KEBIJAKAN PEMBERIAN SANKSI DALAM HUKUM POSITIF DAN PEMIDANAAN TA’ZÎR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM Faisal Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung Jl. H. Endro Suratmin, Sukarame, Bandar Lampung E-mail: [email protected] Abstract: Provision of Sanction Policy in Positive Law and Ta’zir Criminalization in Islamic Criminal Law. Crime in Indonesia legal system is indeed an interesting subject to observe. In Islam, the concept of ta’zîr criminalization has been embodied in the Quran and the Hadith. Islam offers many forms of ta’zîr. Substantially, the policy in Islamic law and positive law are the same although differences also exist in the concept level. This study identifies an understanding of traditional forms of Islamic crime as defined in the Qur’an and Sunnah, the dynamics of innovative interpretations conducted by legal experts, the basic idea of Islamic criminal law and the possibilities of Islam criminal innovation. Keywords: jarîmah, ta’dîb, qishâs Abstrak: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan Ta’zîr dalam Hukum Pidana Islam. Persoalan pidana dalam tata hukum Indonesia memang menarik untuk dicermati. Dalam Islam, konsep pemidanaan ta’zîr termaktub dalam kitab suci Alquran dan Hadis nabi. Banyak sekali bentuk-bentuk ta’zîr yang ditawarkan dalam Islam. Secara substansi konsep kebijakan dalam hukum Islam sama dengan hokum Positif, namun dalam tataran konsepnya terdapat perbedaan. Kajian ini diarahkan pada upaya pemahaman bentuk-bentuk tradisional pidana Islam sebagaimana ditentukan dalam Alquran dan al-Sunnah serta dinamika penafsiran inovatif yang dilakukan oleh para ahli hukum, gagasan dasar yang dikandung oleh konsep pidana Islam, serta berbagai kemungkinan inovasi atau pengembangan bentuk-bentuk pidana Islam tersebut. Kata Kunci: jarîmah,ta’dîb, qishâs Pendahuluan Permasalahan pidana sering dijadikan tolok ukur sampai seberapa jauh tingkat “peradaban” bangsa yang bersangkutan. 1 Aliran berbagai teori bermunculan dalam permasalahan pidana. aliran klasik (abad 18) menyatakan bahwa pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana.2 Sementara aliran modern (abad 19) menyatakan bahwa pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme3 dan menghendaki Lihat Sudarto, “Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia,” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974. 3 Dalam tulisan yang berjudul “Rational Choice and Determinism”, John S. Goldkamp menyebut tokoh-tokoh yang men­dukung determinisms, dan yang memperluas pengertiannya 2 Mudzakkir, “Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli1993, h. 1. 1 107 108| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan. 4 Pada era kontemporer menyatakan bahwa pidana adalah pertanggungan jawab seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat (etat dangerevix). Bentuk pertanggungan jawab kepada si pembuat lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Dengan kata lain, pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat pihak pembuat. Jadi, aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi pihak pembuat.5 Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan dalam Hukum Positif Ada perbedaan mendasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Terkadang fokus sanksi pidana terarah pada upaya memberi pertolongan agar pelaku berubah,6 dan lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). la me­ rupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada pihak pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pe­langgar.7 Dengan kata lain, sanksi pidana dititik­ beratkan pada pidana yang diterapkan untuk adalah Lombroso dengan teori “Bom Criminal, E Ferri dengan teori human figure, W. Bonger dengan Manusia ekonominya yang digerakkan oleh cupidity (keinginan besar untuk memiliki), S. Freud yang menunjuk mencemaskan manusia sebagai pembunuh laten dan sex o/fenderserta H Eysenck yang mencemaskan manusia sebagai binatang paling buas dan mematikan yang pernah hidup. Lihat Michael R. Gottfredson and Travis Hirschi, Positive Criminology, (London: Sage Publicaations,1987), h. 135. 4 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 32,39,63, dan 64. 5 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 79. 6 Bandingkan dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 4. 7 Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penyediaan Kuliah FH -UNDIP, 1973), h. 7. kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.8 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. 9 Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.10 Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. la semata-mata ditujukan pada preverensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan ke­ pentingannya. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.11 Mengenai tujuan dari hukuman dalam konteks hukum pidana nasional adalah untuk untuk menakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik terhadap orang banyak/general preventive (pencegahan umum),12 speciale preventive (pencegahan khusus).13 atau orang tertentu yang mudah 8 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h. 350. 9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 5. 10 Ultrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987), h. 360. 11 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusike Reformasi, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986), h. 53. 12 Tujuan dari general preventive adalah agar setiap orang tidak melakukan kejahatan. Pada prinsipnya pencegahan umum dilakukan dengan empat cara: a) Dengan jalan menakut-nakuti orang yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan; b) Dengan jalan menormakan, bahwa adalah salah jika kelakuankelakuan yang dimaksud dalam pengumuman sampai dilakukan; c) Dengan jalan pembalasan secara empiris; d) Dengan jalan membikin tidak muncul bahaya, misalnya dengan jalan menahan pemimpin-pemimpin kelompok penjahat. Lihat Roeslan Saleh, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Aneka, 1983), h. 47. 13 Tujuan dari special preventive adalah agar orang yang pernah melakukan tindak pidana tidak mengulangi lagi pada masa yang akan datang. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1) Perbaikan yuridis: mengenai sikap penjahat dalam hal mentaati hukum dan undang-undang. 2) Perbaikan intelektual; mengenai cara berpikir si penjahat agar ia insaf akan jeleknya kejahatan. 3) Perbaikan moral; mengenai rasa Faisal: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan . . . |109 melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan lagi. Selain itu untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar orang menjadi baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Dasar Penentuan Tindak Pidana dan Sanksinya dalam Hukum Islam Pidana Islam dalam bahasa kosa kata bahasa Arab adalah ‘uqûbah ( ).14 Sementara pengertian pidana Islam secara terminologi, yaitu: Sementara pengertian jarîmah secara terminologis adalah: 16 Jarîmah dalam syari’ah Islam yaitu laranganlarangan syara’ yang diancam oleh Allah swt, dengan hukuman had dan ta’zîr . Terkadang para fukaha sering memakai kata jarîmah untuk maksud jarîmah. Hal ini seperti pendapat menurut ‘Abd Qadir Audah, jarîmah secara etimologis adalah: 17 ‘Uqûbah adalah balasan yang dibuat Syâri (Allah dan Rasul-Nya) untuk menolak atau mencegah dari mengerjakan perbuatan yang dilarang, dan meninggalkan perbuatan yang diperintah. Berdasarkan definisi di atas, pidana dalam Islam harus memenuhi beberapa kriteria-kriteria yakni sanksi itu adalah produk Allah, sanksi bertujuan untuk kemaslahatan umat, dan sanksi itu dibuat untuk orang yang melanggar perintah Allah atau larangannya. Sementara tindak pidana dalam hukum Islam disebut jarîmah ( ) atau jinâyah ( ). Secara etimologi jarîmah adalah: 15 Jarîmah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan kesusilaan penjahat, agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. 14 Uqûbah menurut bahasa, berkedudukan sebagai isim masdar yang berasal dari yang berarti yaitu pembalasan dengan keburukan (siksaan), hukuman, pidana, balasan dan menahan. Lihat Lowis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-I’lâm, (Bayrut: Dâr al-Masyriq, 1975), h. 518. Lihat juga Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, t.t.), h. 1022-1023. 15 Lowis Ma’luf, al-Munjid, h. 88. Bandingkan Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab, h. 201 Jarîmah adalah nama (sebutan) orang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat kejahatan. Dengan memperhatikan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata-kata jarîmah dalam istilah fukaha dianggap sama dengan kata-kata jarîmah. Sehingga definisi tindak pidana Islam adalah setiap perbuatan yang diharamkan atau dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, serta diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zîr. Berdasarkan definisi di atas, menurut penulis, bahwa perbuatan seseorang dianggap sebagai perbuatan pidana apabila mempunyai kriteria-kriteria yakni perbuatan itu diharamkan atau dilarang oleh syari’at, perbuatan itu berbahaya bagi agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Berkaitan dengan hal ini unsur-unsur tindak pidana dalam Islam adalah: Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyah fî al-Wilâyah al-Dîniyah, (Bayrut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1999 M/1420 H), h. 70; Lihat juga ‘Abd Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, h. 67. 17 ‘Abd Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, h. 67. 16 110| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 18 1. Ada nas yang melarang tindak pidana dan ada pula sanksinya. Ini kami namakan dalam istilah undang-undang dengan al-rukn al-syâr’i (unsur formil) untuk jarîmah.19 2. Adanya perbuatan yang berbentuk jarîmah, baik berupa perbuatan atau sikap tidak berbuat. Ini kami menamakannya dengan al-rukn al-mâdi (unsur materiil) untuk jarîmah. 3. Adanya pelaku tindak pidana tersebut adalah orang yang mukallaf (cakap hukum), yaitu orang yang dapat dimintai pertanggunganjawabannya. Ini kami menamakannya dengan al-rukn al-‘adabi (unsur moril). Ketiga unsur tersebut adalah satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada maka seseorang yang melakukan tindak pidana tidak bisa diberikan atau dijatuhi sanksi hukum.20 Adanya sanksi karena adanya tindakan kriminal, maka tujuan dikriminalkan suatu perbuatan, menurut pendapat para ahli hukum Islam adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaankepercayaan atau harta benda, nama baik, ‘Abd Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, h. 68. Dari sini muncul asas legalitas dalam hukum pidana Islam yang berdasar pada Alquran, hadis maupun ijtihad. Para penegak hukum (polisi, jaksa, advokat dan hakim) harus mengetahui bahwa sanksi pidana dalam Islam bersumber dalam Alquran, hadis dan ijma’ atau bersumber dari ulul amri (penguasa), suatu peraturan perundang-undangan yang disusun dan disahkan oleh penguasa (lembaga legislatif dan eksekutif ). Peraturan perundang-undangan itu tidak boleh bertentangan dengan Alquran dan hadis. 20 Di samping unsur umum ini, ada unsur khusus yang hanya berlaku di dalam satu jarîmah dan tidak sama dengan unsur khusus jarîmah lain. Misalnya mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah unsur khusus di dalam perampokan yaitu mengambil harta orang lain dengan terangterangan. 18 kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang semuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara, dihormati serta dilindungi.21 Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konsep atau kaidah fikih (qawâ‘idul fiqhiyyah) yang dalam hal ini dapat dikaitkan pada kaidah yang pertama, yakni:22 Bagi wasilah (perantara) berlaku hukum halhal yang dimaksud (tujuan). Hal ini dikarenakan setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan selalu dipengaruhi oleh tujuan, sehingga para pembuat undang-undang (legislator/ulil amri) telah menetapkan suatu kaidah me­ ngenai tujuan mengapa perbuatan tersebut dikriminalkan. Para legislator atau ulil amri dalam hal ini telah menetapkan kriteria, jika dilihat akan sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan di atas. Bentuk-bentuk Tindak Pidana dalam Hukum Islam Konsep jarîmah berkaitan dengan masalah “larangan” karena perbuatan-perbuatan itu meng­ancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan adanya larangan maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara. Jarîmah juga dapat dilihat dari segi mengerjakannya, yaitu dengan cara ber­ buat atau melakukan tindak pidana. Jarîmah jenis ini disebut jarîmah ijâbiyah/ delict commisionis. Contohnya mencuri,23 membunuh,24 merampok, memberontak,25 19 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum, h. 5. Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih (al-Qawâ’idul Fikihiyyah), (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 5. 23 Dalam istilah Islam adalah sirqah: termasuk ke dalamnya mengambil milik umum (korupsi), makan harta orang lain tanpa hak, makan harta anak yatim, makan riba dan lain-lain. Lihat Q.s. al-Mâidah [5]: 38-39. 24 Dalam hal ini adalah menghilangkan jiwa, menghilang­ kan anggota badan, melukai, pengguguran janin (abortus) dan lain-lain. Lihat Q.s.al-Baqarah [2]: 178. 25 Lihat Q.s.al-Hujurat [49]: 9; al-Nahl [16]: 90; Yunus [10]: 23-27. 21 22 Faisal: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan . . . |111 minum khamar,26 dan sebagainya. Dalam jarîmah jenis ini, seseorang melakukan maksiat,27 karena melakukan hal-hal yang dilarang. Jarîmah jenis lain adalah dengan cara tidak melakukan hal yang diperintahkan,28 seperti tidak melaksanakan amanah, tidak membayar zakat bagi orang yang telah wajib membayarnya, dan tidak melakukan sholat. Jarîmah jenis ini disebut jarîmah salabiyah/ delict ommisionis. Pelanggaran terhadap aturan Allah yang menyebabkan seseorang harus membayar kafârah ataupun fidyah termasuk ke dalamnya melanggar sumpah, pelanggaran dalam ihram haji atau umroh, terkepung pada musim haji, menzhihar isteri dan lain-lain, sebagaimana dalam Q.s. alMâidah [5]: 89,95 -96). Berdasarkan aspek ini, terdapat juga jarîmah bentuk ketiga, yaitu jarîmah yang disebut sebagai jarîmah ijâbiyah taga’u bi thâriq al-salab/delict commisionis per ommisionem commisa. Jarîmah bentuk ketiga ini sebagaimana dicontohkan oleh Mazhab Mâliki, Syâfi’i dan Hambali, seseorang menahan tawanan dan tidak memberi makan dan minum hingga meninggal, tindakan ini sama halnya dengan membunuh. Orang yang menahan itu dikategorikan sebagai pembunuh sengaja.29 Sama halnya dengan kasus seorang ibu yang tidak memberi air susu kepada anaknya dengan maksud untuk membunuhnya. Adapun bentuk-bentuk pidana antara lain:30 Yakni minum zat cair yang memabukkan, menggunakan zat lainnya yang dapat merusak akal dan kesehatan (Q.s. alMâidah [5]: 90-91); 27 Yaitu perzinahan: termasuk kedalamnya homoseksual, lesbian, mendatangi binatang dan lain-lain (Q.s. al-Nur [24]:34); Tuduhan perzinahan: tuduhan perzinahan bagi muslimah yang baik-baik dan tuduhan berzina terhadap isteri .(Q.s.al-Nur [24]:4-5). 28 Yaitu keengganan melaksanakan hukum Allah (Q.s. alMâidah [5]: 44, 45 dan 47) 29 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h. 15. Lihat juga Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1976), h.12-14. 30 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 11. 26 a. Pidana atas Jiwa, yang terdiri dari: 1) Pidana mati dengan pedang; 2)Pidana mati dengan digantung di tiang salib (disalib); 3)Pidana mati dengan dilempar batu (dirajam). b. Pidana atas harta kekayaan, yang me­ liputi: 1) Pidana diat ganti rugi; 2)Pidana ta’zîr sebagai tambahan; c. Pidana atas anggota badan, berupa: 1) Pidana potong tangan dan kaki; 2) Pidana potong tangan atau kaki; 3) Pidana penamparan atau pemukulan merupakan variasi bentuk pidana sebagai peringatan dan pengajaran. d. Pidana atas kemerdekaan, berupa: 1) Pidana pengusiran atau pembuangan; 2) Pidana penjara seumur hidup; 3)Pidana penahanan yang bersifat sementara; e. Pidana atas rasa kehormatan dan keimanan, berupa: 1) Pidana teguran atau peringatan; 2) Kaffarah sebagai hukuman yang bersifat religius. Hukuman dan Sanksi Hukum yang Dijatuhkan Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik Alquran, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman untuk kasus ta’zîr. Selain itu hukuman harus bersifat pribadi. Artinya, hanya dijatuhkan pada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa “seseorang tidak menanggung dosa orang lain”.31 Dalam Islam, tujuan adanya hukum adalah untuk kemaslahatan, maka hukum yang baik mempunyai ciri:32 31 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 25. 32 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 26. 112| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 a. Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau, menurut Ibn Hammam dalam Fathul Qadîr bahwa hukuman itu mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif ) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif ); b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung pada ke­ butuhan kemaslahatan masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat menghendaki ringannya hukuman maka hukumannya diperingan; c. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan untuk kemaslahatan, seperti dikatakan oleh ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyaratkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang mem­ berikan hukuman pada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberikan rahmat padanya, seperti seorang bapak yang memberikan pelajaran pada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya. d. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. e. Berakhlak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan terhadap orang lain, atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.33 Dengan adanya sanksi duniawi diharap­ kan mampu menjaga seseorang dari terjatuh 33 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 44. ke dalam tindak pidana. Selain itu harus diusahakan menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam ma­ syarakat berdasarkan konsep sad al-zarî’ah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dimengerti bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah menerapkan hukuman dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta maupun kehormatan.34 Dengan kata lain, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.35 Hukuman yang ditegakkan dalam syari’at Islam mempunyai dua aspek, preventif (pencegahan) dan represif (pendidikan). 36 Adapula yang menyatakan tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari’at Islam adalah untuk Pencegahan (al-radd wa alzajru), Perbaikan (al-Ishlâh), dan Pendidikan (al-ta’dîb).37 Bahkan ‘Abd Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman dalam syariat Islam mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukkan mereka dari kesesatan, meng­ hindarkan mereka dari berbuat maksiat dan mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang taat.38 Secara normatif, dari sanksi pidana yang tertera dalam Islam, akan ditemukan bahwa tujuan dari penerapan pidana Islam adalah: Pertama, untuk menjaga kelangsungan hidup (hayâtun) sebagaimana dalam Q.s. al-Baqarah (2): 179 tentang qishâs. Menurut Rasyid Rida dalam Tafsîr al-Manâr menginterpretasikan ayat tersebut bahwa dengan qishâs berarti telah memelihara kehidupan orang yang Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 255. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1992), h. 198. Lihat juga M. Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (al-Qâhirah: Maktabah Muhaimar, 1957), h. 351. 36 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum, h. 53. 37 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 255. 38 ‘Abd Qadir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, h. 23. 34 35 Faisal: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan . . . |113 akan dibunuh dan sekaligus berarti ia telah memelihara kehidupannya sendiri. Sedangkan memenuhi pembayaran diyat tidaklah menjamin setiap orang dapat mengekang diri dari pertumpahan darah lawannya bilamana ia mampu melakukannya.”39 Kedua, sebagai pembalasan (jazâ’) terutama di akhirat dari Allah.40 Ketiga, tujuan pemidanaan dapat disimpulkan dalam hukuman bagi pelaku perampokan (al-hirâbah)41 yaitu penghinaan (khizyun).42 Tujuan pemidanaan yang ter­ cantum dalam nas adalah penghinaan43 yaitu sanksi penghinaan dan sanksi yang mem­buka kejelekan/aib seperti dikatakan artinya Allah membuka kejelekan dan meng­ h inakannya. Maksudnya membuka aibnya dan menghinakannya.44 Menurut al-Jashash, ayat tersebut menunjukkan bahwa bagi pelaku pencurian ditegakkan had atasnya. Tidak ada kafârat untuk dosanya, karena Allah telah memberitakan mengenai ancamannya di akhirat sesudah ditegakkan 39 Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr al-Manâr, Juz II, (Bayrut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), h. 130 40 Lihat Q.s. al-Nisa [4]: 93. Menurut ayat ini hukuman bagi orang yang melakukan kriminalitas berupa pembunuhan, maka hukumannya (jazâ’) adalah adalah sanksi di akhirat berupa jahannam, kekal di dalamnya dan mendapat azab yang besar. Artinya sebelum mendapatkan hukuman di akhirat di dunia akan mendapatkan hukuman berupa hukuman kisas melalui eksekusi pihak-pihak yang berwajib. 41 Rangkaian ayat al-hirâbah ini diturunkan berkenaan dengan kasus Bani Urainah yang miskin datang kepada Rasululllah dalam keadaan payah, pucat dan tampak tidak sehat. Rasulullah memerintahkan untuk menjemput mereka dengan kendaraan unta dan memberi minuman dari air susu unta. Setelah mereka sehat, penggembala unta itu mereka bunuh dan untanya dirampas. Rasulullah memerintahkan, untuk menangkap mereka dan dihukum dengan dipotong kaki­nya, tangannya serta matanya dicungkil. Akhirnya turun Q.s. al-Mâidah [5]: 33-34 untuk menegaskan sanksi pidana bagi perampok. Lihat Imam Jalaluddin al-Suyûti, Asbâb alNuzûl al-Musamma Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, (Bayrut: Muassasah al-Kitâb al-Saqâfiyah, 2002), h. 107. 42 Lihat Q.s. al-Mâidah [5]: 33. 43 Berkaitan dengan ini Leo Polak yang menguraikan tentang variasi-variasi teori pembalasan mengemukakan salah satu pem­ balasan adalah penghinaan (reprobasi). Teori penghinaan ini di­ dukung oleh Von Bart yang mengatakan, “Makin besar kehendak menentang hukum makin besar penghinaan yang dijatuhkan.” Lihat Leo Polak dalam Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h.23-33. 44 Muhammad Alî al-Sâbuni, Rawâ’i’u al-Bayân fî Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân, Juz I, (Jakarta: Dâr al-Kutub alIslamiyah, 1999 M/1420 H), h. 514. had atas mereka.45 Rangkap balasan di­ tetapkan juga terhadap seseorang yang membunuh orang mukmin dengan sengaja berupa pidana mati sebagai qishâs,46 neraka jahannam, dimurkai, dikutuk (dilaknat) Allah dan diazab.47 Bagi yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja (khilaf, lalai, keliru, tersalah), ditetapkan sanksi baik yang bersifat ‘ubûdiyah maupun yang bersifat material sebagai penebus dosa (kafârah) dan sanksi perdata (diyat). 48 Keempat, tujuan pemidanaan dalam Islam dapat juga ditemukan dalam Alquran tentang pencurian yaitu pembalasan (jazâ’) dan siksaan (nakâlan).49 Hukuman bagi para pencuri adalah potong tangan. 50 Hal ini didasari oleh keumuman ayat tersebut yang memerintahkan potong tangan bagi pelaku pencurian. Memang latar belakang turunnya ayat ini adalah adanya kasus penjatuhan hukuman potong tangan yang terjadi di masyarakat jahiliyah (pra Islam) yang tidak memperhatikan besar kecilnya barang yang dicuri. Hukuman berlaku umum. Diceritakan bahwa orang yang pertama kali dijatuhi hukuman potong tangan adalah Dawik, Budaknya Malih bin Umar, karena mencuri kelambu Ka’bah. 51 Mencermati tentang pemidanaan dalam Imam Abî Bakr Ahmad al-Razi al-Jashâs, Ahkâm alQur’ân, Jilid II, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1993 M), h. 115. 46 Q.s. al-Baqarah [2] : 178-179. 47 Q.s. al-Nisa [4]: 93. 48 Mengenai hal ini ditegaskan dalam Q.s. al-Nisa’ [4]: 9293. Selain sanksi religius dan sanksi perdata, pelaku pembunuhan tidak sengaja dikenakan juga sanksi pidana cambuk atau sanksi lain yang relevan yang dapat ditentukan oleh penguasa sesuai kesalahannya sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. 49 Lihat Q.s. al-Mâidah [5]: 38. 50 Dalam riwayat, sebelum Islam datang hukuman ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat Arab. Di antara tokoh terkenal yang memberlakukan hukuman potong tangan ini adalah Walid bin al-Mughîrah. Pada saat Islam datang, hukuman ini ditetapkan oleh Alquran seperti ayat di atas. Di masa Rasulullah pencuri laki-laki pertama yang dihukum dengan sanksi ini bernama al-Khiyar bin ‘Adi dan dari kalangan perempuan bernama Murrah bin Sufyan. Lihat Imam Abî Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, alJamî’ li Ahkâm al-Qur’an, (al-Qâhirah: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1967), h. 388. 51 Imam Ibn Ismail Kasir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, (Bayrut: Dâr al-Ma’rifah, 1989), II: 56-57. 45 114| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Islam, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan dan penangkalan (alradd wa al-zajr) serta upaya pendidikan dan pengajaran (al-ta’dîb wa at-tahzîb) sebagai hal yang pokok. Konsep pembalasan pada dasarnya bukan sebagai tujuan pemidanaan, tetapi refleksi dari terjadinya kejahatan atau tindak pidana. Hal itu dimaksudkan untuk mengeliminir tindakan pembalasan yang tidak berakhir. Qishâs yang dilakukan korban atau walinya memungkinkan dapat menimbulkan perang saudara dan kelompok yang tak pernah berakhir. Oleh karena itu, harus melalui prosedur hukum negara, bukan hukum perseorangan (main hakim sendiri).52 Pembalasan dalam bentuk qishâs yang dimaksudkan dalam Islam tidak harus dipahami sebagai tujuan tetapi semangat keseimbangan. Terjadinya suatu kejahatan yang dilakukan seseorang haruslah diimbangi dengan tindakan resmi berupa sanksi pidana dari penguasa negara. Makna pembalasan lebih dipahami sebagai upaya penguasa bukan dengan main hakim sendiri yang sangat berkonotasi barbarisme. Pembalasan dalam sanksi pidana sejatinya bertujuan preventif dan bersifat mendidik. Pada tataran ini, penulis berpendapat bahwa sanksi pidana pada dasarnya tidak bertujuan ‘sebagai pembalasan melainkan sebagai tindakan penyeimbangan terhadap tindak pidana yang terjadi. Seluruh jenis-jenis pemidanaan dalam Islam dimaksudkan sebagai penyeimbang atas terjadinya tindak pidana. Pada sisi lain, semua jenis-jenis pemidanaan itu pasti bertujuan tindakan prevensi dan pendidikan. Pembalasan atau balas dendam lebih berkonotasi negatif. Apabila kedua tujuan pemidanaan sudah terwujud, serta merta kemaslahatan berupa ketenteraman, keamanan, kedamaian ketertiban dan kesejahteraan akan tercapai. Hak-hak perorangan, hak-hak masyarakat dan hak-hak Allah dapat terselenggara dengan baik. Tidak ada penyelewengan dan 52 Imam Ibn Ismail Kasir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm,h. 282 kesewenang-wenangan. Prinsip humaniter harus tampak dalam tujuan pemidanaan, berupa prinsip kemanusiaan secara individu dan secara kolektif dalam suatu masyarakat. Dengan begitu tujuan pemidanaan bukan untuk penyiksaan dan penebus dosa semata, melainkan untuk pencegahan dan pendidikan.53 Perspektif Ta’zîr Pemidanaan dan Kebijakan Pemidanaan Kontemporer Konseptual Ta’zîr dalam Sistem Hukum Pidana Islam Ta’zîr menurut bahasa adalah masdar (kata dasar) bagi ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. 54 Hal ini banyak terdapat dalam Alquran.55 Sementara ta’zîr didefinisikan oleh alMawardi sebagai berikut: 56 Ta’zîr adalah hukuman yang bersifat pen­ didikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syarak. Berdasarkan definisi-definisi yang di­ kemukakan di atas, jelaslah bahwa ta’zîr adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarîmah-jarîmah yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’. Jadi, istilah ta’zîr bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarîmah (tindak pidana). Para fukaha sepakat mengartikan ta’zîr dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh Alquran dan Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba57 yang berfungsi untuk memberi Imam Ibn Ismail Kasir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, h. 283. ‘Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, (al-Qâhirah: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1976), h. 54. Baca juga Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasit, (al-Qâhirah: Dâr at-Turas al-‘Arabiy, t.t.), h. 598. 55 Lihat Q.s. al-Fatah [48]: 9; Q.s. al-A’raf [7]: 157; Q.s. al-Mâidah [5]: 12. 56 Abu Hasan ‘Ali Al-Mawardi, Kitab al-Ahkâm alSultâniyyah, h. 236. 57 Tentang definisi hak Allah ini Abdul ‘Azis Amir me­ ngatakan bahwa maksud dari hak Allah adalah sesuatu yang 53 54 Faisal: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan . . . |115 pelajaran kepada terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Para ulama pada umumnya mem­ perbolehkan penggabungan antara had dan ta’zîr selama memungkinkan, misalnya dalam mazhab Hanafi pezina yang gairu muhsân dijilid 100x sebagai had lalu dibuang satu tahun sebagai ta’zîr bila ulul amri menganggap padanya adanya maslahah. Demikian pula dalam mazhab Mâlikî dan mazhab Syâfi’î penggabungan antara had dan ta’zîr itu diperbolehkan, seperti mengalungkan tangan pencuri setelah dipotong dan menambahkan 40x jilid bagi peminum khamr.58 Sementara Sumber Hukum Ta’zîr dalam Pidana Islam salah satunya dalam hadis Nabi adalah sebagai berikut: a. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan (HR. Abû Dawud).59 b. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abû Burdah: Dari Abî Burdah al-Ansari bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk berkaitan dengan kemanfaatan umum dan sesuatu yang berkaitan dengan penolakan kemudaratan dari manusia (secara keseluruhan) tanpa dikhususkan untuk seseorang). Sedangkan yang dimaksud dengan hak manusia adalah sesuatau yang berkaitan dengan kemaslahatan khusus untuk individu tertentu). Lihat ‘Abdul Azis Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 57. 58 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 161. 59 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, (Bayrut: Dâr alFikr, 1980), h. 497. kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah. (Muttafaq Alaih).60 c. Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah: Dari Aisyah r.a., Nabi bersabda: “Ringan­ kanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarîmahjarîmah hudûd (HR. Ahmad).61 Ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zîr dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang hukuman ta’zîr yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarîmah hudûd. Dengan batas hukuman ini dapat diketahui mana yang termasuk jarîmah hudud dan yang termasuk jarîmah ta’zîr. Menurut al-Kahlâni, para ulama sepakat bahwa yaang termasuk jarîmah hudûd adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qazaf, murtad dan pembunuhan. Selain dari jarîmah-jarîmah tersebut termasuk jarîmah ta’zîr.62 Konstruksi Konseptual Ta’zîr Pemidanaan Dalam penjelasan di atas telah dikemukakan bahwa hukuman ta’zîr adalah hukuman yang belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulul amri untuk menetapkannya. Hukuman-hukuman ta’zîr banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih di antara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman 60 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salâm, Juz IV, (Mishr: Mustafa Bab al-Halaby, 1960), h. 37. 61 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salâm, h. 38. 62 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salâm,h. 37. 116| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 yang sesuai dengan keadaan jarîmah serta diri pembuatnya. Secara garis besar hukuman hukuman ta’zîr dapat dikelompokkan kepada empat kelompok yaitu: a.Hukuman ta’zîr yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera). b. Hukuman yang berkaitan dengan ke­ merdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan. c.Hukuman ta’zîr yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/pe­ rampasan harta, dan penghancuran barang. d. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulul amri demi kemaslahatan umum.63 Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Hukuman Mati Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zîr adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dîb) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zîr tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fukaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fukaha yang lain, di dalam jarîmah ta’zîr tidak ada hukuman mati.64 A. Djazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 185. 64 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, Jilid I, h. 594-595; Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 221. Juga A. Jazuli, Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,h. 188; ‘Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî alAsyarî’ al-Islâmiyyah, h. 305-306. b. Hukuman Jilid Di kalangan fukaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zîr. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Mâlikî, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zîr didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarîmah. Imam Abû Hanîfah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zîr adalah 39 kali, dan menurut Abû Yûsuf adalah 75 kali.65 Sedangkan di kalangan mazhab Syâfi’î ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abû Hanîfah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abû Yûsuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta’zîr boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarîmah ta’zîr yang dilakukan hampir sejenis dengan jarîmah hudud. Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat mazhab Syafi’i di atas. Pendapat keempat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarîmah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarîmah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarîmah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zîr tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadis nabi dari Abû Darda sebagai berikut, “Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudûd”. 66 Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, kemaluan, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abû Yûsuf menambahkan tidak 63 65 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi,h. 597-598. 66 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi,, Jilid I, h. 599; Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 225-226. Juga Rudolph Peters, Crime and Punishment in Islamic Law, (New York: Cambridge University Press, 2005), h. 35. Faisal: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan . . . |117 boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.67 c. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan) Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukum­ an ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama berbeda pendapat. Ulama Syâfi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarîmah zina. Sementara ulama lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarîmah yang berbahaya. 68 Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarîmah yang berbahaya. d. Hukuman Salib Berbeda dalam jarîmah hudud, hukuman salib dalam jarîmah ta’zîr tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup hidup ‘Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 349. Juga Rudolph Peters, Crime and Punishment, h. 34. 68 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, Jilid I, h. 600; Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 221. Baca juga Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 370-373. Lihat juga Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law, h. 170. 67 dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fukaha’ tidak lebih dari tiga hari.69 e.Hukuman Ancaman (Tahdîd), Teguran (Tanbîh) dan Peringatan Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zîr, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancaman akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abû Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rasulullah berkata, “Wahai Abû Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat masa jahiliyah.” Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Alquran sebagaimana hukuman terhadap istri yang dikhawatirkan berbuat nusyûz.70 f. Hukuman Pengucilan (al-Hajru) Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zîr yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah: Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, Jilid I, h. 606. 70 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, h. 607. 69 118| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali pada-Nya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.71 Hukuman ta’zîr pengucilan ini diber­ lakukan apabila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman ini sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing anggota masyarakat acuh tak acuh terhadap anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi, kalau pengucilan itu dalam bentuk tidak diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan, mungkin bisa dilaksanakan dengan efektif.72 g. Hukum­an Denda (tahdîd) Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, di samping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rasulullah, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya beserta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. 73 h. Pemecatan Pengertian pemecatan adalah melarang seseorang dari pekerjaannya dan mem­ berhentikannya dari tugas atau jabatan yang dipegangnya sebagai akibat pemberhentian dari pekerjaan itu.74 Hukuman ta’zîr berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan Q.s. al-Taubah [9]: 118. ‘Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 448. Lihat juga Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law, h. 166. 73 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi, I: 703. Lihat juga Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal, h. 166. 74 Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 448. 71 72 terhadap setiap pegawai yang melakukan jarîmah, baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya maupun dengan hal-hal lainnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan antara lain: 75 1) Pegawai yang menerima suap 2) Melakukan korupsi 3) Mengangkat pegawai yang tidak me­ menuhi persyaratan karena ikatan keluarga (nepotisme) 4) Melakukan kezaliman terhadap bawahan atau rakyat 5) Prajurit yang melarikan diri dari per­ tempuran atau desersi 6) Mengambil harta dari terdakwa dengan maksud untuk membebaskannya 7) Hakim yang memutuskan perkara tidak berdasarkan hukum yang ditetapkan. Hukuman pemecatan dapat diterapkan dalam segala macam kasus tindak pidana, baik sebagai hukuman pokok, hukuman tambahan, maupun hukuman pelengkap. Dalam hal pelaku dijatuhi pemecatan sebagai hukuman pokok, tidak ada hukuman lain yang dijatuhkan kepadanya, karena pemecatan itulah hukuman satu-satunya yang dijatuhkan kepadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi yang memecat seorang petugas dari kekuasaannya/jabatannya. Demikian juga para sahabat, seperti Khalifah Umar pernah memecat seorang wakil (pegawainya) yang membaca puisi yang isinya memuji-muji kenikmatan minuman keras (khamr). Apabila seorang pegawai melakukan jarîmah hudud atau ta’zîr tertentu seperti menerima suap maka di samping dikenakan hukuman had sesuai dengan jenis jarîmahnya atau hukuman ta’zîr, ia juga dikenakan hukuman tambahan secara otomatis berupa pemecatan dari jabatan atau pekerjaannya. Ini merupakan pendapat dari mazhab Hanâfi, Syâfi’i dan Muktazilah. Tetapi menurut zahirnya mazhab Hanâfi, pemecatan 75 Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 449-450. Faisal: Kebijakan Pemberian Sanksi dalam Hukum Positif dan Pemidanaan . . . |119 tersebut tidak berlaku secara otomatis, melainkan perlu ada keputusan hakim tentang pemecatan terhukum, di samping keputusan hakim tentang hukuman hudûd atau ta’zîr untuk jarîmah yang dilakukannya. Apabila hukuman pemecatan didasarkan atas putusan hakim maka hukuman tersebut bukan hukuman tambahan (tabâ’iyyah), melainkan hukuman pelengkap (takmîliyah). Dan uqûbah ashliyyah ini rasanya lebih mantap karena adanya putusan hakim yang menjadi dasar untuk melaksanakan pemecatan tersebut.76 i. Pengumuman kesalahan secara terbuka (al-tasyhîr) Dasar hukuman untuk hukuman berupa pengumuman kesalahan atau kejahatan pelaku secara terbuka adalah tindakan Khalifah Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu ia diarak keliling kota, sambil diumumkan kepada masyarakat bahwa ia adalah seorang saksi palsu. Begitu juga Rasulullah telah menghukum seorang yang tidak jujur mendistribusikan zakat, karena mengambil zakat untuk dirinya juga. Selain itu, apabila diteliti lebih seksama dalam Q.s. al-Nûr [24]: 2 tentang hukuman zina, di sana disebutkan bahwa pelaksanaan hukuman jilid itu harus disaksikan oleh sekelompok orang-orang mukmin. Ini mengandung arti bahwa di dalamnya terdapat unsur tasyhir atau maklumat (pengumuman) tentang kesalahan pelaku.77 Penutup Dari apa yang telah dijelaskan bahwa kebijakan pemberian sanksi dalam hukum positif dan pemidanaan ta’zîr dalam hukum pidana Islam semuanya mengarah kepada kemaslahatan umat manusia. Kesemuanya Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 454. Abdul Aziz Amir, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ al-Islâmiyyah, h. 457. Lihat juga Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal, h. 167. Juga Rudolph Peters, Crime and Punishment, h. 34. 76 77 mengaraha kepada upaya pencegahan dan penangkalan (al-radd wa al-zajr) serta upaya pendidikan dan pengajaran (al-ta’dîb wa attahzîb) sebagai hal yang pokok. Meskipun, konsep qishâs yang didalamnya terdapat “pembalasan”, pada dasarnya bukan sebagai tujuan pemidanaan, tetapi refleksi dari terjadinya kejahatan atau tindak pidana. Pembalasan dalam bentuk pembalasan dalam bentuk qishâs yang dimaksudkan dalam Islam tidak harus dipahami sebagai tujuan tetapi semangat keseimbangan. Terjadinya suatu kejahatan yang dilakukan seseorang haruslah diimbangi dengan tindakan resmi berupa sanksi pidana dari penguasa negara. Makna pembalasan lebih dipahami sebagai upaya penguasa bukan dengan main hakim sendiri yang sangat berkonotasi barbarisme. Pembalasan dalam sanksi pidana sejatinya bertujuan preventif dan bersifat mendidik. Pada tataran ini, penulis berpendapat bahwa sanksi pidana pada dasarnya tidak bertujuan ‘sebagai pembalasan melainkan sebagai tindakan penyeimbangan terhadap tindak pidana yang terjadi. Seluruh jenisjenis pemidanaan dalam Islam dimaksudkan sebagai penyeimbang atas terjadinya tindak pidana. Pada sisi lain, semua jenis-jenis pemidanaan itu pasti bertujuan tindakan prevensi dan pendidikan. Pustaka Acuan Abû Zahrah, M., Ushûl al-Fiqh, al-Qâhirah: Maktabah Muhaimar, 1957. Amir, ‘Abdul Aziz, al-Ta‘zîr fî al-Asyarî’ alIslâmiyyah, al-Qâhirah: Dâr al-Fikr al‘Arabi, 1976. ‘Audah, ‘Abd. Qadir, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i alIslâmi, al-Qâhirah: Dâr al-Turas, t.t. Bahnasi, Ahmad Fâtih, al-Siyâsah al-Jinâ’iyyah fi al-Siyâsah al-Islâmiyyah, Mishr: Dâr al-‘Arabah, 1165. Djazuli, A., Fikih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1997. 120| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Gottfredson, Michael R., and Travis Hirschi, Positive Criminology, London: Sage Publicaations,1987. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1976. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusike Reformasi, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986. Ibn Ismail Kasir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, Bayrut: Dâr al-Ma’rifah, 1989. Jashâs, al-, Abî Bakr Ahmad al-Razi, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid II, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1414 H./1993 M. Jonkers, J.E., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987. Kahlani, al-, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salâm, Juz IV, Mishr: Mustafa Bab al-Halaby, 1960. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1992. Ma’luf, Lowis, al-Munjid fi al-Lugah wa al-I’lâm, Bayrût: Dâr al-Masyriq, 1975. Mawardi, al-, al-Ahkâm al-Sultâniyah fî alWilâyah al-Dîniyah, Bayrut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1999 M./1420 H. Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih (al-Qawâ’idul Fikihiyyah), Jakarta: Kalam Mulia, 1994. Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, t.t. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teoriteori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992. Mudzakkir, “Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana,”Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993. Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Badan Penyediaan Kuliah FH -UNDIP, 1973. _______, “Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia,”Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974. Peters, Rudolph, Crime and Punishment in Islamic Law, New York: Cambridge University Press, 2005. Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Polak, Leo, dalam Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Rasyid Rida, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, Juz II, Bayrut: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1980. Saleh, Roeslan, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Aneka, 1983. Suyûti, al-, Jalaluddin, Asbâb al-Nuzûl alMusamma Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, Bayrut: Muassasah al-Kitâb al-Saqâfiyah, 2002. Sâbuni, al-, Muhammad Alî, Rawâ’i’u alBayân fî Tafsîr Ayât al-Ahkâm min alQur’ân, Juz I, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, 1999 M./1420 H. Unais, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasit, alQâhirah: Dâr at-Turas al-‘Arabiy, t.t. Ultrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987. Qurtubi, al-, Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jamî’ li Ahkâm al-Qur’an, al-Qâhirah: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1967.