masa ini tidak akan terulang. Remaja yang melakukan seks sama dengan merusak masa depan. Bertanya tentang seks pada teman anak merupakan tindakan tepat dalam mengatasi masalah kesehatan. Seseorang yang melakukan seks diluar nikah adalah orang yang telah melanggar norma-norma di masyarakat 27 2 3 4 5 6 R TS STS 48 18 7 2 17 54 27 20 63 12 4 30 48 18 4 10 64 19 2 36 54 8 2 1 5 60 No Pernyataan 7 Remaja putri penting menjaga keperawanan. Anak harus bersikap terbuka dan mau bercerita kepada orang tua tentang kesehatan reproduksi. Orang tua harus secara dini meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi anak remaja, bukan membiarkan anak secara mandiri membaca & menonton film porno Remaja yang melakukan seks adalah dari keluarga yang tidak harmonis. 8 9 10 SS S R 40 59 1 23 59 34 42 5 TS STS 17 1 17 2 Tabel 4.8 Karakteristik Responden Menurut Sikap Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 Sikap n Persentase Positif 55 55 Negatif 45 45 Jumlah 100 100 Gambaran responden menurut sikap menunjukkan, dari 100 orang responden terdapat 55 responden (55%) yang memiliki sifat positif, dan 45 orang responden (45%) yang memiliki sifat negative. 61 b. Perilaku Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 Tabel 4.9 Sebaran Jawaban Kuesioner Perilaku Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 No. Uraian Pernyataan Melakukan 1 Sedini mungkin anak diajari bahwa keperawanan dan keperjakaan adalah hal yang sakral & harus dijaga. Anak diajari bagaimana cara bersuci selepas menstruasi atau mimpi. Saya selalu mendampingi dan menjelaskan bahwa anak sedang mengalami pubertas, dimana anak memahami ketertarikan dengan lawan jenis adalah sesuatu hal yang sehat Saya juga menjelaskan bahwa ketertarikan tidak harus diakhiri dengan berpacaran Selalu saya sampaikan bahwa seks bukanlah ekspresi rasa cinta. Saya mengajarkan norma-norma mana yang baik dan mana dilarang di masyarakat Saya mengajari cara menolak yang baik saat mengalami keterpaksaan. Anak dibekali rasa percaya diri yang tinggi sehingga berani mengatakan tidak Komunikasi yang baik dengan anak selalu dibangun, sehingga anak tidak pernah menyimpan rahasia dari orang tua. Orang tua selalu membimbing anak termasuk cara mencari teman yang baik. 99 Tidak melakukan 1 94 4 89 11 85 15 89 11 97 3 92 8 96 4 96 4 99 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 62 Tabel 4.10 Karakteristik Responden Menurut Perilaku Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 Perilaku Keluarga n Persentase Melakukan 66 66 Tidak Melakukan 34 34 Jumlah 100 100 Dari data diatas dapat dilihat, responden yang telah melakukan pembinaan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kepada anaknya terdapat 66 orang responden (66%), dan responden yang termasuk dalam kategori tidak melakukan terdapat 34 responden (34%) D. Analisis Bivariat Tabel 4.11 Hubungan Sikap dan Perilaku terhadap Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Balangan 2015 Perilaku Keluarga Sikap Melakuk Tidak an Melakukan n % n % Total Nilai P n % Positif 37 67,3 18 32,7 55 100 Negatif 29 64,4 16 35,6 45 100 0,833 OR 95% CI 1,134 0,494-2,602 63 Dari 55 responden yang bersikap positif terdapat 37 orang (67,3%) responden yang telah melakukan pembinaan tentang kesehatan reproduksi dalam kehidupan sehari-hari dan 18 orang (32,7%) yang tidak melakukannya. Sedangkan dari 45 orang responden yang bersikap negative terdapat 26 orang (64,4%) responden yang telah melakukan pembinaan tentang kesehatan reproduksi dalam kehidupan sehari-hari dan 16 orang (35,6%) yang tidak melakukannya. Hasil analisis statistik diperoleh p.value 0,833 yang artinya tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi di Kabupaten Balangan 2015. E. Pembahasan Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Balangan, yang mana terdapat 3 tempat penelitian yang dipilih, yaitu Kecamatan Paringin, Kecamatan Juai, dan Kecamatan Awayan. Ketiga tempat tersebut di kategorikan sebagai wilayah yang mewakili dari daerah kota, daerah desa, dan daerah terpencil. Pengambilan data ke lapangan dilakukan langsung mendatangi kerumah-rumah warga yang terpilih menjadi responden yang berjumlah 100 orang dari tanggal 2 s/d 7 April 2015 (5 hari). Jumlah responden dalam penelitian ini seharusnya dibagi menjadi tiga daerah dengan proporsi terbagi rata, namun karena kendala dilapangan menunjukkan sulitnya sebaran daerah dapat direalisasikan. Banyak orang tua yang menolak untuk menjadi responden sehingga mencari orang tua lain yang 64 masuk kriteria sampel, dan dengan banyaknya pergantian responden memungkinkan untuk mengganti responden ke Kecamatan yang sudah terpenuhi jumlahnya. Sehingga, responden yang terkumpul terdiri dari 47 orang responden (47 %) dari Kecamatan Paringin, 33 Responden (33%) dari Kecamatan Awayan, dan hanya 20 orang responden (20%) dari Kecamatan Juai. Status orangtua yang bersedia diwawancarai 75% berstatus sebagai istri/ ibu dan 25% berstatus sebagai ayah/suami, perbedaan angka yang signifikan terjadi karena kebanyakan saat melakukan kunjungan kerumah responden untuk wawancara pada pagi dan siang hari sehingga hanya ibu yang ada dirumah, walaupun saat dikunjungi kedua orang ada dirumah, hampir semua bapak meminta ibu untuk melayani pengisian kuesioner atau wawancara. Peran orangtua begitu sangat penting, terlebih dalam era modernisasi sekarang ini, orang tua sangat dibutuhkan. Berkenaan dengan perkembangan kecanggihan teknologi, sesuatu yang tidak dapat dihindari bahwa teknologi berkembang dengan pesat. Penelitian ini menunjukkan bahwa televisi (92%) yang paling dominan digunakan para responden sebagai sumber informasi yang berkaitan tentang kesehatan reproduksi, hanya 4% responden yang mendapatkan informasi melalui media cetak (majalah/koran/tabloid), 3% melalui pengajian rutin ibu-ibu, penyuluhan kesehatan ditingkat puskesmas dan posyandu, dan hanya 1% responden mendapatkan informasi melalui radio. 65 Sumber informasi berperan penting bagi para orangtua dalam menentukan sikap atau keputusan bertindak. Setiap hari masyarakat terpapar informasi tentang pentingnya menjaga kesehatan baik media atau brosur-brosur yang tertempel ditempat pelayanan kesehatan, sekolah, dan tenaga kesehatan yang berada disekeliling pemukiman, termasuk dari mahasiswa yang sewaktu-waktu menjadikan kabupaten Balangan sebagai tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Banyaknya ketersediaan sarana prasarana tersebut dianggap cukup efektif untuk menciptakan suasana peningkatan informasi yang lebih pada para orang tua dan remaja. Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang dengan pengetahuan menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003). Sikap responden menunjukkan 55% responden bersikap positif terhadap kesehatan reproduksi remaja, hal itu ditunjukkan pada pertanyaan no. 8, terdapat 40 responden yang sangat setuju anak harus terbuka tentang dirinya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kepada orangtua, dan pertanyaan no 10, terdapat 34 responden yang sangat setuju bahwa kenakalan pada anak tidak lain bersumber pada ketidakharmonisan orangtua itu sendiri. Sedangkan responden yang menunjukkan sikap negative terhadap kesehatan reproduksi remaja sebanyak 44%. Sedangkan responden 66 yang menyatakan sangat setuju bahwa masa remaja adalah masa yang harus dilalui dengan kebebasan karena masa ini tidak pernah terulang (no. 3) sebanyak 20 responden dan terdapat 10 responden yang sangat setuju bahwa sangat tepat anak dapat bertanya tentang seks dengan teman sebayanya (no. 5). Penelitin ini menggunakan kategorikal sikap positif dan negatif, dimana sikap negatif memiliki proporsi lebih rendah dibandingkan dengan sikap positif. Adanya perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya mengingat variabel sikap sangat relatif, karena sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas seseorang, melainkan masih pada fase predisposisi tindakan suatu perilaku. Variabel perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi, terdapat 66% orang tua yang sudah secara dini memberikan pembinaan dan arahan kepada anak terkait kesehatan reproduksi, ini terlihat pada responden yang menjawab pertanyaan no.1 dan pertanyaan no 10, terdapat 99% responden yang telah mengarahkan anak secara dini bahwa keperawanan/keperjakaan adalah hal sakral dan harus dijaga dan para orang tua telah melakukan pembinaan kepada anak bagaimana cara mencari teman yang baik. Informasi yang dimiliki orangtua mempengaruhi dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam melakukan pola asuh terhadap anak. Melalui komunikasi orangtua hendaknya betul-betul menjadi sumber informasi dan pendidik utama tentang kesehatan reproduksi remaja, juga 67 tentang perencanaan kehidupan remaja di masa yang akan datang. Ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa keluarga merupakan lingkungan belajar yang pertama, dimana orang tua terutama ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan informasi, termasuk memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi pada anaknya secara benar. Hasil Survey Data Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan jumlah pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Penelitian Hasil analisis hubungan antara sikap keluarga dan perilaku keluarga didapat nilai p. value 0,833, yang dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan antara sikap keluarga dengan perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi remaja di Kabupaten Balangan 2015. Ini mengartikan ada factor lain yang menentukan perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi remaja selain sikap keluarga itu sendiri. Mueller (1992), mengatakan bahwa sikap adalah suatu pengaruh atau penolakan, penilaian, suka atau tidak suka atau kepositifan/kenegatifan terhadap suatu objek. Begitu juga sikap orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja adakalanya orang tua akan menerima pernyataan atau menolak mungkin disebabkan adanya dorongan terhadap objek tertentu. Sedangkan menurut Hidayat (2005), sumber informasi yang benar akan mempengaruhi sikap dan pandangan seseorang terhadap permasalahan kesehatan reproduksi dan masalah seksual yang terjadi dimasyarakat. 68 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian di Kabupaten Balangan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sebagian besar responden bersikap positif (55%) terhadap kesehatan reproduksi remaja. 2. Sebagian besar responden melakukan (66%) pembinaan secara dini kepada anak tentang kesehatan reproduksi remaja. 3. Tidak ada hubungan antara sikap keluarga dengan perilaku keluarga terhadap kesehatan reproduksi remaja (P. Value 0,833) B. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka peneliti ingin memberikan saran antara lain : 1. Bagi Orang Tua a. Orang tua harus tetap lebih memperhatikan anak-anaknya terlebih diusia ini anak sedang dalam masa perkembangan dan orang tua harus juga menjalin persahabatan dengan teman sebaya anak. Apalagi saat ini kemajuan teknologi semakin canggih, banyak situssitus internet yang mudah dibuka oleh remaja yang sedang mengalami 69 puncak perkembangan seksual dan keinginan remaja yang serba ingin tahu tentang segala sesuatu termasuk masalah seks. b. Orang tua dapat memberikan pengetahuan tentang perilaku seks yang menyimpang pada remaja sejak usia dini. Pemahaman tata nilai dan agama yang baik serta memberikan informasi yang baik dan bertanggung jawabagar remaja tidak salah dalam mendapatkan informasi dan memilih teman sebaya. 2. Bagi Peneliti Lain Karena keterbatasan waktu peneliti, maka dalam penelitian selanjutnya disarankan agar dilakukan penelitian kepada faktor-faktor lain yang memepengaruhi perilaku keluarga untuk melakukan pembinaan dan pengarahan tentang kesehatan reproduksi yang diteliti oleh peneliti selanjutnya. 70 DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2000. Penyusunan Skala Psikologi, Pustaka Pelajar (PP), Yogyakarta BKKBN, 2010. Kurikulum dan Modul Pelatihan Pemberian Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja Oleh Pendidik Sebaya, Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi, Jakarta Darwisyah, S. 2002. Kesehatan Reproduksi Remaja, Jakarta Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Materi Pelatihan Bimbingan dan Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi Petugas Kesehatan, Ditkesga, Jakarta Handayani, Sri Astuti. 2009. Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja, online. http://ntb.bkkbn.go.id, diakses, 4 Desember 2015. Hidayat, Zainul, 2005. Remaja Indonesia dan Permasalahan Kesehatan Reproduksi, Warta Demografi, 33, No. 4, 14-22 Hurluck, Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlanngga, Jakarta Kerlinger, 1990. Azas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Latifah, Melly, 2008. Perkembangan Kognitif Remaja. Online. http://tumbuhkembang-anak.blogspot.com/2008/05/perkembangan-kognitif-remaja.html Mar’at, 1984. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia, Jakarta Mueller, DJ, 1992. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam berbagai Bagiannya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : PT. Rieneka Cipta Pangkahila. W. 1998. Perilaku Seksual Remaja di Desa dan di Kota, Makalah disajikan dalam Seminar Sehari FKUI, Jakarta Perdede, Nancy, 2008. Masa Remaja dalam Narendra, dkk. Buku Ajar I Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Edisi Pertama Tahun 2002, Sagung Seto, Jakarta 71 Praswasti, Diah, R. 2012. Seks Bebas Remaja Banjarmasin meningkat . Bharata News Resnayanti, Y, 2000. Faktor-factor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Remaja Siswa SLTP dan SMUN di Wilayah Jakarta Timur, Tesis, FKM-UI. Jakarta Santrock, John, W, 2007. Remaja Edisi II (Benedictine Widyasinta, Penerjemah). Jilid I, Erlangga. Jakarta Situmorang, Agustina, 2003. Adolecent Reproduktive Health in Indonesia. Jakarta, Report for STARH Program, Johns Hopkins University Sri Dwi Omarsari dan Ratna Juwita, 2008. Kehamilan Pranikah di Kabupaten Sumedang, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Val.3. No. 2 Oktober. PP. 64 Widyastuti, Setya Asih, 2009. Faktor Personal dan Sosial yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Hubungan Seks Pranikah : Sebuah Studi di Lokalisasi Sunan Kuning dan Gambilangu Semarang. Tesis, Universitas diponegoro, Semarang Zahrotul Uyun. 2013. Peran Orangtua Dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi. Prosiding Seminar Nasional Parenting Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 72 DOKUMENTASI KEGIATAN 73 74 75 76 77 INSTRUMEN PENELITIAN 78 PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Saya menerima tawaran berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul “Analisis Sikap dan Perilaku Keluarga terhadap Kesehatan reproduksi di Kabupaten Balangan”. Dengan ini saya menyatakan kesediaan untuk menjadi responden dengan sukarela, dengan syarat hasil penelitian ini tidak menimbulkan akibat bagi saya. Hormat saya, Responden ( ) 79 KUESIONER PENELITIAN ANALISIS SIKAP DAN PERILAKU KELUARGA TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI DI KABUPATEN BALANGAN Diisi Oleh Peneliti Tanggal pengumpulan data No. Kuesioner : : Diisi oleh responden : A. Karakteristik Responden Nama : Alamat : Status : Suami / Istri Usia : Usia Anak sekarang : 13 / 14 / 15 / 16 / 17 / 18 / 19 / 20 Usia Anak pubertas : Pekerjaan : tahun / tidak tahu 80 B. Pengetahuan Orang tua tentang Kesehatan reproduksi (Berilah tanda contreng (√) pada kolom B apabila pernyataan yang anda anggap benar dan pada kolom S apabila pernyataan anda anggap salah). No 1. Pertanyaan Seks adalah alat B reprodukdi S yang membedakan kelamin pria dan wanita. 2. Hubungan seks adalah kegiatan normal manusia. 3. Seks untuk melanjutkan melanjutkan keturunan, memperdalam ikatan batin dan menentramkan jasmani dan jiwa. 4. Intercouse merupakan hubungan seks yang dilakukan melalui kontak alat kelamin. 5. Penyebab timbul keinginan seks adalah pergaulan yang negative. 6. Penyebab timbulnya keinginan seks adalah rendahnya iman kepada tuhan. 7. Penyebab timbulnya keinginan seks adalah menonton/membaca hal-hal yang berbau porno. 8. Akibat dari perbuatan seks pelajar dapat dikeluarkan dari sekolah. 9. Akibat perbuatan seks prestasi belajar dapat menurun. 10. Perempuan yang melakukan seks akan terjerumus pada pelacuran. 11. Mendapatkan informasi yang benar tentang 81 No Pertanyaan B S kesehatan reproduksi akan menghindarkan dari pada perilaku seks. 12. Prilaku seks dapat dihindari jika orang tua menjadi sahabat. 13. Prilaku seks dapat dihindari dengan meningkatkan keimanan. 14. Seks oral dapat menyebabkan penyakit kanker mulut. 15. HIV/AIDS adalah jenis penyakit kelamin yang mematikan C. Sikap Orang tua tentang Kesehatan Reproduksi (Berilah tanda contreng (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan situasi sekarang yang dialami orantua. Dimana SS= Sangat Setuju ; S=Setuju ; R=Ragu-ragu ; TS=Tidak Setuju ; STS=Sangat Tidak Setuju) No 1. Pernyataan Seks pada remaja SS tidak S R TS STS boleh dilakukan meski ekspresi rasa cinta 2. untuk pacar. Dari pada menanggung malu, dianggap ‘kampungan’ oleh orang, maka anak yang 3. sudah remaja boleh saja melakukan hubungan seksual. Masa remaja adalah masa yang harus dilalui dengan kebebasan karena masa 4. ini tidak akan terulang. 82 No Pernyataan SS S R TS STS Remaja yang melakukan seks sama 5. dengan merusak masa depan. Bertanya tentang seks pada teman anak merupakan tindakan tepat dalam 6. mengatasi masalah kesehatan. Seseorang yang melakukan seks diluar nikah 7. adalah yang telah melanggar norma-norma di masyarakat Remaja 8. orang putri penting menjaga keperawanan. Anak harus bersikap terbuka dan mau bercerita kepada orang tua tentang 9. kesehatan reproduksi. Orang tua harus secara dini meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi 10. membiarkan anak anak remaja, bukan secara mandiri membaca & menonton film porno Remaja yang melakukan seks adalah dari keluarga yang tidak harmonis. 83 D. Sumber Informasi Dari manakah informasi tentang kesehatan reproduksi anda dapatkan ? (Jawaban boleh dipilih lebih dari satu). Tolong urutkan 1-3 saja sumber informasi yang paling sering anda peroleh! No Sumber Informasi Urutan ke 1. Televisi/TV 2. Radio 3. Majalah/Koran/Tabloid 4. Internet 5. Pengajian agama 6. Lainnya………… (Sebutkan) A. Periaku Keluarga Hal-hal dibawah ini merupakan kegiatan yang terjadi dalam keluarga (Berilah tanda contreng (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan situasi di keluarga). No. 1. Pernyataan Sedini mungkin anak diajari Dilakukan Tidak dilakukan bahwa keperawanan dan keperjakaan adalah hal yang sakral & harus dijaga. 2. Anak diajari bagaimana cara bersuci selepas 84 No. Pernyataan Dilakukan Tidak dilakukan menstruasi atau mimpi. 3. Saya selalu mendampingi dan menjelaskan bahwa anak sedang mengalami pubertas, dimana anak memahami ketertarikan dengan lawan jenis adalah sesuatu hal yang 4. sehat Saya juga menjelaskan bahwa ketertarikan 5. tidak harus diakhiri dengan berpacaran Selalu 6. saya sampaikan bahwa seks bukanlah ekspresi rasa cinta. Saya mengajarkan norma-norma mana 7. yang baik dan mana dilarang di masyarakat 8. Saya mengajari cara menolak yang baik saat mengalami keterpaksaan. 9. Anak dibekali rasa percaya diri yang tinggi sehingga berani mengatakan tidak Komunikasi yang baik dengan anak selalu 10. dibangun, sehingga anak tidak pernah menyimpan rahasia dari orang tua. Orang tua selalu membimbing anak termasuk cara mencari teman yang baik. 85